Anda di halaman 1dari 3

Analisi Puisi “ Di Masjid”

(Karya : Chairil Anwar)

Di mesjid

Kuseru saja Dia


Sehingga datang juga

Kamipun bermuka-muka

Seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada


Segala daya memadamkannya
Bersimpuh peluh diri tak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang

Binasa-membinasakan
Satu menista lain gila

Chairil anwar merupakan pelopor angkatan ’45, lahir di Medan 26 juli 1922. Dia dibesarkan
dalam keluarga yang tercerai berai. Chairil memiliki iwa yang pantang menyerah dan meluap-luap
dalam berekspresi, hal ini ditulis oleh Sjamsul Ridwan.
Chairil mendapat julukan si binatang jalang karena puisinya yang bejudul AKU sangat
fenomenal dari masa itu sampai masa sekarang. Nama chairil mulai terkenal dalam dunia sastra
setelah pemuatan ttuklisannya di “ majalah nisan ” pada 1942, pada saat itu dia baru berusia 20
tahun. Hampir semua puisi-puisi yang dia tulis merujuk pada kematian. Puisi-puisi nya beredar di
atas kertas murah selama masa pendudukan jepang di Indonesia dan tidak diterbitkan hingga tahun
1945.
Chairil memang penyair besar yang mengapresiasi upaya manusia meraih kemerdekaan,
termasuk perjuangan bangsa indonesia untuk melepaskan diri dari penjajahan. Hal ini, antara lain
tercermin dari sajaknya bertajuk “Krawang-Bekasi”.
Chairil meninggal dalam usia dua puluh tujuh tahun karena penyakit TBC.

Dalam sajak ‘Di Mesjid’ karya Chairil Anwar merupakan ungkapan perasaan yang diungkapkan
oleh penyair. Puisi itu dapat dianalisis sebabgai berikut: di masjid sebagai tempat beribadah orang-
orang muslim pengarang melakukan ibadah dan saat-saat tersebut dia berdoa dengan menyebut
Tuhannya kemudian dia merasakan kedatangan rahmat Tuhan menghampirinya, hal tersebut
digambarkan oleh pengarang pada bait ‘kuseru saja dia / sehingga datang juga.
Pada bait kedua ‘ kamipun bermuka-muka ‘ menggambarkan seseoarang yang sedang melakukan
ibadah di masjid tersebut merasakan Tuhan seakan-akan berada dihadapannya.
Pada bait selanjutnya ‘seterusnya Ia bernyala-nyala dalam dada / segala daya memadamkannya /
bersempuh peluh diri tak bisa diperkuda dalam bait ini menggambarkan kehadiran Tuhan yang ada
pada seorang hamba hingga dalam hati hamba tersebut, bahkan kehadiran Tuhan yang sangat kuat
hingga tak satupun yang dapat menghalangi, sehingga hamba tersebut lemah terkulai dan tak
mampu untuk melawan kekuatan Tuhan.
Pada bait ‘ini ruang / gelanggang kami berperang’ hal ini mengungkapkan bahawa kata ‘ini ruang’
merujuk pada atau kembali pada judul yaitu ‘masjid’. Pada kata gelanggang yang dalam artian
umum gelanggang adalah tempat pertarungan tapi dalam puisi ini diartikan sebagai tempat bertemu
dan mengadunya seorang hamba kepada Tuhannya.
Sedangkan pada bait terakhir ‘binasa-membinasakan / satu menista lain gila‘, pemilihan
diksi, pemilihan diksi yang berupa binasa-membinasakan memberikan gambaran berupa seperti
perseteruan yang dasyat sehingga diakhir disebutkan satu menista lain gila ini, satu menista ini
menggambarkan Tuhan yang menyalahkan pemikiran hamba yang menyimpang dan karena
mendapat penistaan dari Tuhan, hamba merasakan rasa bersalah yang amat dalam sehingga
membuat dia tertekan dalam kesalahan yang mendalam dan menjadi frustasi.
Ada banyak hal yang ingin dibicarakan penyair dalam puisinya yang bertitel “Di Mesjid”
ini. Apalagi jika menilik latar belakang si Binatang Jalang yang dalam kehidupannya masih dihantui
bayang-bayang ‘setan’ agama ini. Pengkaji berkata demikian karena suatu ketika pengkaji pernah
membaca sebuah karya dari teman penyair yang secara spesial membuat novel dan menggunakan
setting kehidupan penyair. Terutama kehidupan religinya.
Dalam buku tersebut (yang tidak ingin pengkaji sebutkan judul dan pengarangnya),
penyair menjadi tokoh sentral yang sedari kecil dididik secara agamis. Kemudian beranjak dewasa
(pada saat mengalami pendewasaan jasmani maupun rohani) ia telah melakukan pelencengan dari
jalan semula. Ia memilih menjadi seorang atheis, tanpa mengakui adanya Tuhan dan menolak
menyembah apapun yang dituhankan.
Dilematis sekaligus menantang. Hanya orang-orang tertentu saja yang mempunyai
pikiran demikian. Entah karena sangat sempitnya pengetahuan atau karena sangat banyaknya
pengetahuan yang ‘on’ di otak mereka, terutama penyair. Yang pasti, pengkaji sangat ‘welcome’
atas segala pemikiran tersebut.
Hal ini pengkaji sampaikan bukan untuk mendukung atau membela keatheisan penyair.
Melainkan pengkaji hanya salut pada orang-orang yang ‘melampaui batas’ seperti penyair. Karena
sejauh ini, pengkaji hanayalah manusia yang masih ber-IQ dan ber-SQ ‘mini’ sekali daripada
penyair yang dipuja-puji penggemarnya.
Menurut hemat pengkaji, puisi “Di Mesjid” ini adalah salah satu bukti bahwa sebenarnya
penyair mengatheiskan diri karena ia ingin dituhankan secara langsung maupun tidak langsung.
Secara tersurat memang tidak, mungkin secara tersirat boleh jadi dugaan pengkaji adalah fakta yang
perlu dicari kebenarannya agar menjadi experience bagi semua manusia dari segala umat beragama.
Bagi pengkaji, tidak harus sebuah pelajaran itu diambil dari pengalaman pribsdi. Bisa juga
kita ambil pelajaran dari pengalaman orang lain. Bahkan cara ini pengkaji anggap lebih efektif dan
efisien. Jika pengalaman itu buruk tidak usah ikut merasakan kepahitan, begitu pula sebaliknya.
Penyair yang spektakuler di masanya ini mencoba mendobrak pemikiran konvensional dari
segala segi kehidupan. Melalui puisinya ini ia membuat orang lain membuka leba-lebar mata hati
selebar-lebarnya. Bagaimana selama ini seluruh umat dari berbagai agama melakukan ibadahnya,
sejauh mana melaksanakan perintah dan menjauhi laranganNya, implementasi kehidupan agama
dengan sesama, dan yang terpenting ialah apakah ikhlas serta tanpa pamrih ketika beramal
kebaikan.
Masalah moral, akhlak dan ketuhanan memang menjadi hak asasi manusia yang paling
asasi, tapi janganlah hak tersebut digunakan untuk memaksakan kehendak pada orang lain. Jika hal
itu terjadi, maka sample yang di mata kita sekarang adalah munculnya teroris, saling bunuh, saling
tuduh dan akhirnya tercipta rusuh.
Oleh karena itulah penyair sanksi atas segala ajaran agama beserta simbol agama yang
berupa tempat ibadah dengan segala umat yang mengimani sekaligus mengamininya. Bagi penyair,
lebih baik berada di pihak netral, sebagai pengamat, daripada terjun langsung menjadi tokoh
protagonis maupun antagonis dalam skenario buatan Tuhan.
Masjid yang selama ini dibangun megah, menelan dana triliunan rupiah, luasnya
na’udzubillah ternyata digunakan sebagai sarana pamer dengan kedok sebagai tempat ibadah. Entah
dengan titel masjid terbesar di Asia Tenggaralah, masjid termegah di dunialah, tereksotislah atau
apalah yang tujuannya membanggakan diri.
Kalau sudah demikian, nilai moral sebuah bangsa tidak dinilai dari akhlak bangsanya yang
merupakan umat ciptaan Tuhan. Melainkan dinilai dari kulit luarnya saja, dalam hal ini simbol-
simbol agama berupa tempat ibadah. Padahal tempat ibadah bukanlah cerminan seseorang itu kuat
imannya atau tidak.
Hal inilah yang disesalkan oleh penyair. Mengapa bangsanya, bahkan dirinya tampak tidak
tulus mengabdikan diri pada Tuhan. Jikalaupun ada, jumlahnya bisa dihitung dengan jari.
Pesan moral yang ingin disampaikan penyair dalam puisi (yang bagi penulis puisi penyair
ini termasuk puisi prismatis) sangat banyak dan manusiawi sekali. Mengingat bahwa tidak ada
manusia yang sempurna. Maka dalam beribadah pun seseorang tidak mungkin banyak sekali
kekurangannya.
Nabi saja mempunyai khilaf dan kesalahan karena ia dari golongan manusia. Bedanya, dosa
atas kesalahan itu ditutupi dengan amal kebaikan yang diperbuatnya. Nabi dicetak sebagai manusia
pilihan, teladan, dan sudah barang tentu masuk ke ‘tempat’ yang sudah dijanjikan, yaitu: surga.
Sedangkan manusia?
Belum tentu orang yang tiap hari mendatangi masjid, mendanai pembangunan masjid,
ibadah di masjid, dan memberi santunan pada pengemis yang mangkal di masjid itu akan masuk
surga. Jangan kira Tuhan tidak mengetahui bahwa niat orang tersebut tulus karenaNya atau tidak.
Yang terlihat mata telanjang manusia itu madu, belum tentu di hadapan Tuhan juga begitu.
Jadi, penyair sebenarnya lebih menyadari bahwa ‘orang yang taat itu di atasnya masih ada
yang lebih taat lagi’. Puncak ketaatan itu milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Tiada daya yang dapat
menandinginya hanya sekedar untuk menilai ketaatan tersebut

Anda mungkin juga menyukai