Hadirin rohimakumullah
Hadirin rohimakumullah
Hadirin rohimakumullah
“Alloohu”
“Allohu Akbar” Allah Maha Besar. Pernahkan kita ketika sedang ngobrol
datang waktu sholat terus saja ngobrol, sehingga sholatnya diakhirkan?
Tidur, sholatnya diakhirkan? Pasti menjawab pernah. Kalau begitu
tidak “allahu akbar”, itulah tidak tembus pada rasa. Andai tidak ada
Pangersa Guru Agung (Pangersa Abah), dengan hormat kepada mursyid-
mursyid yang lain. Kita pun samalah dengan mereka, puas oleh jasad saja
ibadah itu, puas dengan bacaannya saja ibadah itu, sedangkan rasa tidak
terdidik.
Pernahkah kita dipuji oleh orang lain ? jawabnya pernah. Gembira atau
sedihkah kita? pasti gembira. Pernahkah kita dihina oleh orang lain ?
jawabnya pernah. Gembira atau sedihkah kita? pasti sedih. Jadi lebih
suka di puji atau dihina? Jawabnya lebih senang dipuji. Padahal puji itu
milik siapa? “Alhamdulillah” Segala puji milik Allah. Kalau begitu kita
belum bertahmid ke dalam rasa, baru tahmid dimulut saja. Begitupun Laa
ilaaha illallaah disatu pihak merupakan kalimatul ikhlas, kalimat
thoyyibah, tapi di lain pihak Rasulullah bersabda “taquulu bi afwaahikum
laa ilaaha illallaah wa fiiquluubikum kam ilaa” Kamu mengucapkan
dalam lidahLaa ilaaha illallaah tapi dalam qalbumu masih banyak Tuhan
yang engkau sembah, “kadzabtum” engkau berbohong. Itulah disebutkan
dalam hadits al qudsi. Karena itu kita belajar melatih rasa yang bimbing
oleh ahli rasa yang disebut rasaning rasa.
“asro”“Alladzii asroo bi’abdih”, bagi saudara yang pernah belajar ilmu
nahwi wa shorfi maka anda akan tahu kalimat “asro” itu sudah ada
tambahannya, akar katanya adalah “saryun, saro”, saro itu berjalan
diwaktu malam. Jadi kalau “asro” memberangkatkan, karena itu
maf’ulnya diberi ba, baik hamzah dalam asro dan ba di dalam
maf’ulnya “asroobi” memberangkatkan. Wahai saudara-saudaraku,
orang-rang yang sedang melakukan suluk (Pangersa Abah menggunakan
kalimat Pengamalan). Setiap orang belajar pengamalan tarekat itulah
suluk. Tarekat manapun orangnya disebut salik. Manakah diantara
suluknya, pelaksanaan kegiatan melakukan, memberjalankan ruh kepada
Allah, itulah konteksnya dengan isro. Mengamalkan amalan kewajiban
baik wajib maupun sunat itupun sudah suluk, dzikir setiap bada sholat
fardu itu sudah suluk, khotaman juga suluk, manaqiban serpeti ini pun
juga suluk. Jadi sebenarnya Suluk itu adalah upaya memberjalankan ruh
menuju Allah, dzikir tarekat berbeda dengan dzikir biasa.
“abdihii ”Kita lanjutkan kepada “’Abdihii”. Kata ‘abdihii itu
sumir/samar bisa dibawa kemana-mana. Kenapa tidak memakai kata “bi
muhammadin” biar lebih kontras/jelas?
1) Memang nama Muhammad sangat terhormat, dibumi disebut
Muhammad sedangkan di langit disebut ahmad.Karena itu ada Muroqobah
Hakekat Muhammadiyyah dan ada Muroqobah Hakekat Ahmadiyyah.
Muroqobah itu memperdalamn keyakinan, bukan wirid menginginkan
sesuatu. Bagi yang sudah punya kemauan silahkan Anda melakukan
perjalanan ruh “asro bi’abdihi”. Jadi Nabi Muhammad bukan karena
namanya Muhammad, tapi ia diundang untuk bertemu langsung oleh Allah
di “’aalamullaahuut fii maq’adis sidqin ‘inda maliki muqtadir” sebelah
sananya sidroh muntaha karena ubudiyyahnya (karena ibadahnya) bahkan
sampai kepada ubuudah.
2) yang di isro mi’rajkan dijemput oleh Jibril Mikail sampai bertemu
dengan Allah itu dari 124 ribu nabi, berapa nabi? Hanya satu yaitu Nabi
Muhammad Saw. Apakah itu khusus Nabi Muhammad saja? Jawabnya
tidak. Memangnya siapa lagi ? siapapun yang mencapai sifat ubudiyah
kehambaan kepada Allah mengikuti Rasulullah dengan mengikuti para
pengikut Rasulullah. Kalau mengikuti Rasulullah itu sebatas bacaan-
bacaan, gerakan-gerakan seperti sholat itu tidak sulit, tapi bisakah kita
mengejar kekhusuan Rasulullah tanpa dibimbing oleh yang ahli khusu?
Apakah Rasul Suci atau tidak ? apakah kita harus mengikuti kesucian
Rasulullah? Bisakah kita suci tanpa mensucikan diri? Bisakah kita
mensucikan diri tanpa metode yang sudah teruji?.
Jadi dengan kalimat ‘abdihi memberi peluang kepada semua umatnya
bukan hanya Nabi Muhammad yang bisa menembus kesana tapi
umatnyapun bisa kesana. Walaupun tidak dalam teks haditsnya
disebutkan, tapi dalam kitab Qissotul Mi’raj li Sayyid Ahmad Dardir
disebutkan bahwa ketika Nabi menghadap Allah disana sudah ada Bilal.
Bilal belum meninggal, wafatnya duluan Rasulullah. Bilal orang yang terus
menangis sampai meninggal, karena tidak mau berpisah dengan
Rasulullah. Tetapi ketika Rasulullah Mi’raj bertemu Bilal sudah ada disitu.
Kenapa kamu disini? Allah memberikan ini kepada saya, jawab Bilal.
Bukan mustahil kita pun bisa ada disana. Kalau untuk Rasulullah caranya
memang begitu (isra mi’raj), kalau untuk umatnya maka olahlah diri
anda. Pertama alam mulki dari bumi sampai langit satu itulah badan kita
ruhnya jismani (ibadah dhohir laksanakan). Jadi isra mi’raj itu kita juga
kebagian, buroqnya bagi kita dzikir, yang menuntunnya Guru Agung.
Kalau Nabi Muhammad yang menuntunya Jibril dan Mikail, kalau kita oleh
ruh Beliau.
Semoga apa yang saya sampaikan dapat bermanfaat, semoga kita tetap
istiqomah, istiqomahlah, istiqomahlah. Seperti yang telah disampaikan
oleh KH. Airf Ichwanie tadi, bahwa Guru kita Mursyid kita adalah
Pangersa Abah Anom (Syaikh KH. Ahmad Shohibulwafa Tajul Arifin
ra.). Kalau ada yang berbelit-belit berbicara bahwa berguru kepada yang
sudah mati berarti berguru kepada yang tiada, berguru kepada yang tiada
berarti berguru kepada syetan, itu kalimat dibuat-buat.
Dalam Kitab Anwarul Qudsiyah “Manakala sang Mursyid sudah
memperkirakan beliau tidak lama lagi usianya (walaupun secara hakikat
mungkin tidak) tapi karena sakit, karena tua, dll, maka Beliau memilih
satu atau lebih diantara sekian muridnya. Beliau angkatlah dengan
kalimat yang jelas (misal;saya mengangkat kamu nama anu) dengan saksi
dan diumumkan sehingga tidak menimbulkan fitnah diketahui oleh
ikhwan walaupun tidak semuanya tetapi cukup tawatur/mutawatir
mengangkat seseorang. Mana kala sang Mursyid wafat, siapa yang belajar
tarekat tidak dibimbing gurunya maka gurunya adalah syetan. Ini dengan
mudah ditujukan kepada yang tetap berguru kepada Pangersa Abah
dianggap murid syetan.
Dalam Kitab Miftahus Shudur tentang “Syaikhul hayy bahwa murid tarekat
harus dibimbing oleh Syaikhul hayy (guru yang masih hidup)”. Dengan
mudah kalimat itu ditujukan kepada murid-murid Suryalaya gurunya
sudah meninggal berarti tidak punya guru yang masih hidup.
Saya akan menjawab, perlu diketahui yang disebutkan berguru kepada
guru yang masih hidup adalah mengambil talqin kepada guru yang
masih hidup. Saya mau bertanya, ibu/bapak waktu menerima talqin dari
Pangersa Abah masih hidup atau sudah wafat? Atau menerima talqin dari
para Wakil Talqin, para Wakil Talqin tersebut diangkat oleh Pangersa
Abah, apakah Abahnya masih hidup atau sudah wafat? Jadi kita sekalian
gurunya itu guru yang masih hidup. Walaupun sekarang yang memberi
talqinnya sudah wafat yang mengangkat wakil talqinya sudah wafat,
tapi kita gurunya, mendapatkan talqinnya waktu Mursyid masih hidup
atau diberi talqin dzikir oleh wakil talqin dimana wakil talqin tersebut
diangkat sewaktu Mursyid masih hidup, maka berarti kita belajar dzikir
itu kepada yang masih hidup. “Wa ana au iyakum” Kami atau Anda yang
menjadi murid Syetan itu?
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.