Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN TUGAS BAHASA INDONESIA

RESENSI CERPEN ROBOHNYA SURAU KAMI

(ROBOHNYA SURAU KAMI)

(ANAK KEBANGGAAN)

(NASIHAT-NASIHAT)

KARYA: A.A.NAVIS
BAB I

INDENTITAS BUKU :

JUDUL : ROBOHNYA SURAU KAMI

NAMA PENGARANG : A.A. NAVIS

PENERBIT DAN TAHUN TERBIT :

EDISI BUKU :

TEBAL HALAMAN : 148 halaman

KEPENGARANGAN

Haji Ali Akbar Navis (lahir di Kampung Jawa, Padangpanjang, Sumatra's Westkust, 17
November 1924 meninggal di Padang, Sumatera Barat, 22 Maret 2003 pada umur 78 tahun)
adalah seorang sastrawan dan budayawan terkemuka di Indonesia yang lebih dikenal dengan nama
A.A. Navis. Ia menjadikan menulis sebagai alat dalam kehidupannya. Karyanya yang terkenal
adalah cerita pendek Robohnya Surau Kami. Navis 'Sang Pencemooh' adalah sosok yang ceplas-
ceplos, apa adanya. Kritik-kritik sosialnya mengalir apa adanya untuk membangunkan kesadaran
setiap pribadi, agar hidup lebih bermakna. Ia selalu mengatakan yang hitam itu hitam dan yang putih
itu putih. Ia amat gelisah melihat negeri ini digerogoti para koruptor. Pada suatu kesempatan ia
mengatakan kendati menulis adalah alat utamanya dalam kehidupan, tetapi jika dikasih memilih, ia
akan pilih jadi penguasa untuk menangkapi para koruptor. Walaupun ia tahu resikonya, mungkin
dalam tiga bulan, ia justru akan duluan ditembak mati oleh para koruptor itu.

KARYA-KARYA

Antologi Lengkap Cerpen A.A. Navis (2005)


Gerhana: novel (2004)
Bertanya Kerbau Pada Pedati: kumpulan cerpen (2002)
Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 3 (2001)
Kabut Negeri si Dali: Kumpulan Cerpen (2001)
Dermaga Lima Sekoci (2000)
Jodoh: Kumpulan Cerpen (1999)
Yang Berjalan Sepanjang Jalan (1999)
Cerita Rakyat dari Sumatera Barat 2 (1998)
Filsafat dan Strategi Pendidikan M. Sjafei: Ruang Pendidik INS Kayutanam (1996)
Otobiografi A.A. Navis: Satiris dan Suara Kritis dari Daerah (1994)
Surat dan Kenangan Haji (1994)
Cerita Rakyat dari Sumatera Barat (1994)
Hujan Panas dan Kabut Musim: Kumpulan Cerita Pendek (1990)
Pasang Surut Pengusaha Pejuang: Otobiografi Hasjim Ning (1986)
Alam Terkembang Jadi Guru: Adat dan Kebudayaan Minangkabau (1984)
Di Lintasan Mendung (1983)
Dialektika Minangkabau (editor) (1983)
Dermaga dengan Empat Sekoci: Kumpulan Puisi (1975)
Saraswati: Si Gadis dalam Sunyi: sebuah novel (1970)
Kemarau (1967)
Bianglala: Kumpulan Cerita Pendek (1963)
Hudjan Panas (1963)
Robohnya Surau Kami (1955)

BAB II

ROBOHNYA SURAU KAMI

SINOPSI

Cerpen karya A.A. Novis yang mengisahkan seorang kakek Garin, yang meninggal secara
mengenaskan yaitu membunuh diri akibat dari mendengar cerita bualan seseorang yang sudah
dikenalnya, ternyata cukup memikat siapapun yang membacanya.
Di suatu tempat ada sebuah surau tua yang nyaris ambruk. Hanya karena seseorang yang datang ke
sana dengan keikhlasan hatinya dan izin dari masyarakat setempat, surau itu hingga kini masih tegak
berdiri. Orang itulah yang merawat dan menjaganya. Kelak orang ini disebut sebagai Garin.

Meskipun orang ini dapat hidup karena sedekah orang lain, tetapi ada yang paling pokok yang
membuatnya bisa bertahan, yaitu dia masih mau bekerja sebagai pengasah pisau. Dari pekerjaannya
inilah dia dapat mengais rejeki, apakah itu berupa uang, makanan, kue-kue atau rokok.

Kehidupan orang ini agaknya monoton. Dia hanya mengasah pisau, menerima imbalan,
membersihkan dan merawat surau, beribadah di surau dan bekerja hanya untuk keperluannya sendiri.
Dia tidak ngotot bekerja karena dia hidup sendiri. Hasil kerjanya tidak untuk orang lain, apalagi untuk
anak dan istrinya yang tidak pernah terpikirkan.

Suatu ketika datanglah Ajo Sidi untuk berbincang-bincang dengan penjaga surau itu. Lalu, keduanya
terlibat perbincangan yang mengasyikan. Akan tetapi, sepulangnya Ajo Sidi, penjaga surau itu
murung, sedih, dan kesal. Karena dia merasakan, apa yang diceritakan Ajo Sidi itu sebuah ejekan dan
sindiran untuk dirinya.

Dia memang tak pernah mengingat anak dan istrinya tetapi dia pun tak memikirkan hidupnya sendiri
sebab dia memang tak ingin kaya atau bikin rumah. Segala kehidupannya lahir batin diserahkannya
kepada Tuhannya. Dia tak berusaha mengusahakan orang lain atau membunuh seekor lalat pun. Dia
senantiasa bersujud, bersyukur, memuji, dan berdoa kepada Tuhannya. Apakah semua ini yang
dikerjakannya semuanya salah dan dibenci Tuhan ? Atau dia ini sama seperti Haji Saleh yang di mata
manusia tampak taat tetapi dimata Tuhan dia itu lalai. Akhirnya, kelak ia dimasukkan ke dalam
neraka. Penjaga surau itu begitu memikirkan hal ini dengan segala perasaannya. Akhirnya, dia tak
kuat memikirkan hal itu. Kemudian dia memilih jalan pintas untuk menjemput kematiannya dengan
cara menggorok lehernya dengan pisau cukur.

Kematiannya sungguh mengejutkan masyarakat di sana. Semua orang berusaha mengurus mayatnya
dan menguburnya. Kecuali satu orang saja yang tidak begitu peduli atas kematiannya. Dialah Ajo Sidi,
yang pada saat semua orang mengantar jenazah penjaga surau dia tetap pergi bekerja.

TEMA

Tema atau pokok persoalan cerpen Robohnya Surau Kami sesungguhnya terletak pada persoalan
batin kakek Garin setelah mendengar bualan Ajo Sidi. Gambaran ini terletak pada halaman 10 berikut
ini.

Sedari mudaku aku disini, bukan? Tak ku ingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti
orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah.
Segala kehidupanku, lahir batin, ku serahkan kepada Allah Subhanahu Wataala. Tak pernah
aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk. Umpan neraka. Tak ku pikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu
ada dan pengasih penyayang kepada umatNya yang tawakkal. Aku bangun pagi-pagi. Aku
bersuci. Aku pukul bedug membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepadaNya.
Aku bersembahyang setiap waktu. Aku puji-puji dia. Aku baca KitabNya. Alahamdulillah
kataku bila aku menerima karuniaNya. Astaghfirullah kataku bila aku terkejut. Masa Allah
bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.

Kemudian pada halaman 16 gambaran itu ditegaskan kembali, yaitu :

Tidak, kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan diri mu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kaum mu sendiri,
melupakan kehidupan anak istimu sendiri, sehingga mereka itu kucar kacir selamanya. Inilah
kesalahan mu yang terbesar, terlalu egoistis, padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara
semuanya, tapi engkau tak memperdulikan mereka sedikitpun.
Dengan demikian, jika kita buat kesimpulan atas fakta-fakta di atas maka tema cerpen ini adalah
seorang kepala keluarga lalai itu sehingga masalah kelalaiannya itu akhirnya mampu membunuh
dirinya. Dan simpulan temanya itu ternyata bersifat universal. Oleh karena itu, wajarlah kalau cerpen
karya A.A. Navis ini diteima oleh setiap orang.

Latar

Dalam suatu cerita latar dibentuk melalui segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang
berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya suatu peristiwa. Latar ini ada tiga macam,
yaitu: latar tempat; latar waktu; dan latar sosial.

Latar Tempat

Latar jenis ini biasa disebut latar fisik. Latar ini dapat berupa daerah, bangunan, kapal, sekolah,
kampus, hutan, dan sejenisnya. Latar tempat yang ada dalam cerpen ini jelas disebutkan oleh
pengarangnya, seperti kota, dekat pasar, di surau, dan sebagainya :

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis,
Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka
kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tan di jalan kampungku. Pada simpang kecil
kekanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan itu nanti
akan tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolan ikan, yang airnya mengalir melalui
empat buah pancuran mandi. (hlm. 1 )

Latar Waktu

Latar jenis ini, yang terdapat dalam cerpen ini ada yang bersamaan dengan latar tempat, seperti yang
sudah dipaparkan di atas pada latar tempat atau contoh yang lainnya seperti berikut :

Pada suatu waktu, kata Ajo Sidi memulai, ..di Akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang
yang sudah berpulang . (hlm. 10)

Meskipun begitu, ada juga yang juga yang jelas-jelas menyebutkan soal waktu, misalnya:

Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kebencian yang bakal roboh

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada kakek (hlm. 8)

Sedari mudaku aku di sini, bukan ?. (hlm.10)

Latar Sosial

Di dalam latar ini umumnya menggambarkan keadaan masyarakat, kelompok-kelompok


sosial dan sikapnya, kebiasaannya, cara hidup, dan bahasa. Di dalam cerpen ini latar sosial
digambarkan sebagai berikut :

Dan di pelataran surau kiri itu akan tuan temui seorang tua yang biasanya duduk
disana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah
bertahun-tahun Ia sebagai Garim, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya
kakek (hlm. 7)

Dari contoh ini tampak latar sosial berdasarkan usia, pekerjaan, dan kebisaan atau cara hidupnya.
Namun demikian, contoh latar sosial yang menggambarkan kebiasaan yang lainnya yaitu :

Kalau Tuhan akan mau mengakui kehilapan Nya bagaimana ? suatu suara
melengking di dalam kelompok orang banyak itu.

Kita protes. Kita resolusikan, kata Haji Soleh.

cocok sekali, di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,
sebuah suara menyela.

Setuju. Setuju. Setuju. Mereka bersorak beramai-ramai (hlm. 13)

Kebiasaan ini tentunya mengisyaratkan kepada kita bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam dialog ini
(hlm.13), termasuk kelompok orang yang sangat kritis, vokal, dan berani. Karena kritik, vokalnya,
dan beraninya Dia sering menganggap enteng orang lain dan akhirnya terjebak dalam kesombongan.
Tokoh-tokoh ini menjadi sombong di hadapan Tuhannya padahal apa yang dilakukannya belum ada
apa-apanya. Perhatikan pada berikut ini.

Haji soleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama indah, Ia memulai pidatonya: O,Tuhan kami yang Mahabesar,
kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat
menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya

Akhirnya ada latar sosial lain yang digambarkan dalam cerpen ini meskipun hanya sepintas
saja gambaranya itu. Latar sosial ini menunjukkan bahwa salah satu tokoh dalam cerita ini termasuk
kedalam kelompok sosial pekerja. Datanya seperti ini.

Dan sekarang, tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan
Ajo Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, dan sekarang ke mana dia ?

Kerja

Kerja?tanyaku mengulangi hampa.

ya.Dia pergi kerja.

Alur (plot)

Alur menurut Suminto A. Sayuti (2000:31) diartikan sebagai peristiwa-peristiwa yang


diceritakan dengan panjang lebar dalam suatu rangkaian tertentu dan berdasarkan hubungan-
hubungan konsolitas itu memiliki struktur. Strukturnya itu terdiri dari tiga bagian, yaitu bagian awal,
bagian tengah, dan bagian akhir. Didalam cerpen ini, struktur plot itu dapat diuraikan seperti berikut.

Bagian Awal

Pada bagian awal cerita ini yang terdapat dalam cerpen ini terbagi atas dua bagian, yaitu
bagian eksposisi, yang menjelaskan/ memberitahukan informasi yang diperlukan dalam memahami
cerita. Dalam hal ini, eksposisi cerita dalam cerpen ini berupa penjelasan tentang keberadaan seorang
kakek yang menjadi garim di sebuah surau tua beberapa tahun yang lalu, seperti yang diungkapkan
pada data berikut :
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku . akan Tuan temui seorang
tua yang biasanya duduk di surau dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya
beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garim, penjaga surau itu. Orang-orang
memanggilnya kakek.

Sebagai penjaga surau, kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali sejumat. Sekali enam bulan Ia mendapat seperempat dari hasil
pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah
Id, tapi sebagai Garim ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena
Ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang
ia tidak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum (hlm. 7).

Dan yang kedua adalah sebagai instabilitas (ketidakstabilan), yaitu bagian yang didalamnya terdapat
keterbukaan.

Yang dimaksud di sini adalah cerita mulai bergerak dan terbuka dengan segala permasalahannya.
Perhatikan data berikut :

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu
tanpa penjaganya .

Jika Tuan datang sekarang hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya . (hlm.
8)

Berdasarkan data ini tampak jelas bahwa yang dimaksud cerita mulai bergerak dan tebuka
adalah karena informasi ini belum tuntas bahkan menimbulkan pertanyaan, mengapa si Kakek wafat
dan bagaimana hal itu bisa terjadi ? sehingga ketidakstabilan ini memunculkan suatu pengembangan
suatu cerita.

Bagian Tengah

Meskipun ketidakstabilan dalam cerita memunculkan suatu pengembangan cerita tetapi bagian
tengah tidak dimulai dari ketidakstabilan itu. Justru, bagian tengah dimulai dengan jawaban atas
pertanyaan yang muncul, seperti yang disebutkan dalam bagian awal. Jawaban itu sedikitnya
menggambarkan suatu konplik, bahwa si Kakek wafat karena dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. Data untuk ini seperti berikut:

Dan biang keladi dari kecerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal
kebenarannya. (hlm . 8)

Data konflik ini kemudian diperkuat dengan pemunculan tokoh alur yang berniat hendak mengupah si
Kakek. Akan tetapi begitu tokoh atau bertemu dengan si Kakek suasananya sangat tidak diharapkan.

Kakek begitu muram. Di sudut benar dia duduk dengan lututnya menegak menopang
tangan dan dagunya. Pandangannya sayu kedepan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk
pikirannya. Sebuah blek susu yang berisi minyak kelapa sebuah asahan halus, kulit sol
panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. (hlm. 8)

Rupanya si Kakek sedang dicekam konplik


Konplik ini berkembang menjadi konplikasi manakala tokoh aku menanyakan sesuatu yang
berupa pisau kepada si Kakek. Penyebab munculnya konplikasi ini bukan karena pisau itu melainkan
pemilih pisau itu. Hal ini terbukti ketika si Kakek menyebutkan nama pemilik pisau itu, dia begitu
geramnya bahkan mengancam.

Kurang ajar dia. Kakek menjawab.

Kenapa ?

Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggorok tenggorokannya.
(hlm. 9)

Kemarahannya ini demikian hebat, makanya dia mau saja melepaskan kekesalannya dengan
menceritakan apa yang dilakukan Ajo Sidi terhadapnya di hadapan tokohaku. Dia bercerita karena
desakan dari dalam batinnya.

Begitu kuat dan hebat. Dia sendiri tak mampu menahannya untuk menyembunyikan apa yang
diceritakan Ajo Sidi. Namun, segala apa yang diungkapkannya di depan tokoh Aku ini tidak membuatnya
merasa ringan. Bahkan mungkin semakin berat dan menekan dada dan batinnya. Akibatnya, klimaks
kekecewaan si Kakek berakhir dengan cara yang tragis. Dia nekat membunuh dirinya sendiri dengan
cara menggorok lehernya.

Bagian Akhir

Bagian terakhir cerita ini ternyata menarik. Menarik karena adanya kejutan (surprise). Kejutannya itu
terletak pemecahan masalahnya, yaitu ketika orang-orang terkejut mendapatkan si Kakek garin itu
meninggal dengan cara mengenaskan, justru Ajo Sidi menganggap hal itu biasa saja bahkan dia
berusaha untuk membelikan kain kafan meskipun hal ini dia pesankan melalui istrinya. Data berikut
menggambarkan hal ini.

Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
Ia sudah pergi, jawab istri Ajo Sidi.

Tidak ia tahu Kakek meninggal ?

Sudah. Dan ia meniggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.

Dan sekarang, tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo

Sidi yang tidak sedikitpun bertanggung jawab, dan sekarang ke mana Dia ?

Kerja.

Kerja ? Tanyaku mengulang hampa

Ya. Dia pergi kerja. (hlm. 16-17).

Penyelesaian yang penuh kejutan ini agaknya menyisakan pertanyaan, benarkah Ajo Sidi orang
yang tidak bertanggung jawab? Bukankah perilaku Ajo Sidi yang berusaha menyuruh istrrinya untuk
membeli kain kafan itu merupakan suatu bentuk tanggung jawab? Lalu di mana salahnya?
Jika struktur alurnya seperti di atas maka alur cerpen ini dikelompokkan ke dalam alur regresif
atau alur flash back (sorot balik). Dikatakan demikian karena benar-benar bertumpu pada kisah
sebelumnya, yang oleh tokoh Aku kisah itu diceritakan.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis.

Dan di ujung jalan itu nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Dan di pelataran kiri surau itu

akan Tuan temui seorang Tua. Orang-orang memanggilnya kakek Tapi kakek ini sudah tidak

ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah

dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya (hlm.7-8). Dan

besoknya, ketika Aku mau turun rumah pagi-pagi istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.

Siapa yang meninggal? Tanyaku kaget.

Kakek.

Kakek? (hlm.16).

Penokohan

Yang dimaksud dengan penokohan yakni bagaimana pengarang menampilkan perilaku tokoh-tokohnya
berikut wataknya. A.A. Navis menampilkan tokoh-tokohnya sebagai berikut.

a. Tokoh Aku

Tokoh ini begitu berperan dalam cerpen ini. Dari mulutnya kita bisa mendengar kisah si Kakek
yang membunuh dirinya dengan cara menggorok lehernya dengan pisau. Pengarang menggambarkan
tokoh ini sebagai orang yang ingin tahu perkara orang lain. Datanya seperti berikut.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi tidak
membuat bualan tentang kakek ? Dan bualan itukah yang mendurjakan kakek ? Aku ingin tahu.
Lalu aku tanya pada kakek lagi: Apa ceritanya, kek ?

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi
kakek : Bagaimana katanya, kek ?.(hlm.9).

Astaga. Ajo Sidi punya gara-gara, kataku seraya ceepat-ceepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang. Aku cari AjoSidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa sama istrinya saja. Lalu
aku tanya dia.(hlm.16).

b. Ajo Sidi

Tokoh ini sangat istimewa. Tidak banyak dimunculkan tetapi sangat menentukan
keberlangsungan cerita ini . Secara jelas tokoh ini disebut sebagai si tukang bual. Sebutan ini muncul
melalui mulut tokoh Aku. Menurut si tokoh Aku, Ajo Sidi disebutkan sebagai si tukang bual yang hebat
karena siapa pun yang mendengarnya pasti terpikat. Selain itu bualannya selalu mengena. Data untuk
ini seperti berikut.
.Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin
ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan
bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan
pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku
yang diceritakannya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang di sekitar kampungku yang
cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya.(hlm.8-9)

Dari data ini pula ternyata disebutkan pula bahwa Ajo Sidi orang yang cinta kerja.

c. Si Kakek

Tokoh ini agaknya menjadi tokoh sentral. Dia menjadi pusat cerita. Oleh si pengarang tokoh ini
digambarkan sebagai orang yang mudah dipengaruhi dan gampang mempercayai omongan orang,
pendek akal dan pikirannya, serta terlalu mementingkan diri sendiri dan lemah imannya.

Penggambaran watak seperti ini karena tokoh kakek mudah termakan cecrita Ajo Sidi. Padahal
yang namanya cerita tidak perlu ditanggapi serius tetapi bagi si kakek hal itu seperti menelanjangi
kehidupannya. Seandainya si kakek panjang akal dan pikirannya serta kuat imannya tidak mungkin ia
mudah termakan cerita Ajo Sidi. Dia bisa segera bertobat dan bersyukur kepada Tuhan sehingga dia
bisa membenahi hidup dan kehidupannya sesuai dengan perintah tuhannya. Tetapi sayang, dia segera
mengambil jalan pintas malah masuk ke pintu dosa yang lebih besar.

Sedangkan gambaran untuk tokoh si Kakek yang terlalu mementingkan diri sendiri digambarkan
melalui ucapanya sendiri, seperti data berikut:

Sedari mudaku aku di sini, bukan ? tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti

orang-orang lain, tahu? Tak terpikirkan hidupkusendiri(hlm.10).

d. Haji Saleh

Tokoh ini adalah ciptaan Ajo Sidi. Pemunculannya sengaja untuk mengejek atau menyindir
orang lain. Dengan begitu wataknya sudah dipersiapkan oleh penciptanya dan karena kemahirannya
Ajo Sidi tokoh ini demikian hidup. Secara jelas dan gamblang watak tokoh ini digambarkan sebagai
orang terlalu mementingkan diri sendiri.

6. Titik Pengisahan

Yang dimaksud dengan titik pengisahan yaitu kedudukan/posisi pengarang dalam cerita
tersebut. Maksudnya apakah, pengarang ikut terlibat langsung dalam cerita iu atau hanya sebagai
pengamat yang berdiri di luar cerita.

Di dalam cerpen Robonya Surau Kamii agaknya A.A. Navis memposisikan dirinya dalam cerita
ini sebagi tokoh utama atau akuan sertaan sebab secara langsung pengarang terlibat di dalam cerita
dan ini terasa pada bagian awal cerita.

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke Kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan

akan berhenti di dekat pasar.(hlm.7).


Sekali hari Aku datang pula mengupah pada kakek. Biasanya kakek gembira menerimaku,

karena aku suka memberinya uang.(hlm.8).

Akan tetapi, ketika si kakek bercerita tentang Haji Soleh di depan tokoh Aku, dan cerita ini

diperolehnya dari Ajo Sidi, maka pengarang sudah memposisikan dirinya sebagai tokoh bawahan.

Artinya, pengarang tetap melibatkan diri dalam cerita akan tetapi yang sebenarnya ia sedang

mengangkat tokoh utama atau berusaha ingin menceritakan tokoh utamanya. Di sini pengarang

tetap mengunakan kata Aku. Walaupun begitu kata Aku ini merupakan kata ganti orang pertama

pasif.

Engkau ?

Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.

lalu, setelah si Kakek menceritakan tentang Haji Saleh tokoh dongengan Ajo Sidi- ,pengarang

kembali ke posisi sebagai tokoh Aku seperti pada bagian awal cerita.

Gaya

Gaya merupakan sarana bercerita. Dengan demikian gaya biasa disebut sebagai cara

pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang atau sebagai cara pemakaian bahasa

spesifik oleh seorang pengarang. Jadi, gaya merupakan kemahiran seorang pengarang dalam

memilih dan menggunakan kata, kelompok kata, atau kalimat dan ungkapan.

Di dalam cerpen ini ternyata pengarang menggunakan kata-kata yang biasa digunakan

dalam bidang keagamaan (Islam), seperti garin, Allah Subhanau Wataala, Alhamdulillah,

Astagfirullah, Masya-Allah, Akhirat, Tawakal, dosa dan pahala, Surga, Tuhan, beribadat menyembah-

Mu, berdoa, menginsyafkan umat-Mu, hamba-Mu, kitab-Mu, Malaikat, neraka, haji, Syekh, dan

Surau serta fitrah Id, juga Sedekah.


Selain ini, pengarang pun menggunakan pula simbol dan majas. Simbol yang terdapat dalam

cerpen ini tampak jelas pula judulnya, yakni Robohnya Surau Kami. Suaru di sini merupakan simbol

kesucian, keyakinan. Jadi, melalui simbol ini sebenarnya pengarang ingin mengingatkan kepada

pembaca bahwa kesucian hati atau keyakinan kita terhadap Tuhan dan agamanya sudah roboh.

Sebab, cukup banyak tokoh-tokoh kita dari berbagai kalangan tidak lagi suci hatinya. Mereka sudah

menggadaikannya dengan kedudukan, jabatan, dan pangkat. Mereka tenggelam dalam Korupsi,

Kolusi, dan Nepotisme (KKN) dan keegoismeannya. Bahkan ada pula yang keyakinannya terhadap

Tuhan dan agamanya terlibat luntur-pudar. Mereka ini tidak hanya tenggelam dalam KKN dan

egoisme tetapi juga tenggelam dalam kemunafikan dan maksiat serta dibakar emosi dan dendam

demi keakuan dirinya dan kelompoknya.

Sedangkan majas yang digunakan dalam cerpen ini di antaranya majas alegori karena di

dalam cerita ini cara berceritanya menggunakan lambang, yakni tokoh Haji Saleh dan kehidupan di

akhirat, atau lebih tepatnya menggunakan majas parabel (majas ini merupakan bagian dari majas

alegori) karena majas ini berisi ajaran agama, moral atau suatu kebenaran umum dengan

mengunakan ibarat. Majas ini sangat dominan dalam cerpen ini

Selain majas alegori atau parabol, pengarang pun menggunakan majas Sinisme seperti yang

diucapkan tokoh aku: Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak

hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi (hlm.8). Inilah sebuah kritik untuk masyarakat kita

sekarang ini. Dengan demikian penggunaan majas-majas itu untuk mengingatkan atau menasehati

sekaligus mengejek pembaca atau masyarakat. Nasehat dan ejekannya itu ternyata berhasil.

Buktinya, ketika cerpen ini diterbitkan tidak lama kemudian cerpen ini mendapat tempat di hati

pembacanya dan masih terus dibicarakan hingga kini.

Cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di

Kelas.

Cerpen sebagai salah satu karya sastra jelas dapat memberikan manfaat seperti layaknya

karya sastra yang lain. Manfaatnya selain memberikan kenikmatan dan hiburan, dia juga dapat

mengembangkan imajinasi, memberikan pengalaman pengganti, mengembangkan pengertian


perilaku manusia dan dapat menyuguhkan pengalaman yang universal. Oleh karena itu dapat

memberikan manfaat, maka sewajarnya sebuah cerpen dapat dijadikan bahan/materi pembelajaran

sastra di kelas. Pemilihan dan penetapan cerpen sebagai bahan/materi pembelajaran tentunya harus

mengikuti kriteria yang sudah ditetapkan secara umum yaitu:

a. Dilihat dari segi bahasanya, cerpen ini jelas menggunakan bahasa yang bisa dipahami pembaca orang

Indonesia, yaitu bahasa Indonesia. Tidak hanya ini, gaya bahasanya pun menarik dan pilihan

katanya pun dapat memperkaya kosa kata siswa dalam hal bidang keagamaan.

b. Latar belakang budaya yang ditampilkan pun masih terasa umum. Jadi, siapa pun (baik yang

beragama Islam, kristen, Hindu,maupun Budha) bisa dengan mudah memahaminya dan tidak

menimbulkan pertentangan yang mendasar. Meskipun di dalamnya terdapat kosa kata islami, hal

ini tidaklah menggangu bahkan akan menarik jika siswa membandingkan dengan kosa kata non-

Islam yang sejenis.

Berdasarkan kriteria-kritera inilah kiranya cerpen ini sangat sesuai dan tepat bila dijadikan bahan

ajar untuk pembelajaran sastra di kelas I dan II, apalagi di kelas III SMU. Selain itu, akan lebih

menarik lagi jika gurunya pun aktif-kreatif ketika membelajarkan siswanya dalam menelaah cerpen

tersebut. Namun demikian, agar pembelajaran sastra dengan bahan cerpen itu menarik dan lancar,

guru dan siswanya pun haruslah sama-sama membaca cerpen itu lebih dari satu kali dan jangan

coba-coba membaca ringkasannya.

BAB III

Synopsis

Semua orang memanggilnya Ompi. Ompi adalah orang kaya, ia punya seorang anak laki-laki
bernama Edward. Karena suatu hal, Ompi mengganti nama anaknya menjadi Ismail. Ompi
mengganti nama anaknya lagi menjadi Indra Budiman, tapi anaknya memilih nama Eddy. Ompi
jengkel, tetapi karena sayang kepada anak satu-satunya itu, Ompi menyetujui nama Eddy tetapi
nama belakangnya Indra Budiman. Ompi menginginkan nama depan untuk anaknya, yaitu dokter.
Ompi berangan-angan anaknya menjadi seorang dokter.
Indra Budiman pergi ke Jakarta. Semenjak itu, Ompi yakin bahwa anaknya akan menjadi
seorang dokter. Dan benarlah. Setiap semester Indra Budiman mengirim rapor dengan nilai-nilai
yang baik. Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitahukan kemajuannya, Ompi
berlinang air mata. Ompi akan melakukan dan membayar sebanyak apa pun agar sang anak
menjadi dokter.
Semenjak itu, Ompi tidak sabar menunggu anaknya menjadi dokter. Semua orang tahu itu
adalah cita-cita Ompi yang hanya akan menjadi mimpi. Indra Budiman selama ini berbohong
kepada Ompi. Ompi tidak percaya dengan omongan orang-orang tentang anaknya. Ia terus
mengirim banyak uang tanpa memikirkan akibatnya hanya untuk menentang omongan orang
tentang anaknya. Ompi terus mengirimi anaknya surat. Orang-orang menjadi kasihan kepada
Ompi. Mereka tidak lagi membicarakan hal buruk tentang Indra Budiman di depan Ompi.
Ompi berfikir ini adalah saat yang tepat untuk anaknya bertunangan. Tetapi banyak gadis
yang menikah tanpa mempedulikan Indra Budiman. Ompi menjadi benci kepada orang-orang yang
mempunyai anak gadis itu. Ompi berbohong kepada Indra Budiman dengan mengirimi surat
bahwa banyak gadis yang melamar Indra Budiman tetapi ditolak oleh Ompi. Indra Budiman
percaya kepada Ompi dan menyuruh Ompi untuk mengirimkan foto gadis-gadis itu. Ompi menjadi
cemas karena takut kalau ketahuan oleh Indra Budiman.
Kecemasan Ompi mereda karena Indra Budiman tidak mengirim surat, tetapi Ompi juga
gelisah karena suratnya tidak dibalas. Sudah beberapa bulan Ompi menunggu surat balasan dari
Indra budiman tapi tak datang juga. Ompi putus asa. Saat itu juga Pak Pos datang membawa
tumpukan surat Ompi yang dikembalikan. Ompi jatuh sakit. Kini dalam hidupnya, Ompi hanya
menunggu satu hal, yaitu surat dari anaknya, Indra Budiman. Setiap hari Ompi menengok jendela
menunggu Pak Pos mengantar surat dari Indra Budiman, tapi hal itu tidak pernah terjadi.
Hingga pada suatu hari, Pak Pos datang mengirimkan surat yang berisi bahwa Indra
Budiman sudah meninggal. Ompi tidak sanggup membaca dan mendengar isi surat itu karena ia
tidak mau mati lemas karena bahagia mendapat surat dari anaknya. Didekap dan diciumnya surat
dari Indra Budiman itu.

Unsur Intrinsik
Tema : Harapan orang tua kepada anak
Alur : Maju
Sudut Pandang : Orang pertama pelaku sampingan
Ompi terduduk di kursi. Matanya cemerlang memandang. tangannya diulurkannya kepadaku
meminta telegram itu. Aku merasa ngeri memberikannya. Tapi aku tak bisa berbuat lain. Telegram
itu kusodorkan ke tangannya. Telegram itu digenggamnya erat. Lalu didekapnya di dadanya.
Datang juga apa yang ku nantikan, katanya.
Latar Tempat
1. Di teras rumah Ompi
Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Tergesa-gesa aku menyongsong Pak Pos itu ke
ambang pintu
2. Di kamar Ompi
Dan ia telentang di ranjangnya, enggan bergerak.
Ia kini menanti dengan telentang di ranjangnya. Sebuah kaca disuruhnya supaya di pasang pada
dinding yang dapat memberi pantulan ke ambang pintu depan.
Latar Waktu
1. Siang hari
Kulihat Pak Pos memasuki halaman rumah Ompi. Hari waktu itu jam sebelas siang.
Latar Suasana
1. Menyenangkan
Ketika Ompi membaca surat anaknya yang memberitakan kemajuannya itu, air mata Ompi
berlinang kegembiraan.
Tak usah dibacakan. Takkan sanggup aku mendengarnya. Aku akan mati lemas oleh
kebahagiaan yang datang bergulung ini
Dan telegram itu dibawa ke bibirnya. Diciumnya dengan mesra. Lama diciumnya seraya matanya
memincing.
2. Menyedihkan
Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku,
bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah
meninggal.
Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal
jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat.
3. Mengharukan / mengenaskan
Semenjak itu segalanya jadi tak baik. Ia jatuh sakit, bahkan sampai mengigau. Dan oleh seleranya
yang patah, Ompi bertambah menderita juga. Lahir dan batin.
Namun kemalangan itu bertambah lagi. Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu
dan memapahnya ke ranjangnya di kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti
di ambang pintu setiap sore.
4. Mengesankan / menakjubkan
Gemetar kaki Ompi mendukung tubuhnya yang kisut. Tangannya berpegang pada sandaran kursi.
Dan aku kehilangan kepercayaan pada pandangan mataku sendiri. Kekuatan apakah yang
menyebabkan Ompi bisa berdiri dan bahkan berjalan itu. Aku tak tahu.
5. Menegangkan
Dan pada telegram itu pastilah bertengger saat-saat kritis sekali. Tergesa-gesa aku menyongsong
Pak Pos itu ke ambang pintu. Maksudku hendak membuka telegram itu untuk mengetahui isinya
lebih dulu.
Aku sobek sampul yang kuning muda itu dengan tangan yang menggigil. Sekilas saja tahulah aku,
bahwa saat yang paling kritis sudah sampai di puncaknya. Indra Budiman dikabarkan sudah
meninggal.
Tokoh
1. Ompi
2. Indra Budiman
3. Aku
Perwatakan
1. Ompi
a. Penyayang
Aku bangga, Anakku. Baik engkau jadi dokter. Karena orang lebih banyak memerlukanmu.
Dengan begitu kau disegani orang. Oooo, perkara uang? Mengapa tiga ribu, lima ribu akan ku
kirim, Anakku. Mengapa tidak?
Tapi karena sayang sama anak, ia terima juga nama itu, asal di tambah dibelakangnya dengan
Indra Budiman.
b. Sombong
Ah, aku merasa lebih berduka cita lagi, karena belum sanggup menghindarkan kemalangan ini.
Cpba kalau anakku, Indra Budiman, sudah jadi dokter, si mati ini akan pasti dapat tertolong,
katanya bila ada orang meninggal setelah lama menderita sakit.
Dan kalau Ompi melihat ada orang membuat rumah, lalu ia berkata, Ah, sayang. Rumah-rumah
orang kita masih kuno arsitekturnya. Coba kalau anakku, Indra Budiman, sudah menjadi insinyur,
pastilah ia akan membantu mereka membuat rumah yang lebih indah.
c. Suka berbohong
Kepada Indra Budiman tak dikatakannya kemarahannya itu. Malah sebaliknya. Dikatakannya,
banyak sudah orang yang punya gadis cantik datang meminang. Tapi semua telah ditolak.
Untuk membuktikan kebenaran suratnya, Ompi mengirimkan foto gadis yang kebetulan ada
padanya. Tidak peduli ia, apa foto itu gambar dari gadis yang sudah kawin atau bertunangan.
Bahkan juga tidak peduli ia apa gadis itu sudah meninggal.
d. Suka bermimpi
Pada suatu hari yang gilang gemilang, angan-angannya pasti menjadi kenyataan. Dia yakin itu,
bahwa Indra Budimannya akan mendapat nama tambahan dokter di muka namanya sekarang.
2. Indra Budiman
a. Suka berbohong
Tak teringat olehnya, bahwa bohongnya kepada ayahnya selama ini sudah diketahui oleh orang
kampungnya.
3. Aku
a. Baik hati
Semenjak itu, berganti-ganti orang aku menyediakan diriku selalu di dekat Ompi.
Itulah sebabnya tak kusampaikan kepadanya bahwa hari perkawinanku sudah berlangsung.
Karena aku takut berita itu akan menambah dalam penderitaannya.
Konflik
1. Batin
Tetapi alangkah remuknya hati orang tua itu, karena ternyata pengantar surat itu cuma
mengantarkan semua surat-suratnya yang dikembalikan.
Kini dalam hidupnya hanya satu hal yang dinantikannya. Yaitu surat. Surat dari Indra
Budimannya.
Kehadiran dokter itu menimbulkan risau hatinya karena ingat pada Indra Budiman yang bakal
jadi dokter, tapi tak pernah lagi mengiriminya surat.
2. Fisik
Yaitu ketika Ompi jatuh terduduk. Lama orang baru tahu dan memapahnya ke ranjangnya di
kamar. Ompi jadi lumpuh dan habislah sejarah Ompi menanti di ambang pintu setiap sore.
Amanat :
1. Janganlah menjadi orang yang sombong.
2. Jangan menjadi orang yang suka berbohong.
3. Jadilah orang yang baik dan suka menolong.
4. Jangan suka membuat orang tua kita khawatir.
5. Jadilah orang yang bisa membuat bangga orang tua.
6. Jangan menggunakan sesuatu yang baik untuk melakukan hal-hal yang tidak baik.
7. Berbaktilah kepada orang tua.
8. Jangan mensia-siakan pengorbanan orang tua untuk hal yang tidak baik.
9. Gapailah cita-citamu setinggi langit.
10. Belajarlah dengan giat untuk mencapai cita-cita.
Nilai Sastra
1. Budaya
Karena di kampung kami pihak perempuanlah yang datang meminang.
2. Pendidikan
Semenjak Indra Budiman berangkat ke Jakarta, Ompi bertambah yakin, bahwa setahun demi
setahun segala cita-citanya pasti tercapai. Dan benarlah. Ternyata setiap semester Indra Budiman
mengirim rapor sekolahnya dengan angka-angka yang baik sekali. Dan setiap tahun ia naik kelas.
Hanya dalam tempo dua tahun, Indra Budiman menamatkan pelajarannya di SMA seraya
mengantungi ijazah yang berangka baik.
3. Moral
Tapi Ompi tak mau mengerti. Sikap keangkuhannya mudah tersinggung. Dan bencinya bukan
kepalang kepada orang-orang tua yang mempunyai anak gadis cantik.

BAB IV

Ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya,
dengan penuh perhatian ia mendengarkan. Memang selamanya wajahnya kelihatan sungguh-
sungguh, bila setiap orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta sekedar nasihat yang
berharga. Sikapnya menyenangkan hati orang. Sedang rambut dan kumisnya yang lebat dan telah
putih seluruhnya itu, memberikan keyakinan dalam setiap hati yang dilanda kerisauan, bahwa dari
padanya saja nasihat yang paling baik memancar.
Nasihat orang tua itu selamanya berharga. Karena itu, setiap orang tak berani memulai
sesuatu sebelum diminta nasihatnya. Dan jikalau orang lupa meminta nasihat kepadanya, mereka
itu merasa berdosa sekali. Dan was-was timbul dalam hati. Namun demikian, biar orang lupa dan
tak butuh nasihatnya pun, ia mampu memperlihatkan kebesaran jiwanya. Cepat-cepat ia
memberikan nasihatnya. Dengan penuh kesungguhan dan dengan segala pertimbangan yang
sangat masuk akal.
Pada setiap perkumpulan namanya pastilah tecantum sebagai nasihat. Kalau tidak diminta,
ia sendiri akan menawarkan dirinya. Dan tak ada satu pun dari perkumpulan itu saling berlawanan
asas.
Dan ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan
kesulitannya demikian hilang akal, ia tidak tersenyum melecehkan. Segalanya dipandang berat,
walau kadang-kadang ia tahu soalnya adalah tetek-bengek saja.
Sebagaimana mestinya, orang tua itu tidak lantas meluncurkan nasihatnya yang kramat.
Lebih dulu ia lepaskan punggungnya kesandaran sofa dengan lelahnya. Diisapnya lagi
cangklongnya beberapa kali. Dan asapnya yang mengepul dari bawah hidung, dipandangnya
beberapa jurus. Seolah pada asap itu terlukis segala ilham nasihatnya.

Anak muda itu tidak bergerak dari sifatnya semula, meski ia gelisah benar oleh lambatnya orangtua
itu bicara.
Hasibuan merasa, bahwa ucapan orang tua itu seperti menuduhnya telah berbicara yang
bukan-bukan. Dan ia mau meyakinkan orang tua itu. Tapi sebelum ia selesai menyusun kalimat
yang hendak diucapkannya, orang itu berkata lagi. Katanya, Aku sudah tua. Sudah banyak
pengalaman. Aku sudah mengerti benar segala sifat dan fiil manusia. Bahkan dari setiap muka
seseorang aku dapat membaca segalanya. Tenang itu aku takkan silap. Percayalah.
Tentu saja kau tidak sadar. Karena aku masih terlalu muda. Belum banyak pengalaman.
Percayalah kepadaku, orang tua yang sudah banyak pengalaman ini. Gadis itu pasti gila. Nah,
nasihatku dalam hal ini, begini: Jauhi dia. Elakkan dia bila bertemu di jalan. Kalau bertemu juga,
jangan disahuti tegurannya. Mudah-mudahan, jika kauikuti nasihatku ini, insya Allah kau pasti
selamat. Dunia akhirat.
Hasibuan bertanya pada dirinya sendiri. Dapatkah ia mengikuti orang tua itu? Kemarin
gadis itu, yangsampai saat itu tak pula diketahui namanya, duduk disampingnya diatas bis.
Setelah omong-omong tentang hal-hah yang tidak berarti, tiba-tiba gadis itu menyandarkan
kepalanya ke bahunya.
Kemudian gadis yang tak hendak berpisah lagi dengan dia itu, ditumpangkannya ke rumah
seorang kenalannya di tepi kota. Dan pada gadis itu ia berjanji hendak menemuinya besok pagi.
Ketika pagi datang, sebelum ia menemuinya, lebih dulu ia bicara kepada orang tua itu
untuk meminta nasihatnya. Nasihat orang tua itu diikutinya. Jadi ia tak menemui gadis itu.
Namun gadis itu menemuinya di kantor. Ketika ia melihat gadis itu menangis kemudian hasibuan
mengantarkan kembali gadis itu ke rumah kenalannya . Orang tua itu begitu kecewanya. Di
pandangnya Hasibuan tenang-tenang, seperti hendak menaksir isi kepalanya.
Orang tua itu menyangka, setelah tiga hari berlalu persoalan Hasibuan beres sudah.menurut
sangkany, gadis itutelah kembali ke keluarganya. Atau sudah masuk rumah sakit gila. Tapi hari
keempat, Hasibuan pulang dari kantornya membawa kegugupan. Sangkanya, tentu anak muda itu
mendapat kesukaran lain yang berhubungan dengan pekerjaan kantornya saja. Ia menunggu anak
muda itu meminta nasihatnya yang berharga lagi. Tapi langkah jengkelnya dia, ketika Hasibuan
menceritakan kesukarannya itu mah berkisah padasoal gadis itu juga.
Bawa dia ke sini. Nanti aku dapat menyelesaikan kesukaranmu dengan mudah. Ikutilah
nasihatku. Nasihat orang tua yang telah banyak pengalaman ini. Gembira benar hati orang tua itu,
ketika Hasibuan membawa gadi itu ke rumahnya untuk diperkenalkan kepadanya.
Setelah ia menghidupkan api cangklongnya, orang tua itu meneruskan bicaranya.
Dengarlah nasihatku lagi. Nasihat orang tua banyak pengalaman ini. Nasihatku, kawini dia lekas.
Biarkan orang tuanya meminangkau, seperti adat Minangkabau, kata orang tua itu.
keluarganya sudah datang kepadaku.
Tiba-tiba orang tua itu seperti kena listrik. Ia merasa seolah-olah telah dilampaui begitu
saja. Tepi pikirannya kemudian, barangkali Hasibuan belum memberi putusan kepada keluarga
gadis itu. Tak percaya ia, bahwa Hasibuan akan memutuskan begitu saja tanpa meminta
nasihatnya.
3.1.2 Analisis unsur intrinsik Cerpen Nasihat-nasihat karya A.A Navis
3.1.2.1 Tema
cerpen nasihat-nasihat karya A.A Navis ini bertemakan kungkungan adat dalam masyarakat,
bahwa kebiasaan anak muda yang meminta nasihat kepada orang tua agar hidupnya mampu
berjalan dengan baik. Terlihat dari kutipan cerpen bahwa Hasibuan seorang pemuda yang sedang
mengalami masalah meminta nasihat kepada orang tua.
Kutipan :
dan ketika, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya demikian
hilang akal. (Navis,1986 :28)
sebagaimana mestinya, orang tua itu tidak lantas meluncurkan nasihatnya yang kramat. (Navis,
1986:28)
3.1.2.2 Cerita
Ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan
penuh perhatian ia mendengarkan. Memang selamanya wajahnya kelihatan sungguh-sungguh,
bila setiap orang mengemukakan kesulitannya untuk meminta sekedar nasihat yang berharga.
Sebagaimana mestinya, orang tua itu tidak lantas meluncurkan nasihatnya yang kramat. Lebih dulu
ia lepaskan punggungnya kesandaran sofa dengan lelahnya. Diisapnya lagi cangklongnya
beberapa kali. Dan asapnya yang mengepul dari bawah hidung, dipandangnya beberapa jurus.
Seolah pada asap itu terlukis segala ilham nasihatnya.
3.1.2.3 Alur
Alur pada cerpen nasihat-nasihat karya A.A Navis menggunakan alur maju, terlihat ketika
Haibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya, dengan penuh
perhatian ia mendengarkan. Kemudian ceritanya berjalan hingga ke tahap penyelesaian masalah
terlihat ketika Hasibuan akan menikahi gadis itu.
- Situasi
ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamardepan menceritakan kesulitannya.
(Navis, 1986:27)
- Pemunculan konflik
coba kau bayangkan kembali, seorang gadis desa yang seharusnya pemal, tahu adat, sopan,
duduk disamping seorang laki-laki tak dikenal diatas bis. (Navis,1986:29)
- Klimaks
Tapi alangkah jengkelnya dia, ketika Hasibuan menceritakan kesukarannya itu masih berkisar
pada soal gadis itu juga.
- Penyelesaian
nasihat orang tua yang telah banyak pengalaman ini. Bawa dia besok, ya. (Navis, 1986:38)
nasihatku, kawini dia lekas. Jangan tunggu lama. (Navis, 1986:39)
3.1.2.4 Tokoh
3.1.2.4.1 Hasibuan
- Orang yang mudah putus asa
itulah semua, ujar hasibuan dengan nada putus asa. (navis,1986 :28)
- Suka menolong
malah kuberi dia ongkos. (Navis,1986:31)
- Kurang pendirian
tak aku temui dia. (Navis, 1986:30)
Aku antarkan dia kembali kerumah kenalanku itu. (Navis,1986 :31)
3.1.2.4.2 Orang tua
- Selalu memberikan nasihat yang berharga

nasihat orangtua itu selamanya berharga. (Navis,1986 :27)


- Orang yang selalu menyenangkan hati orang
sikapnya ini menyenangkan hati orang. (navis,1986 :27)
orang tua itu memanglah merupakan orang tua yang paling menyenangkan. (Navis, 1986:38)
- Bijaksana
ini memang sulit, katanya dengan pasti. apabila kau betul-betul menurutkan nasihatku, tidaklah
akan sulit benar. Mudah benar mengatasinya. (Navis, 1986 :28)
Aku sudah tua. Sudah banyak pengalaman. Aku sudah tua. Sudah banyak pengalaman.
(Navis,1986:29)
3.1.2.4.3 Gadis desa
- Tegas
. dan gadis itu menjawab dengan tegas, ke mana abang, ke sana aku.
- Baik
.Anak baik dia ini. (Navis,1986:39)
3.1.2.5 Latar
3.1.2.5.1 Latar Tempat
- kamar depan
ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamar depan menceritakan kesulitannya.
(Navis, 1986:27)
- di atas bis
kemarin gadisitu yang sampai saat itu tak pula diketahui namanya, duduk di sampingnya di atas
bis. (Navis,1986 :30)
- kantor
Ya. Ketika pesuruh kantor memberi tahu. (Navis, 1986:31)
- tepi kota
...ditumpangkannya ke rumah seorang kenalannya di tepi kota. (Navis, 1986:30)
- rumah
aku bawa dia kembalike rumah kenalanku itu. (Navis, 1986:31)
- padang
ia pergi ke Padang. (Navis, 1986:32)
dia lari ke Padang. (Navis,1986 :33)
- minangkabau
di negeri minangkabau. (Navis,1986 :32)
- ruang tamu
dan ketika ia sedang bedua saja di ruang tamu. (Navis, 1986:38)
3.1.2.5.2 Latar Waktu
- pagi
ketika pagi datang. (Navis,1986 :30)
- jam sembilan
tapi, Pak, jam Sembilan tadi.(Navis, 1986:30)
- malam
karena hari sudah malam. (Navis,1986 :31)
3.1.2.5.3 Latar Suasana
- malu
hingga semua orangdi kantor jadi tahu persoalanku. Aku malu sekali. (Navis, 1986:31)
- sedih
ibunya sudah lama mati. Ketika ia masih kecil benar. Lalu ayahnya kawin lagi. Tiga tahun yang
lalu ayahnya meninggal pula. (Navis, 1986:32)
- gelisah
kegelisahan itu dilihatnya. Lalu ia berkata lagi meluncurkan nasihatnya: Ah, tak usah gelisah,
ikutilah nasihatku. (Navis, 1986:37)
3.1.2.6 Sudut pandang
Menggunakan sudut pandang orang kedua.
ketika Hasibuan, anak muda yang menumpang di kamardepan menceritakan kesulitannya,
dengan penuh perhatian ia mendengarkan.(Navis, 1986:27)
ia mampu melihat kebesaran jiwanya. (Navis, 1986:27)
3.1.2.7 Bahasa
Bahasa yang diguanakan dalam cerpen nasihat-nasihat karya A.A Navis ini menggunakan bahasa
Indonesia (bahasa melayu)
dan ninik mamak-nya pastilah takkan membiarkan keponakannya hidup tersia-sia.
(Naavis, :32)
jika hilang bercari, jika tenggelam diselami. (Navis,1986 :32)
3.1.2.8 Gaya Bahasa
- Metafora
nah, ucapanmu itu, sudah menunjukan betapa mudamu. Mukamu, gerakmu, dapat aku baca,
seperti aku membaca Koran saja. (Navis, 1986:34)
pada air mukamu yang muda itu, dapataku baca semua. (Navis, 1986:38)
- Hiperbola
seolah pada asap itu terlukis segala ilham nasihatnya. (Navis, 1986:28)
- Pribahasa
sebagai orang tua yang telah banyak makan garam kehidupan.(Navis,1986:37)
3.1.2.9 Amanat
Kita harus selalu menghormati orang tua, harus selalu mendengarkan nasihat orang tua karena
nasihat orang tua itu selamanya berharga.
Dari cerita Hasibuan yang mendapat masalah dan meminta nasihat dari orang tua.
Namun ketika Hasibuan diminta untuk menikahi si gadis. Tanpa meminta pertimbangan dengan
orang tuannya Hasibuan setuju akan hal itu, karena ia pun sangat mencintai si gadis. Orang tuanya
merasa dilangkahi oleh Hasibuan dan tidak berkata apapun orang tuanya langsung masuk ke
kamar.
Dalam hal ini kita harus tahu bahwa kejujuran harus ditanamkan pada diri kita sendiri, karena
sesungguhnya itu menyangkut kehidupan kita bukan hanya sekarang namun sampai nanti.
Sebagai anak kita harus mengetahui hak dan kewajiban orang tua terhadap anaknya. Jangan hanya
mengandalkan keinginan diri sendiri sehingga melupakan dan tidak meminta nasihat kepada orang
tua dan baru minta nasihat setelah kalian melakukan hal itu. Ingat bahwa restu orang tua adalah
restu Allah jangan sampai kalian menyesal suatu saat.

Anda mungkin juga menyukai