Anda di halaman 1dari 4

Menerapkan teori/pendekatan psikologi sastra (khususnya mengenai pikiran, perasaan dan

emosi) dalam mengkritik semua cerpen Angkatan 66 .

SINOPSIS : Cerpen “Robohnya Surau Kami”

Bercerita tentang kisah tragis matinya seorang Kakek penjaga surau (masjid yang berukuran
kecil) di kota kelahiran tokoh utama cerpen itu. Dia—si Kakek, meninggal dengan menggorok
lehernya sendiri setelah mendapat cerita dari Ajo Sidi-si Pembual, tentang Haji Soleh yang
masuk neraka walaupun pekerjaan sehari-harinya beribadah di Masjid, persis yang dilakukan
oleh si Kakek. Haji Soleh dalam cerita Ajo Sidi adalah orang yang rajin beribadah, semua ibadah
dari A sampai Z ia laksanakan semua, dengan tekun.Tapi, saat “hari keputusan”, hari
ditentukannya manusia masuk surga atau neraka, Haji Soleh malah dimasukkan ke neraka. Haji
Soleh memprotes Tuhan, mungkin dia alpa pikirnya. Tapi, mana mungkin Tuhan alpa, maka
dijelaskanlah alasan dia masuk neraka, “kamu tinggal di tanah Indonesia yang mahakaya
raya,tapi, engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniyaya semua. Aku beri kau
negeri yang kaya raya, tetapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang.” Merasa tersindir dan tertekan oleh cerita Ajo
Sidi, Kakek memutuskan bunuh diri. Dan Ajo Sidi yang mengetahui kematian Kakek hanya
berpesan kepada istrinya untuk membelikan kain kafan tujuh lapis untuk Kakek, lalu pergi kerja.

Dalam cerita Ajo Sidi, Haji Saleh adalah seorang yang taat menjalankan agama. Pada saat
meninggal dunia, Haji Saleh serta orang-orang lainnya sedang menunggu giliran di akhirat untuk
menerima penghakiman Tuhan untuk dimasukkan ke neraka atau ke surga. Saat gilirannya tiba,
Haji Saleh tanpa rasa takut menjawab pertanyaan Tuhan tentang apa saja yang dilakukannya di
dunia pada masa hidupnya. Haji Saleh dengan percaya diri berkata bahwa pada saat ia hidup di
dunia, yang dilakukannya adalah memuji dan menyembah Tuhan, serta menjalankan ajaran
agama dengan taat. Namun, Tuhan tidak memasukkan Haji Saleh ke surga, melainkan ke neraka.

Di neraka, Haji Saleh bertemu juga dengan teman-temannya di dunia yang ibadahnya juga tidak
kurang dari dirinya, bahkan ada juga orang yang sampai bergelar syekh. Akhirnya, karena tidak
terima dengan keputusan Tuhan, orang-orang di neraka yang menganggap dirinya tidak pantas
dimasukkan ke neraka itu melakukan aksi unjuk rasa kepada Tuhan. Haji Saleh yang menjadi
pemimpin dan pembicara bagi mereka. Sekali lagi, Tuhan menanyakan kepada mereka apa yang
telah mereka lakukan di dunia.

Mereka menjawab bahwa mereka semua adalah warga negara Indonesia yang taat beragama dan
negaranya sangat kaya akan sumber daya alam, namun hasilnya sering di ambil oleh pihak asing.
Lalu Tuhan menjawab kepada mereka, bahwa mereka semua hanya mementingkan diri mereka
sendiri, karena selama hidup mereka hanya berdoa dan menyembah-Nya, tetapi tidak
mempedulikan keadaan sekitar, sehingga banyak kekayaan negara mereka sendiri yang diambil
oleh pihak asing, sedangkan anak cucu mereka sendiri hidupnya kekurangan.
Dari cerita Ajo Sidi itu, mungkin kakek penjaga surau itu merasa tersinggung dan terpukul.
Karena selama hidupnya, kakek itu hanya menyembah dan memuji Tuhan, sampai-sampai tidak
memiliki istri serta anak cucu. Kakek itu kemudian merasa marah dan tertekan lalu akhirnya
memutuskan untuk bunuh diri.

Sebenarnya dari sinopsis di atas kita telah dapat menangkap secara jelas tema cerita dari
“Robohnya Surau Kami” ini. Tema dari cerita ini adalah hidup yang dikehendaki Tuhan. Hidup
yang dikehendaki Tuhan bukan saja hidup dengan menyembah dan memuji nama-Nya terus
menerus dan menjalankan perintah agama dengan baik, melainkan juga hidup yang peka dengan
keadaan sekitar. Karena beribadah saja tidaklah cukup. Beribadah harus dibarengi dengan kerja
keras dan peduli akan keadaan sekitar khususnya anak cucu, keluarga, serta semua orang di
sekitar kita.

Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa menyembah dan memuji Tuhan serta nenjalankan
ajaran agama dengan taat bukanlah hal yang salah. Namun, terkadang manusia menjalankan
ibadah dengan baik hanya supaya dirinya dapat masuk ke surga pada saat ia meninggal dunia.
Hal tersebut sebenarnya adalah pemikiran yang sangat egois, dan dalam cerita “Robohnya Surau
Kami” ini, Tuhan tidak suka akan manusia yang hidupnya hanya mementingkan diri sendiri.
“Imbangilah ibadahmu yang baik dengan kerja keras untuk menyejahterakan hidupmu serta
hidup keluarga, saudara, dan semua orang disekitarmu”, mungkin itulah pesan yang ingin
disampaiakan oleh penulis melalui cerpen “Robohnya Surau Kami” ini.

Cerpen karya A.A. Navis ini bersetting tempat di sebuah desa kecil, dimana dalam desa tersebut
terdapat sebuah surau yang awalnya sangat teduh dan nyaman untuk beribadah, namun kini
menjadi sangat usang karena telah ditinggalkan oleh sang penjaga surau. Keusangan surau itu
melambangkan kemasabodohan manusia yang tidak mau lagi memelihara apa  yang tidak dijaga
lagi, seperti dalam kutipan cerpen berikut:

“Jika tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian
yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak
berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat
masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.”

Selain itu, cerpen ini juga bersetting tempat di akhirat dan neraka. Akhirat adalah tempat dimana
Haji Saleh menunggu gilirannya untuk diadili Tuhan dalam cerita Ajo Sidi. Dan neraka adalah
tempat bertemunya Haji Saleh dengan orang-orang yang taat beribadah lainnya, sehingga mereka
melakukan unjuk rasa kepada Tuhan karena merasa tidak terima diri mereka dimasukkan ke
neraka. Dari segi penokohan, cerpen ini memuat tokoh-tokoh yang cukup sederhana namun
dapat menunjukkan kekuatan dan ciri karakter tokohnya masing-masing. Terdapat empat tokoh
yang muncul dalam cerpen ini, yaitu kakek, aku, Ajo Sidi, Haji Saleh, istri tokoh aku, dan istri
Ajo Sidi. Kakek adalah tokoh utama (protagonis) dalam cerpen ini. Tokoh kakek digambarkan
sebagai seorang tua penjaga surau yang sangat taat dalam menjalankan ajaran agama. Ia
memberikan seluruh hidupnya hanya untuk beribadah dan menjaga surau tersebut. Kakek adalah
orang yang sangat sederhana dan tidak pernah hidup berlebihan. Kehidupannya hanya ditopang
dengan pemberian sukarela dari penduduk setempat ataupun yang berkunjung ke surau yang
dijaganya itu. Namun sayang, tokoh kakek memiliki kondisi psikologis yang kurang kuat. Saat
Ajo Sidi menceritakan cerita tentang Haji Saleh, tokoh kakek langsung hancur keteguhan
hatinya. Kakek merasa bahwa semua yang dikorbankannya dalam hidupnya hanya untuk
beribadah, menurut cerita Ajo Sidi, semuanya tidaklah benar-benar sesuai dengan kehendak
Tuhan. Tokoh kakek yang merasa semua pengorbanannya tidak berguna, merasa marah kepada
Ajo Sidi, walaupun kakek menyangkalnya saat ditanya oleh tokoh aku. Namun menurut saya
sendiri, tokoh kakek sebenarnya marah kepada dirinya sendiri, karena ia ternyata telah salah.
Kakek mengorbankan hidupnya untuk sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu dikehendaki oleh
Tuhan. Sehingga akhirnya kakek memutuskan untuk bunuh diri.

Selanjutnya, terdapat tokoh aku yang berkedudukan sebagai deutragonis (tokoh yang berpihak
pada protagonis). Tokoh aku ini memiliki kepribadian yang menurut saya masih sangat kekanak-
kanakan. Ia memiliki rasa ingin tahu yang sangat besar dan masih cenderung mengikuti
emosinya saat bertindak dan berpikir, tanpa menimbang masak-masak mana yang seharusnya
dilakukan atau dan tidak dilakukan. Misalnya saat mendengar berita bahwa kakek telah
meninggal, tokoh aku secara emosional langsung menganggap bahwa Ajo Sidi-lah yang
bersalah, seperti terlihat dalam kutipan dialog antara berikut:

“Ya. Tadi subuh kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang sangat mengerikan
sekali. Ia menggorok lehernya sendiri dengan pisau cukur”

“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.

Tokoh selanjutnya yang muncul dalam cerita ini adalah Ajo Sidi. Ajo Sidi merupakan tokoh
antagonis dalam cerita ini. Ia yang menceritakan kisah tentang Haji Saleh yang membuat kakek
sangat terpukul dan akhirnya bunuh diri. Ajo Sidi sebenarnya memiliki watak yang baik, yakni
sering mengingatkan para tokoh masyarakat yang hidupnya dirasa kurang baik. Ajo Sidi suka
menyindir orang lain dengan menggunakan cerita-cerita perumpamaan. Banyak pula masyarakat
yang terpengaruh oleh ceritanya, karena dianggap sangat “mengena”.

Haji Saleh merupakan tokoh rekaan dari Ajo Sidi. Ajo Sidi menggunakan karakter Haji Saleh
untuk menggambarkan orang-orang yang telah merasa dirinya adalah orang yang sangat
dikehendaki oleh Tuhan, banyak pahala, dan telah melaksanakan semua ajaran agama dengan
taat. Hal itu membuat Haji Saleh bersikap sombong pada saat menunggu pengadilan Tuhan. Ia
mencibir kepada orang-orang yang dimasukkan ke neraka, dan melambai senang kepada orang
yang masuk ke surga. Padahal, dirinya sendiri dimasukkan ke neraka oleh Tuhan karena
hidupnya dianggap terlalu egois dan tidak memedulikan kesejahteraan orang-orang
disekelilingnya.

Tokoh selanjutnya yang terdapat dalam cerita ini adalah istri dari tokoh aku serta istri dari Ajo
Sidi. Namun, kehadiran dua tokoh itu tidak terlalu penting dalam cerita ini, karena kehadirannya
yang hanya sebagai pelengkap dan hanya muncul sebentar di dalam cerita ini, sehingga saya
tidak akan membahasnya. Selanjutnya cerita ini memiliki alur maju mundur. Hal ini terjadi
karena dipertengahan cerita, tokoh kakek menceritakan kembali tentang kejadian Ajo Sidi yang
bercerita tentang Haji Saleh.
Pertimbangan baik buruknya pikiran, perasaan dan emosi dalam cerpen tersebut menurut Anda?

Cerpen “Robohnya Surau Kami” karya A.A. Navis selama ini lebih dikenal sebagai karya
yang berlatarkan religiusitas. Dewasa ini, topik tentang karya sastra dengan nuansa
keagamaan yang kental menjadi salah satu isu yang digemari khalayak luas, terutama
berkenaan dengan merenggangnya ikatan toleransi antarwarga Indonesia. Agama dapat
menawarkan keteduhan bagi orang-orang yang tak mampu secara ekonomi dan politik
serta tak memiliki perwakilan atau kuasa dalam meraih keadilan. Bagi orang kaya urban
yang kritis terhadap status quo, agama dapat berperan sebagai titik berangkat bagi
pembangkangan ketika seluruh jalur yang sah untuk politik resmi sudah ditutup. Bagi
mereka yang sedang berkuasa, dikelilingi oleh kemiskinan, korupsi, dan kekerasan yang
disponsori oleh negara, ketakwaan dapat membantu memulihkan kecemasan tentang status
mereka, mengurangi rasa bersalah, atau menetralkan persepsi publik tentang kerakusan
mereka. Lambat laun, hal ini dikenal sebagai identitas religiusitas yang tercermin dalam
berbagai produk kehidupan manusia, salah satunya karya sastra.

Robohnya Surau Kami yang termasuk novel lama dapat dikatakan menggunakan kembali
otonomi artistiknya dari dogma teori representasi realistis untuk menitikberatkan aspek
historisasi dan kontekstualisasi. Robohnya Surau Kami, sesuai pandangan Hutcheon
(1988:53), secara paradoks menggunakan dan menyalahgunakan konvensi realisme dan
modernisme untuk menantang transparansi mereka dan untuk mencegah penyingkapan terhadap
kontradiksi yang membuatnya menjadi fiksi posmodern sebagaimana adanya: historis dan
metafiksi, kontekstual dan refleksi diri, selalu menyadari statusnya sebagai wacana, dan
sebagai konstruksi manusia.

Pendekatan moral :

Cerita ini dikemas secara sederhana, tetapi penuh makna dan kritik atas kehidupan manusia pada
jaman modern ini. Di mana manusia berlomba-lomba untuk memnuhi kepentingannya sendiri,
bahkan dalam masalah agama. Manusia menjalankan agamanya dengan baik dan taat hanya agar
dirinya dapat masuk surga. Manusia memuji Tuhannya tidak lagi dengan hati yang tulus karena
mencintai-Nya, melainkan hanya agar memperoleh pahala dan semakin mudah jalannya untuk
masuk ke surga. Sangat mengenaskan dan memprihatinkan memang, tapi itulah kenyataan pada
masa kini yang berhasil ditangkap oleh A.A. Navis dan dituangkankannya ke dalam cerita ini.

Anda mungkin juga menyukai