Anda di halaman 1dari 6

ANALISIS PSIKOLOGI TOKOH KAKEK DALAM CERPEN ROBOHNYA

SURAU KAMI
Sinopsis
Robohnya Surau Kami
Di sebuah desa, hidup seorang kakek tua yang tinggal di surau desa.
Sudah bertahun-tahun dia tinggal di surau itu sebagai penjaga surau.
Karena hidup sebatang kara, dia harus menggantungkan hidupnya dari
upah mengasah pisau. Biasanya masyarakat yang meminta bantuannya
mengasah pisau akan memberinya rokok ataupun sedikit uang. Tidak
sedikit juga yang hanya memberinya ucapan terima kasih dan segaris
senyuman. Enam bulan sekali dia mendapatkan ikan hasil pemunggahan
dari kolam ikan mas yang ada di depan surau, selain itu setahun sekali ia
mendapatkan fitrah Id dari orang-orang yang tinggal di sekitarnya. Dia
memiliki keyakinan bahwa materi bukanlah segala-galanya dan dia
berpikir lebih baik ia memikirkan kehidupan nanti di akhirat dari pada
kehidupan sekarang di dunia. Kakek tersebut taat beribadah sampaisampai melupakan semua kebutuhan duniawinya.
Suatu hari Ajo Sidi menemui Kakek di surau. Ajo Sidi dikenal sebagai
seorang pembual desa yang sering menceritakan kisah-kisah yang pelakupelaku dalam kisah tersebut adalah orang-orang yang menurutnya
mempunyai kesamaan perilaku dengan tokoh yang ada di dalam kisah
karangannya. Biasanya Ajo Sidi akan menceritakan kisah yang sifatnya
menghina orang yang sedang ia ajak bicara. Namun kelebihan yang dia
miliki adalah, dia merupakan orang yang suka bekerja keras karena
hampir sepanjang waktunya dia habiskan untuk bekerja. Ajo Sidi
menceritakan kisah tentang Haji Saleh, seorang alim yang seumur
hidupnya dia habiskan untuk ibadah namun di akhirat Haji Saleh tetap
saja masuk ke neraka. Dalam cerita karangan Ajo Sidi, Tuhan marah
kepada Haji Saleh karena dia terlalu egois sehingga mengabaikan
kebutuhan keluarganya di dunia karena terlalu sibuk mengejar kehidupan

indah di surga nantinya. Kakek merasa marah dan tersinggung karena


cerita Ajo Sidi, tidak hanya itu, Kakek juga jadi pendiam dan kelihatan
murung setelah pertemuannya dengan Ajo Sidi. Di Surau yang merupakan
tempat tinggalnya itu Kakek hanya duduk dan termenung memikirkan
cerita yang beberapa hari lalu didengarnya itu. Entah bagaimana Kakek
merasa bersalah dan sangat berdosa, hingga pada suatu hari Kakek
ditemukan telah mati bunuh diri di surau. Dia menggorok lehernya
menggunakan pisau yang sebelumnya dia tujukan untuk menggorok leher
Ajo Sidi demi melampiaskan kemarahannya. Ketika Ajo Sidi dicari untuk
dimintai pertanggung jawabannya, Ajo Sidi malah tidak ada di rumahnya
karena dia sedang pergi bekerja seperti biasanya. Dia hanya menitipkan
pesan pada istrinya untuk membelikan tujuh lapis kain kafan untuk Kakek.

Analisis Psikologi Tokoh Kakek


Cerpen Robohnya Surau Kami merupakan sebuah cerpen bertemakan
religius yang menampilkan sifat-sifat dominan dalam diri tokoh utama
yaitu Kakek. Cerpen tersebut mengungkapkan konflik batin yang dialami
Kakek. Kakek adalah orang yang taat beribadah, dan suka menolong
tanpa mengharapkan imbalan. Namun sifat yang seperti itu seketika
berubah setelah Kakek mendengar cerita bualan Ajo Sidi. Kakek menjadi
durja, penuh dendam/kemarahan, dan mengalami kegelisahan serta
keputusasaan karena ia merasa perbuatannya selama ini sia-sia.
Berikut kutipannya :
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira
menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek
begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak
menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolaholah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu
yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan
pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku

melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya
seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau
itu. Dan aku tanya Kakek, Pisau siapa, Kek?
Ajo Sidi.
Ajo Sidi?
Dalam kutipan diatas jelas sekali terlihat kemarahan Kakek yang luar
biasa bergejolak dalam pikirannya. Kemarahan Kakek ditunjukkan dengan
raut muka yang muram, pandangan sayu dan tingkah prilaku Kakek yang
duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Kakek
juga tidak menjawab salam dari tokoh Aku seperti biasanya.
Kemudian Kakek meluapkan kemarahannya dengan kata-kata yang
lebih panjang. Dia menceritakan apa yang alaminya pada tokoh Aku.
Dalam hal ini tokoh Aku menjadi tempat Kakek dalam mengungkapkan
dan mencurahkan isi hatinya.
Berikut kutipannya :
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya.
Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah
yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. Apa
ceritanya, Kek?
Siapa?
Ajo Sidi.
Kurang ajar dia, Kakek menjawab.
Kenapa?
Mudah-mudahan
menggoroh
Kakek marah?

pisau

cukur

ini,

yang

kuasah

tajam-tajam

ini,

tenggorokannya.

Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua
menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau
imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama
aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu
lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi
orang yang sabar dan tawakal.
Mesikpun Kakek mengatakan,Marah? Ya, kalau aku masih muda,
tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak
marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku
rusak karenanya. Namun, tampak sekali bahwa kemarahan yang dialami
Kakek adalah kemarahan pasif, Kemarahan yang dipendam di hatinya dan
terlihat dalam bentuk ekspresi wajah, sikap duduk, perkataan serta prilaku
Kakek yang berbeda dari biasanya.
Cerita bualan Ajo Sidi yang mengisahkan tentang

Haji Saleh yang

dijebloskan ke neraka. Walaupun selama di dunia dia rajin dan taat


beribadah, juga menimbulkan kegelisahan dan keputusasaan dalam diri
Kakek. Karena selain taat beribadah, Haji Soleh sudah menyempurnakan
keislamannya dengan berangkat ke tanah suci dan menjadi Haji namun
tetap saja Haji Saleh masuk neraka. Dalam cerita tersebut kehidupan Haji
Soleh dilukiskan sama persis dengan kehidupan Kakek.
Kakek merasakan kegelisahan yang luar biasa. Ia takut tidak masuk
surga dan ibadahnya hanya sia-sia sama seperti Haji Saleh. Kakek juga
putus asa untuk tetap menjalani kehidupannya. Hal tersebut dibuktikan
dengan memuncaknya konflik batin yang dialami Kakek. Kakek tak
sanggup lagi menahan pergulatan batin yang dia alami dan dia
memutuskan untuk bunuh diri. Melakukan bunuh diri menunjukan bahwa
Kakek merasa tidak lagi memiliki harapan, tidak ada jalan keluar dari
masalahnya serta tak lagi mampu mengembalikan keadaan.
Berikut kutipannya :

Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa
aku

tak

pergi

menjenguk.

Siapa yang meninggal? tanyaku kaget.


Kakek.
Kakek?
Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang
mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur.
Astaga!

Ajo

Sidi

punya

gara-gara,

kataku

seraya

cepat-cepat

meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.


Secara tidak langsung Kakek mempercayai bualan Ajo Sidi. Cerita
bualan

Ajo

Sidi

diumpamakannya

benar-benar
dengan

melukiskan

memunculkan

kehidupan

tokoh

Haji

Kakek
Saleh.

yang
Melalui

ceritanya Ajo Sidi mengungkapkan bahwa untuk dapat masuk ke surga


tidak cukup hanya dengan taat beribadah kepada Tuhan tetapi juga harus
memperhatikan kehidupan sekitar termasuk keluarga. Jadi selain menjalin
hubungan yang baik dengan Tuhan kita juga harus berhubungan baik
dengan sesama manusia.
Namun menurut pemahaman Kakek hanya dengan menymbah Tuhan
dan memuji-muji nama-Nya-lah dia dapat masuk surga, meskipun dia
mengabaikan

keluarganya

dan

mengabaikan

kehidupan

dunianya

sehingga orang mungkin tidak terlalu menghargai dia. Kakek hanya


memikirkan bagaimana agar dia selamat masuk surga saat berada di
akhirat. Terlihat lagi satu karakteristik Kakek, yaitu egois karena Kakek
lebih mementingkan keselamatan kehidupannya agar dapat masuk surga.
Berikut kutipannya :
Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak,
punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri.
Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin,
kuserahkan

kepada

Allah

Subhanahu

wataala.

Tak

pernah

aku

menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi


kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan
kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama
hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena
aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya
yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk
membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku
sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku
bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya
pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.
Saat pemahamannya berbeda bahkan bertolak belakang dengan
cerita bualan Ajo Sidi, Kakek mengalami pergulatan batin. Dia merasa
bahwa apa yang dilakukannya selama ini salah, hanya percuma dan siasia. Mengingat usianya yang memang sudah tua, Kakek kemudian merasa
tak ada jalan keluar untuk memperbaiki semuanya. Dia berpikir bahwa
kesalahan yang dilakukannya tidak dapat diperbaiki. Namun ia juga tak
mau begitu saja masuk neraka atas segala ibadah yang dilakukannya.
Dalam situasi seperti ini Kakek mengalami goncangan luar biasa. Tak lagi
mampu menahan goncangan tersebut Kakekpun mengakhirinya dengan
bunuh diri.

Anda mungkin juga menyukai