Anda di halaman 1dari 10

Perjuanganku Menjadi Seorang Kiper

Hai perkenalkan namaku Nadea Amalia. Aku biasa dipanggil Nadea. Aku sangat menyukai renang
dan bulutangkis. Namun, belakangan ini aku sedang mempelajari olahraga dibidang sepak bola.
Menurutku olahraga ini sangat seru dan menarik. Akupun mulai sering menonton pertandingan bola
untuk menambah wawasan dan pemahamanku mengenai bola. Akhirnya aku menemukan salah satu
saluran di televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola yaitu Chelsea melawan Liverpool. Aku
sangat semangat selama menonton pertandingan ini, karena menurutku pertandingan ini seru dan
menegangkan. akupun memperhatikan dengan serius dan penuh gembira. Kegembiraanku semakin
memuncak saat detik-detik pertandingan berakhir. Yaitu berupa kemenangan Chelsea dengan skor 2-
1. Sejak saat itu, aku sangat menyukai bola dibandingkan olahraga yang lain.
Keesokan harinya, setelah kuiisi perutku dengan sarapan lezat, aku langsung mencari koran.
Tujuannya hanya satu yaitu melihat berita bola. Setelah ku pilah beberapa koran kuputuskan membeli
koran Kompas. Ditulis dibagian berita bola sedang berlangsung league premier atau liga utama
Inggris. Terdapat banyak klub bola Eropa. Langsung kuraih kertas dan bolpoin untuk mencatat nama
klub Eropa. Chelsea, Manchester United, Liverpool, Arsenal, dan masih banyak lagi.
Pada saat ku lihat pemain-pemain dari klub Eropa ini, aku sangat menyukai salah satu pemainnya
yaitu Edwin Van de Sar, dan membayangkan bagaimana kalau Edwin menjadi ayahku? Apakah aku
akan senang? Ayah mungkin hanya akan bersahabat dengan medannya yaitu lapangan hijau. Aku
mungkin akan hidup dalam ruang yang sempit tanpa kebahagian yang nyata. Hanya sepenggal kata
yang bisa ku curahkan terhadap kasih sayang ibu. Aku merasa kasih sayang ayah kini tinggal
imajinasi. Bagaimana tidak seorang Edwin Van Desar yang merupakan penjaga gawang kenamaan
Belanda yang sibuk sendiri dengan sepak bolanya. Aku lebih suka bercengkrama dengan ibuku. Aku
bagaikan sebuah pelangi yang akan selalu ditemani oleh awan putih yaitu ibuku. Sebaliknya ayah
tidak akan bisa menjadi awan putih untuk menemani sang pelangi apalagi menjadi sebuah mentari.
Marah bukanlah yang harus aku lakukan hanya karna ayahku baru menyadari posisiku hanya
sebatas pelangi tanpa awan putih. Benci juga bukan hal yang bisa menjadi benih dan tumbuh menjadi
amarah di lubuk hatiku. Meski aku kadang merasa ayah hanya mementingkan pekerjaannya dan
sangat jarang memiliki waktu dengan aku dan ibuku. Aku bukanlah seseorang yang mudah terbawa
perasaan. Apalagi belakangan ini ayah mulai menyadari keinginanku. Ayah yang menyadari akan
cita-cita kecilku kini menyadari keinginan itu. Ayahku pulang dengan membawa sebongkah harapan.
Hari-hariku kini ku lalui dengan dengan kasih sayang kedua orang tuaku, ayah yang dulunya sibuk
dengan urusannya kini menyisakan ruang untukku. Aku baru menyadari bahwa cinta dan kasih sayang
yang diberikan ayah kepada anaknya memang berbeda dari sosok ibu, meskipun apa yang dilakukan
ayahku sudah terlambat.
Saat ini ayah harus membela timnas Belanda yang sedang melakukan pertandingan uji coba
melawan Spanyol. Esok harinya ia pulang dengan gagah setelah semalam menumbangkan Spanyol.
Setelah semua wartawan itu pergi, kami menyantap makan siang. Aku kembali bertanya, “Kapan aku
boleh ikut menonton Ayah bertanding lagi? Melihat layar kaca saja sungguh tidak asik.” Ia
tersenyum tipis dan menjawab, “Setelah mama sembuh barulah kita bisa menikmati pertandingan di
stadion.” Saat aku masih kecil, aku dan mamaselalu memandang Ayah bermain di stadion.
Belakangan ini, mamaku sedang mengidap penyakit di lambungnya, sehingga harus beristirahat di
rumah. Aku pun harus mengubur niat ku untuk menonton Ayah di stadion demi kebaikan bersama.
Lalu, aku menganguk dan menjawab, “Baik Ayah, janji ya nanti?” “Iya, lihat nanti ya hahaha,”
jawabnya.
Seminggu setelah hari di mana aku dan keluargaku bersenda gurau, muncul masalah yang tidak
pernah aku harapkan. Kondisi mamasemakin melemah, berjalan sajapun tidak sanggup. Tak terduga
olehku penyakit yang dideritanya semakin parah, mama tak mampu mencerna makanan dengan
baik. Ayah saat itu sedang bertanding di final dan akan menyelesaikan pertandingannya. Berkali-
kali kucoba untuk menghubungi Ayah namun tak kunjung mendapat balasan. Aku yang mulai panik
berusaha untuk menjaga diri agar tak kehilangan asa. Akhirnya kuputuskan untuk membawa mamake
rumah sakit.
Aku terus berteriak, “Bu, jangan pergi bu, sedikit lagi kita sampai.” Mata mamasudah sayup-sayup
dan terus merintih kesakitan. Sesampainya di rumah sakit, mama langsung dibawa ke ruang ICU. Aku
hanya bisa memandang dari kejauhan ketika mama diberi pertolongan pertama. Keringat dingin terus
mengucur deras di tubuhku, berharap mama bisa diselamatkan dari kondisi kritis. Sesekali kupandang
mama di ruangan sembari menelpon Ayah yang kupikir sudah selesai bertanding. Saat kulihat
tempat di mana mamaku terbaring, ternyata dokter serta para perawat sudah menggunakan alat
pacu jantung untuk mengembalikan kesadaran mamaku.
Lekas aku berlari menghampiri mamadan berteriak, “MAMA JANGAN TINGGALKAN AKU!”
Namun Yang Maha Kuasa berkata lain. Saat itu mamatelah tiada di depan mataku. Tanpa kuduga
sang pahlawan mistar gawang kenamaan itu, Edwinvan der Sar, justru menjadi pahlawan kesiangan
bagi diriku. “Maaf,” ucapnya perlahan.“Maaf nak,” ucapnya perlahan sampai menguraikan air mata.
Aku hanya terdiam seribu bahasa. Mulutku penuh dengan isak tangis. Maaf. Hanya kata itu yang ia
ucapkan. Setelah tidak memberi sedikitpun balasan, ia hanya datang dengan mengucapkan maaf.
Kemanakah sang pahlawan perkasa di bawah mistar gawang itu? Di manakah sang penjaga gawang
dambaan semua orang? Bahkan ia tidak ada di saat mama menghembuskan napas terakhirnya. Malah
Ayah menjadi pahlawan kesiangan di saat kritis keluargaku. Akhirnya kami pun pulang. Ayah
berusaha menenangkan diriku, walaupun aku sama sekali tak tertarik untuk berbicara dengannya.
Saat di rumah, aku bertanya kepadanya dengan memalingkan wajahku. “Gimana
pertandingan?”ucapku sinis. “Ayah tidak bisa membawa piala hari ini, "ujarnya perlahan dengan
penuh rasa kecewa. Aku yang sudah kehilangan sang mentari dalam hidupku, harus mendengar bahwa
Ayah tidak membawa trofi. Aku terdiam sejenak, lalu pergi ke kamar dan kututup pintu kamarku.
Kepalaku pusing, aku tak bisa berpikir dengan jernih. Nasibku sungguh seperti sudah jatuh tertimpa
tangga. Aku hanya terpikir bagaimana semua komentar orang saat Ayah kalah di pertandingan final
kemarin. Ucapan bela sungkawa terus menerus bermunculan, tetapi tetap muncul kritik dan cacian.
Aku hanya terpikir bagaimakah aku hidup tanpa mama. Bagaimanakah aku yang selama ini menjadi
awan, hidup tanpa mentari yang selalu menyinari diriku. Perlahan kucoba untuk menerima pahitnya
kenyataan. Brithies datang dan memberikanku pelukan hangat. Ia menepuk bahuku dan berkata,
“Life must go on,Evan, cobalah untuk menerima kenyataan walau pahit. "Ucapannya membuatku
tersadar bahwa aku harus bangkit. Langsung kuhampiri Ayah, kupeluk ia erat. Meskipun berat bagiku
untuk menerimanya, ternyata keluarga harus selalu memberi kehangatan.
Tiga bulan berlalu, kegiatan demi kegiatan telah kulalui. Perlahan aku mulai membalut luka yang
dalam sepeninggalan mamaku. Walau wajah dan semua kenangan masih tersimpan, aku harus
menjalani kehidupanku sebagai murid dan anak dari Edwin van der Sar. Ayah akhirnya kembali ke
Belanda karena akan ada Piala Eropa dan Ayah akan menjadi bagian dari timnas Belanda. Ayah
berhasil meraih kemenangan beruntun bersama Belanda hingga mencapai semifinal Piala Eropa
2004. Ia tampil memukau dengan menjadi penyelamat wajah negara di saat yang dibutuhkan.
Performanya yang gemilang membawanya untuk melawan Portugal nanti malam.
Kala itu Portugal sedang diperkuat oleh bintang sepakbola, Cristiano Ronaldo. “Kalau sempat
datang ke stadion ya, akan Ayah bungkam Ronaldo nanti," ujar Ayah yang sedang bergegas pagi itu.
Aku pun tertawa dan menjawab, “Jangan sampai ia dapat penalty, pasti gol.” Lalu, aku pergi ke
sekolah. Sesampainya di sekolah, semua orang membahas Belanda yang akan melawan Portugal
nanti malam. Saat aku masuk ke dalam kelas, semua mata tertuju kepadaku. Sontak semuanya
menghampiri diriku dan bertanya kepadaku. “Gimana nanti malam nih, harus menang ya!” ujar salah
seorang temanku. “Diemin aja, aku juga berharapnya menang sih, tapi ya kita cuma bisa berdoa aja
kan, ”ucapnya sembari menepuk bahuku. Aku tersenyum dan tenang setelah ia mengucapkan kata-
kata mutiaranya. Akhirnya sekolah selesai pada pukul 5 sore. Langit yang tadinya cerah menjadi abu
kehitaman, seakan menjadi pertanda bahwa hal buruk akan datang. Kilat yang diiringi petir
melengkapi kelamnya langit saat itu.
Segera kupesan taksi menuju stadion tempat Ayah bertanding. Dalam perjalanan menuju stadion,
hujan deras pun turun membasahi jalanan. Kulihat ponselku dan kudapati bahwa jalanan tersendat
hingga beberapa kilometer sampai ke stadion. Aku pun bertanya kepada supir, “Pak,ini kenapa macet
ya?” “Ada pohon tumbang di depan, nak,” ujar sang supir. Aku menjadi sangat panik, kulihat
ponselku lagi dan waktu menunjukkan pukul 18.30, yang mana Ayah akan bermain 30 menit dari
sekarang. Kubayar pak supir sesuai dengan tarif, lalu langsung kutinggalkan taksi dan berlari menuju
stadion. Derasnya hujan dan suara petir tidak menghambat langkahku. Langkahku menjadi semakin
cepat bersama dengan hujan yang semakin lama semakin deras. Akhirnya aku sampai di stadion
dengan baju yang basah kuyup. Beberapa penjaga keamanan tidak memperbolehkan ku masuk
dengan kondisi seperti ini.
Setelah mengetahui identitasku, aku diantar menuju kursi khusus untukku. Aku pun duduk dengan
tenang meski kepalaku semakin lama menjadi berat. Hujan menjadi reda. Kesebelasan dari Belanda
dan Portugal memasuki lapangan. Lagu nasional diputar membuat semua penonton berdiri dan
menyanyikannya dengan semangat. Pertandingan pun dimulai, Belanda mulai menunjukkan
dominasinya dengan berkali-kali memberikan tekanan kepada Portugal. Gol pertama dicetak oleh
Raphael van der Vaart untuk Belanda. Semua penonton bersorak sorai. Akhirnya babak pertama
berlangsung dengan cepat hingga turun minum. Aku hanya bisa berdoa agar Tuhan memberikan
kemenangan kepada Belanda Babak kedua dimulai, kali ini Portugal memegang bola. Tiba-tiba
Portugal menunjukkan taringnya dengan permainan yang berbeda dengan babak pertama. Cristiano
Ronaldo mulai mengacak-acak pertahanan Belanda. Meski akhirnya Ayah bisa membuat berbagai
penyelamatan. Kepalaku mulai terasa pening, aku mencoba untuk memijat kepalaku. Sekejap saja aku
menutup mata, komentator berteriak, “GOOOOOOOL, Cristiano Ronaldo membuka gol Portugal
dengan sangat spektakuler.” Aku terdiam, dan keringat dingin mulai membasahi tubuhku lagi.
Tidak kusangka keadaan akan berubah dalam kedipan mata. Pertandingan terus berlanjut,
sementara kepalaku semakin pusing dan penglihatanku semakin kabur. Pemain Belanda menjadi
kocar-kacir. Tidak ada lagi peluang-peluang emas seperti babak pertama. Belanda hanya bermain
pasif mengandalkan pemain bertahannya. Berbeda dengan Belanda, Portugal semakin haus akan
kemenangan. Serangan demi serangan yang mematikan mulai bermunculan. Detak jantungku semakin
kencang melihat Cristiano Ronaldo sudah di depan gawang. Ia melepaskan tendangan kencang. Aku
hanya bisa menutup mata karena tak sanggup melihatnya.“GOOOOL, gol kedua dari Manische untuk
Portugal,” ujar komentator dengan suara nyaring. Aku terdiam, detak jantungku seakan berhenti
sejenak. Ini menjadi malapetaka untuk Belanda. Tiba-tiba kepalaku semakin pusing dan
kesadaranku mulai menjauh. Seketika itu juga aku jatuh dari tempat dudukku.
Aku membuka mataku perlahan. Terlintas dibenakku, “Di mana aku?” “Apakah aku masih hidup?”
“Apakah ada mama disini?” Aku pun tersadar bahwa aku sudah berada di rumah. Aku kembali
mengingat apa yang terjadi malam kemarin. Aku pun teringat bahwa skor masih 2-1 saat itu. Segera
kuambil ponsel dan mendapati bahwa semua orang mencaci penampilan Belanda. Aku yang masih
bingung akhirnya membuka berita dan benar saja, Belanda kalah. Kalah dihadapan Portugal yang
bahkan selama ini tidak pernah dianggap. Ayah masuk ke kamar dan langsung memelukku, dia
benar-benar memastikan bahwa aku tidak apa-apa. Terlintas dibenakku hasil pertandingan tadi
malam. Aku menangis. Ayah mencoba menenangkan diriku, aku tetap menangis.
Ayah terdiam dan undur diri dari kamar ku sambal menunjukkan raut sedih. Sungguh aku tak bisa
menahan semua rasa kecewaku. Setelah semua perjuangan kulalui, setelah semuanya kukorbankan,
aku hanya mendapat kekalahan. Lag-lagi kekalahan. Tidak bisakah Tuhan berpihak pada Belanda
kali ini saja, tidak cukupkan semua pengorbanan ini, pikirku dalam hati. Kepalaku kembali pusing,
penglihatanku kembali kabur. Setelah kurasakan tubuhku demam, kucoba meraih pengukur suhu.
Ternyata demamku cukup tinggi. Buru-buru kurebahkan kembali tubuhku di Kasur. Kupejamkan
mataku. Berharap pusing ini akan hilang. Berharap semua kekecewaanku hilang dengan sekejap.
Selalu saja Ayah membuatku kecewa. Pikiranku semakin kacau, membayangkan semua hal buruk
yang telah menimpaku. Saat semua awan kelam menyelubungi pikiranku, muncul secercah
cahaya. Mungkinkan ini saatnya bagiku? Cahaya itu semakin terang dan membuat semua pikiran
buruk menghilang.
Muncul sosok mama di pikiranku. Mama, sang mentari. Mama kembali terlintas di benakku. Sang
mentari selalu datang disaat awan mengeluarkan semua hujannya, begitulah mama. Mentari menjadi
sosok yang selalu ada untukku, di semua suka dan duka yang kualami. Mama selalu menjadi sosok
mama, teman, dan sahabat disaat semuanya hanya memandangku sebagai putra dari Edwin van der
Sar. Kala itu, hanya mama yang mengerti semua keluh kesahku. Meskipun mama menanggung
beratnya beban mengurus keluarga, ia tak pernah sedkitpun melupakan diriku. Aku tahu bahwa
betapa banyaknya pekerjaan mama di rumah, mulai dari bersih-bersih, mengurus Oly saat aku
bersekolah, menyiapkan perlengkapan Ayah untuk bertanding, dan masih banyak lagi. Tak pernah
sekalipun kudengar ia mengeluhkan semua yang ia lakukan. Aku menangis lagi dan lagi “Mengapa
nasibku sesuram ini, ya Tuhan?” ujarku sambil menangis kencang.
Tiba-tiba Ayah masuk ke dalam kamarku. Ia membawa segelas susu panas. Belum sempat aku
berteriak mengusirnya, ia langsung meraih bahuku dan memelukku erat. Tangisku menjadi semakin
kencang dipelukannya. “Maafkan ayahmu ini nak, ia gagal lagi membawa trofi," ujarnya perlahan.
“Ayah pasti dapat juara tiga nanti. Doakan Ayahya,” lanjutnya. “Mungkin Ayah gak pernah bikin
kamu bangga, Ayah cuma bisa bikin kamu kecewa. Ayah gak akan pernah bisa jadi mama. Ayah
akan selalu sayang sama kamu dengan cara Ayah.” Ucapnya sambil menenangkan diriku.“Sosok
mama gak akan pernah ada gantinya, dan gak akan terlupakan. Sekarang aku harus berhenti melihat
semua masa lalu indah yang hanya membuat kamu sedih. Masih banyak tantangan yang harus dilalui.
Ayah janji akan membalas semuanya minggu depan. Kamu gak boleh sedih lagi ya?” ujarnya
sambil mengusap punggungku.“Iyaa Ayah, harus juara 3 ya,” jawabku sambil mengusap air mata.
Akhirnya keadaan kami kembali seperti semula. Aku yang harus sibuk belajar dan Ayah yang sibuk
latihan untuk melawan Rep. Cheska untuk merebut posisi ketiga.
Tiga hari berlalu setelah Belanda menelan kekalahan pahit dihadapan Portugal. Berita itu
sungguh menyayat hati negara ini. Semua orang hampir membuang muka terhadap kesebelasan ini.
Tidak ada lagi harapan untuk sepakbola di negeri ini. Semua wajah menjadi muram. Tidak ada lagi
semangat sepakbola di negeri ini. Yang ada hanyalah kekecewaan mendalam di hati banyak orang.
Muncul kabar bahwa Belanda akan memperebutkan juara ketiga di Piala Eropa. Perlahan-lahan
semua orang mulai berubah. Poster-poster kesebelasan Belanda yang telah dicabut mulai ditempel
lagi. Atribut sepakbola Belanda mulai marak dijual lagi. Aku pun tersadar bahwa masih ada secercah
harapan untuk mengembalikan citra Belanda di kancah Eropa. Meskipun ekspetasi juara telah sirna,
setidaknya masih ada yang bisa diperjuangkan. Akhirnya Belanda menjadi cerah kembali seperti
sebutannya, negeri oranye.
Setelah sekolah berakhir. Aku langsung pulang ke rumah diantar oleh orang tua Brithies.
Sesampainya di rumah, langsung kubuka tugas-tugasku dan kukerjakan. Tidak terasa 2 jam telat
berlalu, aku yang sedang mengerjakan tugas tiba-tiba teringat bahwa Ayah akan bertanding.
Langsung kututup bukuku dan kunyalakan televisi. Ternyata babak pertama baru saja dimulai.
Untunglah aku tidak terlambat untuk menonton pertandingan ini. Pertandingan berjalan
menegangkan. Belanda dan Ceko terus bertukar serangan. Pertandingan ini merupakan ajang gengsi
antara Ayah, Edwin van der Sar, dengan penjaga gawang muda asal Ceko yang sedang gemilang,
Peter Cech. Keduanya membuat banyak penyelamatan pada awal pertandingan. Jantung berdetak
semakin kencang melihat permainan yang sangat intens dari kedua tim. Akhirnya muncul peluang
emas dari Belanda. Robin van Persie memberi umpan silang kepada Ruudvan Nistelrooy. Peluang
tersebut berhasil digagalkan oleh Peter Cech. Penampilannya membuatku kagum sekaligus tidak
tenang karena ia ternyata cukup hebat.
“Peluang emas tercipta lagi, Seedorf melewati 4 pemain Ceko, mengoper bola kepada Nistelrooy,
daaaan.. GOOOOOOL. Akhirnya Belanda memecahkan kebuntuan di awal permainan,” teriak dari
komentator di televisi. Gol sundulan dari Ruuud van Nistelrooy membuat bara api dalam diriku
menyala. Permainan yang sangat indah ditunjukkan oleh penyerang depan itu. Kesebelasan Ceko
mulai terlihat panas. Mereka mulai menunjukkan permainan yang agresif. Kupikir gol barusan akan
membuatku tenang, ternyata tidak. Ceko terus menekan pertahanan Belanda. Penyerang dari Ceko
melepaskan beberapa tembakan. Untungnya Ayah dengan sigap menghalau semua tembakan
pemain Ceko. Ternyata Ayah tidak kalah hebat dari pada penjaga gawang lawan.
Ayah memberikan operan yang cukup jauh disaat para pemain Ceko masih berada di daerah
pertahanan Belanda. Operan didapat oleh Arjen Robben. Arjen Roben menggiring bola dari tengah
lapangan sama ke depan penjaga gawang. Ia menunggu lawan mendekatinya dan langsung mengoper
bola ke Ruud van Nistelrooy. Ruud van Nistelrooy hanya perlu mencongkel bola agar mencetak gol.
Itulah gol kedua untuk Belanda. Seketika itu juga aku lompat dari sofa tempatku duduk, karena
terlalu senang. Akhirnya aku melihat permainan memukau dari tim Belanda lagi setelah sekian lama.
Mungkin tahun depan Belanda masih memiliki harapan untuk juara apabila bermain konsisten seperti
ini. Skor sementara 2-0, keunggulan untuk tim Belanda. Permainan berlanjut, hingga pemain bertahan
Belanda membuat blunder sehingga memberikan Ceko skor 2-1. Blunder tersebut membuatku cukup
kesal, namun skor Belanda masih unggul hingga babak pertama selesai. Akhirnya ada jeda bagiku
bernapas dengan baik. Babak kedua dimulai, nampaknya pemain Belanda sudah terlihat kelelahan
setelah babak pertama.Tetapi kesebelasan Ceko bermain semakin ganas. Serangan baru yang
bervariasi terus bermunculan, sementara Belanda tidak mengganti strategi bermainnya. Hal ini
menyebabkan Belanda tidak dapat menciptakan peluang emas lagi. Penyerang dari Ceko mencoba
mengacak-acak pemain belakang Belanda. Pemain belakang Belanda mulai kehabisan stamina dan
tidak mampu menjaga dari serangan-serangan. Akhirnya skor pun menjadi 2-2. Seketika itu juga aku
terdiam.
Bagaimana mungkin hal seperti ini terjadi? Tim Belanda yang lebih dulu mengambil keunggulan
akhirnya berhasil disamakan skornya. Firasatku mengatakan bahwa Belanda benar-benar diujung
tanduk. Permainan dilanjutkan ke babak tambahan waktu. Benar saja, lagi-lagi pemain bertahan
Belanda melakukan kesalahan fatal. Hal ini langsung dimanfaatkan oleh pemain Ceko sehingga
menghasilkan peluang emas. Peluang emas tersebut akhirnya menambah skor dan membuat Ceko
berhasil mengembalikan keadaan dengan serangan-serangan tak terduga. Aku menjadi semakin panik.
Kucoba untuk menenangkan diri saat situasi seperti ini. Pertandingan dilanjut. Belanda yang sudah tak
bertenaga berusaha untuk menyamakan kedudukan. Tetapi tidak ada satupun umpan yang berhasil
menjadi peluang. Pemain bertahan timnas Ceko menunjukkan permainan yang sangat solid sehingga
van Nistelrooy dan Robben tak mampu menembus jantung pertahanan Ceko. Peluit panjang
dibunyikan oleh wait menandakan berakhirnya pertandingan antara Belanda melawan Ceko dengan
kemenangan bagi Republik Ceko. Sungguh kemenangan yang fantastis. Ceko berhasil melakukan
comeback dengan membalikkan keadaan setelah tertinggal 0-2 menjadi 3-2. Aku hanya mampu
terdiam melihat timnas Republik Ceko merayakan keberhasilan mereka meraih posisi ketiga di Piala
Eropa ini. Aku masih tidak percaya bahwa Belanda benar-benar kalah. Sungguh konyol, sudah unggul
dibabak pertama malah terkalahkan dibabak tambahan.
Sekarang aku harus menghadapi beragam omongan orang-orang tentang kekalahan tadi. Meskipun
Ayahku bukanlah penyebab kekalahan Belanda. Ayahku tidak akan luput dari komentar negatif. Aku
benar-benar tidak tahu apa yang akan terjadi saat di kelas nanti. Aku sama sekali tidak punya muka
untuk bertemu dengan teman-teman di sekolah. Langkahku menjadi lemas, pikiranku juga menjadi
kacau. Aku takut akan pingsan lagi seperti waktu itu. Saat beranjak ke kamar, aku melihat album foto
terletak di meja makan. Aku bingung memikirkan siapa pula yang mengeluarkan album foto itu.
Langsung aku ambil album itu dan bergegas menyimpannya di lemari. Aku masih belum ingin
melihat semua kenangan masa lalu keluargaku yang terlalu indah bersama dengan mama. Tiba-tiba
terlintas dalam benakku untuk membukanya. Tanpa disadari aku sudah melihat berbagai foto masa
kecilku dengan mama dan Ayah. Mulai dari lembaran foto hitam putih yang terdapat aku saat masih
bayi di dalamnya. Foto pertama saat aku bisa berdiri dan berjalan. Foto saat ulang tahunku yang
pertama. Dalam foto itu tidak ada perayaan yang meriah dan megah, namun aku terlihat sangat
bahagia di sana. Saat aku membuka halaman berikutnya ternyata ada satu foto yang tidak dimasukkan
ke dalam album. Saat aku melihat foto itu, itu adalah fotoku saat bermain bola bersama Ayah dan
mama. Saat itu kami sedang berlibur ke villa dan menonton berbagai cuplikan pertandingan sepak
bola. Setelah itu aku meminta Ayah untuk mengajakku bermain. Saat itu, Ayah seharusnya pergi ke
sarana olahraga, namun mama membujuk Ayah untuk menemaniku bermain. Akhirnya kami
bermain bersama hingga petang tiba.
Belum selesai aku melihat semua lembaran foto, tiba-tiba terdengar ketukan pintu. Saat aku
membuka, terlihat wajah Ayah yang sangat lesu. Seketika itu juga, Ayah langsung terjatuh di depan
pintu. Dengan spontan langsung kuraih badannya dan membantunya berdiri. Ia terlihat sangat lelah
setelah pertandingan tadi. Raut wajahnya terlihat sangat sedih. Ayah menangis dan berkata, “kmau
kecewa ya? Maafkan Ayah ya, Ayah pulang dengan tangan hampa. Ayah memang tidak berguna.
Lagi-lagi kalah.” Ayahku terdiam, ia sudah tak tahu apa yang harus diucapkan lagi. Ayahku berkata
bahwa ia begitu lelah dengan permainan timnya. Hampir semua anggota timnya hanya
mengandalkan Ayah dan pemain penyerang. “Ayah sudah melakukan yang terbaik, Ayah juga punya
batas nak, mungkin memang belum ditakdirkan untuk membawa piala,” ucap Ayahku sambil
menghela napas. “Tak apa Ayah. Ayah sudah melakukan yang terbaik kok. Tadi saja sudah banyak
penyelamatan. Ya, mungkin tahun ini memang belum rezeki buat Ayah,”ucapku mencoba
menenangkan perasaan Ayah. “Evan, sepertinya Ayah tidak akan bertahan di Juventus, meskipun
masih ada sisa kontrak, Ayah harus meninggalkan Italia,” ucap Ayah sambil memandang diriku.
“Lah, kok tiba-tiba meninggalkan Italia? “Memang benar Juventus adalah klub yanghebat, tapi Ayah
tidak bisa mengembangkan kemampuan Ayah di sana. “Juventus baru saja mendatangkan penjaga
gawang muda yang berbakat, kedepannya Ayah juga tidak akan mendapat jatah bermain sebanyak
sekarang,” tambah Ayah. “Kalau begitu ada baiknya Ayahpindah. Nah, Ayah akan pergi ke mana?
Apakah Ayah akan kembali ke Belanda?” tanyaku kepada Ayah. “Hmm, setelah tampil di Piala Eropa
ini, Ayah mendapat tawaran dari beberapa klub Inggris,” ucap Ayah. “Hah?serius Ayah akan bermain
di Inggris?”tanyaku dengan kaget. Mengingat persaingan untuk bermain di Inggris sangatlah ketat,
aku khawatir bila Ayahakan bermain di Inggris. “Sudah ada tiga klub di London yang memberi Ayah
penawaran dan bersedia menebus kontrak dengan Juventus. Mungkin ini peluang bagi Ayah untuk
membuktikan bahwa Ayahbisa menjadi yang terbaik,” ucap Ayah yang mencoba meyakinkanku.
Aku terdiam begitu lama, meski Ayah mencoba membeberkan alasannya, aku hanya diam. Dengan
pindah ke Inggris, berarti aku akan meninggalkan rumahku yang penuh kenangan dengan mama. Bila
aku pergi, aku akan meninggalkan Brithies di sini. Kalau demikian dengan siapa aku akan berteman?
Siapakah yang akan mengerti keadaan diriku? Aku pasti kesepian karena sepanjang hari karena Ayah
pasti pulang larut malam. Tak lama setelah itu Ayah mengurus surat kepindahanku dari sekolah
menuju sekolah yang ada di London. Aku tidak sempat mengucapkan perpisahan dengan teman-
teman di sekolah. Akhirnya kami berdua membicarakan hal ini lebih lanjut dengan keluarga dan
kerabat kami yang ada di Belanda. Mereka pun setuju dan memperbolehkan kami untuk pindah ke
Inggris demi kebaikan Ayah. Hampir semua media memberitakan bahwa Ayahku akan hengkang
dari Juventus dan akan pergi ke Inggris. Seketika itu juga Ayahku menjadi bahasan semua orang.
Sebelum aku berangkat ke Inggris, aku harus mengucapkan sampai jumpa kepada sahabat karibku,
Brithies.
Pada saat diperjalanan aku bertanya kepada ayah “kemanakah ayah masuk?” “Ayah sudah
memutuskan untuk menerima tawaran dari klub Fulham,” ucap Ayah. “Fulham? Mengapa Ayah
memilih klub yang bahkan aku tidak tahu namanya?” tanyaku dengan penuh kebingungan.
“Ada alasan mengapa Ayah memilih Fulham. Coba bayangkan apabila Ayah masuk ke klub yang saat
ini sedang kuat? Hasilnya akan sama saja seperti di Juventus kemarin. Ayah tak bisa menunjukkan
kemampuan dan tak bisa berkembang lebih jauh lagi,” ucap Ayah menjawab pertanyaanku. “Hmm,
benar juga sih,” ucapku spontan. Ucapan Ayah ada benarnya juga, kalau saat ini ia langsung
menerima tawaran klub besar, Ayah tidak akan banyak berkembang. “Saat ini, Fulham memang tidak
terlalu hebat dan bahkan tidak terkenal. Akan tetapi, di sana Ayah mampu bermain dengan baik. Saat
nanti Ayah sudah menjadi pemain yang memiliki skillyang mumpuni, Ayah akan percaya diri untuk
menerima tawaran klub besar,” ucap Ayah.“Baiklah kalau itu maksud Ayah,” ucapku. Ternyata Ayah
sudah membuat keputusan bagus dengan tidak menerima tawaran klub besar terlalu cepat. Tibalah
kami di London, ibukota Inggris. Klub Fulham sudah menyediakan tempat tinggal untuk kami di
pinggir kota. Setibanya kami di sana, ternyata tempat tinggal kami cukup jauh untuk mengakses
fasilitas-fasilitas publik. Tetapi aku menyarankan agar aku dan ayah tinggal di apartemen dekat
stadion untuk mempererat hubungan yang sebelumnya melonggar. Akhir nya ayah setuju. Pada saat
sampai di apartemen ayah memperkenalkan teman serta anak teman nya kepadaku. Kami pun
berbincang-bincang selama 2 jam. Lalu kami kembali ketempat masing-masing. Setelah pindah ke
Fulham, permainan Ayahku berubah total. Kemampuannya saat bertanding pun semakin meningkat.
Sepertinya Ayahsedang membuktikan perkataannya bahwa ia akan berkembang di klub yang
performanya tidak terlalu bagus.
Menjelang akhir musim pertama Ayah, ia berhasil membawah Fulham berada di posisi ke 6
klasemen liga Inggris. Sejauh ini, itu merupakan hal terbaik untuk klub Fulham. Musim sebelumnya,
Fulham hanya mampu meraih posisi kesebelas di klasemen Premiere League. Walau Ayah sudah
berusaha, Fulham tidak mampu meraih piala liga Inggris pada musim ini. Musim selanjutnya, klub
Fulham mendatangkan pemain-pemain baru yang akan melengkapi Ayahku di lini belakang. Dengan
adanya pemain baru, aku sangat berharap bahwa Fulham mampu membawa pulang satu gelar untuk
tahun ini. Pertandingan demi pertandingan berhasil dilewati dengan baik oleh Ayahku. Hingga tibalah
Fulham di akhir musim2005/2006. Aku melihat peringkat sementara dan Fulham berada di posisi
kedua. Saat itu, peringkat pertama diisi oleh klub Liverpool, yang kala itu juga sedang berambisi
untuk mengakhiri puasa gelar. Aku melihat laporan pertandingan Liga Inggris. Di sana kudapati
bahwa Fulham hanya membutuhkan 1 kemenangan dari 1 pertandingan untuk menjadi juara Liga
Inggris. Ayah harus menang melawan klub Manchester United yang saat itu berada di asuhan Sir Alex
Ferguson. Aku dan Mandy datang ke stadion Craven Cottage, yang menjadi stadion Fulham saat itu,
untuk menonton pertandingan Ayahku. Manchester United benar-benar mendominasi dari awal
pertandingan. Mereka menyajikan permainan yang rapi, dan jarang sekali kehilangan bola. Sementara
pemain Fulham bersusah payah untuk menjaga permainan sehingga mereka tidak lengah. Akhirnya
pemain Manchester United menunjukkan taringnya dengan membuat serangan bertempo cepat.
Manchester United total membuat 13 percobaan untuk mencetak gol, sementara Fulham hanya
mampu membuat 3 peluang. Untungnya 13 percobaan tersebut berhasil dimentahkan oleh Ayah.
Hingga babak pertama selesai, kedua tim belum mampu untuk mencetak gol.
Dua minggu berlalu. Akhirnya tibalah pertandingan melawan Liverpool untuk merebut tiket
menuju final European Champions League. Pertandingan kali ini diadakan di markas milik Liverpool,
Anfield Arena. Saat masuk ke dalam stadion, atmosfernya sangat luar biasa. Ini berbeda dengan
stadion lainnya. Tekanan dari para pendukung Liverpool sangat terasa. Pertandingan dimulai.
Liverpool dan Fulham sama-sama menunjukkan permainan yang monoton. Hingga tiba-tiba sang
motor permainan lawan, Steven Gerrard, memberi isyarat kepada timnya. Alur permainan pun
berubah seketika itu juga. Permainan monoton berubah menjadi permainan yang mencekam.
Liverpool terus memberikan serangan yang mematikan. Meskipun aku melihat Ayah berhasil
mementahkan serangan Liverpool, tetapi tetap saja aku tidak pernah menduga pertandingan akan
menjadi seperti ini. Wasit akhirnya meniup peluit panjang. Pertandingan pun berakhir. Ayahharus
menyerah dengan skor akhir 3-0. Dengan ini Liverpool berhak maju ke babak final. Tak lama setelah
itu, Ratu Elizabeth II memberikan penghargaan kepada Liverpool yang sudah memenangkan 2 gelar
dan membawa nama baik Inggris di kancah Eropa dan dunia. Liverpool mendapat julukan sebagai
pahlawan. Aku dan Ayahku hanya bisa menonton prosesi acaranya dari televisi. Semua orang
hanya membahas Liverpool. Meski demikian aku harus bisamove on dari kekalahan ini dan berharap
Ayah akan menang di musim selanjutnya.
Seminggu setelah Ayah di Fulham. Nama Ayah mulai dibicarakan oleh orang-orang. Orang-orang
mulai membahas betapa piawainya Ayahdi bawah mistar gawang. Ayah di pandang sebagai pahlawan
bagi tim Fulham yang dipandang sebelah mata oleh semua orang. Ayah hampir selalu berhasil
mementahkan serangan-serangan mematikan yang dilancarkan lawan. Aku teringat kembali saat Ayah
masih bermain di Italia. Saat itu, Ayah tidak berperan banyak permainan tim, sehingga saat itu semua
orang beranggapan bahwa Ayahku itu biasa saja. Apabila Ayah sampai dikontrak oleh klub besar,
maka hidupku tidak akan tenang. Tekanan akan selalu datang dari kerabat, teman satu sekolah,
bahkan seluruh pendukung klub itu sendiri di seluruh dunia. Sekarang kudengar kabar bahwa penjaga
gawang dari klub elite Manchester United telah meninggalkan klubnya. Sekarang mereka pasti akan
mencari seorang penjaga gawang yang cukup piawai untuk menjadi pengganti. Semua media
mengkait-kaitkan hubungan kepergian penjaga gawang Manchester United dengan Ayahku yang
masih abu-abu.
Aku sedang berjalan-jalan dengan Mandy di tengah Kota London. Dari pagi hingga siang, aku dan
Mandy terus mendengar isu-isu bahwa ada transfer pemain yang menggegerkan. Aku sangat terkejut.
Ayah pindah ke Manchester United, namun tidak memberitahuku. Tiba-tiba kepalaku pusing. Perutku
mulai terasa mual. Tiba-tiba pandanganku menjadi kabur. Aku hanya mendengar Mandy berteriak.
Setelah aku bangun, aku pun berbincang-bincang dengan ayah tentang ayah pindah ke Manchester
United.
Tak pernah terbayang olehku bahwa Ayah akan bermain di liga dengan persaingan yang sengit dan
memiliki pemain berbakat dari berbagai negara di Eropa. Melihat Ayah berfoto sejajar dengan Paul
Scholes, Gary Neville, Ryan Giggs, dan Ole Gunnar Solskjaer menyadarkanku bahwa Ayah sudah
berada di level tertinggi dalam karirnya. Seminggu berselang, tibalah saatnya Ayah harus
membuktikan kemampuannya di depan para pendukung. Aku sangat tak siap untuk menghadapi hari
ini, begitu juga Mandy. Kami datang ke stadion Old Trafford untuk menonton pertandingan final
Ayah melawan FC Barcelona. Satu jam sebelum pertandingan dimulai, stadion sudah terisi penuh.
Akhirnya pertandingan dimulai. Aku dan Mandy mulai tegang. Aura pertandingan terasa mencekam.
Aku dan Mandy mulai tegang. Berbeda dengan tim sebelumnya. Tim Ayah kali ini menunjukkan
permainan yang sangat baik. Aku sampai terkagum dibuat mereka.Permainan indah tim Ayah
akhirnya membuahkan hasil.
Namun kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Terjadilah hal yang tak kuharapkan. Saat babak
kedua, Ayahku membuat blunder dengan berdiri terlalu depan sehingga membuat lawan
menyamakan kedudukan. Mandy yang awalnya semangat menjadi muram. Tidak sampai di situ,
muncul malapetaka. Ayah tak mampu menghalau serangan dari penyerang lawan dan wasit akhirnya
meniup peluit. Ayah kalah, Ayah gagal, Ayah tak mampu menjadi pahlawan. Tak lama setelah itu,
tim lawan mengangkat trofi di depan seluruh pendukung Manchester United. Hal ini sangat menyayat
hatiku. Mandy terlihat sangat kesal, raut wajahnya sangat muram. Tiba-tiba ia beranjak
meninggalkanku. “MANDY! Kamu ke mana?” teriakku dengan panik. Mandy tidak menghiraukanku.
Aku merasa sangat kesepian ditengah kerumunan ini. Tak terasa air mata sudah membanjiri wajahku.
Aku pulang ke rumah sambil menahan kesedihan dan amarah. Akhirnyaaku pulang ditemani oleh
langit yang sedang meratap. Tidak pernah aku merasa kecewa sampai seperti ini. Sudah berulang kali
aku memberi kesempatan pada Ayah, tapi tak pernah sesuatu yang indah terjadi kepadaku. Akhirnya
aku sampai di apartemen. Ponselku berdering. Terlihat banyak hujatan yang dilancarkan kepadaku.
Sekarang semua orang menyebut Ayah sebagai pecundang. Dari Pahlawan menjadi pecundang.
Sungguh sebuah penghinaan bagiku tapi tak bisa kusangkal. Kasur adalah temanku satu-satunya yang
setia. Pada saat itu lah aku benar-benar kecewa dengan ayah.
Sudah tiga hari terjadi perang dingin antara aku dengan Ayah. Di apartemen kami jarang sekali
bertegur sapa. Aku hanya diam dan mengerjakan apa yang seharusnya kulakukan. Begitu juga dengan
Ayah, meski hal biasa bagiku merasa kesepian di apartemen. Aku juga belum berhubungan lagi
dengan Mandy. Mungkin ia masih kecewa dengan kekalahan kemarin. Sebentar lagi Piala Dunia
Sepak Bola 2006 di Jerman akan dimulai. Seperti biasa, Belanda lolos seleksi administrasi dan ikut
serta dalam kompetisi itu. Aku melihat berita dan di sana disebutkan bahwa Ayah akan menjadi
penjaga gawang di tim utama. Aku menghela napas panjang. Aku tidak bisa membayangkan apa yang
akan terjadi saat Belanda akan bertanding. Apakah Tuhan akan berpihak kepada Ayahku? Semoga
saja. Ayah memintaku untuk mengajak Mandy. Aku memang berniat untuk mengajak Mandy ke
Jerman untuk menonton piala dunia. Akan tetapi, aku masih bingung bagaimana caranya untuk
memperbaiki hubunganku dengan Mandy. Aku ingin menghubunginya melalui telepon, namun aku
ragu ia akan mengangkatnya atau tidak. Akhirnya kuputuskan untuk menemuinya di kamar sebelah.
Langkahku terasa berat, namun tetap kupaksakan. Langsung kutekan bel pintunya, sambil berharap ia
akan keluar. Pintu terbuka dan terdapat Mandy di sana. Ia menarik tanganku dan meminta maaf. Lalu
kami saling maaf-maafan.
Tiba saatnya kami berangkat menuju Berlin, ibu kota Jerman. Saat sampai kami bertiga langsung
pergi ke tempat penginapan yang sudah disediakan. Aku hanya mengobrol dengan Mandy karena
masih terjadi perang dingin antara aku dan Ayah. Ayah langsung berangkat untuk menjalani latihan
dengan timnas Belanda lainnya di tempat latihan yang tidak jauh dari stadion Allianz Arena, tempat
piala dunia akan dilaksanakan. Saat makan malam, Ayah memberitahu kami bahwa pertandingan
babak gugurakan dilakukan 2 hari dari sekarang. Pekan pertandingan babak gugur tiba. Kali ini
Belanda mendapat sedikit keuntungan karena lawan mereka bukanlah lawan yang kuat. Ayah dan
timnya berhasil melewati 4 pertandingan awal dengan baik. Belanda berhasil membalas kekalahan
terhadap Ceko dengan skor 2-0. Selanjutnya Belanda berhasil menaklukan Spanyol dengan
kemenangan tipis 1-0. Belanda juga menang melawan Prancis dengan skor 3-2. Sepertinya Ayah
sudah memperbaiki kesalahan-kesalahan yang sebelumnya sering terjadi. Perlahan aku mulai berharap
pada Belanda. Belanda berhasil lolos ke final piala dunia tanpa adanya perlawanan yang berarti.
Belanda akan menghadapi Argentina di final nanti. Ini akan menjadi pertandingan yang sangat berat.
Suasana di Stadion Allianz Arena sangat ramai dan meriah. Hampir semua pendukung Belanda dan
Argentina menggunakan atribut sepak bola lengkap dengan riasan di wajah mereka, sementara aku
dan Mandy hanya mengenakan jersey Belanda saja. Hari ini Mandy sangat aneh. Ia membawa seikat
bunga tulip. Acara dimulai dengan penampilan artis serta tarian khas dari Jerman. Setelah itu
kesebelasan dari kedua tim memasuki lapangan. Masing-masing tim menyanyikan lagu nasionalnya
secara bergantian. Peluit pun dibunyikan tanda pertandingan dimulai. Tanganku gemetar karena aku
sangat takut akan pertandingan ini. Belanda bermain dengan rapi dan mampu menjaga tempo
permainan mereka. Belanda menciptakan berbagai peluang emas namun masih dapat dihalau oleh
penjaga gawang lawan. Tiba-tiba Ayahku melempar bola lambung yang sangat jauh sampai
mendekati daerah pertahanan lawan. Tiba-tiba Arjen Robben berlari dan berhasil mencapai bola
tersebut. Ia terus berlari dan menendang bola dengan keras. “Gooooool” Sontak semua pendukung
Belanda berdiri dan melakukan selebrasi termasuk aku dan Mandy. Tidak banyak yang berubah
sampai babak pertama selesai.
Babak kedua dimulai. Argentina mengubah pola serangannya dengan memasukkan Lionel Messi.
Kehadiran Messi ternyata sangat berdampak bagi Argentina. Seketika itu juga kepercayaan diri
Argentina meningkat. Messi menunjukkan kepiawaiannya menggiring bola dan berhasil melewati 5
pemain bertahan Belanda. “Gooool, Messi berhasil menyamakan kedudukan untuk Argentina,” ucap
komentator. Pertandingan terus berlanjut. Suasana pertandingan menjadi semakin memanas. Kedua
tim menjadi semakin ganas. Namun sayang sekali, Argentina berhasil menambah keunggulan lagi
dan memutus asa yang telah kupegang. Peluit ditiup panjang tanda pertandingan telah berakhir. Aku
hanya duduk lemas melihat pemain Argentina melakukan selebrasi dan mengangkat piala. Tiba-tiba
Mandy menyodorkan seikat bunga tulip dan berkata, “Kamu tahu kan harus apa dengan ini?” Tanpa
pikir panjang aku langsung berlari menuju ruang ganti tempat Ayahku berada. Saat aku bertemu
dengannya, aku langsung memeluknya erat. “Maafkan aku telah melukai hati Ayah. Terima kasih
sudah berusaha menjadi mentari untukku,” ucapku sambil menangis. “Ini bunga tulip untuk Ayah,”
ujarku.“Iya. Maafkan Ayah gagal lagi. Walau kalau, aku akan selalu menjadi piala kebanggaan
Ayah,” ucap Ayah. Kami menghampiri Mandy yang sudah menunggu di luar stadion. Hubunganku
dengan Ayah menjadi lebih baik. Kami bertiga pun berencana untuk jalan-jalan di Jerman. Andai
mama melihat kami, ia pasti sangat bahagia. Ayah memang tak bisa menjadi Mentari yang selalu ada
dan memberi kehangatan, tetapi Ayah sudah menjadi rembulan yang selalu berusaha memberi
kehangatan di saat yang tak pernah kusadari. Terkadang kita tidak bisa menuntut orang lain untuk
berubah menjadi yang kita inginkan. Akan tetapi kita harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan
orang lain. Dengan belajar menerima dan merelakan masa lalu yang kelam, maka kita mampu untuk
berpikir jernih dan menerima orang lain apa adanya.

Anda mungkin juga menyukai