Anda di halaman 1dari 20

ORIENTASI

Malam sudah turun, tanpa gerutu dan tanpa siasat.

Seperti jala hitam yang mengepung kota; seperti segalon

tinta yang ditumpahkan seekor cumi raksasa ke seluruh per-

mukaan Jakarta. Seperti juga warna masa depan yang tak bisa

kuraba.

Di dalam kamar gelap ini aku tak mengenal matahari, bu-

lan, atau arloji. Tetapi kegelapan yang mengepung ruangan ini

penuh dengan aroma bahan kimia dan rasa cemas.

Sudah tiga tahun Kantor Berita Nusantara, tempatku be -

kerja, dibersihkan dari kutu dan debu seperti kami. Tentara

adalah disinfektan. Kami, kutu dan debu yang harus dibersihkan

dari muka bumi. Tanpa bekas. Kini sang kutu mencari nafkah

di Tjahaja Foto di pojok Jalan Sabang.

Aku menyalakan lampu merah untuk mengecek beberapa

film yang tengah digantung. Mungkin ini sudah jam enam,

karena aku bisa mendengar sayup suara adzan Magrib yang


menyelip melalui kisi pintu. Aku membayangkan suasana se-

panjang Jalan Sabang, suara bemo yang cerewet, opelet yang

bergerak dengan malas, derit becak dan kelenengan sepeda

yang simpang-siur menyeberang, serta penjual roti yang

me-nyerukan dagangannya. Aku bahkan bisa membayangkan

betapa angin meniupkan aroma sate kambing yang diba-

kar Pak Heri di pojok Jalan Sabang dan Asem Lama. Aku

bisa membayangkan dia tengah mengulek kacang tanah lalu

mencampurnya dengan kecap manis dan irisan bawang merah.

Dan aku masih ingat betapa sahabatku, Dimas Suryo, akan

mempelajari dan membahas bumbu kacang tanah Pak Heri

dengan intens sama seperti dia membicarakan bait-bait puisi

Rivai Apin.

Semua kerewelan di luar itu biasanya ditutup dengan

bunyi siulan gerobak Soehardi, penjual kue putu langganan

kami yang senantiasa berhenti di depan Tjahaja Foto. Selain

aroma sate kambing Pak Heri, suara siulan itulah yang bisa
menembus memasuki kamar gelap. Biasanya kamar gelap

ini bisa mengalihkan suara-suara melalui warna hitam yang

mematikan. Tetapi bunyi dan aroma kue putu itu selalu ber-

hasil mengetuk pintu dan jendela. Itu pertanda aku harus

keluar dari ruang yang tak mengenal waktu ini.

Hari ini, entah mengapa, aku enggan melangkah keluar.

Aku sudah bisa membayangkan ruangan di luar tampak seperti

dunia yang muram: lampu neon yang menyiram lantai dan

lemari kaca; Soehardjo dan Liang yang meladeni pengunjung

yang mengambil hasil cetak foto atau memotret pas foto. Yang

belakangan ini adalah sumber mata pencaharian kami yang

tertinggi sejak dua tahun lalu. Hampir setiap hari, paling tidak,

ada sepuluh sampai lima belas orang yang harus membuat

surat keterangan tidak terlibat Gerakan 30 September yang

butuh pas foto.

Bunyi siulan dari gerobak kue putu itu masih memanggilmanggil. Aku masih
juga belum bergerak. Aku merasa bunyi
siulan itu bercampur dengan siul seorang lelaki. Perlahan-

lahan aku mendengar langkah tegap yang memasuki toko

kami. Kini aku tak tahu mana yang lebih ribut: siulan gerobak

kue putu atau debar jantungku.


PENGUNGKAPAN PERISTIWA

“Selamat malam, Pak.”

“Selamat malam,” terdengar suara Adi Tjahjono, pemilik

toko Tjahaja Foto.

“Bisa bertemu dengan Pak Hananto?”

Aku tak mendengar jawaban Adi. Aku membayangkan dia

agak curiga. Aku menduga tamunya berjumlah tiga orang; atau

mungkin mereka berempat.

“Boleh saya tahu siapakah kalian?”

“Saya saudara sepupunya dari Jawa Tengah,” terdengar

suara lelaki lain yang lebih halus dan terpelajar.

Adi terdiam.

Aku tahu, Adi Tjahjono terpaksa takluk pada kehalusan dan

tata krama lelaki yang mengaku “sepupunya dari Jawa Tengah”

itu. Tetapi aku tak mendengar apa pun. Aku membayangkan

dia mencoba berpikir, berlama-lama.

“Hananto Prawiro, Pak,” terdengar suara lain yang lebih


berat dan menekan. Seolah-olah jika Adi Tjahjono masih

menggunakan taktik mengingat-ingat, si suara berat itu akan

segera mendekat dan mencekiknya.

Di dalam kamar gelap, aku berdiri tidak bergerak dan

tak juga merancang siasat. Aku masih mendengar siulan ge-

robak putu yang kini seperti memainkan “Miroirs” dari Ravel.

Mengapa bukan “Boléro”, aku tak paham. Mungkin “Miroirs”

selalu berhasil mencerabut rasa sentimentalitas.

Kamar gelap tak memiliki jendela. Jadi kalau pun aku

ingin menyelinap keluar dan lari, aku harus menggunakan

pintu, dan itu berarti secepat apa pun langkahku mereka akan

mengepungku dari segala arah. Tetapi aku memang sudah takberminat hidup
dalam perburuan. Bukan karena kehidupan

yang tak nikmat dan melarat. Bukan pula karena aku sudah

kehilangan gelora perlawanan. Tetapi kabar yang terakhir

kudengar, Surti dan anak-anak sudah dipindahkan dari Guntur

dan Budi Kemuliaan. Pada satu titik aku harus berhenti. Bukan
karena aku tak percaya lagi pada perjuangan. Tetapi aku

ingin Surti dan ketiga anakku bisa hidup aman. Paling tidak,

aku berutang pada mereka selama tiga tahun hidup dalam

perburuan.

Terdengar derit pintu. Kenapa aku selalu saja lupa memi-

nyaki engsel itu. Suara Adi yang menyampaikan kedatangan

“sepupu dari Jawa Tengah” tergerus oleh siulan gerobak putu.

Aku tak terlalu mendengar pernyataannya, tapi aku tahu isinya.

Aku harus menyerahkan diri.

Kami saling memandang. Aku bisa melihat air mata yang

mengambang di pelupuk mata Adi. Aku tahu, dia tak berdaya.

Aku mengangguk dan mengambil jaketku. Hari ini tanggal 6

April 1968. Kulirik lenganku. Aku baru ingat, arlojiku sudah

kuberikan pada Dimas. Kudengar dia, Nug, dan Risjaf sedang

bersembunyi di Peking. Titoni 17 Jewels itu mungkin akan

membantunya lebih tepat waktu. Aku hanya mengamati warna

pergelangan tanganku yang belang.


Keempat “tamu dari Jawa Tengah” itu langsung menyam-

but kedatanganku. Dan entah bagaimana, keempatnya serentak

berdiri mengelilingiku dengan tangan terselip di balik jaket.

Tepatnya, mereka mengepungku sembari bersiap menembak

jika aku menyelinap dan lari. Salah satu dari mereka, mungkin

pemimpinnya, menghampiriku.

“Bapak Hananto, saya Lettu Mukidjo,” dia tersenyum.

Dialah yang bersuara sopan dan penuh tata krama tadi. Kini

aku bisa melihat matanya yang bercahaya. Dia tersenyum puas.

Dari senyumnya itu selintas aku menangkap silau gigi emas

yang menyeruak melalui bibirnya. Aku tahu, dia puas karenaaku adalah butir
terakhir rangkaian yang mereka buru. Ratusan

teman-temanku sudah mereka tangkap sejak perburuan yang

dimulai tiga tahun lalu.

“Mari ikut kami….”

Lettu Mukidjo sungguh beradab, padahal aku sudah

siap digelandang dan ditendang kanan kiri. Menurut kabar


kawan-kawan, mereka penasaran sekali mencari aku hingga

me nyebutku sang Bayang-bayang. aku mengangguk dengan

tenang dan melangkah diiringi keempat lelaki berbaju sipil

yang pamit pada adi Tjahjono.

Malam telah turun. Tanpa gerutu dan tanpa siasat. aku

mengikuti mereka menghampiri dua buah mobil yang diparkir

di depan Tjahaja Foto: Nissan Patrol dan Toyota kanvas. Lettu

Mukidjo, pemilik gigi emas, mempersilakan aku menumpang

jip Toyota kanvas. aku membayangkan wajah surti, Kenanga,

Bulan, dan alam. dan entah mengapa, dari seluruh kawan-

kawanku, hanya wajah dimas suryo yang terus-me nerus

mengikutiku. Ketika mesin mobil dinyalakan, aku me nebarkan

pandangan ke seluruh malam di Jalan sabang: gerobak kue

putu soehardi, sate Pak Heri, warung bakmi godog, dan

terakhir lampu neon Tjahaja Foto yang berkelap-kelip. Untuk

terakhir kalinya.
MENUJU KONFLIK

“Perjuangan diteruskan....”

Ah, suara itu. Dia lagi. Vivienne berdiri di sampingku

lengkap dengan bola mata berwarna hijau dan bibir yang selalu

kubayangkan akan sempurna jika dikatup oleh bibirku.

Vivienne tersenyum dan menunjuk poster yang menam-

pilkan siluet enam orang dengan tulisan La Lutte Continue.

“Ini artinya ‘Perjuangan diteruskan’,” kata Vivienne dengan

manis menggunakan bahasa Inggris.

“Ah, semangat mahasiswa dan buruh bersatu?”

“Semangat seluruh rakyat Prancis,” kata Vivienne tegas.

Aku mengangguk, tapi Vivienne menanggapi keraguan di

wajahku. Dia mengajakku ke salah satu warung kopi terdekat.

Vivienne memesan kopi untuk kami berdua. Kopi di Paris selalu

tersedia dalam cangkir mungil yang lebih cocok digunakan

untuk menyimpan sebutir berlian. Kali pertama mencobanya,

aku hampir terjengkang. Aromanya terasa kaya lemak dan luar


biasa legit. Apa yang mereka masukkan ke dalam kopinya?

Sekilo gula dan segalon susu?

Kini, kesekian kalinya sesapan pertama krim kaya lemak

itu menyentuh lidahku. Lagi-lagi aku tersedak. Ada apa dengankopi wangsa
Eropa ini?

“Kenapa? Tidak suka?” Vivienne menyadari aku menelan

kopi itu dengan susah payah.

“Kamu mesti mencoba kopi dari Indonesia. Kami mem-

punyai ratusan, mungkin ribuan, macam kopi,” kataku agak

berlebihan. Entah kenapa aku ingin dia terkesan dengan

tempat asalku. Pastilah dia, seperti juga orang Prancis lainnya,

belum tahu banyak tentang l’Indonésie.

Vivienne tersenyum mendengarkan celotehanku tentang

kopi toraja, kopi mandailing, kopi tubruk, dan kopi luwak.

Aku menceritakan asal-usul kopi yang terbungkus kotoran he-

wan bernama luwak itu. Vivienne kelihatan mencoba sopan

dan tidak ingin menertawakan aku. Dia tak percaya. Aku bisa
membaca dari sepasang mata hijau yang mempertanyakan

bagaimana seekor binatang bernama luwak bisa menelan biji

kopi dan menyulapnya menjadi lezat. Apalagi setelah kusebut

kopi luwak sebagai kopi yang demikian dahsyat hingga pada

hirupan pertama kita seperti mencapai orgasme pagi. Vivienne

tertawa terpingkal-pingkal.

“Kamu sungguh membuat aku lupa tentang negaraku

yang porak-poranda ini,” katanya terengah-engah di antara

derai tawa dan air matanya yang menyembul. Aku tergetar

mendengar rangkaian tawanya yang merdu.

“Porak-poranda?”

Vivienne mendadak berhenti tertawa.

“Kawan-kawan kami diserang polisi. Kampus ditutup dan

para politisi bingung.”

Dia bukan mengeluh. Dia mengucapkan itu semua seperti

membaca fakta saja.

Aku menyaksikan bibir Vivienne yang berceloteh. Dia


sungguh tak tahu arti porak-poranda di negeriku. Pasti berita

tentang Indonesia hanya memakan tempat sekadarnya di

harian Le Monde dan Le Figaro. Mereka memahami Indonesiadalam konteks


sebagai sebuah negara di Asia Tenggara, yang

pada peta letaknya tak jauh dari Vietnam (bagi orang Prancis,

negara Asia yang dikenalnya hanyalah Vietnam dan Cina). Bagi

Vivienne dan kawan-kawannya yang tengah dibakar gelora,

kesia-siaan perang Vietnam adalah titik awal segala gerakan

generasi muda di Amerika dan Eropa. Jangankan mendengar

nama Sukarno, Hatta, Sjahrir, dan Tan Malaka. Jangan pula

menyebut peristiwa berdarah 30 September 1965, karena me-

reka masih pada tahap harus membuka peta untuk mencari

letak Indonesia.

Vivienne terus saja menceracau tentang asal mula keingin-

an mahasiswa Nanterre yang kemudian berkembang menjadi

gerakan mahasiswa yang gigantik yang diikuti oleh para buruh.

Aku tak tahan. Aku tahu betul, jika Vivienne mengetahui apa
yang terjadi di Indonesia, dia akan menghentikan ceracaunya.

Tapi aku juga tidak (atau belum) ingin berbicara tentang

lautan darah di tanah airku. Bagaimana caranya menghentikan

celoteh ini?

Aku memutuskan untuk pindah duduk ke samping

Vivienne. Aku mengambil dagunya yang lancip dan cantik.

Betul juga. Dia berhenti mencericit dan matanya yang hijau

membesar. Aku membaca gairah di sana. Akhirnya, kututup

bibirnya dengan bibirku. Dan tanpa kopi luwak, kami meng-

alami pencapaian orgasmik melalui ciuman yang tak henti-

hentinya.

Selama beberapa bulan kemudian, Vivienne dan aku

berlagak seperti para flâneur2 yang berjalan-jalan karena ingin

menikmati langkah kaki dan kota Paris. Revolusi Mei 1968

tiba-tiba seperti tak lagi bersisa. Prancis kembali menjadinegara yang


flamboyan meski tetap santun dan teratur.
Selama itu pula Vivienne tak memaksaku untuk bercerita

tentang diriku. Dia tak banyak—atau tepatnya, belum berani—

bertanya tentang sejengkal dua jengkal sejarah hidupku. Dan

aku sudah tahu banyak tentang dirinya.

Vivienne adalah anak bungsu keluarga Deveraux yang

berdomisili di Lyon. Kakak lelakinya, Jean Deveraux, sudah

lama bekerja sebagai tenaga sukarela Palang Merah di beberapa

negara Afrika.Dua sepupunya, Marie-Claire dan Mathilde, ber-

sama Vivienne menempuh pendidikan di Sorbonne. Mereka

adalah trio brunette galak yang suaranya terdengar lantang

selama demonstrasi bulan Mei. Bedanya, sementara Marie-

Claire yang bertubuh penuh itu gemar sekali memeluk siapa

saja yang ditemuinya, Mathilde justru selalu memandang

semua orang dengan mata penuh curiga.

Vivienne jelas seorang perempuan cerdas yang kepan-

daiannya dipupuk oleh kehidupan keluarga intelektual kelas

menengah Prancis yang mementingkan pencapaian akademik.


Tetapi kecerdasan di Prancis, atau bahkan di seluruh Eropa,

mudah ditemukan di mana-mana. Yang membedakan Vivienne

dari kedua sepupunya adalah kepekaannya. Vivienne segera

saja paham bahwa sikapnya yang terbuka padaku itu tidak

otomatis mendapat barter sejarah hidupku. Dia menyadari,

kedatanganku ke Paris bukan karena aku adalah bagian dari

keluarga bourgeoisie yang sibuk mengutip Albert Camus

sebagai bagian dari kekenesan. Dia tahu betul, ada sesuatu

yang memaksaku berhenti dan tertahan di Eropa. Mungkin

dari caraku menghitung lembaran franc dengan hati-hati atau

karena aku hanya bisa berlama-lama di toko buku bekas tanpa

membeli. Dia sungguh perempuan yang penuh pengertian.

Tetapi yang luar biasa dari tubuh padat sintal berambut

brunette itu adalah, Vivienne tak memaksa aku untuk segera

mengeluarkan seluruh rinci sejarah kehidupanku versiensiklopedik. Dia sengaja


membiarkan aku meneteskannya

sedikit demi sedikit dari botol ingatanku.


Sebagai seorang pendatang baru, aku hanya akrab dengan

arah Metro area apartemenku yang kumuh dan beberapa

warung makanan Vietnam, yang lebih mirip dengan makanan

Indonesia dan Cina dibanding makanan Eropa yang sangat

hemat bumbu. Vivienne kemudian menawarkan diri untuk

mengantarku ke Bibliothèque Nationale di Palais Mazarin.

Dengan menggunakan kartu anggotanya kami meminjam

beberapa buku sastra dan politik. Perpustakaan itu begitu besar,

dan aku masih merasa terlalu kikuk untuk berani mengarungi

seluruh lantai. Aku berjanji akan ke sana sendirian, suatu

hari.

Vivienne mengajakku mengelilingi bagian Paris yang tak

terlalu mahal untuk kantong pengelana sepertiku (aku belum

tahu bagaimana menyebut diriku: Pelarian? Pengelana?

Pengangguran? Atau agar sedikit lebih bermartabat: Penulis?

Wartawan tanpa koran?). Kami—yang terdiri dari aku

bersama tiga sahabatku yang bising—sudah mengunjungi Le


Grand Palais, gereja Notre Dame, dan menyusuri Île Saint-

Louis. Kami berlagak seperti pengelana romantis yang siap

mencomot nama lokasi di Paris dalam (calon) sajak atau

novel kami. Padahal kami hanyalah sekelompok korban

politik Indonesia yang bertingkah seperti turis yang pura-pura

berhemat. Mungkin menertawakan diri sendiri adalah cara

kami bertahan. Entahlah.

Berjalan-jalan menyusuri urat nadi Paris bersama

Vivienne tentu saja menjadi sebuah pencerahan. Mungkin

karena Vivienne adalah seorang perempuan maka dia lebih

paham dengan tubuh Paris. Tapi bukankah sastrawan seperti

Ernest Hemingway bisa menyusun huruf dan menata cinta

(meski belakangan, seperti biasa, berantakan) tentang Paris,

A Moveable Feast.

Aku tak tahu apakah Paris menjadi sebuah perayaan yang

senantiasa bergerak seperti yang diutarakan Hemingway.

Untuk kami, Paris pertama-tama adalah Terre d’Asile. Sele-


bihnya, Sungai Seine, toko Shakespeare & Co, atau bahkan

bangku panjang di Île Saint-Louis tempat pertama kali kami

berciuman begitu panjang, adalah suatu pengalaman yang da-

tang secara tak terduga. Jika Paris sebagai Terre d’Asile adalah

sebuah kebutuhan, maka hal-hal yang terseret bersama tubuh

dan jiwa Paris kemudian menjadi bagian tubuh kami.

Aku sudah sering menyusuri sebelah kanan Sungai Seine,

yang dianggap sebagai sisi yang populer dan disukai turis.

Kami berempat—Mas Nug, Tjai, Risjaf, dan aku—pernah saling

berjanji ingin menikmati seluruh Prancis sebelum bisa pulang

ke tanah air (entah kapan).

Tetapi Vivienne malah memperlihatkan bagian menarik di

sebelah kiri Sungai Seine yang terdiri dari deretan warung buku

bekas. Vivienne bahkan memperkenalkan aku pada Monsieur

Antoine Martin, seorang pensiunan polisi yang mencintai

sastra sedemikian dalam hingga bersedia duduk di warungnya

membacakan beberapa penggal novel Alain Robbe-Grillet dan


Marguerite Duras atau puisi karya René Char. Pertunjukan

kecil-kecilan itu berhasil menarik pengunjung untuk membeli

buku-buku bekas yang dijualnya dengan harga cukup murah.

Hari-hari yang kami isi sebagai flâneur ini sedikit demi

sedikit menyuburkan kosakata Prancisku. Semula kamus

otakku hanya terdiri dari kata oui atau non atau ça va. Karena

Vivienne yang memaksa menambah sepuluh kata Prancis ke

dalam lemari kosakataku setiap hari, maka aku mulai belajar

bahasa jelita ini dengan serius. Tetapi, sebetulnya, ada satu

hal lebih penting yang menyebabkan tak henti-hentinya aku

melekat padanya. Matanya. Aku ingin sekali terjun ke dalam

matanya yang hijau itu, dan terkubur selama-lamanya di situ.

Dan bibir Vivienne adalah sepotong puisi yang belum selesai.Aku yakin, hanya
bibirku yang bisa menyelesaikannya menjadi

sebuah puisi yang lengkap.

Anda mungkin juga menyukai