Penulis: Media Indonesia Pada: Rabu, 19 Sep 2018, 05:00 WIB Editorial MI
Struktur Teks Teks
Masalah / Konstitusi di negeri ini menjamin hak setiap warga Pernyataan negara untuk baik memilih maupun dipilih dalam kontestasi Pendapat pemilihan umum. Apa pun alasannya, negara tidak boleh mengabaikan hak dasar warga negara tersebut. Hak konstitusional harus dilindungi, tak boleh sekali-kali dianulir, apalagi hanya oleh alasan administrasi kependudukan. Argumentasi Hal itu perlu kita ingatkan lagi karena saat ini ada potensi hilangnya hak pilih sekitar 5 juta calon pemilih yang baru akan berusia 17 tahun pada rentang 1 Januari 2019 hingga 17 April 2019. Mereka ialah bagian dari pemilih pemula yang haknya kurang terakomodasi secara jelas oleh regulasi pemilu yang berlaku sekarang. Problem itu sejatinya berakar dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam salah satu pasalnya, yaitu Pasal 348 UU Pemilu, mengatur bahwa pada Pemilu 2019, untuk pertama kalinya, kepemilikan KTP elektronik (KTP-E) menjadi syarat sah bagi warga negara untuk dapat menggunakan hak pilih. Tanpa KTP-E, mereka tak bisa memilih, begitulah kira-kira narasinya. Tidak ada kompromi. Bagi yang telah memenuhi syarat umur sebagai pemilih tetapi belum memiliki KTP-E, mereka diberi waktu hingga 31 Desember 2018 untuk melakukan perekaman untuk memperoleh KTP-E. Surat keterangan (suket) atau surat pengganti KTP-E yang lain tidak berlaku bagi mereka. Dari sinilah kemudian muncul persoalan. Jika Kementerian Dalam Negeri menetapkan batas waktu perekaman hingga 31 Desember 2018, lantas bagaimana dengan mereka yang baru akan memenuhi syarat umur mengikuti pemilu, yakni 17 tahun, setelah tanggal itu? Dengan kata lain, apa acuan bagi mereka yang lahir pada 1 Januari 2002 sampai 17 April 2002, untuk mendapat keabsahan ikut memilih? Potensi persoalan itu mestinya tidak bisa dianggap main-main karena menurut data Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, jumlah pemilih pemula itu mencapai 5.035.887 jiwa. Jika ditambah dengan mereka yang belum melakukan perekaman KTP-E sebanyak sekitar 6 juta jiwa, jumlahnya hampir 6% dari daftar pemilih tetap (DPT) yang telah ditetapkan KPU. Jelas, butuh terobosan untuk menyelamatkan hak para pemilih pemula tersebut. Secara teknis memang perlu perlakuan khusus bagi mereka, misalnya diperbolehkannya mereka menggunakan suket pengganti KTP-E sebagai syarat ikut memilih di Pemilu 2019 atau diberi tambahan kelonggaran waktu untuk merekam data setelah 31 Desember 2018 agar mereka bisa mendapatkan KTP-E sebelum hari H pemilu. Namun, persoalan kedua ialah legalitas untuk mewadahi terobosan-terobosan tersebut. Merevisi UU Pemilu jelas tak memungkinkan secara waktu. Pilihan lain, menuangkannya dalam peraturan KPU (PKPU), sepertinya tak akan cukup menggigit, bahkan mungkin bakal memicu polemik, seperti pembahasan PKPU tentang larangan eks napi korupsi maju sebagai bacaleg. Penegasan Ulang Kita berpendapat, untuk saat ini penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan menjadi pilihan terbaik untuk membungkus hak para pemilih muda belia tersebut. Sesuai dengan namanya, kedudukan perppu tentu saja sama kuat dengan undang- undang. Ia juga relatif lebih jauh dari kepentingan partai politik. Karena itu, demi melindungi dan menyelamatkan 5 juta suara pemilih pemula, kita berharap pemerintah segera mengeluarkan perppu tentang pemilu.
Opini yang terdapat pada teks editorial tersebut.
Jenis Opini Teks
Kritik (Paragraf 1, Kalimat 3) Hak konstitusional harus dilindungi, tak boleh sekali- kali dianulir, apalagi hanya oleh alasan administrasi kependudukan. Penilaian (Paragraf 6) Potensi persoalan itu mestinya tidak bisa dianggap main-main karena menurut data Ditjen Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri, jumlah pemilih pemula itu mencapai 5.035.887 jiwa. Jika ditambah dengan mereka yang belum melakukan perekaman KTP-E sebanyak sekitar 6 juta jiwa, jumlahnya hampir 6% dari daftar pemilih tetap (DPT) yang telah ditetapkan KPU. Prediksi (Paragraf 8, Kalimat 2) Pilihan lain, menuangkannya dalam peraturan KPU (PKPU), sepertinya tak akan cukup menggigit, bahkan mungkin bakal memicu polemik, seperti pembahasan PKPU tentang larangan eks napi korupsi maju sebagai bacaleg. Harapan (Paragraf 9, Kalimat 4) Karena itu, demi melindungi dan menyelamatkan 5 juta suara pemilih pemula, kita berharap pemerintah segera mengeluarkan perppu tentang pemilu. Saran (Paragraf 7, Kalimat 2) Secara teknis memang perlu perlakuan khusus bagi mereka, misalnya diperbolehkannya mereka menggunakan suket pengganti KTP-E sebagai syarat ikut memilih di Pemilu 2019 atau diberi tambahan kelonggaran waktu untuk merekam data setelah 31 Desember 2018 agar mereka bisa mendapatkan KTP-E sebelum hari H pemilu.