telingaku dan memenuhi seluruh isi kepala, menghalau suara bising itu menyakiti hatiku. Keramaian ini membuatku merasa sendirian, terisolasi di antara mereka dan dalam bising itu, selalu terdengar kata-kata “Anak Penjahat”. Dengan raut wajah yang menghakimi dan memojokkanku ke dalam kegelapan, terkadang aku berpikir untuk lebih baik menjadi tuli dan hidup dalam kesunyian yang membingungkan.
Dia, seorang cinta pertamaku sosok yang bahunya
begitu tegap kupandang dari jauh ketika kecil, sosok yang ku yakini sebagai pahlawan super yang dapat melindungi dari monster bawah kasur saat usiaku belum genap tujuh tahun… ya dia adalah ayahku. Semua bayangan tentangnya memudar sejak sepuluh tahun yang lalu, saat ia memutuskan pergi merantau ke kota yang penuh tanda tanya itu dan meninggalkan keluarga ini yang terus menunggu. Aku menunggu kedatangannya saat ulang tahunku, namun nyatanya hal itu hanyalah anganku saja. Hari terus berganti, hingga ibuku jatuh sakit karena memikirkan bagaimana kondisi ayah di luar sana. Aku yang melihat ibuku kesakitan berusaha mengabari ayah tentang kondisi ibu saat ini. Namun nyatanya hal itu sia -sia, ayah tidak dapat dihubungi sama sekali. Tetapi aku terus menunggu akan kedatangan ayah untuk melihat kondisi ibu saat ini. Nyatanya ibu tidak kuat menahan rasa sakit yang sedang ia alami, hingga akhirnya ia pun pergi untuk selamanya meninggalkan ku sendirian. Aku kecewa karena ayah tidak datang untuk melihat kondisi ibu saat sakit, namun aku berharap ayah akan datang untuk memakamkan ibu. Kenyataannya hal itu tidak dapat terjadi, ayah tidak datang saat pemakaman ibu berlangsung.
Sejak ibu tiada, ayah pergi entah kemana, aku
adalah kepala keluarga untuk diriku sendiri. Selama ini, aku hidup dengan bekerja menjadi tukang las sepatu keliling selama lima bulan, kadang kala aku menjadi tukang cuci dari rumah ke rumah dikala tak sanggup untuk membeli senggenggam nasi hangat dan dengan kiriman uang yang entah dari mana selalu datang bagaikan angin malam setiap minggunya, namun semuanya berakhir meninggalkanku terpuruk kesekian kalinya. Hingga akhirnya aku mendapat sebuah kabar terntang ayah, bahwa ia seorang “penjahat” ibu kota. Aku terkejut mendengar kabar akan hal itu, apalagi setelah kepergian ibu aku harus mendapat kabar bahwa ayahku adalah seorang “penjahat”. Kota ini menjadi tempat paling memuakkan bagiku, tiap detiknya terasa seperti hukuman hidup. Tetapi sungguh tak pernah terbayangkan selangkah lagi aku akan menuju kota itu, kota yang menenggelamkan ayahku entah kemana.
Aku memandangi selembar tiket kereta ekonomi
termurah yang bisa aku dapatkan, sesungguhnya ini adalah seluruh uang tabungan dari bekerja menjadi tukang las sepatu keliling selama lima bulan terakhir, kadang kala aku menjadi tukang cuci dari rumah ke rumah dikala tak sanggup untuk membeli segenggam nasi hangat. Kota ini menjadi tempat paling memuakkan bagiku, tiap detiknya terasa seperti hukuman hidup. Tetapi sungguh tak pernah terbayangkan selangkah lagi aku akan menuju kota itu, kota yang menenggelamkan ayahku entah kemana. Dengan hati yang berat, aku memasuki kota yang penuh dengan keasingan. Langkahku terhenti di persimpangan jalan, tak tahu harus ke mana. Dalam pencarian keberadaan ayahku, aku merasa seperti seorang penyelam yang terjebak di lautan kegelapan, mencoba menemukan jejak yang mungkin telah lama terhapus oleh arus waktu. Di tengah keramaian kota, aku merasa kecil dan terasing. Setiap sudut jalanan membawa kenangan tentang ayahku dan dalam setiap suara bising yang melibatkan kata "Penjahat", aku merasa seperti kutukan yang terus menghantui. Tidak ada jaminan bahwa aku akan menemui ayah, tetapi dalam kegelapan yang mendalam, aku mencari cahaya harapan yang mungkin masih bersinar di suatu tempat di kota ini. Aku adalah anak yang mencari jawaban di antara bayang - bayang masa lalu, siap menghadapi takdir yang mungkin menunggu di ujung perjalanan ini. Lapas di tengah ibu kota ini begitu besar, meski lemah rasanya untuk menapakkan kaki, tetapi tempat ini adalah tujuan terakhir. Aku ingin melihat ayah untuk pertama kali sejak sepuluh tahun dan entah mengapa rasanya akan menjadi yang terakhir kali. Apakah wajahnya masih setentram dahulu, ataukah aku tak lagi sanggup mengenalinya sebagai ayah melainkan hanya seorang penjahat. “Silakan kunjungan dengan tahanan nomor 025 atas nama Naratama Mahendra, waktu hanya dipersilakan selama 30 menit.” begitulah yang disampaikan seorang sipir di ruang kunjungan.
“Danayla” satu kata yang terucap dari mulutnya
sanggup membuat bulu kuduk ku berdiri dan tubuhku menegang. Aku menatap tepat di kedua matanya. “Pergi saja, tidak ada yang kau cari di tempat ini.” sambungnya, mematahkan seluruh perjuanganku menemuinya di kota asing yang mengerikan ini. Rasa kecewa mendobrak jarak di antara kami, pasti dia melihatnya dengan jelas melalui sorot wajahku yang diredam kekecewaan, ingin sekali mengungkapkan seluruh penderitaan yang lama terpendam menjadi sebuah luka kering yang siap berdarah lagi.
Namun satu kata pun enggan tersuarakan, terganti
dengan air mata dan rintihan panjang yang terdengar begitu sakit. Dan itulah hasil akhir yang aku dapatkan, kami sama-sama pergi meninggalkan satu sama lain dengan perasaan yang tak sanggup digambarkan bahkan oleh langit dan seisinya, benar nyatanya dia adalah seorang penjahat bahkan bagi putrinya.
Satu tahun telah berlalu, aku menemukan diriku
menggenggam tangan yang begitu hangat dan kasar, hanya aku yang menggenggam tangannya sedangkan sang empunya hanya menerima dengan tak berdaya. Aku seperti sedang menghianati diriku sendiri, satu tahun yang lalu saat ayah memintaku pergi dengan begitu dingin, rasanya aku sangat ingin membencinya sampai hari wafatku, tapi kini aku justru mendampinginya di ranjang rumah sakit seperti seorang anak perempuan yang tak sanggup kehilangan setengah jiwanya. Gagal ginjal stadium akhir, begitulah hasil pemeriksaan yang diberikan pihak Rumah Sakit, kata dokter hal ini diakibatkan oleh efek samping dari donor ginjal.
“Pak Naratama pernah melakukan donor ginjal
sebelumnya?” tanyaku kepada petugas kepolisian di luar ruang rawat inap. Sebagai seseorang yang berstatus tahanan, tentunya ayah tidak pernah luput dari pengawasan bahkan disaat seperti ini. “Menurut data yang ada, memang pernah dilakukan tiga tahun yang lalu.” Aku baru saja mengetahui satu hal tentangnya dari jutaan hal yang tak pernah ku temui jawabannya.
Sementara aku yang diam tenggelam dalam
pertanyaan, mengapa ia menukar ginjalnya dan kepada siapa ia melakukannya petugas kepolisian tadi memberikanku secarik kertas berisikan sebuah alamat. “Pergilah kesana, kamu akan temukan seluruh hidup ayahmu selama sepuluh tahun terakhir.” Saat itu aku tidak tahu bahwa secarik alamat ini dapat membawaku ke belahan dunia lain, tempat dimana hidup dapat begitu menyiksa seseorang berhati tulus yang tidak memiliki petunjuk.
Kawasan kampung Dusun Atas, Jakarta Pusat.
Begitulah alamat yang tertera pada secarik kertas lusuh dengan tinta hampir pudar sepudar keyakinanku tentang apakah benar tempat ini merupakan tempat yang menyimpan seluruh saksi hidup ayah selama sepuluh tahun terakhir?. Kawasan kumuh dengan deretan rumah berjarak hampir tak beraturan, jalan penuh kerusakan tanpa aspal membuat sangat awam terlihat genangan air di sekitarnya. Aku meringis hampir gemetar saat melihat beberapa anak kecil berkerumun makan di satu wadah yang sama, mereka tidak saling bersaing untuk setiap butir nasi tetapi aku yakin sekali mereka bahkan tidak merasa kenyang dengan itu. Dengan mengikuti petunjuk alamat, aku dihadapkan oleh sebuah bangunan tua di Dusun Atas. Atmosfer di tempat ini sangat gelap dan menyesakkan. Di tengah kepenatan dan rasa takut yang bergema, aku melangkah menuju sebuah ruangan yang terpancarkan sinar. Di sana, aku bertemu dengan seorang wanita lanjut usia berambut putih panjang yang sedang duduk di kursi rotan sederhana. Wanita tersebut nampaknya menyadari kehadiranku, dengan perlahan ia menatap mataku dan tersenyum dengan penuh ketulusan.
“Kamu Danayla, anak Naratama?” tanpa
menunggu jawaban pasti dariku, dia sudah bangkit dan menggenggam punggung tanganku lembut. “Perkenalkan namaku Nirmala, dan aku adalah bukti dari kebaikan ayahmu”. Tubuhku terpaku, aku tak memahami apa maksud dari ucapannya, bagaimana mungkin ia merupakan bukti kebaikan dari seseorang yang dikenal sebagai penjahat ibu kota?. Mungkin sebuah tanda tanya besar tergambarkan jelas di kedua bilik mataku, wanita tua tersebut mengangguk tanda mengerti dan menuntunku untuk duduk di sampingnya. Dengan ditemani aroma kayu lapuk tua dari seluruh dinding bercampur dengan bau cengkeh yang menusuk namun ajaibnya mampu menenangkan hati, wanita tua bernama Nirmala itu mulai bercerita dan mengajakku kembali ke masa lalu, tepatnya sepuluh tahun yang lalu.
“Sepuluh tahun yang lalu, aku bertemu dengan
ayahmu di Kawasan kumuh ini. Meskipun kami berdua merupakan orang asing, tapi satu hal pasti yang membuat hidup rasanya masih pantas untuk dibagi adalah harapan untuk menjadi lebih baik, namun berakhir pada kenyataan bahwa kami hanyalah bagian dari sisi gelap ibu kota. Ayahmu adalah sosok yang begitu berbeda, ia sangat tekun dan pantang menyerah dalam melakukan pekerjaanya. Ia melakukan banyak pekerjaan kasar setiap harinya, terkadang menjadi kuli bangunan lalu esoknya menjadi supir truk pengangkut muatan besar, bahkan tak malu menjadi tukang cuci harian. Aku selalu bertanya- tanya apa yang sebenarnya ia kejar dengan seluruh tulang yang ia banting tiap harinya untuk ditukar sepeser uang”.
Nirmala menghentikan ceritanya sejenak, lalu
beranjak bangun dengan perlahan. Tangannya meraba- raba ke seluruh permukaan laci usang di hadapannya. Sebuah kotak berukuran tanggung berwarna hitam berlapis debu itu ternyata yang ia cari. Ia menyerahkan kotak tersebut padaku, aku membukanya dengan hati-hati dan menemui diriku merasakan sebuah kehancuran dahsyat yang meruntuhkan seluruh hatiku. Sebuah foto keluarga yang begitu hangat dengan ibu dan ayah yang sedang menggendong buah hatinya, itu foto keluargaku.
“Seperti yang kau pikirkan, itulah alasannya
membanting tulang dengan penuh keteguhan hati selama ini. Naratama hanya ingin membawa keluarga kecilnya membangun hidup yang lebih baik di suatu tempat di kota ini, dengan seluruh usaha yang ia percaya akan membuahkan hasil.”
Air mata tampaknya tanpa permisi memutuskan
untuk membasahi kedua pipiku, kenyataan bahwa ayah tidak pernah sekalipun melupakan keluarganya seperti yang selalu ku yakini selama ini, dan bagaimana ayah menanggung segala beban berat sendirian tanpa pelukan hangat dan senyuman penuh kasih sayang dari keluarga kecilnya membuat seluruh kebencian yang lama terpendam di dasar hati, luluh menjadi rasa sakit yang menyesakkan dada. Ayah mengapa kamu membiarkan tubuh gagah mu berjuang sendirian dan menjadi begitu ringkih?
“Ayah sekarang seorang narapidana, ia akan
berada di lapas dalam waktu yang lama. Mengapa anda masih setia berada di tempat ini?” tanyaku pada wanita tua tersebut.
“Aku akan berada di tempat ini sepanjang usiaku,
anak muda. Ada hutang yang harus ku tebus kepada ayahmu, Naratama. Meskipun jutaan kali ia memohon padaku untuk melupakannya, kebaikannya menjadi sebuah jawaban atas alasan mengapa aku harus bertahan hidup lebih lama.”
“Hutang seperti apa yang membuat anda
mengabadikan hidup di tempat ini?”. Aku menatap lurus kedua matanya, wanita itu terdiam untuk waktu yang cukup panjang seolah menimang - nimang keputusan untuk menceritakannya atau tidak.
Aku hendak berdiri dan berpamitan padanya,
kebimbangan yang terukir di wajahnya cukup membuatku sadar bahwa kemungkinan besar itu adalah sebuah hutang yang besar dan tak mampu diucapkan tanpa mendapatkan luka setelahnya. Namun urung ku lakukan ketika sebuah tangan menggenggam pergelangan tanganku erat, gerak tubuhnya seolah memohon padaku untuk kembali duduk dan bersiap mendengarkannya.
“Aku pernah hampir menjadi korban pelecehan,
tepat satu tahun setelah aku beradu nasib di kota mengerikan ini. Sungguh aku hanyalah gadis dari desa yang begitu jauh, dengan mimpi yang terlampau besar untuk menjadi seorang penyanyi terkenal. Aku berpikir kota ini dapat membawaku naik ke atas panggung, dan bernyanyi dengan seluruh kebebasan yang lama ku dambakan, namun nyatanya aku tak lebih dari perantau yang tinggal di kawasan kumuh dan menyambung hidup dengan bernyanyi di bar malam”. Hembusan nafas panjang memberikan jeda atas ceritanya, ia terus menatap ke langit - langit atap kayu yang mulai rapuh oleh rayap.
“Ayahmu menyelamatkanku dari tragedi
mengerikan yang mungkin dapat mengubah seluruh jalan hidupku menjadi sebuah kemalangan abadi jika ia tidak pernah datang malam itu. Ia memasang badan untuk melindungiku dari pemilik bar tak beradab bermata keranjang. Perkelahian tak terelakkan di tengah suasana yang memanas, ayahmu berhasil menang namun membawaku pergi menyelamatkan diri dengan tubuhnya yang penuh bekas tusukan. Sejak itu setiap rasa sakit yang ia tanggung, adalah hutang yang harus ku tebus suatu hari nanti.”
“Dan inilah hari penebusan ku… menunggumu
datang bertemu denganku dan menjelaskan semuanya adalah bentuk penebusan hutang yang bisa ku lakukan untuk ayahmu, Naratama”.
“Danayla, kamu bukanlah anak seorang
penjahat.”....
“Suatu hari Naratama pulang ke rumah dengan
gelap mata, pikirannya kosong dan tingkahnya gelagapan satu hal yang selalu ia katakan adalah aku harus mencari uang, istriku harus disembuhkan. Setelahnya aku mengetahui bahwa ia baru saja mendapatkan kabar bahwa istrinya yaitu ibumu di kampung halaman jatuh sakit parah, tumor otak. Dokter menganjurkan untuk dilakukan rangkaian penyembuhan seperti radioterapi, kemoterapi, bahkan operasi jika memungkinkan dan itu memerlukan biaya dengan nominal yang sangat besar.”
“Pekerjaan serabutannya saat itu jelas tidak
mungkin dapat menyanggupi biaya pengobatan istrinya, sehingga ia memutuskan pergi mencari pekerjaan lebih. Rekannya bernama William merekomendasikan untuk pergi ke daerah Jakarta Selatan, tempat pusat perbisnisan ibu kota.”
“Aku tidak tahu secara mendetail apa yang terjadi
pada ayahmu disana, tetapi Naratama pergi selama tiga bulan tanpa meninggalkan kabar. Lalu di bulan kelima ia menghubungiku untuk menyatakan pesan yang terdengar lebih seperti wasiat.”
“Nirmala dengarkan aku, aku tidak bisa kembali
kesana karena kondisi istriku semakin memburuk dan aku telah memutuskan untuk menyetujui sebuah perjanjian besar yang mungkin membuatku takkan sanggup kembali menemui keluargaku lagi, apapun itu saat ini yang terpenting adalah istriku ia harus sembuh… Danayla membutuhkannya melebihi apapun. Lupakan tentang hal yang kau anggap hutang padaku, aku melakukannya dengan seluruh ketulusan hati. Pergilah hidup dengan bebas dan lebih bahagia, namun jika kau bersedia tinggal lah di rumahku untuk sesaat, dikala mungkin keluargaku mencari keberadaanku.”
“Dan itulah untuk terakhir kali aku mendapatkan
kabar darinya, ia tidak pernah kembali lagi dan aku menjalani hari - hari ku di tempat ini sesuai permintaanya. Sampai akhirnya terdengar berita bahwa nama yang akrab di telinga itu sedang menjadi buah bibir hangat di pemberitaan seluruh kota bahwa Naratama Mahendra adalah seorang pelaku kriminal.”
Wanita tua itu menyerahkan sebuah sobekan
kertas lusuh yang entah sejak kapan ia genggam. Ia memberikannya padaku, tertulis sebuah nama ‘William Salim’, nomor telepon, dan nama perusahaan. “Setelah kabar itu, aku tidak pernah percaya dan terus mencari kebenarannya, namun seluruh pencarianku menuju pada orang yang namanya ada di sana. Pergilah kesana dan temui orang itu, temukan titik terang masalah ayahmu, aku yakin ia tidak bersalah”.
Dan untuk kesekian kalinya, aku akan menemui
penjelajahan baru demi mengungkap kebenaran ayah, apapun yang ada di tempat itu aku berharap dapat menjadi titik terang dari perjalanan penuh teka - teki menyakitkan ini. Akhirnya aku berhasil mendatangi kota besar yang selama ini hanya sanggup kubayangkan rupanya. Kota ini begitu besar, di kiri kanannya terlihat gedung pencakar langit yang sedang berlomba menjadi lebih tinggi dan memeluk langit. Kendaraan tampak riuh saling meneriaki satu sama lain, seolah segalanya dalam keadaan terburu - buru. Langit malam tidak dipenuhi bintang dan rembulan seperti di desa, tergantikan cahaya menyilaukan dari seluruh sudut ruang tiap gedung. Kehidupan di tempat ini terasa begitu nyaman dan menjanjikan namun sekaligus terasa begitu palsu dan menyakitkan.
William Salim, ia adalah orang yang aku cari di
tengah senandung ramai kota. Percakapan melalui telepon dengannya dua hari yang lalu hanya berakhir singkat dengan ia meminta untuk bertemu di sebuah tempat makan bergengsi di tengah kota. Aku telah menunggunya di tempat ini selama kurang lebih dua jam dan masih terus menunggu, apakah ia benar - benar akan datang dan memenuhi janji?.
Pukul 16.00 menandakan aku telah menunggu
selama lebih dari tiga jam, aku berniat untuk pergi dan mencoba membuat janji temu dengannya di waktu lain. Namun secercah harapan kembali berbinar ketika seseorang laki - laki dewasa mengenakan kemeja lengan panjang warna putih dengan lengan dilipat rapi tampak berjalan mendekat ke arahku.
“Selamat sore, saya William Salim mohon maaf
telah membuat anda menunggu lama, seperti biasa macet di Jakarta tidak mampu saya elakkan.” Ucapnya dengan tersenyum lalu menyalami ku.
Aku hanya mengangguk dengan begitu kaku,
kami berdua sama - sama dalam posisi yang canggung untuk beberapa saat sampai ia membuka suara perlahan “jadi jenis pekerjaan apa yang anda sedang butuhkan?”. Pekerjaanya adalah menghubungkan para calon pekerja dengan perusahaan yang sedang butuh untuk merekrut karyawan, pasti ia mengira aku menemuinya karena alasan demikian.
“Aku tidak datang menemuimu untuk alasan itu,
tuan.”
“Lalu apa yang anda butuhkan?.”
“Apakah anda mengenal seseorang bernama
Naratama Mahendra?.”
Tepat setelah nama itu kuucapkan, matanya
membulat seketika. Wajahnya tampak mengeras secara mendadak ia bangun dari posisinya, dan menatap wajahku dengan begitu erat. Nafasnya tak beraturan membuat kegugupan terlihat jelas memenuhi rongga dadanya.
“Anda mungkin keliru, saya tidak mengenal
seseorang bernama Naratama.”
“Saya tidak mungkin keliru, anda William Salim
orang yang merekomendasikan beliau pekerjaan di kota ini lima tahun yang lalu kan?.”
“Maaf saya seorang agen pekerjaan, waktu saya
terbatas silakan hubungi ke kantor jika masih ada pertanyaan.” Ucapnya singkat dan bergegas untuk pergi meninggalkan percakapan.
“Tolong, jelaskan apa yang terjadi kepada ayah
saya lima tahun yang lalu di kota ini…saya mohon.”
Laki - laki itu menghentikan langkahnya dan
berbalik dengan cepat, wajahnya yang mengeras seketika berubah menjadi sorot wajah terkejut dan dengan lirih ia berkata “ Kamu anak Naratama?.”
Setelah itu, ia membawaku ke suatu tempat
dimana ia mulai mengenal ayahku. Perjalanan panjang itu berakhir di sebuah tempat terpencil namun masih berada di tengah kota. Sebuah pekarangan rumah yang cukup luas dan tampak cantik terawat oleh berbagai tanaman hias di sekitar. Semakin langkahku menyusuri masuk ke dalamnya, semakin jelas terdengar suara riang gembira anak - anak dari kejauhan. Aku tidak memiliki petunjuk tentang tempat apa sebenarnya ini, sampai aku melihat sebuah plang nama bertuliskan “Rumah Anak Yatim.” Di tempat itu aku mengetahui darinya segala tentang yang sebenarnya terjadi selama lima tahun setelah ayah memutuskan pindah ke kota untuk mencari uang. Ayah memang meminta pekerjaan darinya dengan nominal gaji yang besar, tentunya di tengah kota tidak sulit menemukan pekerjaan kasar yang menghasilkan banyak uang. Ia merekomendasikan ayahku kepada seorang pengusaha kaya raya yang sedang membutuhkan pengawal pribadi. Ayahku menjalani hari - hari yang sangat berat selama menjadi seorang pengawal, ia terpaksa seringkali harus memukul pekerja lain yang dianggap tidak kompeten atas perintah atasan. Ia juga banyak melihat transaksi gelap yang dilakukan atasannya dengan para koneksi pengusaha lain di balik layar setiap harinya, membuat dirinya yang datang dari desa dengan seluruh keluguan tak sanggup menerima itu semua. Dikala ayahku lelah dengan pekerjaannya, ia selalu memanggil William untuk berkunjung ke rumah penampungan yatim piatu ini, untuk menghabiskan waktu bersama anak - anak secara sukarelawan.
Sampai suatu hari ayahku menghubungi William
untuk bertanya pendapatnya. Atasannya secara tiba - tiba membutuhkan donor ginjal, dan menjanjikan nominal uang yang sangat besar bersamaan dengan kondisi ketika ibuku memburuk kala itu. Pengusaha itu berjanji akan membayar ayah sesuai nominal yang telah ditentukan, dan berjanji merawatnya hingga masa pasca operasi telah selesai. Ayahku tampak tak yakin, tetapi William terus meyakinkannya untuk mengambil kesempatan itu, dan itulah bentuk penyesalan terdalamnya selama ini.
Dan benar saja, pengusaha itu mengkhianati
ayahku. Ia tidak melakukan donor ginjal untuk menyelamatkan seseorang, melainkan untuk diperjualbelikan secara ilegal demi mendapatkan keuntungan yang jauh lebih besar. Hak ayahku selalu ditunda untuk diberikan dengan berbagai alasan yang memuakkan. Ayahku menjalani pengobatan setelah donor sendirian tanpa pertanggung jawaban. Di tengah keputusasaan yang melanda jiwa dan akal sehatnya, ayah menemui atasannya secara langsung untuk secara tegas meminta hak miliknya.
Bagaikan tupai yang mencoba loncat lalu
diterkam rubah licik, ayahku tidak mengerti bahwa bukan seperti itu cara kerja hidup di tengah perkotaan. Ia tidak mengerti bahwa saat itu yang dihadapi adalah seekor rubah licik bermandikan uang yang hilang rasa kemanusiaan. Dengan hanya satu malam, kenyataan bahwa ayahku hanya berusaha memperjuangkan hak miliknya berubah bagaikan membalikkan telapak tangan menjadi seolah ayahku yang melakukan penganiayaan dan menggelapkan uang atasannya.
Dan pada akhirnya ayahku tidak pernah kembali
mengunjungi rumah yatim piatu tempat ia melepas lelah, ia tidak pernah kembali ke daerah kumuh untuk menemui sahabat lamanya Nirmala, dan ia gagal membawa keluarga kecilnya menemui kebahagiaan di sudut kota yang nyatanya penuh kecurangan dan keserakahan. Ayahku dijadikan kambing hitam oleh orang - orang kaya yang tidak mengerti sakitnya bekerja di bawah telapak kaki seseorang sambil menatap langit - langit penuh harapan, dapat hidup lebih baik esok hari. Setelah mengetahui seluruh kebenaran yang ada, akan sangat amat berdosa jika aku hanya diam saja melihat dunia menghakimi seseorang yang bahkan tak melakukan kesalahan apapun. Ayahku telah berjuang selama ini sendirian tanpa pernah sekalipun berhenti memikirkan keluarga tercintanya. Kini, adalah giliranku untuk memulihkan seluruh luka yang ia tanggung dengan segenap jiwa. Aku akan memulihkan namanya di hadapan dunia, dengan seluruh tenaga dan bersama orang - orang yang mendukungku dan ayah. Aku dan William bekerja siang dan malam bersama rekan kenalannya yang bekerja sebagai seorang pengacara, kami mengumpulkan seluruh bukti dan petunjuk penyalahgunaan kekuasaan oleh sang pengusaha, sedangkan Nirmala mencoba mengumpulkan riwayat hidup ayah yang bersih dari tindakan kriminal selama di kawasan Dukuh Atas, ini dapat membantu sidang banding Ayah di pengadilan.
Bagaikan alam semesta ikut menyertai, kami
dipermudah untuk menguak kejahatan sang pengusaha licik selama ini. Kami menyiapkan media massa untuk mempublikasikan kebenaran dan siap menghantar kehancuran kepada mereka yang sembunyi di balik kehidupan yang nyaman diatas rintihan sakit orang lain.
“Dengan ini pengadilan menyatakan bahwa
tersangka Malik Benjamin pemilik perusahaan Mayore Company terbukti secara hukum melakukan tindakan kriminalitas berupa, penganiayaan terhadap tenaga kerja, melakukan transaksi gelap organ manusia, memanipulasi pernyataan terhadap terdakwa Naratama Mahendra dengan pernyataan palsu dan memberatkan satu pihak. Maka dari itu Malik Bendjamin dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara dengan jangka waktu sesuai dengan peraturan yang berlaku, dan saudara Naratama Mahendra dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan bersyarat.”
Begitulah keputusan terakhir yang disampaikan
pengadilan. Pada akhirnya kebenaran terungkap dan semua orang yang pernah menyalahkan berbalik mendukung dan menyanjung nama ayahku, Naratama Mahendra sosok ayah terbaik kata mereka. Meskipun itu semua tidak akan pernah sebanding dengan rasa sakit yang mereka berikan kepada ayah selama ini, setidaknya semua orang harus tahu bahwa ayahku bukanlah seorang penjahat.
Dengan bergegas aku menuju Rumah Sakit
dengan menggenggam buket bunga mawar merah kesukaan ayah, dan sebuah senyuman hangat yang sudah dilatih sejak menuju ke sana. Aku ingin menemui ayah setelah perjalanan panjang bagaikan akhir dunia, aku ingin membawanya pulang dan meyakinkannya bahwa kehidupan yang lebih baik tidak selalu harus di tengah kota, hidup yang lebih baik adalah dimanapun ketika hidup di sisi ayah selamanya. “Ayah… Danayla di sini, ayah tidak sendirian lagi.”
Tanganku mengusap wajahnya yang seingatku
terasa hangat beberapa waktu yang lalu namun kini telah menjadi dingin, aku menggenggam tangannya tidak ada jawaban di sana, lalu aku mencium keningnya berharap dalam diam ia membuka matanya dan tersenyum untuk pertama kali sejak sepuluh tahun terakhir ia mencium dahiku dan tersenyum sebelum berpamitan pergi. Namun, senyuman itu tidak pernah datang untukku. Bunga ini menjadi bunga terakhir, aku kehilangannya lagi untuk kesekian kali dan kali ini aku tidak punya kekuatan untuk menemukannya lagi.
Aku memejamkan mata, dan disana aku melihat
ayah sedang dimarahi ibu karena pergi meninggalkannya terlalu lama. Mereka telah dipersatukan oleh akhir cerita, meninggalkanku yang masih mencari akhir cerita ini. Akhirnya aku melanjutkan hidup demi mereka yang mengandalkanku.
Uang milik ayah yang akhirnya diberikan, aku
sumbangkan sebagian besar untuk rumah yatim piatu tempat ayah selalu datang dulu. Sebagian lagi ku berikan kepada wanita tua bernama Nirmala, ia akhirnya meninggalkan rumah di kawasan kumuh dan pindah ke kota besar untuk bernyanyi ke dalam bagian perkumpulan teater bersama wanita paruh baya lainnya, dan mewujudkan mimpinya untuk bernyanyi di atas panggung.
Lalu bagaimana denganku? aku kembali ke desa
menjaga sisa kenangan yang masih tersimpan di sana. Meninggalkan keserakahan kota dan melanjutkan hidup sendirian di desa yang tak lagi ku benci namun ku cintai karena telah menjadi bagian dari satu - satunya ingatan bahagiaku, hidup bersama keluarga kecilku. Kota besar itu tidak pernah menenggelamkan ayahku, karena aku putrinya akan selalu datang menemukannya untuk sejuta kali. Dan ayahku bukanlah seorang penjahat…
~ THE END ~
Sinopsis:
Anak yang tumbuh dalam bayang-bayang status
ayahnya sebagai seorang narapidana, Danayla, memutuskan mengejar jejak sang ayah di tengah kota yang dipenuhi rintangan. Dengan hati berat, ia menemukan bukti kebaikan sang ayah melalui seorang wanita tua, Nirmala, yang mendedikasikan hidupnya untuk membayar hutang pada ayah Danayla. Kehidupan ayahnya yang penuh perjuangan, mencari pengobatan untuk istri tercintanya, dan memutuskan untuk mengambil jalan sulit demi keluarganya, mengungkapkan sisi lain dari seorang penjahat. Danayla kemudian diberi petunjuk untuk mencari jawaban di Jakarta Selatan, di mana misteri yang lebih dalam mengelilingi nama William Salim. Dalam pencariannya, Danayla berharap menemukan kebenaran yang akan meruntuhkan stigmatisme atas nama ayahnya dan membebaskannya dari bayang-bayang masa lalu yang kelam.