Anda di halaman 1dari 6

Malam Hujan Bulan Desember

Karya Guntur Alam


Malam ketika Ayah membunuh Ibu, hujan turun dengan deras.
Aku ingat, itu bulan Desember, karena lonceng dan kidung Natal
bergema dari gereja sebelah kontrakan kami. Tak ada yang
mendengar jeritan Ibu. Gemuruh hujan menenggelamkannya.
Aku tak tahu, apa alasan yang membuat Ayah berbuat sekejam
itu. Dari pertengkaran mereka, akulah biang keladinya. Dari dulu, Ibu
memang selalu bercerita, kalau Ayah tak menyukaiku. Aku tak tahu
kenapa.
Aku juga tidak tahu, siapa nama ayahku. Karena sejak aku lahir,
kami baru bertemu malam itu. Kusebut saja namanya Joe. Ibuku
bernama Maria (bukan nama sebenarnya). Kami tinggal di Kota J.
Kota tempat orang-orang datang mengadu nasib, kata Ibu.
Mulanya, Ibu juga membenciku. Kutahu itu dari setiap cerita
yang dia uraikan padaku. Pelbagai cara sudah Ibu lakukan agar aku
mati saat di dalam kandungannya. Dari mulai Ibu mengkonsumsi
jamu-jamu penggugur kandungan, makan nanas muda, loncat-loncat,
naik turun tangga, bahkan Ibu pernah beberapa kali memukul-mukul
perutnya dengan keras.
Iklan
LAPORKAN IKLAN INI

“Tapi kau tetap bertahan di dalam sana. Kau berpegang semakin


kuat dan kokoh. Hingga aku luluh,” desisnya setiap kami bertatap
mata. “Kau seolah berkata bahwa kau ingin hidup. Jadi aku
membiarkan kau hidup. Aku berhenti berusaha membunuhmu.”
Aku hanya menjawab cerita Ibu dengan kerjapan mata saja. Lalu
tersenyum. Aku tak ingin bertanya, apa alasannya ingin
membunuhku? Aku juga tak ingin menyalahkannya. Setiap melihatku
seperti itu, air mata Ibu akan terburai, kemudian dia akan memelukku
dengan lembut. Mengecup keningku dan pada akhirnya akan kembali
menangis tanpa suara. Aku akan membiarkan Ibu menuntaskan
tangisnya. Pelan-pelan kubalas pelukannya.
****
Kata Ibu, Ayah sedang coass, sudah setahun lebih dia pergi.
Beberapa kali dia datang ke Kota D, mengurus keperluannya. Setiap
dia datang, dia selalu mengirimkan pesan singkat pada Ibu bahkan
menelpon. Tapi Ibu selalu mencari alasan agar mereka tidak bertemu.
“Kau tahu kenapa aku menghindari Ayahmu?”
Ibu selalu melontarkan tanya itu padaku, setiap dia mengulang-
ulang kisah ini. Aku hanya mengerjap, berusaha tersenyum, tak
menjawab apa-apa. Aku tak tahu. Tapi aku sudah tahu karena ini
kesekian ratus kalinya Ibu mengisahkan cerita yang sama.
“Karena aku tak ingin Ayahmu membawaku ke klinik aborsi
temannya,” suara Ibu terdengar bergetar. Terasa begitu kerontang di
telingaku. “Ayahmu sudah memintaku untuk menggugurkanmu. Dia
juga sudah mengirimiku uang. Tapi seperti yang kau tahu. Aku selalu
gagal melakukannya. Untuk pergi ke dokter, aku takut. Akhirnya, aku
menyerah dan membiarkanmu tumbuh.”
Aku ingin mengucapkan terima kasih setiap Ibu berkata jika dia
yang membiarkan aku hidup. Dalam pandanganku, Ibu menjelma
malaikat penuh kasih yang bersayap.
Ayahku lelaki tampan, kata Ibu. Dia berdarah Sumatra. Berotak
pintar. Tak salah jika dia bisa sekolah di tempat yang luar biasa di
Kota D. Sementara Ibu, dia perempuan dari tanah jauh di timur
Indonesia. Tempat orang-orang bermata sipit, kulit putih, dan rambut
hitam tergerai hidup. Mereka berkenalan di Kota D, di tanah rantau
yang seharusnya jadi tempat mereka membentuk masa depan.
“Kami jatuh cinta pada pandangan pertama.”
Tiap kali mengisahkan bagian ini, mata Ibu akan selalu
berbinar-binar. Aku melihat dia mengulum senyum manis. Dari retina
matanya bermekaran bunga-bunga. Ibu selalu tak kuasa
menyembunyikan rona bahagia di pipinya, bila dia mengenang betapa
manis perjumpaannya dengan Ayah.
Awalnya, semua berjalan normal. Tak ada yang istimewa, kata
Ibu. Mereka berpacaran layaknya muda-mudi lainnya. Kencan di
malam Minggu, nonton film bersama, mencari buku, atau sekadar
minum kopi bersama di café favorit mereka.
Lalu tak tahu siapa yang memulai. Dari sekadar bergenggaman
tangan, berpelukan, saling memanggut bibir, kemudian semua
berjalan semakin jauh. Helai demi helai benang tersingkap. Mereka
dimabuk cinta, hingga Ibu tersadar ketika semua telah usai.
“Aku menangis waktu itu,” cerita Ibu. “Juga Ayahmu. Dia ikut
menangis. Badannya gemetar. Dia takut. Takut sekali. Aku juga takut.
Lama sekali kami bertangisan. Menyesali kebodohan, tapi semua
sudah terjadi. Tak ada yang bisa disesali.”
Pada bagian ini mata Ibu akan berkaca-kaca, lalu air mata akan
mengembang di retinanya. Dia menarik napas berkali-kali, berkali-
kali pula mengelap pipinya. Aku paham, titik itu adalah awal semua
petaka dalam hidupnya.
Usai sadar dia tak akan mampu mengeringkan air matanya
dalam sekejap, Ibu akan meneruskan ceritanya lagi. Dia tak paham –
tak tahu dengan Ayah, setiap kali berduaan di kamar yang Ayah sewa
atau pun kamar Ibu, mereka akan kembali mengulang hal yang
mereka sesali itu. Berkali-kali. Mula-mula, Ibu masih kerap menangis
dan menyesali. Tapi lama-lama tidak lagi, terlebih ketika Ayah
mengatakan semua baik-baik saja. Saat dia sudah menjadi dokter
nanti, mereka akan menikah. Sebelum itu terjadi, Ibu juga akan segera
menyelesaikan tugasnya di sini. Tugas mereka hanya satu: Jangan
sampai ada sesuatu yang tumbuh di perut Ibu.
****
Sesungguhnya, Ibu tak pernah menyangka sama sekali aku akan
datang. Aku seperti tamu yang tak diundang, mengendap-endap
dalam gelap, lalu tiba-tiba hadir begitu saja. Beberapa tahun Ayah dan
Ibu menyatu, tak ada masalah. Ibu selalu meminum pil yang dibelikan
Ayah. Jadi Ibu sangat terkejut ketika tiba-tiba dia tersadar sudah telat
tiga bulan.
“Aku panik sekali,” suara Ibu kembali bergetar. “Kutelepon
Ayahmu yang sedang coass di rumah sakit yang ada di Pekanbaru.
Dia pun terkejut. Tapi hanya beberapa detik.” Ibu menghela napas.
Menatapku lama, mengusap pipiku, dan berusaha tersenyum. Getir.
“Seperti yang kau tahu, Ayahmu memintaku membunuhmu.”
Suara Ibu terdengar datar dan dingin. Aku selalu merinding jika
ceritanya sampai di titik ini. “Dia tak bisa menemaniku. Dia harus
coass, hanya boleh datang menemuiku jika dapat libur. Sisanya
seperti yang kau tahu. Aku berusaha membunuhmu. Tapi selalu
gagal.”
Hening. Aku tak berani bersuara. Wajah Ibu terlihat
menakutkan. Kusut masai, persis seperti wajah perempuan gila. Ah,
tidak. Lebih tepatnya persis seperti wajah perempuan yang mati
penasaran. Lalu dia berubah jadi hantu.
Masih menurut cerita Ibu, sejak dia memutuskan memberiku
kesempatan untuk hidup. Ibu meninggalkan Kota D. Dia cuti dari
tempatnya belajar. Ibu ingin menjauh dari orang-orang yang
mengenalnya termasuk Ayah.
“Biar kau bisa lahir dengan selamat,” terang Ibu. Aku
mengangguk mafhum. Ibuku memang Maria, tapi dia bukan
perempuan suci yang dititipi Tuhan. Jadi ketika aku lahir nanti, aku
bukanlah Nabi. Karena aku bukan Nabi, makanya Ibu pergi
bersembunyi. Bersembunyi dari orangtuanya, teman-teman, dan tentu
saja ayahku.
Dalam rencana Ibu, dia menggadang angan yang sangat besar.
Nanti, setelah aku lahir dan melihatku demikian tampan, Ayah akan
luluh hatinya. Kemudian mereka menikah. Ibu sudah ratusan bahkan
ribuan kali berlatih di depan cermin, tentang kalimat-kalimat yang
akan dilontarkan pada orangtuanya kelak. Pun tentang penjelasan
untuk Ayah.
Diam-diam, tanpa sepengetahuan Ibu, aku pun memupuk
harapan dan impian yang sama. Aku ingin bertemu ayahku. Bertemu
kedua kakek-nenekku, dan akhir kisah Ibu, kami akan hidup bahagia
seperti cerita-cerita dongeng yang kerap Ibu bacakan saat aku akan
tidur.
****
Hari itu aku berdebar. Jantungku terasa akan lepas dari
tangkainya. Semua bermuasal dari telepon yang Ibu terima. Dari
percakapan yang Ibu lakukan, aku tahu dia tengah berbicara dengan
Ayah. Terdengar Ibu terisak. Tak tahu apa yang mereka ucapkan. Aku
tak terlalu mendengarnya. Ibu menelpon dari dalam kamar mandi.
“Ayahmu akan datang,” desis Ibu saat keluar dari dalam kamar
mandi. “Sudah waktunya. Kita bersiap.” Saat itulah aku tersentak. Dia
menatapku, lama. Matanya sedikit basah. Tapi perlahan Ibu
tersenyum.
Aku tahu, ini masa yang dia tunggu-tunggu. Ibu selalu berkata,
suatu saat kami akan bertemu Ayah. Di masa itu semua akan berakhir
bahagia.
Dadaku mengembang. Aku berdoa memang begitu adanya.
Perlahan, hujan turun petang itu. Petang di minggu terakhir bulan
Desember.
****
Malam ketika Ayah membunuh Ibu, hujan deras mengguyur.
Saat itu umurku baru empat bulan. Tangan Ibu terlihat menggapai-
gapai udara, dia berkelojotan. Tapi Ayah tak peduli, dia tak
mengendurkan cekikannya. Kakinya tetap menjepit Ibu dan
menindihnya. Tak ada yang mendengar kegaduhan itu. Hujan deras
menenggelamkannya. Tak lama, Ibu tak bergerak lagi. Barulah Ayah
melepaskan cekikannya.
Aku yang berada di atas ranjang mengkerut. Ayah menatapku
dengan tatapan dingin. Badanku gemetar. Aku ingin berlari dan
menjerit minta tolong. Tapi aku tak mampu. Wajahku memias ketika
Ayah mengambil bantal. Dalam hitungan detik, Ayah membekapku
dengan bantal itu. Napasku seketika sesak. Aku ingin menangis agar
ada yang mendengar dan menolongku, tapi tenggorokanku tersumbat.
Kakiku menendang-nendang dalam popok kain.
Udara terasa menjauh. Wajahku membiru. Aku merasakan
dadaku akan pecah. Ayah tak mengendurkan bekapannya. Aku
pasrah. Kupandang Ayah. Mata kami bertaut. Entah, apa aku salah
lihat. Matanya berkaca-kaca. Sesuatu yang hangat jatuh dari sudut
matanya, mengenai pipiku, tepat ketika aku merasa dadaku meledak
dan kakiku berhenti bergerak.

Anda mungkin juga menyukai