Anda di halaman 1dari 4

“Aku tahu Tuhan adalah Maha Baik.

Siapapun yang
datang kepadaNya, tidak pernah diusirNya. Aku percaya,
Tuhan tidak akan pernah meninggalkan hamba-
hambanya dalam kesusahan”

PadaMu aku Berserah


Oleh: Cen Rian

Suara itu terdengar lagi. Semakin meninggi dan terus meninggi. Dan setelahnya ada suara
perempuan menangis. “Itu suara Ibuku,”gumamku dalam hati. Aku berlari kecil menghampiri
pintu yang menghubungkan ruang tamu dan dapur. Aku melihat ibu tersungkur di sudut meja.
Sementara ayahku masih berdiri dengan raut wajah yang kejam. Aku tahu apa yang terjadi dan
ibuku menangis lagi. Aku ingin sekali menyeka air mata itu. Aku ingin sekali memapah ibuku.
Namun aku takut ayah. Sikap ayah tak bisa ditebak, kadang ia akan seperti kain sutera yang
sangat lembut, terkadang ia akan berubah menjadi sosok yang menakutkan. Pandangan matanya
tajam. Tak terasa air mata membuncah di pelupuk mataku. Aku merasakan betapa hebat
kesedihan yang dialami ibuku.
***
Malam ini bintang dan bulan tidak menampakkan diri. Aku merasa sepi dan terasing di
malam ini. Biasanya aku ditemani bulan dan bintang mengarungi malam. Aku tidak mendengar
suara binatang malam menyanyikan lagu kesukaanku. “Kemana mereka semua?”aku membatin.
Sementara angin masih menusuk-nusuk tubuhku. Aku merasakan keindahan malam menjelama
menjadi hal yang amat menakutkan. Di balik jendela, aku masih menatap altar langit yang gelap.
“Kemana ayah yang selalu menghangatkanku selama ini? Mengapa ayah tidak memelukku lagi
malam ini?” Tak terasa air mata mengalir lembut di pipiku. Aku menyeka dengan kedua
tanganku, namun air mata terus mengalir.
Aku beranjak dari tempatku berdiri. Melangkah pelan menuju bilik kamar ibu. Aku
mengintip. Aku ingin tahu apa yang ibu lakukan di dalam sana. Dari tadi aku mendengar ibu
berbicara kecil. Entah ibu berbicara dengan siapa. Dan ayah, malam ini ia tidak ada di rumah. Ia
menghilang sejak sore tadi. Masih kuingat, tadi ayah merampas uang dari saku baju ibu. Bak tak
bersalah, ayah mencium uang itu berulang kali seperti ia menciumiku dulu. Itu uang untuk
keperluan sekolahku. Ayah pergi berjudi lagi. Entah apa yang ada dipikiran ayah. “Adakah ayah
memikirkan aku? Adakah ayah memikirkan keluarga kecil ini?”
Aku melihat ibu berlutut di depan Patung Bunda Maria. Ibu merangkapkankan kedua
tangannya. Aku melihat dengan jelas, air mata ibu meleleh di kedua pipinya. Ibu tak
menyekanya. Ibu membiarkan air mata itu jatuh ke lantai.
“Sudahlah Nak, jangan dipikirkan. Ibu masih ada uang untuk membayar SPP-mu,”kata
ibu setengah berbisik. Aku terkejut. Ibu sudah di sampingku. Aku memeluk ibu erat. Aku ingin
merasakan kehangatan orang yang telah melahirkanku itu. Aku juga ingin merasakan kepedihan
yang dialami ibu.
***
Bukan hanya yang tadi sore aku menemukan ibuku menangis. Sudah beberapa kali aku
melihatnya. Entah berapa kali pertengkaran yang tak kulihat. Dan entah berapa kali lagi
pertengkaran akan terjadi di hari yang akan datang. Ibu semakin tersiksa membangun rumah
tangga yang serba kekurangan. Ayah tidak bekerja. Ayah menghabiskan waktunya berjudi di
rumah Pak Manto yang tak jauh dari rumahku. Mungkin ayah frustasi karena dipecat dari
perusahaan. Sejak dipecat, ayah banyak menghabiskan waktu berjudi. Ayah kadang menyendiri,
dan ia tidak mau diganggu. Aku pernah ditamparnya. Kasih sayang, cinta, dan pelukan hangat
ayah sudah hilang. Semuanya sirna ditelan malam tak berpendar ini. Aku teringat kata ibuku
waktu aku masih kelas VI SD, “Hidup itu tidak selamanya berjalan mulus. Hidup tak selamanya
sesuai dengan apa yang kita cita-citaka. Hidup itu ibarat waktu yang berputar. Kita harus siap
menjalani hidup ini. Dekatkan diri pada Sang Kuasa. Tetaplah bersyukur apa pun yang terjadi,”
itu kata ibuku dulu.
Aku mengerti apa itu agama, aku tahu siapa itu Tuhan karena ibu selalu mengajarkanku.
Aku percaya akan Kebesaran, dan Kemurahan hati Tuhan. Sejak kecil ibu mengajari berdoa, dan
bersyukur kepada Tuhan atas segala anugerah, dan rahmatNya. Aku rindu ayah yang selalu
menemani aku, dan ibu berjalan beriring ke Gereja. Aku rindu ayah yang mengajari aku arti
hidup. Aku tahu betapa ayah berubah drastis. Dari penyayang menjadi pembenci. Dari yang
selalu bersyukur menjadi pelupa. Ayah tidak menyukuri kemurahan Tuhan sejak ia dipecat.
Ayah tidak bisa menerima kenyataan ini. Ayah menganggap ini musibah, bukan ujian. Dan
malam ini aku sempatkan diri berdoa pada Tuhan, “Tuhan hidup, dan mati ada di tanganMu. Aku
serahkan segalanya kepadaMu. Kembalikan ayahku yang dulu. Kembalikan ayah yang dulu
selalu bersyukur kepadaMu. Sadarkan ayahku Tuhan. Dan berilah kekuatan kepada ibuku.
Amin.”
***
Pagi menyambutku dengan kehangatan yang diberikan mentari. Sisa-sisa embun di dahan
pohon terbias mentari, menjadi cahaya yang indah. Aku tersenyum. Aku ingin cahaya itu
memenuhi rumahku. Suara burung dari belakang rumah terdengar merdu. Pohon-pohon seakan
tersenyum menyambut pagi. Aku melihat ibu menyeduh segelas teh hangat untuk ayah. Beberapa
gorengan sudah ada di atas meja. Ibu hafal betul, jam segini ayah pasti pulang.
Aku masih berdiri di depan rumah menatap keindahan pagi. Dari kejauhan aku melihat
sosok berjalan gontai. Makin dekat, makin jelas siapa yang datang. Itu ayah. Mukanya muram.
“Ayah habis berjudi,”gumamku. Perasaan benci tiba-tiba mengisi hatiku. Aku membenci ayahku.
“Dia bukan ayahku,”aku mendesah pelan tanpa bisa kutahan lagi. Kalimat itu seakan mengalir
sendiri. Aku tidak tahu setan apa yang mendorongku untuk menghujat ayahku. Aku merasa
bersalah karena telah menghakimi ayahku sendiri. Ibu selalu mengajariku untuk tidak membenci
siapapun, sekalipun orang itu membenciku. Ibu selalu bilang jangan membenci orang lain, tetapi
mendoakannya. Dan pagi ini, aku berbuat dosa. “Oh Tuhan maafkan aku. Aku telah melanggar
ajaran ibuku,”kataku dalam hati.
Ayah tiba-tiba berhenti di hadapanku. Aku menunduk. Aku tak sanggup menantang
pandangan ayah. Aku mendengar ayah melangkah mendekatiku. Semakin dekat, hingga tak
kusadari ayah berada 30 centi meter di hadapanku. Aku gugup. Jantungku berdetak kencang.
Keringat mengucur deras. Yang paling kutakutkan, ayah memegang bahuku. Aku ingin sekali
berlari sekuat tenaga menghindari amukan ayah. Aku takut ayah melempiaskan kekesalannya
kepadaku. Aku sadar betul, ayah tidak mampu lagi mengendalikan dirinya sejak dipecat dari
perusahaan tempat ayah bekerja. “Maafkan ayah, Nak,”suara ayah pelan. Ayah mengelus pipiku
berulang-ulang. Ayah mengangkat mukaku. Dan ayah tersenyum seperti dulu. Aku membalasnya
tulus. “Apakah ayah kembali?”tanyaku dalam hati. Aku tak sempat memeluk ayah. Ayah
berjalan pelan masuk ke dalam rumah. Sigap, aku membuntutinya. Langkahku terhenti saat ayah
menatap ibu. Aku ingin tahu apa yang ayah katakan pada ibu. “Apakah ayah akan mengatakan
hal yang sama kepada ibu?” Beberapa kali aku melihat ayah mencoba berbicara, namun ayah tak
kunjung mengucapkannya. Dan ibu tersenyum. Senyum yang sangat tulus kurasa. Senyum itu
tak ada ubahnya meski ibu selalu didera kesedihan. Aku melihat ibu adalah sosok yang tabah.
Ibu adalah penyayang sejati. Ibu memaklumi semua perubahan diri ayah. Aku tahu, ibu kerap
berdoa untuk ayah, dan aku. “Maafkan kelakuanku selama ini. Aku tahu aku salah padamu, pada
Mario, dan pada Tuhan,”kata ayah sambil menunduk. Air mata mengguyur pipi ayah. Ayah
menyekanya. Dan ibu menangis bahagia.
“Terima kasih Tuhan,”aku membatin.
Malang, 12 Mei 2013

Anda mungkin juga menyukai