Anda di halaman 1dari 2

SCRIPT PODCAST

Halo,

Namaku _____________

Aku hanyalah gadis kecil yang tinggal di sebuah desa yang kecil. Memang aku adalah seorang anak
tentara, dan ibuku hanyalah seorang ibu rumah tangga. Aku sangat menyayangi orang tuaku. Bagiku
mereka adalah malaikat penjagaku. Namun, aku lebih sayaaang kepada ayahku. Ayahku selalu
memanjakanku, menuruti keinginanku, mungkin karena aku satu-satunya anak perempuan. Aku
tidak pernah dipukul ayah, sangat berbeda dengan ibuku. Ibu sangat kejam kepadaku. Ini rasanya
tidak adil.

Pernah seketika aku bermain bersama teman-temanku. Memang sih hanya bermain sepeda.
Berputar mengelilingi komplek perumahan tentara, bersama _____ , ______, ______ dan ______

Ya, semua temanku bermain hari ini adalah anak lelaki. Karena teman-teman yang perempuan, tidak
mau bermain di siang hari panas seperti ini. Kami berlomba mengayuh sepeda hingga ujung runway.
Kami sangat bergembira sampai hari sudah menunjukkan pukul 5.30. Aku tak menyadari bahwa hari
telah sore. Tiba-tiba suara tak asing terdengar dari arah belakang “……………., ini sudah mau magrib
tapi kamu masih berkeliaran. Anak cewek kok mainnya dengan anak cowok?”

Saya seketika dijewer di depan teman-teman dan saya mendorong sepeda ke rumah diiringi oleh ibu
saya. Sampai di rumah ibu mengambil kemoceng dan memukul kaki saya dengan kemoceng. Kata ibu
supaya kakiku tidak panjang lagi. Karena kejadian itu, aku tidak dibolehkan keluar selama 1 minggu.
Sungguh membosankan pulang sekolah harus di rumah.

Selama seminggu, serasa kepalaku mau pecah. Pulang sekolah aku melihat ibu, sore melihat ibu,
malam melihat ibu lagi. Setidaknya lebih mendingan karena ayah sudah pulang. Setiap hari ibu
menghabiskan waktu di dapur, setelah dapur bersih kemudian ibu menyapu rumah, mengangkat
kain jemuran di siang hari, di sore hari ibu berkebun. Kejadian itu aku saksikan berulang-ulang
sampai bosan. Aku bingung kenapa ibu bisa bertahan melakukan rutinitas yang membosankan
seperti itu setiap hari.

Sampai pada hari itu, aku sudah tidur jam 8 malam. Ayah belum pulang. Entah apa yang membuatku
bangun malam itu. Oh, iya, ada suara pecah dari dapur. Aku pelan-pelan mengintip dari jendela
kamar dan ternyata ayah baru pulang jam 23.30. Seketika jantungku berdetak kencang. Ayah dan ibu
berkelahi. Aku tidak berani melihatnya. Aku melihat wajah ayah yang selalu lembut, ternyata sangat
menyeramkan. Aku melihat ibu menangis tersedu di lantai dapur. Aku tak berani keluar kamar.
Setelah menunggu setengah jam, ayah masuk kamar dan ibu masih menangis di dapur. Aku masih
mengintip dari jendela, aku melihat ibu pergi ke sudut rumah, yaitu ruang kecil yang biasa digunakan
untuk sembahyang. Aku mendatangi ibu, memeluk ibu. Ibu langsung menghapus air matanya dan
berusaha tegar di depanku. “Kenapa kamu bangun?” tanya ibu. Aku diam saja seakan ibu merasakan
detak jantungku yang kencang menyatu dengan detak jantung ibu.
Ibu yang masih memelukku kemudian mengelus kepalaku. “Kamu tahu, ……., ini adalah tempat
favorit ibu. Tidak bisa ibu lewatkan 1 haripun kesini. Di sini setiap malam, di saat kalian semua sudah
tertidur, ibu selalu datang ke sini. Ini tempat ternyaman ibu, karena di tempat ini, ibu menyerahkan
kepada Tuhan semua keinginan ibu. Tempat ibu berdoa untuk kesehatan dan keselamatan ayah, ….,
…, …, … Tenang saja. Ibu tidak bersedih. Ibu menangis supaya doa ibu dijawab oleh Tuhan. Ibu tak
memiliki apapun untuk kalian. Tapi ibu tahu doa menopang semua masalah dan kesulitan hidup yang
dialami oleh anak-anak Ibu.” Pelan-pelan denyut jantungku kembali normal.

Malam itu, aku tahu. Tempat kesenangan ibuku bukan di dapur, atau di kebun atau di kamar ketika
berdua dengan ayah. Tempat terfavorit ibuku adalah di ruangan itu, ruangan sembahyang yang
selalu wangi dan tampak teduh ketika aku memasukinya. Sekarang aku tahu, betapa ibu sangat
menyayangi kami, cara terbaik menjaga kami, anak-anak ibu, yaitu dengan selalu mendoakan kami.

Anda mungkin juga menyukai