Anda di halaman 1dari 14

Someday i’ll be fine, what day?

“Bolehkan?”
“Boleh apa, Na?”
“Boleh kalau aku minta kamu untuk tetap hidup?”
“...Aku tidak tahu, Na”
“Bisa, ya? Aku hanya ingin menjadi kebahagiaan untukmu, Laya.”
“Karena itu jangan pergi boleh? kalau kamu tidak ada, kebahagiaanku bagaimana?”
____

Sandyakala dengan perlahan memudar bersamaan dengan baskara yang membenamkan


dirinya. Semua yang indah akan selalu pergi, bersiap untuk mengukir sesuatu yang lebih indah
dari sebelumnya. Untuk kali ini, digantikan dengan langit hitam abu-abu dahulu. Namun, tetap
ada yang membuat indah. Sang Bulan siap menerangi malam gelap. Memang mau bagaimana
pun, akan selalu ada sesuatu yang membuat indah. Mau sejahat apapun semesta, Tuhan tetap adil
kepada kita semua.
Aku meneguk cappucino panas untuk kesekian kalinya. Melempar buku yang ku pinjam
di perpustakaan sekolah tadi pagi.
Tidak. Tidak benar. Kalau Tuhan benar adil, aku sudah bahagia sekarang.
Laya namanya. Seorang gadis berumur 16 tahun yang menyukai tulisan. Seluruh
hidupnya dipenuhi dengan huruf. Kalau huruf berupa manusia, pasti aku akan mencintainya
dengan sepenuh hati. Begitu katanya. Bahkan karena ia terlalu mencintai huruf, tulisan, kata,
sastra dan segalanya yang dijadikan satu benda yang disebut buku, ia tidak punya teman. Ah,
bukan. Bukan kalau kamu semua mengira Laya dirundung atau semacamnya. Semua teman di
kelasnya baik, hanya saja tidak ada yang benar-benar menjadi ‘temannya’.
Tok. Tok. Tok.
Pintu kamarku diketuk seseorang. Aku yang sedang berbaring memandang langit-langit
kamar sontak duduk. Menggerakkan bibir dan berkata “Ma-”
Belum usai satu kata ku ucapkan, pintu sudah dibuka dengan kasar. Seorang wanita paruh
baya dengan tas putih andalannya datang memelukku. Tanpa berbicara apapun, dia mencium pipi
kanan kiriku lalu keluar kamar, melambaikan tangan, dan menutup pintu.
Aku beranjak dari kasur dan melangkahkan kaki ku ke jendela kamar. Mengintip sedikit.
Mobil putih berhenti di depan rumah, wanita paruh baya yang memelukku tadi memasuki mobil
tersebut dengan gaya nya yang anggun.
Dia Mamaku. Anggap saja begitu karena aku terlahir dari rahimnya. Mama yang
meninggalkanku sejak aku berumur 1 tahun. Mama yang selalu memberiku pelukan di saat-saat
terakhir. Sosok pertama yang mengajarkanku arti perpisahan. Dia Mamaku. Anggap saja begitu.
Lengang. Aku kembali merebahkan diri di kasur. Sebentar saja Mama kemari, sudah
membuatku merasa sendiri lagi. Aku senang sendiri. Aku senang mendengar suara jalan raya
atau burung dan serangga yang biasa berbunyi. Aku menikmati pemandangan di luar jendela.
Aku menikmati kalau aku sendiri. Aku senang sendiri apabila bukan sepi yang kurasa.
2 Jam berlalu sejak kepergian Mama. Jam sudah menunjukkan pukul 01.00. Aku masih
terjaga. Insomnia ini terkadang membuatku yang sudah lelah menjadi semakin lelah. Bagaimana
tidak jadi semakin lelah kalau fisik kita sudah waktunya beristirahat tapi mata tidak bisa terpejam
dan pikiran selalu berjalan. Kalau begini, jalan terakhir adalah mendengar instrumen alat musik
flute dari vinyl milikku yang diberikan Ayah.
Ayah. Dia Ayahku. Akan selalu begitu. Sejak berumur 1 tahun, saat aku ditinggal oleh
Mama, ayah lah yang menjagaku, mengajak bermain, merawat dan mengasihiku. Waktu itu, aku
tidak pernah kekurangan kasih sayang sama sekali. Ayah menjadi dua sosok yang seorang anak
perempuan butuhkan disaat ia sedih maupun senang, Ayah menjadi Ibu dan Bapak bagiku. Ayah
selalu mengantarkanku dan menjemputku setiap pulang sekolah. Mendongengi dan bercerita
tentang apa saja untukku sebelum bermimpi indah. Layaknya rapunzel, ayah selalu menyisirkan
rambutku yang panjang sebelum berangkat sekolah. Ayah selalu bangun pagi sekali untuk
menyiapkan sarapan dan bekal buatku. Katanya, menu nya harus berbeda supaya aku tidak bosan
dengan makanannya dan ku makan sampai habis. Aku bahagia. Bahkan kalau memang Mama
tidak akan pernah pulang ke rumah saat itu, aku sudah bahagia. Nyatanya, aku tidak
membutuhkan keberadaan Mama di rumah. Aku tidak membutuhkannya, karena Ayah sudah
menjadi segalanya dalam hidupku.
9 Tahun umurku, Ayah membuatkan perpustakaan di rumah dan membelikanku vinyl.
Saat itu aku masih belum mengerti apa itu vinyl dan bagaimana cara memakainya. Setiap sore,
aku bersama ayah membaca buku di perpustakaan itu dan mendengarkan vinyl. Ayah yang
memasangnya. Aku selalu duduk manis di sofa dengan buku di genggaman tangan kecilku,
memperhatikan Ayah.
Seiring berjalannya waktu, aku yang tumbuh menjadi gadis manis periang lupa kenyataan
bahwa Ayah juga semakin tua. Mama yang sudah lama tidak pulang, hari itu, jam 17.00 tepat
saat matahari berproses menenggelamkan seluruh badannya, Mama pulang. Tepat saat aku dan
Ayah duduk di balkon atas menikmati senja bersama, tiba-tiba mobil putih itu datang. Mama
keluar dari mobilnya. Laya kecil berteriak dari balkon. “MAMAAAA! HAI HAI”
Mama yang mendengar mendongakkan kepalanya. Tersenyum, melambaikan tangan
“Hai, Layaa! Mama bawa sesuatu untuk Laya, turun yuk sini!!”
Laya kecil berlari menuruni anak tangga.
JDUK.
“LAYA!” Ayah yang semula tetap di balkon berlari menghampiriku. Mama yang baru
membuka pintu rumah terkejut melihat lututku berdarah karena terjatuh. Ia juga berlari menaiki
tangga, menghampiriku.
Mama memegang tangan kecilku. Menatapku. Mulutnya hendak berkata sesuatu tapi
tiba-tiba saja Ayah menepis tangannya yang memegang tanganku. “Kenapa sih, Yah?” Mama
terkejut.
Ayah tersenyum miring. “Bisa-bisanya masih ditanya kenapa, kamu jadi ibu gak pernah
bener gila! Laya jatuh gara-gara kamu!!”
Aku menatap Ayah. Itu pertama kalinya aku melihat Ayah berbeda dari biasanya.
Mama menuruni tangga, tidak menggubris perkataan Ayah barusan.
“Kamu mau ngapain, heh?!” Ayah berteriak lagi. Mama tidak menjawab. Ia kembali
dengan kotak P3K. Ayah menuruni tangga melewatiku. “Sini kotak P3K nya. Itu anak saya.”
“Itu anakku.”
“SINI KOTAKNYA”
“Tidak, itu anakku. Biar aku yang mengobati”
“BILANGNYA ANAK TAPI SEHARI-HARI TIDAK PERNAH DI URUSI, MALAH
MAIN DENGAN LAKI-LAKI LAIN!! Perempuan gila kamu!”
“Aku tidak main dengan laki-laki lain!”
“BOHONG! SUDAH BENAR GILA YA KAMU LAMI?!!”
PRANG!
Ayah meraih apapun disebelahnya dan menjatuhkannya dengan kasar. Aku baru tahu
setelahnya, ternyata yang dijatuhkan adalah guci pemberian almarhumah nenek.
Selanjutnya, yang terdengar hanyalah makian, bentakan, dan suara barang pecah. Laya
kecil yang kaki nya masih terluka, berjalan pincang menuju kamarnya diatas, dan menutup pintu
kamarnya. Laya kecil menutup telinganya, menangis. “Ayah sama Mama kenapa marah-marah,
Laya kan tidak salah apa-apa...”
***
Malam semakin larut dan aku belum terlelap. Badanku sudah sangat lelah. Aku memang
menyukai suara-suara malam tapi aku juga butuh tidur. Tiba-tiba saja tenggorokkanku terasa
kering. Aku beranjak dari kasur. Membuka pintu kamar dengan perlahan, keluar dari kamar dan
menutupnya lagi. Rumah terasa sangat sepi. Yah, memang selalu begini. Mama pergi, Ayah
belum pulang.
Aku menuruni anak tangga. Menuju dapur, mengambil botol air dingin di kulkas dan
menuangkannya ke dalam gelas milikku. Saat hendak meminumnya mendadak tanganku terasa
sangat dingin. Aku mendengar suara pintu dibuka. Dengan sangat berhati-hati aku bersembunyi
di balik kulkas.
Dari deru nafas dan langkah kakinya, aku mengetahui bahwa itu Ayah. Aku melihatnya
menaiki tangga dengan menggenggam tangan seorang wanita berambut panjang yang berpakaian
minim sekali. Melihat gaya berpakaian dan rambutnya, jelas itu bukan Mama.
Ah, lagi-lagi perempuan yang berbeda.
Terkadang aku heran. Mengapa semua wanita Ayah harus dibawa ke rumah ini? Kenapa
tidak pergi ke suatu tempat saja?? Kenapa harus dirumah ini?
Setelah mendengar suara kuncian pintu, aku melanjutkan minumku dan kembali ke
kamar dengan berjingkat-jingkat. Kembali berusaha tidur walaupun ku yakini setelah aku
melihat lagi perlakuan Ayah, aku semakin tidak bisa tidur. Apabila Mama pergi bekerja di
Kotanya, Ayah selalu ada di rumah bersama dengan wanita lain, sedangkan bila Mama ada di
rumah, pulang, Ayah pasti tidak ada dirumah, entah kemana perginya. Intinya, begitu siklusnya.
Begitu hubungan Ayah dan Mama sekarang. Buru-buru ingin kembali seperti dulu, sekarang
menatap mata saja, Ayah dan Mama sudah langsung mengalihkan pandangan, baik kepada satu
sama lain maupun kepadaku.
***
“LAYA!”
Aku terbangun mendengar suara teriakan memanggil namaku. Rasanya baru 20 menit
aku tertidur, sudah ada yang membangunkan. Aku akhirnya membuka pintu kamar perlahan.
Pasti tadi teriakan Ayah.
“LAYA!” suara terdengar dari dapur.
Aku bergegas menuruni anak tangga “Ada apa, Yah?”
“KAMU DARITADI AYAH PANGGIL KENAPA TIDAK BERGEGAS?!”
“Aku baru bangun, Ayah.”
“Kenapa bangun jam segini, hah?! Mau jadi apa kamu kalau setiap hari bangun siang
seperti ini???? Mau jadi seperti ibumu? Pengangguran di tanah orang? Bekerja dengan
mengorbankan harga diri??? HAH!”
Aku menggeleng. Takut menjawab. Aku merasakan tanganku gemetar sudah. Walaupun
sudah sering dibentak, mengapa aku tidak segera terbiasa ya? kenapa masih gemetar dan
menahan tangis dengan susah payah saat dibentak?
“hahh... cepat buatkan aku segelas kopi dan sarapan dua kali lipat dari biasanya! JAM
TUJUH HARUS SUDAH SIAP!” Ayah menyenggol bahuku secara kasar dan langsung berlalu
pergi.
Sekujur tubuhku gemetar. Aku mengambil permen asam kesukaanku dari lemari dan
memasukkannya ke dalam mulut sebagai penenang sejenak. Sembari membuat sarapan, aku
berpikir. Dua kali lipat dari biasanya, pasti untuk wanita yang tadi malam.
Sebenarnya aku tidak sudi jika harus membuatkan sarapan wanita sialan menjijikkan itu
tapi mau bagaimana... Maafkan aku, Ma.
Sejak usiaku mencapai 13 tahun, aku rasa-rasanya semakin menyayangi Mama. Setelah
aku merasa segalanya sudah lengkap bersama Ayah, sekarang, setelah Ayah berubah aku merasa
sangat menyayangi Mama. Waktu itu akhirnya Mama kembali ke Bandung bersama rekan
kerjanya yang juga wanita.
Sebelum pergi, Mama bertanya padaku. “Laya percaya tidak dengan Mama?”
Aku yang saat itu berumur 12 tahun hanya mengangguk.
“Laya sayang, ingat ya. Mama akan kembali. Mama yakin, mau seberapa jauh Mama
pergi, mau seberapa keras Mama bekerja, Mama akan selalu kembali. Disini, bersama Laya.”
Mama mengusap kepalaku.
Mama memberikanku sebuah kotak kecil. Katanya harus dibuka saat aku sudah berumur
13 tahun. Benar nyatanya. Pada saat kenaikan usiaku, Ayah di kamar tapi rasanya jauh. Kalau
Mama memang jauh, ada di Bandung. Akhirnya aku merayakannya sendiri dengan membuka
kotak kecil tersebut. Isinya liontin. Liontin kecil dengan bentuk hati yang bisa dibuka di
tengahnya. Aku membuka bentuk hati itu. Isinya kertas kecil. Saat ku buka lipatannya, aku
sedikit terkejut. Juga merasa aneh. Di kertas tersebut, nampak gambar jam dengan jarum panjang
di angka 4 lebih 1 dan jarum pendeknya di angka 9. Aku tidak mengerti maksudnya. Berniat
akan menanyakannya saat kembalinya Mama ke rumah dua bulan selanjutnya. Namun, pada saat
itu ku urungkan niatku karena Ayah dan Mama kembali bertengkar. Selepas itu Mama hanya
mengurung diri di kamar lalu pukul 17.30 saat langit berwarna oranye, ia kembali ke Bandung.
Aku selesai membuat sarapan dan kopi. Menaruhnya di nampan, dan menaiki tangga.
Aku tidak habis pikir dengan keluarga ini. Rumah besar. Mobil ada porsche, Mercedes
Benz dan Honda. Taman belakang rumah juga besar. Yang kurang hanyalah tenaga kerja. Di
rumah ini sama sekali tidak ada tenaga kerja rumah tangga atau pembantu. Padahal, kalau secara
finansial jelas Ayah ataupun Mama bisa mempekerjakan tidak kurang 8 pembantu di rumah.
Kenapa harus aku? Kenapa harus aku yang memasak sarapan untuk Ayah dan wanitanya?
Kenapa harus aku yang setiap hari membereskan kamar Ayah yang berantakan? Kenapa harus
aku yang merapikan taman, memotong rumput-rumput liar, menyirami bunga setiap hari, dan
menjaga taman itu tetap terlihat indah untuk tempat berkumpul teman kerja Ayah? Terkadang
aku memikirkan, apakah akan lebih indah jika semua yang aku kerjakan sekarang aku kerjakan
bersama Mama? Apakah akan terasa ringan bila kami mengerjakannya sambil bercanda tawa
seperti dulu? Yah, terkadang aku memikirkannya. Semua itu.
Aku mengetuk pintu kamar Ayah.
TOK. TOK. TOK.
Tidak ada jawaban. Ku ketuk sekali lagi.
TOK. TOK. TOK.
Masih tidak ada jawaban. Akhirnya ku putuskan untuk bersuara. “Ayah?”
Tidak ada jawaban, hanya suara aneh yang tidak begitu jelas terdengar. “Ayah, sarapan
dan kopinya sudah siap. Laya taruh di meja makan, ya?”
Tidak ada jawaban. Aku membawa kembali nampan dengan dua piring dan segelas kopi
menuruni tangga, menaruhnya di meja makan keluarga. Meja makan keluarga yang sudah lama
sekali tidak ada yang menggunakan. Aku lebih senang makan di ayunan taman. Ayah entah
bagaimana.
Kepalaku pusing. Hari ini hari minggu. Sebenarnya tadi aku berniat akan tidur panjang.
Namun, aku lupa bahwa keadaan sekarang seperti ini.
***
TOK TOK TOK TOK TOK!
Belum ada 10 menit aku mengistirahatkan tubuhku dan memejamkan mata, pintu
kamarku di ketuk keras sekali. Ah, ini bukan lagi mengetuk namanya. Ini namanya dobrak. Aku
yakin bila aku tak segera membuka pintu, Ayah akan mendorognya sekuat tenaga atau akan
merusak pintunya.
Dengan kepala yang sangat pusing dan rambut yang acak-acakan, aku membuka pintu.
Benar Ayah yang di depan pintu.
Aku memberanikan diri dengan bertanya “Sarapan dan kopinya sudah Laya taruh di meja
makan, Yah. Butuh apa lagi?”
Ayah menatapku tajam. Mulutnya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Aku menunduk.
Memperhatikan tangan Ayah yang memegang segelas kopi yang masih penuh. “Kenapa, Ayah?
Kopinya tidak enak? Sini Laya ganti yang baru kalau begitu.”
Ayah tetap bergeming dan menatapku tajam. “Ayah, ada apa?” aku bertanya lagi. Ayah
diam. Tidak membalas perkataanku. Aku bingung harus berbuat apa. Aku pun menghadap ke
belakang hendak menuju kasur, baru beberapa langkah...
PRANG!!!!
Segelas kopi di lempar dengan sengaja ke lantai kamarku. Tubuhku gemetar. Kaki ku
terkena pecahan gelas kopi tapi aku tak berani mengambilnya sekarang. Aku membalikkan
badanku, kembali menghadap Ayah. “Ada apa, Ayah? Ada yang salah dengan kopinya?”
“BAJINGAN! Membuat kopi saja tidak benar!! Kopi apa yang tidak ada gulanya seperti
ini hah?!” Ia kembali membentak.
“kata Mama-”
“GAK PERLU KATA MAMA! Mama mu itu sudah tidak ada! Mama mu pasti sudah
melupakanmu hahaha. Ia pasti sudah sukses, mempunyai suami, dan menikah disana. Bisa jadi
malah sudah mempunyai anak baru selainmu hahahahaha!!!!!”
Aku semakin menunduk. Darah mengalir dari kakiku yang tertusuk pecahan gelas tadi
membuat lukanya semakin terasa sakit.
“Mamamu itu sudah gila dan kau tertular gilanya! JANGAN SEKALIPUN KAU SEBUT
WANITA PEMAIN ITU DI DEPANKU!!”
Air mataku mengalir sudah. “tapi Mama bukan pemain..”
Ayah tiba-tiba mendorong bahuku dengan kasar menggunakan tangannya. “Apa katamu
tadi?! Ulangi.”
Aku mendongakkan wajahku. Melihat wajah Ayah. “Mama bukan pemain. Mama hanya
kerja... di Band-”
BRUK!
Ayah mendorongku dengan keras. Fisikku yang sudah lemah jatuh berdebum di lantai
yang penuh dengan pecahan gelas tadi. Sekarang aku tidak merasakan sakitnya. Ada yang jauh
lebih sakit.
“M-Mama bukan pemain...”
Ayah menginjak kakiku. Aaaarghhhhh, sakit Ayah. Sakit... tolong berhenti.
“SEBUT WANITA ITU LAGI, BELA WANITA ITU LAGI DAN KAU AKAN
RASAKAN AKIBATNYA!” Ayah menekan kakinya lebih keras.
Aaaaarghh, Mama sakit...
Ayah berjongkok. Menarik bajuku dengan kencang hingga membuatku setengah
terduduk “Sekali lagi kau sebut, habis kau. Wanita gila melahirkan wanita gila lainnya,
beruntung kau masih dilahirkan!” Ayah melepas tarikannya dan mendorongku kembali jatuh.
Ayah pergi. Beberapa saat kemudian ku dengar suara mobil mendesing pergi.
Mama sakit... Mama, Laya sakit... Mama, Laya berdarah, Ayah, Laya berdarah...
***
Aku bukan tipikal orang yang mencintai belajar. Aku tidak rajin. Aku tidak begitu
menyukai sekolah. Namun, sekolah tempatku beristirahat sejenak dari segala kelelahanku di
rumah. Kata Mama aku harus belajar dengan rajin agar bisa ikut ia ke Bandung sesekali. Mama
mengatakan itu sudah lama sekali dan sampai sekarang aku tidak diajaknya pergi. Sekarang, aku
sudah tidak pernah belajar. Toh, tidak ada yang peduli kan? lagipula aku sudah terlalu sibuk
untuk belajar.
Bel istirahat berbunyi. Sebagian anak di kelasku, berlarian mengajak temannya ke kantin
sekolah. Sedikit yang diam di kelas dan mengobrol. Mereka saling bercerita bagaimana hari
berjalan, bercerita tentang teman yang tidak disukai, bercerita tentang laki-laki kelas sebelah
yang sesuai dengan tipe mereka dan sebagainya. Aku? sendiri. Melangkahkan kaki-kaki kecilku
ini menuju sebuah bangunan tersudut di sekolah berwarna cokelat. Ya, Perpustakaan.
Aku mengambil sebuah novel tebal di rak kesukaanku. Rasa-rasanya setiap hari aku ingin
tinggal di perpustakaan sekolah dan menghabiskan seluruh bacaan. Aku duduk di sofa berwarna
coklat tempat dimana aku biasa duduk. Rasanya sangat nyaman walaupun kali ini tetap terasa
sakit karena pecahan kaca kemarin. Aku mulai membaca. Aku bisa bebas saat di perpustakaan
dan memilih tempat yang ku suka karena hanya aku satu-satunya yang pergi kemari. Para siswa
di sekolahku sepertinya keseluruhan tidak berminat dengan literasi. Jujur aku merasa beruntung,
karena perpustakaan ini jadinya seperti milikku seorang. Guru perpustakaan sudah tua dan baik
sekali jadi aku tidak terlalu mempermasalahkan.
“Permisi,”
“Eh, ada orang ya?”
Setelah beberapa bulan atau mungkin bertahun-tahun pintu perpustakaan tidak ada yang
membuka selain aku, akhirnya kali ini ada yang membukanya.
Aku tetap membaca.
“Bu, apakah aku boleh memakai piano yang ada disini?”
“Boleh-boleh saja, asal tidak mengganggu dia.”
Beberapa detik selanjutnya aku mendengar bunyi lain.
Teng, teng, teng... Spontan aku menoleh. Terlihat di pojok perpustakaan seorang laki-laki
memainkan piano yang sudah tua sekali. Bahkan ku kira piano itu adalah piano rusak yang
sengaja disimpan karena suatu alasan.
Kurasa kenyamananku akan berakhir. Laki-laki ini mendadak datang, masuk ke dalam
perpustakaan dan malah bermain piano, bukan membaca. Dia mengganggu kenyamanan
pembaca, nanti aku harus melaporkannya.
***
Teng, teng, teng... teng teng teng teng
Aku membuka perpustakaan. Hari ini ia datang lebih dulu. Begitu aku membuka pintu
perpustakaan sekarang bukan kenyamanan yang menungguku. Oh ayolah.
Aku berjalan menuju meja penjaga perpustakaan.
“Permisi, Bu.”
“Iya, ada apa Laya?”
“Begini. Saya sebagai pembaca setia dan satu-satunya di perpustakaan sekolah ini merasa
terganggu karena tiba-tiba ada siswa lain yang datang ke perpustakaan dan
menyalahgunakannya. Maksud saya, perpus adalah tempat membaca. Bermain musik bisa
dilakukan di ruang musik. Mohon maaf ya Bu, tapi saya benar-benar merasa terganggu.”
Bu Dian yang daritadi fokus dengan komputernya menatapku. Wajahnya tampak
berpikir.
“Mohon maaf juga ya. Sebelumnya kamu harus tau, ruang musik hanya boleh digunakan
oleh anak-anak band sekolah yang bersiap mengikuti lomba di Jakarta bulan depan. Jujur, Ibu
tidak tega dengan Lanjana. Ia sangat menyukai bermain piano, tapi ia tidak lagi bisa
memainkannya di ruang musik karena ada peraturan baru itu. Laya, saran Ibu coba kamu
dengarkan alunan piano yang dimainkan Lanjana. Pasti kau akan menikmatinya.”
“Yahh, Bu.... Yasudah deh, terimakasih banyak ya, Bu Diann.”
“Kasih diterima, Laya” Bu Dian kembali fokus dengan komputernya.
Aku mengambil novel yang kemarin belum selesai ku baca, dan duduk seperti biasa di
sofa. Aku mulai membaca.
Teng, teng... teng teng teng teng
Anak itu kembali memainkan pianonya. Duh, kenapasih???? Dengan sedikit kesal aku
mencoba saran Bu Dian. Aku menutup buku dan memejamkan mataku.
Teng teng teng, teng, tengg... teng teng
Hingga akhir nada ku dengarkan dengan seksama. Benar perkataan Bu Dian, aku
menikmatinya. Ku akui dia memang pandai bermain piano.
***
Esok harinya. Aku selalu pergi ke perpustakaan. Ku buka pintu, tak ku dengar suara
apapun. Rupanya hari ini lelaki itu tidak kemari. Syukur deh tidak ada yang mengganggu. Eh
tapi sebenarnya kemarin juga tidak mengganggu-mengganggu amat sih.
Aku mengambil buku dan duduk. Beberapa menit kemudian, pintu dibuka. Aku tidak
menyadarinya karena sudah terlanjur fokus dengan membaca.
Bunyi piano kembali terdengar. Aku menoleh ke arah tempat ia bermain piano. Aku
melihatnya. Melihat tangan-tangannya bergerak diantara tuts piano. Aku memperhatikannya
bermain piano hingga selesai. Tiba-tiba dia memutar kursinya. Menghadapku yang sedang
memperhatikannya.
Dia tersenyum “Hai, Maaf ya mengganggumu membaca”
“Tidak apa” aku sontak kembali membaca buku. Berusaha fokus walaupun tidak bisa.
SRET. Anak laki-laki tadi mengambil novel yang sedang ku baca, mendadak dia ada di
depanku. “ini bercerita tentang apa?”
“Ibu dan anak kembarnya yang berusaha bertahan hidup”
“Apakah alur ceritanya menyenangkan? Aku juga suka membaca. Membaca apapun aku
suka.”
“Lumayan menyenangkan.” Aku mengambil buku dari tangannya, mengalihkan
pandangku dan kembali berusaha fokus membaca. Baru 1 kalimat ku baca, aku menurunkan
novel yang menutupi seluruh wajahku.
“Tadi itu... apa judulnya?”
“Judul?”
“Iya, judul lagu yang barusan kamu mainkan.”
Lelaki di depanku kembali tersenyum “Tidak ada judulnya.”
Aku terkejut. “Yang benar saja, pasti ada judulnya. Mana mungkin penyanyi
menciptakan lagu tidak ada judulnya.”
“Ibuku bukan penyanyi jadi lagunya tidak ada judulnya.”
“Wahh, kerennya punya Ibu yang pandai bermain musik.”
“Terimakasih, Layaa”
“Anytime, Na.”
“Eh????”
“Benar namamu Lanjana?”
“Benar, pasti Bu Dian menyebutkan namaku ya?”
“Iya, pasti Bu Dian juga yang menyebutkan namaku ya?”
“Iya, benar.”
Kami saling tersenyum sejenak.
KRINGGG KRING!
“Ah, eh, aku pergi ke kelas dulu, Laya. Besok mengobrol lagi. See ya!” Lanjana tiba-tiba
membereskan barangnya dan keluar dari perpustakaan.
***
Aku menyirami semua tanaman yang ada di taman rumahku. Terkadang memperhatikan
tanaman yang tampak lebih segar setelah disiram membuatku merasakan sesuatu yang baru.
Aku pernah memikirkan, bagaimana kalau manusia juga seperti itu ya? Setiap kali
disiram, manusia itu akan berubah menjadi pribadi baru yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi
kalau ada manusia yang depresi di dunia ini, nantinya cukup tinggal menyiram manusia tersebut
dengan air dan ya, ia akan kembali lahir dengan pribadi, semangat, dan kebahagiaan baru yang
lebih baik. Bagaimana kalau seperti itu, ya?
Namun, sepertinya jika benar seperti itu nantinya kata-kata di dunia tidaklah lagi penting.
Manusia tidak lagi butuh diapresiasi atau disemangati. Manusia tidak lagi membutuhkan manusia
lain untuk menjadi penguat atau rumah dalam hidupnya. Manusia tidak akan saling
membutuhkan satu sama lain karena apabila mereka lelah dengan hidupnya, mudah saja. Mereka
tinggal menyiram diri mereka sendiri dan boom! mereka bahagia.
Selesai sudah bunga-bunga disini ku siram. Aku duduk di salah satu ayunan. Mengayun-
ayun kakiku, menikmati angin sore sejenak. Aku mendongakkan kepalaku. Menatap langit-langit
luas disana. Matahari hendak terbenam. Tentu saja aku tak melihat proses terbenam matahari
yang sangat membekas itu. Namun harus ku akui, senja memang indah. Justru itu, yang indah
selalu punya waktu untuk mengindahkan dirinya sebelum sang bulan merendahkannya.
Mobil putih mendesing pelan di halaman rumah. Aku terkejut. Itu Mama. Aku berlari ke
pintu belakang dan masuk ke dalam rumah. Melewati tangga belakang pula, aku sampai di
kamarku. Rasanya aku belum siap jika harus bertemu Mama saat ini. Entah kenapa, ini terlalu
tiba-tiba.
Dengan perasaan gelisah aku duduk di kursi dekat pintu. 1, 2, 3 detik. Terdengar lagi
suara mobil. Aku melihat dari jendela kamarku. Mobil Ayah pergi.
Hahh, kenapa selalu begini? Tidak bisakah mereka berbicara satu atau dua kata saja?
Aku menghitung 3 detik lagi pintu kamarku diketuk. 1,2,3..
TOK TOK TOK!
“Masuk, Ma.”
Mama membuka pintu kamarku. Terlihat wanita tua dengan wajah lelahnya melangkah
masuk ke kamarku dan duduk di ranjangku. Ia tersenyum.
“Laya, Mama merindukanmu.”
Aku berdiri dari dudukku. Beranjak. Memeluk Mama dan tidak berkata apa-apa. Mama
melepas pelukanku. Ia menyentuh punggungku. Dahinya mengernyit.
“Punggungmu kenapa?”
Aku tersenyum menggeleng. “Kabar Mama bagaimana?”
“Baik, kamu bagaimana Laya? Punggungmu itu kenapa?”
“sepertinya di gigit serangga deh, Ma. Soalnya tadi Laya habis siram tanaman.”
“Oh, yasudah kamu istirahat ya, Laya.” Mama beranjak hendak pergi ke kamarnya.
Rasanya aku ingin bilang Mama jangan pergi, ayo tidur bersama Laya malam ini.
Mustahil. Mama super sibuk. Ah sudahlah, lagipula aku dan Mama tidak sedekat itu untuk bisa
menghabiskan malam bersama.
Belum sepenuhnya keluar dari kamarku, Mama menoleh ke arahku. “Ayah pergi
kemana?”
Aku tersenyum. Menggeleng.
***
Mama sudah pergi lagi. Aku kembali merasa sepi. Namun aku sudah merasa sedikit lega.
Karena...
Flashback On
“Mama pergi dulu ya, Laya”
GREP. Akhirnya, aku memegang tangan Mama.
“.. Kenapa, Ma?”
“Mama harus kerja, sayang”
“Apa yang sebenarnya Mama cari? Apa yang ingin Mama temukan?”
“Kenapa harus kerja di luar kota, Ma?”
“Mama... kenapa?
Mama terdiam. Ia memelukku kemudian pergi. Pelukan yang dingin seperti biasa.
Flashback Off
Pertanyaanku memang belum terjawab, tapi setidaknya Mama sudah mendengarnya.
Mama sudah mendengar beberapa pertanyaan yang dari dulu ingin sekali aku tanyakan. Aku
sedikit lega. Sungguh.
***
Pintu perpustakaan terbuka. Senyuman kecil menghiasi seseorang yang barusan
membuka perpustakaan dan menutupnya kembali.
“Layaa!”
Aku menurunkan novel ku dari wajah. Meliriknya. Lanjana. Sosok laki-laki yang
beberapa hari ini terasa dekat denganku. Kenapa ya?
Lanjana duduk di sofa oranye yang berada di depan sofa coklat milikku. Eh, maksudku
milik perpustakaan tapi aku sering memakainya.
“Hari ini buku bacaan apa yang kau baca?”
“Ini.” Aku menunjukkan novel berwarna cokelat tua yang covernya sudah tampak usang.
“Wahh, kerennya” Lanjana tesenyum.
“Permainan piano mu tak kalah keren!”
Lanjana terkekeh“Hahahaha, ya sudah sama-sama keren, ya?
Aku mengangguk “Siapp!!!!”
“Ngomong-ngomong, Laya...”
Aku menatapnya. Meletakkan buku yang sedang aku baca.
“Apa kamu sama sekali tidak pernah ke kantin?”
“Tidak. Lebih asik disini daripada jalan-jalan.”
“Tidak juga. Di kantin seru, tapi banyak godaan-godaan untuk membeli semuanya.”
“Tapi aku tahu kamu kuat, Laya. Hahahaa ”
***
“Kemari Laya, Kemari!”
Aku merotasikan kepalaku untuk mencari asal suara. Ini pertama kalinya aku pergi ke
kantin sekolah. Biasanya aku akan menitip teman sekelasku atau membeli sesuatu di malam
harinya dan mengajak Emak kesana.
Aku menemukannya. Lanjana. Ia memakai seragam yang dilapisi dengan hoodie
berwarna hijau sage. Lanjana tersenyum melihatku, ia melambai lambai. Aku menghampirinya.
Meletakkan tas kecilku kepada Jana. “Na, aku ke kamar mandi sebentar ya!” Jana hanya
mengangguk dan tersenyum.
Aku berjalan ke kamar mandi sekolah. Setelah usai mencoba app yang tadi mau aku
lakukan, kalian harus mengomentarinya.
Aku keluar dari kamar mandi. Terdengar omongan (aku tidak mengetahuinya dari siapa,
hanya terdengar suara laki-laki).
“Laja bareng Laya ke kantin bareng woy”
“Cocok sih kata gua”
“Gila lu, si Laja kan deketin dia cuman buat manfaatin”
“Bener tuh, gua denger-denger si Laya duitnya ga abis-abis”
“Set dah, kata temen gua dulu rumah Laya saking gede nya kayak rumah kita berlima tapi
disatuin anjir”
“Wow gila, gila. Kerja apaan orangtuanya?”
“Nah itu, kurang tau”
“Kalo Laja berhasil dapetin wajib setengah-setengah kita, ya gak?”
“Dapetin si Laya?”
“Duitnya lah anjing, yakali. Gua setia sama Meta”
“HAHAHAHAHA, kirain”
DEG.
Jantungku berdegup kencang. Aku terkejut. Sangat terkejut. Lanjana? Laja? Jana?
Benarkah ketiganya sosok yang sama?
Aku berjalan menjauh dari mereka, setelah agak jauh aku baru berlari pergi. Aku berlari
keluar sekolah. Pak Satpam yang biasa menjaga entah pergi kemana. Jadi sekarang adalah
keberuntungan bagiku. Aku berlari. Lari.
Aku berlari, hingga kakiku lelah. Tas dan dompet yang ku titipkan Jana sengaja ku
biarkan.
Kalau ia mau memanfaatkanku yasudah, sila ambil kedua barang itu agar kau benar
mendapat sesuatu dariku walau tak banyak. Namun tolong, jangan hubungi aku lagi.
Aku lelah. Aku berhenti di halte. Duduk disitu, dan memikirkan banyak hal sembari
melihat lalu lalang kendaraan.
Jalan memang saksi atas seluruh kisah yang ada. Jalan yang tak pernah berubah, yang
akan selalu menjadi jalan, tempat manusia melewatinya. Tempat manusia pergi bekerja, tempat
manusia bersemangat karena ingin bertemu dengan seseorang atau hendak pergi ke suatu tempat.
Jalan akan selalu menjadi saksi.
Mama, aku minta maaf. Lanjana, terimakasih sudah pernah mengajakku mengobrol
terlepas dari maksud dan tujuanmu. Ayah, Aku menyayangimu selalu.
Sinar terang sekali beserta sirene yang sangat ramai datang dari arah kanan. Aku seperti
tertuntun keluar halte dan melangkahkan kakiku ke jalan raya. Semua, cukup disini kali ini.
***

Anda mungkin juga menyukai