Anda di halaman 1dari 5

Ke-356 kalinya

Ashimah Dinillah

Ke-354 kalinya aku menginjakkan kaki ku di ruangan ibu. Tubuh-nya yang semakin kecil,
matanya yang selalu sendu. Ibu tak pernah berhenti memandangi langit malam dari jendela.

Sudah empat bulan sejak Maria, adik kecilku meninggalkan kami. Selama empat bulan itu
juga ibu tidak memanggilku “Hito”, nama kesayangan yang Ibu berikan kepadaku. Kehadiran
rumah jadi jauh lebih sepi tanpa keceriaan Maria. Apalagi Ibu yang selalu mengurung diri di
kamar—tanpa henti mengamati langit malam melalui jendela.

Memori aku dan Maria menghantuiku saat ia tiba-tiba hilang dilenyap udara yang tak
menyisakan bukti. Aku merasa kehilangan. Namun Namun, bila aku merasa seperti
dihempas ombak pantai, Ibu pasti telah digulung tsunami. Rasa kehilangan yang
dirasakannya jelas beratus kali lipat dari yang kurasakan.

Kudengar suara pintu kayu rumah kami terbuka, sosok ayah yang kubenci sejak 4 bulan lalu
datang. Si pemabuk itu datang membawa aroma alkohol yang sangat menyengat hidungku.
Kuambil tas selempangku lalu pergi tak hiraukan ayahku yang tengah memainkan kalimat
yang menggores hatiku. Tujuanku rumah pohon yang agak jauh dari rumah, aku harus
melewati hutan kecil untuk sampai ke sana. Rumah pohon itu menyimpan kenangan dimana
aku dan Maria selalu bermain. Tempat dimana aku selalu menenangkan diri.

Aku segera naik ke rumah pohon dan mengeluarkan buku ku untuk mengerjakan tugas yang
diminta oleh ms. Mustika. Menuliskan hasil kenanganku dalam sebuah buku tugas
mengenai bulan merah yang ibu selalu ceritakan waktu kami kecil.

Aku menulis kenanganku yang paling kuingat, ketika ia membacakan dongeng bulan merah
sebelum tidur. Ibu bercerita dongeng kesukaannya mengenai asal usul bulan merah.

Waktu itu aku dengan lugu bertanya, “Bu, bulan merah kan seram. Ibu kenapa sangat suka
bulan merah?”

Sambil tersenyum ibu menjawab “Bulan merah jarang terjadi, namun ketika terjadi, raga ibu
seperti sangat tenang.”

Waktu itu aku dan Maria yang masih lugu tak mengerti apa yang ibu katakan namun kami
mengerti perasaan ibu.

Bunyi suara melangkah membuyarkan lamunanku. Takut sosok jahat akan melakukan
sesuatu, aku segera mengunci pintu kayu rumah pohon kami dengan sangat pelan agar
seseorang tersebut tak mendengarnya.

Aku mendekap di pojok rumah pohon dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut.
Atmosfir sangat tenang sehingga suara detak jantungku yang sedang ketakutan bisa
terdengar. Tak bisa ditepiskan, aku juga penasaran dengan sosok itu namun mataku yang
berat mengalahkan rasa penasaranku. Perlahan aku terlelap dalam tidurku.
Bunyi sosok berjalan membuatku terbangun, seperti seseorang baru saja kemari. “Ah
mungkin kucing.” Pikirku, meyakinkan diriku semua baik-baik saja. Perlahan aku membuka
pintu rumah pohon memperhatikan apakah sosok tersebut masih berkeliaran disekitar
rumah pohon. Mataku tak menangkap sosok itu namun, mataku terfokus kepada
pemandangan yang indah dari rumah pohon malam ini.

Dari rumah pohon ini, aku bisa melihat rumah kami yang tak jauh dari rumah pohon. Gudang
ayah juga terlihat dari atas sini yang tak jauh dari rumah dan rumah pohon. Gudang ayah
tak pernah terbuka sejak 4 bulan yang lalu, namun malam ini lampu orange gudang ayah
menyala.

Satu hal yang membuatku penasaran selama ini ialah, aku, Maria, dan Ibu tidak
diperbolehkan oleh ayah untuk mengunjungi gudang tersebut. Tidak ada apa-apa katanya.
Ibu juga mengatakan gudang itu kosong, ayah akan kesana jika ayah ingin menenangkan
diri. Tapi ibu kan tidak pernah ke sana? Bagaimana ibu tahu gudang itu kosong? Ah
sudahlah. aku ingin melanjutkan tidurku dirumah, kepala ku sangat pusing. Aku juga takut
ayah akan marah lagi karena aku pulang larut malam. Aku segera menuruni rumah pohon
dengan tas selempangku dan segera lari dengan dibantu pencahayaan kunang-kunang.

Aku menyeritkan dahi, bercak darah berkeliaran saat aku membuka pintu. Bercak itu
mengarah ke kamar tidur ibu. Untuk ke-355 kalinya ibu masih saja diam di kursi itu. Namun
malam ini ada yang beda. Darah itu berasal dari ibu, tangan ibu. Tangan ibu terluka, seperti
teriris benda tajam. Tubuh gemetaran dan segera membalut luka ibu.

“Ibu dari mana?” Tanyaku spontan dengan gemetaran. Kalimat pertama yang aku ucapkan
setelah membisu selama 3 bulan lamanya. Ibu hanya diam, menatapku. Matanya Ibu seperti
mata nyalang seekor serigala yang hendak menelan bulat-bulat seekor domba, aku takut.

Setelah 2 detik yang amat panjang, Ibu menundukkan pandangannya. Aku merasa lega.
“Besok letak bulan akan indah, Ibu tahu Adikmu akan kembali.” Gumam ibu dengan kata
terbata-bata. Aku sangat senang, namun juga cemas. Kalimat yang baru saja ia lontarkan
merupakan kalimat pertama selama 3 bulan ia duduk di kursi itu. Apakah ibuku sudah
kehilangan akal? Ia meracau dengan tidak jelas.

Aku sangat ingin merangkul Ibu, mengatakan padanya semua akan baik-baik saja. Tetapi
rasa takutkulah yang lebih besar. Aku hanya diam membisu, otak ku yang sangat lelah tidak
bisa meladeni perkataan Ibu. Aku melihat Ibu untuk keterakhir kalinya sebelum aku
menghempaskan tubuhku di atas kasur. Ibu masih sama, menatap jendela.

Suara gorengan membuatku terbangun. Ayah yang jarang pulang sejak 4 bulan yang lalu
dan hampir tak pernah membuatkan ku sarapan tidak mungkin menjadi sosok yang
membuat suara itu. Bergegas aku hempaskan selimut ku dan mencari sumber suara
tersebut.

Mataku disuguhkan hal yang tidak masuk akal, aku menatap punggung Ibu yang selama ini
membisu di kursi-nya. Apakah ini mimpi? jikalau iya, biarkan aku diam seperti ini. Biarkan
ragaku melihat pemandangan yang sangat amat kurindukan. Aku menampar pipiku seperti
yang orang-orang lakukan di film, memastikan aku bermimpi atau berhalusinasi. Gesekan
antar tangan dan pipiku menimbulkan rasa sakit yang menandakan yang kualami bukan
mimpi ataupun halusinasi.

“Duduklah.” Seru Ibu kepadaku. Aku mengikuti keinginan Ibu dan duduk di salah satu
keempat kursi meja makan yang tersedia. Aku memilih duduk dikursi yang berhadapan
dengan punggung ibu, agar aku bisa memandang pemandangan ini lebih lama.

Sepertinya Ibu sedang menyiapkan roti lapis bacon kesukaan ku. Namun sesuatu hal sangat
menjanggal dihatiku. Aku tahu keadaan saat ini sangat tidak wajar. Tiba-tiba saja Ibu berdiri
dihadapanku. Pikiran tak masuk akal mulai menghantui otak-ku.

Ibu memotong tomat dengan sangat cepat tidak seperti biasanya. “Ayah dimana?” Aku
mengangkat suaraku. Tangannya yang memotong tomat spontan diam. Keadaan hening
membuatku berpikir aku tidak seharusnya menanyakan hal itu. Ibu membalikkan tubuhnya
kearah ku. Aku terkejut, wajahnya tidak seperti biasanya yang kusut dan muram. Ia
menyuguhkan ku roti lapis bacon dan segelas susu.

“Cepatlah makan , nanti bus sekolahmu meninggalkanmu.” Ujar nya dengan lembut.
Pandanganku segera aku alihkan ke jam yang menunjukkan bahwa 20 menit lagi bus
sekolah yang menjemput ku akan meninggalkanku. Cepat aku memakan roti Ibu dengan
dangat lahap dan segera menyiapkan diri ku yang malas pergi ke sekolah.

Aku pulang saat langit sudah menunjukkan warna orange dengan sedikit kebiru-biruan.
Sebenarnya sekolah telah selesai sejak siang hari namun aku lebih memilih menyibukkan
diri-ku membantu ms. smith menyusun alat-alat laboratorium yang mungkin bisa membuatku
melupakan keadaanku sejenak. Sial, aku melupakan buku ku di rumah pohon. Segera aku
berlari menuju rumah pohon yang letaknya jauh dari sekolah dengan tergesa-gesa.

Rumah pohon sudah ada berada tepat didepan mata namun sesuatu mengenai kakiku
hingga tubuhku terjatuh diatas tanah. Lututku lebam dan mengeluarkan darah akibat
tersandung benda itu. Sepasang sepatu yang mirip dengan sepatu yang Maria kenakan saat
ia menghilang. Tubuhku gemetaran dan segera mengambil sepasang sepatu itu berlari
menuju ke rumah, memberikan sepasang sepatu itu kepada ayah yang sudah kehilangan
harapan mungkin bisa membantu dalam pencarian.

Dalam perjalanan menuju rumah, pintu gudang ayah terbuka. Tiba-tiba terdengar sebuah
suara—meski samar—tetapi masih terdengar di telingaku, suara ibu. Aku mencoba
mendekat dengan langkah ragu

Di situ, mataku disuguhkan dengan pemandangan yang sangat tak wajar. Mataku
menangkap Maria yang terbaring di lantai tengah kamar yang dikelilingi bundaran darah dan
tubuh ayah yang kaku dan pucat diatas peti berwarna hitam. Ibu sedang membaca suatu
buku dengan cepat seperti mencari kalimat dalam buku itu. Aku menatap pemandangan itu
dengan bisu, aku tidak bisa menggerakkan tubuhku memasuki gudang itu. Aku sangat takut.
Ayah tiba-tiba terbangun dan menyebut nama Ibu. Ibu memalingkan wajahnya menatap
Ayah dengan sangat tajam.
Ayah berteriak “Aku bersumpah bukan aku yang membunuh Maria. Sungguh, aku tidak
setega itu membunuh buah hatiku sendiri. Biarkan aku menjelaskan semuanya, aku mohon.”
Tangis ayah yang baru aku lihat seumur hidupku. Aku yang melihat itu masih bingung
dengan keadaan sekarang. Apa yang terjadi?

“Aku sudah tahu semuanya. Tapi bukankah itu sama saja seperti kamu melenyapkan Maria?
Kau berlagak tidak tahu apa-apa dan menyalahkan semua kepada Hito. Maria yang polos
melihatmu berduaan dengan kekasih gelapmu kau lenyapkan bersama dengan kekasih
gelap mu. Sungguh tega kau.” balas ibu dengan spontan. Kepalaku mendadak pusing.
Tubuhku seperti ditimpa sesuatu yang besar hingga napasku sesak, jantungku berdesir tak
karuan, seakan aku mau menghilang saja.

“Namun—.” Ayah tiba-tiba terdiam. Ibu segera membaca suatu kalimat dengan bahasa yang
tidak aku mengerti artinya. Seketika Itu juga tubuh Maria dan Ayah terangkat. Sebuah
kilatan cahaya menggelegar–seperti suara petir. Sinar bulan yang semula putih berubah
merah. Suara denging keras memenuhi telingaku. Aku menutup mataku meletakkan kedua
tanganku ke telingaku berharap suara itu mereda. Ketika denging itu mereda, aku membuka
mataku. Keadaan Ayah sangat tidak karuan. Bola mata ayah keluar, tangan dan kakinya
bengkok. jantungku seakan mencelos, sedang air mataku tak kuasa lagi kutampung. Aku
menjerit sejadinya.
“TIDAK!”

Ibu yang mendengar teriakanku, menatapku. “Lihatlah adikmu.” Bisiknya. Perlahan tubuh
Maria turun dan berdiri dihadapan kami.

Aku tersentak. Itu adalah Maria, tapi…

Kulitnya pucat seperti mayat. Tatapannya kosong. Wajahnya sangat teduh, tapi bukan wajah
Maria yang memancarkan keceriaan—melainkan hawa dingin kematian. Kukunya yang
pendek mulai memanjang berwarna hitam.

Ibu memeluk makhluk itu dan mengecup dahinya. Linangan air matanya deras. “Aku mohon
sayangku, tataplah Ibu. Bawa Ibu ke tempatmu.”

Makhluk itu mengangguk pelan. Dalam sekejap mata, makhluk itu melayangkan kukunya ke
leher ibu. Darah bercucuran tak tertahankan, dengan cepat makhluk itu memakan kepala
dari jasad Ibu dan membuangnya disampingku.

Disamping tubuh Ibu yang kepalanya telah kosong, makhluk itu menatapku lekat dan
menyuguhkan senyum. Aku menjerit sejadi-jadinya.

Tuhanku, tolong aku

Malam itu, aku tidak bisa lagi menatap Ibu untuk ke-356 kalinya.

Anda mungkin juga menyukai