Anda di halaman 1dari 6

Lumpang & Alu

(Majalah Kartini, 31 Maret-14 April 2016)

Aku dan Ibu akan pindah ke rumah baru, yang kata Ibu lebih layak disebut rumah, karena kedekatannya
dengan tempat Ibu bekerja, tempatku kuliah, dan aneka pusat perbelanjaan serta swalayan 24 jam. Yang
semuanya tidak akan kutemui di rumah lawasku, tempat aku menghabiskan masa remaja bersama
kegembiraan dan Eyangku.

Aku mengepak beberapa barang yang sekiranya masih bisa kupergunakan. Selebihnya -pakaian bekas,
furniture lama, dan hal-hal usang lainnya, sesuai instruksi Ibu akan didermakan kepada tetangga dan
saudara. Bila benar-benar tak layak dipakai akan dikubur bersama seluruh kenangan di dalamnya. Terasa
begitu susah memilah barang untuk dibuang. Selalu saja ada kenangan, entah biasa atau istimewa yang
mendadak bersemi kembali. Kenangan selalu tumbuh di saat-saat seperti ini.

Aku beranjak ke dapur. Sawang dan timbunan debu membungkus semua perkakas. Dadaku dirambati
rasa takut. Tengkukku berdiri. Membayangkan bila diam-diam seekor cerucut atau kecoak muncul dari
tempat persembunyian paling gelap dan kemudian berlari mendekatiku. Aku mengedarkan pandangan
sambil terus waspada. Kudengar Ibu sesekali masih menjawab telepon dari Bulik Utami, bibiku yang
akan membantu beberes dan sekaligus menerima beberapa barang yang masih layak pakai.

“Ternyata lumpang ini masih ada,” bisikku pada kesunyian dapur. Sudah lama sekali dapur ini tak
digunakan. Termasuk lumpang tua dari kayu nangka ini. Almarhumah Eyang sering menggunakannya
untuk keperluan penghalusan aneka bahan makanan. Membuat tepung jagung, menumbuk biji kopi,
membuat jadah ketan, atau yang paling kusukai adalah kehebatan Eyang membuat emput.

Eyang dan Ibu adalah dua kutub berseberangan. Lumpang dan alu mewakili dunia lawas kekuasaan
Eyang yang sering kali berbenturan dengan keinginan Ibu untuk menyulap dapur kotornya seperti dapur-
dapur modern dalam acara masak televisi. Sering kali, kusaksikan Eyang begitu kikuk menggunakan
kompor gas, aneka wajan teflon, oven listrik, atau panci terkanan tinggi bertutup kaca. Eyang ternyata
sudah begitu tua untuk mengikuti perkembangan peralatan dapur yang semakin canggih. Jadilah tungku
batu bata dan peralatan berjelaga masih ada di samping dapur khusus punya Ibu.

Aku tersenyum membayangkan Eyang.

Sosok Eyang mendadak tampil mengenakan jarit kembang-kembang cokelat dan kebaya lawasan
lengkap dengan adegan seperti putaran ulang film lawas. Sambil mendendangkan Kinanthi, lagu
Macapat yang menurut Eyang adalah simbol kegairahan asmara remaja muda, tangan Eyang
menghentak-hentakkan alu di mulut lumpang berbahan kayu nangka tua. Meski tua, tangan penuh
keriput itu tampil perkasa menggenggam alu. Di dapur, perempuan selalu tampil perkasa, seolah waktu
tak berkutik membuatnya tua.
Eyang membuatkanku emput –tumbukan jagung goreng bercampur gula pasir. Beberapa sendok gula
memaniskan gurih jagung goreng tumbuk. Meski tak lagi kanak-kanak, namun Eyang masih suka
melumatkan makanan keras untukku dengan lumpang dan alu.

Aku masih ingat, kejadian sore itu. Aku baru saja lulus SMA dan baru bergembira dengan denyar-denyar
asmara. Matahari belum sempurna tenggelam. Pipiku masih merona karena pukulan Ibu. Telingaku
pekak karena omongan Ibu yang terus menjelek-jelekkan lelaki yang kusukai. Kamu bodoh Arima! Buka
matamu! Hanya hewan yang jatuh cinta tanpa logika, pekik Ibu sore itu. Apa aku mendadak bodoh
karena mencintai Om Maruli?

Aku lari mencari suaka di dada Eyang. Isakku keras. Setiap kali Ibu marah, dada Eyang selalu lapang
untuk berlindung. Eyang selalu bisa meluruhkan duka dan menumbuhkan kegembiraan
dengan emput dan aneka dongeng. Sedangkan Ibu, ah, kadang aku merasa tidak pernah berdiam di
rahimnya. Dia lebih sering bepergian ke luar kota untuk pekerjaan, daripada menemaniku memilih baju
di hari pertama kuliahku dulu.

Eyang mengajakku ke dapur. Aku duduk di tangga sambil merangkul dengkul. Air mata dan isakan tak
cepat menguap.

Eyang membuatkanku emput. Mataku yang sembab tak bisa menjauh dari gerakan tangan Eyang, yang
diselaraskan dengan gerakan badan membungkuk dan berdiri agar alu tidak meleset dari lubang
lumpang. Suara alu bertemu liang lumpang berdebam, gemanya kurasakan menggetarkan dada.

“Selesai,” kata Eyang. Eyang menyerok emput dari mulut lumpang dengan sendok nasi dan menuangnya
ke dalam mangkok jago.

Mataku berbinar. Lalu gegas meraih mangkok tersebut dengan tergesa-gesa. Emput buatan Eyang selalu
terasa istimewa. Eyang punya sihir ajaib di setiap masakannya. Terlebih sejak menjadi orang tua seorang
diri, Ibu memasrahkan semua urusan dapur kepada Eyang. Hingga lidahku lebih sejalan dengan takaran
bumbu Eyang.

“Sejak dulu Ibumu memang seperti itu, Arima. Keras dan tegas,” kata Eyang. Keriput di tangannya terasa
kasar saat mengelus keningku yang berkeringat. Mulutku penuh emput dan tidak kuasa membalas
perkataan Eyang. Isakku masih sesekali menyeruak.

Kudekatkan tubuhku pada bahu Eyang. Kuendus aroma apak bercampur minyak angin, yang meski tidak
harum cukup membuatku tenang. Sejenak melupakan kemarahan Ibu.

Pitam Ibu bergejolak bak roller coaster karena hubungan asmaraku. Sebagai gadis yang baru saja
beranjak dewasa dan merasakan rona asmara, perlakuan ibu benar-benar membuatku sakit. Seperti ada
sengat kalajengking dalam dadaku.

“Kamu sudah besar, Arima. Boleh dan sah-sah saja mencintai seseorang. Tapi tetap harus hati-hati.
Seperti lumpang dan alu ini, mereka selalu berpasangan. Mungkin dia belum pantas menjadi alu bagi
lumpangmu,” Eyang duduk menyejajari.
“Tapi, Om Maruli baik sama Arima,” jawabku.

“Ada banyak yang belum kamu ketahui,” kata Eyang.

“Arima ingin mengetahuinya, Eyang. Arima tidak mau disalahkan hanya karena mencintai Om Maruli,
yang lebih tua daripada Arima.”

“Sudahlah. Jangan buat Ibumu semakin marah. Kamu konsentrasi saja pada rencana kuliahmu,” Eyang
mengelus rambutku. Lantas mengusap lelehan air mata di pipiku.

Aku terdiam takzim menghadapi semangkok emput. Sesekali rintik air mata merembes. Apakah
menyukai lelaki yang lebih tua itu dosa? Protesku dalam hati.

“Ibumu benar. Apa kata orang bila ibumu punya menantu yang setua dia,” entah mengapa Eyang kali ini
sama-sama membela Ibu.

Ibu benar-benar marah saat mengetahui cintaku bukan pada kawan sekelas, melainkan kepada sosok
lelaki dewasa yang berumah di seberang kami. Tetapi bukankah cinta tidak bisa direkayasa? Aku hanya
merasakan kecocokan dengan dia, meski sampai aku menerima dampratan dan tamparan Ibu, tak
kudengar dari mulut lelaki dewasa yang kucintai bahwa dia menganggapku sebagai kekasih kecilnya.

Ternyata jatuh cinta itu menyedihkan. Sedih bukan karena tidak bisa memiliki, tapi sedih karena cinta
hadir di saat tidak tepat. Andai aku lahir lebih dulu, maka aku bebas menumpahkan cinta kepadany.
Sedangkan aku, dan kebanyakan manusia lainnya, tidak punya kuasa memilih kapan dilahirkan.
Kularungkan semua cintaku bersama kenangan yang susup-menyusupi dadaku.

***

“Ibu, sepertinya baru kemarin aku duduk di lumpang ini,” tanganku meraba lumpang. Bibirnya mulai
digerogoti rayap dan jamur kayu. Kedalaman lubang pun dipenuhi abu dan kotoran dari langit-langit
rumah. Waktu memang tak pernah terlambat menuakan. Praktis setelah Eyang wafat, tak ada yang
menggunakan lumpang alu dari kayu nangka ini.

Lumpang dan alu dingin, lama tidak dihangatkan Ibu. Ibu memang tak suka dengan peralatan-peralatan
dapur yang mengurangi kepraktisan. Ibu mungkin hendak mengubur kenangan di rumah ini.

“Hanya Eyangmu yang mahir menggunakannya. Dan hanya Eyangmu yang masih saja memakainya di
zaman modern seperti ini.”

Aku terdiam sebentar. Kenangan-kenangan bersama Eyang, meski mulai kabur, sulit sekali luntur.
Terlebih kurasakan aku lebih banyak bersama Eyang ketimbang bersama Ibu.

“Kita apakan ini Ibu?”

“Ditinggal saja. Kita tidak mungkin membawanya. Kita tidak membutuhkannya,” kata Ibu tegas, seperti
tidak memedulikan ratusan kenangan yang tersimpan dalam lumpang dan alu. Lumpang kayu nangka
yang mengilat bukan karena pelitur atau cat, tapi lantaran aus dipergunakan Eyang, terdiam berkawan
kesendirian. Bagian alu yang cekung tempat mencengkeram juga halus lantaran Eyang memegangnya
sedemikian lama.

“Andai aku bisa membawannya,” kalimatku perlahan.

“Mau kamu apakan, Arima?” tukas Ibu.

Meninggalkan lumpang dan alu sama saja mengubur kenangan hangat bersama Eyang. Dan seseorang
yang pernah menghangatkan dadaku.

“Besok Bulik Utami mau mengambilnya,” Ibu berdiri di pintu dapur. Bulir keringat Ibu sebesar biji padi,
tangannya penuh aneka barang yang siap dibuang.

Lumpang selalu bertemu alu. Lumpang tanpa alu tidak ada gunanya. Sedangkan alu tanpa ada lumpang,
sama saja dengan pentungan satpam. Keduanya tidak bisa dipisahkan, meski orang-orang mudah sekali
berpisah dan memisahkan.

“Bagaimana kabar Om Maruli?”

***

Di halaman beberapa pohon mulai berbunga dan tampak beberapa bakal buah mulai tumbuh. Pintu
rumah Om Maruli tertutup rapat, pagar hidup dari pohon beluntas rimbun lama tidak dirapikan.
Kudengar Om Maruli merantau ke Jambi, kembali ke tempatnya menjadi sopir truk di perkebunan
kelapa sawit. Mungkin karena malu dikata-katai oleh Ibu. Ibu menambahi, yang juga belum tentu benar,
Om Maruli takkan kembali ke Jawa. Sekapling hatiku turut bersamanya. Malu. Terlalu banyak larangan
dalam urusan cinta.

Diam-diam aku teringat cemooh orang atas dirinya, lelaki yang lebih pantas kupanggil ayah. Orang-
orang, termasuk Ibu, berang menyaksikannya duduk di teras bersamaku. Menurut mereka pasangan
cocok bila usianya sepadan.

“Masih ingat sama Maruli?” Ibu tiba-tiba mendekat. Kalimatnya begitu ketus, seperti ada sekam yang
belum tuntas terbayar.

Kubalas dengan senyuman. Aku sudah mencoba ikhlas.

“Kalau kamu tidak kukuliahkan ke Jakarta, bisa-bisa aku punya menantu yang seumuran dengan Ibu. Aku
tidak pernah berpikir bagaimana gadis seumuranmu menyukai lelaki yang seusia Ibu.”

“Katanya cinta tidak mengenal umur.” Sebenarnya aku merindukan sosok Ayah dan dalam pribadinya
aku menemukan kehangatan ayah, kataku membatin.

“Tapi cinta juga butuh logika, sayang.”

“Sayangnya, logika manusia tidak pernah mencapai logika Tuhan.”


Ibu tersenyum lantas mencubit pipiku. “Kamu semakin pintar membalas ucapan Ibumu. Tidak sia-sia
kamu kukuliahkan mahal-mahal. Mungkin akan kurestui kalau lelaki yang lebih dewasa itu bukan
Maruli.”

“Maksud Ibu?” kusambar kata Ibu dengan pertanyaan tajam.

“Ah, sudahlah. Terlalu banyak yang harus kuceritakan. Pada dasarnya, tidak layak kamu berdekatan
dengan Maruli.”

“Ibu,” kataku hampir putus asa karena tidak berhasil mengorek rahasia apa di antara Ibu dan Om Maruli.

“Kamu mau ngalamun saja atau bantu beres-beres?”

Aku beranjak mengikuti Ibu.

“Mulai besok semua akan terbuka lebih lapang. Kenangan buruk sebaiknya tidak usah diingat,” kata Ibu.

“Tapi aku masih ingin lumpang dan alu Eyang kita bawa, Ibu.”

“Kamu masih saja ngurusin lumpang itu?” Ibu mengelus kepalaku. “Benda itu akan aman disimpan Bulik
Utami.”

Kepalaku mendongak. Langit-langit rumah mulai ditumbuhi sarang laba-laba. Rumah tua memang.

“Kamu masih bisa menziarahi kenangan itu di rumah Bulik Utami.”

***

Puluhan kardus jumbo mulai ditumpuk di teras rumah. Mobil bak terbuka sejam lagi akan datang
menjemput, membawanya ke rumah baru. Isi rumah lengang. Aroma apak mulai menyerang. Kusesap
segelas teh terakhir yang kuseduh dalam poci tanah liat.

Sepeda motor matic memasuki halaman rumah. Bulik Utami dibonceng remaja tanggung yang hanya
bercelana pendek dan kaos tanpa lengan.

“Mana Ibu?” tanya Bu Lik Utami. Dari nada suaranya tampak begitu terburu-buru, seperti ada hal besar
terjadi.

Aku hanya memberi isyarat bahwa Ibu masih di kamar, mungkin berias atau kembali memastikan tidak
ada sesuatu yang seharusnya dibawa tertinggal di rumah lama. Remaja lelaki itu masih berdiam di teras,
sungkan.

Remaja lelaki itu adalah anak kedua Bulik Utama yang baru semester tiga di jurusan desain interior. Dan
kudapatkan kabar, bahwa lumpang dan alu itu akan dipermaknya menjadi interior rumah yang bagus.
Meski aku tidak sepakat, tapi bagaimana lagi. Aku seperti tidak kuasa menjaga lumpang alu milik Eyang.
Biarlah, sepupuku yang begitu semangat ini, menjaganya.

“Mau minum apa?”


“Nggak usah Mbak, cuma nganter Ibu,” jawabnya.

Aku tinggalkan dia di teras sambil memainkan ponsel pintar. Aku mendekati Bulik Utami dan Ibu yang
bercakap di kamar. Langkahku terhenti di ambang pintu, mencoba bersembunyi saat Bulik Utami
menyebut nama Om Maruli.

“Kamu sudah mendengarnya bukan?” kata Bulik Utami.

Kusaksikan Ibu menggeleng. Kulihat Ibu menekuk rambutnya, kemudian menalinya dengan karet gelang.
Leher Ibu terlihat kuning meski mulai dirayapi keriput.

“Ada apa lagi dengan, lelaki itu?”

“Kamu masih saja berbuat kasar dengannya,” kalimat Bulik Utami semakin membuatku penasaran akan
tabir rahasia yang selama ini tak kuketahui.

“Apa pantas kutunggu dia? Dulu dia pergi ke Jambi dengan janji menikahiku, nyatanya apa? Tidak ada
kabar, bahkan saat aku harus menerima lamaran ayah Arima. Maruli tidak datang. Minimal
menunjukkan batang hidung,” kata Ibu begitu menghunjam telingaku.

“Tapi, sekarang baru kudengar, kalau Maruli meninggal. Dia kecelakaan di perkebunan sawit,” Bulik
Utami mendekati Ibu, merangkulnya.

Ibu terduduk. Kulihat matanya sembab. Jadi, Om Maruli adalah cinta pertama Ibu. Bibirku tercekat.
Kudengar gemeretak gigi menahan ledakan emosi.

“Apa Arima perlu kukasih tahu?” tanya Bulik Utami.

“Sebaiknya jangan. Biarlah Maruli hidup di benaknya,” kata ibu tertatih.

Ibu mengusap berkali-kali air matanya. Saat mengedarkan pandangan, mata Ibu berjumpa dengan
mataku. Ibu terkejut. Aku mulai tak kuasa menahan jatuhnya air mata.

Seperti nasihat Eyang perihal lumpang dan alu, lumpang selalu berjodoh dengan alu. Sekarang entah
mengapa aku merasa aluku sudah benar-benar menghilang dari bibir lumpangku.

“Arima kau mendengar semuanya?” tanya Ibu, retoris.

Dadaku sudah gerimis, Ibu. Bukan soal kematian Om Maruli belaka. Tapi, menangisi mengapa Ibu tidak
mau terbuka kepadaku, soal cintanya kepada Om Maruli. Aku lebih sedih menyaksikan Ibu terluka
karena segala penderitaan ini.

“Ibu…,” aku menghambur ke pelukannya. Kamar itu, pagi itu, kenangan itu, lumpang itu, semua terliputi
air mata kami.

Anda mungkin juga menyukai