“Merantau itu sudah digariskan di tangan lelaki, Mak!” pekik Aksa kepada ibunya.
Rumah hening. Dari atap, suara cecak menguar. Lalu, sepi lagi yang lebih menikam dari
biasanya. Ibunya tertegun lama, juga Aksa yang tampak sudah lelah berkata-kata.
Tidak ada pekerjaan yang lebih baik selain bertani di kampungnya atau berternak.
Jika musim panen tiba, para tuan tanah membuka lowongan untuk tenaga pemetik kopi, lada,
atau cengkih. Pekerjaan itu melimpah selama panen. Setelah panen usai, orang-orang gagap
mencari pemasukan lain.
Aksa ingin sesuatu yang lain. Ia ingin merasakan hidup di luar desa yang jumud ini.
Ia ingin melihat dunia luar dan bergaul dengan berbagai macam pergaulan. Ia ingin memiliki
wawasan dan pengalaman yang luas. Ia tak ingin terus bergelut dengan sepetak kebun pisang
yang tak seberapa buahnya itu. Ia ingin mencicipi hal-hal baru.
Ibunya hanya mematung ketika mendengar keinginan Aksa untuk merantau. Dalam
hatinya, ada setitik rasa ketidakrelaan. Ibunya teringat tentang negeri jauh yang kejam,
tentang penderitaan, tentang cinta, dan tentang kenangan. Ibunya tak ingin hal yang sama
terjadi kepada puteranya, Aksa. Kehilangan cinta sudah cukup menyiksa baginya, tentang
sosok ayah yang tak pernah kembali dari tanah rantau. Ibunya hanya tak ingin kehilangan
untuk yang kedua kali, meski garis takdir tak pernah sama.
Ibu menatap kesungguhan di mata Aksa dengan tatapan yang pasrah. Ia tahu, Aksa
bukan lagi seorang bocah ingusan. Ia sudah besar. Keinginannya tak bisa dicegah. Ibu
mendengkus panjang. Ia sudah lelah mencegah. Kata-katanya sudah tidak bisa lagi menjadi
dalih untuk menahan hasrat anaknya.
“Ibu tak punya uang untuk ongkosmu,” kata ibu. Dari kata-katanya, ibu tampak telah
merelakan niatan anaknya untuk pergi meninggalkannya. Meski berat, tidak ada alasan lain
untuk menahan. Sejauh-jauh bangau terbang pasti pulangnya ke kubangan juga.
Mata ibu berbinar menahan tangis. Di hadapan anak lelakinya itu, ia tahan sekuat
tenaga agar air garam yang telah menggenang tak meluap ke pipi.
“Mak, tak usah repot memikirkan uang. Aku ada sedikit uang. Cukup buat makan,”
ucap Aksa dengan mata yang tak tampak keraguan sedikit pun di dalamnya.
“Mak tak usah khawatir. Minggu depan ada mobil pisang yang membawa muatan ke
Jawa. Aku mau ikut mobil itu.”
“Bolehkah?”
“Alhamdulillah.”
Ibu tampak senang sekaligus sedih. Di mulai dari detik ini, kesepian akan
menemaninya dan kepergian akan mengambil alih setengah kebahagiaan dari sisinya. Setiap
hari, ia akan bergelut dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan. Pun dengan Aksa. Ia
akan jauh dari rumah, tempat di mana tali pusar dan garis takdirnya tergambar. Di sisi lain,
Aksa merasa senang sebab keinginan untuk merantau terpenuhi. Mulai dari detik ini, ia akan
meninggalkan seorang ibu dan adik di sepetak rumah yang sunyi. Rasa tak tega selalu
menggetarkan dadanya. Namun, kepergian ini bukanlah sebuah akhir. Ia telah berjanji akan
pulang dengan membawa kebahagiaan.
Pagi ini, sejuta perasaan berbaur dalam haru biru. Matahari belum menampakkan
diri. Pun kebanyakan orang yang masih terkungkung dalam ranjang dan selimut. Aksa telah
bersiap menenteng ransel. Ibu membantu menyiapkan bekal. Sang adik ikut bangun dan
tampak bingung melihat kakak dan ibunya sibuk.
Mobil truk masih memuat bertandan-tandan pisang. Selepas adzan subuh, Aksa
berangkat ke seberang pulau, meninggalkan tanah kelahirannya. Asap truk mengepul. Aksa
terduduk di tengah tumpukan pisang. Truk melaju. Perlahan, suara deru knalpotnya
meremang. Bayangan Aksa hilang di tikungan.
Hari demi hari berganti. Ibu masih setia mengolah sepetak kebun pisang peninggalan
sang ayah. Hasilnya tidak seberapa, tetapi dari hasil itu Ibu bisa memenuhi kebutuhan sehari-
hari, juga kebutuhan sekolah adik. Ada berbagai macam jenis pisang yang ditanam, di
antaranya pisang lilin, pisang ambon, pisang raja, dan pisang muli. Ibu menanamnya sendiri.
Hasilnya ia jual. Kadang, Ibu mengonsumsinya sendiri.
Harga pisang jarang sekali naik. Sebaliknya, harga terkadang malah turun. Hanya
seribu tujuh ratus rupiah per kilogram.
Satu tahun berlalu. Kerinduan sudah meluap tak tertampung. Di dapur, ibu sedang
memasak makan malam untuk adik. Makan malam hanya untuk dua porsi. Biasanya tiga,
untuk ibu, adik, dan Aksa. Setiap ibu mencentong nasi ke dalam piring, ia selalu teringat
puteranya. Berbagai pertanyaan ganjil melesat dari hulu benaknya hingga ke inti jantung.
Bagaimana kabarmu? Sudah makan belum? Sudah mandi belum? Kapan kaupulang? Ibu
sudah memasak nasi dan menggoreng telur. Satu tahun berlalu, makan tanpa celotehmu.
Sebelum tidur, wajah Aksa selalu terbayang. Dari bibir ibu, segala kebaikan doa
selalu terucap. Tentang keselamatan, tentang kesehatan, tentang kesuksesan. Ibu selalu
merasa lebih dekat berkat doa.
“Siapa?” tanya Ibu penasaran. Tidak ada jawaban. Ibu membuka pintu.
“Assalamualaikum,” ucap seorang lelaki. Ibu terhenyak. Suara yang tidak asing di
telinganya. Suara lembut yang telah ia kenal sejak dulu. Suara yang menggugurkan rasa
rindu.
Seorang lelaki berdiri gagah di hadapannya. Memang agak berbeda dari yang lalu.
Kumis dan jambangnya tidak selebat dulu. Wajahnya makin tampan dan sedikit berubah,
tetapi Ibu tak perlu waktu lama untuk mengenali anak yang ia kandung. Aksa. Perasaan yang
terikat tak akan pernah lekang.
Ibu memeluk Aksa erat. Kepulangan yang tiba-tiba membuat dadanya membuncah
gembira. Aksa membalas pelukan Ibu dengan erat pula. Rasa khawatir dan cemas seketika
lesat ke luar jendela. Puteranya telah kembali ke pangkuannya.
Malam masih panjang. Lampu ruangan dimatikan. Ibu kembali kaget ketika matanya
hendak terlelap. Dua tangan yang kokoh dan pejal tiba-tiba merengkuhnya.
“Aksa! Tidur di kamarmu sendiri!” pekik Ibu sambil melepas tangan Aksa yang
melingkari tubuhnya. Namun, tangan Aksa yang berat dengan sigap kembali memeluk tubuh
ibunya.
20 November 2020