Anda di halaman 1dari 3

Satu jam berlalu, kami terdiam dan terhanyut dalan angan masing-masing.

Persoalan yang kami hadapi


saat ini benar-benar di luar batas kemampuan. Tapi aku yakin bahwa Tuhan tidak akan memberi cobaan
melebihi kemampuan hambaNya. Namun, Ranti istriku, tetap ngotot dan terus menerus mendesakku. Kami
masih tetap terdiam, aku berdiri dan berjalan ke sana-ke mari. “Jangan hanya mondar-mandir, Mas, cepat
cari jalankeluar, kepalaku rasanya mau copot, lagi pula persoalan ini tidak bisa menunggu, harus segera
cari pinjaman, karena kalau hujan hujan turun dengan lebat takutnya rumah ini akan rubuh.”

Panas terik masih terus memenggang kampungnya, juga kampung-kampung lain di pinggir sungai itu
mengepul dari hutan-hutan di luar kampung yang sudah banyak terbakar. Hampir setiap hari pula ia
mendengar suara mesin penebang kayu meraung-raung, tidak siang tidak malam, dan beberapa hari
kemudian kayu yang sudah dirajang dengan rapi, baik berbentuk papan maupun batangan segi empat
dikeluarkan oleh serombongan kerbau dari hutan. Sampai di pinggir sungai ada orang yang mengikatnya
dengan tali atau kawat dan kemudian kayu dalam jumlah besar dialirkan ke arah hilir sungai dan
dikendalikan oleh kepompong bermesin diesel. Hampir dalam setuap hari dalam panas yang memanggang
kampung itu, hal seperti itu terjadi; raungan gergaji, sepanjang hari, suara pohon tumbang, kayu yang
ditarik kerbau keluar dari hutan menuju pinggir sungai.

Guntingan Koran itu masih ada di mejanya. Tidak semua koran menulis tentang peristiwa itu, hanya
beberapa. Yang beberapa itulah yang membuatnya tersentak. Ada yang nyeri dalam dadanya, ada yang
hampa dalam jiwanya. Benarkah berita itu? Tidaklah salah koran-koran itu menulis tentang hilangnya lelaki
yang terbawa arus sungai. Yang menenggelamkan beberapa kampung di Indrairi? “Ini pasti bohong!
Teriaknya histeris. Ada beberapa orang di sampingnya, juga Rustaman dan Handoko. “ Paling tidak kita
bisa mengecek kebenarannya…harus ke sana Alia.” Yang ini suara Rustaman. Alia, masih menangis tanpa
suara, hanya suara, hanya isakan. “Tapi dia tidak mungkinmati. Kalau dia harus mati, sudah… dulu dia
mati. Dia tak akan mati.”

Hanya sebentar Gudam tergetak. Ditahannya hatinya. Dan lalu ia pergi meneruskan perjalanannya lagi.
“Oo dengan ... itu kaubayar hutangmu padanya, ya? Untuk berapa kali dalam seribu rupiah. Seribu rupih?
Alangkah murahnya,” Kata saniah pula dengan menyebut kata yang tak patut untuk didengar.
Gudam terhenti mendengar kalimat yang tengik itu. “Apa katamu Saniah?”
“Satu rupiah satu kali untuk seorang laki-laki yang lapar sangat murah kaujual, kataku,” Kata Saniah pula.
“Jangan berkata begitu, Saiah. Nanti kuremas mulutmu itu!” ancam Gudam.
“Coba kalau berani!” tantang Saniah.
Gudam hendak meneruskan jalannya lagi. Dan Saniah berkata pula, “Mana kau berani. Sebab badanmu
tentu telah letih karen atelah kaujual ... itu murah-murah.”
“Edu,” kata Ibu, “Usiamu belum tua, nak. Usia empat puluh adalah usia memulai kehidupan baru. Jika kau
masih merindukan masa lalu, kau tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang duka. Contohnya saja, kau
masih menggantung potret itu di dekat jam dinding. Kau masih menaruh kursi itu di sudut untuk
mengingatkanmu kepada almarhum istrimu.”
“Apakah itu saah, Bu?”
“Tidak, Edu. Tidak salah. Tetapi, itu selalu membuka luka lama.”
“Luka lama? Tidak, Bu. Cintaku ada di sana. Wajah itu selalu memberiku dorongan untuk mengasihi dan
mencintai anak-anaku. Wajahnya juga ada pada kedua anakku. Kerling Rita dan senyum Joko merupakan
bayang-bayang dirinya yang selalu membahagiakan aku. Kursi itu menjadi lambang kesetiaan cintanya
kepadaku. Apabila ia letih, ia duduk disitu. Dan menjelang ujung derita, karena penyakit kanker itu, ia
duduk di situ, menahan keperihan sambil bertutur kepadaku: kalau ajal telah menjemputku, carilah ibu
yang dapat mengasihi anak-anakku... . Kuingat itu diucapkan dalam keperiihan yang merundungnya, Bu.”

Namun, Nalea berusaha untuk tenang. Ia kini duduk di bawah meja, sesekali menutup telingana karena
kebisingan suara air yang diselingi gemuruh kilat. Merasa hujan masih akan lama, ia kini justru
mengeluarkan semua buku dan menghamparkannya di bawah meja tua yang lembap, ia berharap buku itu
bisa kering dan tulisannya tidak luntur, ia takut dimarahi ibuya, ia takut dimarahi temannya yang
meminjamkan buku. Tetapi, dalam ketakutannya, ia tidak bisa menangis. Ia mencoba untuk menenangkan
diri meski tidak bisa, karena suara air yang disertai angin itu membuatnya terkejut. “Harusnya, tadi
menunggu ibu di sekolah. Tidak pulang sendiri. Harusnya, Nalea tadi ingat nasihat ibu.”

Sayangnya, ia harus masuk sekolah. Maka, pagi ini, Manisha terjaga setelah ibunya tak henti-henti
menggedor pintu kamar. Ketika membuka mata, cahaya matahari sudah separuh menerangi kamarnya. Ia
pun bangkit, melemparkan selimut, lalu mandi dengan sangat tergesa-gesa. “itu masih ada sabun di
telingamu!” bentak ibunya ketika ia baru keluar dari kamar mandi. Dan betapa terkejutnya ia, ketika melihat
jam dinding, sudah pukul tujuh kurang lima belas menit, padahal ia belum juga mngenakan seragam,
apalagi sarapan. Dan seolah sudah bisa menebak, ibunya segera membungkus nasi yang sudah terhidang
di meja makan. “Ini dimakan nanti kalau istirahat.” Kata ibunya, masih dengan nada tinggi.
Ibu Delia akhirnay membuka pintu dan menjawab pertanyyan Karina. Alangkah terkejutnya Karian
mendengar Delia masuk rumah sakit, karena terken atumor otak. Ternyata selama ini, Delia telah
menyembunyikan penyakitnya dari teman-temannya. Delia yang telah terkena penyakit yang mematikan
tersebut berada di rumah sakit dan tengan menunggu operasi. Sontak, berita ini membuat sahabat-
sahabatnya menjadi tidak percaya. Delia yang terlihat selalu riang itu tidak pernah berbicara dan
menyinggung penyakitnya.
Tidak ada waktu lagi. Menurut informasi dan surat Pak Etek Gindo, waktu pendaftaran Pondok Madani
ditutup empat hari lagi, padahal butuh tiga hari jalan darat untuk sampai di Jawa Timur. Tiket pesawat tidak
terjangkau oleh kantung keluargaku.
“Kita naik bus saja ke Jawa besok pagi,” kata Ayah yang akan mengantarku
Bekalku, sebuah tas kain abu-abu kusam berisi baju dan sebuah kardus mi berisi buku, sepatu, kacang
tojin, dan sebungkus rendang kapau yang sudah kering kehitam-hitaman. Ini rendang spesial, karena
dimasak Amak yang lahir di Kapau, sbuah desa kecil di pinggir Bukittinggi. Kapau terkenal dengan
masakannya yang lezat dan khas.
Sebelum meninggalkan rumah, aku cium tangan Amak sambil minta doa dan minta ampun atas
kesalahanku.

Aku mengagumi malam untuk ketenangannya. Adalah waktu yang tepat untuk merebahkan letih di
sepanjang siang ini. Lagi dan lagi sepertinya malam senang untuk mempersembahkan hasrat yang
semakin menggebu dalam hati, ya keinginanitu. Keinginan untuk berbicara, memaksaku mengakui cinta
untuk seseorang yang harusnya dia tahu atau mungkin siapapun tak perlu tahu. Malam-malam lain datang
di waktu yang sama, aku seperti berlatih menahan bathin. Meyakinkan nurani untuk berhenti. Bukan, bukan
meyakinkan, tapi sedikit memaksa.

Lebih tidak enak lagi kalau orang itu adalah Parmin. Tukang kebun yang rajin dan tak banyak cakap itu.
Yang kerjanya cekatan, dengan wajah yang senantiasa memancarkan kesabaran. Tak pernah kedapatan
sedikit saja membayang kemarahan pada wajah itu. Namun, tertawa berkepanjangan pun jarang lepas dari
mulutnya. Senyum, itu saja. Senyum yang bisa muncul pada banyak kesempatan. Saat ia bicara. Saai ia
menerima tugas, menerima gaji. Juga saat Mami memberi tahu bahwa gaji akan dibayarkan terlambat.

Anda mungkin juga menyukai