Anda di halaman 1dari 30

Bagian 2 : Kutukan Amarah Leluhur

Waktu terus berlalu semenjak ritual sumpah


adat yang menghebohkan orang kampung kala itu.
Kehidupan kami sekeluarga berjalan normal seperti
biasa. Begitu juga keluarga paman Yandi dan Atuk.
Kadang mereka berkunjung ke tempat kami, begitu
pula sebaliknya. Sesekali mereka membahas sumpah
adat itu yang belum berdampak apa-apa bagi orang
yang bersiteru.
“Setidaknya orang kampung tidak lagi
menuduhmu menyimpan racun, parang maya, santet
atau sebagainya,” tegas paman Yandi pada suatu
sore.
Paman Limin yang tempo hari sakit parah juga
telah berangsur pulih. Namun, keluarganya dan kami
sudah tidak lagi saling bicara dan bertegur sapa. Kalo
kebetulan berpapasan di jalan, bapak atau mamak
membuang muka. Pura-pura tidak melihat kayak
orang musuhan.

1
Hal serupa juga berlaku pada orang-orang
yang tempo hari ikutan menuduh bapak. Bisa
dibilang, keluarga kami agak sedikit dikucilkan oleh
orang-orang itu. Padahal sudah jelas bapak dan
paman tidak kenapa-kenapa setelah diadakan
sumpah.
Akan tetapi bapak justru mensyukuri keadaan
yang seperti ini. Kata bapak, ia malah merasa senang
karena gak ada lagi orang-orang kampung yang suka
minjam perkakas bapak tapi gak tanggung jawab
kalo hilang.
“Justru lebih nyaman kaya gini, dik. Orang-
orang itu pada sungkan kalo mau pinjam perkakas
kita. Kalo pinjam sama Ganda pasti gak ada. Kalo
adapun, pasti gak dikasih. Rasain!” ucap bapak pada
mamak.
Lima atau enam minggu sejak ritual sumpah
adat, ceritanya aku main-main di sekitar lapangan
volly. Waktu itu hari sudah sore, mungkin sekitar jam
4. Saat itu aku nyabut-nyabutin resam di pinggir
jalan. Resam ini sejenis pakis liar yang sering

2
digunakan untuk mainan. Rencananya resam ini
akan kujadikan kalung mainan.
Kebetulan, tanah yang ditumbuhi resam ini
milik paman Ganda. Tatkala sedang asyik mencabut
resam, aku dikagetkan dengan suara serak dari arah
lapangan volly di belakangku. Ketika balik badan,
aku terlonjak bukan main. Rasa-rasanya jantungku
mau copot sore itu. Aku mau kabur tapi kakiku
rasanya lemas gak bisa digerakan. Ternyata sumber
suara adalah paman Ganda.
“Nyari apa kau disitu?” tanyanya sambil
meringis.
“Eh…anu, cari resam. Paman dari mana?”
jawabku yang masih kaget.
Namun, aku yang tadi gemetar ketemu paman
Ganda langsung berubah jadi kasihan. Sepupu bapak
ini terlihat memprihatinkan. Badannya kurus dan
wajahnya pucat. Ia terbatuk beberapa kali
mengeluarkan dahak bercampur darah. Selain itu, ia
berjalan terpincang dengan menggunakan sebuah
tongkat.

3
“Hati-hati, daunnya tajam. Nanti kulit kau
luka,” tegurnya.
“Eh, iya, paman. Dikit aja, kok. Paman dari
mana?”
“Dari sana, habis nyari pinang. Kau sebaiknya
lekas pulang, sebentar lagi malam. Nanti bapak
mamak kau bingung mencari.”
“Iya, paman. Ini juga mau pulang. Paman
kenapa pakai tongkat?”
“Sakit kaki,” jawabnya singkat seraya
terbatuk.
Kulihat paman Ganda berjalan tertatih sambil
menenteng kantong kresek hitam, mungkin pinang
tadi. Seketika aku tersentuh, rasanya tak tega
melihat dia kesakitan. Paman tampak kebingungan
melihat parit yang tak berair di hadapannya.
“Bisa gak, paman? Sini, kutahan. Paman turun
pelan-pelan saja.” Aku menawarkan bantuan.
“Gak usah. Aku bisa sendiri,” sahutnya.

4
Akupun lantas kembali sibuk membuat kalung
mainan. Kulirik, paman masih kebingungan
melompati parit.
“Turun saja, paman. Sini kubantu.”
“Badan kau kecil. Tidak mungkin mampu
menahan tubuhku.”
“Bisa. Pelan pelan saja, yang penting tidak
jatuh.”
“Kau ambilkan papan saja untuk aku turun dari
sini.”
Tanpa menunggu lama, aku langsung mencari
papan di sekitar situ. Ada dua lembar papan tipis
yang tersembunyi di dalam rimbun resam. Aku
langsung menarik papan itu kemudian membuat
titian di parit.
“Kau mau bunuh aku ya?! Mana bisa diinjak
kalau papannya gantung begitu. Cari alasnya, taruh
dibawah papan itu, cepat. Sudah pegal kakiku.”
“Sebentar, paman.”
Aku lalu masuk ke dalam kebun paman Ganda.
Tujuanku adalah tumpukan kulit kelapa di
pembuangan sampah. Karena sudah sering bermain

5
di sini, jadi aku hapal seluk beluk kebun ini. Setelah
ketemu, aku berlari kecil membawa kulit kelapa tadi
lalu kususun di bawah papan.
“Aku coba dulu, paman, kuat atau gak
papannya.”
Aku melangkah pelan di atas titian, ternyata
aman. Bagian bawahnya sudah kuat untuk menahan
beban.
“Awas, biar kucoba dulu,” kata paman ganda.
Ia melangkah pelan hingga akhirnya berhasil
menyeberang tanpa kendala berarti. Untungnya
aman.
“Kau simpan lagi papan itu, terus buang kulit
kelapanya ke kebun sana.”
Sepulangnya di rumah, aku cerita ke bapak
tentang kondisi paman Ganda.
“Mungkin cikungunya. Memang lagi musim,”
kata bapak sekedarnya.

*****

6
Beberapa bulan berlalu, belum ada tanda-
tanda warga yang menderita sakit karena dianggap
termakan sumpah. Kalaupun ada, palingan hanya
demam atau cikungunya. Bahkan keluarga kami juga
sempat terjangkit cikungunya. Untungnya tak lama
dan akhirnya sembuh.
Warga kembali bergunjing, sumpah adat
beberapa waktu lalu dianggap hanya takhayul orang
jaman dulu. Hanya kebiasaan tak berguna yang
terlalu dibesar-besarkan. Warga seolah menantang,
arwah para leluhur yang dipanggil manang tak lebih
dari omong kosong.
Akan tetapi, memasuki bulan ketujuh, barulah
terjadi peristiwa yang sulit diterima nalar. Pada suatu
malam, kami sekeluarga sudah terlelap. Waktu itu
sekitar pukul 10 malam. Aku yang sudah terbuai di
alam mimpi terbangun karena mendengar suara
gedoran yang kencang di pintu.
Pintu dipukul-pukul sangat keras dari luar
hingga seisi rumah bergetar. Semua orang langsung
terbangun dan saling pandang. Apalagi suara
gedoran itu diiringi suara tangis meraung-raung.

7
Adik yang paling bungsu juga ikutan menangis
karena mengira ada hantu mengamuk.
Ibu bergegas menenangkan adik sementara
bapak langsung mengambil mandau di dinding.
Sewaktu pintu terbuka, bapak mengelus dada
berkali-kali. Ternyata di hadapannya ada tante
Mirah, istrinya paman Ganda.
“Ada apa, Mirah, malam-malam begini?” tanya
bapak keheranan melihat tante Mirah menangis.
Tanda diduga, tante Mirah langsung bersujud
memegang kaki bapak. Bahunya berguncang-
guncang karena sesenggukan dan air matanya
tumpah. Bapak yang masih kebingungan langsung
membawa tante masuk ke dalam rumah. Bapak
kemudian menyuruhku mengambilkan segelas air
putih di dapur dan menyerahkannya pada tante.
Setelah meminum segelas penuh air putih tadi,
rupanya tante Mirah tetap tidak bisa tenang. Ia justru
tersungkur memegang kaki bapak seraya terus
menangis.

8
“Tolong aku, Andung, hu…hu…hu…ampuni
suamiku. Bantu dia…sembuhkan dia demi anak-
anakku,” rengek tante Mirah berurai air mata.
Bapak dan mamak saling lirik, masih belum
mengerti arah pembicaraan tante Mirah.
“Ceritakan dulu apa yang terjadi,” kata bapak
singkat.
Tante Mirah kembali duduk lalu menyeka air
mata. Ia menarik napas dalam-dalam supaya lebih
tenang. Setelah agak mendingan, tante Mirah
menceritakan apa alasannya datang ke tempat kami.
Katanya, paman Ganda mengalami sakit parah
sampai-sampai tak bisa bangun dari tidur. Sudah
berminggu-minggu ia terbaring seperti orang
lumpuh.
“Tolonglah sepupumu itu, Andung. Aku tahu ia
banyak salah sama kamu, tapi hanya kamu yang bisa
membantu. Aku minta maaf atas perbuatannya
padamu dan keluargamu,” pinta tante dengan mata
berkaca-kaca.

9
Bapak menghela napas. Merenung.
Bagaimanapun juga, ia masih sakit hati atas ulah
paman Ganda. Bukan hanya karena difitnah, tapi
juga paman Ganda telah mengambil tanah warisan
bapak dan menyerahkannya pada orang lain.
“Kau tahu, sumpah adat itu bukan main-main.
Kau lihat sendiri waktu itu, suamimu sangat lancang.
Ia bahkan mandi dengan air darah itu. Bukannya aku
tak mau membantu, tapi…bisa jadi ia terkena amarah
leluhur,” kata bapak selembut mungkin.
Tante Mirah masih terisak, memelas pada
bapak.
“Tolonglah, demi anak-anakku. Lakukanlah
ritual tenong untuk suamiku. Kalau memang
nantinya tidak ditemukan asal muasal penyakitnya,
aku tidak akan memaksamu lagi. Tapi kali ini
tolonglah suami ku. Aku mohon.”
Awalnya bapak bersikukuh menolak tapi
ujung-ujungnya luluh juga. Meski berwatak keras,
bapak paling tidak tega kalau ada anak kecil sampai
menderita. Bagaimanapun juga, anak-anak paman
Gandi masih keponakan bapak.

10
“Baiklah. Demi anak-anakmu. Namun kalau
tidak dapat jawaban dari tenong ini, kalian terpaksa
harus usaha sendiri,” jawab bapak.
Tante Mirah mencium tangan bapak dan ibu
seraya tak henti-hentinya mengucapkan terima
kasih. Sejurus kemudian ia melangkah pulang
dengan sebuah senter di tangan.
Bapak menatap getir ke arah pintu yang telah
tertutup rapat. Entah kenapa tante Mirah meminta
bapak yang melakukan tenong untuk Ganda.
Padahal, hampir semua orang tua di kampung bisa
melakukan tenong.
Tenong adalah ritual singkat yang bertujuan
untuk mencari tahu darimana datangnya penyakit
yang dialami pasien. Apakah dari makhluk halus,
kiriman orang, atau penyakit medis biasa. Bisa
dikatakan tenong ini semacam perawat. Sedangkan
manang adalah untuk orang yang ilmunya lebih
tinggi lagi, semacam dokter.

11
“Mungkin karena Ganda telah berbuat jahat
sama abang. Makanya, hanya abang yang dianggap
layak melakukan ritual itu kepada Ganda,” ujar
mamak.
Bapak tidak menyahut. Ia justru masuk
kedalam kelambu dan menyuruh aku dan adik
kembali tidur.

*****

Keesokan sore sepulang dari ladang, bapak


menyiapkan berbagai kebutuhan untuk ritual tenong.
Syarat yang disiapkan tidak terlalu banyak, hanya
beras kuning serta tali yang terbuat dari jalinan kulit
kayu. Sedangkan orang yang diobati harus
memberikan piring batu sebagai syarat. Proses
ritualnya sendiri aku kurang tahu seperti apa.
Sewaktu bapak keluar rumah aku bergegas
ikut. Awalnya bapak menolak, takut aku tertular
penyakit yang diderita paman Ganda. Namun
kubilang aku mau manjat pohon mangga di kebun

12
kami yang tidak jauh dari rumah paman Ganda,
bapak akhirnya mengijinkan.
“Ingat, nak, di kebun saja! Jangan dekat-dekat
rumah paman Ganda, kita belum tahu penyakitnya.
Bisa saja penyakit itu berjangkit,” tegas bapak.
“Iya, pak. Cuman mau cari mangga,” balasku.
Aku pun mengiringi bapak melintasi jalan desa
yang masih berupa tanah merah. Di jalan kami
berpapasan dengan paman Yandi yang pulang
membawa kayu bakar. Mengetahui maksud bapak,
paman Yandi langsung melarang. Nada bicaranya
pun meninggi. Ia masih marah atas ulah Ganda pada
bapak tempo hari. Namun ia lebih marah pada bapak
yang mau-maunya kasihan pada Ganda.
“Biarkan saja Ganda itu mati menderita!
Biarkan ia termakan sumpahnya! Ini salahnya sendiri
yang menuduhmu. Sekarang, ia mendapatkan
upahnya!” sungut paman Yandi mencak-mencak
penuh emosi.
“Sudahlah, kita lupakan dulu masalah
kemaren. Aku juga masih sakit hati, tapi gak tega

13
lihat anak-anaknya yang masih kecil. Bagaimana pun
juga, mereka masih keponakanmu.”
“Abang ini terlalu gampang kasihan. Tanahmu
ia ambil juga abang mengalah saja. Kadang kita ini
harus keras bang, supaya hidup kita tidak
diremehkan orang. Sewaktu ia mau membunuhmu,
apa ia memikirkan Imai dan adik-adiknya. Tidak
kan?!”
Bapak hanya diam. Ia biarkan adik tertuanya
itu meluapkan emosi. Sebenarnya bapak dulu
bukannya mengalah begitu saja sewaktu tanahnya
diambil paman Ganda. Namun bapak khawatir akan
terjadi aksi balas dendam berkepanjangan yang
membuat kami turut menjadi korban.
“Sudahlah, kalau itu mau abang. Percuma aku
melarang, takkan ada hasilnya.”
Paman Yandi kembali melangkah dengan
wajah kesal. Bapak hanya geleng-geleng lalu kembali
berjalan ke ruman paman Ganda.

*****

14
Dari atas pohon mangga, aku melihat bapak
sudah tiga kali keluar masuk rumah paman Ganda.
Ia muntah-muntah di pojokan, tak kuat menahan
mual. Rumah paman Ganda memang berbau busuk
yang menyengat. Lebih busuk dari bangkai tikus
yang tersembunyi di sudut plafon. Bahkan baunya
tercium hingga keluar rumah, menusuk hidung dan
menembus otak.
Sekitar 30 menit kemudian, bapak telah selesai
dengan ritualnya. Ia lantas memanggilku untuk
segera pulang. Di perjalanan, sudah tiga rumah kami
lewati tapi bau busuk dari rumah paman Ganda
masih tercium juga.
Karena penasaran, aku memberanikan diri
bertanya pada bapak. “Pak, paman sakit apa? Kok
bau busuk sampai keluar rumah.”
“Entahlah…aku jadi kasihan melihat
keadaannya. Kakinya membengkak mengeluarkan
cairan lendir berbau busuk. Nanah bercampur
darah.”

15
“Loh, kok bisa, pak? Terakhir ketemu paman,
dia masih bisa jalan meskipun harus pake tongkat.”
“Entahlah, aku juga tidak tahu. Nanti, kalau
kamu sudah besar, jangan sekali-sekali mengambil
hak orang lain. Jangan pernah berdusta sekalipun
kalau tak mau seperti Ganda. Walau miskin, pantang
bagi bapak berbuat culas.”
Aku mengangguk mendengar nasehat bapak.
Kami terus melangkah di bawah senja yang mulai
merah kekuningan. Di sekitar hutan, jangkrik dan
binatang malam mulai bersahutan menyambut
datangnya malam.
Aku terlonjak kaget sewaktu bapak berhenti
mendadak. Tubuhnya gemetar dengan tinju terkepal
erat. Aku merasa takut karena bapak tiba-tiba
dipenuhi amarah.
Ternyata beberapa meter di hadapan kami ada
paman Gundi, iparnya paman Ganda. Kepadanyalah
paman Ganda menyerahkan tanah milik bapak tanpa
persetujuan. Melihat bapak di tengah jalan, lelaki itu
lantas putar arah lalu melangkah terburu ke jalan
setapak menuju ke dalam hutan.

16
*****

Setibanya di rumah, mamak langsung nanya


ke bapak tentang keadaan paman Ganda. Bapak
hanya bilang bahwa paman Ganda sakit kaki lalu tak
bisa berjalan selama beberapa minggu ini. Bapak
tidak cerita kalau keadaan paman Ganda
mengeluarkan bau busuk.
“Apa memang seperti itu, bang, penyakit orang
yang terkena sumpah?” tanya mamak seraya
menyeduh kopi untuk bapak.
“Entahlah, aku kurang tahu pasti. Bisa iya, bisa
juga tidak. Aku belum pernah menyaksikan langsung
kejadian seperti itu. Yang aku tahu, orang yang
termakan sumpahnya akan sakit dalam waktu yang
lama kemudian meninggal. Semoga saja dia bisa
sembuh. Biar tobat dulu.”
Mamak mendekati bapak sembari
membawakan kopi yang masih panas. Ia lalu
menatap wajah bapak yang penuh keringat dengan
sorot mata sayu.

17
“Mana si Gundi? Kenapa bukan dia yang
melakukan tenong untuk si Ganda?”
Bapak menggeleng lemah. Ia hanya cerita tadi
sempat ketemu di jalan tetapi ipar Ganda itu justru
menghindar. Aku tahu, jauh di lubuk hati, bapak
mungkin bisa memaafkan paman Ganda, tapi tidak
dengan paman Gundi. Perseteruan bapak dan paman
Ganda sebenarnya karena ulah paman Gundi.
Mamak pernah cerita, kejadian ini bermula
bertahun-tahun lalu, kala aku baru belajar berjalan.
Ceritanya bapak dan paman Ganda mendapat
warisan berupa tanah yang luas. Tanah itu kemudian
di mereka kelola bersama untuk berladang. Sebelum
berladang, tanah itu sudah dibagi rata sama panjang
dan luas. Selama itu tidak masalah antara bapak dan
paman Ganda. Semua berjalan baik-baik saja.
Lalu, paman Gundi datang ke kampung kami
untuk memulai hidup baru. Kalau tidak salah ia diusir
dari kampungnya entah ada masalah apa. Ia
kemudian meminjam tanah ke paman Ganda untuk
membangun gubuk sebagai tempat tinggal

18
sementara bersama istri dan anak anaknya. Anaknya
paman Gundi ini banyak. Lima orang laki laki dan tiga
perempuan. Jadi total mereka dalam satu rumah ada
10 orang.
Sebagai ipar, tentu saja paman Ganda dengan
senang hati membantu. Yang jadi persoalan, paman
Ganda malah meminjamkan tanah milik bapak tanpa
berunding. Sebagai bayaran, paman Ganda
mendapat radio tua dari paman Gundi.
Suatu siang, bapak ingin membersihkan tanah
miliknya untuk menanam sawit. Bapak kaget bukan
kepalang mendapati ada gubuk di tanahnya. Saat
bapak mendekat, beliau semakin terheran-heran
karena yang keluar rumah adalah orang asing yang
tak dikenal.
“Siapa kamu? Kenapa kau bangun gubuk di
sini? Siapa yang kasih ijin?” sentak bapak.
“Tanah ini sudah kubeli dari Ganda. Kalau kau
tidak percaya, tanya saja langsung ke Ganda,” sahut
paman Gundi.

19
“Tanah Ganda sebelah sana. Ini tanahku. Kau
jangan asal bikin pondok di tanah orang!”
“Aku tidak peduli. Yang jelas tanah ini sudah
kubeli. Kalau kau keberatan, kau urus saja dengan
Ganda. Sudahlah, Pergi kau dari sini,” hardik paman
Gundi.
“Aku juga tidak peduli kau sudah bayar atau
belum! Ini tanahku! Kau boleh pilih, aku yang
menghancurkan gubuk ini, atau kau sendiri yang
merubuhkan. Aku beri waktu tujuh hari untuk
mengemas semua barang dan pergi dari tanah ini.”
Bapak kemudian mendatangi paman Ganda
dengan darah mendidih. Paman Ganda lantas
menerangkan bahwa tanah itu hanya dipinjam,
bukan di jual. Paman Ganda membujuk bapak agar
mau berbaik hati sedikit. Kata beliau paman Gundi
sedang dalam kesusahan.
“Tanahmu kan banyak, Andung. Kau takkan
rugi kalau tanah itu dipinjam iparku,” rayu paman
Ganda.

20
“Kenapa kau tak pinjamkan tanahmu saja,
heh, Ganda?! Kalau kau ingin membantu, jangan kau
rugikan orang lain.”
“Aduuh…Andung. Tanahku kan untuk
berladang. Jika tanah itu dipakai Gundi, aku makan
apa?” keluh paman Ganda.
Bapak tetap bersikeras tak mau menerima
alasan Ganda. Ganda berjanji akan memberi solusi
secepatnya. Sebulan berlalu, tak ada kabar dari
paman Ganda. Justru si Gundi semakin kurang ajar.
Ia memasang plang di tanah milik bapak, diakui hak
miliknya.
Bapak yang naik pitam bergegas hendak
menyerang Gundi. Paman Yandi dan Atuk yang
masih muda juga sudah panas. Mereka bertiga
hampir saja menebas Gundi kalau saja tidak ada
anak-anaknya yang masih kecil.
Ganda kemudian datang bersama kades, tetua
adat dan orang-orang kampung. Akhirnya dibuat
kesepakatan, Gundi diijinkan mendiami tanah
selama setahun untuk modal pindah hingga panen
tiba. Hasilnya akan dibagi dua dengan bapak.

21
Akan tetapi Gundi ingkar janji. Tiba waktunya
panen, ia justru membagi hasil dengan paman
Ganda. Kebetulan panen paman Ganda kala itu
banyak yang gagal.
Bapak lagi-lagi datang bersama paman Yandi
dan Atuk. Kali ini bapak tak mau peduli dengan hasil
panen, tapi Gundi dan keluarganya mesti angkat kaki
dari tanah bapak. Bapak mengajak Gundi duel hingga
salah satu diantara mereka mati. Gundi yang
ketakutan segera berlindung di balik paman Ganda.
Ganda sekali lagi membela iparnya. Ia pasang badan
dengan mandau di tangan. Hampir saja terjadi
pertumpahan darah di tanah bapak hari itu.
Bapak langsung mengurungkan niat begitu
melihat istri dan anak-anaknya paman Gundi yang
menjerit kencang ketakutan. Istrinya paman Gundi
bahkan bersujud di kaki bapak, memohon belas
kasihan.
Bapak kemudian melengos pergi begitu saja,
sementara paman Yandi dan Atuk yang disulut
amarah hanya bisa memaki. Sejak itu, bapak dan

22
paman Ganda jadi bermusuhan. Bertahun berlalu,
tanah itu justru ditanami Gundi pohon karet. Paman
Ganda yang dijanjikan akan menerima bagi hasil pun
hanya bisa gigit jari.
Akan tetapi paman Ganda membiarkan saja
ulah si Gundi. Justru ia yang selalu membela jika ada
apa-apa dengan Gundi. Sepertinya paman Ganda
sudah termakan omongan Gundi yang pintar
menghasut dan bersilat lidah.

*****

Selama paman Ganda sakit, bapak sudah tiga


kali menjenguk. Dua kali ditemani paman Atuk,
sementara paman Yandi tak mau sama sekali
menjenguk. Sudah berbulan-bulan sakit, tidak ada
tanda-tanda kalau paman Ganda akan membaik.
Justru kedaannya bertambah parah.
Aku dengar tentang keadaan paman dari mulut
bapak. Suatu malam aku terbangun karena
mendengar bapak dan mamak masih berbincang di
luar kelambu. Dari cahaya lampu semprong yang

23
temaram, kulihat raut wajah bapak sangat sedih
memikirkan nasib sepupunya itu.
“Kumaafkan dia, dik. Tidak tega aku
melihatnya seperti itu. Ia hanya bisa memutar kepala
kalau diajak bicara. Mulutnya sulit terbuka. Tidak ada
kalimat yang jelas yang ia ucapkan,” ujar bapak
lemah.
Bapak juga menjelaskan kalau nanah dan
darah tidak lagi hanya keluar dari kaki, tapi dari
seluruh lubang di tubuhnya. Darah bercampur nanah
keluar dari telinga, hidung, mulut, kemaluan bahkan
anus. Aroma busuk menyebar bahkan hingga keluar
rumah.
“Mirah harus mengganti tikar tempat Ganda
berbaring lima hingga enam kali sehari. Yang
memprihatinkan, daging di punggungnya
mengelupas, menempel di tikar itu. Kadang ada
belatung di situ. Jika melihat keadaannya sekarang,
menyesal aku menantangnya sumpah adat waktu
itu,” tutup bapak dengan mata berkaca-kaca.

24
“Sudahlah, bang. Bukan salahmu. Semua ada
upahnya. Kita doakan saja semoga ia bisa kembali
sembuh,” sahut mamak bersandar di pundak bapak.

*****

Kabar tentang paman Ganda yang sakit parah


tersiar hingga seluruh penjuru kampung. Kabar itu
tentu saja ditambah-tambahi agar semakin heboh
dan dramatis. Bapak bahkan kadang bersitegang
karena hampir tiap hari orang-orang kampung
menggunjingkan sepupunya.
“Kalian ini kayak gak kerja saja. Bukannya
membantu, justru mengatakan yang tidak-tidak,”
bentak bapak pada seorang ibu tetangga paman
Ganda.
“Heh, Andung, bagaimana kami gak
ngomongin, bau sepupumu itu sampai rumahku.
Hampir muntah aku setiap hari mencium baunya,”
balas ibu tadi.

25
Tabiat bapak yang suka ngoceh, takkan
berhenti sebelum lawan bicaranya bungkam. Aku
yang sudah sakit perut, pamit pulang duluan ke
rumah. Kutinggalkan bapak adu mulut sore itu,
karena aku sudah keburu ingin ke jamban.
Namun, sekeras apapun usaha bapak, mulut
warga tidak bisa diredam. Apalagi, bau busuk dari
rumah paman Ganda sudah menyebar hinngga ke
rumah tetangga kiri dan kanan, juga ke jalan di
depan rumah. Gosip receh tentang paman Ganda
yang termakan sumpah semakin menjadi-jadi.
Yang membuat bapak kesal, paman Limin yang
dulu dibela mati-matian oleh bapak tidak pernah
menjenguk. Sedangkan si Gundi selalu sembunyi ke
hutan apabila bapak atau paman Atuk memintanya
menjenguk paman Ganda.
Suatu pagi, aku dan mamak menjenguk paman
Ganda. Kedatangan kami disambut dengan haru oleh
tante Mirah. Apalagi kami datang membawa nasi,
lauk dan sayur menggunakan rantang, semakin
pecahlah tangisnya.

26
Tante Mirah bahkan memeluk ibu dengan air
mata berurai. Keduanya lantas menangis
berpelukan. Keempat anak paman Ganda, tiga
perempuan dan satu laki-laki, makan dengan lahap.
Saking laparnya, mereka sudah tak peduli dengan
aroma menyengat dari tubuh paman Ganda.
“Sabarlah, Mirah. Berdoalah agar suamimu
lekas membaik,” hibur ibu.
“Sudahlah, Diang. Aku sudah pasrah. Aku siap
kalau suatu hari nanti dia pergi. Aku sudah minta ke
tolong ke beberapa orang manang, tapi tidak ada
satupun yang bersedia membantu. Jangankan
menjenguk, mereka malah bilang, ini karma yang
harus diterima suamiku. Mau marah, tapi percuma.
Tidak ada hakku untuk melarang mereka bicara
buruk tentang suami ku. Aku justru berterima kasih
sama kalian,sebagai sepupu dari suamiku, masih ada
niat baik mau menjenguk.”
Mamak hanya diam, tak tahu lagi mesti berkata
apa. Kini ia mengerti kenapa bapak tempo hari
menyesal telah menantang paman Ganda melakukan
sumpah adat. Sedangkan aku hampir pingsan karena

27
sedari tadi menahan napas. Aku yang tak kuat
akhirnya berhamburan ke luar rumah untuk
memuntahkan isi perut.

*****

Tak terasa dua tahun sudah paman Ganda


mengalami sakit misterius. Kemiskinan yang akut
membuat beliau tak bisa dibawa ke rumah sakit di
kota untuk mendapatkan pengobatan semestinya.
Apalagi jarak tempuhnya terlalu jauh. Itupun belum
tentu ada sopir travel atau kapal bandong yang mau
mengantarkan lantaran aroma busuk yang keluar
dari tubuh paman Ganda.
Paman Yandi yang tadinya tak mau menjenguk
akhirnya tersentuh juga. Beberapa kali ia menjenguk
bersama bapak dan paman Atuk. Untuk keperluan
sehari-hari, tante Mirah hanya mengandalkan belas
kasihan dan bapak dan paman. Kalau sedang
paceklik, kami sama-sama makan angin.

28
Selama dua tahun ini, setidaknya tujuh kali
diadakan doa bersama bagi kesembuhan paman
Ganda di rumah pemimpin umat. Karena gak ada
yang mau masuk kedalam rumah paman Ganda yang
baunya bukan main, makanya doa dilakukan
dirumah pemimpin umat.
Setiap sembahyang pada hari minggu, nama
paman Ganda juga dibawakan dalam doa, meminta
kesembuhan beliau kepada Tuhan. Namun, takdir
berkata lain. Paman Ganda akhirnya meregang
nyawa pada jam satu dini hari lewat beberapa menit.
Waktu itu, rumah kami kembali digedor-gedor
sangat kencang. Kami yang kaget langsung keluar
kelambu. Bapak yang sudah merasa tidak enak
langsung membuka pintu. Benar saja, tante Mirah
sudah di depan sambil menangis.
“Ada apa, Mirah?” tanya mamak ikutan cemas.
“Su-suamiku…suamiku tidak membuka mata
dari tadi. Tolong aku, hu…hu…hu..” katanya terisak.
Bapak langsung mengambil senter dan pergi
bersama tante Mirah. Mamak terlihat trenyuh

29
mendengar kabar duka itu lalu duduk tersungkur
menahan air mata.
Keesokan pagi, sekitar pukul delapan bapak
sudah pulang dengan wajah lelah. Wajahnya terlihat
pucat seperti orang resah. Tanpa banyak kata, bapak
langsung mandi ke belakang. Mamak tahu, ada yang
tidak beres dengan kematian paman Ganda. Selang
beberapa menit, bapak sudah keluar dari kamar
mandi mengenakan handuk di bagian pinggang ke
bawah.
“Ada apa, bang? Bagaimana keadaan Ganda?”
tanya mamak memburu bapak.
“Waah… kacau…! Kacau…! Benar-benar
kacau!” sahut bapak seraya mencari pakain di lemari.
“Ka-kacau? Kacau kenapa?” Mamak mengekor
di belakang.
“Ganda mati jadi hantu!”
“Hah?!” pekik mamak tidak percaya.

…bersambung…

30

Anda mungkin juga menyukai