TERE
LIYE
1. Si Babi Hutan
Aku mengangguk.
Aku mengangguk.
Aku tidak pernah tahu jika babi bisa sebuas ini. Babi-babi
ini jelas bukan babi biasa, kami sudah masuk ke teritori
ring pertama hewan ini, mungkin empat babi ini adalah
pejantan paling besar yang melindungi kawanan. Atau
mungkin pula babi-babi ini adalah penjaga jantung rimba.
Apapun itu, empat babi ini terlihat marah.
Aku mengangguk.
Aku mengangguk.
“Jika dia adalah jagal dunia hitam, maka tidak pelak lagi,
dia adalah jagal nomor satu. Jenius, kuat dan tidak
mengenal rasa takut. Semua ucapannya adalah kebenaran.
Itulah kenapa, aku sungguh minta maaf, terpaksa
memutuskan membatalkan kampanye di kota lain.
Pertemuan ini sangat penting, aku tidak bisa menolak saat
mereka memintanya, atau kita beresiko menghadapi
sesuatu yang berbahaya.”
“Ya.”
“Tidak bisa—”
Dua puluh tahun lalu, gerimis turun saat empat mobil jeep
melintasi gerbang selamat datang kota. Pukul sebelas
malam. Wajahku menempel di jendela kaca, menatap
lamat-lamat lampu jalanan suram yang dibungkus tetes
hujan. Aku belum pernah meninggalkan kampung di
lereng bukit barisan, belum pernah melakukan perjalanan
sejauh ini, semuanya terlihat menarik. Tidak ada
pepohonan, digantikan rumah-rumah, bangunan rapat.
Jalan besar, dengan lampu-lampu. Lebih banyak mobil,
berlalu-lalang. Jembatan panjang, gedung tinggi.
Aku mengangguk.
Aku menoleh. Ada apa lagi? Ada hal lain yang harus
kuketahui?
"Assalammualaikum."
Aku berdiri.
Aku menggeleng.
Belum selesai?
Frans tersenyum.
Aku menggeleng.
Aku diam.
Hari ini.
Aku mengangguk.
“Tentu saja bisa. Aku lupa soal itu.” Master Dragon yang
menjawabnya, terkekeh, menoleh ke pelayan, “Jangan beri
dia minuman beralkohol, Si Babi Hutan tidak
menyentuhnya sama sekali. Juga miesao, jangan ada
daging babinya. Suruh koki memasaknya tanpa daging
apapun. Anak muda ini punya selera murahan sekali
memang.”
Sama seperti dua puluh tahun lalu. Malam saat aku protes
ingin berhenti sekolah.
“AMOOOKKK!!”
Saat itu, usiaku baru lima belas tahun. Tapi fisikku tidak
lagi remaja, aku bahkan sudah lebih tinggi dibanding
Tauke. Akan kutunjukkan jika aku layak menjadi seorang
tukang pukul. Tauke kembali ke tepi lingkaran, masih
menatapku masam.
“CURANG!”
Aku mengangguk.
“Balas! Balas!”
Aku mengangguk.
“Bagaimana rasanya?”
Aku menggeleng.
“Ayolah! Untuk kenang-kenangan.” Satu gadis lain
menggoda, “Kau tidak pernah mau berfoto bersama setiap
kali bertemu. Selfie*”
“lya, untuk yang itu, seperti biasa. Tapi kali ini, aku ingin
kau menemaniku makan. Ada yang hendak kubicarakan.
Kau mungkin tertarik.”
Aku mengangguk.
“Aye-aye, Bujang.”
“Periksa dia.”
“Duduk.”
Aku mengutuk dalam hati, tinggal dua lantai lagi. Jika aku
kembali ke ruangan, bagaimana aku bisa tiba di atap
gedung, tempat aku bisa melarikan diri? Kami tidak bisa
menggunakan lift untuk turun atau naik, seluruh pintu
dijaga oleh mereka. Peluru berdesing di kepala, debu
mengepul di sekitar, aku merunduk mencari tempat
berlindung. White beringsut mendekatiku, dia telah
melemparkan senapan mitraliur ke bawah—amunisi
terakhir. Kami terpojok di anak tangga darurat.
Aku menggeleng.
Kopong mengangguk.
sana, mengenakan
pakaian hitam-hitam. Sudah lama sekali Tauke tidak
mengalami hal ini, penyerangan besar. Puluhan anggota
keluarganya tewas. Tauke memimpin upacara
pemakaman.
“Penyerangan apapun yang tidak berhasil menghabisi
kita, justeru akan membuat kita semakin kuat.
Penyerbuan apapun yang tidak berhasil membenamkan
kita, justeru akan membuat kita berdiri semakin tegak.”
Suara Tauke terdengar serak.
“Keluarga Tong!”
“Keluarga Tong!”
“HidupKeluarga Tong!”
Ratusan tukang pukul kembali berteriak, saat puluhan
peti mati dimasukkan ke dalam liang. Hujan
membungkus prosesi pemakaman.
“Tapi kalian—”
rencana.
Aku mengangguk.
“Anakku Bujang,
Aku terhenyak.
Aku mengangguk.
“Sekarang?”
Aku mengikutinya.
Aku mengangguk.
Aku mengangguk.
Apa?
Aku terdiam.
Aku mengangguk.
“Yang pasti, kau bukan lagi remaja kusam tanpa alas kaki,
dari pedalaman rimba Sumatera.” Frans bergurau,
tertawa.
"Asslammualaikum."
“Anakku, Bujang.
Jika kan akhirnya membaca surat ini, maka itu berarti
Bapak sudah mati. Aku menulis surat ini mungkin berminggu-
minggu, atau berbulan-bulan sebelum ajalku tiba, kutitipkan
surat ini kepada tetangga kita di talang, dengan pesan, jika
aku sudah dikuburkan, tanah merah sudah menimbun jasadku,
dia akan segera mengirimkan surat ini ke alamat Tauke
Muda di kota provinsi, dan dari sana, entah bagaimana
caranya, pastilah akan tiba kepadamu.
Bapak kan,
Mohammad
Syahdan.”
“Pelabuhan?”
Aku mengangguk.
Kami tiba di kawasan Kowloon, di gedung berlantai enam,
empat pengawal dengan simbil “Naga Emas” menyambut
kami turun dari limusin, mereka membungkuk kepada
Tauke Besar, meminta kami mengikutinya.
Tauke mengangguk.
Parwez mengangguk.
Dor!
“Assalammualaikum, Bujang.”
“Tapi buku itu benar, usia dua belas tahun, jalan balas
dendam itu terbuka sendiri. Salah-satu tukang pukul
Keluarga Tong membawaku ke markas, Tauke hanya
menganggapku anak jalanan, sama seperti ratusan anak
jalanan lain yang direkrut, setelah bersabar enam tahun di
jalanan, tiba-tiba aku telah menjadi anggota Keluarga
Tong. Aku sebenarnya bisa mengendap-endap ke kamar
Tauke, menghujamkan belati ke lehemya. Tapi itu tidak
cukup, pembalasan seperti itu terlalu gampang. Pepatah di
buku saku itu menulis tentang gunung, tentang lautan.
Maka apalah artinya menunggu lagi bertahun-tahun, tidak
masalah. Aku akan menunggu saat yang tepat, ketika
Tauke bisa melihat seluruh kejayaan yang dia bangun
bertahun-tahun, menjadi sia-sia begitu saja.
Aku mendesis.
Dor!
“Berapa panjangnya?”
Aku mengangguk.
“London.”
Tentang apa?
kaku.
“Pengkhianatan.”
“Seberapa serius?”
Sarapan.
Buat apa?
Aku menggeleng.
Aku mengangguk.
“Lantas sekarang perasaan berani itu hilang begitu saja,
seperti debu disiram air?”
“Kau serius?”
Aku mengangguk.
“Aye-aye, Bujang.”
“Pelabuhan ibukota.”
Aku tersenyum.
twinshinobi: hat.
littlepig: apapun yang lisa kalian bawa. hidup mati. detail akan
kukirimkan lewat email.
“Aye-aye, Bujang.”
“Astaga! AWAS!!”
“Tembak!”
Aku mengangguk.
Aku tersenyum.
Aku tersenyum.
Aku tersenyum.
Tuanku Imam benar, itu panggilan Tuhan bagi siapapun,
tidak pernah didesain untuk mengganggu. Kali ini, aku
bisa mendengarnya dengan lega. Lebih dari 13.000 hari
aku mendengarkan suara adzan, lima kali sehari, pagi,
siang, sore dan malam. Dari sekian puluh ribu panggilan
itu, kali ini, aku baru memahaminya. Aku menyeka wajah
yang basah oleh butir air. Terlambat? Tidak juga.
Panggilan itu tidak pernah mengenal kata terlambat,
panggilan itu selalu bekerja secara misterius.
BERSAMBUNG