Anda di halaman 1dari 6

Karakter Cut Nyak Dhien

Berdasarkan Teori
Ratna Megawangi

Teori Ratna Megawangi

Ratna Megawangi mengemukakan tiga hal yang berlangsung secara terintegrasi


dalam pembentukan karakter, yaitu: pertama, anak mengerti baik dan buruk, mengerti
tindakan apa yang harus diambil, mampu memberikan prioritas hal-hal yang baik. Kedua,
mempunyai kecintaan terhadap kebajikan, dan membenci perbuatan yang buruk. Kecintaan
ini merupakan obor atau semangat untuk berbuat kebajikan. Misalnya, anak tak mau
berbohong “karena tahu berbohong itu buruk, ia tidak melakukannya karena karena mencintai
kebajikan”, kata Ratna, mencontohkan. Ketiga, anak mampu melakukan kebaikan, dan
terbiasa melakukannya.
Ada Sembilan pilar karakter penting ditanamkan pada anak menurut Ratna
Megawangi yang disebut karakter baik dan perlu dipelihara yakni:
1. Mulai dari cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya.
2. Tanggung jawab, kedisiplinan, dan kemandirian.
3. Kejujuran
4. Hormat dan santun
5. Kasih sayang, kepedulian, dan kerja sama
6. Percaya diri, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah
7. Keadilan dan kepemimpinan
8. Baik dan rendah hati
9. Toleransi, cinta damai, dan persatuan

Biografi Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien yang lahir di Lampadang pada tahun 1848, adalah seorang putri dari
Nanta Setia, seorang Ulubalang VI Mukim. Suami pertama Cut Nyak Dhien ialah Teuku
Ibrahim Lamnga, seorang pemimpin pejuang pahlawan Aceh yang diberi gelar Teuku Tsjeh,
yang artinya adalah pahlawan. Sewaktu wilayah VI Mukim diserang oleh Belanda, saat Cut
Nyak Dhien bersama para wanita dan ibu-ibu mengungsi kepedalaman, suaminya, Teuku
Ibrahim terus menerus melakukan perlawanan terhadap Belanda, dan pada satu penyerangan
tiba-tiba yang dilakukan oleh Belanda, Teuku Ibrahim tewas tertembak persis dikepala dalam
pertempurannya dengan Belanda di Gle Tarum, Kutaraja, pada tanggal 29 Juni 1878. Cut
Nyak Dhien sangat sedih dan marah, sambil memangku jasad suaminya yang Sahid, ia
bersumpah akan terus memerangi Belanda di Tanah Aceh.
Teuku Umar, salah seorang tokoh pejuang Aceh, masih ada hubungan saudara dengan
Cut Nyak Dhien, lalu melamar Cut Nyak Dhien. Cut Nyak Dhien menerima lamaran itu, dan
mereka menikah pada tahun 1880. Bersama mereka dengan gigih melawan Belanda. Cut
Nyak Dhien terus berjuang gerilya di pedalaman bersama sejumlah sisa pasukan Teuku
Umar, setelah Teuku Umar gugur, pada saat menyerang Muelaboh pada tanggal 11 Februari
1899.
Teuku Umar memang sudah gugur, tetapi jandanya yang bernama Cut Nyak Dhien,
telah mengambil alih estafet tongkat kepemimpinan dengan dibantu Pang Laot, seorang
kawan setia Teuku Umar. Bersama-sama dengan para pejuang patriot anak buah Teuku
Umar, ia dan Pang Laot melakukan perlawanan secara gerilya dengan semangat Sabilullah.
Cerita diatas hanya lah sepenggal dari perjalanan hidup Cut Nyak Dhien yang
berkobar-kobar untuk memerdekakan diri dari penjajahan Belanda. Banyak sekali karakter-
karakter yang dapat kita teladani dari seorang Cut Nyak Dhien seorang perempuan yang
gagah berani melawan Belanda di barisan terdepan. Terdapat cerita yang sangat panjang
dalam perjalanan hidupnya untuk mengusir “kaphe-kaphe” (kafir-kafir) Belanda.

Karakter Cut Nyak Dhien

Cut Nyak Dhien lahir dipemukiman mayoritas penduduknya beragama islam, saat
masih kecil orang tuanya selalu mengajarkan pendidikan agama kepada nya. Cut Nyak Dhien
memiliki karakter religius ( yaitu: nilai-nilai kerohanian yang tertinggi, sifatnya mutlak dan
abadi serta bersumber pada kepercayaan dan keyakinan manusia), dimana hal ini terbukti saat
ia telah menikah dengan Teuku Ibrahim, Cut Nyak Dhien bersama suaminya sering
menghabiskan waktu membaca Al-Qur’an bersama (Anita Retno, 2018: 33). Kemudian pada
saat ia akan diasingkan dalam perjalanannya, diatas tandu, yang Cut Nyak Dhien naiki untuk
pergi menuju Sumedang pada Tanggal 11 Desember 1906 (Anita Retno, 2018:143), ia tetap
membaca ayat-ayat Al-Qur’an secara tipis dan samar-samar yang didengar oleh Van Vuuren
dan Pang Laot (Adisurya Abdy, 2013: 273). Setelah tiba di Sumedang pada tahun 1906
bersama dua tawanan lain, Cut Nyak Dhien dalam kondisi lusuh dengan tangan tak lepas dari
tasbih (Anita Retno, 2018:143).
Berdasarkan fakta-fakta diatas dapat disimpulkan bahwa Cut Nyak Dhien adalah
seorang muslimin yang taat dan cinta kepada Tuhannya. Meskipun dalam keadaaran perang,
pengungsian dan pelarian saat melawan Belanda serta saat diasingkanpun, ia tidak pernah
meninggalkan ibadaahnya dan selalu berdoa kepada Tuhannya.
Cut Nyak Dhien adalah seorang perempuan yang memiliki karakter bertanggung
jawab. Hal ini dapat dibuktikan ketika Cut Nyak Dhien kembali ke Lampisang (kampung
halaman) Cut Nyak Dhien sangat bertanggung jawab terhadap keluarganya, ia mengurus
ayahnya yang sudah tua, bahkan ayahnya sudah tidak punya tenaga lagi serta matanya juga
sudah rabun dengan penuh kasih sayang (Muchtaruddin Ibrahim, 1996:45). Selain itu,
sebagai seorang isteri Cut Nyak Dhien sangat bertanggung jawab, Ia selalu mendampingi
suaminya berhadapan dengan “kaphe-kaphe” (kafir-kafir) Belanda (Anita Retno, 2018: 40).
Berdasarkan fakta-fakta diatas maka dapat disimpulkan bahwa Cut Nyak Dhien
adalah seorang perempuan yang sangat bertanggung jawab. Ia tidak pernah meningggalkan
tanggungjawabnya sebagai seorang anak dan istri.
Cut Nyak Dhien adalah seorang perempuan yang tangguh dan mandiri. Mandiri
adalah sikap yang tidak bergantung dengan orang lain. Hal tersebut terlihat pada saat
suaminya Teuku Ibrahim sering meninggalkan Cut Nyak Dhien untuk berperang selama 2.5
tahun melawan Belanda. Cut Nyak Dhien hidup mandiri tanpa suaminya ia mengurus orang
tua beserta anak yang masih disusuinya serta membesarkan sendiri anaknya ditengah-tengah
peperangan pada masa itu. Ia tetap menegarkan diri untuk tabah, meski harus membawa anak
kecil dalam peperangan, tapi kehormatan agama, bangsa, dan Negara harus dijaga (Anita
Retno, 2018: 40). Dengan bukti diatas maka dapat dikatakan bahwa Cut Nyak Dhien
memiliki karakter yang mandiri bahkan saat ditinggal suaminya berperang ia tetap berusaha
mendidik anaknya seorang diri.
Cut Nyak Dhien adalah seorang perempuan Aceh yang sangat menjunjung tinggi
toleransi. Toleransi adalah sikap saling menghormati dan menghargai antarkelompok atau
individu dalam masyarakat atau dalam lingkup lainnya. Sikap toleransi yang dimiliki Cut
Nyak Dhien ini dapat dibuktikan ketika Teuku Umar membawa kembali Cut Nyak Dhien ke
kampung halaman yaitu Lampisang (Adisurya Abdy, 2013: 176). Cut Nyak Dhien memiliki
perbedaan jalan pikiran dengan Teuku Umar. Ia tidak menyetujui jalan yang ditempuh Cut
Nyak Dhien bahwa melawan musuh satu-satunya jalan adalah berperang. Seperti prinsip para
ulama yaitu perang terus atau mati sahid. Teuku Umar berpandangan bahwa kaum ulama
tidak dapat bekerja sama dengan golongan bangsawan. Itulah sebabnya Teuku Umar
melarang Cut Nyak Dhien bergaul dengan kaum ulama. Ia menghendaki supaya Cut Nyak
Dhien lebih baik bergaul dengan golongan bangsawan yang sejajar tingkat kedudukannya.
Cut Nyak Dhien yang bijaksana dengan lemah lembut mencoba memberi penjelasan
kepada suaminya, bahwa perjuangan yang dihadapi sekarang ini, bukanlah tugas bangsawan
yang mempunyai kedudukan, tetapi tugas berat ini berada dalam pundak Aceh seluruhnya,
baik itu ulama, bangsawan maupun rakyat kecil sekalipun. Cut Nyak Dhien beranggapan
bahwa jika seluruh rakyat Aceh termasuk para ulama, bangsawan maupun rakyat kecil tidak
ikut memperjuangkan kebebasan Aceh maka tujuan yang akan dicapai tidak akan
membuahkan hasil dan hal tersebut merupakan suatu tindakan yang kurang bijaksana
(Muchtaruddin Ibrahim, 1996:47). Dengan adanya bukti diatas maka dapat disimpulkan
bahwa Cut Nyak Dhien memiliki karakter toleransi. Ia selalu menghargai setiap golongan
baik ulama, bangsawan, dan rakyat biasa.
Cut Nyak Dhien memiliki sikap kepedulian yang tinggi. Peduli adalah sikap
memperhatikan dan bertindak proaktif terhadap kondisi atau keadaan di sekitar kita.
Kepedulian Cut Nyak Dhien ini terbukti ketika berada dalam pengasingan tepatnya pada saat
ia tinggal di Sumedang tepatnya di rumah K.H Sanusi, Cut Nyak Dhien memberikan
pelajaran mengaji khususnya kepada ibu-ibu warga pribumi, umumnya warga Sumedang
meskipun matanya sudah rabun dan hampir tidak bisa melihat lagi, masyarakat menyebutnya
ibu suci, karena kefasihannya dalam melantunkan ayat suci Al-Qur’an (Anita Retno, 2018:
131-132). Hal tersebut membuktikan bahwa Cut Nyak Dhien adalah seseorang yang sangat
peduli dengan orang-orang disekitarnya.
Cut Nyak Dhien adalah seorang perempuan yang penuh dengan kasih sayang. Sikap
kasih sayang yang dimiliki Cut Nyak Dhien ini berdasarkan fakta yang diambil dari beberapa
sumber buku yaitu, ketika Teuku Ibrahim Lamnga sang suami tercinta meninggal dalam
peperangan melawan Belanda pada tanggal 29 Juni 1878 membuat duka yang sangat
mendalam dan kemarahan bagi Cut Nyak Dhien. Sehingga ia bersumpah dan berjanji pada
dirinya sendiri untuk tidak akan menikah lagi sebelum menumpas penjajah Belanda dan
membalas dendam kematian suaminya tersebut sebagai bukti rasa sayang dan cintanya
terhadap sang suami (Anita Retno, 2018: 65).
Selain itu pada tahun 1884 (Muchtaruddin Ibrahim, 1996:44) Teuku Umar membawa
kembali Cut Nyak Dhien ke kampung halamannya (tepatnya di Lampisang) dimana tempat
tersebut merupakan tempat ia tinggal bersama dengan Teuku Ibrahim suami tercintanya dulu.
Walaupun sudah 9 tahun berlalu ia tetap tidak pernah lupa kenangan-kenangannya bersama
Teuku Ibrahin. Disepanjang perjalanan air matanya menetes. Ia teringat akan Teuku Ibrahim
suami terkasih, saat menemani dan mengawalnya meninggalkan Lampadang untuk
mengungsi.
Berdasarkan fakta-fakta diatas maka dapat disimpulkan bahwa Cut Nyak Dhien
memiliki karakter kasih sayang dimana ia sangat menyayangi suaminya beserta anak dan
orang tuanya. Meskipun ia menikah dua kali akan tetapi Cut Nyak Dhien tetap menyayangi
kedua suaminya.
Cut Nyak Dhien adalah seorang perempuan yang dikenal karena memiliki sikap
pantang menyerah. Pantang menyerah adalah tidak mudah putus asa dalam melakukan
sesuatu, selalu bersikap optimis, mudah bangkit dari ketepurukan. Sikap pantang menyerah
Cut Nyak Dhien dapat dibuktikan ketika suami pertamanya, Ibrahim Lamnga tewas dalam
pertempuran melawan belanda pada 29 Juni 1878, Cut Nyak Dhien bersumpah bahwa suatu
saat dia akan meneruskan perjuangannya untuk menghancurkan dan mengusir belanda dari
tanah Aceh (Anita Retno, 2018: 65). Sumpah ini dia buktikan saat menerima lamaran Teuku
Umar pada tahun 1880. Cut Nyak Dhien saat ini berjanji akan menikahi laki-laki pertama
yang membantunya untuk menumpas pasukan belanda (Anita Retno, 2018: 70).
Pada tanggal 11 Februari 1899, Teuku Umar gugur (Muchtaruddin Ibrahim, 1996:
68). Katika anaknya Teuku Umar, Cut Gambang menangisi kepergian sang ayah, Cut Nyak
Dhien memeluknya dan berkata, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan
air mata pada orang yang sudah mati syaid!” (Anita Retno, 2018: 106). Saat suami
seperjuangnnya gugur Cut Nyak Dhien tidak pernah menyerah, ia kemudian bangkit
mengambil alih tongkat komando, memimpin garda paling depan perlawanan rakyat Aceh
meski kondisi kesehatan dan pasukannya sudah melemah (Muchtaruddin Ibrahim, 1996: 73).
Dari fakta-fakta diatas maka dapat disimpulkan bahwa Cut Nyak Dhen memiliki
karakter pantang menyerah meski ia jatuh bangun dalam memperjuangkan kemerdekaan
rakyat Aceh, ia tidak pernah menyerah dan selalu tetap optimis dalam berjuang. Ia juga selalu
menumbuhkan rasa semangat para pendukung-pendukungnya sehingga mereka juga tidak
menyerah dalam menghadapi Belanda.
Cut Nyak Dhien adalah anak dari Nanta Seutia yang merupakan pemimpin wilayah
VI Mukim sehingga sikap kepemimpinan Cut Nyak Dhien ini diturunkan dari ayahnya. Cut
Nyak Dhien menggantikan ayahnya sebagai uleebalang/pemimpin di VI Mukim untuk
menjalankan politik dalam perjuangan Aceh. Hal ini dilakukan dengan cara memalsukan
surat pengangkatan Cut Rayut (saudara laki-laki) agar tidak dicurigai oleh pihak Belanda.
Pengangkatan Cut Rayut ini hanya sebagai kamuflase saja, sedangkan yang memimpin
adalah Cut Nyak Dhien. Saat menjabat ia melarang kebijaksanaan yang dibuat Cut Amin
yang memaksa rakyat untuk memberikan bantuan kepada Cut Amin yang hanya dilakuan
untuk berfoya-foya (Muchtaruddin Ibrahim, 1996: 45).
Cut Nyak Dhien adalah seseorang yang sangat rendah hati. Meskipun Cut Nyak
Dhien memiliki darah bangsawan yang diturunkan oleh Uleebalang Nanta, akan tetapi hal
tersebut tidak membuat ia merasa lebih tinggi derajatnya dengan orang lain. Cut Nyak Dhien
memiliki pergaulan yang luas sehingga, ia mendekatkan diri dan bersahabat dengan semua
golongan baik rakyat, bangsawan yang terdiri dari uleebalang maupun golongan ulama. Ia
tidak memandang remeh semua kekuatan yang ada untuk menumpaskan kaphe-kaphe
belanda (Anita Retno, 2018: 42).
Pada tanggal 7 November 1905 ketika Cut Nyak Dhien berhasil ditangkap oleh
Belanda (Muchtaruddin Ibrahim, 1996: 80), yakni ditangkap oleh Van Vuuren. Letnan Van
Vuuren kagum melihat kesederhanaan hidup Cut Nyak Dhien (Muchtaruddin Ibrahim, 1996:
82). ia hanya menggunakan pakaian yang sama yang selalu dipakai saat kering maupun basah
melekat ditubuhnya ketika berada dihutan. Ia berpakaian lusuh dan seadanya (Anita Retno,
2018: 110).
Berdasarkan fakta-fakta diatas maka dapat disimpulkan bahwa meski Cut Nyak Dhien
adalah seorang keturunan bangsawan akan tetapi ia tidak pernah merasa lebih tinggi
derajadnya dengan rakyat lainnya. Ia berteman dengan semua golongan baik rakyat biasa,
ulama dan bangsawan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdy, Adisurya. 2013. Kisah Sabilullah dan Cut Nyak Dhien di Tanah Aceh. Jakarta: PT
Bima Sumber Daya Mipa Buku

Ibrahim, Muchtaruddin. 1996. Cut Nyak Dhien. Jakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Buku Cut Nyak Dhien Ibu Prabu dari Tanah Rencong karya Anita Retno
W.

Retno W. Anita. 2017. Cut Nyak Dhien Ibu Prabu dari Tanah Rencong. Yogyakarta:
Sociality

Anda mungkin juga menyukai