Anda di halaman 1dari 16

Sasakala ngaran pangalengan, di eta tempat baheula aya guha payumputan karaman

(rampog/begal). Rakyat sakabupaten bandung pohara tagiwurna eta karaman teh, sarta
pamaretah oge enggeur teter (eleh), kacaritakan aya anu wani Toh Pati, sanggup ngabasmi eta
karaman. Nyaeta camat majalaya estu nyalira pisan anjeuna lebet kana guhana karamah teh teu
nyandak bedog teu buntung-buntung acan. Sanggeus sawatara waktu kurumuy anjeuna kaluar
deui tina guha. Bari nyangkeh geugeudug karaman, pangganggona mani rawing tapak bedog
rejeung pedang. Tapi teu bared-bared acan salirana mah. Di luar geus ngumpul bupati jeung
geugeuden ti Bandung bawaning ku bingah, camat majalaya dikaleng ku bupati,dipisalin serta
dipaparin gelar Damang bari dilandi jenengannana Raden Raksa Nagara. Tah sakitu cenah
sasakala ngaran eta tempat teh. Nu matak di sebut pangalengan nyaeta tempat camat majalaya
dikaleng ku bupati bandung. Sumber tina: Kandaga 1957

Sekilas tentang Pangalengan


Oleh : Bunyanun Marsus
(bagi yang lengkap literasinya tolong di betulkan jika ada yang salah)
Entah tahun dan abad ke berapa tepatnya serta entah dari mana nama pangalengan asalnya
dan entah siapa yang memberi nama pangalengan yang sebenarnya, yang saya ketahui dari
beberapa literatur bahwa pangalengan merupakan salah satu daerah pegunungan yang di babat,
selanjutnya dibuat perkebunan teh dan kina oleh Hindia belanda yang kala itu menguasai
sebagian wilayah Nusantara. Peralihan kekuasaan di Nusantara dari kompeni ke Pemerintahan
Hindia belanda menambah panjangnya perjalanan sejarah Pangalengan didalam melaksanakan
fungsi kedaulatan kebudayaannya, pada tahun 1800-an daerah pangalengan oleh hindia belanda
yang bekerjasama dengan se-orang Bupati Bandung bernama Raden Aria Natanegara di jadikan
perkebunan teh dan kina.
selain teh dan kina Hindia belandapun mengembangkan usaha di bidang peternakan sapi perah.
Perusahaan tersebut adalah Friesche Terp, Almanak, Van Der Els, dan Bigman. Keempat
perusahaan tersebut melakukan pemasaran bersama melalui Bandungsche Melk Center
( BMC ). Pada masa itu, kehidupan sosial budaya masyarakat Pangalengan sangat berpegang
teguh pada budaya asli serta pendidikan religius, begitu pula dengan para pekerja di perkebunan
maupun lainnya, semua menggunakan pakaian adat padahal budaya luar yang dibawa oleh para
penguasa pada waktu itu sudah ada.
Pada masa Pangalengan tempo dulu, kehidupan sosial masyarakat sudah berada dalam tatanan
kehidupan sosial dan budaya yang cukup bagus seperti; bidang ekonomi pada waktu itu telah
terbentuk pasar desa sebagai salah satu kegiatan ekonomi sehingga transaksi jual beli
kebutuhan pokok masyarakat tersedia, bidang pendidikan umum maupun agama sudah
dilakukan serta kegiatan-kegiatan lainnya meskipun berada di tengah-tengah tekanan kekuasaan
Hindia belanda.
Sejalan dengan waktu memasuki abad dua puluh satu ini, kehidupan sosial dan budaya
masyarakat Pangalengan telah mengalami berbagai perubahan terutama pada bidang budaya
yang kian hari kian terkelupas oleh arus kehidupan modernisasi dan kehidupan global.

Percepatan arus global informasi menjadi penunjang utama didalam meluluh lantakkan
kehidupan sosial dan budaya sebagai kearifan lokal masyarakat Pangalengan.
Dalam kondisi sekarang ini masyarakat Kecamatan Pangalengan berada dalam posisi
masyarakat transisi (gaya hidup modern,sementara berpikir dan bertindak masih tradisional).
Arus global yang kian hari kian tidak bisa di bendung karena media informasi semakin mudah
didapat tanpa sekat lagi, guna menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan yang bebudi luhur
membutuhkan upaya-upaya dan metodelogi guna menggali kembali kearifan lokal masyarakat
Kecamatan Pangalengan yang sebentar lagi akan punah.
Kearifan lokal (local genius) bukanlah prilaku-prilaku tradisional, kearifan lokal dimaksud
merupakan suatu hasil cipta karsa dan karya sesuai dengan zamannya yang memberikan efek
positif bagi lingkungan setempat maupun lingkungan yang lebih besar. Dalam sejarah peradaban
manusia sudah banyak negara-negara yang hilang karena tidak mampu lagi menahan arus
perubahan yang lahir dari bangsanya sendiri tetapi roh kehidupan manusia akan terus ada
sebelum dunia ini benar-benar musnah.
Keberlanjutan roh kehidupan manusia inilah yang harus kita jemput agar tumbuhnya kebudayaan
baru yang tidak keluar dari tugas manusia sebagai kaki tangan tuhan untuk melaksanakan
hukum langit di muka bumi ini, kita bukan mau menunggu lahirnya generasi anak zaman yang
dibesarkan oleh karut marutnya kehidupan, tetapi kita akan menjemput mereka para calon
pemimpin yang akan menakhodai kapal-kapal kehidupan didalam menembus gelapnya malam
dan ganasnya badai laut masa mendatang, semoga dalam perjalanan waktu ke depan
Pangalengan masih ada.
Pada masa perang dunia ke dua 90 % dunia pada waktu itu menggunakan bubuk kina sebagai
obat malaria berasal dariPangalengan,selanjutnya dari hasil sumber daya
alam pangalengan telah mendorong seorang KAR Bosscha mendirikan pusat teropong bintang
di lembang yang kala itu termasuk teknologi yang rumit/canggih, pendirian sekolah yang sampai
hari ini masih ada di Malabar,rumah sakit pasir yunghun, rumah sakit hasan sadikin,hooger
school/ITB, bendungan cileunca, Radio Malabar dll, itulah bangunan-bangunan saksi sejarah
Pangalengan yang hingga hari ini bangunan-bangun tersebut masih berdiri (menjadi cagar
budaya karena telah berumur di atas 50 Tahun).
Jika melirik pada perkembangan yang ada, terutama setelah memasuki masa kemerdekaan
khusus bagi masyarakat yang ada diperkebunan hari-demi hari tidak pernah berubah, mereka
didudukkan sebagai budak-budak perkebunan dengan fasilitas yang apa adanya hal tersebut
bisa dilihat dari fasilitas rumah tinggal sejak masa belanda hingga hari ini tidak dilakukan
perbaikan agar menjadi rumah layak huni begitupun dengan fasilitas sosial lainnya. Jika
seandainya bosscha masih ada, tentu dia akan menertawakan para pengelola perkebunan hari
ini saya yakin bosscha bukan tidak bisa membuat mesin pemetik teh, tetapi bosscha berpikir
pemberdayaan masyarakat sekitar untuk dapat bekerja diperkebunannya, tetapi apa yang terjadi
hari ini dengan dalih yang sangat sederhana Efisiensi melahirkan degradasi para pemetik teh
semakin banyak mereka terusir dari tanah nenek moyangnya karena harus bersaing dengan

mesin yang menurut pengelola perusahaan perkebunan lebih efisien kerjanya dan murah
ongkosnya. Jika demikian muncul pertanyaan saya yang cukup radikal siapa sebenarnya yang
menjajah itu.Belanda kah? Indonesiakah?....
Para pengelola perkebunan sekarang selalu mengatakan bahwa perusahaan merugi, maka
pertanyaannya akan semakin dalammengapa harus dipertahankan jika hanya akan
menghambur-hamburkan uang Negara untuk menanggulangi kerugian perusahaan, apa
sebenarnya yang salah..manajemenkah..atau pengelolanya?..........bersambung.

"Buat Pangalengan yang sangat saya cintai"


Pada sekitar tahun 1800 sekelompok manusia yang berbahasa asing membabat hutan lebat
untuk dijadikan perkebunan teh dan kina, ekploitasi kawasan berubah menjadi akuisisi lahan
milik bangsa parahyangan/Pasundan suku sunda yang berada di Pangalengan.
Pada tahun 1929 kepala pengelola perkebunan teh dan kinaPangalengan yang bernama Karel
albert rudolf boscha meninggal dunia yang dikuburkan di daerah pintu gerbang menuju kampung
Malabarhingga hari ini kuburan tersebut masih dirawat karena menjadi situssejarah dan bagian
dari salah satu cagar budaya yang ada diPangalengan, KAR Boscha bukanlah manusia yang
serakah untuk mengeruk kekayaan Pangalengan dengan memiskinkan Pangalengantetapi
boscha telah menorehkan sejarah dalam pengelolaan sumberdaya alam Pangalengan dengan
mendirikan teknologi rumit pada waktu itu di Lembang berupa(Teropong Bintang) guna
meningkatnya ilmu pengetahuan tentang tata surya, jalan raya Pangalengan menuju lembang,
Rumah sakit lokal Pasir Yunghun,Sekolah rakyat di Malabar, rumah sakit besar di
bandung(sekarang Hasan Sadikin), hooger school(sekarang ITB), Gedung sate(sekarang jadi
gedung pemerintahan Jabar) dan tentunya karya-karya lain yg tidak tercatat.(bendungan Situ
Cileunca untuk 3 Pembangkit PLTA dan air minum di kota Bandung,radio malabar,dll)
Memasuki perang dunia kedua, sumber daya alam Pangalengan telah memberikan kontribusi
yang sangat besar kepada dunia karena 90 % dunia pada waktu itu menggunakan bubuk kina
dari Pangalengan, luar biasa Pangalengan memang luar biasa kekayaan alamnya.
Memasuki tahun 1995, sumberdaya alam Pangalengan kembali memberikan kontribusinya
dalam wujud energi listrik panas bumi yang sementara ini telah menghasilkan produksi listrik
sebesar 270 MW untuk disalurkan ke jawa Bali dan Madura itulah kekayaan alam Pangalengan,
tetapi sayang seribu kali sayang dibalik sumber kekayaan yang melimpah ruah
(Pertanian,Peternakan,perkebunan dan pengelolaan Sumber alam) dengan
nyata Pangalengan di abaikan terbukti di Pangalengan sampai dengan tulisan ini saya buat
terdapat 15,226 KK Miskin, 33,884 orang penganggur, 96,300 orang pendidikannya hanya
selesai tingkat dasar(SD), mohon maaf jika saya berpikiran bahwa; ada scenario besar untuk
melemahkan sumberdaya manusia di Kecamatan Pangalengan.
Melalui media ini saya memohon ma'af dan mengajak kepada seluruh elemen dan komponen
masyarakat yang ada di Pangalengan untuk berjuang menuntut hak warga
masyarakat Pangalengan sesuai dengan perundang-undangan yang ada. terima kasih ayo kita
perjuangkan bersama

seputar pangalengan :
Sejarah penguasaan tanah pertama kali di tanah parahiyangan pada tahun 1800-an dilakukan
oleh Raden Aria Natanegara adalah seorang Bupati Bandung bekerjasama dengan pemerintah
hindia belanda. Dengan kerjasama ini, pemerintah Hindia Belanda mulai membuka hutan untuk
dijadikan perkebunan kina dan perkebunan Teh. Perkebunan tersebut hingga saat ini masih tetap
berdiri. Terdapat enam perkebunan teh besar yang dikelola dan menjadi Perusahaan Daerah
Agrobisnis dan Pertambangan (PDAP) melalui PT Perkebunan Nusantara VIII. Keenam
perkebunan adalah Perkebunana Malabar, Perkebunan Kertamanah, Perkebunan Talun
Santosa, Perkebunan Purba Sari, Perkebunan Pasir Malang, Perkebunan Sedep dan
perkebunan Junghun. Sedangkan perkebunan dikuasi swasta yakni perkebunan Cukul dan
perkebunan Kertasari.
Perkebunan di Pangalengan pertama kali didirikan orang belanda bernama Rudolf Edward
Kerkhoven pada tahun 1890. Pembukaan perkebunan ini didasari oleh keberhasilan ayahnya
membuka perkebunan Teh dan Kina Arjasari di daerah Banjaran pada tahun 1869 dan
perkebunan Gembung di daerah Ciwidey pada tahun 1873. Pembukaan perkebunan ini
mendapat dukungan S.J.W Van Buuren dan bantuan dana firma John Peet & Co. Pada tahun
1896, Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha yang merupakan sepupu dari Rudolf Edwar Kerkhoven
datang ke wilayah Pangalengan dan meneruskan usaha sepupunya tersebut untuk
mengembangkan perkebunan teh yang diberinama perkebunan Malabar.
Perkebunan Teh Malabar sendiri didirikan oleh Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha pada bulan
Agustus 1896, setelah itu dirintis oleh sepupunya bernama RE Kerkhoven di
wilayah Pangalengan. Pendirian perkebunan ini tidak lepas dari dikeluarkan Undang-Undang
Agraria pada bulan April 1870. Undang-undang Agraria ini memberikan hak tanah kepada
pribumi dan juga hak sewa pada swasta. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengijinkan pihakpihak swasta untuk menyewa tanah maksimal 500 bau (1 bau = 7096,5 m) dengan jangka waktu
50-57 tahun. Ini semakin mempermudah jalanya penguasaan tanah oleh pengusaha swasta
yang dijadikan lahan perkebunan teh dan kina.
Perluasan perkebunan oleh Perusahaan Daerah Agrobisnis dan Pertambangan (PDAP) semakin
terjadi pada tahun 1901 sampai tahun 1918 melalui peraturan pemerintah yang memberi hak
setiap pengusaha memperluas perkebunannya. Akibatnya para pengusaha baik dari perusahaan
swasta maupun negara berlomba-lomba membeli tanah petani juga menyewa tanah persil di
Desa Pangalengan. Seperti Desa Pangharepan, Tandjong Pinang Z, N. W, IV, Malabar, Sindang
Sari, Sindang Sari 1, dan Tji Hoerang. Pada tahun 1925, melalui permohonan pemerintah, status
tanah perkebunan Teh Malabar meningkat dari hak sewa menjadi hak milik (eigendom). Pada
tahun 1970 Pemprov Jaba dengan segala kebijakanya menyewakan tanah seluas 134 hektar
kepada PD Kertasari Mamin-Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan

sepenggal sejarah : KPBS pangalengan


Peternakan sapi didirikan untuk kepentingan gizi orang-orang Belanda. Orang Belanda memang
suka minum susu. Saat itu peternakan sapi perah hanya dimiliki oleh orang Belanda. Para

pribumi hanyalah pekerja. Di Pangalengan terdapat beberapa perusahaan besar, seperti De


Friesche Terp (B. Vrijburg),Almanak, Van der Els, dan Big Man. Sedangkan di Lembang ada
Baroe Adjak
setelah Jepang masuk, perusahaan itu dengan sendirinya tidak beroperasi lagi. Sejumlah ternak
sapi kemudian dipelihara oleh warga. Sebagian perusahan peternakan itu di nasionalisasi oleh
Pemerintah Indonesia pada tahun 1959 dengan keluarnya PP 12/1959 tentang Penentuan
Perusahaan Peternakan Milik Belanda Yang Dikenal Dengan Nasionalisasi.
Koperasi susu di Pangalengan adalah yang tertua di Jawa Barat. Tahun 1949 para peternak
mendirikan koperasi bernama Gabungan Petani Peternak Sapi
Indonesia Pangalengan (Gappsip). Namun pada tahun 1961, Gappsip bubar karena tidak
mampu menghadapi labilnya perekonomian Indonesia. Pada tahun 1969, dengan inisiatif
pemerintah dan masyarakat, terbentuklah sebuah koperasi yang sekarang dikenal dengan nama
KPBS

Kina, Riwayatmu Dulu dan Kini


26 Oktober 2011 09:21:49 Dibaca : 3,079

Keberadaan pohon kina (sebagai obat malaria) di negeri ini memiliki riwayat yang cukup
panjang. Tanaman kina yang pertama kali di Pulau Jawa berasal dari kiriman kebun
percobaan di Leiden, Belanda. Pada tahun 1852, bibit pohon kina tersebut dibawa ke
Pulau Jawa. Namun karena lama di perjalanan, bibit tersebut tiba dalam keadaan sudah
layu. Seorang hortulanus (pengawas) Kebun Raya bernama Teysman berhasil
mengambil steknya dan akhirnya berhasil tumbuh. Pohon itu merupakan pohon kina
pertama yang tumbuh di luar Amerika Latin.(sebelumnya Inggris dan Perancis telah
mencoba di negeri jajahan Afrika, namun karena iklimnya tidak cocok, maka tak
sebatangpun bibit kina yang tumbuh). Konon, pohon kina berasal dari sebuah negara di
Amerika Latin bernama Peru. Alkisah, di suatu daerah, tinggallah seorang bangsawan
kaya dan terpandang yang memiliki seorang anak gadis nan cantik jelita. Gadis itu
bernama Comtessa Del Cinchon. Suatu waktu, tanpa diketahui apa penyebabnya gadis
berwajah cantik itu jatuh sakit, suhu badannya tinggi, namun ia menggigil kedinginan,
sesekali mengigau dan mengeluarkan kata-kata yang tak jelas (ngeromet). Tentu saja
orang tuanya bingung, lantas memutuskan memanggil dukun. Namun, dari beberapa
dukun yang dipanggil, menyatakan bahwa Cinchon mengalami gangguan roh jahat, dan
untuk mengusir roh tersebut diperlukan berbagai upaya melalui upacara ritual.Tapi
upaya tersebut tidak mendatangkan hasil, bahkan keadaan semakin parah, badannya

makin kurus, nafsu makan merosot, sehingga orang tuanya makin kuatir. Untunglah
dalam keadaan kritis itu, didatangkanlah seorang dukun dari suku Indian. Oleh dukun
tersebut dibacakan mantra-mantra dan diberi minuman yang terbuat dari kulit pohon
tertentu. Apa yang terjadi? Keadaan gadis Cinchon berangsur-angsur membaik, tapi
ternyata bukan karena mantra-mantra sang dukun penyebabnya, melainkan berkat kulit
pohon yang direbus menjadi minuman yang sangat pahit rasanya yang diminumkan ke
gadis tersebut sehingga sembuh. Oleh karena itu, pohon yang kulitnya digunakan untuk
mengobati demam tersebut kemudian dinamakanCinchona. Kina di Nusantara Sejarah
penanaman kina di Nusantara (Dataran Tinggi Bandung) tidak terlepas dari sejarah
kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara. Kina memiliki peran amat penting bagi
mereka yang bekerja di daerah baru beriklim tropis, dimana banyak di antara mereka
terserang penyakit malaria akibat hutan-hutan dibabat untuk dijadikan perkebunan,
sehingga nyamuk-nyamuk kehilangan habitatnya. Di Nusantara budi daya tanaman kina
dirintis oleh Frans Wilhem Junghuhn, seorang dokter dan peneliti berkebangsaan
Jerman yang bertugas di Hindia Belanda. Kulit kina yang dijadikan bahan baku obat
malaria, pertama kali didatangkan ke Eropa pada tahun 1632. Dalam kurun waktu
setengah abad kemudian, perannya sebagai obat menjadi sangat penting. Didorong
oleh keuntungan dan manfaat yang akan diperoleh, Belanda bernafsu untuk
membudidayakan tanaman tersebut di Nusantara, yang lantas menugaskan Justus Karl
Hasskarl, mantan Direktur Kebun Raya Bogor dan sekaligus teman dekat Junghuhn
untuk mendapatkannya. Hasskarl ditugaskan "mencuri" bibit tanaman tersebut dari
negeri asalnya, dan rupanya ia berhasil menjalankan tugas dengan baik. Bibit dan 121
peti berisi bibit pohon kina jenis Caliyasa berhasil diselundupkan di bawah kawalan
kapal perang Belanda. Karena waktu tempuh yang lama, tidak semua bibit berhasil
diselamatkan. Dari sebanyak 70 bibit yang masih hidup, kemudian ditanam di Cibodas,
Puncak (Jawa Barat). Tugas membudidayakan tanaman tersebut diserahkan kepada
Junghuhn pada tahun 1855. Tetapi, karena lokasinya kurang tepat, Junghuhn kemudian
memilih lereng-lereng barat Gunung Malabar di daerah Pangalengan, Bandung Selatan.
pilihan tersebut terbukti sangat tepat karena suhu dan curah hujan di saerah tersebut
sangat cocok untuk tanaman kina. Pada tahun 1865, setahun setelah Junghuhn
meninggal, budi daya tanaman kina berlangsung secara besar-besaran di daerah
Bandung Utara. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda mendatangkan sebanyak 500
gram benih kina dari jernis Ledgeriana yang diperoleh dari Bolivia. Satu gram berisi
2.800 biji.
*****

Budi daya tanama kina di Nusantara dengan berbagai tantangan, merupakan


pengalaman tersendiri. Sebagai tanaman bukan asli Nusantara, budi daya kina
membutuhkan perlakuan khusus, di samping iklim yang cocok dengan negeri asalnya.
Setelah dilakukan beberapa kali eksperimen, kina dapat tumbuh dengan baik di Dataran
Tinggi bandung, sehingga didirikanlah pabrik kina di kota Bandung, yang bernama "
Bandoengsche Kinine Fabriek N.V", dimana pabrik kina merupakan industri paling tua di
kota ini.
Pabrik kina tersebut yang kini menjadi PT (Pesero) Kimia Farma, didirikan tahun 1896,
merupakan tonggak sejarah Dataran Tinggi Bandung di dunia Internasional sebagai
pemasok kina paling besar di dunia. Pabrik hasil rancangan arsitek Gnelig Mijling A.W,
dengan gaya arsitektur art deco itu, bertugas mengolah kulit kina yang didatangkan dari
dareah pusat produksi di Pangalengan dan Lembang.
Bandoengsche Kimia Fabriek N.V., mencapai masa jayanya sampai menjelang Perang
Dunia Kedua. Saat itu, Belanda betul-betul menikmati keuntungan besar dari
perdagangan kina. Jika tahun 1875 produksi kina baru mencapai 22 ton, maka pada
tahun 1895 sudah meningkat menjadi 1.000 ton. Produksi kulit kina terus meningkat
sejalan dengan makin luasnya area perkebunan tersebut. Menjelang Perang Dunia
Kedua, di Indonesia tercatat tidak kurang dari 107 unit kebun kina dengan luas sekitar
18.000 hektar, dengan produksi sekitar 11.000-12.000 ton kulit kering. Namun dari
jumlah itu, yang diolah Bandoengsche Kinine Fabriek N.V. hanya sekitar 4.000 ton,
sisanya sebesar 7.000-8.000 ton dikirim ke luar negeri. Sehingga pada abad ke 20,
Pulau Jawa menjadi terkenal karena menghasilkan lebih dari 90 persen produksi kina
dunia.
Namun, seiring dengan pecahnya PD II, kondisi perkebunan kina tidak bisa
dipertahankan. Perang telah mengakibatkan kina Indonesia kehilangan pasar.
Akibatnya, perkebunan kina menjadi terlantar, bahkan banyak diantaranya yang diganti
dengan komoditi lain. Ketika pada tahun 1957-1958 terjadi pengambil-alihan
perkebunan Belanda, luas areal tanaman kina hanya sekitar 50% dengan produksi kulit
kina sekitar 36 % dibanding sebelum PD II.
Nasib perkebunan kina makin parah, ketika tahun 1965 terjadi penjarahan besarbesaran. Tanaman kina dibabat secara membabi buta, dikuliti lalu dijemur kemudian
hasilnya dijual kepada penadah yang siap menampung. Sampai tahun 2005, areal
perkebunan kina di Jawa barat tinggal 4.400 hektar, produksinya hanya sekitar 1.000

ton, jauh dibanding sebelum PD II yang mencapai 12.000 ton kulit kering. Sehingga
Indonesia yang semula dikenal sebagai pengekspor kina terbesar, kini harus mengimpor
kulit kina yang setiap tahunnya mencapai 3.000-3.500 ton.
Di Jawa barat, daerah perkebunan kina di Pangalengan terletak di Cikembang,
Purbasari, dan Malabar. Di daerah Ciwidey, terdapat di Rancabolang dan Rancabali.
Sebagian lagi terdapat di dareah Lembang dan Subang. Sebagian besar (90%),
tanaman kina milik perkebunan negara, sisanya dikelola oleh rakyat dan perkebunan
swasta.
Data terakhir (Dinas Perkebunan Jabar) menunjukkan bahwa produksi kina makin
menurun. Sejak tahun 2003-2005, produksi kina Jawa barat terus merosot rata-rata
13,8%/tahun. Tahun 2003, tercatat 1.116,60 ton, tahun 2004 sebesar 1.066,03 ton, dan
tahun 2005 hanya 819,67 ton.

Perkebunan Kina Tempo Doeloe Di


Bandung Selatan
Posted on 03/04/2012. Filed under: Sejarah, Tahukah Anda, Tokoh |

Perkebunan kina di Bandung Selatan Jawa Barat tahun 1954. Koleksi Tropenmuseum
Tempo doeloe dizaman kolonial Belanda perkebunan-perkebunan teh dan kina di
Bandung Selatan sangatlah terkenal.

Dan tentunya bukan hanya terkenal karena kawasan Bandung Selatan yang sejuk, tapi
karena dari hasil perkebunan kina dan teh mendatangkan kekayaan beribu bahkan
berjuta gulden bagi pemilik perkebunan tersebut.
Tuan-tuan Belanda pemilik perkebunan menjadi kaya raya, makanya mereka bisa
mencari hiburan dengan keluarga pergi ke Bandoeng menonton di Societeit Concordia,
atau shoping ke Braga weg, atau belanja di mall-nya Londo Toko De Vries yang terletak
di dekat Societeit Concordia atau bahkan pulang berlibur ke negeri leluhur Holland.
Bagaimana tidak akan begitu karena saat abad ke 19 sampai awal abad ke 20, misal
pada tahun 1939 Holland-Indische tercatat merupakan pemasok 90% kebutuhan kina
dunia, dimana jumlah produksinya sebanyak 11.000 ton kulit kina kering per tahun.

Pekerja perkebunan teh dan kina di Ramawatia Priangan 1900 . Koleksi Tropenmuseum
Di pegunungan wilayah Bandung Selatan diatas ketinggian 1000 dpl yang bersuhu udara
dingin, perkebunan kina dan teh didirikan.
Perpaduan antara udara sejuk dan kemolekan tanah Priangan telah melahirkan ide para
pembuat cerita tentang kisah cinta. Kisah-kisah romantis, terutama ditulis dalam bahasa
Sunda, menceritakan tentang kehidupan di kaki gunung Malabar dimana tuan-tuan
Belanda atau indo banyak yang kepincut anak gadis pemetik teh. Atau cerita tentang
mandor kebun yang memperebutkan mojang pekerja di Perkebunan kina.
Nama Kina konon diambil dari nama anak gadis di Amerika Latin bernama Comtessa Del
Cinchon yang menderita sakit demam akibat malaria. Dan secara tidak sengaja diobati
oleh seorang dukun Indian dengan cara meminumkan air dari kulit pohon tertentu
hingga sembuh. Maka kemudian pohon itu dinamakan chinchona atau kina.

Tuan Belanda dan anjingnya di perkebunan kina 1909. COLLECTIE TROPENMUSEUM


Berbicara tentang kulit kina, bahwa kulit tersebut dibutuhkan dunia karena berguna
untuk bahan obat terutama untuk penyakit malaria, penyakit jantung, depuratif,
influenza, disentri, diare, minuman tonik, bahan baku kosmetika, dan industry
penyamakan.
Perkebunan Kina
Di Indonesia lokasi penanaman adalah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan
Sumatra Barat. Pohon kina tumbuh di daerah lembab dan relatif dingin. Tumbuh
optimum di ketinggian 1400 1700 dpl
Jika Anda ingin mengetahui adak detil dalam hal penanaman pohon kina, bahwa
pembibitannya itu dengan cara stek sambung.
Pemeliharaan tanaman dengan penyulaman, penyiangan, pembubunan, dan pemupukan.
Jangan lupa disetiap usaha pertanian selalu ada hama untuk kina adalah ulat dan
penggerek, tentu ada cara pembasmiannya.
Tentang cara pemanenan, bagian yang dipanen adalah kulit batang, dahan, cabang dan
ranting. Bahwa panen dengan cara tebang ketika pohon kina sudah berumur 9 11
tahun. yaitu caranya secara berurutan mulai penebangan, terus diambil kulitnya yaitu
dengan cara kulit dilepas dari batang dengan cara dipukul-pukul.
Kemudian dilakukan pencucian kulit kina, lalu dijemur dibawah terik matahari, atau
memakai pemanasan dengan oven. Kemudian dilakukan penyortiran dari kotorankotoran yang menempel.

Lanjutnya, kulit kering dikemas dalam karung atau wadah lain, tulis identitas di bagian
luar wadah mengenai nama bahan, kulit bagian mana, nama dan lokasi, kemudian juga
jumlah beratnya.

Tuan Belanda diatas punggung kuda di Perkebunan 1860 1900, COLLECTION


TROPENMUSEUM
Kinine Fabriek
Pabrik Kina terlahir dengan nama Bandoengsche Kinine Fabriek, pada zaman
pendudukan Jepang namanya berubah menjadi Rikugun Kinine Seisohjo, setelah
merdeka perusahaan ini tahun 1958 dinasionalisasi, di bawah nama PN. Farmasi dan
Alat Kesehatan.
Tahun 1971 namanya diganti menjadi PT (Persero) Kimia Farma, dimana Pabrik Kina
Bandung menjadi unit Produksi Bandung.
Pembangunan pabrik ini tidak terlepas dari berkembangnya perkebunan kina di wilayah
Jawa Barat pada akhir 1800-an. Adalah Franz Wilhelm Junghuhn, seorang dokter ahli
botani, yang pertama kali mengembangkan bibit tanaman kina di Priangan.

Pekerja perkebunan kina dan teh di Sedep Priangan siap untuk memuat potongan kayu
kina 1920 1940 COLLECTIE TROPENMUSEUM

Seorang pegawai sedang membuka kulit pohon kina dengan memakai bendo, riangan,
1945 1950. COLLECTIE TROPENMUSEUM

Drying shed and packing house on a chinchona plantation, before 1930. COLECTIE
TROPENMUSEUM

Labourers packing chinchona bark for the medical industry 1940. COLLECTIE
TROPENMUSEUM

The quinine factory in Bandung, West-Java, 1900 1910. COLLECTIE TROPENMUSEUM


Saat ini, tanaman kina yang dikelola PTPN VIII seluas 3.004,29 Ha yang tersebar di 13
perkebunan. Kulit kina kering ini diproses menjadi SQ-7 yaitu garam kina yang
mengandung quinine sulphate, quinine bisulphate, dan kandungan lain. Kini produksinya
dilakukan oleh PT. Sinkona Indonesia Lestari (PT.SIL) sebagai anak perusahaan PTPN
VIII. Produk perusahaan ini diekspor ke benua Eropa, Kanada dan Amerika.

Anda mungkin juga menyukai