(rampog/begal). Rakyat sakabupaten bandung pohara tagiwurna eta karaman teh, sarta
pamaretah oge enggeur teter (eleh), kacaritakan aya anu wani Toh Pati, sanggup ngabasmi eta
karaman. Nyaeta camat majalaya estu nyalira pisan anjeuna lebet kana guhana karamah teh teu
nyandak bedog teu buntung-buntung acan. Sanggeus sawatara waktu kurumuy anjeuna kaluar
deui tina guha. Bari nyangkeh geugeudug karaman, pangganggona mani rawing tapak bedog
rejeung pedang. Tapi teu bared-bared acan salirana mah. Di luar geus ngumpul bupati jeung
geugeuden ti Bandung bawaning ku bingah, camat majalaya dikaleng ku bupati,dipisalin serta
dipaparin gelar Damang bari dilandi jenengannana Raden Raksa Nagara. Tah sakitu cenah
sasakala ngaran eta tempat teh. Nu matak di sebut pangalengan nyaeta tempat camat majalaya
dikaleng ku bupati bandung. Sumber tina: Kandaga 1957
Percepatan arus global informasi menjadi penunjang utama didalam meluluh lantakkan
kehidupan sosial dan budaya sebagai kearifan lokal masyarakat Pangalengan.
Dalam kondisi sekarang ini masyarakat Kecamatan Pangalengan berada dalam posisi
masyarakat transisi (gaya hidup modern,sementara berpikir dan bertindak masih tradisional).
Arus global yang kian hari kian tidak bisa di bendung karena media informasi semakin mudah
didapat tanpa sekat lagi, guna menjaga nilai-nilai dasar kemanusiaan yang bebudi luhur
membutuhkan upaya-upaya dan metodelogi guna menggali kembali kearifan lokal masyarakat
Kecamatan Pangalengan yang sebentar lagi akan punah.
Kearifan lokal (local genius) bukanlah prilaku-prilaku tradisional, kearifan lokal dimaksud
merupakan suatu hasil cipta karsa dan karya sesuai dengan zamannya yang memberikan efek
positif bagi lingkungan setempat maupun lingkungan yang lebih besar. Dalam sejarah peradaban
manusia sudah banyak negara-negara yang hilang karena tidak mampu lagi menahan arus
perubahan yang lahir dari bangsanya sendiri tetapi roh kehidupan manusia akan terus ada
sebelum dunia ini benar-benar musnah.
Keberlanjutan roh kehidupan manusia inilah yang harus kita jemput agar tumbuhnya kebudayaan
baru yang tidak keluar dari tugas manusia sebagai kaki tangan tuhan untuk melaksanakan
hukum langit di muka bumi ini, kita bukan mau menunggu lahirnya generasi anak zaman yang
dibesarkan oleh karut marutnya kehidupan, tetapi kita akan menjemput mereka para calon
pemimpin yang akan menakhodai kapal-kapal kehidupan didalam menembus gelapnya malam
dan ganasnya badai laut masa mendatang, semoga dalam perjalanan waktu ke depan
Pangalengan masih ada.
Pada masa perang dunia ke dua 90 % dunia pada waktu itu menggunakan bubuk kina sebagai
obat malaria berasal dariPangalengan,selanjutnya dari hasil sumber daya
alam pangalengan telah mendorong seorang KAR Bosscha mendirikan pusat teropong bintang
di lembang yang kala itu termasuk teknologi yang rumit/canggih, pendirian sekolah yang sampai
hari ini masih ada di Malabar,rumah sakit pasir yunghun, rumah sakit hasan sadikin,hooger
school/ITB, bendungan cileunca, Radio Malabar dll, itulah bangunan-bangunan saksi sejarah
Pangalengan yang hingga hari ini bangunan-bangun tersebut masih berdiri (menjadi cagar
budaya karena telah berumur di atas 50 Tahun).
Jika melirik pada perkembangan yang ada, terutama setelah memasuki masa kemerdekaan
khusus bagi masyarakat yang ada diperkebunan hari-demi hari tidak pernah berubah, mereka
didudukkan sebagai budak-budak perkebunan dengan fasilitas yang apa adanya hal tersebut
bisa dilihat dari fasilitas rumah tinggal sejak masa belanda hingga hari ini tidak dilakukan
perbaikan agar menjadi rumah layak huni begitupun dengan fasilitas sosial lainnya. Jika
seandainya bosscha masih ada, tentu dia akan menertawakan para pengelola perkebunan hari
ini saya yakin bosscha bukan tidak bisa membuat mesin pemetik teh, tetapi bosscha berpikir
pemberdayaan masyarakat sekitar untuk dapat bekerja diperkebunannya, tetapi apa yang terjadi
hari ini dengan dalih yang sangat sederhana Efisiensi melahirkan degradasi para pemetik teh
semakin banyak mereka terusir dari tanah nenek moyangnya karena harus bersaing dengan
mesin yang menurut pengelola perusahaan perkebunan lebih efisien kerjanya dan murah
ongkosnya. Jika demikian muncul pertanyaan saya yang cukup radikal siapa sebenarnya yang
menjajah itu.Belanda kah? Indonesiakah?....
Para pengelola perkebunan sekarang selalu mengatakan bahwa perusahaan merugi, maka
pertanyaannya akan semakin dalammengapa harus dipertahankan jika hanya akan
menghambur-hamburkan uang Negara untuk menanggulangi kerugian perusahaan, apa
sebenarnya yang salah..manajemenkah..atau pengelolanya?..........bersambung.
seputar pangalengan :
Sejarah penguasaan tanah pertama kali di tanah parahiyangan pada tahun 1800-an dilakukan
oleh Raden Aria Natanegara adalah seorang Bupati Bandung bekerjasama dengan pemerintah
hindia belanda. Dengan kerjasama ini, pemerintah Hindia Belanda mulai membuka hutan untuk
dijadikan perkebunan kina dan perkebunan Teh. Perkebunan tersebut hingga saat ini masih tetap
berdiri. Terdapat enam perkebunan teh besar yang dikelola dan menjadi Perusahaan Daerah
Agrobisnis dan Pertambangan (PDAP) melalui PT Perkebunan Nusantara VIII. Keenam
perkebunan adalah Perkebunana Malabar, Perkebunan Kertamanah, Perkebunan Talun
Santosa, Perkebunan Purba Sari, Perkebunan Pasir Malang, Perkebunan Sedep dan
perkebunan Junghun. Sedangkan perkebunan dikuasi swasta yakni perkebunan Cukul dan
perkebunan Kertasari.
Perkebunan di Pangalengan pertama kali didirikan orang belanda bernama Rudolf Edward
Kerkhoven pada tahun 1890. Pembukaan perkebunan ini didasari oleh keberhasilan ayahnya
membuka perkebunan Teh dan Kina Arjasari di daerah Banjaran pada tahun 1869 dan
perkebunan Gembung di daerah Ciwidey pada tahun 1873. Pembukaan perkebunan ini
mendapat dukungan S.J.W Van Buuren dan bantuan dana firma John Peet & Co. Pada tahun
1896, Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha yang merupakan sepupu dari Rudolf Edwar Kerkhoven
datang ke wilayah Pangalengan dan meneruskan usaha sepupunya tersebut untuk
mengembangkan perkebunan teh yang diberinama perkebunan Malabar.
Perkebunan Teh Malabar sendiri didirikan oleh Karel Albert Rudolf (KAR) Bosscha pada bulan
Agustus 1896, setelah itu dirintis oleh sepupunya bernama RE Kerkhoven di
wilayah Pangalengan. Pendirian perkebunan ini tidak lepas dari dikeluarkan Undang-Undang
Agraria pada bulan April 1870. Undang-undang Agraria ini memberikan hak tanah kepada
pribumi dan juga hak sewa pada swasta. Pemerintah kolonial Hindia-Belanda mengijinkan pihakpihak swasta untuk menyewa tanah maksimal 500 bau (1 bau = 7096,5 m) dengan jangka waktu
50-57 tahun. Ini semakin mempermudah jalanya penguasaan tanah oleh pengusaha swasta
yang dijadikan lahan perkebunan teh dan kina.
Perluasan perkebunan oleh Perusahaan Daerah Agrobisnis dan Pertambangan (PDAP) semakin
terjadi pada tahun 1901 sampai tahun 1918 melalui peraturan pemerintah yang memberi hak
setiap pengusaha memperluas perkebunannya. Akibatnya para pengusaha baik dari perusahaan
swasta maupun negara berlomba-lomba membeli tanah petani juga menyewa tanah persil di
Desa Pangalengan. Seperti Desa Pangharepan, Tandjong Pinang Z, N. W, IV, Malabar, Sindang
Sari, Sindang Sari 1, dan Tji Hoerang. Pada tahun 1925, melalui permohonan pemerintah, status
tanah perkebunan Teh Malabar meningkat dari hak sewa menjadi hak milik (eigendom). Pada
tahun 1970 Pemprov Jaba dengan segala kebijakanya menyewakan tanah seluas 134 hektar
kepada PD Kertasari Mamin-Perusahaan Daerah Agribisnis dan Pertambangan
Keberadaan pohon kina (sebagai obat malaria) di negeri ini memiliki riwayat yang cukup
panjang. Tanaman kina yang pertama kali di Pulau Jawa berasal dari kiriman kebun
percobaan di Leiden, Belanda. Pada tahun 1852, bibit pohon kina tersebut dibawa ke
Pulau Jawa. Namun karena lama di perjalanan, bibit tersebut tiba dalam keadaan sudah
layu. Seorang hortulanus (pengawas) Kebun Raya bernama Teysman berhasil
mengambil steknya dan akhirnya berhasil tumbuh. Pohon itu merupakan pohon kina
pertama yang tumbuh di luar Amerika Latin.(sebelumnya Inggris dan Perancis telah
mencoba di negeri jajahan Afrika, namun karena iklimnya tidak cocok, maka tak
sebatangpun bibit kina yang tumbuh). Konon, pohon kina berasal dari sebuah negara di
Amerika Latin bernama Peru. Alkisah, di suatu daerah, tinggallah seorang bangsawan
kaya dan terpandang yang memiliki seorang anak gadis nan cantik jelita. Gadis itu
bernama Comtessa Del Cinchon. Suatu waktu, tanpa diketahui apa penyebabnya gadis
berwajah cantik itu jatuh sakit, suhu badannya tinggi, namun ia menggigil kedinginan,
sesekali mengigau dan mengeluarkan kata-kata yang tak jelas (ngeromet). Tentu saja
orang tuanya bingung, lantas memutuskan memanggil dukun. Namun, dari beberapa
dukun yang dipanggil, menyatakan bahwa Cinchon mengalami gangguan roh jahat, dan
untuk mengusir roh tersebut diperlukan berbagai upaya melalui upacara ritual.Tapi
upaya tersebut tidak mendatangkan hasil, bahkan keadaan semakin parah, badannya
makin kurus, nafsu makan merosot, sehingga orang tuanya makin kuatir. Untunglah
dalam keadaan kritis itu, didatangkanlah seorang dukun dari suku Indian. Oleh dukun
tersebut dibacakan mantra-mantra dan diberi minuman yang terbuat dari kulit pohon
tertentu. Apa yang terjadi? Keadaan gadis Cinchon berangsur-angsur membaik, tapi
ternyata bukan karena mantra-mantra sang dukun penyebabnya, melainkan berkat kulit
pohon yang direbus menjadi minuman yang sangat pahit rasanya yang diminumkan ke
gadis tersebut sehingga sembuh. Oleh karena itu, pohon yang kulitnya digunakan untuk
mengobati demam tersebut kemudian dinamakanCinchona. Kina di Nusantara Sejarah
penanaman kina di Nusantara (Dataran Tinggi Bandung) tidak terlepas dari sejarah
kedatangan orang-orang Eropa ke Nusantara. Kina memiliki peran amat penting bagi
mereka yang bekerja di daerah baru beriklim tropis, dimana banyak di antara mereka
terserang penyakit malaria akibat hutan-hutan dibabat untuk dijadikan perkebunan,
sehingga nyamuk-nyamuk kehilangan habitatnya. Di Nusantara budi daya tanaman kina
dirintis oleh Frans Wilhem Junghuhn, seorang dokter dan peneliti berkebangsaan
Jerman yang bertugas di Hindia Belanda. Kulit kina yang dijadikan bahan baku obat
malaria, pertama kali didatangkan ke Eropa pada tahun 1632. Dalam kurun waktu
setengah abad kemudian, perannya sebagai obat menjadi sangat penting. Didorong
oleh keuntungan dan manfaat yang akan diperoleh, Belanda bernafsu untuk
membudidayakan tanaman tersebut di Nusantara, yang lantas menugaskan Justus Karl
Hasskarl, mantan Direktur Kebun Raya Bogor dan sekaligus teman dekat Junghuhn
untuk mendapatkannya. Hasskarl ditugaskan "mencuri" bibit tanaman tersebut dari
negeri asalnya, dan rupanya ia berhasil menjalankan tugas dengan baik. Bibit dan 121
peti berisi bibit pohon kina jenis Caliyasa berhasil diselundupkan di bawah kawalan
kapal perang Belanda. Karena waktu tempuh yang lama, tidak semua bibit berhasil
diselamatkan. Dari sebanyak 70 bibit yang masih hidup, kemudian ditanam di Cibodas,
Puncak (Jawa Barat). Tugas membudidayakan tanaman tersebut diserahkan kepada
Junghuhn pada tahun 1855. Tetapi, karena lokasinya kurang tepat, Junghuhn kemudian
memilih lereng-lereng barat Gunung Malabar di daerah Pangalengan, Bandung Selatan.
pilihan tersebut terbukti sangat tepat karena suhu dan curah hujan di saerah tersebut
sangat cocok untuk tanaman kina. Pada tahun 1865, setahun setelah Junghuhn
meninggal, budi daya tanaman kina berlangsung secara besar-besaran di daerah
Bandung Utara. Ketika itu pemerintah Hindia Belanda mendatangkan sebanyak 500
gram benih kina dari jernis Ledgeriana yang diperoleh dari Bolivia. Satu gram berisi
2.800 biji.
*****
ton, jauh dibanding sebelum PD II yang mencapai 12.000 ton kulit kering. Sehingga
Indonesia yang semula dikenal sebagai pengekspor kina terbesar, kini harus mengimpor
kulit kina yang setiap tahunnya mencapai 3.000-3.500 ton.
Di Jawa barat, daerah perkebunan kina di Pangalengan terletak di Cikembang,
Purbasari, dan Malabar. Di daerah Ciwidey, terdapat di Rancabolang dan Rancabali.
Sebagian lagi terdapat di dareah Lembang dan Subang. Sebagian besar (90%),
tanaman kina milik perkebunan negara, sisanya dikelola oleh rakyat dan perkebunan
swasta.
Data terakhir (Dinas Perkebunan Jabar) menunjukkan bahwa produksi kina makin
menurun. Sejak tahun 2003-2005, produksi kina Jawa barat terus merosot rata-rata
13,8%/tahun. Tahun 2003, tercatat 1.116,60 ton, tahun 2004 sebesar 1.066,03 ton, dan
tahun 2005 hanya 819,67 ton.
Perkebunan kina di Bandung Selatan Jawa Barat tahun 1954. Koleksi Tropenmuseum
Tempo doeloe dizaman kolonial Belanda perkebunan-perkebunan teh dan kina di
Bandung Selatan sangatlah terkenal.
Dan tentunya bukan hanya terkenal karena kawasan Bandung Selatan yang sejuk, tapi
karena dari hasil perkebunan kina dan teh mendatangkan kekayaan beribu bahkan
berjuta gulden bagi pemilik perkebunan tersebut.
Tuan-tuan Belanda pemilik perkebunan menjadi kaya raya, makanya mereka bisa
mencari hiburan dengan keluarga pergi ke Bandoeng menonton di Societeit Concordia,
atau shoping ke Braga weg, atau belanja di mall-nya Londo Toko De Vries yang terletak
di dekat Societeit Concordia atau bahkan pulang berlibur ke negeri leluhur Holland.
Bagaimana tidak akan begitu karena saat abad ke 19 sampai awal abad ke 20, misal
pada tahun 1939 Holland-Indische tercatat merupakan pemasok 90% kebutuhan kina
dunia, dimana jumlah produksinya sebanyak 11.000 ton kulit kina kering per tahun.
Pekerja perkebunan teh dan kina di Ramawatia Priangan 1900 . Koleksi Tropenmuseum
Di pegunungan wilayah Bandung Selatan diatas ketinggian 1000 dpl yang bersuhu udara
dingin, perkebunan kina dan teh didirikan.
Perpaduan antara udara sejuk dan kemolekan tanah Priangan telah melahirkan ide para
pembuat cerita tentang kisah cinta. Kisah-kisah romantis, terutama ditulis dalam bahasa
Sunda, menceritakan tentang kehidupan di kaki gunung Malabar dimana tuan-tuan
Belanda atau indo banyak yang kepincut anak gadis pemetik teh. Atau cerita tentang
mandor kebun yang memperebutkan mojang pekerja di Perkebunan kina.
Nama Kina konon diambil dari nama anak gadis di Amerika Latin bernama Comtessa Del
Cinchon yang menderita sakit demam akibat malaria. Dan secara tidak sengaja diobati
oleh seorang dukun Indian dengan cara meminumkan air dari kulit pohon tertentu
hingga sembuh. Maka kemudian pohon itu dinamakan chinchona atau kina.
Lanjutnya, kulit kering dikemas dalam karung atau wadah lain, tulis identitas di bagian
luar wadah mengenai nama bahan, kulit bagian mana, nama dan lokasi, kemudian juga
jumlah beratnya.
Pekerja perkebunan kina dan teh di Sedep Priangan siap untuk memuat potongan kayu
kina 1920 1940 COLLECTIE TROPENMUSEUM
Seorang pegawai sedang membuka kulit pohon kina dengan memakai bendo, riangan,
1945 1950. COLLECTIE TROPENMUSEUM
Drying shed and packing house on a chinchona plantation, before 1930. COLECTIE
TROPENMUSEUM
Labourers packing chinchona bark for the medical industry 1940. COLLECTIE
TROPENMUSEUM