Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEBUDAYAAN DI TULUNGAGUNG
MANTEN KUCING

Oleh :
Ricky Prabowo

0315030041

Arafat Juan P

0315030063

Jadug Priambodo

0315030064

PROGRAM STUDI D3 TEKNIK PERMESINAN KAPAL


JURUSAN TEKNIK PERMESINAN KAPAL
POLITEKNIK PERKAPALAN NEGERI SURABAYA
2015

KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT karena berkat rahmatnya
Penulis yang telah bisa menyelesaikan makalah yang berjudul KEBUDAYAAN DI
TULUNGAGUNG MANTEN KUCING yang merupakan tugas Bahasa Indonesia
semester 1.
Dalam makalah ini penulis memaparkan tentang tradisi Manten Kucing asli dari
kabupaten Tulungagung yang di sakralkan oleh masyarakat sekitar.
Dalam menyelesaikan makalah ini, Penulis telah dapat bantuan dan masukkan dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih
kepada :
1.

Bapak Nyoman Suwarta, SS. MS. selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia yang telah
memberikan tugas tentang makalah kebudayaan yang berada di Indonesia sehingga
menambah pengetahuan penulis tentang kebudayaan di Indonesia khususnya kebudayaan
Manten Kucing.

2.

Pihak-pihak yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu yang telah turut membantu
sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan dalam waktu yang tepat.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, namun
demikian telah memberikan manfaat bagi penulis. Akhir kata penulis berharap makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua. Kritik dan saran yang bersifat membangun akan Penulis
terima dengan senang hati.
Surabaya,

Oktober 2015
Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Khasanah budaya daerah merupakan cerminan bagi kebudayaan Nasional. Hal itu
merupakan landasan utama untuk menunjukan jati diri Bangsa Indonesia. Berbagai macam
tradisi budaya yang dimiliki Nusantara ini sangat beragam bentuknya, mulai dari budaya
tradisi Ngaben di Bali, Sekaten di Yogyakarta, upacara Kasada di Bromo, dan budaya
Manten Kucing di Tulungagung.
Prof. S. Budhisantoso mengungkapkan, bahwasanya setiap kali orang dapat berkata
dengan bangganya, bahwa masyarakat Bangsa Indonesia yang majemuk ini sangat kaya
dengan kebudayaan. Bahkan kebudayaan yang beraneka ragam itu dianggap sebagai modal
utama yang dapat dipasarkan lewat pariwisata untuk meningkatkan penghasilan devisa.
Namun demikian tidaklah banyak orang yang mampu menjelaskan dengan baik di mana
ke-bhineka-an (keragaman) serta ke-unggul-an masyarakat dan kebudayaan di Indonesia
yang tersebar di Nusantara, dari Sabang sampai Merauke (Zulyani Hidayah, 1999:ix).
Tradisi budaya lokal, potensinya sangat bagus apabila dikembangkan dengan
serius. Sehingga dengan budaya lokal-lah kita mampu mewujudkan budaya tingkat
Nasional. Realitanya, banyak generasi muda di daerah tidak memperdulikan bahkan
mereka tidak mengetahui tradisi budaya yang ada didaerahnya. Hal itu membuat
keprihatinan tersendiri, sebab trend mode globalisasi lambat laun memusnahkan pola pikir
anak terhadap tradisi budaya yang ada. Generasi muda lebih suka play station, game online
dari pada melihat festival manten kucing.
Masyarakat yang dibantu oleh pemerintah, harus mampu menggali (Ndudhuk)
potensi asset budaya daerah. Selain sebagai pendapatan daerah, tentunya budaya daerah
tersebut dapat dijadikan sebagai simbol kedaerahan, atau ciri khas daerah. Ketika sudah
menemukan (Ndudhah) tradisi yang ada maka untuk disegerakan pengembangan dan
memberdayakannya (Nggugah).
Kita tidak harus mengadili yang namanya trend globalisasi, sebab kalau kita
berpikir secara aktif, dengan adanya perkembangan zaman tersebut kita mampu
memanfaatkannya untuk mengembangkan budaya tradisi (Nggugah). Seperti halnya
mempublikasikan melalui internet, media elektronik, dan facebook. Sehingga belum tentu

perkembangan zaman ini akan memusnahkan keberadaan budaya tradisi daerah, melainkan
kita harus mampu memanfaatkan perkembangan zaman ini untuk menumbuhkembangkan
budaya tradisi kedaerahan.
Demikian pula seperti membangkitkan gairah pengembangan dan pemberdayaan
tradisi lokal yang identik sebagai simbolisasi dalam memperkuat budaya Nasional. Manten
Kucing, adalah tradisi budaya yang berada di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat,
Kabupaten Tulungagung. Tradisi budaya Manten Kucing ini merupakan tradisi masyarakat
untuk meminta diturunkannya hujan, ketika musim kemarau panjang. Sehingga simbolisasi
Manten Kucing ini ialah ritual untuk meminta hujan.
Tradisi yang terkemas dalam wujud budaya, tentunya bisa dijadikan sebagai media
pembelajaran. Orang Jawa, dalam tradisi budayanya memiliki unsur nilai-nilai tinggi, dan
juga penyampaian pesan moral yang biasanya terwujud dalam bentuk upacara tradisi,
seperti halnya; Manten Kucing, tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem, Kecamatan
Campurdarat, Kabupaten Tulungagung ini dilaksanakan upacaranya setiap tahun oleh
masyarakat sekitar, dan juga pemerintah peran serta didalam pelaksanaannya.
Selain dijadikan media pembelajaran, tentunya upacara tradisi budaya yang ada di
daerah-daerah dapat dijadikan sebagai fokus objek wisata lokal. Menggali (Ndudhuk)
potensi upacara tradisi tersebut sangatlah diperlukan, kalau perlu kita mempelajari nilainilai yang terkandung didalamnya. Seperti apa yang diungkapkan oleh Prof. Ayu Sutarta
(2004:176), untuk membangun ketahanan budaya, kita harus menggali dan kemudian
memilah-milah produk-produk budaya yang kita warisi dari para leluhur kita. Tidak semua
produk budaya yang kita miliki konstruktif dan produktif. Ada beberapa produk budaya
yang harus kita tinggalkan, karena tidak lagi sesuai dengan kebutuhan zaman dan tidak lagi
mampu menjawab kebutuhan zaman.
Semakin majunya teknologi komunikasi di zaman sekarang, penulis merasa takut
apabila warisan budaya tradisi leluhur hanya tersimpan dalam bentuk audio-vidio.
Sedangkan wujud budaya aslinya sudah musnah ditelan perkembangan zaman. Sehingga
melihat kondisi semacam itu, generasi muda juga harus menjadi objek didalam
pembelajaran tradisi budaya. Pengembangan dan pemberdayaan tradisi budaya yang ada di
daerah selayaknya mulai dini dikenalkan kepada generasi muda (pelajar), salah satunya
dengan memuat kurikulum muatan lokal, sanggar budaya, caf budaya dan festival budaya.

1.2 Rumusan Masalah


1.

Awal terjadinya tradisi Manten Kucing?

2.

Untuk apa tradisi Manten Kucing ini digelar?

3.

Dan bagaimana acara tersebut berlansung?


1.3 Tujuan

1.

Mendiskripsikan sejarah singkat awal terjadinya tradisi Manten Kucing

2.

Mengetahui untuk apa tradisi Manten Kucing ini digelar

3.

Mengetahui acara Manten Kucing tersebut berlansung

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Selayang Pandang Manten Kucing


Mengenai sejarah keberadaan Manten Kucing, penulis merangkainya dari beberapa
sumber yang penulis anggap masih berkompeten. Tradisi budaya Manten Kucing ini
berada di Desa Pelem, Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Menurut warga
sekitar Desa Pelem, bahwasanya tradisi budaya Manten Kucing ini selalu diselenggarakan
setiap tahun, dan juga penuh dengan kesakralan.
Uniknya didalam upacara tradisi Manten Kucing ini adalah sepasang kucing jantan
dan betina. Awalnya daerah Desa Pelem dan sekitarnya dahulu kala dilanda kemarau
panjang, hingga warga kesulitan untuk mendapatkan air. Eyang Sangkrah adalah tokoh
yang membabat Desa Pelem, suatu ketika Eyang Sangkrah mandi di sebuah telaga, yaitu
Telaga Coban.
Ketika Eyang Sangkrah mandi di Telaga Coban, Beliau membawa serta se-ekor
kucing di telaga tersebut. Kucing Condro Mowo, sebutan kucing yang dibawa oleh Eyang
Sangkrah, setelah di Telaga Coban kucing tersebut dimandikan. Anehnya, sepulang dari
mandi di Telaga Coban, di kawasan Desa Pelem turun hujan deras. Warga yang lama
menunggu turunnya hujan, tidak bisa menyembunyikan perasaan syukur dan bahagia. Saat
itulah, warga menyakini turunnya hujan tersebut ada kaitannya dengan peristiwa Eyang
Sangkrah yang memandikan Kucing Condro Mowo. Sehingga tradisi tersebut menjadi
tradisi, yang setiap tahun diselenggarakan oleh warga Desa Pelem, dengan sebutan tradisi
budaya Manten Kucing.
Ketika Desa Pelem dijabat oleh Demang Sutomejo, tahun 1926, Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat kembali dilanda kemarau panjang. Saat itu Demang Sutomejo
mendapatkan wangsit (petunjuk) untuk mengadakan upacara memandikan kucing di Telaga
Coban. Maka, dicarilah dua ekor kucing Condro Mowo. Kemudian, dua ekor kucing itu
dimandikan di Telaga Coban. Akhirnya beberapa hari kemudian turunlah hujan mulai
mengguyur di Desa Pelem dan sekitarnya.
Prosesi Manten Kucing ini, awalnya warga Desa Pelem mempersiapkan uburampe
atau persiapan untuk mengadakan upacara Manten Kucing. Setelah persiapan selesai, maka
prosesi kemudian adalah mengkirap kucing Condro Mowo yang diwadahi didalam keranji.

Adapun kucing yang dimaksud didalam prosesi tersebut adalah berwarna putih dan hitam,
yang terdiri dari kucing lanang (jantan) dan kucing wadon (perempuan). Saat pengkirapan
tersebut, kucing lanang lan wadon berada di barisan paling depan sendiri, setelah itu diikuti oleh para sesepuh dan tokoh desa. Para sesepuh dan tokoh desa tersebut juga
memakai pakaian khas adat Jawa.
Setelah sampai di Telaga Coban, kucing Condro Mowo dimandikan secara
bergantian, sebelum ditemukan layaknya manten manusia. Kucing Condro Mowo tersebut
dimandikan dengan air telaga yang dicampur dengan kembang setaman yang sudah
dipersiapkan terlebih dahulu. Usai dimandikan, kedua kucing itu diarak menuju lokasi
pelaminan. Di pelaminan tersebut sudah disiapkan aneka uburampe, pasangan kucing
jantan dan betina itu dipertemukan. Laki-laki dan perempuan yang membawa kucing
Condro Mowo, duduk bersandingan di kursi pelaminan. Sedangkan kucingnya, berada di
pangkuan laki-laki dan perempuan yang juga memakai pakaian pengantin. Upacara
pernikahan Manten Kucing tersebut ditandai dengan pembacaan doa-doa yang dilakukan
oleh sesepuh desa setempat. Kurang lebih 15 (lima belas) menit upacara tradisi budaya
Manten Kucing sudah selesai.
2.2 Meminta Datangnya Hujan
Masyarakat desa Pelem Campurdarat ini telah memegang warisan dari nenek
monyangnya dengan membudidayakan Tradisi Manten Kucing ini, Karena mereka
mempercayai warisan dari Eyang Sangkrah itu benar adanya, tentang Manten Kucing
meminta untuk datangnya hujan dan itu pun bernar-benar terjadi.Masyarakat di sekitar
desa Pelem Campurdarat selain meminta datangnya hujan, mereka meyakini agar hasil
panenya melimpah.
2.3 Acara Berlangsungnya Manten Kucing
Dalam acara Manten Kucing ini, banyak para warga desa Palem turut menyaksikan
jalan upacara Manten Kucing. Hampir sama halnya mantenan manusia acara ini, bedanya
yang dimantenkan mantenan ini dua ekor kucing, kucing jantan dan kucing betina.
Dalam upacara ini, sepasang kucing jantan dan kucing betina dipertemukan
menjadi pasangan pengantin, ujar Nugroho Agus, SE, Kepala Desa Pelem yang juga
tokoh sentral pelestari ritual Temanten Kucing. Prosesi Temanten Kucing diawali
dengan mengirab sepasang kucing jantan dan betina kucing warna putih yang dimasukkan

dalam keranji. Dua ekor kucing itu dibawa sepasang pengantin laki-laki dan wanita. Di
belakangnya, berderet tokoh-tokoh desa yang mengenakan pakaian adat Jawa. Sebelum
dipertemukan, pasangan Temanten Kucing dimandikan di telaga Coban. Secara
bergantian, kucing jantan dan kucing betina dikeluarkan dari dalam keranji. Lalu, satu per
satu dimandikan dengan menggunakan air telaga yang sudah ditaburi kembang. Usai
dimandikan, kedua kucing diarak menuju lokasi pelaminan. Di tempat yang sudah
disiapkan aneka sesajian itu, pasangan kucing jantan dan betina itu dinikahkan. Sepasang
laki-laki dan perempuan yang membawa kucing, duduk bersanding di kursi pelaminan.
Sementara dua temanten kucing berada di pangkuan kedua laki-laki dan wanita yang
mengenakan pakian pengantin itu. Upacara pernikahan ditandai dengan pembacaan doadoa yang dilakukan sesepuh desa setempat. Tak lebih dari 15 menit, upacara pernikahan
pengantin kucing usai.
Uniknya pada tahun 2007, ketika upacara tradisi Manten Kucing digelar, terdapat
kearifal lokal yang dimunculkan. Ketika dipertemukan antara kucing jantan dan kucing
betina, orang yang sudah tua (sesepuh) duduk dipelaminan sambil menyanyikan lagu-lagu
tradisional, seperti;
Uyek-Uyek Ranti
Ono Bebek Pinggir Kali
Nuthuli Pari Sak Uli
Tithit Thuiiit Kembang Opo?
Kembang-Kembang Menur
Ditandur Neng Pinggir Sumur
Yen Awan Manjing Sak Dhulur
Yen Bengi Dadi Sak Kasur

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manten Kucing merupakan tradisi budaya yang terdapat di Desa Pelem,
Kecamatan Campurdarat, Kabupaten Tulungagung. Upacara prosesi Manten Kucing
tersebut, terdapat nilai-nilai yang terkandung didalamnya, selain itu mempunyai pesan
moral, seperti halnya; kita juga harus bersahabat dengan alam dan sekitarnya, guyub rukun
dan saling tolong menolong.
Tradisi Manten Kucing sendiri pada tahun 2010 yang bertepatan dengan Hari Jadi
Tulungagung ke-805, dijadikan festival budaya. Tujuannya adalah untuk memperkenalkan
tradisi budaya Manten Kucing kepada khalayak umum, khususnya pelajar bahwasanya di
Tulungagung terdapat tradisi budaya Manten Kucing.
Adapun nilai-nilai yang dapat penulis tangkap dari prosesi Manten Kucing,
diantaranya; Pertama, manusia memang diberi kelebihan oleh Sang Pencipta yang
mempunyai, akal pikiran, budi pekerti, nalar, rasa dan karsa. Sehingga mewujudkan diri
untuk memilik budaya positif. Sehingga dengan berbudaya yang baik, akan memberikan
norma-norma positif di masyarakat.
Kedua, dengan adanya tradisi budaya Manten Kucing tersebut, warga saling dapat
tolong menolong, hormat menghormati diantaranya. Sehingga kerukunan dan keselarasan
hidup menjadi damai, tenang, dan sejahtera. Didalam prosesi Manten Kucing sendiri
masyarakat diajak untuk Guyup Rukun.
Sebenarnya selain menjadi media pembelajaran, keberadaan Manten Kucing bisa
dijadikan sebagai objek wisata lokal. Keberadaan asset wisata daerah itulah, maka akan
menyokong keberadaan budaya Nasional. Dengan berbudaya yang baik, maka kita akan
menjadi sosok manusia, masyarakat atau bahkan negara yang berbudi luhur, saling
menghormatu, tolong menolong, jujur dan sopan. Masyarakat Indonesia, khususnya di
daerah-daerah dahulu terkenal dengan keramah-tamahannya. Akankah dengan berbudaya
baik, kita mampu mewujudkan sifat ramah dan tamah?
Sehingga istilah Ndudhuk, Ndhudhah dan Nggugah, merupakan rangkaian dalam
menggali, menemukan dan mengembangan serta memberdayakan potensi budaya yang ada
di daerah. Perkembangan zaman seperti sekarang ini, membuat tantangan tersendiri bagi
kita untuk mampu mengolah perkembangan zaman itu untuk menumbuhkan asset budaya

lokal. Berkat akal, pengalaman, dan kesadaran nurani, maka kita harus bergerak untuk
mengolah potensi daerah menjadi asset yang berharga dan mempunyai nilai pendidikan.
Secara teoritis, kebudayaan akan mengajarkan nilai-nilai yang baik dan juga
mencerminkan norma-norma positif bagi generasi muda. Tinggal generasi muda (pelajar)
mampu atau tidak untuk menangkap nilai yang terkandung didalam kebudayaan. Sebab
kebudayaan sekarang ini sekedar tontonan, bukan lagi sebagai tuntunan, realita yang ada.

Daftar Pustaka
Imron, Agus Ali. 2011. Tradisi Manten Kucing, http://www.dikbangkesjatim.com/?p=24.
Bhudisantoso, S. 2005. Pemberdayaan Komuniti Adat Terpencil. Jakarta :
Jurnal
Hidayah, Zulyani. 1999. Ensiklopedia Suku Bangsa di Indonesia. Jakarta : PT
Pustaka LP3ES Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai