Tressi A.Hendraparya
Diantara Belantara
Jermal
Dinamika Sosial di Bagansiapiapi
dalam Lingkungan Ekologi yang Berubah
Tressi A.Hendraparya
DIANTARA BELANTARA
JERMAL
Dicetak di Pekanbaru:
ISBN
5
Suatu Pengantar
“Selamat Datang di Bagan!”
Demikian seorang jurnalis menuliskan kata-kata tersebut dalam salah satu laporannya
tentang Bagansiapiapi di tahun 1930-an setelah ia berkunjung dari Medan ke
Bagansiapiapi. Perjalanannya saat itu ditempuh dari Medan ke Tanjung Balai dengan
menggunakan jasa Kereta Api yang saat itu dikelola oleh D.S.M. (Deli Spoor
Maatschappij) kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kapal dari K.P.M.
melewati Labuhan Bilik di Muara Panei terus ke Bagan. Perjalanan yang tidak sebentar,
melainkan memakan waktu hingga sehari semalam. Bagansiapiapi, sebagai sebuah
kota yang hingga saat ini berusia lebih dari satu abad, maka kota ini telah dilintasi oleh
berbagai perubahan dan berbagai zaman. Yang jelas dimulai dari era Kolonial hingga
otonomi daerah dengan segala konsekuensinya. Mekipun demikian, untuk tetap dapat
diingat bahwa Bagansiapiapi juga memiliki perkembangan yang terkait dengan
kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu, yang telah dikenal Eropa semenjak awal
abad ke-18; melalui serangkaian kisah sang pendiri kerajaan Siak Raja Kecil dalam
penaklukan Johor tahun 1718. Kondisi ini mengisyaratkan, bahwa kesejarahan eks
kewedanaan Bagansiapiapi bukanlah kejayaan industri perikanan semata, melainkan
sekelumit kisah “anak bumi” dalam pergulatan ruang dan waktu dialiran sungai Rokan
yang telah bersinggungan dengan lingkup perdagangan internasional di Selat Melaka
semenjak era Sriwijaya. Akibatnya, Jejak tapak ini menghendaki penggalian yang
begitu beratnya dalam upaya menelusuri kearifan-para pendahulu yang tersebar
dalam rekaman tradisi-lisan, catatan para pengamat Eropa dan juga yang
terproyeksikan dalam kehidupan sosial kontemporer. Pemahaman ini dibutuhkan agar
seorang pengamat tidak terjerat dalam ego kepentingan, apapun bentuknya.
Bagansiapiapi, tidak asing dalam literatur kolonial, bahkan pers pun ikut meramaikan
pemberitaan. Begitu pula beberapa karya kontemporer yang turut memperkaya
khasanah kepustakaan Bagansiapiapi, akan tetapi, secara umum berbicara hanya
tentang perikanan saja, belum menyentuh aspek lain dari Bagansiapiapi, terutama
kehidupan sosial masyarakat sebagai pelaku perekonomian, kebudayaan dan politik
yang saling berpengaruh satu sama lainnya. Tentu saja, Bagansiapiapi sebagai pusat
pemerintahan kewedanaan, memiliki wilayah yang membentang hingga kehulu sungai
Rokan, memerlukan penjelasan yang memadai berkaitan dengan booming
perekonomian dan urbanisme yang mengiringinya di Bagansiapiapi, dan dalam
konteks semacam itulah buku ini hadir untuk mencoba turut memperkaya
kepustakaan Bagansiapiapi itu, terutama yang berlatar kesejarahan sosial. Sejarah
dapat bermakna personal bagi individu yang melihat dan mengalaminya secara
6
langsung peristiwa ataupun momen yang melekat pada lintasan waktu sejarah
masyarakat itu sendiri.
Sepotong Besi tua yang terletak di halaman Kantor Pabean Bagansiapiapi,
bukan hanya sekedar besi tua, melainkan dahulunya adalah bagian dari
konstruksi dermaga yang disana tersimpan kisah dan cerita tentang kejayaan
dermaga tersebut sebagai Pelabuhan Ikan terpenting II di dunia.
Dengan mencermati besi tua itu, maka bentangan imajiner akan segera diisi oleh
riuhnya situasi, hiruk-pikuknya pekerja, dan kesibukan tinggi segala aktifitas
pelabuhan ikan terpenting itu, betapa sepotong besi tua telah merekam jejak aktifitas
para pelaku ekonomi dari segala bangsa; sepotong besi yang tidak saja merupakan
bahagian dari sejarah kejayaan, melainkan juga kolonialisme Belanda, eksploitasi
muara dan perang dunia II. Besi tua itu, dahulu adalah pintu masuk dari para raksasa
penjajah yang mencoba meraja, hingga akhirnya sang waktu pun menghentikan
mereka, dan tinggallah puing besi tua, diam membisu diapit kesibukan warga kota.
Bahwa “tak ada gading yang tak retak”, mungkin ini ungkapan yang paling tepat,
mengingat bahwa buku ini sendiri bagaimanapun juga berisi catatan tentang kisah
kehidupan masyarakat di masa yang telah lampau yang biasanya akan sarat polemik
dan perdebatan, seperti kisah tentang Onderafdeeling Bagansiapiapi saat mengalami
masa kejayaan sebagai Penghasil Ikan terbesar II di dunia –
pada era Kolonial terdapat juga pendapat bahwa Bagansiapiapi sebenarnya
adalah penghasil ikan yang terbesar dibandingkan Bergen-Norwegia, sebab
Bagansiapiapi menghasilkan ikan sepanjang tahun tanpa mengenal musim;
sebaliknya, musim membatasi Bergen.1
Dalam kesempatan ini Selain menyampaikan rasa syukur yang mendalam kepada Allah
SWT, Kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, kepada Bapak Bupati Rokan Hilir,
Bapak Wakil Bupati, Bapak Sekretaris Daerah, kepada Bapak Ketua dan anggota DPRD,
unsur pimpinan instansi, hormat kami kepada para tokoh masyarakat, cerdik pandai,
alim ulama, rekan-rekan, kepada Opa RM.Djajeng Pratomo, Iljunah & Marjati
Pratomo, Arsip Nasional Jakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan
Wilayah Soeman HS Pekanbaru, KITLV, Royal Tropical Instituut, Nationaal Archief;
kepada, kepada Penerbit Soreram Media Pekanbaru, untuk kakekku alm.Letkol.H.Idris
Sutrisna juga alm.R.Soekabat Wonodirdjo, kepada ayahku alm R.H.Soekabat dan ibuku
Hj.Tuti Suparyati,BA, H.Sardjoko,MPd dan Keluarga besar; Kanda H.Ferry H.Parya dan
kakakku Frissa Hendraparya atas suportnya, keluarga besar, kerabat, isteriku Agustina
Srihastuti,SPi, dan anak-anak dirumah; Mutiara Cahaya Negeri, M.Bintang Cahaya
Negara dan M.Buminata Cahaya Negara, juga kepada berbagai pihak atas
dukungannya, yang telah banyak membantu namun tidak dapat Kami sebutkan satu
persatu, dan semoga Allah SWT memberkahi segenap upaya ini.
1
Sebagaimana diberitakan dalam Indische Caourant, 10 Maret 1928, “Bagan Si Api Api.”
7
Hamba Allah,
Tressi A Hendraparya
8
9
Untuk mengenang
Segenap Masyarakat yang dalam suasana batin kebersamaan
Memperjuangkan pembentukan Daerah Otonom
Swatantra Tingkat II Bagansiapiapi 1963/4,
Dan Kabupaten Rokan Hilir tahun 1999
10
11
DAFTAR ISI
Hal.
Daftar Judul
Daftar Isi 17
1. Pendahuluan ……………………………………………………. 17
1
Pendahuluan
Latar Belakang
Buku ini bermaksud mempelajari dinamika sosial suatu masyarakat di pesisir, tepatnya
di hilir aliran sungai Rokan yang pernah dikenal sebagai kewedanaan (wedanaschap
atau Onderafdeeling) Bagansiapiapi; meliputi tiga kenegerian kuno yang mulai eksis
pasca periode kejayaan Melaka,2 dan juga suatu pusat pemerintahannya; sebuah kota,
terutama meliputi peristiwa-peristiwa sinkronik dan diakronik.3 Suatu upaya untuk
memahami perilaku masyarakat dalam menghadapi arus perubahan ekologi, ekonomi
dan politik itu, memiliki konsekuensi logis bahwa telaah akan meliputi serangkaian
peristiwa dalam keruangan yang umum; dalam buku ini yaitu “kewedanaan,” dan juga
tidak terelakkannya untuk menyajikan proses-proses sosial yang terjadi dalam
keruangan kota, dimana ternyata penulisan sejarah kota itu sendiri merupakan garis
terdepan dalam penulisan sejarah nasional.4 Kewedanaan Bagansiapiapi meliputi
lanskap disepanjang aliran sungai Rokan dari pedalaman hingga pesisir, sementara
kota Bagansiapiapi yang berlokasi ditepian muara sungai Rokan di pantai timur
Sumatra, menjadi contoh nyata bagi suatu perubahan yang merupakan respon suatu
perubahan lingkungan ekologi. Buku ini bermaksud menampilkan gambaran tentang
Bagansiapiapi; terutama sebagaimana telah disampaikan, lingkungan ekologi yang
berubah dan hubungannya dengan struktur sosial dalam masyarakat majemuk 5 yang
diproduksi oleh Belanda dan juga dualisme sistem perekonomiannya; 6 konsekuensi
logis dari penulisan serupa ini, akan membawa telaah sebahagian besar berada dalam
rentang awal keterlibatan Belanda tidak saja selama separuh pertama abad ke-20,
2
Diperkirakan pasca penaklukan Melaka oleh Portugis 1511 juga diiringi dengan keruntuhan
politi Rokan yang terletak di hulu aliran sungai Rokan, dan kemudian sejarah bergeser pada
peranan sebaran lanskap disepanjang aliran sungai Rokan; dipesisir, meliputi tiga kenegerian
Tanah Putih, Bangko dan Kubu.
3 Galtung, Theory and Methods of Social Reasearch, 1969.
4
Kuntowijoyo, dalam “Metodologi Sejarah,” Edisi kedua tahun 2003, hal.72.
5 Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, 1967, hal.446-449.
6 Boeke. Julius H., Economics and Economics Policy of Dual Soceities as Exemplified by Indonesia,
melainkan juga beberapa waktu mundur kebelakang hingga satu titik dimana jejaring
perdagangan kuno yang bersinggungan dengan lanskap dialiran sungai Rokan
bermula. Dengan demikian, tulisan ini juga memuat sejarah dalam artian kronologi
peristiwa yang dapat memberikan deskripsi perubahan-perubahan dalam masyarakat,
sehingga kesimpulan umum akhirnya dapat dicapai. Untuk memenuhi tujuan ideal itu,
maka didalam buku ini, rekonstruksi masa lampau tidak dihindari, sembari berupaya
mencari penjelasan-penjelasan sosiologis dari runutan peristiwa yang ditampilkan.
Dan ini menjadikan studi sejarah menjadi landasan awal dari maksud penulisan;
dengan maksud penelusuran histori tersebut dapat memberikan penjelasan tentang
situasi sosial yang terakhir. Yang menarik adalah, bahwa setelah lebih 60 tahun
terlepas dari cengkraman kolonial Belanda, keruangan terakhir Bagansiapiapi
cenderung memiliki pola serupa dengan masa Hindia Belanda, terutama dari sisi
“pluralisme”nya, sebagaimana hasil observasi lapangan pasca pemekaran Kabupaten
1999.7 Sebagaimana telah disampaikan, persoalan ini, tentu tidak dapat dijawab
hanya dengan melalui pengamatan-langsung tanpa melihat situasi ekonomi, budaya
dan politik yang berlaku dalam rentang panjang kesejarahan Bagansiapiapi. Dengan
demikian, maka buku ini berupaya untuk: Pertama, merekonstruksi ruang
perekonomian, sosial dan politik dari ruang eks kewedanaan Bagansiapiapi ini;
Pencaharian tentang situasi kekinian yang dilakukan tanpa mengabaikan apa yang
berlangsung di era terdahulu, diyakini bahwa jawaban-jawaban atas apa yang terjadi
pada masa silam, menjadi fondasi bentukan dimasa sesudahnya, begitu seterusnya
hingga era terakhir. Wajar saja, buku ini juga, mengandalkan temuan-temuan para ahli
sejarah dan arkeologi yang menunjang rekonstruksi perjalanan kesejarahan lanskap
disepanjang aliran sungai Rokan. Dalam konteks ini, maka studi dan garis pemikiran
seperti Manguin, 8 Coedes,9 Wolters, 10 Miksic, 11 Leonard Y Andaya,12 tentang jejaring
perdagangan kuno di Selat Melaka dan kawasan yang merupakan arbitrasi keruangan
7
Salah satunya adalah sebagaimana dalam laporan M Subhi Azhari; Proyek Identitas dan
Ketimpangan Representasi: Dinamik Relasi antara Etnis China dan Melayu di Bagansiapiapi,
hal.261-348, dan Hikmat Budiman; Mendiskusikan kembali Furnival: Satu Cerita Lagi dari
Bagansiapiapi, hal.459-508; dalam Kota-Kota di Sumatra; Enam Kisah Kewarganegaraan dan
Demokrasi, The Interseksi Foundation Jakarta, 2012.
8 Manguin, “Archaeology of Early Maritime Polities,”
9 Coedes, G. Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: East-West Center Press, 1968.
10
Wolters, O.W., Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri Vijaya. Ithaca,N.Y.:
Cornell University Press, 1967.
11
Miksic, Jhon, ”Trade Routes and Trade Centres.” The Encyclopedia of Malaysia. Early History.
Vol. 4. Singapore: Archipelago Press, 1998, 78–9.
12 Para ahli meyakini bahwa kehidupan masa silam terutama awal masehi warnai dengan proses
Indiaisasi, sebagai dampak dari kehidupan perdagangan di Selat Melaka, laut sempit antara
pantai timur Sumatra dan Semenanjung yang menghubungan politi-politi di seluruh dunia. Proses
perdagangan ini, tidak saja menjadi cikal bakal terbentuknya politi-politi yang saling berkompetisi
memperebutkan sumber daya di selat, bahkan, dalam jangka panjang mempengaruhi etnisisasi
bagi entitas dalam lingkaran jalur perdagangan selat. Jelasnya, lihat Leonard Andaya, Leaves of
the Same Tree: trade and Ethnicithy in Mellaca Strait, University of Hawai’i Press, Honolulu, 2008.
21
Sriwijaya, Pagaruyung dan Melaka, menjadi acuan pemahaman akan keruangan dihulu
sungai Rokan; setidaknya menjadi kerangka acuan dalam upaya memahami
bagaimana ruang-ruang lanskap terbentuk dalam masa-masa Hindu Budha dan
Melaka. Selain itu, berbicara tentang lanskap sebagai bentuk suatu pengorganisasian
ruang, yang terpenting disini adalah para “khalipah penguasanya.” Individu manusia
yang membentuk kesatuan organisasi masyarakat, yang bermukim dikewilayahan
lanskap disepanjang aliran sungai Rokan sebagai bahagian dari dunia yang lebih luas:
ALAM MELAYU, maka dalam tema itu, buku ini tidak hentinya berterimakasih atas
pemikiran Barbara Andaya13 yang menjadi titik tolak dan perspektif dalam upaya
melihat lebih dekat “kekerabatan Melayu,” terutama di aliran sungai Rokan. Meskipun
demikian, kami berkeyakinan bahwa suatu penelaahan proses sosial menuntut
relevansi dengan situasi terakhir, sebab bagaimanapun juga, kita hidup disaat ini, dan
tentu cenderung meminta keterkaitan lebih atas apa yang terjadi di masa lampau
dengan sekarang ini. Untuk itu, kami mencarinya pada bentukan dimasa lampau yang
telah bersinggungan dengan dunia modern, tepatnya dimasa kolonial Belanda. Bahwa
Bagansiapiapi, melejit menjadi sebuah kota yang mendunia seiring dengan masuknya
Belanda yang mendorong indutri perikanan menjadi terkemuka, hingga surutnya
industri. Tentu saja, ini memerlukan penjelasan dan argumentasi lebih, berkaitan
dengan kondisi-kondisi kekinian, bahwa apa yang tampak saat ini, tentu berkaitan
dengan apa yang terjadi sebelumnya dan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa
dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian, tatanan sosial terakhir adalah proyeksi
dari apa yang berlangsung sebelumnya; maka dari itu, fokus kedua buku ini adalah:
berupaya menjelaskan konfigurasi sosial di Bagansiapiapi pada masa Hindia Belanda.
Kami percaya, bahwa pembentukan konfigurasi sosial dalam suatu keruangan, sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan juga budaya dalam skala dan
dalam rentang waktu tertentu. Pentingnya melihat konfigurasi sosial masa kolonial itu,
dilandasai kenyataan bahwa Bagansiapiapi pada tahun 1946 mengalami konflik berat
berdimensi ras dan tentu dibayang-bayangi kepentingan politik Belanda yang ingin
kembali berkuasa menjajah dan berhadap-hadapan dengan segenap kekuatan rakyat
Indonesia, suatu periode yang juga menandai suatu perubahan besar disana. Untuk
mencapai tujuan pemahaman kedua itu, maka diperlukan serangkaian pemandu yang
akan melihat kepada perkembangan ruang-ruang dan segala aktifitas perekonomian
yang berlangsung disana.
a. penjelasan logis atas dinamika perkembangan kota Bagansiapiapi terutama
semenjak kehadiran penjajah Belanda di Bagansiapiapi yang membawa serta
struktur perekonomian kapitalis-kolonialnya dan menyebabkan terbentuknya
“masyarakat plural,” dan ini berarti juga;
b. menyusun suatu deskripsi tentang industri perikanan masa Hindia Belanda,
dan
Landasan Teori
Tanpa dipandu oleh suatu kerangka teoritik, maka tampilan kronologi data dalam
suatu penulisan akan cenderung menjadi tidak bermakna.14 dengan demikian, disini
akan ditampilkan serangkaian kerangka teori yang menjadi landasan pemikiran dan
alur penulisan. Melihat dari persoalan yang sudah diketengahkan, maka buku ini
terutama berupaya menggunakan pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan.
Dalam perspektif evolusi, maka alur dapat menyerupai garis linear perkembangan
ruang sosial semenjak terbentuknya; hingga pembentukan kota. Jika perubahan sosial
itu sendiri terlihat sebagai gejala umum yang berlaku pada masyarakat manusia
diseluruh dunia, maka, perubahan struktur dan fungsi ini, dalam perspektif
materialisme akan dilihat terutama mengacu pada perubahan infrastruktur-sosial
yang melandasinya, sehingga diharapkan tidak akan bias dalam upaya memberikan
penjelasan-penjelasan yang dianggap memadai dan logis; asumsi-asumsi dasar
terutama kondisi material dari eksistensi manusia – seperti tingkat teknologi, pola
kehidupan ekonomi, dan ciri-ciri lingkungan alamiah merupakan penyebab yang
menentukan pengorganisasian masyarakat manusia dan perubahan penting
didalamnya.15 Intinya, kajian masyarakat akan meliputi pengalamannya dalam rentang
waktu yang berbeda, komparasi historis merupakan basis dalam penelitian, seperti
Max Weber yang berupaya menjelaskan tumbuhnya kapitalisme. Masyarakat, akan
dianalogikan seperti alam yang memiliki hukum-hukum pasti; keteraturan yang
deterministik. Sebaliknya, dalam paradigma yang berbeda, ternyata perilaku tatanan
sosial itu sendiri tunduk pada skenario drama yang dimainkan para pelakunya, secara
sadar atau tidak aktor akan melakukan ekspansi aktif dalam merajut sulaman struktur
ini yang pada akhirnya benar-benar menjerat dirinya sendiri dalam sikap kepasifan
yang khas; selain itu, terdapat juga tuntutan untuk tidak terlalu memaksakan desain
kerangka pada suatu rentang perjalanan sejarah, disebabkan pertimbangan keunikan
yang dimiliki pada fase-fase kesejarahan. Meskipun demikian, apapun drama yang
dimainkan, akan tetap juga melihat pijakan landasan tempat pagelaran drama digelar;
infrastruktur sosial. Seperti pada masyarakat tradisional; pemburu, pengumpul dan
peramu, yang nyata-nyata sangat tergantung pada lingkungan ekologi, maka ekologi
yang berubah akan mendesakkan pengaruhnya pada struktur masyarakat yang berdiri
diatasnya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian pada ekologi yang berubah itu,
maka perubahan sosial dari tatanan sebelumnya ke yang berikutnya, strutur lama ke
14 Kuntowijoyo, 2008.
15
Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadao realitas Sosial, edisi ke-2, hal.21.
23
struktur baru, akan segera terjadi dalam tahapan-tahapan perubahan itu sendiri.
Tentu saja, tema besar yang relevan adalah bagaimana perubahan sosial dalam suatu
masyarakat itu terjadi berkenaan dengan berlangsungnya perubahan lingkungan
ekologi. Selain itu, buku ini, terutama memanfaatkan sifat dari sosiologi yang memiliki
paradigma ganda;16 dapat melihat realitas sosial dengan menggunakan kerangka
fakta sosial,17 sebaliknya dapat pula berlandaskan pada definisi sosial. Penulisan ini,
sebagaimana telah tampak diawal, secara prinsip mengacu pada perspektif
materialism – evolusionis; 18 yang melihat bahwa perubahan sosial berlangsung
sebagai perubahan dalam rentang diakronis; bagaimana suatu tatanan sosial beralih
kedalam bentuknya yang baru; hal ini mengindikasikan perubahan yang lebih bersifat
kualitatif daripada kuantitatif. Perubahan masyarakat dari meramu, ke masyarakat
pertanian, atau perubahan masyarakat pertanian ke perdagangan merupakan
perubahan kualitatif. Akan tetapi, peningkatan jumlah desa, atau penduduk dengan
kharakteristik yang sama, bukanlah suatu perubahan kualitatif, melainkan perubahan
kuantitatif semata. Halnya dengan muatan dari struktur sosial, dalam perspektif ini
tentu akan mengacu pada perilaku aktual. Perilaku aktual teridentifikasi melalui; ada
tidaknya pelapisan sosial; ada atau tidaknya pemisahan etnis atau rasial; cara
bagaimana masyarakat mengorganisir dirinya dalam upaya penegakan aturan-aturan;
pembagian kerja dan kekerabatan. Perspektif materialism ini, nampaknya lebih
mengutamakan identifikasi struktur sosial bermula dari kondisi infrastruktur sosial
yang terdiri dari; teknologi, perekonomian, lingkungan ekologi yang diartikan sebagaai
lingkungan fisik yang dihadapi dimana struktur harus mampu beradaptasi, dan
kemudian adalah demographi. Selain melihat dari bangunan bawah struktur sosial,
ketika penjelasan yang diharapkan ternyata tidak memadai, maka perspektif
materialism akan melihat juga kepada alam gagasan; suprastruktur sosial, seperti:
ideologi umum; agama; kesenian; dan kesusastraan, dimana disini nampaknya tradisi
lisan,19 digunakan sebagai sarana untuk memperoleh pemahaman suatu peristiwa
dimasa lampau.
Selanjutnya, mengacu pada permasalahan yang telah disampaikan, maka penulisan ini
menggunakan kewilayahan Kewedanaan (Onderafdeeling) Bagansiapiapi sebagai unit
analisis; dengan pertimbangan mengingat bahwa satuan geografis ini merupakan
tempat keberlangsungan hubungan antara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya yang
menjadi obyek dari penulisan. Untuk diketahui, Kewedanaan Bagansiapiapi yang
meliputi tiga sub-distrik, Tanah Putih, Bangko dan Kubu; areal yang meliputi aliran
sungai Rokan dari hulu dengan jarak 70 km dari pantai. Tersebab untuk memahami
kharakter masyarakat yang mendiami tiga lanskap ini yang teridentifikasi sebagai
16
George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science(Boston, Allyn and Bacon Inc.,1980.
17 Fakta social, sebuah terminology yang terutama dikembangkan oleh Emille Durkheim;
18
Sanderson, Sosiologi Makro.
19 Untuk kajian lebih mendalam, sepertl artikel dari James Danandjaja, Pendekatan Folklor dalam
Penelitian bahan-bahan Tradisi Lisan, dalam “Metodologi Kajian Tradisi Lisan,” Edisi Revisi,
Editor Prudentia MPSS, 2015, hal.63-78.
24
Melayu, maka, upaya yang dilakukan akan menyangkut juga hal-hal kuno. Akan tetapi
ini tidaklah berarti Melayu itu kuno; beberapa penjelasan dalam upaya melakukan
rekonstruksi ruang; memang akan membawa perhatian pada hubungan-hubungan
yang terjadi jauh kebelakang dimasa kuno itu. Kami berpendapat, bahwa hal-yang
menyangkut kekinian bukanlah phenomena yang bersifat serta-merta, melainkan
melalui suatu proses panjang dalam rentang waktu dan ruang yang relevan. Proses
sosial dinamis yang berlangsung di pesisir sungai Rokan, diyakini sebagai pengalaman
bersama dalam berbagi ruang dan pengetahuan, yang menghendaki pemahaman
yang tidak sepenggal saja, bagai notasi yang berdiri sendiri dari sebuah rangkaian
irama; terbaca, tetapi tidak bermakna. Akan tetapi disini, empati utuh terhadap
serangkaian peristiwa yang tidak dibiarkan begitu saja berdiri sendiri, akan lebih
membantu untuk mengerti bagaimana suatu masyarakat dapat bertahan dalam
menghadapi tekanan ketidaksamaan dan ketimpangan dalam keruangan yang
bernama Bagansiapiapi.
25
Onderafdeeling Bagansiapiapi.20
20Dilihat dalam MVO (Memorie van Overgave); Memorie van overgave van de Onderafdeeling
Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934, koleksi ANRI.
26
27
2
Keadaan Alam, Administrasi Wilayah
dan Kependudukan
21 Bahkan Daniel Peret lebih jauh mengatakan akibat proses demikian, pesisir Timur Sumatra
bertambah sekitar 100 meter setiap tahunnya (hal-27-28). Daniel Peret, Kolonialisme dan
Etnisitas, Tahun 1995;
22 Hadenberg, sebagaimana dikemukakan oleh Azmi Fitrisia dan Padmo, dalam Sejarah Perikanan
23
Azmi Fitrisia dan Sugianto Padmo, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942, Program
Studi Sejarah: Program Pascasarjana Universitas gadjah Mada, Tahun 2007 hal.499
24
Dr. J.D.F. Hardenberg, “The Fishfauna of the Rokan Mouth, Laboratorium voor het Onderzoek
der Zee, Batavia, dalam Treubia: reeueil de travaux zoologiquess, Hydrobioloqeues et
oceanographiques /’s Lands plantentuin = Jardin botanique de Buitenzorg, Jaargang 13,
Aflevering 1, 1 Januari 1931.
29
memiliki sejumlah besar endapan Lumpur, dan biasanya menjadi kering pada saat air
surut. Bentuknya seperti segitiga yang berpuncak di muara Rokan dan berbasis di Laut
lepas. Endapan Lumpur ini terjadi hingga arah barat-laut digugusan Pulau Aroea,
Selat Malaka. Kedalamannya berkisar 8-9 m yang diindikasikan dengan keadaan
perangkap ikan yang terdapat disana. Sentra endapan ini terbentuk dari lumpur cair,
dan fakta ini merupakan penyebab mengapa untuk mengetahui kedalaman dasar laut,
metode SOUNDING25 tidak dapat digunakan. Di tempat lainnya, juga terbentuk
penumpukan endapan, namun lumpurnya lebih keras. Endapan-endapan ini terdapat
di laut dekat Sinaboi, dan juga dekat pulau Halang Besar, baik untuk kelangsungan
didalam laut dan terlihat berlumpur. Menuju arah barat laut; Pulau Halang Besar,
disepanjang pantai kondisi dasarnya semakin hari semakin keras, lebih jauh lagi dari
pantai, ditemui Lumpur yang bercampur dengan pasir; Bahkan didekat Panipahan
hanya dijumpai pasir. Dekat arah pantai, yang berhadapan dengan Pulau Halang Besar
airnya terlihat berlumpur, akan tetapi berpasir disekitar Panipahan, dengan sejumlah
endapan lumpur ditemukan di depan muara beberapa sungai kecil. Disebelah timur
dekat Bagansiapiapi kondisinya berlumpur serta ditumbuhi dengan mangrove. Untuk
lingkungan di Sinaboi, ditemukan tumbuhan mangrove, yang menyebabkan garis-
pantai bergeser kearah laut. Antara Pulau Halang Besar dan Bagansiapiapi terhadap
sentra endapan, dan dari sini air secara berangsur-angsur semakin mendalam.
Kedalaman berkisar 8-9m yang pada saat surut perbani ditemui garis batas areal
melimpahnya ikan yang terletak di sebelah barat-laut itu.26
Halnya Muara Rokan, memiliki kharakteristik arus yang kuat, cocok dengan
keberadaan alat penangkapan ikan yang lazim ditemui di muara Rokan, JERMAL. Kita
menjumpai bahwa di Selat Malaka, terjadi air surut sebanyak dua kali sehari. Ini tidak
mengejutkan bahwa dalam mendistribusikan bentuk bagian dari laut, terdapat
perbedaan yang sangat besar pada kondisi pasang-surut. Perbedaan ini berkisar 3-4
m, dan pada saat spring-tide, yang biasanya sebanyak dua kali sebulan, mencapai
hingga 5-6m. Saat musim hujan ketika air sungai melimpah, akan meningkatkan
ketinggian air dan daratan akan tergenang. Satu hal menarik adalah phenomena
sebuah danau kecil berisi air tawar di Pulau Pedamaran. Informasi yang diperoleh
menyebutkan bahwa fauna yang ditemui disana adalah fauna yang hidup di air tawar.
Dua kali sehari pulau di kelilingi pasang besar oleh air payau dengan kadar garam
mencapai 8 – 10%. Fauna yang ditemui disini adalah fauna yang biasa ditemui di
muara. Telah disebutkan bahwa arus besar yang datang bersamaan dengan musim
penghujan telah menggenangi pulau, dan ini yang menyebabkan pulau tersebut
kembali memperoleh pasokan air tawar, bersamaan dengan datangnya fauna.
Terjadinya perbedaan yang cukup besar pada lavel air, tentu saja, dikondisikan oleh
kuatnya arus pasang. Dengan demikian, seluruh perikanan disini tentu tergantung
25
Sounding merupakan metode pengukuran kedalaman laut dengan gema suara yang terpantul
dari benda yang dijatuhkan kedasar laut;
26 Hardenberg, “The Fishfauna of The Roan Moth”, Treubia: Jaargang 13, Aflevering 1, 1 Januari
1931.
30
pada arus pasang ini. Kecepatan maksimalnya berkisar antara 3-4 mill laut perjam dan
di musim penghujan dapat lebih kuat lagi. Arah arus juga sangat berpengaruh
terhadap perikanan. Ini disebabkan alat penangkap ikan jermal dengan sumbu
panjangnya harus memiliki arah yang sama dengan arus. Ini adalah kondisi esensial
yang menyebabkan jermal dapat bekerja dengan baik. Bentuk V seperti sayap yang
menangkap ikan saat pasang dan menempatkannya ke jaring yang terletak di belakang
jermal. Arus pasang di Selat Malaka diarah tenggara dan arus surut berlawanan arah
di barat-laut, terletak di sepanjang sumbu dari Selat tersebut. Pada awal pasang-surut
, air yang tiba, mengalir bergerak memutar keluar dari Muara Rokan Oleh karena itu,
aliran ini bergerak kearah barat-laut disepanjang pantai Panipahan. Di sepanjang
Pantai Bagansiapiapi aliran ini menuju arah utara, yang berganti arah menuju timur
dekat Sinaboi. Berdasarkan hal tersebut, arah dari sumbu jermal bervariasi antara
utara-barat-tenggara dan barat-timur. 27 Selain itu, dapat juga dikatakan, Sungai
Rokan adalah sungai pasang surut dan juga disebut “sungai laut” yang air lautnya
mencapai bagian hulu meski sudah berpuluh Km jauhnya dari Muara hingga mencapai
Tanah Putih yang berjarak sekitar 70 Km.28 Selain kekayaan lautnya, kewedanaan
Bagansiapiapi memiliki potensi sumber daya hutan yang pada era pra-kolonial,
dipastikan masih sesak dengan keragaman hayati hasil hutan. Bahwa di pantai timur
yang garis pantainya dipenuhi dengan hutan bakau yang terkadang mencapai hingga
hampir 50 km, seperti ditemui pula di sungai Kampar. Di sungai Rokan, ditemui
suburnya tanaman bakau pada lanskap Bantaian yang berjarak lebih 20km dari bibir
pantai. Keanekaragaman ini terpelihara melalui kearifan lokal yang dinamakan
“Larangan Raja.” Akan tetapi, maraknya industri perikanan dipantai timur pada abad
ke-19, dan masuknya perekonomian kolonial diyakini telah merusak kesetimbangan
sumber daya hutan ini.
Administrasi Kewilayahan
Belanda, yang mengalami kerugian besar akibat perang Jawa(1825-1830), telah
menerapkan secara massif cultuurstesel (tanam-paksa) 29 dimana pada tahun 1877,
telah memperoleh keuntungan hingga ratusan juta gulden! Jumlah fantastis yang
menggerakkan roda perekonomian, dan Belanda yang sebelumnya sempat terpuruk
tersebab kekalahannya atas Inggris, kembali menjadi pemasok bahan mentah bagi
kebutuhan dunia. Perluasan penjajahan di nusantara pun menjadi begitu luasnya. Di
27 Hardenberg, 1931.
28
Controleur Baalbaren, MVO van Onderafdeeling van Bagansiapiapi, 1931.
29 Tanam Paksa sebagai sistem penggantian pajak tanah kepada penyerahan hasil bumi sesuai
dengan nilai pajak itu, dapat 2/5 atau 1/5, atau menukar dengan 1/5 waktunya dalam setahun
untuk suatu kerja wajib. Lihat Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, 2003.
31
30 Merkantilis merupakan kebijakan beabarang yang tinggi bagi para pedagang asing yang masuk,
begitupula dikenakan pajak yang tinggi bagi pemasaran barang hasil industri dari negara pusat
ke daerah jajahan, juga kebijakan monopoli perdagangan di koloni.
32
1889, bahwa opini yang dikembangkan adalah di kerajaan ataupun lanskap yang
diwilayahnya tidak terdapat industri Eropa, maka lanskap tersebut akan cenderung
tidak berkembang.31 Deli in woord en Beeld yang terbit tahun 190532 secara jelas dan
rinci dapat mendeskripsikan serangkaian gambar elok yang sekaligus menjelaskan
lompatan perubahan kehidupan ekonomi di pantai Timur Sumatra, melalui
pengusahaan perkebunan, juga perubahan-perubahan lainnya. Sementara itu, arus
migrasi dari China dan Pulau Jawa, menjadikan kawasan Pantai Timur menjadi
cenderung heterogen, dan juga telah merubah komposisi masyarakat berdasarkan
etnis, yang biasanya diikuti dengan proses peng-kota-an kawasan di Pantai Timur
Sumatra. Sementara telah berkembang pantai timur dengan pola perkebunannya,
halnya diwilayah pesisir, tepatnya di muara Rokan juga telah berkembang sebuah desa
nelayan, dimana awal mula perkembangannya pada akhir abad ke-19 dan permulaan
abad ke-20 telah menjadi tempat industri perikanan terpenting di Hindia Belanda,
yaitu; Bagansiapiapi. Masuknya Belanda itu, tidak saja telah mempengaruhi tatanan
struktur pemerintahan negeri setempat, juga membawa berbagai perubahan;
terutama perubahan-perubahan ekonomi, hingga perubahan struktur politik dan
kependudukan. Sebagaimana telah disampaikan, dengan ditandatanganinya kontrak
politik oleh Sultan Siak dengan Belanda Tahun 1858, maka politik imperialis ini terus
berlangsung hingga ke wilayah kerajaan lainnya di Sumatra Timur.33 Bahwa di Sumatra
Timur, sampai pertengahan abad ke-19, Pemerintah Belanda terus saja melancarkan
politik imperialismenya. Pengaruhnya semakin kuat setelah Sultan Serdang
(Basyaruddin) menandatangani perjanjian acte van erkening tanggal 16 Agustus 1862
yang menyatakan takluk kepada pemerintah Belanda. Setelah itu menyusul kerajaan
Asahan 2 Maret 1886, Langkat 21 Oktober 1885 dan sebagainya. Pada tanggal 15 Mei
1873 Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai dan Bilah dijadikan
menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang ibukotanya di Bengkalis (Riau).
Mengingat perkembangan ekonomi yang pesat di Sumatera Timur, maka pada tahun
1887 ibukota keresidenan Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Saat itu Residensi
Sumatera Timur dibagi dalam lima afdeeling, yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis,
Deli dan Batubara.34
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pasca Traktat 1871 (Perjanjian Inggris
Belanda) telah menyebabkan “booming” industri perkebunan swasta di kawasan
Pantai Timur Sumatra yang berdampak pula pada reorganisasi pemerintahan kolonial;
31
Dilihat dalam Koran ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 Juni 1889 hal.1
32 Lihat Deli in Word en Beeld, oleh J.H.De Buussy, Amsterdam, Tahun 1905; Kemajuan Pantai
Timur Sumatra yang dianggap sebagai akibat masuknya Modal Eropa;
33
Dalam perjanjian disebutkan bahwa Siak mengakui kekuasaan Belanda yang juga meliputi
Kerajaan di Pantai Laut Siak: Pantai Bilah, Kualuh, Asahan, Batu Bara, Padang-Bedagai, Deli,
Serdang, Percut, Langkat, Tamiang dan Perbaungan: Dalam “Politiek Verslak Van Het Residentie
Riouw Over Het Jaar 1858. Bundel Riouw No.58.
34 T. Luckman Sinar, 1986: 154; Tim Penulisan Sejarah Pemda sumatra Utara, 1990: 3-6, dalam
seperti pada tahun 1873 melalui Staatsblad 1873 No. 81 dibentuklah Afdeeling
Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Siak, Bengkalis, Laboehan Batoe dan
Asahan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkebunan tersebut
yang diiringi dengan kontrak-kontrak baru antara Belanda dan Siak termasuk kontrak
dimana pemerintah Hindia mengeluarkan kebijakan akuisisi hak “pacht” atas lanskap
Tanah Putih, Kubu dan Bangko – hal ini berarti perluasan kewenangan Kolonial di
kerajaan Siak - maka sebagai konsekuensi logisnya adalah pendirian kantor Belanda
dan ditempatkannya seorang pejabat kontrolir di Tanah Putih di tahun 188535;
bahwasanya salah satu butir kontrak – Pasal 4 dari perjanjian 23 Juni 188436 antara
wakil Pemerintah Hindia dengan Sultan Siak, Mangkubumi dan para “Rijksgrooten”
(para pembesar) Tanah Putih atas hak pungutan pajak pada wilayah Tanah Putih, Kubu
dan Bangko yang ditetapkan berlaku pada tanggal 1 Januari 1886; terjadinya
perubahan pengelolaan sumber daya kepada pemerintah Belanda, terutama
mengenai pemungutan pajak(belasting).37 Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa
Tanah Putih adalah Lanskap dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi kapal dari
pedalaman hingga era 1880-an. Secara bertahap, Pemerintah Hindia pun sebagaimana
telah disampaikan mulai melengkapi komponen pemerintahannya dengan sumber
daya personil mulai dari tenaga administrasi pemerintahan hingga satuan polisi, segala
sesuatu yang nampaknya telah dipersiapkan jauh sebelumnya ditahun 1865 dengan
mengirim seorang utusan menuju tiga lanskap di hilir sungai Rokan: Boerhanuddin. 38
Akan tetapi, implementasi kontrak tentang pungutan tersebut pada awalnya diwarnai
dengan pembangkangan oleh komunitas nelayan Bagansiapiapi terhadap pemerintah
kolonial, dengan insiden perlakuan “tidak sopan” yang dilakukan oleh komunitas
China terhadap Kontrolir Tanah Putih yang berkunjung kesana untuk melakukan
pengumpulan pajak dari hak atas sewa (pacht) garam dan opium yang telah
diserahkan Sultan Siak kepada pemerintah Hindia. Seperti kisah lainnya di tanah
jajahan, penolakan selalu diasosiasikan dengan pembangkangan atau ketidaksopanan,
maka, ada penolakan tentu akan ada reaksi. Pemerintah Kolonial melakukan aksi
militer dengan memblokade jalur opium, pacht garam dan aktifitas penangkapan ikan
35
Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya menempatkan petugas
pengumpul bea, meainkan sekaligus penempatan pejabat pemerintahan: seorang kontrolir, yang
juga disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang joeroe moedi dan 6 orang awak kapal, dan
sebagaimana umumnya tipe pemerintahan kolonial diluar Jawa dan Madura- maka Tanah Poetih
masuk dalam kategori Kelas 2a. dilihat dalam Soerabaiasch Handelsblad; 27 Juni - 1Juli 1885.
36
Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer,
17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel.
37 Dilihat dalam T.Lukman Sinar Basyarsyah dalam Makalah “Sejarah Kesultanan Melayu di
Sumatra Timur: Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan
Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21
Juli 1985.
38 Dilihat dalam ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 Juni 1889. Bahwa pemerintah telah menurunkan
timnya ke Lanskap Tanah Poetih, Koeboe dan Bangko pada waktu jauh sebelumnya, yaitu pada
tahun 1865, berita dalam De Sumatra Post, tanggal 6 Oktober 1902.
34
39
Dilihat dalam Butcher, 1996,Juga seperti terdapat pada “Chineezen buiten China,” Tahun 1909,
— Bijlage 11. (Zie blz. 322). B elangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale
Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]: “In
Januari 1886 zag ons bestuur zich genoopt om eenige aan den mond der Rokanrivier, te
Baganapiapi, gevestigde Chineezen, die aldaar de visch – en de garnalenvangst uitoefenen, tot
gehoorzaamheid te brengen, daar zij geweigerd hadden den pachter, wien de Sultan van Siak
het opium en zoutmiddel aldaar had afgestaan, te erkennen en tevens een onbetamelijke houding
hadden aangenomen tegen den controleur van Tanah Poetih, die naar baganapiapi was
gekomen om er de bedrijf belasting te innen. Toen geleden verlies te vergoeden en de
verschuldigde bedrijf belasting te betalen, werd als dwangmaatregel haar de uitoefening van
haar bedrijf belet waartoe het gouvernements-stoomschip Djambi met een paar stoomsloepen
naar Baganapiapi werd afgezonden. Nadat de maatregel gedurende 5 etmalen met klem
gehandhaafd was, legden de Chineezen het hoofd in den schoot.
40 Dilihat dalam BATAVIASCHE NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's
Oostkust.
35
penangkapan ikan.41 Tahun 1880-an ini, seperti dicatat oleh Van Rijn, jumlah
penduduk Bagansiapiapi baru mencapai sekitar 1000 jiwa, yang hampir seluruhnya
terdiri dari laki-laki China. Selain itu, pasca blokade 1885, dimulai juga berdatangan
orang-orang China gelombang kedua di Bagansiapiapi menjelang akhir abad ke-19,
yang berasal dari Tanwa, Amoy, Teng Hai, Hai Jib dan Shantung,42 terutama melalui
Singapura. Secara politik, Belanda yang sebelumnya ditahun 1885 telah menempatkan
pejabat kontrolirnya di Tanah Putih dan menjadikan Tanah Putih sebagai pelabuhan
transit produk dari pedalaman, namun tidak sampai sepuluh tahun berikutnya,
tepatnya ditahun 1894 (Stbld 1894 Nomor 93 dan 94), telah menyebutkan perlunya
pemindahan pusat onderafdeeling dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi dalam rangka
pemudahan pengumpulan pajak dan bea. Niat pemerintah Belanda ini, terakhir adalah
dengan pemindahan kantor kontrolir ditahun 1900 melalui terbitnya Staatblad 1900
Nomor 64. Menetapnya pemukim China di Muara Rokan, juga diatur oleh Pemerintah
Hindia Belanda melalui Staatsblad 1884 No.61 yang merupakan pengaturan
lingkungan pemukiman untuk para pemukim oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana
wilayah Afdeeling Bengkalis ditetapkan; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat,
Bagansiapiapi, Tanah Putih dan Penipahan sebagai lingkungan pemukiman orang
China. Adapun untuk pemukim China di Sinaboi, sebagaimana ditetapkan dalam
Staatsblad Tahun 1908 Nomor 662. Untuk penduduk China, maka kelompok ini
dikepalai oleh seorang dengan jabatan Luitenant, sebuah lembaga buatan Pemerintah
Hindia Belanda; kedudukan dan jabatan yang kemudian di Bagan dikenang sebagai
Kapitan.
Sebagai Onderafdeeling dibawah Afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi membawahi tiga
subdistrik, yakni Bangko, Tanah Putih dan Kubu; dengan ibukota Bagansiapiapi.
Wilayah subdistrik Bangko dan Kubu merupakan wilayah pesisir, sedangkan subdistrik
Tanah Putih terletak di Hulu Rokan. Wilayah BANGKO meliputi Kota Bagansiapiapi
sendiri hingga Sinaboi berbatasan dengan Selat Malaka dan Onderafdeeling Bengkalis,
kemudian arah ke Hulu hingga Bantaian. Adapun sebelah Barat berbatasan dengan
onder-distrik KUBU, yang wilayahnya meliputi; panipahan, Kubu sendiri dan Pulau
Halang, kemudian berbatasan dengan Afdeeling Laboehan Batu. Arah ke selatan,
tepatnya di pada Hulu Sungai merupakan sub distrik TANAH PUTIH, yang meliputi
Siarang-arang, Sintong, Rantau Bais Sidinginan. Subdistrik Tanah Putih berbatasan
41
Bahwa pesatnya arus migran China yang bergerak dibidang perikanan dan panglong di
Bagansiapiapi, selain disebabkan oleh dorongan pemerintah Kolonial, juga melibatkan
Rijksgrooten Siak; salah seorang pembesar Siak yang memperoleh hak atas distrik Tanah Poetih,
melakukan perjalanan ke Singapura guna menemui para nelayan dan Panglong China disana,
mengajak mereka untuk bermigrasi menuju Bagansapiapi yang dikatakan memiliki prospek yang
bagus. Dan hasilnya, dikatakan oleh sumber warta kolonial memang banyak dari mereka akhirnya
bermigrasi ke Bagansiapiapi, dari laporan kunjungan seorang Eropa ke kediaman Tongkoe
Mangkoeboemi, dalam “Sultan van Siak”, De Sumatra Post, 31 Januari 1899.
42 Fitrisia dan Padmo, 2002, hal.499; lihat juga In en om de Chineesche kamp: Page 19, Moerman,
Siak adalah pada tahun 1795 – dimasa Said Ali bertahta di Siak; yang dikatakan oleh sumber-
sumber Belanda sebagai Radja Siak yang paling energik dan Siak banyak memperoleh wilayah
taklukkannya, Sebagaimana dilihat dalam Java Bode: Siak, 21 Juli 1886.
46
Dilihat melayuonline.com; Hukum Adat Tentang Batas Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura.
47 BABOE’LKAWAID: Almoestachaza billah, Keradjaan Siak Seri Indrapoera, 1901, dilihat dalam
Tijdshrift voor het Binnenland Bestuur Negen-en-Derstigste Deel, Batavia, G.Kolf & Co, 1910,
hal.87-88.
37
48
Tengku Lukman Sinar, 1985.
38
Kondisi Kependudukan
Untuk mengetahui bagaimana kondisi kependudukan pada masa lampau, ada baiknya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Peret, melihatnya dari keadaan sekarang
ke masa lampau; untuk mengetahui sejarah migrasi penduduk. Kewedanaan
Bagansiapiapi pada saat sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Rokan Hilir,
dimana jumlah penduduknya pada tahun 2010 mencapai lebih dari 700.000 jiwa.
Berdasarkan pengamatan lapangan, tidak terdapat sebuah desa dengan komposisi
yang homogen, melainkan memiliki varian etnis. Varian ini, meliputi dominasi Melayu,
Jawa, Batak, Bugis, dan Minangkabau; diketahui tumbuh pesat pasca booming kelapa
sawit di Riau, dimana terjadi lonjakan pertambahan penduduk yang sangat pesat;
terutama juga setelah diberlakukannya otonomi daerah di tahun 1999. Selain itu,
jumlah desa bertambah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan penduduk, yang
nampaknya juga mengikuti tren perkembangan ekonomi; daratan. Pusat-pusat
pertumbuhan desa baru mengikuti perkembangan jalan raya, terutama jalan raya
49
Zelf Bestuur adalah bagian dari Sistem pemerintahan Kolonial Belanda, dimana kerajaan
memiliki pemerintahannya sendiri;
50
Dilihat dalam Controleur Van Durren, ANRI-MVO: Memorie Van Overgave Van de
Onderafdeeling Bagan Si Api Api, 30 Agustus 1934, Hal 45: De rechterlijk organisatie voor
"zelfbestuur" zonder hoorigen bleef nagenoeg ongewijzigd; t.d.s. worden verwezen naar het
rechtsregelling siak. van belang en een groote verbetering is de uitbreiding van de bevoegdheid
van de districts echter tot kennis neming van de lichte nisdrijven (uitvoeriger besluit van zijne
hoogheid den sulthan van siak ddo.11 agustus 1932 No.193).
51 Dilihat dalam Controleur Van Durren, ANRI-MVO: Memorie Van Overgave, ddo, 11 Agustus
1932.
52
Dilihat dalam Vleming Jr.De Chineesche Zakenleven in Nederland Indie, 1926.
39
lintas Sumatra yang membelah wilayah ini menjadi dua bahagian utama; bahagian
kearah selatan atau ke pesisir merupakan eks wilayah sub-distrik Kubu dan Bangko,
sementara arah ke utara sebahagian besar merupakan eks sub-distrik Tanah Putih.
Meskipun demikian, mantan pusat Distrik Tanah Putih(Onderafdeeling Tanah Putih),
terletak dibahagian arah pesisir yang sekarang dikenal dengan Tanah Putih Tanjung
Melawan. Sebahagian desa-desa itu juga, berada pada kawasan yang saat ini
diketahui sebagai area pengembangan budidaya kelapa sawit. Bukan urusan kita disini
untuk mengetahui bagaimana perkebunan itu begitu dominannya, akan tetapi,
kepentingan kita adalah menyangkut bagaimana pertumbuhan penduduk di kawasan
ini pada era kekinian; diasumsikan kondisi yang merupakan akumulasi serangkaian
gerak migrasi penduduk dari kawasan lainnya; dan untuk mencapai tujuan ini, maka
kita akan melihatnya dari kharakteristik perkembangan desa itu sendiri.
Perkembangan terakhir, wilayah ini menjadi Kabupaten Rokan Hilir melalui
pemekaran Kabupaten Bengkalis, melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999.
Pada lintasan jalan raya arah perbatasan Sumatra Utara, maka ditemui sejumlah besar
kepenghuluan yang dalam konteks kekinian, dapat dipahami sebagai dampak
pembukaan jalan raya tersebut. Akan tetapi, jika kita melihat kebelakang, maka
wilayah itu merupakan hulu dari sungai Kubu, Senembah, yang pada tahun 1920-an
dibuka perkebunan karet oleh pihak kolonial, dan perkebunan komersil ini menarik
kedatangan sejumlah pemukim tidak saja dari pesisir sungai Kubu, melainkan juga
yang berasal dari arah Sumatra Utara. Perkembangan penduduk selanjutnya,
nampaknya para migran berasal dari pedesaan di Jawa melalui kebijakan pembukaan
pemukiman transmigrasi Bagan Sinembah, dan pada beberapa dekade menjelang
akhir milennium kedua, kembali sejumlah besar migran dari Sumatra Utara
berdatangan seiring tingginya tingkat perkembangan perkebunan sawit.53 Bahwa
sebelum tren perkebunan sawit begitu meluas disini, maka berkembang juga
pemukim terutama bergerak dalam pengupayaan padi-sawah(wet culture) yang
didominasi oleh etnis Jawa. Sebaran pemukim ini, terutama pada lanskap pesisir di
Kubu; bentangan lautan sawah dapat ditemui yang dikembangkan oleh orang Jawa
yang berasal dari Jawa dan Sumatra Utara. Selain itu, hamparan padi sawah juga
ditemui di wilayah hulu dari eks pusat lanskap Bangko, tepatnya di Teluk Pulau – Rimba
Melintang, dan juga ke arah utara Bagan disebahagian jalan raya Bagansiapiapi -
Sinaboi.
Memasuki era booming perkebunan kelapa sawit, terjadi pula perkembangan varian
etnis. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa secara umum Melayu merupakan
kelompok etnis terbesar yang mendiami wilayah mulai dari pesisir hingga pedalaman,
terutama dititik lanskap kuno. Beberapa peristiwa besar era republik, diasumsikan
merupakan sumbangan penting terhadap gerak penduduk menuju wilayah eks
kewedanaan Bagansiapiapi ini; seperti peristiwa Bagansiapiapi 1946, PRRI tahun 1958,
peristiwa 1965 dan terakhir adalah reformasi yang berbuah otonomi daerah ditahun
53Lihat C. Hoshour, “Resettlement and the politicization of ethnicity in Indonesia” In: Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 557-576.
40
1999. Selain itu, gerak perekonomian danbangke merupakan daya tarik tersendiri bagi
pelaku perdagangan di jalur Selat Melaka yang juga menjadi daya tarik bagi migran.
Perfoma varian penduduk tampak dari lapisan birokrasi yang meskipun didominasi
Melayu, juga menunjukkan heterogenitas dalam skala terbatas; kemudian para pelaku
perdagangan di seantero pasar rakyat, atau juga dalam pagelaran pasar pekan di
wilayah ini, orang-orang dari Sumatra timur laut dominan sebagai pelaku dalam gerak
mobile yang cukup tinggi. Di kota utama, Bagansiapiapi, terdapat lebih 80 varian
etnik54 yang didominasi beberapa etnis; mulai dari Melayu, Jawa, China, Batak dan
sejumlah Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang; meskipun tampilan pusat
kota merupakan pecinan sebagai warisan dari masa lampau. Sementara tarikan pusat
pemerintah ke wilayah sebelah selatan, Bagan Punak, merupakan refleksi elit
pemerintah dalam suatu upaya menempatkan kharakter dasar Melayu, Islam, dimana
wilayah ini sekarang dikenal dengan sebutan “Negeri Seribu Kubah.” Suatu tampilan
upaya penguatan identitas di era otonomi daerah. Pada era awal penempatan ibukota
kewedanaan Bagansiapiapi, Belanda, diketahui hadir dengan sejumlah polisi pribumi,
dan juga narapidana yang juga pribumi dan berasal dari berbagai wilayah. Dalam
sistem pemerintahan kolonial, maka lazim dikerahkan narapidana dalam suatu kerja-
paksa terutama untuk membuka lahan-lahan baru. Kemudian, ditahun 1911, diketahui
sejumlah tiga puluh orang pekerja dari Yogya tiba di Bagansiapiapi atas kemauannya
sendiri.55 Bahkan, keberadaan orang-orang Jawa di kewedanaan Bagansiapiapi telah
mencapai sekitar 500 jiwa di tahun 1930, akan tetapi luput dari catatan kolonial
tentang varian pribumi itu dilokus perkebunan.
54Dilihat dari BPS Kabupaten Rokan Hilir wilayah Kecamatan Bangko tahun 2011.
55Dalam suatu sumber disebutkan bahwa awal mula kedatangan orang Jawa ke Bagansiapiapi
bersamaan dengan dokter RM Pratomo (1911-an), yang berencana mendirikan Rumah Sakit
disana, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Dokter Pratomo bersama-sama dengan
E.C.A. Herbst, seorang mantan perwira Belanda berkebangsaan Jerman, banyak melakukan
kegiatan sosial, seperti memberikan pelatihan ketrampilan pada penduduk. Atas bantuan Kepala
Distrik (Hoofd district) saat itu, diberikanlah kepada “paguyuban” tersebut tanah pemukiman
diarah timur Bagan., yang menjadi cikal bakal Kampung Jawa di Bagansiapiapi.
41
Data diatas menunjukkan bahwa kondisi Bagansiapiapi sendiri hingga tahun 1917,
terdiri dari sejumlah 8800 orang China, kelompok dominan yang memiliki konsekuensi
logis atas perkembangan warna kota Bagansiapiapi itu sendiri, bahwa realita
kehidupan orang China adalah yang dominan di Bagansiapiapi. Mengenai komposisi
penduduk berdasarkan etnis ini, dapat dikatakan bahwa sejak awal Desa Nelayan
Bagansiapiapi terbentuk, ditinjau dari sisi etnik, masyarakat tidaklah homogen,
melainkan telah ada varian meskipun dalam perbandingan yang tidak seimbang.
Laporan Kolonial juga menunjukkan bahwa di Bagansiapiapi, tidak saja berdiam
Orang-orang China, melainkan juga kelompok Bumiputra, dalam jumlah ratusan;
Komunitas Pribumi ini juga terlibat dalam usaha perikanan jauh sebelum orang China
mendatangi wilayah ini. Hanya saja, usaha perikanan tersebut tidak dalam skala yang
sama dengan yang diupayakan oleh komunitas China, melainkan dalam skala terbatas.
Sensus Penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa di Onderafdeeling Bagansiapiapi
memiliki jumlah Penduduk sebanyak 43.467 jiwa, dengan rincian; Bangko sejumlah
25.355 jiwa; Tanah Putih sejumlah 7.500 jiwa dan Kubu sejumlah 10.782 jiwa. Adapun
56salah satu tulisan terpenting tentang Perikanan Bagansiapiapi adalah seperti yang dilakukan
oleh B..J.Haga, dalam “De Beteekenis Der Visscherij Industrie Van Bagan Api Api en Hare
Toekomst” yang dipublikasikan Tahun 1917 dalam jurnal De Economist Januari 1917 (66: 237-
262). Tulisan ini secara rinci menggambarkan keterkaitan antar elemen dalam suatu industri
perikanan, seperti alat produksi, transportasi, kebijakan penguasa kolonial terhadap garam,
kondisi penduduk dan perhitungan ekonomi produksi – industri Bagansiapiapi. Tulisan yang
terdiri dari delapan bab ini merekomendasikan hal yang menjadi dasar penyusunan kebijakan
pemerintah kolonial dalam menangani Industri perikanan tersebut era Bank Bagan Madjoe.
43
di Bagansiapiapi sendiri, pada saat itu jumlah pemukim China diperkirakan sejumlah
13.000 jiwa, dimana penduduk Bagansiapiapi sendiri mencapai hampir 15.321 jiwa;
3266 diantaranya adalah inlanders (Bumiputra), 28 jiwa adalah orang Eropa, 11.998
jiwa adalah orang Cina dan 29 jiwa adalah orang yang termasuk golongan Timur atau
Asia lainnya.57 Untuk jelasnya, dapat dilihat pada Tabel berikut:
Sub- Tahun 1920 Tahun 1930
Distrik Erp Prib Chi Total Erp Prib. Chin Total
Bangko 10 7.266 8.421 15.697 28 12.232 13.066 25.326
trmask Bagan
siapiapi
Tanah Putih - 4.546 103 4.749 - 7.305 191 7.496
Data diatas belum termasuk sejumlah orang yang dikategorikan sebagai orang Asia
lainnya, yakni sejumlah 50 orang yang tersebar di subdistrik; Bangko sejumlah 5 jiwa,
Tanah Putih sejumlah 3 jiwa, Kubu sejumlah 13 jiwa dan ibukota Bagansiapiapi
sejumlah 29 jiwa. Laporan Volkstelling 1930 juga memisahkan penduduk ibukota
Bagansiapiapi, dengan subdistrik Bangko, yakni: Dengan demikian, penduduk
subdistrik Bangko diluar ibukota Bagansiapiapi adalah; Pribumi sejumlah 9.006 dan
orang China sejumlah 1.068 jiwa. Tingginya jumlah penduduk China di Bagansiapiapi
yang mencapai 78,3%; kondisi itu bukanlah merupakan gejala umum, sebab di daerah
lain situasinya akan berbeda. Dengan statistik seperti ini, tidak mengherankan
Bagansiapiapi tak ubahnya seperti sebuah China Town di Kawasan negeri Melayu.
Tidak hanya di Bagansiapiapi terdapat penduduk China, di Tanah Putih, jumlah orang
Cina yang berdiam disana sekitar 200-an jiwa. Adapun di Panipahan-Kubu, orang Cina
jumlahnya mencapai 3000-an jiwa. Orang Melayu pada saat itu berjumlah sekitar
27.000 jiwa atau sekitar 60 persen dari total populasi. Sebagaimana populasi orang
China di Hindia Belanda, yang biasanya di daerah di luar Jawa, terdiri dari Kaum
Singkeh atau Totok,58 begitu pula orang China yang bermukim di Onderafdeeling
Bagansiapiapi.
Pertumbuhan kota Bagansiapiapi, jelas merupakan cerminan perkembangan varian
etnis, ras, sesuai dengan kepentingan perkembangan kota; bahkan perayaan kota ala
pemerintahan Hindia, merangkum berbagai varian etnis untuk terlibat didalamnya.
Pasca pendudukan Jepang, lazim ditemui dalam catatan ataupun laporan tentang
varian etnis yang terdapat terutama di kota Bagansiapiapi, tentunya, selain dari orang-
orang China sebagai pelaku utama industri perikanan. Kita kembali menuju pada
masa lampau di Bagansiapiapi sebelum didatangi oleh pelaku industri, orang-orang
China dan kemudian, Belanda; terdiri atas orang-orang Melayu yang terdapat pada
tiga kenegerian (Sub-Distrik); Bangko, Tanah Putih dan Kubu. Penduduk Pribumi pada
onderafdeeling Bagansiapiapi, dikatakan oleh Baalbergen;59
penduduk dari seluruh sub-distrik Bangko, kawasan pantai ke perbatasan
Sungai Daun terus ke Hiir Labuhan-Bilik, Tanah Putih-ke-Rantau Bais, mereka
menganggap dirinya sebagai ras dari aristokrasi kesultanan Siak. Halnya
dengan penduduk Melayu di desa-desa pesisir Kubu, mereka menganggap
dirinya sebagai penghuni asli Kubu. Orang melayu adalah orang laut dan
nelayan, berkaitan dengan penduduk asli pada onderafdeeling, memiliki lebih
banyak kontak dengan Labuhan-Bilik dan Tanjung Balei, Onderafdeeling
(khususnya-Tanah Putih), Rantau Bais yang merupakan perkampungan yang
memanjang ke hulu, dihuni oleh orang Tambusai, yang bermigrasi dari
daerah Rokan. Orang Benai di Bagan-Senembah yang merupakan bagian dari
Sub-distrik Kubu.
Data sebelum abad ke-20, bahwa penduduk sub distrik Tanah Putih berjumlah ±700
jiwa, dimana sejumlah ±150 terdapat di desa Tanah-Putih yang menghuni ±60
rumah. Perkampungan terlihat cenderung berada di tanah yang rendah, dan
beberapa orang China telah menetap di sana guna membeli hasil hutan. Hijman van
Anrroij mengemukakan bahwa populasi Bangko seluruhnya terdiri dari satu suku yang
berasal dari Aceh, bahkan lebih jauh; ia mengatakan dapat terihat dari
pengamatannya atas orang Bangko yang menunjukkan setipe dengan orang Aceh:
suatu entitas melalui interaksi asimilasi dengan penduduk asli. Disini dapat ditemui
beberapa rumah, namun, penduduk disini hidup (menetap) dan berladang, dan bukan
dalam kehidupan nomaden(berpindah/ tidak menetap). Bangko, negeri ini memiliki
populasi yang mencapai 1.000 jiwa, sementara Rijn van Alkemade mencatat
penduduk Labuhan Tangga mencapai 150 jiwa yang mendiami lebih 60 rumah tinggal.
Untuk Kubu, pada kurun 1880-an, wabah-kolera berdampak pada penurunan jumlah
masyarakat Kubu; seluruh keluarga merupakan sasaran wabah penyakit, dan dikenal
dengan nama dari penjakit tahunan, sehingga jumlah jiwa yang tersisa hanya ±1200.
Populasi ini sebagian besar terletak di daerah rendah, dekat Sungai Kubu, di jalan lain
di Selat Melaka yang diketahui memimpin dirinya sendiri, kecuali di Sungai Daun
dimana dapat ditemui suatu kehidupan orang China, yang melakukan kegiatan
penangkapan dan pengeringan ikan. Lokasi Kepala dari permukiman Cina tersebut
berada di Sungai Panipahan.
59
Controleur Baalbargen, MVO Bagansiapiapi tanggal 14 Mei 1931, Hal 12
45
3
Rekonstruksi Ruang
kekuatan angin muson, akibatnya, port pada kedua tepi selat secara historis bersaing
untuk meraih status sebagai entrepot terkemuka di kawasan ini. Bukti untuk rivalitas
ini sebagai bursa awal, disediakan oleh penelitian terbaru terhadap perdagangan
manik Indo-Pasifik, yang telah menunjukkan bahwa Asia Tenggara dan India sudah
menjadi mitra perdagangan penting di masa sebelum Masehi, yang sering dianggap
sebagai awal Indianisasi di Asia Tenggara. Di China, penjualan kargo dan pemuatan
pengiriman barang baru dapat diselesaikan pada waktunya untuk menangkap angin
muson timur laut yang bertiup lebih kencang; dan dengan unsur penarik yang lebih
konsisten dari China menuju Selat Melaka. Dengan mengandalkan angin tersebut,
Pedagang Arab dan Persia bisa membuat round trip sekali setiap tahun.62 Hingga
tibanya teknologi untuk melakukan pelayaran di laut terbuka banyak digunakan pada
abad pertama, sebelumnya, kapal cenderung berlayar dengan berpandu pada garis
pantai. Akan tetapi, bahkan ketika pelaut menguasai pelayaran di laut terbuka, kapal
terus saja setia dengan garis pantai karena keuntungan yang akan dibuat dengan
membeli dan menjual sesuatu dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya. 63
Sebuah rute laut awal, bertolak dari pantai timur India di sepanjang pantai Teluk
Benggala, kemudian Semenanjung Burma dan Thailand, atau wilayah Isthmian, dan
kemudian ke selatan ke bagian utara Semenanjung Melayu. Dari Kra-Isthmian dan
Pelabuhan utara Semenanjung Malaya, Kapal bisa terus melaju melalui Selat Melaka
ke Teluk Siam, atau mereka bisa membongkar barang-barang yang telah mereka
kapalkan untuk dialihkan melalui rute darat. Wolters berpendapat bahwa Selat
Melaka biasanya tidak digunakan oleh kapal-kapal yang datang dari barat di abad
pertama dan kedua Masehi.64 Penggunaan rute Transpeninsular65 meningkat pada
saat terjadi gejolak politik di selat. Jalur terpendek yang hanya enam puluh lima
kilometer di Tanah Genting Kra, akan tetapi terdapat pihak lain diantara Tanah
Genting Kra dan Kedah yang dapat disilangkan dengan sedikit kesulitan. Salah satunya
dari Kedah ke Songkhla, dan satu lagi dari Trang dibagi menjadi tiga cabang yang
berbeda yang mengarah ke Phattalung, Nakhon Si Thammarat, dan Bandon di Teluk
Siam. Rute dari Takuapa di pantai barat yang memandu untuk melintasi tanah genting
ke Chaiya, tetapi karena situasi politik, rute ini mungkin telah ditinggalkan pada
pertengahan abad ke-11 untuk lebih jauh ke selatan di Kedah.66 Pada berbagai waktu,
kekuatan pun bersaing di wilayah yang menggunakan rute berbeda di seluruh Tanah
Genting Kra dan Semenanjung Malaya. Paul Wheatley telah mengidentifikasi sebelas
rute yang membentang dari Tanah Genting Kra ke ujung selatan Semenanjung
Malaya.67 Beberapa rute yang lebih sulit daripada yang lain dan melibatkan berbagai
moda transportasi: perahu, rakit, gerobak, pak gajah, kuda, dan kerbau. Tergantung
62
Hourani, Arab Seafaring, 69–75; Flecker, Archaeological Excavation, 33, 37.
63 Leonard Andaya, 2008, hal.31.
64
Wolters, Early Indonesian Commerce, hal.34.
65 Rute yang meliputi Tanah Genting Kra menuju sebelah utara Semenanjung.
66 Lubeigt, “Ancient Trans-peninsular,” 50, 52–4, 61.
67
Wheatley, Golden Khersonese, xxvi.
47
pada musim dan rute yang digunakan, mengambil rute mana saja untuk dapat
melintasi tanah genting atau semenanjung, dengan waktu dari seminggu untuk sekitar
satu bulan, meskipun individu yang tanpa banyak muatan atau kargo bisa membuat
perjalanannya menjadi lebih cepat. Barang dikirim menggunakan rute Martaban /
Moulmein dengan Kokarit, maka lalu dengan menggunakan karavan menuju Three
Pagodas Pass dan Sungai Kwai. Barang-barang itu kemudian dimuat ke perahu atau
rakit, yang membawa mereka ke pelabuhan di Teluk Siam. Rute Tavoy disepanjang
Sungai Kwai ke Kanchanaburi dan ke Ayutthaya walau lebih pendek, akan tetapi jauh
lebih sulit. Hal itu terutama disebabkan pedagang harus menyeberangi serangkaian
pegunungan terjal dan lembah sebelum tiba di Sungai Kwai, dan barang diangkut
dengan menggunakan gajah atau kuli. Meskipun demikian, selama berabad-abad,
masalah transportasi melalui beberapa lanskap yang keras secara bertahap dapat
diatasi. Pada rute-rute ini ditemukan pos penjaga, rumah istirahat, dan kuil-kuil kecil
yang didedikasikan untuk dewa. Setiap sarana transportasi mulai kuli hingga
gerobak/kereta dengan tenaga hewan dapat disewa, dan pedagang asing yang
bermukim di di pelabuhan menjabat sebagai juru yang menyediakan informasi
tentang bisnis, jenis transportasi, jalan, Penginapan, dan bahkan rute alternatif dalam
masa perang.68 Ini akan menjadi kepentingan pemerintahan pada kedua ujung rute
untuk menjaga keamanan dari ketentuan tersebut untuk menjamin arus perdagangan
barang atas tanah mereka. Bukti dari Buddha China: It-Shieng menunjukkan bahwa
Sriwijaya mungkin telah terlibat dalam urusan di Kedah menjelang akhir abad ke-7,
pada saat ekspansi Sriwijayan. Abad ke-8, prasasti Ligor di Nakhon Si Thammarat
menegaskan keterlibatan ini.69 Kedah dan Ligor adalah termini dari rute
Transpeninsular dan jelas masih cukup penting untuk menjaminnya dengan
peningkatan kekuatan Sriwijayan. Alternatif untuk jalur darat adalah semua-rute
laut, yang pada abad sebelumnya juga punya masalah. Berlayar sejauh delapan ratus
kilometer melalui Selat Melaka memerlukan waktu sekitar satu bulan, dan kondisi
angin yang berubah-ubah akan sering menyebabkan penundaan pelayaran. Akan
tetapi penghalang utama untuk menggunakan rute ini bukanlah masalah angin saja,
melainkan suatu ancaman bahaya untuk suatu pelayaran di laut disepanjang rute
perdagangan. Ancaman itu berasal dari Orang Laut, yang menghuni pulau-pulau dan
pantai di pintu masuk selatan ke selat yang terkenal berbahaya dan biasa memangsa
kapal-kapal yang melintas. Bahkan jika kapal selamat dari serangan tersebut, masih
harus menghindari beting berbahaya, gumuk pasir, dan pulau di perairan di sebelah
selatan Singapura. Oleh sebab itulah untuk keamanan dan kenyamanan, pedagang,
diplomat,dan pejabat lainnya di abad sebelumnya lebih suka menggunakan jalur
darat. Selama periode berikutnya ketika semua rute laut pada umumnya lebih disukai,
setiap pergolakan politik di Selat Melaka dengan hasil peningkatan kegiatan
pembajakan, memaksa pedagang untuk menggunakan rute Transpeninsular.
Suatu ketika diantara abad ke-5 hingga ke-7, telah terjadi pergeseran dalam
kepentingan relatif dari jaringan perdagangan maritim. Sampai abad ke-5, China telah
menerima barang dari negeri-negeri ini ke barat, serta produk-produk eksotis dari Asia
Tenggara. Mereka datang melalui Laut jaringan Melayu, dengan termini timurnya di
salah satu pelabuhan lembah Mekong milik kompleks budaya Oc Eo dan di beberapa
pelabuhan Cham di Vietnam tengah. Pergolakan di China utara dan pergeseran yang
dihasilkan dalam kekuasaan politik di selatan mendorong perkembangan perdagangan
maritim China. Dalam mencari sebuah bagian yang lebih aman untuk barang-barang
yang sebelumnya telah datang dari daratan melalui Asia Tengah, kerajaan di China
selatan mulai menggunakan rute maritim menggunakan kapal laut asing. Meskipun
China memiliki kapal besar, mereka terutama ditujukan untuk sungai dan transportasi
danau. kapal utama yang membawa barang ke dan dari China disebut kunlun bo atau
"kapal kunlun."70 Manguin telah menunjukkan bahwa beberapa fitur dari kunlun bo
dijelaskan dalam era China dari abad ke-3 dan lainnya dari abad ke-8 masih
dipertahankan oleh pembuat kapal di pulau Asia Tenggara. Hal ini sangat mungkin,
karena itu, bahwa orang-orang di sepanjang Selat Melaka, termasuk Sriwijaya dan
pendahulunya, berpartisipasi sebagai operator pada kunlun bo mereka.71
Pada abad ke-7 yang disebut sebagai kapal kunlun datang setiap tahunnya ke
Guanzhou dan Ton King. Seorang Budhis China- Yijing, yang mengunjungi Sriwijaya dan
Melayu pada akhir abad ke-7, membuat perbedaan antara kunlun tersebut, juga
penduduknya yang ia digambarkan sebagai gelap dan berambut keriting, 72 lebih
wajar dari penduduk negara-negara lain di Asia Tenggara.73 Penjelasan ini tampaknya
merujuk kepada penduduk pulau-pulau dan lebih khusus untuk Orang Laut. Dalam
sumber-sumber China abad ke-15, kunlun disewa untuk memandu kapal-kapal China
melalui wilayah tersebut dan keluar ke Samudera Hindia, Praktek juga diikuti oleh
Portugis di abad ke-16.74 Sementara tugas-tugas ini biasanya dilakukan oleh Orang
Laut, Kunlun digunakan lebih umum pada abad ke-7 untuk merujuk kepada orang-
orang di pulau-pulau dan penduduk di sepanjang Selat Malaka, dengan siapa China
telah sebagian besar kontak dalam periode awal ini. Meningkatnya penggunaan rute
laut memungkinkan disukainya pelabuhan selatan di selat karena pintu masuk selatan
adalah "titik akhir" dari muson timur laut, yang memberikan daya tarik yang kuat bagi
para pedagang yang berasal dari China dan tempat lain di Asia Timur. Pendaratan di
suatu tempat di Sumatera Selatan membuat "pantai disukai" dan mendorong
70 Dalam suatu waktu di era lalu, orang China telah menggunakan “kunlun” untuk menunjuk
kebanyakan prominent dari masyarakat Asia Tenggara; termasuk Malayu.
71
Manguin, “Southeast Asian Ship,” 274–5; Manguin, “Trading Ships,” 258–63.
72 Ada yang menarik, bahwa Yijing juga mencatat bahasa yang digunakan di Sriwijaya sebagai
bahasa Malayu Kulon, yang digunakan oleh Ptolemy diabad ke-2; suatu identifikasi Melayu sejak
periode awal masehi.
73 Wolters, Early Indonesian Commerce, 153, 199–200; Yijing, Record of the Buddhist Religion.
74
Wade, “Ming Shi-lu,” 353.
49
hingga 8,4 kg champor dapat dikumpulkan dari setiap pohonnya, dan 1 pikul (56 kg) champor
bernilai hingga ribuan guilders;. Zeijlstra, “Boschproducten,” 826. Selain itu disebabkan,
pengiriman yang terbatas ke China, India dan Asia Tengah pada abad ke-6 membuat nilainya
tetap terjaga tinggi.
80 Wolters, Early Indonesian Commerce, 118–9; Ptak “Possible Chinese References,” 138;
antara Singkel dan Air Bangis. Begitu pula pohon benzoin yang memiliki kondisi yang
sama dengan kamper. Ditemukan di utara Padang Sidempuan diseputaran Tarutung;
Dapat diasumsikan bahwa pengumpulan kamper dilakukan secara tradisional dibawah
pimpinan seorang pawang. Beberapa meyakininya bahwa pengiriman kamper dimulai
selambatnya pada abad ke-8 atau ke-9. Peningkatan permintaan untuk kamper dan
benzoin dengan pelakunya Sriwijaya, dominan pada entreport selat antara abad ke7
dan ke-11. Inskripsi Ligor bertahun 775 mengindikasikan ekspansi kekuasaan Sriwijaya
di sepanjang Selat. Berkemungkinan motivasi terpenting ekspansi ini adalah kontrol
atas persediaan kamper Tanah Genting Kra dan Semenanjung. Laporang dinasti Liang
yang berkuasa di China dari tahun 502 hingga 556 menyebutkan bahwa kamper
datang dari Funan dan langkasuka. Funan dipastikan mengimpor Kamper dan
mendistribusikannya sejak tidak lagi memproduksi varian dryobalanops aromatic dan
membawanya ke China. Pengaruh Sriwijaya di semenanjung telah melindungi ekspor
lebih jauh dari kamper ke pelabuhan di Lembah Mekong. Bagaimanapun juga,
berkemungkinan Sriwijaya berhasil memonopoli penjualan kamper dan benzoin
diwilayah ini pada abad ke-8. Dimana sumber utama Sriwijaya bagi produk Kamper
dan benzoin adalah pada hutan-hutan di barat-laut Sumatra. tersedia rute dari hutan
ini menuju Sriwijaya; menuju Padang Lawas via Sipirok dan lembah Batang Toru. Ada
sedikit bukti bahwa Padang Lawas pernah menjadi pemukiman besar, akan tetapi
mungkin telah menjadi suatu pusat perdagangan yang terhubung dengan arah barat-
laut dari area produksi ke pantai timur Sumatra. Dari sini terdapat rute langsung
menuju Barus, sama dengan dua alternative rute di arah selatan. Satu dari rute arah
selatan melalui Padang Sidempuan meuju lembah Batang Angkola, sementara lainnya
melalui dekat Sibuhuan di padang Lawas melintasi pengunungan di Lembah Angkola
dekat Si Abu. Dari lembah Angkola rute arah selatan berlanjut melalui Bonan Dolok
ke Penyabungan dan Hutanopan di lembah Batang Gadis. Ini berarti melintasi
pegunungan didekat Muara Sipongi menuju Rao. Dari Rao seseorang dapat langsung
menuju Muara Takus di lembah Batang Mahat, anak sungai dari Kampar Kanan. Akan
tetapi, lebih sering digunakan rute melalui lembah Batang Sumpur, anak sungai Rokan
melalui Tanjung Medan dan juga Lubuk Sikaping via Bonjol menuju wilayah
Minangkabau.81 Batak seringkali mengirimkan produknya ke Minangkabau, yang
mana melengkapi perjalanan melintasi negerinya menghilir ke Melayu di Sriwijaya.
Produk lain yang diinginkan yang menarik Tionghoa adalah kayu gaharu, rotan,
mutiara, dan rumput laut yang dapat dikonsumsi. Melemahnya dinasti di China pada
abad ke-6 menyebabkan penurunan dalam permintaan untuk barang-barang impor
dan mungkin telah berkontribusi terhadap kematian Khan-to-li, yang terakhir
disebutkan oleh orang China di tahun 563. Pada awal abad ke-7 sebuah toponim baru,
"Melayu," muncul dalam jadwal dari utusan China yang dikirim kadang-kadang antara
tahun 607 dan 610 Masehi oleh kaisar Sui ke “komunikasi yang terbuka” dengan Asia
Tenggara. Kemudian pada tahun 644 dari tempat yang disebut Melayu; mengirim misi
81
Leonard Andaya, hal.148-150
52
82 Di dalam kitab Sejarah Dinasti T‘ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kalinya disebutkan
datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke negeri China pada tahun 644-645 Masehi (Pelliot
1904:324- 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang berlokasi di
pantai timur Pulau Sumatera, dan pemerintahannya berada di sekitar Jambi.
83 Wang, Nanhai Trade, 96; Wolters, Early Indonesian Commerce, 230, 235.
84
Geoffrey Wade, dalam Andaya.
85
Wang, Nanhai Trade, 96; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 66 fn 18.
86
Wolters, Fall of Srivijaya, 45, 194 fn 9; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua,66 fn 18.
87 Banyak ahli sependapat bahwa nama Malayu menunjukkan suatu ekspedisi obyektif, hanya
saja, terdapat juga yang melihatnya sebagai “tidak jelas, apakah ini menunjuk pada politi Melayu
di Jambi atau area yang lebih luas di Sumatra sebagai Melayu. Who knows?
88 Berg, “Pril Majapahit I,” 485; Casparis, “Sriwijaya and Malayu,” 247–8.
89
Berg berpendapat bahwa pengiriman Amoghapasa Buddha menuju Dharmasraya ekuivalen
dengan kehadiran seorang putrid suci dari Tapasi ke Champa. Dalam kedua kasus ini,
menyimbolkan sebuah transfer kekuatan sakti. Berg, “Pril Majapahit I,” 501; Berg “Pril Majapahit
II, 195.
53
bahwa Adityawarman betul-betul memerintah atau menuntut kuasa atas seluruh bagian barat
54
kompleks candi yang juga diperkirakan sezaman, candi di kompleks Padang Lawas.
Penanggalan dicandi-candi Padang Lawas, menunjukkan angka 1175 Caka yang sama
dengan 1235M, dan yang lebih tua menunjukkan tahun Caka 1101 yang setara dengan
1179M. Bahwasanya juga, situs-situs candi ini didirikan pada era yang sama dengan
candi Muara Takus dialiran sungai Kampar; akan tetapi, Krom meyakini pendapat yang
berbeda, bahwa Muara Takus didirikan jauh sebelumnya; pada tahun 825M. Melihat
penanggalan pada candi Padang Lawas, spekulasi berkembang tentang pendirinya;
dimulai oleh Chola dari India Selatan yang melakukan penyerangan ke Sriwijaya, Panei,
Lamuri ditahun 1024-5; sebuah kemenangan gemilang atas wilayah Panei di Padang
Lawas, dan sang Raja penakluk memerintahkan pembangunan candi. Sayangnya,
terdapat kesenjangan yang cukup panjang antara kedatangannya ke lembah Padang
Lawas itu dengan angka yang tertera di candi. Jika benar, maka berkemungkinan
pendirian candi-candi berikutnya dilakukan oleh keturunan penerusnya. 94 Akan
tetapi, tampilan candi mengindikasikan bahwa disuatu periode pra-Islam, di kawasan
ini bermukim orang-orang Hindu-Budha, meski hanya sedikit saja informasi yang
diketahui; model arsitektural dan kesenian yang ada menunjukkan pengaruh dari asli
Sumatra, Jawa dan juga Tamil; selain juga dari timur tengah antara abad ke-10 dan 14
Masehi. Semula situs Panei ini diperkirakan menghilang seiring dengan runtuhnya
Majapahit, namun dalam surat raja Aceh ditahun 161595 menunjukkan tidak
memudarnya eksistensi Panei, meski berstatus sebagai dependensi. Meskipun
demikian, dalam upaya menapak lebih dalam ke lanskap dialiran sungai Rokan, ada
baiknya kita menarik lebih lebar rentang telaah, tidak saja meliputi situasi di selat
Melaka sebagaimana telah sampaikan, juga melihat ke arah pedalaman; situs yang
terkait dengan keberadaan lanskap-lanskap di pesisir timur Sumatra, terutama
dibentangan antara aliran sungai Panei dan Rokan; dan ini berarti kita akan melihat
kepada salah satu sumber peradaban kuno Sumatra; Pagaruyung, yang tentu dalam
kaitannya dengan Panei.
dan tengah pulaunya, termasuk Melayu yang artinya berkemungkinan saja sama dengan
Sriwijaya ataupun Sumatra, lihat dalam Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at
Barus, Indonesia: a rediscovery, 1998. Hal ini juga menunjukkan bahwa candi itu tetap bertahan
setidaknya hingga era berdirinya Pagaruyung 1347-1375
94 Meuraxa, Kerajaan Melayu Purba, 1971, hal.12-15.
95
Peret, hal.124.
55
kerajaan Rokan di pedalaman seperti di Kotalama,96 atau juga situs kerajaan Rokan
yang terletak dikawasan hilir sungai Rokan pada era sesudahnya. Letak situs candi
yang berada di hilir pertemuan anak sungai rokan kanan dan rokan kiri, diyakini
merupakan sebuah bahagian entryport dengan pintu keluarnya menghadap selat
Melaka. Sebelumnya, diketahui bahwa Panei telah menjalin hubungan dengan
Sriwijaya sebagai pemasok Kamper, bahkan kemudian Pagaruyung, hingga akhirnya
era Melaka dan Johor yang bersamaan dengan invasi Aceh, mengkondisikan bahwa
sejak era perdagangan Sriwijaya dengan Panei dimana Kamper dan benzoin sebagai
produk primadona, maka diyakini situs-situs di hulu sungai Rokan bersinggungan atau
setidaknya merupakan salah satu rute perdagangan dari pedalaman melintasi
pegunungan, dan atau menuju Selat; dan ini merupakan poin penting bagi upaya
melihat kembali kehidupan disepanjang aliran sungai Rokan. Selain itu, pentingnya
juga melihat peranan Pagaruyung dan Panei, disebabkan ini merupakan suatu fase
pasca Sriwijaya dan sebelum hubungan Rokan dengan Melaka sebagaimana terdapat
dalam SEJARAH MELAYU, suatu masa pra-Islam di aliran sungai Rokan, dan dipercaya
juga, bahwa periode ini merupakan periode Melayu yang diwariskan oleh Sriwijaya
sebelum menyebarnya Islam di politi-politi Rokan.
Berdasarkan lokasi dari tiga puluh prasasti yang dikeluarkan oleh Adityawarman
antara tahun 1347-1375, adalah pemerintahan yang mungkin telah diperluas dari
tepian Sungai Sinamar dimana Buo berada, Sungai Selo, situs Pagaruyung dan
Suruaso.97 Prasasti pertama Adityawarman ditahun 1347 mengacu pada
penyelesaian sebagai Melayupura, atau "kota (yang) Melayu," mengindikasikan
bahwa pemerintahan itu sendiri dikenal sebagai “Melayu.” Dalam prasasti yang sama
ia diberikan gelar tradisional yang digunakan di Sriwijaya dan Melayu. 98 Prasasti
terakhir bertahun 1375 menambahkan gelar lebih lanjut “Kanakamedinindra”,
dimana diyakini hal ini identik dengan Suvarnadvipa (pulau emas), sebuah nama kuno
untuk Sumatra.99 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Adityawarman
menganggap dirinya sebagai bagian dari kontinum Sriwijaya dan penguasa Melayu
yang pusatnya telah berpindah dari pantai ke hulu sungai Batang-Hari dan akhirnya
ke dataran tinggi Minangkabau. Hanya untuk alasan itulah sudah tepat bahwa ia
menganggap gelar Kanakamedinindra sebagai Tuan Sumatera (lord of Sumatera).
Sesuai dengan tradisi Sriwijaya dan Melayu, Adityawarman Sebagai datuk dari Melayu,
berusaha untuk menarik dan mempertahankan kesetiaan rakyatnya melalui
demonstrasi kecakapan spiritual. Sepanjang masa pemerintahannya, diciptakan
gambaran untuk menekankan pada kualitas supranatural.100 Patung megah besar
96 Kerajaan Rokan, terdapat juga yang memperkirakan eksis pada abad ke-15 dilihat dalam
kaitannya sebagai kerajaan mitra Melaka;. Lihat Wan Saleh Tamin, 1972, hal.13.
97 Krom, Hindoe-Javaansche, 393–4; Westenenk, “Opstellen II,” 261–2.
98
Coedes, Indianized States, 232; Kern, Verspreide Geschriften, vol. VII, 172.
99 Kern, Verspreide Geschriften, vol. VII, 219; see also Krom, Hindoe-Javaansche,413.
100 prasasti tahun 1347 menyebutkan upacara Tantra Buddha menampil-ulangkan peluncuran
patung Amoghapasa di lokasi baru di Suruaso, dan memperingati inisiasi Adityawarman sebagai
56
Light,” 87.
104
Dobbin, Islamic Revivalism, 60–2.
57
tersedianya kapur barus dan benzoin dari hutan di kawasan sekitar Danau Toba di
Sumatera Utara, Rao di Minangkabau, kemudian ke hulu Sungai Jambi, dan akhirnya
keluar ke Selat Melaka melalui aliran penyaluran di Jambi atau Palembang.105 Kuil-kuil
dan patung yang ditemukan di Padang Lawas mengungkapkan bahwa tempat itu
dihuni oleh penganut Vajrayana Tantra Buddhisme, Siva, dan dari sinkretisme Siva-
Buddha. Pada salah satu kuil adalah tubuh dari Ratu diyakini ditahbiskan sebagai
Bhairawi. Di antara temuan lainnya adalah gambar langka Heruka, Dewa yang jarang
digambarkan dari Tantra Vajrayana Buddhisme, mengenakan kalung tengkorak
manusia dengan rambut berapi dan hiasan kepala yang berisi Bodhisattva Aksobhya.
Penemuan ini umumnya diyakini berasal dari abad ke-13 dan ke-14, meskipun
beberapa diantaranya lebih cenderung dalam jangkauan yang lebih tua; dari abad
ke-11 hingga ke-14.106 Bukti kehadiran Tantra Buddhisme dan kultus Bhairawa di
Padang Lawas menunjukkan afinitas budaya yang kuat dengan Melayu
Adityawarman. Afinitas tersebut akan juga telah diperkuat melalui pengaruh yang
datang dari selatan. Para ahli telah menunjukkan bahwa pengaruh Jawa pada seni,
bahasa, dan gaya penulisan dari bagian selatan Sumatera secara bertahap meningkat
pada awal abad ke-10 dan diperpanjang sejauh sebelah utara Padang Lawas.107 Panei
telah cukup penting pada abad ke-11 setelah menjadi salah satu dari kelompok-
kelompok mandala Sriwijaya yang diserang oleh Chola. Pada abad ke-14, Panei pun
berkembang menjadi sebuah entitas mandiri yang kuat, dan bahkan mungkin saja
menjadi saingan Melayu Adityawarman. Untuk alasan inilah arkeolog Satyawati
Suleiman percaya bahwa penempatan prasasti Adityawarman itu di Lubuk Layang di
distrik Pasaman, di perbatasan antara pemerintahan Melayunya dan kompleks
Padang Lawas, dimaksudkan untuk melindungi perbatasan terhadap suatu invasi. 108
Ditegaskan oleh Andaya, bahwa meskipun Panei dan Melayu berbagi warisan sejarah
yang sama dari Sriwijaya dan Melayu, pada abad ke-14 mereka mulai menganggap
satu sama lainnya sebagai saingan. 109 Dalam mencari keuntungan ekonomi dan
politik, masing-masing akan berusaha untuk menekankan perbedaan daripada
kesamaan, hasilnya; sebagai tampak di era terkini.
menjelang akhir abad ke-14.110 Disini kita tidak mempersoalkan asal-usul Melaka ini,
hanya saja seorang Pangeran dari Palembang nampaknya melarikan diri sewaktu
terjadinya serangan Majapahit ditahun 1377 dan akhirnya tiba di Melaka sekitar tahun
1400. Di tempat ini, sang pangeran yang bernama Prameswara menemukan tempat
sebagai pelabuhan yang baik dimana seluruh kapal-kapal dapat berlabuh disegala
musim, dan Melaka sendiri terletak dibahagian paling sempit dari Selat Malaka.
Dengan bersekutu dengan para orang laut, ia memaksa kapal-kapal yang melintas
disana untuk menggunakan pelabuhannya, dan iapun mencukupi kebutuhan kapal-
kapal tersebut, dan ini menjadikan Melaka segera menjadi pelabuhan internasional
yang besar, sekaligus juga sebagai pelabuhan transit. Sebagaimana dalam Sejarah
Melayu, Sri Tri Buana kemudian bermukim di pulau Temasek. serta mengganti nama
itu menjadi Singapura. Hingga kematiannya, ia digantikan oleh putranya; Singapura
tumbuh berkembang, makmur, dan ketenarannya ini mengundang kompetitornya
untuk memeranginya; Ayutthaya atau Siam. 111 Sementara itu, Pasai yang juga
berkembang di timur laut pesisir Sumatera, ikut menderita sebagai akibat serangan
yang dilakukan oleh orang-orang Siam. Dalam Sejarah Melayu, bahkan penguasa
Samudera Pasai ditahan oleh penguasa Sharu'n-nuwi.112 Bukti serangan Siam ke dunia
Melayu dikuatkan dalam catatan Ming Shi-lu bertanggal 20 November 1407: Raja-raja
dari kedua negara Samudera dan Melaka juga mengirim orang untuk mengeluhkan
bahwa Siam dengan sombong telah mengirim pasukan untuk mengambil segel dan
gelar yang telah mereka terima dari Kerajaan. Mereka juga mencatat bahwa orang-
orang di negara mereka merasa takut dan tidak mampu tinggal dalam kedamaian. 113
Kelanjutannya, dInasti Ming nampaknya menjalin hubungan yang lebih dekat dengan
politi-politi dilingkungan selat Melaka hingga pertengahan abad ke-15 (tahun1434);
Bukti hubungan ini, pada tanggal 11 November 1405, Kaisar memberikan kepada
Melaka prasasti yang disusunnya sendiri untuk ditempatkan di bukit Melaka (sekarang
Bukit China). Hanya tiga negara lain diberi simbol kehormatan oleh Kaisar; Jepang
pada 1406, Brunei pada tahun 1408, dan Cochin pada tahun 1416.114 Keinginan China
untuk menemukan pusat perdagangan yang nyaman di selat dan perjalanan yang
aman ke India bertepatan dengan harapan Melaka sendiri untuk menjadi sebuah
110 Meskipun banyaknya tradisi memiliki banyak varian kisah dalam Sejarah melayu, awal mula
kisah ini sebagaimana terdapat diabad ke-15, sebagaimana “Raffles 18” yang menggunakan
sumber manuskrip tahun 1612. Untuk jelasnynya, lihat Roolvink, “Variant Versions.” Halnya
Sejarah Melayu versi Raffles 18 dapat dilihat dalam Cheah, SejarahMalayu. Penulis yang juga
melihatnya sebagai Sulalatu’l-Salatin atau dalam Malayu Penurunan Segala Raja-Raja (The
Genealogy of Kings). Roolvink meyakini bahwa apa yang diketahui sebagai Sejarah Melayu
bermula pada pengkronologisan raja-raja berdasarkan waktu, akan tetapi, kemudian, unsure
waktu tidak lagi dominan melainkan diwarnai juga dengan beragam tempat dalam kurun berbeda
yang menunjukkan juga varian versi.
111
Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 232.
112 Brown, Sejarah Melayu, 35–6.
113 Wade, “Ming Shi-lu,” 413–4.
114
Andaya, 2008, hal.69.
60
115
Ini merupakan varian model dari Bronson, dimana ia melokasikan port utama sebagai
disepanjang pantai; Bronson, “Exchange,” hal.42. Meskipun demikian, Sumatra menyediakan
sebuah landasan bagi modelnya, bahwa pemukiman di selatan Sumatra berlokasi jauh
dipedalaman disebabkan kondisi mangrove di sepanjang pantai. Begitu pula Miksic yang
meyakini bahwa situs utama adalah tempat dimana gelombang tidak mengancamnya; pohon
nipah (sebagai sumber pembangunan dan juga makanan) dapat berkembang, dan kapal besar
tidak dapat menjangkau lebih kepedalaman tersebab dangkalnya perairan. Lebih jauh, seperti
kota-kota “hilir” ataupun situs Hindu Budha yang ditemukan terletakjauh ke pedalaman, seperti
Palembang di Sungai Musi; Jambi di sungai Batang hari, Rengat di sungai inderagiri, Muara takus
di Pedalaman Kampar, dan situs Sintong di pedalaman Rokan.
61
116
Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak
menurunkan Raja Ibrahim.
117 Raja Ibrahim yang merupakan raja keempat dari Kesultanan Melaka dan bergelar SRI
awal, akan tetapi kisahnya terpelihara dalam memori kolektif lanskap hingga era
terkini. Bahwa lokusnya di pesisir yang dipenuhi dengan suburnya mangrove dan kaya
akan ikan, praktek mata pencaharian lanskap di pantai dengan yang salah satu
teknologinya menggunakan alat tangkap ikan jenis bubu atau jermal, merupakan
bentuk eksisnya teknologi hingga abad ke-19 yang diamati oleh para petualang China
yang baru-baru saja tiba di Muara Rokan; tepat diseberang sungai yang kemudian
berkembang dan dikenal sebagai Bagansiapiapi. Diyakini bahwa bagi Melayu yang
terkait dengan kosmopolitan perdagangan Selat; kemapanan dan upaya
pemeliharaan suatu basis perekonomian adalah perkara yang dapat berlangsung
berabad lamanya; hingga suatu periode memperoleh benturan besar dari perubahan
peradaban yang mampu mengubahnya secara radikal. Politik di Selat dapat saja
berubah menjadi ancaman mematikan, terutama terhadap lanskap yang berada
digaris pantai, sebagaimana dikatakan rentan terhadap serangan-serangan dari
seberang lautan. Walau begitu, teknologi mata pencaharian yang merupakan basis
perekonomian, dapat saja bertahan kukuh dalam memori penduduk yang telah
beralih kedalam bentuk politi yang berikutnya; sebagai salah satu pewarisan kultur
perekonomian di lanskap yang hadir kemudian.
Bahwa jejak memori kolektif dihilir sungai Rokan yang nampaknya merekam
kemegahan sebuah bandar yang ramai disinggahi kapal yang berlalu-lalang di
Selat, sebahagian mungkin saja untuk mengambil perbekalan dan air minum,
sebahagian lagi untuk berdagang dan barter. Letaknya disekitar tepian muara,
mengingatkan lokasinya pada situs Melaka, hanya lokus ini tepat
diseberangnya arah ke barat di pulau Sumatra. Keriuhan, ramainya
persinggahan kapal, maka diimbangi dengan hamparan tiang-tiang sebagai
tempat “pengait” tali kapal, dan legenda mencatatnya sebagai PEKAITAN.121
Kisah kerajaan diseberang Semenanjung ini, Rokan atau Pekaitan, menyisakan
pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab; seperti detail titik lokus, periode atau
para pelaku dengan sistem sosial yang berlaku; mungkin ini sama dengan Sriwijaya
yang hingga hari ini masih terus saja mengundang perdebatan, terutama berkaitan
dengan pertanyaan yang telah disebutkan. Meskipun demikian, dapat pula kita
cermati laporan Groeneveldt yang meneliti lembaran catatan-catatan China tentang
situasi nusantara, terutama di sepanjang pantai timur Sumatra. Bahwa salah satu
catatan itu membahas sebuah kerajaan yang diperkirakan berlokasi di muara sungai
Rokan pada abad ke-15. Kerajaan yang diidentifikasi sebagai “DAN-YANG” (NEGARA
LAUT AIR TAWAR), berbatasan dengan Aru, dan berjarak tiga hari pelayaran dari
Melaka. Bahwa lokus ini dikenal dengan terdapatnya teluk luas sebagai sebuah muara
aliran sungai, dimana air tawar cukup jauh mengalir kelaut sehingga airnya jernih dan
manis. Dengan demikian, pelaut yang melintas disana menyebutnya dengan laut air
tawar; laporan Hardenberg atas penelitiannya di tahun 1929 tentang adanya danau
air tawar di pulau Pedamaran seperti mengingatkan situasi muara Rokan berabad
121
Wan Saleh Tamin, 1972, hal.17-21.
64
silam itu. Tanahnya yang subur, dan menghasilkan bulir beras yang kecil namun
dikatakan memiliki rasa yang cukup menggugah selera untuk dikonsumsi, ditunjang
pula dengan iklim hangat sepanjang tahun. Selain itu, diberitakan juga kondisi
penduduk yang cukup baik, dimana dimiliki kebiasaan bagi lelaki dan perempuan
menyanggul rambutnya, dan menutup bagian bawah tubuh dengan sehelai kain
sarung bergaris: sebuah kebiasaan saat itu yang juga terdapat di negeri-negeri
Sumatra seperti Aceh, dan bahkan juga ditemui di Melaka. Barang yang diimpor adalah
emas, perak, besi dan tembikar. Dikatakan bahwa lokus ini berada disebelah selatan
gugusan pulau Aru (dikenal juga dengan gugusan pulau Aruah); sebuah muara sungai
yang luas dimana sebagai pertemuan dua aliran sungai penting mengalirkan airnya
kelaut. Dimusim penghujan, maka lapisan air tawar menutupi permukaan air laut
disana.122
Berkembangnya sebuah negeri dimuara Rokan, kontras dengan perspektif Sriwijaya,
Jambi, Kampar, Siak, Panei; sebagai “negeri pesisir” yang berlokus lebih kepedalaman,
tentu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan geografis pesisir saat
itu. Bagaimanakah sebenarnya kondisi topographi pesisir timur lima abad lampau
terutama disekitar muara Rokan? Atau lebih jauh lagi, delapan hingga sepuluh abad
lampau? Dimanakah garis pantai timur itu sebenarnya, mengingat pantai yang terus
saja bertambah menjorok kelautan yang dapat mencapai hingga 100 meter
pertahunnya. Perubahan ekologi pantai, jelas akan mempengaruhi struktur sosial,
selain juga pengaruh dari tekanan kolonialime barat mulai abad ke-16. Terekamnya
Negara laut air tawar di muara Rokan, nampaknya sezaman dengan periode naungan
dinasti Ming atas Melaka dari invasi Siam ditahun 1405. Dan menjadi logis, bila negeri-
negeri diseberang pantai Melaka sebagai kawasan yang masuk dalam rute perjalanan
utusan sang Kaisar, tercantum dalam lembaran catatan mereka. Negara laut air
tawar, dengan periode yang diperkirakan sama dengan kerajaan Rokan sebagaimana
terdapat dalam SEJARAH MELAYU, keunikannya sebagai kawasan pesisir dengan
kondisi air tawar, menjadikan muara Rokan berbeda dengan kawasan pesisir lainnya
disepanjang pantai timur yang sebagaimana telah disebutkan, dikenal sebagai
kawasan rawa mangrove yang tidak ramah bagi sebuah situasi pemukiman, seperti di
pesisir sungai Musi, Batanghari, Indragiri, Kampar, Siak dan Panei. Catatan China itu,
bisa saja menjadi salah satu pentunjuk awal bagi perkembangan dikawasan muara
Rokan, yang nampaknya juga berubah seiring runtuhnya Melaka 1511.
Sementara itu, pertanyaan yang lebih jauh adalah apa yang terjadi di muara Rokan
pasca kerusuhan Portugis itu. Beberapa abad kemudian, terutama abad ke-18 William
Marsden, dengan “Sejarah Sumatra” yang terbit ditahun 1811; mencatat bahwa
122
Berdasarkan catatan Xingcha Shenglan yang berarti “Catatan Umum Perjalanan di Lautan,”
diterbitkan tahun 1436 oleh Fei Xin, bahwa orang ini berasal dari Fang Zhou dan Selma 20 tahun
mengadakan empat kali perjalanan luar negeri bersama Cheng He; tidak diketahui secara pasti
jabatan atau kedudukannya, hanya saja ia adalah seorang Tionghoa Muslim dan mengerti bahasa
Arab. Dilihat dalam Groeneveld, 1880, terbitan Komunitas Bambu, tahun 2003, hal.xx, dan
hal.130-131.
65
muara Rokan lebih menyerupai suatu teluk yang luas, dimana pelaut-pelaut Eropa,
akan berpikir ulang untuk menyusurinya hingga kepedalaman dengan arus Bono yang
berbahaya dan mematikan itu. Sayangnya, Marsden tidak menyebutkan tentang
keadaan pantai lebih jauh terutama menyangkut keberadaan kampung-negeri disana.
Hanya saja, Netscher, menunjukkan bahwa sebelum Raja Kecil invasi ke Johor 1718, ia
menjadikan salah satu lanskap di pesisir Rokan: Kubu, sebagai basis militernya.
Pemilihan lokus sebagai sebuah basis penyerbuan negeri yang cukup kuat saat itu
seperti Johor, tentu dengan pertimbangan dukungan sejumlah besar sumber daya
manusia yang cukup; situasi yang juga menunjukkan suatu perkembangan lanskap
pesisir disekitar muara Rokan. Selain itu, runtuhnya Melaka akibat serangan Portugis
ditahun 1511 sebenarnya telah menghancurkan perdagangan Selat itu sendiri yang
bersumbu di Melaka; sentral yang menghilang akan memunculkan sejumlah titik
perdagangan baru yang lokasinya tersebar. Meskipun tidak sestrategis Melaka sebagai
pelabuhan dipersimpangan dunia, secara tidak langsung telah menumbuhkan Aceh
sebagai kekuatan baru yang memperoleh suntikan kekayaan dari pedagang-pedagang
muslim yang menggelar jual-beli di sebaran titik pelabuhan perdagangan itu. Segera
saja, konflik merebak diantara Aceh dan Johor sebagai klaim pewaris Melaka, dan
Portugis yang mempertahankan benteng Melaka untuk memperoleh pengaruh di
Selat. Masa kegemilangan Aceh (Sultan Iskandar Muda), ditandai dengan invasi kedua
sisi pantai Sumatra; barat dan timur. Jejaknya masih dapat ditemui, baik berupa nama
desa, seni arsitektural, dan juga cerita rakyat yang berkembang dan dikenali oleh
masyarakat lanskap. Pada tahun 1564, Aceh merebut kembali Haru yang jatuh
ketangan Johor pada 1540; menyerbu ibukota dan menawan semua anggota keluarga
kerajaan Johor. Perang yang berlangsung pada abad ke-16 dan 17 ini, akhirnya diakhiri
di tahun 1641; dimana VOC dengan sekutu Johornya, memblokade Melaka, dan
Melaka pun jatuh ketangan VOC. Melalui perjanjian damai, Johor tidak lagi mampu
berposisi seperti sebelum kedatangan Portugis, melainkan mendominasi diwilayah
vassal, seperti Siak di tahun 1622 dan Inderagiri ditahun 1669. Aceh dan Portugis,
disebut tidak lagi sebagai rival penting bagi Johor.
Bahwa keruntuhan Melaka tahun 1511 ini diasumsikan merupakan titik
menguatnya Islam di kawasan Selat Melaka disebabkan Islam disini sebagai
memperoleh musuh bersama; Portugis. 123
Cerita rakyat yang terdapat dilanskap di aliran sungai Rokan, menunjukkan gerakan
menghulu orang-orang Melaka yang eksodus sebagai akibat penyerbuan Portugis. 124
Para pelarian Melaka ini, nampaknya diburu oleh Portugis tidak saja ke pedalaman
Rokan, juga mencapai pedalaman Siak dan Kampar, dimana mereka membawa misi
123 Tidak hanya Sumatra, penguatan Islam yang juga berlaku di Maluku dan Jawa sebagai akibat
invasi Portugis, lihat C.J.van Leur, Indonesian Trade and Society, Essays in Social and Economic
History, Vol I Den Haag/Bandung, 1955, hal.160-9.
124 Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak
125
Darmawi, 2008, hal.117.
126
Sebagaimana nama Rokan terdapat dalam catatan Majapahit, Kitab Kakawin
Nagarakertagama pupuh XIII dan XIV, kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365
dimasa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Meski Majapahit mengklaim negeri-negeri di
Sumatra itu yang dikatakan sebagai Malayu sebagai negeri taklukkan, akan tetapi tidak pernah
ditemui klaim pengakuan dari negeri yang tercantum dalam kitab itu.
127
Tahun 1513 ini Portugis menyerang pelabuhan Pekaitan, dan juga istana Raja. Terdapat kisah
Raja yang tengah asyik bermain catur dengan Datuk Bendahara, saking asyiknya, Baginda Raja
tidak menyadari jika “Peringgi” atau “Pertukal” (Portugis) telah datang menyerang; Lihat Wan
Saleh Tamin, 1972. Hal.48-50.
67
beberapa abad menjelang akhir abad ke-19, negeri itu terbagi menjadi dua. Bahagian
pedalaman tetap berada dibawah penguasa Kepenuhan, sementara dihilirnya,
dibawah kendali Raja Lontar yang merupakan keturunan Pangeran Johor dan menikah
dengan Raja Siti, seorang putri Kepenuhan. Selama beberapa waktu, wilayah hilir
sungai Rokan dilingkup Tanah Putih, berada dibawah penguasaan Johor; wilayah ini
dikatakan dihuni oleh suku-suku Melaka yang bermigrasi ketika kerajaanya
dihancurkan Portugis; hingga paruh abad ke-17, bahagian pesisir Rokan tersebut
dikendalikan oleh pejabat yang diangkat oleh dinasti Johor, seorang Sahbandar.
Sementara di bahagian hulu, sebagai lanskap perbatasan, pangeran Johor meminta
pangeran dari hulu - Tambusai dimana telah bermukim penduduk Minangkabau,
untuk dilengkapkan kedalam wilayahnya. Dengan demikian, muncul kerajaan
Kepenuhan, Kota Intan dan Kota Lama, kedua terakhir ini, berlangsung sampai pada
suatu masa dimana terjadi penyatuannya kedalam “Kunto.” Bahkan Pangeran Johor
pun ternyata dapat memenangkan tahta Tambusai, sehingga Johor kemudian
memperluas pengaruhnya sampai ke Rambah. Ketika pasukan Aceh melakukan
penyerangan ke daerah-daerah di pedalaman; wajar bila politi-politi ini beraliansi
dengan Pagaruyung untuk menahan laju ekspansi Aceh, hubungan yang telah ada
semenjak masa Adityawarman.128 Akan tetapi, kisah Aceh di aliran sungai Rokan tidak
hanya berisi cerita invasi semata, melainkan juga migrasinya orang-orang Aceh
terutama sebagai akibat tekanan internal kerajaan; dimana yang berdatangan ke
lanskap dihilir sungai Rokan ini juga adalah kaum ulama. 129 Terdapat situs, dan
sebagaimana disampaikan, juga cerita yang beredar tentang bangsa Aceh ini, yang
kisahnya memiliki kesamaan dengan cerita yang terdapat di Sumatra Timur Laut. 130
Dialiran hilir sungai Rokan, kita akan menemukan situs ulama Aceh yang terletak di
Batu Hampar, pusat lanskap Bangko dan bahkan disebutkan sang ulama Aceh sebagai
pendirinya.
128 dan akibatnya, tentu saja memperkuat kembali pengaruh Minangkabau di negara-negara
darat tersebut. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah dapat dijumpainya campuran antara
unsur aristokrat dan demokratis (Masing-masing dari Johor dan Minangkabau) dalam sistem
pengaturan masyarakat di sana. Nampaknya ini juga harus disebutkan bahwa untuk
pengangkatan Raja Tambusai yang baru, terdapat dalam tulisan Hindu – yang disebut sirih - teks
itu mengatakan bahwa penguasa Pagaruyung melimpahkan pangerannya ke negeri Tambusai.
Sebagaimana dikisahkan Rijn van Alkemade dalam kunjungannya ke hulu sungai Rokan, 1884.
129 Datuk Batu Hampar di Bantaian di pesisir sungai Rokan, adalah seorang ulama yang berasal
dari Aceh.
130 Seperti Legenda Putri Hijau, selain terdapat di Deli Tua, juga terdapat dialiran sungai Rokan.
sengketa batas-batas antara Siak dan Rantau Binuwang terkait atas kewilayahan
Tanah Putih.
Pada tahun 1881, Sultan Siak mengklaim supremasi atas semua wilayah
Tambusai, dikatakan bahwa Rantau Binuwang berada di daerah yang
termasuk kedalam wilayah Tanah Putih, yang dianggap sebagai dependensi
Siak. 131
Kemudian kepala Tambusai, Mohamad Zainal Abidin, menemui residen di Bengkalis
untuk pembelaannya. Bahwa pembentukan Rantau Binuwang sebagian besar terjadi
di wilayah Kepenuhan, dan kemudian Kepenuhan pun muncul dengan segala
konsekuensi tuntutannya. Sementara sang Residen, ia mengklaim dapat membangun
batas-batas antara Kepanuhan dan Rantau Binuwang yang memuaskan bagi kedua
belah pihak. Akan tetapi, dalam hal ini dikatakan Siak hanya memberikan sebahagian;
yang disetujui lebih kepada bagian hulu dari Tambusai (Dalu-Dalu) yang dianggap
tidak memiliki otoritas, dan tentu saja ini diklaim oleh Rantau Binuwang. Sebaliknya,
Zainal Abidin menunjukkan klaimnya yang diletakkan di Negeri Tinggi, 132 wilayah yang
menurut Siak pada era sebelumnya selalu berada di bawah lanskap Tanah Putih; dan
dengan demikian, tidak lagi diragukan sebagai bahagian dari Siak. Perkara ini,
penjajah menganggap sebagai bagian dari tanggung jawab Zainal Abidin; dan terdapat
berita yang mengatakan bahwa ia dipanggil ke Batavia(?). Nampaknya, perjanjian
tanggal 12 Januari 1885 dirasa tidak memihak Rantau Binuwang; bahwa dinyatakan
telah didudukinya secara illegal wilayah di Tanah Putih; tentang dihapuskan dan juga
kemampuan upeti dari Rantau Binuwang di Siak; dan juga untuk berperilaku sesuai
dengan keinginan pemerintah Belanda. Terutama pembayaran upeti sejumlah $300
per tahunnya. Akan tetapi, pembayaran dari jumlah ini dihilangkan; setelah beberapa
tahun, Mohamad Zainal Abidin dibebaskan dari kewajiban membayar; akan tetapi,
pada saat yang sama residen menarik kewenangan yang diberikan kepada Mohamad
Zainal Abidin sebagai Raja dari Tambusai dan Rantau Binuwang, meskipun kepala
Tambusai tersebut telah tinggal di Rantau Binuang selama puluhan tahun. Sementara
Siak, tetap bersikukuh bahwa Rantau Binuang merupakan bahagian dari wilayahnya.
Hal itu, menyebabkan penguasa Rantau Binuang, Zainal Abidin berada dalam posisi
berhadap-hadapan dengan Siak, dimana hak-haknya di Tanah Putih, Kubu dan Bangko
ditolak, dengan kata lain, Zainal Abidin tidak mengakui kekuasaan Siak atas lanskap-
lanskap tersebut. Zainal Abidin, secara pribadi mengajukan kasusnya dan menyatakan
sudah terlebih dahulu mengajukan sebagai bahagian dari “rechtstreeksch” kepada
pemerintah di Bengkalis, untuk menghindari tuntutan Siak dengan melakukan
penyerahan. Belanda sendiri berupaya meyakinkan dirinya bahwa telah dilakukan
upaya-upaya untuk membawa pihak-pihak yang berselisih agar menuju pemulihan
hubungan; dan ternyata gagal. Zainal Abidin tinggal beberapa bulan di Bengkalis,
kemudian menuju Batavia membawa keluhan terhadap Siak dan klaim atas wilayah
Rokan.133 Upaya lebih jauh dikerahkan untuk menyelesaikan isu tersebut, akan tetapi,
daerah terakhir itu kembali dialihkan ke Siak ditahun 1888. Bahwa kemudian Zainal
Abidin diketahui “meninggalkan” lanskap ini, sementara Belanda menganggapnya
sebagai sikap “merajuk” terhadap pemerintah dan otoritas Hindia menyangkut hal di
bagian yang tersisa dari kerajaannya. Akan tetapi, dari beberapa catatan Belanda,
memang menunjukkan bahwa Belanda menganggap Zainal Abidin tidak memiliki
batas-batas nyata atas Rantau Binuang. Berikut catatannya:
“…Beberapa dokumen menunjukkan, bahwa Raja Tambusai telah menerima
pinjaman dari Sultan Siak berupa tanah yang terletak di antara hulu Ajer
Meminda dan hilir Pagaran Itik. Pada awalnya, ia menyangkal supremasi Siak,
atau bahwa ia menikmati saja suatu keramahan dalam batas-batas negara
tersebut, dan kisah pengembaraannya tersebab ia terusir dari negerinya pun
berakhir. Bagaimanapun juga, berangsur-angsur kekuatan rezim di Siak
terlihat mulai mengendur, dan sebaliknya, Raja Tambusai pun bertahap mulai
menganggap diri mereka merdeka secara keseluruhan dari Siak, bahkan
memberanikan diri melakukan klaim atas tanah di hilir Pagaran itik, berikut
dengan kekayaan didalamnya(hutan dan lainnya), dan seluruh wilayah Tanah
Putih, serta seluruh sisa area Rokan, diklaim sebagai properti wilayah
hukumnya.” 134
Sikap penjajah ini, tentu saja dilandasi telah dikukuhkannya kewilayahan Siak melalui
perjanjian 1858, yang memang bisa saja dirasa berlebihan. Penyelesaian persoalan,
akan lebih dominan kepentingan penjajah dan terutama dalam kerangka perluasan
kewenangan atas wilayah jajahan. Seperti kasus perbatasan dengan Aceh di Sumatra
Timur Laut; menyebabkan berkobarnya perang Aceh yang begitu hebatnya menguras
sumber daya.135 Di aliran sungai Rokan, sikap kolonialis Belanda, lebih didasarkan rasa
ketakutan berlebihan terhadap segala potensi gejolak yang mungkin muncul dari
tokoh yang dianggap berpengaruh. Seperti kedatangan Muhamad Zainal Abidin ke
lanskap Tanah Putih dalam rangka kunjungan berziarah, telah direspon dengan
penyiagaan satu kesatuan polisi dari Bengkalis yang tiba dengan kapal perang. Meski
akhirnya diketahui bahwa ini dikatakan Belanda merupakan sesuatu rasa ketakutan
yang terlalu dibesar-besarkan, pengalaman traumatik Perang Padri di hulu sungai
Rokan, menyebabkan Belanda merasa perlu melakukan penangkapan terhadap
Mohamad Zainal Abidin ditahun 1904, dan diinternir ke Madiun hingga wafatnya
disana.136 Sebagaimana halnya politik aneksasi Belanda terhadap pantai timur
133 Dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12, 1883 (2e deel) [volgno 5]: 01-10-1883, hal. 264
– 265.
134 Hijman van Anrooij, hal.380.
135
Lihat Anthony Reid, sebab-sebab perang Aceh.
136 Dikisahkan bahwa Pakir Saleh, yang berjuang bersama kaum Padri, dan dikenal dalam sejarah
sebagai Tuanku Tambusai: Raja dari Tambusai, setelah melalui peperangan ganas di benteng
Dalu-Dalu di tahun 1838, beliau menyingkir ke Linggi di Pantai Barat Melaka. Bahwa Pangeran
71
Sumatra; perluasan Wilayah Hindia atas kawasan Siak ini juga memungkinkan bagi
penjajah untuk melakukan apa yang dinamakan sebagai “mempelajari” lanskap.
Pengamat seperti Anderson, Raffles, dan sejumlah pengamat asing pun berdatangan
guna memperoleh informasi mengenai wilayah jajahan atau bakal calon jajahan;
sejumlah informasi-yang mendukung eksploitasi sumber daya di tanah jajahan. Dua
tahun sesudah penandatanganan perjanjian 1858 yang sangat merugikan Siak,
pemerintah Hindia mengutus seorang pegawai pribumi, “Boerhanddin” ke lanskap
Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Akan tetapi, catatan yang lebih detail tentang tiga
kenegerian tersebut, dapat diproleh dari Hijman van Anrooij yang menuliskan
laporannya atas wilayah Siak ditahun 1884, dan juga laporan dari Rijn van Alkemade 137
dalam lawatannya ke Rantau Binuwang dihulu sungai Rokan. Dari catatan dua hamba
Hindia tersebut, dapat ditelusuri kehidupan sosiobudaya di sepanjang hilir sungai
Rokan, yang meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Aparat pemerintah Hindia ini,
nampaknya kesulitan dengan sumber informasi terutama untuk sejarah awal Bangko,
dan ini juga berlaku untuk Kubu, minimnya keterangan atau bahkan hampir tidak
ada sama sekali. Adapun batas-batas Tanah Putih dengan Kubu dan Bangko adalah
dengan Kota intan, juga Kunto, Rantau Bais, di tepi kiri sungai Rokan, perbatasan dan
di Kapenuhan di Ayek-Meminda yang merupakan anak sungai sebelah kanan (Rokan-
Kanan) dari Sungai Rokan ini. Hijman van Anrooij, membatasi konsepnya atas Tanah
Putih, yang dikatakannya bahwa ketika berbicara tentang Tanah Putih, dengan
demikian yang dimaksudkan adalah sebagai tanah hilir Pagaran itik. Tideman
mengemukakan bahwa mata pencaharian Melayu di kewilayahan afdeeling Bengkalis
(Onderafdeeling Bengkalis, Onderafdeeling Bagansiapiapi, Onderafdeeling Siak,
Onderafdeeling Rokan, dan Onderafdeeling Kampar Kiri) terpokok pada tiga hal;
nelayan, berdagang dan pengumpul hasil hutan. 138 Ketiga sumbu perekonomian
populasi ini, seringkali berpotongan dengan apa yang dinamakan hak privilege Sultan
atas lanskap yang juga menyimbolkan kekuasaan dan perlindungan penguasa
terhadap hamba secara mutualistik.
Ramba dan Kepenuhan, mungkin saja tidak seperti Sultan Achir Lamaan yang semakin melemah,
dan segera menuju Sungai Krangin Penei, dimana ia wafat disana. Putra dan sebagai
penggantinya; Djamaloe Talair menetap di Sungai Daun di Kubu hingga wafatnya. Ia, digantikan
oleh putranya, Sultan Abdul Wahid, yang bermukim di Rantau Binuwang; penerusnya adalah
Sultan Mohamad Dzen yang bergelar Yang dipertuan Besar di Rantau Binuwang dan
menambahkan kata “Sakti” pada nama kerajaannya, sehingga bernama Rantau Binuwang Sakti.
Sang pangeran, berusia sebelas tahun sebagai Madjalelo dan pada usia lima belas tahun; Soetan
Dzainal hingga ia dinyatakan sebagai raja, lihat Rijn Van Alkemade, 1884.hal.35-8. Kisah
penangkapan Muhammad Dzainoel Abidin, sebagaimana diberitakan oleh De Sumatra Post, 4
Oktober 1905; Koloniaal Verslag 1905; lihat juga Soerabaijasch Handelsblad tanggal 28 Juli 1906,
bahwa beliau ditangkap Belanda dalam suatu operasi militer dibulan Juni 1904.
137 Sebagaimana diterbitkan tahun 1885.
138
Tideman, Land en Volk Bengkalis, 1935.
72
Selain itu, masyarakat juga terlibat dalam perladangan terutama untuk memenuhi
subsistensi ekonomi. Kegiatan dalam skala komersil, terutama dipastikan akan
berkaitan dengan kelas pedagang yang didominasi “Orang Kaya.” Seperti di Tanah
Putih, secara keseharian, penduduk akan berada di wilayah perladangan dan juga
perdagangan; seorang kepala pedagang di Tanah Putih tercatat ditahun 1885 bernama
139
KIT, Dutch Colonial Map: Nomor: 11964-08. Skala 1:900.000.
73
Haji Muhammad Taib; tengkulak yang posisinya ada diantara Pemerintah dan Pribumi
serta dengan pedagang yang datang dari tempat lain.
140
Anderson, 1971.
74
dukungan sarana pengangkutan yang dimilikinya, atau milik dari “Orang Kaya.” Kondisi
ini merupakan juga sebuah mata rantai dari jejaring yang lebih luas, baik di pantai
timur Sumatra maupun semenanjung. Hingga akhir abad ke-19, minimnya
populasi141 dan begitu luasnya wilayah, benar-benar mendukung kehidupan
tradisional yang bertumpu pada istana. Sementara itu Sang Sultan, dengan kenangan
akan kewilayahan kunonya yang membentang di sepanjang pesisir timur hingga
perbatasan Aceh, sehingga akan sulit bagi Sultan jika dihadapkan dengan kondisi
bertatap-muka dengan penguasa kesultanan di Sumatra Timur Laut yang pernah
menjadi bawahannya. Sultan terakhir, meski tidak lagi memegang otoritas
sebagaimana pendahulunya, ia tampil sebagai sosok yang mengesankan dan
sebagaimana ia kemudian dikenang oleh masyarakat Riau sebagai tokoh pendorong
bagi perkembangan enterpreneurship pribumi; bahwa pada tahun 1920-an, hanya di
Siak-lah jumlah terbanyak pedagang pribumi Melayu di pantai timur Sumatra yang
memiliki penghasilan hingga f700. 142
141
Salah satu akibatnya, sebagaimana dicatat oleh Rijn van ALkemade adalah serangan wabah
penyakit, sebagaimana terjadi di Lanskap Kubu, yang mengakibat sejumlah 1000jiwa menjadi
korban; diprediksi ini adalah separuh dari populasi disana. Selanjutnya diawal abad ke-20, juga
terjadi di Tanah Putih. Lihat Laporan dr.R.M.Pratomo. Selain itu, juga perlu dipertimbangkan
sebagai apa yang dituduhkan Belanda dengan praktek “Mal-administrasi, sehingga sejumlah
besar orang Melayu di wilayah Siak eksodus ke semenanjung.
142 Reid, 1979.
143 Dilihat dalam Koloniaal Verslag 1882,kol.14.
144
Dilihat dalam Koloniaal Verslag 1877, kol.12-13.
75
dalam rentang jarak yang sangat jauh dengan Hindia, kemudian berada dalam
perjanjian yang sama untuk meningkatkan pengaturan Perjanjian dari 7 Oktober 1863
dan 4 November 1875 beberapa pengaturan lebih lanjut mengenai pajak dan
monopoli dari wilayah asli Siak dan beberapa pulau milik Siak, lanskap Tanjung, SiParé
Paré dan Pagurawan, untuk akuisisi biaya tahunan - biaya disetujui sebelumnya
ƒ40.000.- per tahun dan sebagian besar masih berasal dari pendahulunya - sebesar
ƒ51.285.-, ini dibebaskan. Dari f40.000.- per tahun f22.000.- dimaksudkan untuk Sultan
sendiri, sedangkan sisanya dari berbagai Kepala dan pejabat di Siak dan Tanjung, Si
Pare Pare dan Pagurawan yang akan dibayarkan. Sultan mengambil untuk dirinya dari
Datuk suku Pesisir di Batu Bara sejumlah f500.- per tahun selama hidupnya; sebagai
bagiannya dari pendapatan di Si Pare Pare. Pada saat yang sama, kontrak kedua
ditutup untuk mengambil alih tugas retribusi Tanah Putih, akan tetapi, perjanjian yang
dibuat beberapa waktu setelah itu; sehubungan dengan beberapa pernyataan yang
dibuat oleh pemerintah, digantikan dengan yang baru. Untuk kompensasi ini
diberikan setiap tahunnya sejumlah f7.500.- kontrak akuisisi bea dan pajak yang
ditandatangani Belanda dan Sultan Siak beserta Mangkubumi dan Rijksgrooten Tanah
Putih 23 Juni 1884, menyebutkan pelaksanaannya pada 1 Januari 1886.
Sehubungan dengan perkara itu, dimulai pada tanggal 1 Januari 1886, di
Tanah Putih ditempatkan seorang kontrolir untuk melakukan tugas akuisisi
pajak itu.
Sebelumnya di tahun 1884, oleh Sultan tiga konsesi diberikan untuk penggergajian
Siak, w. o. Konsesi Sungai Rawah; dikenal saat itu sebagai "Asosiasi Perdagangan F.
Kehding”(Handelsvereniging). Pada tahun 1886, dua konsesi pertanian yang pertama
di Siak dikeluarkan, dan cepat saja diikuti oleh yang lain di tahun-tahun berikutnya.
Tengkoe Soeloeng Moeda, pada tahun 1891 oleh Sultan ditunjuk sebagai
perwakilannya di Sungai Rokan, akan tetapi, pada tahun berikutnya ia kembali ke Siak
dan mengajukan pengunduran dirinya; diberitakan bahwa terdapat kehidupan di
Tanah Putih yang tidak menyukainya. Lantas, Sultan kemudian meminta salah satu
sepupunya menjadi perwakilan untuk Tanah Putih, Bangko dan Kubu; Setelah empat
tahun berjalan, diberitakan pula bahwa ia harus dialihkan karena laporan tentang
pemerasan(?) yang telah dilakukannya.145 Wilayah dependensi kesultanan ini secara
umum kurang digarap oleh para pemodal perkebunan dibandingkan kesultanan
lainnya di Pantai Timur. Disini, semula direncanakan dibuka perkebunan-modern
sebagaimana hak konsesi atas penggunaan lahan terutama setelah berkantornya
seorang kontrolir diawal tahun 1886. Tercatat seperti “Tanah Poetih Plantagien Actien
Gesseschaft,” o;ch.Muller, yang memiliki hak konsesi mencapai 6000ha guna
pembudidayaan tembakau.146 Kemudian masih dalam jenis perkebunan yang sama
adalah “Siak-Kampar Syndicate” dengan bentangan konsesi hingga 10.000ha.147 Akan
tetapi, ternyata budidaya tembakau di Tanah Putih hasilnya tidaklah seperti yang
terjadi di wilayah Sumatra timur laut; Deli Serdang misalnya, hasil yang cukup
mengagumkan para pemodal Eropa. Tekstur, ataupun juga kondisi topographi itu
menjadi alasannya bagi gagalnya budidaya ini. Bahwa setelah dilakukan uji coba
penanaman tembakau yang ternyata mengalami kegagalan, sejumlah perusahaan
yang telah berdiri pun akhirnya terpaksa ditinggalkan di tahun 1891/2.148
Adapun karet, nampaknya dipertimbangkan sebagai komoditas yang tetap
dibudidayakan. Karet, terutama berhubungan erat dengan industri mobil yang baru-
baru saja muncul. Asli pohon karet (ficus elastica) telah diupayakan tidak hanya di
Jawa Barat, melainkan juga di Sumatra sejak tahun 1864; akan tetapi benar-benar
berhasil pada mulai era 1900-an, nampaknya dengan menggunakan karet jenis lain;
Hevea Brasiliensis. Karet jenis inilah yang benar-benar berhasil dikembangkan,
terutama di Sumatra. Tanaman karet ini mencapai puncak produksinya hingga ditahun
1930, dimana dari areal perkebunan di Hindia, sebesar 44 persen ditanami pohon
karet; jumlah total produksinya mencapai hampir separuh produksi di dunia. Depresi
besar 1930, membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap industri ini. 149
Kebun-kebun karet ini terletak sekitar 30 Km kearah hulu Rokan, terutama yang
dimiliki orang-orang China, mereka dapat mencapai daerah tersebut, terutama
dengan kapal motor. Ditepi kanan Rokan, areal perbukitan yang subur sepenuhnya
ditanami dengan karet. Sementara di aliran sungai Rokan, hasil produk karet memang
tidak sebesar di Pekanbaru, akan tetapi Bagansiapiapi tetap merupakan tempat
penting dalam pengiriman produk karet, dan hasil-hasil bumi lainnya. Dapat
berkembangnya pengusahaan perkebunan karet di wilayah hulu di Onderafdeeling
Bagansiapiapi ini, terutama disebabkan tumbuhan inilah yang tumbuh dengan baik di
sini, bukan jenis tanaman produk unggulan seperti di tempat lainnya. Hingga tahun
1938, luas kebun-kebun karet telah mencapai 3000ha, sementara di hulu Rokan
mencapai 10.000ha.150 Catatan Bank Bagan Madjoe nampaknya juga menyinggung
tentang usaha pengiriman bahan makanan, dan barang-barang lainnya. Sedangkan
untuk dua terakhir nampaknya dilakukan dalam kegiatan menghulu di Sungai Rokan.
Seperti dari hasil sensus, bahwa sekitar 200-an orang China telah menetap di Tanah
Putih. Dalam konteks ini, menghulu adalah suatu kegiatan ekonomi yang biasanya
berkaitan dengan sumber daya alam di Hulu sungai, seperti telah disebutkan;
panglong, hingga usaha perkebunan; pinang, kopra, nipah, atap-nipah, kulit kayu, dan
terutama; perkebunan karet.
148 Sebagaimana seorang Kontrolir mencatat, bahwa pertanian Eropa (tembakau) sia-sia saja
diupayakan di Tanah Putih, maka di wilayah Kubu pun telah dibudidayakan, akan tetapi
dilaporkan nampaknya ini tidaklah terlalu berhasil; bahwa ternyata kondisi tanah terlalu banyak
mengandung air.
149 Ricklefs, 1981, hal.331.
150 Di Pantai Timur Sumatra, pada tahun 1938 itu tercatat mencapai 42.000ha, dan Afdeeling
Pengupayaan perkebunan karet milik orang-orang China, selain berada di Tanah Putih,
juga berada di daerah Pematang Langgadei, Jumrah dan Bangko, akan tetapi untuk
tanaman yang lebih muda, ditemui lebih ke arah Bagansiapiapi. Mengacu pada
realita itu, tidaklah berlebihan jika Bagansiapiapi dahulu memiliki sebuah pabrik karet,
yang letaknya arah ke darat (barat) kota, Rokan Rubber Faktorie; yang barangkali
sekaligus merupakan garis demarkasi Kota yang berbasis etnis. Keseluruhan produk
karet, terutama dikoordinir di Tanah Putih, dan pengirimannya dilakukan dengan
151
Peta Thematic tahun 1930, Sumber Universiteit Leiden, Dutch Colonial Map No.05888.
78
menggunakan jasa pelayaran KPM dimana orang Cina sebagai agennya. Pengiriman
dilakukan terutama ke Singapura dengan harga yang mencapai f0.7 per pikul. Kualitas
karet, ditentukan terutama oleh kadar kebasahan/ kering karet; merupakan salah
satu potensi unggulan yang juga menjelaskan alasan kehadiran orang China hingga ke
hulu Rokan di Tanah Putih. Sebagaimana yang dicatat Baalbergen; bahwa di wilayah
hulu yang jauh, dilakukan penanaman pohon karet dimana dalam waktu singkat
segera saja menghasilkan kekayaan yang menyebabkan hingga hari ini masih terus
disadap, selain karena kurangnya budidaya tanaman lain, budidaya karet masih
dianggap sebagai bisnis yang menguntungkan. Sementara di areal pesisir, terhampar
kebun kelapa; meskipun harga kopra hingga tahun 1930-an telah turun, namun masih
dipandang menguntungkan. Selain itu, komoditas Karet, kopra, dan juga pinang yang
masa sebelumnya merupakan produk yang berkembang di kawasan hulu, tidak
menutup kemungkinan juga berkembang di pesisir melihat bentangan kebun kelapa
itu. Kondisi kawasan Hulu sebagai penghasil karet, Kopra dan Pinang, dapat dilihat
sebagai berikut; ekspor kopra, pinang dan karet pada Onderafdeeling Rokan-Streken,
Tahun 1924-1930):152
Tahun Copra Pinang Karet Rotan Atap Nilai
(Kg) (Kg) (Kg) 153(Kg) Kadja Ekspor-
ng (f) Impor (f)
1924 676.706 308.947 807.923 - - -
1925 820.042 356.352 1.721.314 - - -
1926 815.038 383.307 1.709.335 - - -
1927 765.441 135.598 2.018.259 - - -
1928 1.235.075 357.601 1.688.884 - - -
1929 1.223.924 357.176 2.156.298 - - -
1930 1.247.197 390.722 1.888.917 440.761 f 2.014 -
1931 1.087.620 401.881 2.268.898 322.724 f 798 f273.696,91
1932 1.614.197 502.324 1.198.733 554.037 f 848 f 222.855,41
1933 1.772.789 365.018 1.845.815 804.755 f 1.148 f 209.538,52
1934 824.321 66.470 2.343.299 292.782 f 571 f134.662,18
152 Data tahun 1931, 1932, 1933, 1934 dilihat dalam Laporan Boudewijn Van Duuren, Memorie
Van Overgave, 30 Agustus 1934
153
Van Duuren, hal.27
79
rinci tentang kulit tengar dan kulit bakau di onderafdeeling Bagansiapiapi, akan tetapi
sebagai komoditi khas hutan rawa di pantai timur, dapat dilihat betapa signifikannya
produk ini dikalangan masyarakat Melayu. Berikut adalah ekspor hasil hutan
mangrove (Kulit Tengar dan Kulit Bakau) ;154
Tahun Pantai Timur Sumatra
(1000 Kg)
1908 4744
1909 3486
1910 2360
1911 1120
1912 4162
1913 5303
1914 5475
1915 6006
1916 6041
1917 2386
1918 643
1919 742
1920 197
Mencermati apa yang disampaikan Tideman, bahwa anak bumi terfokus pada
kegiatan; nelayan, perdagangan dan pengumpulan hasil hutan, maka berikut ini, kita
akan memusatkan perhatian kita pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan
sumber daya muara; pengumpulan hasil hutan. Kontrolir Baalbargen sendiri telah
menunjukkan bahwa, di onderafdeeling Bagansiapiapi, selain industri perikanan, juga
terdapat apa yang dinamakannya sebagai homeindustri. Ia menunjuk kepada produk
“kadjangmatten” (tikar), Atap-nipah, “rotannetten” (jaring terbuat dari rotan) dan
pembuatan sampan.155 Pekerjaan ini, pada pembuatan jala rotan dan sampan atau
perahu/sampan, mungkin saja tidak dilakukan dalam skala seperti yang diproduksi
oleh para tauke di pantai Bagan, akan tetapi untuk tikar kadjang dan atap nipah,
terutama yang terakhir, kegunaannya terlihat berkaitan juga dengan booming
kegiatan produksi komoditi lainnya di pantai timur Sumatra.
Van Heurn dalam kajiannya atas kawasan mangrove di Sumatra Timur Laut,156 telah
menunjukkan signifikansi ekonomi dari pepohonan bakau di sepanjang pesisir timur
Sumatra, dimana potensi hutan bakau tersebut dapat dilihat dari dua unsur utama
pemanfaatannya; batang kayu dan daunnya. Untuk pemanfaatan kayu, maka
154
Dilihat dalam : “Gronden van Het Cultuurgebied van Sumatra’s Oostkust en Hunne
Vruchtbaarheid voor Cultuurgewassen,” JH De Bussy, 1922, hal.40.
155
Lihat Baalbargen, 1931, hal.28.
156 Lihat Frans Cornelis Van Heurn, “De Gronden Van Het Cultuurgebied Van Sumatra’s Oostkust
pertama-tama adalah fungsi utamanya dalam konsumsi rumah tangga, dan penunjang
kegiatan ekonomi sosial; kita berbicara mengenai ruang-waktu dimana bahan bakar
masih ditopang oleh ketersediaan kayu bakar, baik rumah tangga maupun sebahagian
industry diakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Penggunaannya dalam skala besar
untuk memasok kebutuhan sarana transportasi seperti bantalan rel kereta api, mulai
dari Sumatra Timur Laut hingga wilayah menuju Aceh. Sementara di wilayah pesisir
sendiri, dapat dikatakan seluruh pembangunan menggunakan kayu, terlebih dengan
mulai berkembangnya industri perikanan. Di muara Rokan, berbagai laporan
menyebutkan bahwa pemasok kebutuhan kayu dari pedalaman terutama untuk
pembuatan jermal dan ambai, tidak hanya dilakukan oleh panglong yang dikelola oleh
orang-orang China, melainkan juga dilakukan oleh Melayu; sebuah jermal besar
membutuhkan kayu besar, ribuan kayu kecil, dan juga rotan, menghabiskan biaya
hingga f5000; dan jumlah jermal besar itu mencapai hingga ratusan unit. Jumlah ini
diluar alat tangkap lain seperti jermal kecil, bubu, ambai, belat, dan juga ratusan
perahu besar –kecil; hamparan pelantaran yang luasnya meliputi sepanjang pantai
Bagansiapiapi; bangliau-bangliau, gudang-gudang, toko-kedei, rumah; dan sejumlah
keperluan lain. Jumlah kekayaan muara guna pemanfaatan kayunya, jelas merupakan
suatu perekonomian yang signifikan bagi pemanfaatan ruang kota Bagansiapiapi.
Besarnya nilai perekonomian ini, belum termasuk yang digunakan anak bumi dalam
lingkup lanskap, yang tersebar. Bahwa penggunaan kayu yang tentu membutuhkan
pemeliharaan, seperti penggantian disebabkan lapuk, kerusakan lain ataupun karena
peristiwa kebakaran, menjadi sebuah proses pemanfaatan sumber daya hutan muara
yang cukup besar.
Adapun pemanfaatan mangrove yang kedua, kita dapat melihat pada dedaunan-nya.
Seperti dillaporkan Hijman van Anrooij bahwa populasi lanskap Bangko, terlihat
terlibat dalam industri pembuatan rokok yang biasa dikonsumsi dikalangan pribumi;
Pucuk Nipah. Sebagaimana telah disampaikan halnya di kawasan Sumatra Timur Laut,
anak bumi sungai Rokan turut memasok kebutuhan pucuk nipah hingga ke kawasan
Deli. Selain itu, hasil dari dedaunan mangrove lainnya, adalah: atap-nipah. Van Heurn
membahasnya secara lebih mendetail tentang apa yang dilihatnya di Sumatra Timur
Laut. Bahwa dikatakan kegiatan itu sebagai suatu industri, sebab skala produksi yang
dihasilkannya semenjak kehadiran Eropa, melonjak cukup tinggi. Semula, atap-nipah
hanya digunakan bagi kebutuhan populasi Melayu sendiri sebagai bahagian atap
ataupun dinding rumah, sehingga pembuatannya juga terbatas dan skala kecil. Atap
serupa dipedalaman, bahan pembuatannya menggunakan alang-alang, halnya nipah,
hanya ditemukan dibahagian pesisir. Akan tetapi, kehadiran secara luas perkebunan
tembakau yang ternyata membutuhkan keberadaan atap nipah bagi gudang-gudang
tembakau; dikatakan memiliki efek yang lebih baik bagi penjagaan kualitas tembakau,
atap nipah memungkinkan tersedianya semacam ventilasi bagi tembakau sebagai sifat
porositas-nya; dinding dan atap harus cukup tebal untuk kondisi sehari-hari dimana
fluktuasi suhu menjadi serendah mungkin; selanjutnya cukup dekat untuk menjaga
dari kabut malam, akan tetapi cukup sejuk dan berpori untuk memberikan
81
penyegaran udara yang cukup bagi keadaan ideal tembakau;157 sehingga tidak
terelakkan pemesanan atap nipah secara besar-besaran bagi penunjang perkebunan
Eropa itu. Pesatnya penggunaan atap Sumatra Timur Laut, telah mencapai 25 juta
keping ditahun 1887, dengan nilai mencapai 8-14 dollar per seribunya. Sementara
pada tahun 1871, nilainya sudah mencapai f15 per seribunya. Tidak heran, bahwa
terdapat suara-suara di “Deli Plantersvereeniging” untuk memohon bantuan
administratif guna pengawasan produksi atap dan mempromosikan penanaman
nipah. Kesulitan ini tentu berasal dari sana, bahwa pasokan atap-nipah bervariasi
dalam musim yang berbeda. Seperti keluhan pada tahun 1891 terutama di bulan
Maret, April dan Mei, di mana kebutuhan besar mendesak dihadapkan dengan
rendahnya pasokan, sehingga harga melonjak pada bulan Juni. Angka-angka yang
tertera pada 1890 pada bulan Januari dan Februari; lebih dari dua juta atap dibawa
dengan sejumlah tongkang dan memiliki harga berkisar 13 hingga 16.5 dollar per
seribunya. Pada bulan Maret dan April angka tetap di bawah dua juta, tetapi harga
dipertahankan. Pada bulan Mei, jumlah belum jatuh, Namun, harga telah pindah dari
13 ke $ 17,75. Pada bulan Juni dan Juli dibesarkan lagi lebih dari 2 juta atap dan harga
telah 17,5 hingga 30 dollar. Agustus dan September memiliki persediaan, Masing-
masing sekitar 2 juta unit terhadap harga 12,5 hingga 15 dollar; pada bulan Oktober
hingga Desember, ada lebih dari 2 juta per bulan dijual sekitar 13.5 dollar per seribu.
Halnya para pemilik kebun, peminat atap-nipah di Bagansiapiapi sebahagian memiliki
lebih banyak agen untuk pembelian atap-nipah dan membayar mereka komisi. Hak
“pacht”perdagangan hasil ini dikalangan Melayu, dimiliki oleh Sultan dan dijalankan
oleh kelompok pedagang yang telah ditunjuk. Sejumlah besar pohon nipah juga
tumbuh di di sepanjang muara sungai Kampar sebagaimana disebutkan oleh IJzerman
;158 dan ini memungkinkannya industri atap nipah untuk muncul tumbuh menjadi
lebih besar lagi : tanaman nipah dan industri atap pribumi secara bertahap telah
berkembang menjadi sangat penting. Sebaliknya,
kemandegan produksi atap nipah pada sepuluh tahun sebelumnya, oleh van
Heurn dituding sebagai akibat minimnya sumber daya pekerja, kurangnya
kewirausahaan pribumi dan pengaruh kebijakan penguasa Melayu. Dikatakan
bahwa para kepala dan orang-besar, dalam sifat pemerintahan tradisionalnya
telah membatasi populasi pelaku industri untuk bergerak dalam wilayah yang
lebih luas. 159
157
Mededeelingen van het Deli Proefstation I (1906— 1907), hal.149, wordt hieromtrent gezegd:
„Atapschuren verdienen de voorkeur door hunne poreusheid, die eene voortdurende ventilatie
toelaat. De wanden en het dak moeten dik genoeg zijn om de dagelijksche schommelingen der
temperatuur zoo laag mogelijk te houden; verder dicht genoeg om de binnendringende
nachtlucht van nevel te zuiveren, maar luchtig en poreus genoeg om voldoende
luchtverversching mogelijk te maken.
158 Ijzerman, 1895.
159 Van Heurn mengemukakan bahwa itu terkondisikan melalui kekuasaan antar datuk dalam
wilayah-wilayah yang berbeda di pantai timur, sebagaimana Hijman van Anrooij, “De grenzen van
82
Tudingan ini pada faktor pertama dan ketiga, mungkin saja ada benarnya, mengingat
minimnya populasi Melayu dipesisir timur Sumatra, serta hak dan batas tradisional
dikewilayahan yang didominasi oleh klan berbeda, meskipun kepemilikan
perdagangan memang ditetapkan oleh Sultan, akan tetapi kawasan sumber daya
hutan nipah, merupakan bahagian real dari kekuasaan nyata para datuk disebaran
lanskap pesisir. Faktor kedua, tentang ketiadaan jiwa kewirausahaan pribumi? Kondisi
ini, persis sebagai tudingan Max Weber atas kebangkitan peradaban yang
dikatakannya hanya muncul di Barat, tidak di Timur. 160 Dunia konservatif tradisional
anak bumi, dipaksakan untuk beradaptasi dan memenuhi tuntutan kapitalisme
kolonial barat hanya dalam rentang dua sampai tiga puluh tahun saja, dan ini tentu,
rasa cultural schock tentu tidak hanya melanda kalangan anak bumi saja, melainkan
juga orang barat itu sendiri. Tidak terbayangkan stress yang dialami para manajer
pekebun modern itu dalam menghadapi hitungan atap-nipah yang tidak sesuai dengan
kebutuhan! Atau penggunaan tenaga kerja anggota keluarga secara maksimal dan
optimal dalam industri atap-nipah, telah menekan pola kerja yang selama berabad-
abad telah mereka pahami dan terserap dalam kolektif kekerabatan sebagai
pemenuhan kebutuhan sendiri, menjadi pemenuhan kebutuhan untuk orang asing.
Dan ini berarti,
anak bumi telah nyata memasuki dunia komersil secara signifikan yang semula
dari tatanan subsisten saja; atap-nipah, terutama semenjak kedatangan
orang China dan Eropa kesana.
Hingga ditahun 1920-an, masih lazim digunakan atap nipah dalam “industri modern,”
dan tidak terbatas pada kegiatan diperkebunan komersil saja. Penggunaannya juga
ditemui dalam keberlangsungan industri perikanan di pesisir, seperti di Bagansiapiapi.
Keberadaan bangliau, gudang, toko-kedei dan rumah, hingga sebelum kebakaran
besar tahun 1908, umumnya masih menggunakan atap nipah. Seperempat abad
semenjak pemantauan Hijman van Anrooij di lanskap Bangko, atap-nipah adalah suatu
de Residentie Sumatra’s Oostkust en van haar samenstellende deelen. Tijdschrift van het Ned.
Aardr. Genootschap. Tweede Serie, I (1884), 291.
160 Kapitalisme Belanda, menemukan musuh sejatinya dalam diri tradisionalisme anak bumi;
komoditas yang umum diproduksi dikalangan anak bumi. Mungkin saja, saat
kedatangan pengamat Eropa itu, industri perikanan belumlah seperti setelah
kedatangan Belanda di Bagansiapiapi, sehingga permintaan akan kebutuhan, dipenuhi
untuk kebutuhan sentra perkebunan tembakau yang memang telah tumbuh pesat di
Sumatra Timur Laut, seperti Deli. Pengiriman, dilakukan dengan junk milik orang China
dan kapal-kapal milik pedagang Melayu. Pesatnya industri, berarti tingginya
permintaan akan atap-nipah yang terspesialisasikan sebagai produk dari anak bumi.
Nilai dari atap-nipah hingga tahun 1920-an, sebagaimana telah dihitung oleh van
Heurn, mencapai 7 dollar perseribu-nya. Sementara kebutuhan untuk perkebunan
tembakau, bangliau, gudang, kedei, rumah, bahkan kapal dan perahu nelayan, dapat
mencapai ratusan ribu hingga jutaan unit, dan ini memerlukan pergantian yang lama
dengan atap nipah baru setiap 3-4 tahun sekali. Dengan demikian, dipastikan terdapat
hitungan tinggi nilai ekonomi disini, dan dapat dikatakan bahwa,
“tidak dapat diabaikan nilai dari industri atap-nipah Melayu pesisir, baik bagi
pemasokan kebutuhan sentra perkebunan tembakau di Sumatra Timur Laut,
maupun sentra industri perikanan di Bagansiapiapi.”
Tentu saja, signifikansi produk atap-nipah berkaitan dengan pekerja yang terserap
kedalam industri ini, biasanya terdiri dari anggota keluarga atau kerabat “rumah
produksi.” Penggunaan atap nipah, nampaknya mulai berkurang diruang perkotaan
Bagansiapiapi pasca kebakaran 1908. Belanda, melakukan penataan ulang kota pasca
kebakaran, sehingga tampilan kota lebih modern dan menggantikan atap nipah
disebabkan alasan mudah terbakar, dan tampilannya yang terkesan tradisional. Akan
tetapi, penggunaannya pada industri sebenarnya belum banyak berubah. Hasil hutan
yang dicatat oleh Haga di tahun 1915 sebagai berikut: 161
Sebahagian hasil hutan itu, sebagaimana dilaporkan Haga, dikirimkan ke Melaka dan
Singapura dengan menggunakan tonkang China dan juga jaringan KPM, sebagai hasil
161
Haga, “De Beteekenis Der Visscherij van Bagan Api Api en Hare Toekomst, 1920, hal.240.
84
yang tidak hanya berasal dari onderafdeeling Bagansiapiapi, melainkan juga distrik di
pedalaman Rokan. Sebagaimana diketahui, Onderafdeeling Bagansiapiapi yang
wilayahnya terdiri dari pesisir dan pedalaman (hulu), maka memiliki konsekuensi logis
corak mata pencaharian yang berbeda; terutama mengikuti garis geografis tempat
penduduk berada. Di Pesisir, atau muara, maka tidak diragukan lagi penduduk
mayoritas adalah nelayan dan pengumpul hasil hutan. Adapun di hulu sungai, maka
didominasi oleh pengumpul hasil hutan, peladang dan pekebun. Sebagaimana
disampaikan bahwa terdapat juga komunitas China diluar kota Bagansiapiapi:
komunitas yang tersebar di subdistrik Bangko, terutama dalam pengusahaan sebagai
pekebun ataupun Panglong.
162Kontrak politik 25 Oktober 1890 hanya diberikan gouv. Keputusan 27 April1893. Kecuali untuk
beberapa perubahan kecil yang di dalamnya membayar suplemen lebih menarik, n.1. pemerintah
ditetapkan untuk dirinya sendiri hak untuk memungut beban pada penggergajian (panglong).
86
163
Schadee, “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust,” 1919, hal.61.
87
Terusan jalan menuju Teluk Pulau, melalui rawa gambut, akan tetapi dengan
dibuatnya parit sepanjang jalan, maka diperoleh hasil kondisi yaitu dari semula tanah
rawa berair menjadi tanah yang kering. Jalanan disekitar ibukota Onderafdeeling,
terlihat bagus, padat, terutama jalan-jalan yang berhubungan dengan Perkebunan
Karet milik orang China, dimana jalan tersebut digunakan untuk kepentingan skala
lokal. Situasi pemukiman sebagaimana diterdapat pada peta hingga tahun 1900,
menunjukkan bahwa konsentrasi pemukiman pada kampung-kampung di tepian
sungai dan menggunakan sungai sebagai transportasi. Berbeda dengan peta pada
tahun 1930-1940-an, bahwa mulai dari Bagansiapiapi hingga Jumrah yang berjarak
60km di pedalaman, pola pemukiman menunjukkan bahwa desa-desa dialiran sungai
utama juga dihubungan dengan “voedweg” (jalan setapak); suatu periode bahwa
wilayah dalam lingkup kewedanaan Bagansiapiapi, diarahkan sebagai sentra-sentra
hasil sumber daya yang akan dibawa menuju Bagansiapiapi. Suatu kebijakan rezim
kolonial dalam menghimpun surplus dari desa menuju kota. Perkembangan jalur
transportasi diwilayah pedalaman yang semula hanya diakukan melalui sungai. Bahwa
Belanda adalah pihak yang menfasilitasi ini, dapat dimengerti; sehubungan dengan
kepentingannya untuk mengangkut hasil bumi menuju pelabuhan di Bagansiapiapi.
Meskipun demikian, keberadaan jalan setapak ini, tidak pernah disebut-sebut pada
masa pasca perang; bahkan eksodusnya Melayu yang menghindari “perang Bagan”
1946, tidak dikatakan menggunakan jalan setapak ini: berkemungkinan masa
pendudukan Jepang telah melumpuhkannya. 164 Bagaimanapun juga, sebelum kita
melihat bagaimana perkembangan kota Bagansiapiapi, pada bahagian berikut,
terlebih dahulu ditelusuri industri perikanan terpenting di dunia setelah Norwegia
yang diasumsikan menarik kedepan perkembangan-kewedanaan secara keseluruhan.
Dan ini juga berarti, bahwa
memasuki abad ke-20, orang Melayu yang bermukim di kampung-kampung di
sepanjang tepian sungai dan anak sungai Rokan, Belanda telah merancangnya
untuk secara gradial “ditarik” guna mendukung pola perekonomian Hindia;
Meskipun demikian, nampaknya hingga runtuhnya Hindia Belanda, Melayu tetap
bertahan dengan lingkungan pola tradisional, hanya saja lapisan pedagang dari anak
bumi pasca perang mulai tumbuh secara perlahan menuju suatu dunia yang
merupakan kharakter dari “Laut Melayu”, dunia yang direduksi oleh penjajahan
Belanda, suatu alam kosmopolitan yang direngutkan dan didiperoleh kembali dalam
periode yang bersamaan antara surutnya industri dan rentannya masa-awal republik;
Smokkelhandel di Selat Melaka. Gambar berikut (3.5) menunjukkan bahwa pola
pemukiman Melayu dalam sebaran hunian kampung-kampung, tidak saja hanya
berlokasi mengikuti alur anak-anak sungai, melainkan juga mengikuti alur jalan
164
Jalan setapak atau jalan tanah, merupakan jalan yang dengan cepat akan ditumbuhi belukar
yang menyamarkan kondisinya. Masa 3 tahun pendudukan Jepang dengan ketiadaan kegiatan
ekonomi yang berarti, dan ini cukup untuk menumbuhkan belukar sehingga tidak lagi diminati
bagi para pelintas.
88
165Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, Volume 7, 23 May 1923, Edition
007-1923-0008 — Page 123,
89
166
Graadafdeelingblad van Sumatra’s oostkust No.19/XII, dated 1931.
90
91
4
Kekerabatan dan Kekuasaan
kekayaan alam yang memiliki khasiat sebagai ramuan penyubur akan cenderung
bernilai tinggi, dan terutama menjadi hak privilege dari penguasa. Selain itu, kondisi
demographi sendiri dapat kita lihat dari ketergantungan populasi atas kondisi
ekologinya; kegiatan pengumpulan hasil alam yang terbukti hingga abad ke-19, hanya
mendukung pertumbuhan populasi yang cukup rendah. Terdapat juga wabah penyakit
yang begitu mematikan; laporan penyebaran wabah di lanskap Kubu yang memakan
korban hingga 1000 jiwa, dan di Tanah Putih di abad ke-20. Apa yang terjadi di Kubu,
menyebabkan populasi hanya tinggal separuhnya.168 Bahkan di dataran tinggi, wabah
penyakit yang menyerang dapat menyebabkan korban ribuan jiwa dalam satu bulan
saja. Situasi kehidupan yang seringkali berada didalam ketidakpastian, akan
menyebabkan begitu pentingnya kekerabatan. Seseorang, bisa meminta tolong pada
167IJzerman,1895.
168
Rijn van Alkemade, 1885.
92
anggota kerabatnya yang lebih kuat atau makmur, atau paling tidak banyaknya
anggota kerabat meminimalisir kekuatiran diri akan resistensi lingkungan. Dalam
kehidupan yang diselimuti ganasnya rimba dengan hewan pemangsa, maka bentuk
keluarga luas menjadi alasan pembenaran bagi terciptanya rasa aman. Sekelompok
keluarga besar, akan cenderung lebih siap dalam menghadapi serangan harimau, atau
buaya yang seringkali mengintai diperairan. Begitu pula dengan akses terhadap
sumber daya, luasnya jejaring kekerabatan akan memudahkan pencapaian akses yang
dimiliki alam, pekerjaan akan terselesaikan lebih cepat dan juga mengurangi resiko
kegagalan. Hal ini berarti; semakin luas kekerabatan, akan semakin meningkatnya rasa
aman bagi setiap individu anggota kekerabatan. Sebaliknya, minimnya jumlah kaum
kerabat hanya bisa menggugah perasaan cemas. Bisa saja, seseorang mungkin tidak
pernah tahu tiap-tiap orang di keluarganya dalam kekerabatan yang lebih luas, akan
tetapi ia harus tetap selalu berada dalam kondisi siap untuk klaim dari segenap
kerabatnya. Kerabat, berarti keamanan, karena tentu saja mereka ini bisa dipercaya;
wajar, dan yang berada di luar “lingkaran keajaiban” dari kekeluargaan, dianggap
berpotensi sebagai ancaman, sebaliknya, rasa percaya diri yang menguat dan
optimisme, seringkali sebagai hasil dari perolehan dukungan kerabat. Ditambahkan
pula, terdapatnya kisah-kisah menyeramkan tentang bajak laut, pemburu kepala
(headhunter), penculik manusia untuk dijadikan budak, dan monster jahat; dapat
dipandang sebagai bentuk-bentuk persaingan antar suku untuk menguasai sumber
daya yang sama; lembah-lembah sungai datar dan wilayah yang dapat diakses dari
hutan hujan. Individu, secara tidak sengaja berburu atau memancing di luar domain
klan mereka, bisa dikenakan hukuman berat jika ditemukan oleh orang-orang yang
bisa saja mengklaim sebagai tidak adanya hubungan kerabat dengan dirinya. Dampak
dari kondisi ini, maka semakin kuat hubungan antar klan, semakin besar pula
kewajiban antara kedua pihak untuk saling memberi dan menerima bantuan. Dapat
dikatakan, bahwa ketergantungan dan kepercayaan kepada kerabat dekat, maka
didalamnya ditempatkan fungsi yang sedianya diperkuat oleh lingkungan ekonomi.
Dalam perladangan berpindah yang menjadi khas daerah-daerah di Sumatra, unit
kerja dasar bersifat tidak begitu banyak melibatkan garis keturunan secara
keseluruhan, akan tetapi terbatas pada kelompok keluarga kecil orang tua dan anak-
anak. Dalam bentuk perekonomian seperti ini, sedikit saja diperlukan tingkat
kerjasama, berbeda dengan skala besar seperti yang diperlukan dalam pengerjaan
sawah (wet culture) di desa-desa Jawa. Bahwa seorang Kubu atau Bangko, akan
membutuhkan kerjasama dari keluarganya; isteri dan anak, untuk mengerjakan atap-
nipah, ataupun memotong rotan; begitupula halnya seorang nelayan yang bekerja
dengan istri dan anak-anaknya secara bersama, dan bahkan keluarga ini bisa saja
dibawa pada suatu ekspedisi perdagangan. Pada kesempatan tersebut setiap anggota
keluarga akan memiliki tugas-tugas tertentu sebagai bagian dari keluarga dengan basis
ekonomi, interaksi diperkuat oleh kecenderungan untuk menganggap orang tua dan
anak-anak sebagai satu kesatuan. Kesatuan dan kebersamaan yang merupakan
berkah, dalam segala situasi yang melahirkan sikap-sikap kebersamaan sebagai
sesama anggota keluarga; dalam senang atau susah, dalam suka atau duka, dalam
93
169
Andaya, 2008.
170
Bowen, “Cultural Models,” hal.164.
171 Bowen, “Cultural Models,” hal.173.
172 Andaya memandang bahwa dalam dunia Melayu, penyalinan kembali teks dilakukan dengan
“improvisasi” mengacu pada realita sosial dan politik. Ini seringkali berakkibat in the expunging
Dan memasukkan informasi guna mendukung klaim geneologi dari kekuasaan keluarga.
173
Schulte Nordholt menggambarkan situasi di Bali pada pertengahan abad ke-19 ketika Belanda
menyuburkan konflik sebagai akibat persaingan antar faksi; dan beberapa keluarga menulis ulang
sejarah (babad) untuk menguatkan posisi otoritas mereka di pulau Bali. Schulte Nordholt, Spell
of Power, 1; Schulte Nordholt, “Origin”, hal.54–5.
94
peristiwa yang dikenal hari ini sebagai “Hikayat Siak”.174 Dalam situasi inilah dilakukan
penulisan atau re-diedit “Sejarah “ Melayu yang menekankan keturunan dan asal
terkenal (asal) dalam menceritakan silsilah kerajaan mereka. Sementara posisi
penguasa dengan keturunan unggul adalah bagian penting dari pemerintahan Melayu,
bahkan lebih penting lagi adalah aliansi jaringan kekerabatan yang merupakan dunia
politik itu sendiri. Jaringan tersebut difasilitasi oleh praktek menelusuri garis melalui
keduanya; laki-laki dan perempuan, Sehingga hampir tak terelakkan bahwa akan
terjadi tumpang tindih kerabat di "tepinya." Seperti dalam model pemerintahan
mandala, "pinggiran" adalah situs kontestasi antara keluarga. Bahwa perluasan
kekerabatan ini, memiliki serta potensi konflik di tepinya: yang secara alami
menyentuh satu sama lain dan dapat mengatur friksi.175 Lebih jauh dikemukakan;
Untuk meminimalkan konflik tersebut, mungkin saja terdapat kecenderungan
untuk "re-enter" anggota periferi atau sepupu ketiga dengan menikahi
mereka. Dalam pencarian acak "pupu" (kelas, derajat hubungan) hubungan
terdaftar hanya sejauh Tiga pupu; hal ini tampaknya menjadi batas paling
umum langsung ego "keluarga," dan karena itu menjadi keharusan untuk
menikahi sepupu ketiga untuk mencegah mereka meninggalkan keluarga dan
menjadi orang luar. Tetapi masing-masing individu dalam unit keluarga inti
tersebut akan memiliki jaringan kerabatnya sendiri, berkontribusi terhadap
proliferasi jaringan kekerabatan. Penekanan pada prinsip aliansi dalam
pernikahan antara Melayu sebelum abad kesembilan belas membantu untuk
memperpanjang keluarga. Karena pentingnya jaringan keluarga, cara lain
yang bekerja selain pernikahan untuk memperluas keanggotaan. Salah satu
cara yang paling umum adalah melalui silsilah fiktif untuk memasukkan tokoh
sejarah yang kuat sebagai nenek moyang. Seperti nenek moyang fiktif tidak
hanya memenuhi fungsi yang berguna sebagai pembawa budaya, tetapi juga
memungkinkan keluarga ambisius untuk melegitimasi klaim mereka atas
bagian dari sumber daya politik atau ekonomi yang dikendalikan oleh nenek
moyang tertentu langsung ke kelompok kerabat.176
Alasan utama berlangsungnya pernikahan, adalah kelahiran anak-anak. Selain sebagai
penerus kekerabatan, dan ternyata terdapat alasan bernilai tinggi untuk memiliki
anak-perempuan. Perempuan memainkan penting bagian dalam pemeliharaan garis
keturunan, selain tanggungjawab penjagaan simbolisasi kesepakatan yang dicapai
oleh nenek moyang mengenai batas-batas wilayah. Kita tidak dapat mengatakan
bahwa hal ini terjadi hanya pada daerah yang berada dibawah pengaruh Minangkabau
bahwa garis keturunan dan warisan melewati garis perempuan; seperti di Semendo,
bahwa putri sulung, selain menjadi ahli waris, juga bertanggung jawab untuk
174
Andaya, “Bugis Diaspora, Identity.”
175 Brown, Malay Sayings, 126; Andaya, hal.74.
176 Situasi peran tertentu dari kekuasaan moyang merupakan suatu phenomena umum. Lihat
Andaya, To Live as Brothers, ch. 6; Andaya, Heritage of Arung Palakka. Andaya, hal.74.
95
177
Sebagaimana dicatat Rijn van Alkemade, 1884. Lihat juga Wan Saleh Tamin, 1972.
96
178 Disebut juga beting, semacam timbunan(endapan) pasir atau Lumpur yang mengendap di laut
dan menghubungkan kedua pulau.
179 Mohd. Yusof, Salasilah Melayu dan Bugis, 120, line 16.
180
Kassim, Hikayat Hang Tuah, 170–1.
181 Dalam berbicara tentang saudara angkatnya (yaitu, "saudara sepersusuan") Aziz, kaisar
Mughal Akbar (1542-1605) dianggap telah mengatakan, "Antara aku dan Aziz adalah sungai susu
yang aku tidak bisa menyeberanginya, dalam Lai, “Settled,” 14–9; Andaya, 75-6.
97
dibunuh oleh bangsawan di tahun 1699.182 Menurut versi Melayu, Raja Kecil dibawa
sebagai seorang pemuda ke kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, di mana ia diadopsi
oleh Putri Jamilan, ibu dari penguasa Pagaruyung. Ia adalah orang luar, Keturunan
yang diduga keluarga kerajaan Johor, tetapi melalui adopsi ia menjadi Minangkabau
penuh dan bahkan menikmati hak istimewa menjalani sistem kerajaan Minangkabau.
Ini adalah penyerapan Raja Kecil ke dalam keluarga kerajaan Minangkabau yang
menyediakan kunci penting untuk kemampuannya membangkitkan dukungan di
kalangan Minangkabau di rantau timur (Daerah yang ditetapkan oleh Minangkabau
diluar tempat asalnya di dataran tinggi Sumatera bagian tengah). Kualitas khusus Raja
Kecil yang ditekankan oleh Putri Jamilan saat upacara pengukuhannya. Contoh-
contoh yang dikutip di atas menyorot fitur tertentu dalam praktek adopsi di dunia
Melayu. Pertama-tama, adopsi terjadi tidak pada saat lahir, tetapi di kemudian hari
ketika karakter individu telah ditentukan. Kedua, orang tua angkat merupakan elit
masyarakat Melayu, dan ketiga, individu yang diadopsi merupakan orang luar yang
penggabungan akan bermanfaat bagi kelompok. Melalui penerapan kelompok tidak
hanya meningkatkan keanggotaannya tetapi juga manfaat dari infus darah segar dan
bakat. Relasi persaudaraan yang ditetapkan melalui hubungan darah, hubungan per
susuan, atau pun juga adopsi; membentuk inti dan obligasi terkuat dalam kelompok
kekerabatan; saudara dikatakan saling mengasihi sejak usia dini, dalam sakit dan
sehat, bahagia dan kesusahan, akan membantu satu sama lain dalam masa-masa sulit
tanpa keraguan sedikitpun.183 Hubungan yang lebih jauh hingga sepupu level ketiga
(tiga pupu) mungkin disini tidak dapat dinikmati kedalaman yang sama dari loyalitas
dan pengabdian sebagai saudara kandung, akan tetapi mereka tetap dalam posisi
dihormati sebagai anggota keluarga. Contohnya, ketika penguasa Rokan di pantai
timur Sumatera mengunjungi Melaka, ia "diperlakukan dengan perbedaan besar"
karena istrinya adalah saudara penguasa Melaka.
Hatta Raja Rekan pun datang mengadap ke Melaka, maka sangat dipermulia
oleh Sultan Muhammad Syah, kerana Raja Perempuan itu saudara sepupu
kepada Raja Rekan. Adapun Raja Rekan itu anak Sultan Sidi, saudara Sultan
Sujak. Apabila Raja Rekan akan masuk mengadap, orang menitir gendang ria,
sekalian orang berkampung. Itulah maka diperbuat orang pantun:
Gendang ria dapat berbunyi,
Raja Rekan masuk mengadap
Orang kaya apa disembunyi
182 Andaya, Kingdom of Johor; Barnard, Raja Kecil. Bahwa even ini disebutkan baik dalam catatan
Belanda sebagaimana dalam Hikayat Siak, Salasilah Melayu dan Bugis, dan juga Tuhfat al-Nafis.
183 Kedalaman hubungan ini ditangkap di Salasilah Melayu dan Bugis, yang berbicara tentang
hubungan yang sangat dekat antara lima bersaudara Bugis, terutama bertanggung jawab untuk
membangun kehadiran Bugis di dunia Melayu pada abad kedelapan belas. Menurut Salasilah,
ditulis oleh keturunan Bugis bersaudara ini, Mohd. Yusof, Salasilah Malayu dan Bugis, 229, line
33.
98
184
A.Samad Ahmad, Sejarah Melayu, 1979: A-99;B-99.
185
Foreest and Booy, De Vierde Schipvaert, vol. 1, 225; Hamilton, A New Account, vol.
2, 28, 96.
186 Andaya, “Orality, Contracts,” hal.25.
187
Wan Saleh Tamin, hal.70.
188 Betapa Belanda mengikuti Raja Alam hingga ke Sungai Pelam untuk “menagih” hutang; lihat
Netscher, 1871.
189 Barnard, dalam Multiple centre of Authority: Society and Environment in Siak and East
praktek hubungan pernikahan, persusuan, dan adopsi. Fitur besar budaya ini adalah
kemampuan mereka untuk secara progresif memperbesar lingkaran kerabat dekat
mereka, kemampuan tercermin dalam terminologi kekerabatan yang dapat dengan
mudah diterapkan untuk kerabat dekat atau jauh, dan sama sebagai tanda
penghormatan atau kasih sayang. Akan tetapi, bentuk-bentuk perluasan kekerabatan,
seperti adopsi dapat mengaburkan hubungan antara anggota keluarga, diduga
terdapat ambivalensi terhadap praktek adopsi tersebut. Adopsi bisa saja mengangkat
kedua prospek yang memperluas batas-batas kelompok, tetapi juga sekaligus menjadi
“momok” konflik akibat tumpang tindih keluarga di tepi silsilah. Meskipun demikian,
jika ketakutan lebih bersifat nyata daripada kebaikannya, tentu saja adopsi sudah lama
ditinggalkan. Idealnya, hubungan paling dekat satu sama lainnya adalah yang terjadi
dikalangan saudara kandung, kemudian antar saudara-kerabat. Meskipun masih
terdapat sebuah hirarki lebih tua dan lebih muda, rumus sekelompok saudara-tiga,
lima, tujuh, atau sembilan yang tidak hanya berbagi petualangan tapi saling
mendukung lainnya dalam kesulitan muncul berulang kali dalam legenda. Ikatan
"persaudaraan" ini, paling sering dipanggil antara teman-teman yang terikat
bersama-sama oleh asosiasi panjang dan kepentingan bersama daripada oleh ikatan
darah. Dengan tidak adanya kerabat, hubungan tersebut dapat memberikan bantuan
yang biasanya diperoleh dari kerabat. Meskipun demikian, tanpa ikatan hubungan
keluarga, persaudaraan semacam ini dapat dipertahankan hanya jika kewajiban
bersama secara cermat tertunaikan. Contoh yang dekat adalah petualangan Hang
Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir dan Hang Kasturi. 190 Namun motif persaudaraan
seringkali juga digambarkan sebagai salah satu sisi gelap dalam hubungan manusia,
hubungan yang tidak hanya dihiasi dengan kasih sayang dan dukungan, tetapi juga
dengan kecemburuan, kebencian, dan bahkan pembunuhan antar saudara. Dalam
kehidupan sehari-hari, emosi yang sama dimainkan dalam kehidupan nenek moyang,
juga bisa memporak-porandakan sulaman hubungan keluarga yang idealnya adalah
suatu kedamaian. Ternyata, ditemui bahwa sesama saudara seringkali terjadi
pertengkaran. Bahwa pertikaian antara anak-anak Raja Kecil; antara Raja Alam sang
sulung dengan adiknya, Raja Mohamad mewarnai kekisruhan tahta generasi kedua
dari dinasti Siak; dan “Syair Perang Siak” menggambarkan dengan jelas situasi ini.191
Tiada berapa lama antara
Tiadalah mufakatnya dengan saudara
Hampirlah negeri huru hara
Hendak menanggung duka sengsara
Dengan saudara tidak mufakat
Betapa kronik Siak dalam pandangan Belanda, penuh dengan catatan konflik antar
saudara;192 Pertentangan Raja Ismail dan Mohamad Ali, hingga terusirnya Sultan
Yahya oleh Said Ali. Bahkan, aneksasi Belanda atas Siak pada tahun 1858, didahului
oleh meruncingnya pertikaian Sultan Ismail dengan Tengku Putra. Akan tetapi,
pertikaian tidak terbatas pada sesama saudara saja, persengkataan dalam keluarga
juga dapat terjadi antara ayah dan anak; bisa saja hubungan berubah menjadi sebuah
persaingan keji; Tun Talanai, penguasa legendaris Jambi, telah membiarkan anaknya
sendiri terkunci dalam peti dan membuangnya ke laut karena kekhawatiran bahwa
sang anak mungkin saja suatu hari akan merebut takhta; atau juga kemarahan sang
penguasa Labuhan Papan di hulu Sungai Rokan sehingga membunuh anak-anak dan
isterinya, tanpa terlebih dahulu secara cermat melihat apa yang telah diyakini
keluarganya itu.193 Sang ayah atau Ibu, mungkin saja dapat bersikap berat sebelah;
mendukung anak yang satu ketimbang anak yang lain, sikap pilih kasih, atau juga,
loyalitas perempuan pun sering terpecah diantara suami mereka dan lingkungan
kerabatnya sendiri. Bahwa isteri dari Raja Kecil; Tengku Kamariyah, terombang-
ambing dalam lingkaran konflik antara suaminya dan saudaranya; Sultan Sulaiman. 194
Di balik persepsi hubungan kekerabatan sebagai bentuk interaksi sosial, adalah
kesadaran bahwa mereka selalu tunduk pada gangguan. Karena kecaman atas
ketidakpantasan bisa begitu luas dan dampaknya pun begitu jauh ke depan; salah
satuny adalah perbuatan asusila, mungkin saja merupakan ancaman terdalam untuk
kerukunan tatanan kekerabatan. Nilai normatif tentu terbentuk untuk mengantisipasi
ancaman dan pemeliharaan kedamaian; maka memata-matai perempuan yang
terbuka aurat misalnya, dianggap sebagai penghinaan besar dan merupakan
pelanggaran; lainnya adalah mengintai keberadaannya di luar rumah seperti sedang
mandi di sungai, diam-diam menonton gerakan provokatif tubuh saat ia beraktifitas,
atau bahkan mencoba untuk berada didekatnya yang bukan muhrim, atau
mengandung nilai-nilai yang tidak patut. Hal itu tidak hanya menodai kehormatan
perempuan, akan tetapi juga berarti penghinaan terhadap keluarganya, saudara laki-
lakinya akan terikat untuk membalas dendam; dan itu juga diyakini bahwa
mencemoohkan kebiasaan seksual yang halal, lazim dan ideal merupakan tantangan
bagi hal-hal yang sangat kosmos. Keyakinan bahwa konsekuensi dari kejahatan
seksual seperti perzinahan dan hubungan “sumbang” bisa menjadi bencana bagi
keseluruhan kekerabatan; dijelaskan dari tingkat beratnya hukuman yang diterapkan.
Pada abad ke-13, deskripsi Cina tentang Palembang berkomentar bahwa perzinahan
adalah satu-satunya kejahatan yang layak dikenakan hukuman mati, dan bahkan
komentar senada masih menggema hingga ratusan tahun kemudian. Di abad ke-19,
alasan umum untuk menjelaskan rasa malu dari suku kubu di Jambi adalah bahwa
nenek moyang mereka yang berlindung di hutan, dikucilkan karena perilaku hubungan
sumbang. Atau seperti yang terjadi dengan kelompok petualang Raja Ismail, dimana
192 Seperti yang dikisahkan oleh Netscher dalam “De Nederlanders in Djohor en Siak”,
193 Wan Saleh Tamin, 1972. hal.29-34.
194
Lihat dalam Netscher, 1871.
102
perilaku yang dilakukan seorang kerabatnya dijatuhi hukuman berat; 195 sementara di
hulu sungai Rokan dikenal legenda “anak raja jatuh.” 196 Prinsip yang melekat untuk
sikap-sikap budaya adalah asumsi bahwa semua anggota masyarakat, mulai dari
kelahiran terendah sampai tertinggi, harus sadar akan bahaya yang melekat dalam
hubungan laki-laki-perempuan. Betapa masyarakat dengan serangkaian legenda
yang dimilikinya, menerapkan nilai normatif bahwa tidak peduli ia seorang raja atau
hamba, sama-sama akan menerima sebuah pembalasan atas tindakan yang tidak
bermoral. Dengan demikian Tun Talanai, yang menyingkirkan anaknya sendiri,
menerima hukuman karena ketika sang pemuda kembali dengan balatentara Siam
untuk menghancurkan Jambi; sementara Aria Damar membunuh dirinya sendiri
karena tidak menghormati istri orang lain; Perpatih nan Sebatang, pahlawan
Minangkabau yang memainkan peran penting dalam banyak legenda dari pedalaman
Jambi, melarikan diri karena malu ketika ia menemukan ia tanpa disadarinya terlibat
dengan adiknya yang lama hilang; Puteri Pinang Masak.197 Bahwa sebagaimana
diketahui, dalam budaya yang bahkan bisa menghukum mati seorang putri karena
perbuatan perzinahan, pembicaraan mencolok tentang amoralitas kerajaan akan
memiliki makna lebih mendalam ketimbang hanya skandal semata. Dengan
demikian, rumor “mengkhianati” bukan hanya mengenai rasa ketidakpuasan dengan
perilaku seorang penguasa, akan tetapi ketakutan mendalam tentang bahaya
bencana yang akan menimpa bagi seluruh masyarakat, sebagai akibat perilaku
penguasa. Menurut Barbara Andaya, pandangan bahwa standar yang mengatur
kehidupan manusia biasa dan perempuan, harus sama diberlakukannya terhadap para
penguasa, memiliki dampak penting bagi hubungan antar negara.198 Pernikahan
antara keluarga tinggi selalu menjadi letak dasar diplomasi, dan kelalaian yang
dirasakan sebagai kewajiban yang telah didikte oleh norma kekerabatan bisa menjadi
pemicu krisis antara kerajaan dengan mengasingkan seluruh garis keturunan kerajaan;
pada tahun 1616 misalnya, kerajaan Jambi dan Indragiri berada pada istilah miskin
karena penguasa Jambi telah menyisihkan istrinya Indragiri-nya. Berulang kali di
tahun-tahun yang diikuti, hikayat ataupun sumber VOC memberikan contoh buruk
tentang aksi satu kerajaan terhadap lainnya; dan satu lagi karena beberapa
penghinaan hampir selalu melibatkan perempuan. Salah satunya yang sarat emosi
misalnya menyangkut penolakan pewaris Jambi untuk mengakhiri hubungan dengan
mantan budak gadis Bugis, dan selanjutnya bertunangan dengan putri raja
Palembang. Bertahun-tahun kemudian kenangan penghinaan ini muncul dalam
sumpah Sultan Palembang, bahwa ia akan "membasmi" semua klan kerajaan Jambi.
195 Barnard, Timothy P.,“Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay
Identity in the Eighteenth Century,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across
Boundaries, First Edition, 2004.
196 Wan Saleh Tamin, hal.22-25.
197
de Kock, "Legenden van Djambi," pp. 36-41; "Piagam atau sejarab Marga Air Hitam," fo. 4;
Westenenk, "Rentjong-schrift," p. 104; VOC 1498 Palembangto Batavia, 22Jan. 1691, fo. 147v.;
Barbara Andaya, hal.28-9.
198
Barbara Andaya, hal.28-9.
103
1718, dimana Raja Kecil dibantu oleh sepasukan Minangkabau dapat menaklukkan Johor.
104
keloear dari kepala soekoenja, masoek ianja mendjadi orang Radja, tiada
bolëh di kerah oleh kepala soekoenja lagi. 203
Anak IV Suku, keturunan Said, Syarief, Syekh dan bangsa raja dari tempat lain, tidak
diperkenankan berada dalam kelangsungan kerja kerah ditempat semenda-nya, hanya
Sultan-lah yang dapat melakukan perintah itu.204 Sebagaimana diketahui, tatanan
feodal menempatkan Raja sebagai pemilik negeri/tanah, sehingga, melekat dalam
kekuasaan raja apa yang dinamakan sebagai sistem serah dan sistem kerah. 205 Di
satu sisi, penguasa adalah orang dengan kepemilikan harta-kekayaan yang sunguh-
sungguh besar, sumber segala kesaktian dan keramat, kemampuan yang besar dan
luasnya kemurahan hati; sementara di sisi lain, ia bisa saja menjadi serakah, penuh
dendam, sewenang-wenang dan tidak adil. Kontradiksi yang bisa saja merupakan
kharakter khas individu. Sifat-sifat alamiah ini, terefleksikan dalam kehidupan
terutama dalam lingkup kewenangan yang dimilikinya, menyangkut pada lingkaran-
lingkaran diluar diri mulai dari yang terdekat hingga terjauh. Seberapa besar porsi
sikap ini ditunjukkan sang raja, akan mengikuti latar dan kepentingan yang tidak sama
pula. Kategorisasi hamba, merupakan bentuk nyata dari konvergesi sikap-sikap
alamiah tadi, dan ini tidak terbatas disini saja, melainkan meliputi pula areal
kewilayahan kekuasaan yang meliputi bahagian asli(pusat) dan dependensi, atau juga,
wilayah kekuasaan atas bahagian hulunya. Legenda dan dokumentasi Eropa
menunjukkan, bahwa dalam era pra-kolonial, meskipun kekuasaan khusus dikaitkan
dengan mereka, otoritas sebenarnya dari penguasa pusat seringkali minim, terutama
terhadap hulu atau wilayah dependensinya. Sriwijaya, dengan kekuasaan yang begitu
luasnya, kita tidak dapat membayangkan bagaimana pusat mampu mengekang
dependensi yang letaknya begitu jauh, meliputi kawasan hutan-hutan lebat, lautan
ganas dengan sejumlah besar pulau-pulau kecil sebagai tempat bersembunyi para
pembangkang. Dengan demikian, sebagaimana telah disampaikan, sang raja sebagai
pusat kesaktian dan kekuatan, akan menempatkan kutukan bagi para pengkhianat
kerajaan yang dibakukan dalam prasasti-prasasti. Begitu pula Pagaruyung, patung
yang menggambarkan kekuasaan supranatural merupakan alat efektif dalam
memelihara kewibawaan dan kekuasaan berlandaskan kharisma; dan yang terakhir
203 Sebagaimana terdapat pada pasal 13, Bab keduapuluh satu, Baboelkawaid, hal.130.
204 Pasal 14, Bab Keduapuluh satu, Baboelkawaid, hal.131. Bahwa dimaksudkan seseorang dari
kelompok yang dimaksudkan itu, melakukan ikatan kekerabatan melalui perkawinan dengan
salah satu suku, dan kepala suku tidak dapat mengikutsertakannya dalam kerja kerah kecuali
Sultan yang memerintahkannya. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlaku bagi “Orang Dagang;”
sebagai orang yang lahir diluar wilayah Siak dan dependensinya, maka ia akan disertakan kerja
kerah dimana ia bersemenda.
205
Sistem Serah berasal dari anggapan bahwa pemilik tanah disuatu negeri adalah raja, dan tanah
juga dapat diberikan kepada pembesar tertentu; maka, sang hamba yang melakukan
pengambilan hasil tanah/hutan, akan menjualnya kepada pembesar dengan harga yang
ditetapkan; Sistem Kerah, merupakan kewajiban bagi hamba untuk melaksanakan kerja seperti
pembangunan jembatan, gedung, atau sarana lain, yang diatur secara berkala.
105
De Sultan Van Siak met rijksgroten in de afdeeling Bengkalis, Oostkust Van Sumatra, 1888,
Koleksi Tropen Museum.
Bentukan kekuasaan politi yang menghimpun kekuasaan yang sangat luas ini, tentu
pula ditopang oleh sebaran politi-politi dalam wilayah taklukan pusat, yang
menegakkan supremasi berdasarkan kesetiaannya terhadap pusat. Konsekuensi logis,
maka kekuasaan pusat, semakin jauh akan semakin berkurang, semakin memasuki
wilayah arbitrer diwilayah tepi yang berbatasan dengan politi kompetitor. Ketegangan
akan menjadi situasi yang umum terjadi, seperti Siak dengan Aceh, atau Siak dengan
hulu sungai Rokan. Situasi varian politi penuh kompetisi ini, dengan baik dimanfaatkan
penjajah, bahwa kehadiran mereka disana juga merupakan pertanda bagi berubahnya
hubungan antar politi. Belanda, mememiliki alasan bahwa ketika akan menemui
“raja,” seorang putra mahkota (biasanya disebut Raja Muda), dan sejumlah kerabat
kerajaan, bangsawan, dan para pengikut, Belanda mengeluhkan situasi dimana
efektifitas Raja menjadi sangat terbatas dimata Eropa, dimana begitu banyak Raja
akan menyebabkan banyaknya permintaan ini-itu dan ini dianggap tidak efektif bagi
ekspansi kolonial. Raja pusat, bisa saja menandatangani suatu perjanjian dengan
Belanda, akan tetapi, sebaran raja-raja belum tentu merupakan suatu alur
pemahaman yang sama dengan sang pusat. Kondisi ini disebabkan meskipun secara
umum, penguasa pusat mengklaim sebagai penguasa atasan yang samar-samar atas
106
dependensi dan jarang melanggar kehidupan hambanya yang secara geografis begitu
jauh darinya, penguasa perwakilannya bisa saja menggunakan kesempatan untuk
kepentingan sepihak tanpa persetujuan penguasa pusat. Kondisi ini diantaranya
disebabkan di daerah pinggiran (dependensi), pengaruh yang lebih besar sering
bersumber dari individu-individu yang menjadi anggota “jauh” dari garis keturunan
kerajaan dan yang leluhurnya telah memilih untuk tinggal di sepanjang sungai telah
ditugaskan sebagai tanah lungguh. Mereka dan keturunannya tampaknya hadir bukan
sebagai wakil raja, melainkan sebagaimana penguasa pada diri mereka sendiri. Para
ahli sering melihat periode masuknya kolonialis Eropa diiringi dengan penguatan atas
satu kerajaan (kerajaan induk), dan melemahkan yang lain untuk mematuhi mutlak
kerajaan induk. Perilaku ini, digambarkan sebagai bentuk ketidaktahuan Eropa atas
kharakter negeri jajahannya, sekaligus juga dampak keserakahan imperialis yang ingin
secara mudah saja mengatur negeri-negeri yang tersebar dalam suatu wilayah yang
begitu luasnya. Tidak banyak informasi, bagaimana kenegerian di hilir sungai Rokan
mengatur dirinya sendiri, terutama pada periode sebelum tibanya Belanda yang
mengatur ulang pemerintahan tradisional itu melalui perjanjian tahun 1858. Berbagai
laporan yang dicatat para penjelajah disana, terutama setelah negeri-negeri itu
ditransformasi melalui perjanjian versi barat; bahwa dalam konteks barat, kerajaan
induk sebagai pusat, dan negeri dependensi sebagai pheripheri. Dan ini cukup untuk
memberikan gambaran betapa sebuah pusat menerapkan kekuasaannya diwilayah
tepian, yang barangkali jauh dari gambaran sebagai “negeri naungan” dalam masa
kejayaan Melaka; sebagaimana hubungan antara Melaka dan Rokan. Dan anehnya,
Belanda, sebagai tokoh yang menjadi “pembelok” arah evolusi negeri-negeri di pesisir
Rokan, merasa tidak siap dengan apa yang telah dimulainya disana.
Untuk melihat persoalan bagaimana kekuasaan negara pusat diselenggarakan di
pheripheri itu, kita menuju lanskap Tanah Putih. Bahwa pendapatan Sultan Siak yang
berasal dari Tanah Putih, pertama diserahkan kepada adik perempuannya; Tengku
Maklugsun, yang menikah dengan Tengku Kelana dari Pelalawan, dan kemudian
setelah kematiannya, beralih kepada saudaranya, Mangkubumi dari Siak. Yang kedua,
sebagai kompensasi atas pengambilalihan pulau Bengkalis oleh Sultan kepada
Pemerintah Belanda dengan kesepakatan; bahwa sejumlah $400 per tahunnya akan
dibayar kepada Datuk Tanah Putih. Akan tetapi, Hijman van Anrooij dalam catatannya
mengatakan bahwa dokumen tersebut yang pastinya dicatat oleh Mangkubumi,
ternyata dipalsukan, bahwa bagi Mangkubumi, perolehan dari Tanah Putih dianggap
sebagai perdikan turun-temurun. Kondisi itu, menyebabkan hal yang terdapat pada
akte tersebut, bagi Belanda nampaknya semua harus ditolak. Hijman van Anrooij
melukiskannya sebagai berikut:206
bagi orang dengan pengetahuan yang lebih luas, maka orang tersebut dapat
memastikan bahwa hak pendapatan Mangkubumi berasal dari catatan yang
dipalsukan, dimana isinya tidak konsisten dengan adat, bahwa tidak ada
206
Hijman van Anrooij, hal.377-9
107
207
Hijman van Anrooij, hal.396
108
wilayah dependensi.208 Tentang lanskap Kubu dan Bangko, juga terdapat suatu
kebijakan Sultan yang tercantum dalam akte, dimana dikatakan bahwa lanskap ini juga
dibawah pengaruh Mangkubumi, meskipun demikian, di bawah persyaratan dimana
setengah dari pendapatan harus dibayarkan kepada Sultan, sementara separuh
lainnya akan diserahkan untuk Mangkubumi. Akan tetapi, Keabsahan dokumen
tersebut seluruhnya ditolak oleh Sultan. Elemen kunci dalam pelaksanaan
kewenangan dalam komunitas dalam suatu negeri dependensi adalah tidak adanya
paksaan atau bahkan ketiadaan ancaman kekerasan; akan tetapi, tradisi dan sikap
masyarakat wilayah pheripheri pada akhirnya akan disesuaikan dengan keinginan dari
“saudara tua.” Kondisi itu, sebagaimana terdapat ungkapan yang dapat menjelaskan
kedudukan Tanah Putih, Kubu dan Bangko dihadapan kerajaan pusat sebagai berikut:
“Berimam ka ampat soekoe, bertoewan katoewan Sultan Siak,”
Ungkapan diatas yang berarti bahwa mereka berada dibawah datuk empat suku (di
Siak), Sultan Siak sampai kepada bangsawannya. Ketika Datuk dari tiga lanskap di hilir
Rokan berkunjung ke Siak, maka terlebih dahulu mereka selalu menemui datuk di
sana, untuk membahas urusannya dengan mereka. Kewajiban penduduk terhadap
sultan Siak yang memiliki lanskap seperti terdapat dalam seluruh kerajaan,
sebagaimana yang bernama “Larangan Raja” yang memuat produk seperti; gading
gajah, Rhino, guliga , atau cula, di sini mereka mengatakan, tidak pernah ditemukan
komoditi tersebut. Sultan mungkin memiliki nilai pada 4/5 bahagian. Selain itu,
populasi menurut adat juga dikenakan apa yang disebut sebagai “bunga padi” yang
dikerahkan sebagai pajak atas padi tanaman 1 sumpil (sekitar 1 Gantang)beras. Selain
itu, orang-orang dari Tanah Putih, Bangko dan Kubu, juga memiliki kewajiban atas
pemanggilan terhadap mereka untuk datang ke Siak, dan terlibat dalam pekerjaan
mendirikan benteng, jasa pemeliharaan, membuat jalan, selokan dan pekerjaan
lainnya. Untuk pembangunan istana baru Sultan Siak, penduduk lanskap harus
memberikan sebesar f5 per rumah tangga, sebagai salah satu bentuk kontribusi
moneter terhadap kerajaan. Sayangnya, sebagaimana dampak yang dikuatirkan
terhadap kebijakan itu, dikatakan dalam laporan van Anrooij, bahwa Masyarakat di
Tanah Putih, Bangko dan Kubu umumnya menjadi tidak sejahtera, bahkan dilaporkan
umumnya populasi dari Tanah Putih hidup sangat bersahaja. Pandangan bahwa raja
sebagai kepala keturunan, memiliki efek signifikan pada asumsi mengenai hubungan
antara penguasa dan hamba. Terhadap hambanya, tentu tugas utama raja adalah
untuk bertindak, seperti orang tua dan seperti kepala desa, sebagai sumber nasihat
dan terutama sebagai mediator dalam perselisihan. Di kampung (desa) pertengkaran
tersebut mungkin berkisar dari isu-isu serius seperti zinah sampai hal-hal yang lebih
biasa seperti di mana padi dapat menyebar di bawah sinar matahari sampai kering dan
jauh dari penjelajahan menjengkelkan dari ayam tetangga. Demikian pula, seorang
raja juga diharapkan dapat memberikan kebijaksanaan yang akan mendinginkan
semua pihak-pihak yang bersengketa. Tradisi yang berlaku di lanskap pesisir, bahwa
keterlibatan Sultan hanya ketika pihak berwenang setempat telah gagal untuk
mencapai suatu solusi, dan tidak mungkin untuk mencapai kompromi, dan kasus itu
perlu untuk meminta bantuan kepada otoritas yang lebih tinggi. Di hilir sungai Rokan,
maka penyelesaian dibawa ke kerapatan dengan otoritas empat datuk; terlebih ketika
Belanda telah ikut sebagai “Saudara Tua” dari Siak, maka dipastikan jalannya
penyelenggaraan ketertiban mengikuti kehendak penjajah. Terbitnya Baboe’l Kawaid,
sedikit banyaknya menunjukkan kepentingan Belanda dalam birokratisasi
penyelesaian permasalahan mengenai hamba-hamba(rakyat) sultan. Pada era
sebelumnya, pada banyak kesempatan Belanda menyebutkan kepergian perwakilan
penguasa untuk menyelesaikan perselisihan, seperti pada perkara pembunuhan;
begitu pentingnya yang dirasakan penjajah untuk masuk dalam berbagai persoalan,
meskipun pada akhirnya ruang zelfbestuur menunjukkan bahwa Belanda sebenarnya
juga tidak sepenuhnya paham atas persoalan-persoalan tradisional negeri jajahannya.
Untuk itu, “Banding” bisa menjadi sangat penting dalam menyelesaikan sengketa
karena suatu keputusan yang dianggap tidak adil, dapat dituntut kembali bagi
perolehan kompensasi memadai. Secara teoritis, misalnya, pada perihal
pembunuhan maka diperlukan kepada kerabat pelaku menyerahkan anggota keluarga
sebagai pengganti, akan tetapi penguasa bisa mengkondisikan kompensasi dalam
bentuk uang atau bentuk “wang bangun” –yang dibayarkan sebagai gantinya.
Dikatakan di Bangko, bahwa hak bea 10 persen atas pancong alas diberikan kepada
Daëng Puwarih, untuk menyelesaikan utang darah sebesar $1000(?), yang
sebelumnya dikenakan pada rakyat Tanah Putih; atas pembunuhan yang dilakukan
terhadap Daëng Basok, relatif jauh dari Daëng Puwarih, dan ini nampaknya tidak
pernah dibayar. Sebaliknya, informasi yang diperoleh dari SIak, ini tidaklah akan
benar, karena jelas saja kontrak Bangko tidak untuk membayar utang darah Tanah
Putih yang terletak lebih ke hulu, sementara Daeng Puwarih berada di Bangko ketika
Daëng Basok tewas. Tentu saja, Sultan dalam pelaksanaan keputusan, harus
menggunakan persuasi dan konsultasi, dan bukan paksaan. Otoritas Kerajaan, seperti
itu dari sesepuh kekerabatan, harus bergantung bukan pada hukuman fisik tetapi pada
hubungan timbal balik dan saling kewajiban. Idealnya, raja harus memperlakukan
rakyatnya seperti kaum kerabat. Berkaitan dengan itu, tentu kita dapat mengingat
bagaimana Raja Kecil yang menghimpun pasukannya, tidak hanya berdasarkan plakat
dari Raja Pagaruyung, melainkan berdasarkan kapabilitas personal; kemampuan yang
muncul dari kharismatik yang dimilikinya, sehingga orang-orang menjadi pengikut
yang berada dibawah kekuasaan dan mengikuti apa yang diperintahkannya. Seperti
sebentuk lembaga sesepuh “Orang Besar” yang merupakan dasar dari pemerintahan
desa, bisa saja pada suatu kesempatan didominasi oleh individu tunggal, terutama di
masa krisis. Untuk mencapai dan mempertahankan posisi ini orang tersebut jelas
memerlukan untuk memiliki kemampuan luar biasa yang akan memperoleh ketaatan
dari rekan-rekan mereka. Bukanlah hal yang aneh jika kisah heroik seorang pemimpin,
juga ditopang kecerdikan ataupun kemampuan supranatural. Raja Kecil, memasukkan
kayu kedalam air asin dan berubah menjadi tawar dalam upaya menunjukkan bahwa
110
merupakan suatu keprihatinan besar. Setelah kematian, tidak ada urusan kerajaan
dilakukan, sedekah dibagikan, dan raja berkabung secara terbuka di kuburan, kadang-
kadang selama berminggu-minggu. Sebagaimana di hulu sungai Rokan, pada saat
wafatnya sang raja, maka seluruh orang harus mengetahui berita ini, utusan pun
dikirim kepada penguasa Kepenuhan, Rambah dan Kunto, dan ini juga mengenai
pengenaan “toedoeng moeka.” 209 Ukuran utama keberhasilan seorang raja adalah
jumlah pengikutnya, Belanda sendiri mengatakan, "Orang-orang tertarik ke arah orang
yang paling berkuasa, disukai oleh karena keberuntungannya. Di daerah dependensi
ini, nampaknya jumlah penduduknya hingga menjelang akhir abad ke-19 sangat
rendah, kondisi yang berlaku umum di Siak, sumber daya manusia adalah sesuatu yang
paling berharga. Nampaknya, lebih mudah bagi hamba untuk menemukan seorang
tuan daripada seorang tuan menemukan hambanya yang setia. "Tanpa pengikut,
seorang raja tidak memiliki prestise atau kekuasaan. "Jika tidak ada rakyat," dalam
Kisah Melayu ataupun Hikayat, "siapa yang akan membuat penghormatan kepada
raja?" Sebagaimana dicatat oleh Rijn van Alkemade di Rantau Binuwang:
Bandahara dan Orang Besar lainnya dari sang pangeran, orang-orang
dikumupulkan dalam Balei, dimana Raja ditempatkan pada satu kain
berwarna kuning… , dan tulisan-tulisan dari Siri dibaca oleh salah satu dari
para Imam. Kemudian bandahara kepada orang-orang (sakalian orang dan
orang dagang di mana mana negri) diumumkan Soetan Dzènal sebagai Yang
dipertoewan besar, oleh orang diikrarkan tiga kali “Daulat Toewankoe”..
Jelaslah bahwa acara ini bagi masyarakat menyambut sang Raja.
Pemimpin heroik yang melegenda selalu dibedakan oleh kemampuannya untuk
mempertahankan pengikut, sehingga dapat dikatakan loyalitas pengikut tidak akan
mengkondisikan kekerasan terhadap sang raja; apatah lagi pembunuhan terhadap
raja; hampir-hampir perilaku ini tidak dikenal; di Jambi Belanda mengatakan bahwa
orang-orang bahkan tidak akan menggunakan kekuatan terhadap raja, apalagi terlibat
dalam tindakan kekerasan terhadap dirinya. Perbuatan kekerasan terhadap raja,
merupakan perbuatan “derhaka” yang sangat tercela. Sama halnya dengan perbuatan
sumbang yang merusak kedamaian, perbuatan “derhaka” terhadap penguasa,
dianggap akan mengalami akibat yang sangat berat. Pembunuhan Sultan Mahmud
tahun 1699, menjadi alasan pembenaran bagi sebahagian kalangan Johor untuk
membalas peristiwa pembunuhan tersebut dengan membelot mendukung Raja Kecil.
Dari keseluruhan rangkaian kisah ini, maka dapat dipastikan bahwa sebelum
kedatangan Eropa, terdapat jurang perbedaan yang besar antara konsepsi barat dan
Melayu dalam hal hubungan penguasa politik dan hubungan dengan hambanya.
Seperti yang berlaku di Sriwijaya, kekuatan memaksa lebih kepada ancaman atau
kutukan dari sumpah yang tertera di prasasti, merupakan metode ampuh untuk
membingkai luasnya wilayah mandala-mandala. Begitu pula raja-raja Melayu pewaris
Sriwijaya. Ketika kekerasan digunakan, maka sang hamba, akan dengan mudah
beralih kepada tuan baru, atau ia eksodus meninggalkan tuannya kedaerah lain yang
lebih permisif dan kompromis bagi dirinya. 210 Bahwa penting untuk memahami
sepenuhnya implikasi dari fakta bahwa raja-raja Melayu di Sumatera kekurangan
kekuatan memaksa sebagaimana rekan-rekan mereka di belahan benua Eropa.
Penguasa ini hanya tidak bisa mempertahankan posisi mereka di dependensi semata-
mata atau bahkan terutama melalui kekuatan. Meskipun keuntungan mungkin saja
adalah hasil dari kerjasama antara dependensi dan pusat yang nampaknya masihlah
jauh, ikatan yang dikembangkan tidak berarti tak terelakkan. Masyarakat dependensi
nampaknya melihat penerimaan raja pusat jauh sebagai bersyarat, dan mereka
menjadi "hamba" hanya sejauh mereka setuju untuk menganggapnya sebagai tuan
mereka. Begitu penetrasi ekonomi kolonial dimulai, para pemodal asing datang
membawa harapan akan sumber daya, penguasa tradisional di hulu bisa saja segera
bersiap untuk terlibat meskipun dengan penggunaan senjata. Kekerasan yang terjadi
antara Kota Intan di hulu sungai Rokan dan Siak adalah contoh betapa penetrasi modal
kolonial telah merubah hubungan tradisional antar politi Melayu. 211 Bahwa raja
pusat, bersiap dalam upaya pengetatan sumber daya kekayaan mereka, dipusat atau
dependensi, bahkan diwilayah-wilayah pedalaman. Sementara itu, Eropa sudah jauh
melompat dalam rentang kemajuan peradaban; mereka telah menggenggam dunia
dalam tangannya. Lompatan ilmu pengetahuan memungkinkan mereka lebih siap,
tidak hanya dibidang militer, melainkan juga pengetahuan yang memungkinkan
eksploitasi lebih luas dan dalam terhadap sumber daya. Selain itu, dapat dipastikan
perubahan besar dengan bergesernya iklim politik yang telah dimasuki kapitalisme-
kolonial, maka, bentukan tatanan masyarakat yang mengikut ruang-ruang budaya dan
lokalitas beserta faktor kepemimpinan disini jelas-jelas tergerus oleh penetrasi
kekuasaan penjajahan yang tidak pernah puas, dan dapat dipastikan pula situasi
benar-benar berubah, tidak lagi sama seperti ketika Eropa belum tiba disana.
210 Netscher, mengemukakan bahwa akibat pertikaian antara Sultan dan Tengku Putra,
mengakibatkan eksodusnya sebahagian populasi diseputaran wilayah konflik, atau kebijakan-
yang dilakukan penguasa di Indragiri, menyebabkan hal yang sama.
211 Konflik antara Kota Intan dan Siak berkaitan dengan konsesi di lanskap Tapung. Lihat
Hendraparya, dalam “Riau Daratan: dari darat sampai pesisir,” tahun 2015.
113
Bengkalis, Siak dan Tanah Putih (Staatblad 1887, No. 21). Pada tahun 1885, anak
tertua Sultan; Tengku Muda Anom; sebagai penerus sultan, menikah dengan putri
seorang raja muda RIAU. Sebelum tahun 1887; dilimpahkan kepadanya berdasakan
pengamatan Dewan karena sakitnya Sultan. Terbetik berita, bahwa forum seperti ini
tentunya tidak memuaskan. Seperti Mangkubumi; Tengku Putra, berbagai keluhan
menyebabkan sang sultan mengambil tindakan terhadap dirinya. Dewan Negara
(Kerapatan) kini telah diinvestasikan sementara dengan otoritas sultan, dan sebagai
kepala, ditunjuk atas usulan rijksgrooten; Tengku Ngah Said Hassim, anak bungsu
Sultan. Pada tanggal 21 Oktober 1899, Sultan Sharif Kassim wafat. Sebagaimana hari
sebelumnya, para rijksgrooten telah memilih Tengku Ngah sebagai penggantinya.
Sebelumnya, sebagaimana kisah penjajah dinegeri koloninya, maka Belanda selalu
mengajukan pembaharuan kontrak untuk menggantikan kesepakatan sebelumnya
yang terus saja mereduksi kekuasaan tradisional Sultan; seperti menggantikan item
yang terdapat dalam perjanjian 1858. Salah satunya, adalah menghapuskan jabatan
rajamuda (Onderkoning). Pada tanggal 25 Oktober 1890, dilakukan penunjukkan
sultan baru yang disahkan pada 7 Januari 1891. Dan pada hari yang sama, juga
disahkan sebuah kontrak politik. Bahwasanya menurut kontrak politik tertanggal 25
Oktober 1890, diberikan suatu definisi baru, berbeda dengan perjanjian Februari
1858, terutama menyangkut hal-hal berikut:
bahwa ranah kerajaan Siak dihitung mulai dari lanskap Teratak Buluh; sebagai
wilayah dependensi dari kerajaan, disebutkan lanskap Tapung Kanan, Tapung
Kiri, Tanah Putih, Bangko dan Kubu; disebutkan tentang kepemilikan pulau-
pulau secara lebih akurat, akan tetapi tidak lagi meliputi pulau Bengkalis;
bahwa pemerintahan kerajaan Siak terdiri dari Sultan, empat Datuk Kepala
Suku dan Laksamana; pelaksanaan eksekusi (hukuman mati), hanya berlaku
dengan izin dari residen; pengaturan wilayah untuk orang-orang non pribumi
dan batas hukum wilayah Hindia; kontrak diberlakukan sesuai dengan
konsepsi baru dari pemerintah; pemerintah Hindia dapat menolak orang
untuk bermukim diwilayah Siak sepanjang dianggap membahayakan
keamanan umum; pengaturan dan polisi pelabuhan menjadi wilayah yuridiksi
pemerintah Hindia; Sultan dan rijksgrooten berkontribusi terhadap
kepentingan bea dan pajak terhadap pemerintah Hindia di semua wilayah
bagian mereka, dan dilakukan sebagaimana perjanjian sebelumnya, yang
belum dilakukan;
Mengenai yang terakhir itu, dikecualikan hak-hak tradisional Sultan:
1)“Barang Larangan;” Hak sultan atas “Barang larangan,” atau sebagai hak
prerogatif kerajaan untuk dapat memiliki yang dikandung oleh kekayaan
alamnya yang dianggap sebagai komoditi “mewah.” Hamba mengumpulkan
benda-benda yang termasuk dalam kategori barang larangan, sejauh itu,
menyerahkannya sebagai penghormatan kepada sultan. Sultan kemudian
memberi imbalan hadiah atau persalinan, biasanya terdiri dari satu set
pakaian. “Barang larangan” seperti gading, (gajah), sumbuh badak (tanduk
114
Adapun masyarakat TANAH PUTIH terbagi menjadi suku: Melayu Besar, Melayu
Tengah, Mesah dan Batu hampar. Masing-masing suku memiliki Datuk hingga kepala,
dan lagi di bagian-bagian yang lebih tua, Hinduk yang terbagi dan dipimpin oleh
seorang tokoh; Tongkat. Hanya tiga suku memiliki Oetan tanah; adapun suku Batu
Hampar tidak. berkemungkinan suku ini awalnya terdiri dari imigran, akibatnya;
mereka tidak memiliki pancong alas, atau hasil tanah; sebaliknya, mereka harus
membayar kepada suku lainnya, jika mereka memungut hasil hutan atau ladang.
Oetan tanah tidak termasuk dalam tiga suku secara keseluruhan, tetapi masing-
masing anggota memiliki bagiannya dalam warisan. Pemilik dari perantauan ini
berhak atas pancong alas dan hasil tanah disana karena, disediakan, bagaimanapun,
bahwa tongkat yang bebas dari pajak; bebas, di perantauan itu anak induk dan Datuk
di sukunya. Kedua, sebagai adat, orang-orang dari Bangko dibebaskan bea atas rotan
yang berasal dari Tanah Putih, dan sebaliknya, bahwa di Tanah Putih dibebaskan bea
atas atap yang berasal dari Bangko. Suku Melayu besar terbagi menjadi 4 induk dan
3 Tongkat; Melayu tengah atas 2 induk dan 1 Tongkat; Mesah di 2 hinduk dan 1
Tongkat; Batu Hampar dalam 3 Induk dan 2 Tongkat; Dimana Datuk sendiri adalah
merupakan Kepala induk. Suku Mesah pada saat itu tidak memiliki tongkat; Datuknya
dipecat oleh Mangkubumi, dan mantan Tongkatnya, Badu: didudukkan dijabatannya
213
Hijman van Anrooij, hal.384-5.
116
berlangsung pada cara sama seperti yang dilakukan di Bangko. Melalui pengaruh
Tengku Mangkubumi dan anaknya Tengku Mansur yang tinggal di Tanah-Putih,
sebagaimana catatan Belanda diduga terjadi pelanggaran hak-hak Kepala Suku
setempat, yang menyebabkan ketidakpuasan besar, seperti, menurut hukum adat
bahwa tanah dan kepala hanya tunduk terhadap tuan mereka; Sultan Siak. Selain itu,
terdapat pula kewajiban memasok persembahan tahunan (hadiah) dalam bentuk
tunai, Beras, kelapa, dan lainnya. Catatan pengamat nampaknya lebih cenderung
untuk menampilkan keberlangsunggan mal administrasi di negeri Tanah-Putih;
dimana seharusnya tidak seperti itu; untuk diakhirinya semua pelanggaran hukum,
bahwa kemakmuran negara dikorbankan untuk hanya kepentingan aneh penguasa.214
Di BANGKO, pemberian gelar kepada kepala kenegerian; Datuk Bangko, adalah Indra
Pahlawan, yang mewakili Sultan Siak dan bermukim di Bantaian.215 Hingga akhir abad
ke-19, anak hasil pernikahan mengikuti suku ibu, membicarakan suku berarti bahwa
fungsi di atas diturunkan ke saudara laki-laki atau anak-anak saudara perempuan, tapi
karena perkawinan dalam suku sendiri tidak dilarang, juga dapat terjadi bahwa dalam
hal itu anak akan mengikuti garis ayah. Rijn van Alkemade berspekulasi bahwa hal ini
merupakan pengaruh dari menangkabau, meskipun adat Minangkabau tidak secara
tegas diterapkan. Lebih kehilir dari Bantaian, terdapat lanskap Labuhan Tangga; nama
yang berasal dari nama Sungai dan berjarak sekitar dua jam berlayar dari Bagan Api-
Api. Dikatakan sebagai adik dari ibu sang Datuk Bangko; hadir di sana dan dipimpin
oleh Orang Kaya Jalil, terdapat sebidang tanah yang diberikan sebagai hadiah oleh
Sultan kepada mereka untuk menetap di sana, Rijn van Alkemade mengatakan bahwa
ini diperkuat dengan bukti tertulis pengangkatannya; Orang Kaya Jalil sebagai kepala.
Nama Labuhan sendiri menunjukkan bahwa di situ adalah tempat yang cocok untuk
berlabuhnya perahu. Dalam hak usaha kecil dimaksud dibicarakan Orang Kaya Jalil
yang urusannya dibantu oleh saudaranya Abas dan adiknya Ma Jewa. Sungai Labuhan
Tangga dapat dilalui, akan tetapi hanya saat permukaan air berada pada kondisi
tertinggi (air pasang). Kepala Bangko pemerintahannya terdiri dari 6 tongkat. Mata
pencaharian penduduknya terutama dari perladangan dan penangkapan udang, yang
terakhir ini ditemukan dalam jumlah besar di kawasan pantai lanskap, akan tetapi
tidaklah signifikan, berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh sekitar 400 sampai 500
orang China di kampong Bagansiapiapi, yang telah sangat disibukkan dengan hasil
tangkapan ikan dan udang. Produksi tangkapan (udang) tersebut dikeringkan, sebagai
sebuah bisnis yang baik – dijadikan sebagai belacan. Tanah di Bangko dibagi di antara
berbagai hinduk dengan Datuk. Mereka datang sebagai hasil dari hukum dan pancong
alas yang sayangnya, pada saat kedatangan Eropa kesana, masih jauh dari hasilnya.
Akan tetapi, diyakini bahwa dimasa silam, mereka menikmatinya. Dan kemudian,
214
Hijman van Anrooij, hal.374.
215Berdasarkan catatan Baalbargen, 1931, lokus ibukota kenegerian Bangko di Bantaian,
berdasarkan perpanjangan kontrak 1 Januari 1910, berlokasi di Bagansiapiapi(?).
117
pendapatan Sultan dari sungai Bangko diberikan untuk mengamankan Hadji Math Seh,
ayah dari seorang selir Sultan, saat itu ia diserahkan hak pancong alas dari semua
produk hutan yang berasal dari Sungai Bangko, dan juga dari semua yang terkumpul
di sana, maka sejumlah $25 (yaitu sekitar 40% dari nilai) akan diserahkan kepadanya.
Sungai Bangko, yang bagaimanapun juga memiiki banyak pohon bakau, saat ini telah
menjadi begitu baik. Selanjutnya, Sultan dengan kebijakannya untuk mengamankan
seorang Bugis, Daëng Puwarih, hampir terjadi di semua tanah dan bagian lain dari
Bangko telah diberikan kepadanya. dikatakan bahwa Daeng akan memiliki hak
eksklusif perdagangan nibung dan atap-nipah di Sungei Raja Bejamu dengan sekitar
20 orang pengikutnya. Selain itu, semua pohon baru (seperti halnya pancong alas)
dari Sungai Sinaboi (perbatasan dengan Dumai) sampai sungai Suwasa besar yang
diserahkan kepada Daeng, dan “kendala alam” lainnya kepada penduduk Bangko
sendiri. Bahkan pada anak-anak negeri, ketika mereka ingin mengirim atap-nipah
atau nibung ke Deli atau di tempat lainnya, mereka harus membayar 10% bea
pancong alas untuk mantan tentara Bugis tersebut.216 Di tempat ketiga, hak Sultan
untuk mengamankan Hadji Mohamad Noer sejumlah $250 untuk hak eksklusif, hak
sewa untuk apa yang disebut dengan “pucuk nipah kering” (daun nipah yang belum
matang, yang dikenal dengan “strootjes” (untuk pembungkus sigaret) yang dibuat oleh
penduduk asli) yang bahannya sangat dicari dan dibayar dengan baik, terutama di Deli.
Haji Mohamad Noer. Ia membawa kargo pucuk nipah ke Deli, dan sesampainya di
Kwala di sungai Deli, saat itu sedang terjadi wabah kolera, sehingga ia dengan terburu-
buru saja kembali ke Bangko. Sayangnya, ternyata ia tidak bisa bertahan hidup.
Pendapatan sah kepala Bangko secara keseluruhan adalah pancong alas, kecuali
sialang, yang sebahagian hasil denda dicabut dari mereka. Tongkat dapat menghukum
mereka dengan tanggungan hingga sejumlah $10, dan "Datuk bisa melakukannya
sampai $20. Menurut adat di Bangko, bahwa semua denda yang diterima oleh Datuk,
setengah darinya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Sementara setengah lainnya,
umumnya berada di bawah Tongkat itu. Apakah itu benar, seperti halnya keluhan
Tongkat, bahwa denda yang diterapkan Datuk tidak menghasilkan apa-apa untuk
mereka, tidak dapat dikomunikasikan. Akan tetapi, Belanda menolak keluhan itu,
dirasakan sebagai tidak mungkin terjadi. Salah satu biaya lainnya terhadap
penduduk Bangko, pengiriman tapak lawang kepada Sultan, menjadi 10 Gantang beras
per rumah tangga. Sebelumnya mereka membayar atas hasil ladang yang terdapat di
Bangko, sebagai pajak atas tanaman padi (bunga padi). Bahwa kemudian oleh Tengku
Ngah - anak sultan, dikenakan pajak atas nama ayahnya. Sebelumnya Jare dapat
ditemui tersebar diladang diseluruh negeri, dimana terdapat perintah bagi masyarakat
untuk kembali ke desa. Mungkin untuk mengumpulkan pendapat penduduk di
kampung, tidak diragukan lagi bahwa saat-saat itu, sangatlah buruk dengan dipilihnya
tujuan ini disebabkan penduduk telah menyiapkan ladangnya hanya untuk
penanaman padi. Akan tetapi, perintah tertinggi tidak mentolerir adanya penundaan,
sebagai alibatnya, bahwa hampir seluruh penduduk Bangko diharuskan menanam
jare, sehingga tidak lagi terdapat penanaman padi hingga periode 1880-an. Realita ini
dilaporkan Belanda sebagai suatu ketidakwajaran; bahwa penduduk telah terlalu
lama dieksploitasi, tentu akan tetap di lanjutkan dengan pemerintah Hindia sendiri
menjaga jarak untuk tidak terlibat masalah. Dikatakan ini adalah adat, bahwa orang-
orang dapat berdiam di rumahnya dan kemudian membayar sampai $5 per kepala.
Dan bantahan atas tuduhan ini, adalah sebagai biaya bagi kehadiran dalam perayaan
ditahun 1880. Tengku Ngah mengambil langkah-langkah tersebut di Bangko
sehubungan dengan Tapak Lawang; untuk menyatukan kampung penduduk, ia juga
telah ditahbiskan di Kubu, sementara tentu saja penduduk setempat, serta orang-
orang dari Tanah Putih, telah disebutkan hal itu berkaitan untuk perayaan. Akan
tetapi, penduduk sebagaimana disebutkan, didapati berada dalam suatu kondisi sulit
akibat berjangkitnya wabah kolera yang belum mereda; dan ini tentu berdampak
pada kontribusi moneter atas tiga lanskap itu.217
Masyarakat KUBU awalnya terdiri dari tiga suku sebagai berikut: Suku Hamba Raja,
yang berasal dari Johor; Suku Rawa, yang berasal dari Rau; dan Suku Haruh; yang
berasal dari Haru. Kepala masing-masing tiga suku ini adalah seorang Datuk. Datuk
dari suku Hamba Raja dan suku Rawa masing-masing memiliki tongkat di antara
mereka sendiri; Sedangkan Haru tidak. Selain dari tiga suku yang telah disebutkan,
terdapat suku keempat, yang dinamakan dengan Suku Bebas. Sebahagian Suku ini
terdiri dari orang-orang asal Siak, dan sebagian lain anggotanya dari tiga suku lainnya,
yang keluar dari suku mereka sendiri, karena perselisihan atau karena alasan lain.
Mereka tidak memiliki Datuk, akan tetapi disertai dengan empat panghulu, kepala,
yang masing-masing memiliki bawahan mereka sendiri. Orang bebas dianggap berada
langsung dibawah Sultan Siak; kepala suku mereka dinamakan sebagai “Mata-Telinga”
dari Sultan Siak(Alkemade). ketika mereka datang ke Siak, mereka sebagai bagian
Hamba Raja Dalam; bahwa kelompok ini berasal dari pengikut RajaKecil. Sebagaimana
telah disampaikan, Raja Kecil menjadikan Kubu sebagai salah satu basis pendukungnya
dalam melakukan invasi ke Johor, melakukan petualangan bersama, hingga
mendukung Raja Kecil mencapai tahta Johor. Wajar saja, bila kedudukan Hamba Raja
Dalam ini, secara umum lebih baik dalam stratifikasi masyarakat Siak. Selain di Kubu,
Hamba Raja Dalam juga ada yang bermukim di sepanjang tepian sungai Siak, dan
bahkan sebahagian besar bermukim disekitar kediaman Sultan. Kepala mereka, Datuk
yang bergelar Maharajadewa, menikmati penghasilan f1000 pertahun dari Sultan. 218
Adapun Oetan tanah di Kubu milik dari tiga suku; dimana setiap suku atau induk
memiliki bagiannya sendiri. Dengan maksud untuk terjadinya suku behau tak usah
dikatakan, supaya mereka tidak menguasai oetan tanah. Menjelang akhir abad ke-
19, meskipun masyarakat Kubu berkaitan dengan Johor, dapat kita amati bahwa di
sini juga terdapat pengaruh adat menangkabau, akan tetapi, di sini suku anak-anak
berasal dari ayah, atau mengikuti ayah. Untuk kelompok suku di Bangko, terlihat
bahwa di sini pengaruh Minangkabau telah berkurang. Penghasilan lainnya dari para
Kepala Suku adalah dapat dilihat pada contoh dari pada Datuk Bangko yang telah
ditetapkan. Kepala Suku-Hamba Raja, meskipun ia memiliki penghasilan khusus,
tetapi yang pertama di pertimbangkan adalah yang berada di bawah para kepala suku.
Terhadap Sultan Siak, orang-orang Bangko dan Kubu wajib memenuhi panggilan untuk
datang ke Siak dan memberikan layanan mereka, baik untuk perang atau untuk
membuat Benting jalan, adalah hak Sultan jika itu memang diperlukan, dan dilaporkan
masing-masing rumah tangga dibebani lima dolar untuk biaya perbaikan. Akan tetapi,
Sultan, bagaimanapun, memilih tidak menggunakan hak-hak ini, oleh Sultan, mereka
diberkahi dengan penghasilan yang berasal dari Bangko dan Kubu, memiliki hak sewa
dan kompensasi atas sumber daya. Pendapatan yang dimiliki Datuk dari Kubu;
pancong alas dari dalam hutan, dimana mereka mengumpulkan hasil hutan, di
samping bagian mereka atas denda yang dikenakan. Tongkat, memperoleh juga hasil
dari denda yang dikenakan. Tongkat dapat memberikan hukuman sejumlah $20
sampai dengan $ 1,0, dan Karapatan bersama-sama dengan Datuk, juga penghulu
bebas yang turun (tapi bersama-sama mewakili satu suara) senilai $60. Untuk hal-hal
yang lebih besar akan ditetapkan di Karapatan Siak. Retribusi dari beberapa hak yang
terletak di Kubu dimana terdapat komunitas China di Penipahan, digunakan oleh
kapiten China di Bengkalis sebagai hak sewa senilai $450 pertahun, sedangkan
Bagansiapiapi dalam komplotan dengan kongsi-kongsi Singapora diberikan untuk
$2800 pertahunnya. Datuk mengklaim, bahwa mereka sebelumnya memiliki hak
untuk untuk menangani bea pajak ikan tangkapan sebesar 1 real ($ 0,20) per pikulnya,
sementara saat itu, tidak hanya bahwa hak-hak mereka telah dirampas, bahkan
tanggungan mereka sejumlah lima persen dari ikan yang ditangkap oleh penyewa
terpaksa dilepaskan. Untuk klaim yang satu itu, beserta yang lainnya, sayangnya
ditolak oleh pihak Siak. Tentang Tapak Lawang dipungut oleh Tengku Ngah, serta pada
kebijakan yang diambil oleh putra raja Kubu, sudah dikomunikasikan. Ini masih akan
dapat ditambahkan, dimana keturunan Raja beberapa kasus bersedia untuk membuat
kunjungan terakhirnya ke Kubu, untuk beberapa pelanggaran kecil dikenakan denda
sebesar $60. Ketika pelakunya mengajukan banding ke Karapatan ke Siak, denda
dikurangi menjadi $20.219 Memasuki abad ke-20, pengaruh Pemerintah Hindia
terhadap organisasi asli Siak, semakin dalam saja, dan mulai diterapkan, bahwa
lanskap di sini, Belanda memahaminya sebagai pemberian waktu yang lebih baik yang
akan segera tiba; dan bahwa orang-orang yang tinggal di sini pun akan segera dapat
menikmati kemakmuran yang dikatakan oleh penjajah bersumber dari eksploitasi
sumber daya alam dimana negara bisa mendapatkannya; dan tentu terutama
menguntungkan Eropa. Akan tetapi, dengan sifat perekonomian kolonial yang
dualistis itu, benarkah kehadiran Belanda ini sebagaimana diklaimnya memang
memakmurkan anak-bumi di lanskap pesisir sungai Rokan? Selain itu,
219
Hijman van Anrooij, hal.389-390
120
kelanjutan dari perubahan pajak raja di tahun 1908, dan ditahun 1909 mulai
dikenalkannya “Oeang Kerahan” dimana pengumpulannya diserahkan kepada kepala
suku dan kepala hinduk. Pendapatan ini yang awalnya diterima sebesar 8 persen, dan
kedua sebesar 5 persen; pembagian ini datang dari kaki-Kepala suku itu. Oeang-
kerahan awalnya sejumlah f2,50 diterapkan terhadap penduduk laki-laki, dan
kemudian meningkat menjadi f3. Sebagai konsekuensi reorganisasi 1915-16 itu,
diidentifikasinya seluruh kepala suku dan induk, oleh kontrolir, sebagai kepala distrik
didudukan orang setempat yang dirasa cocok dari kepala kampung; 225 Penempatan
kepala di distrik utama, merupakan seorang wakil Sultan yang tunduk kepada
Kerapatan; sebuah kekuasaan yang terbatas. 226 Posisi ini, Sultan mengangkat dan
memberhentikannya sesuai dengan rekomendasi pejabat Binnenlandsch Bestuur. 227
Selain itu, tiga orang kepala negeri(sub-distrik) dan seorang Letnan China memperoleh
penghasilannya sebesar tiga persen dari hasil pengumpulan pajak. Aturan itu,
dikecualikan untuk orang-orang Tambusai, dimana adat suku masih sangat kuatnya,
sehingga pengaruh terhadap penghulu masih dalam wilayah teritorial mereka,
terutama penghulu pucuk utama yang senior, dimana masih diberlakukan gelar Datuk.
228
bahagian dari Bestuur ter Plaatse yang ditetapkan melalui Ind.Stb.1866 Nomor 127.
228
Baalbargen, MVO van Bagansiapiapi, 14 Mei 1931, hal,41.
122
5
Sejarah Perikanan Bagansiapiapi
Kajian tentang industri perikanan Bagansiapiapi, telah dimuat dalam bentuk laporan
ataupun artikel, dimulai dari A.G.Van Der Land229, A.L.J.Sunier dengan dua artikel:
yang pertama adalah “Nog Eens de Vischindustrie te Bagan Si Api-Api”230; kemudian
“Nawoord over de Vischindustrie te Bagan Si Api-Api,”231 penulisan tentang industri
perikanan Bagansiapiapi yang dilakukan kontrolir Bagansiapiapi(1915-1917) B.J.Haga,
dalam “De Economist”, “De Beteekenis Der Visscherij Industrie van Bagan Api-Api En
232 Artikel dalam De Economist Tahun 1917 Volume ; 66, Number 1, P.237-262
233
Artkel dalam De Economist tahun 1918 Volume 67 hal 75-76 ;
234 Hadenberg, dilihat dalam beberapa artikel; Butcher, Azmi Fitrisia dan Padmo;
235 De Chineesche Zakenleven In Nederland Indie, Vleming Jr. Tahun 1923;
236
L.H.C.Horsting, Bagansiapiapi, The largest and the Most importand Fishing Centre of
Netherland India, Published in: Inter-Ocean.A Dutch East Indian Magazine covering Malaysia and
Australasia, Vol. 4, Number 9, September 1923.
237
H.J.H dengan artikel Dwars Door Sumatra dilihat dalam INDIE Geillustreerd Weekblad Voor
Nderland Kolonien Jaargang No.8 Tanggal 23 Mei 1923; Artikel Het Chinesche Visscherij Bedrijf
Te Bagansiapiapi, Jaargang No.17 Tanggal 12 November 1924; Artikel De Bedrijf Industrie Te
Bagansiapiapi, jaargang No.19 Tanggal 10 Desember 1924.
238
Schipers,1928, dalam Butcher Tahun 1996;
239
B.Markus, Visscherij-Methoden en Vischproducten Van Bagan Si Api-Api, Pubisher:
Batavia:Instituut Voor Zeevisscherij, 35p., Tahun 1941
240 C.J.Bottemane, Verslag over de Visscherij en de Vischhandel Van Bagan Si Api-Api, Publisher
Batavia: Instituur Voor Zeevisscherij, 37p., Tahun 1929; dicetak kembali Tahun 1941
241
Ph.Jordaan: Het Zoutverbruik bij de Visscherij Van Bagan Si Api-Api, dipublikasikan oleh Batavia
Instituut voor de Zeevisscherij, Tahun 1941.
242 Artikel yang dimuat dalam jurnal Southseast Asian Program, Publications at Cornell University,
Perkembangan Pantai Timur Sumatera; Adanya Pangsa pasar yang besar, khususnya
wilayah Jawa dan Madura. Meskipun demikian, lazimnya sebagai suatu sentra
industri, industri perikanan Bagansiapiapi juga tidak lepas dari berbagai persoalan;
Haga Mendidentifikasi beberapa persoalan berkaitan dengan industri perikanan,
seperti; Kenaikan harga garam, kenaikan harga kayu, persoalan upah kuli,
Pendangkalan Muara Rokan, Penurunan harga Trassi, yang nampaknya berkaitan erat
dengan persoalan kurangnya modal, tingginya suku-bunga kredit, tingginya spekulasi
pemberian kredit, tingginya resiko, munculnya persaingan ketat dengan Siam di pasar
Jawa, kemudian dugaan terjadinya overfishing dan meningkatnya operasionalisasi di
industri perikanan. Turunnya harga ikan di pasaran Jawa menyebabkan pukulan bagi
sejumlah pedagang yang bahkan menyebabkan kebangkrutan. Peningkatan produksi
perikanan di Hindia Belanda, sering digambarkan sebagai era Comercial Revolution,
yaitu ketika ikan tangkapan tidak lagi diproduksi sebatas kebutuhan (subsisten),
melainkan telah diorganisir dalam jumlah masal terutama untuk memenuhi
kebutuhan daerah yang kurang akan ikan. Periode ini, diperkirakan dimulai tahun 1860
di jawa sebagai sentra penghasil ikan, yang secara berangsur berpindah ke Pantai
Timur Sumatra. Bahwa Bagansiapiapi pernah menjadi sentra ikan terpenting di Hindia
Belanda, merupakan suatu realita historis keunggulan sumber daya alam perikanan di
Hindia Belanda. Dalam pandangan Penguasa Kolonial, berkembangnya Bagansiapiapi
sebagai sentrum perikanan di Hindia Belanda, khususnya setelah era tahun 1900-an,
tidak lepas dari peran Pemerintah Kolonial, meskipun upaya awal yang dilakukan oleh
sekelompok komunitas China di Perairan Muara Rokan. Pada tahun 1899,
Bagansiapiapi tercatat menghasilkan ekspor ikan mencapai 12.729.123 KG.
Kelimpahan produksi ikan ini diasumsikan menjadikan Bagansiapiapi sebuah negeri
pesisir yang makmur berkelimpahan, seperti yang digambarkan oleh Colijn dalam
laporan kolonial tentang Bagansiapiapi pada tahun 1905, “a good livelihood for the
fisheres, a great profit for the (Netherlands Indies) treasury, and certainly, a gold mine
for the farmer”. 246 Hal ini tidak berlebihan mengingat besarnya produsi ikan dari
Bagansiapiapi, bahkan tahun 1924, ekspor ikan, udang dan trassi telah mencapai
39.322.609.kg.247 Berikut (dalam Kg.) ekspor ikan, udang dan Trassi Bagansiapiapi:248
Tahun Ikan Kering Udang Kering Trassi
1900 12.078.653 268.998 193.946
1905 24.170.663 520.295 4.152.491
1920 27.700.000 1.200.000 8.700.0000
1921 22.700.000 2.300.000 9.700.000
246 Schipers,1928; Kampen, 1909, Hardenberg, 1931; Data 1921,1922,1923 dari Kolonial Verslag
1922, dilihat dalam Mashyuri: Usaha Penangkapan ikan dan masyarakat Nelayan di Indonesia
1880-1940; LIPI, Tahun XX, No.1, Tahun 1993, hal.26
247
Colijn Tahun 1905, dalam Jhon G.Butcher; The Marine Fisheries of Western Archipelago:
Towards an Economic History, 1850 to the 1960s, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish
Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996
248
ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 juni 1889;
125
249 Seruan untuk penurunan harga garam telah dilakukan sekurang-kurangnya oleh para
pedagang sendiri, kemudian seperti yang dilakukan oleh Kepala Departeman Perikanan, Gobee,
dari semula f5,0 menjadi f3,50 sebagaimana dalam Staatsblad 1913 No.49. Laporan Gobee 14
Februari 1916 yang juga didampingi oleh Mouw (Pejabat urusan China di Hindia) yang datang ke
Bagansiapiapi kurun tahun 1914 -1916 merekomendasikan penurunan harga garam hingga
f2,50; Mouw, Batavia, 16 Januari 1916.
250 ANRI-MVO; Memorie Van Overgave van Dr.H.D.Von Meyenfrldt, 6 Maret 1937 - 27 Oktober
1938; Bijlage VIII, Iets Over Het Visscherij Bedrijf Te Bagansiapiapi, Hal 1-2;
251K.P.M. singkatan dari Koninkiljke Pakeetvaart Maatschappij, sebuah perusahaan Pelayaran
Belanda yang didirikan pada Tahun 1888, terfokus pada pelayaran regular penumpang dan kargo
antar pulau di Hindia Belanda atau lebih popular dengan sebutan Pelayaran Pos antar Pulau;.
252 Het Chineesche zakenleven in Nederlandsch-Indid: door Vleming, J.L. Landsdrukkerij, 1926.
253
Fitrisia dan Padmo: Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, 2007
126
eksploitasi produk sumber daya alam tertentu di wilayah yang menjadi teritori
penguasa kolonial. Khusus untuk eksploitasi perikanan laut, maka pemegang hak sewa
(pacther) biasanya akan meminjamkan sejumlah modal kepada nelayan, dapat berupa
kapal/sampan hingga alat penangkap ikan. Pachter akan menanggung semua
permodalan, dan sebagai imbalannya maka nelayan akan menjual hasil tangkapannya
kepada pachter. Seperti hak untuk pengadaan garam di Bagansiapiapi. Pemerintah
Kolonial menyadari bahwa ketersediaan garam sangat berpengaruh dalam
meningkatan produksi dengan kebutuhan garam yang mencapai hampir sekitar 15
juta K.g. pertahunnya, sehingga dengan hak monopolinya, pemerintah dapat
menetapkan harga garam murah, untuk wilayah Bagansiapiapi, yakni seharga f3 per
pikul. Pachter, dan keterkaitannya dengan garam adalah untuk; mengadakan,
mendistribusikan atau menjual garam kepada toke dan nelayan. Pachter mengimpor
garam yang biasanya berasal dari Singapura, atau langsung dari Timur Tengah. Pachter
dapat menentukan harga jual garam, namun tetap tidak melampaui harga yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah. Selain itu, nampaknya pachter dalam hubungannya
dengan toke dan nelayan, memiliki peran sebagai berikut:254
Pachter berperan atau bertindak selaku pedagang yang menampung hasil
tangkapan ikan; Pachter juga berperan aktif menyalurkan peralatan
penangkapan ikan kepada nelayan yang biasanya dilakukan dengan
menggunakan pembayaran kredit. Kondisi tersebut memungkinkan Pacther
memperoleh keuntungan yang besar karena nelayan dikondisikan untuk
menjual hasil tangkapan ikannya kepada sang pachter255;
berkaitan dengan hasil produksi perikanan yang sudah diolah, maka pachter akan
meyediakan jasa pengiriman, baik melalui K.P.M. maupun jasa pengiriman lainnya.
Untuk kebutuhan sumber daya pekerja, maka pachter bertindak selaku agen yang
mendatangkan tenaga kerja yang biasa didatangkan via Singapura atau tempat
lainnya, dan biasanya sering secara gelap. Pachter secara umum memperoleh
keuntungan dari bunga pinjaman yang diberikannya kepada toke dan pedagang.
Secara umum, keuntungan pachter diperoleh selain sebagai pemegang hak sewa, juga
bertindak selaku penarik pajak. Selain itu, juga diperoleh keuntungan dari bunga
pinjaman yang diberikannya kepada toke dan pedagang. Dalam industri perikanan
Bagansiapiapi, nampaknya Nelayan memiliki posisi yang relative kuat, hal ini didasari
oleh realita sebagai berikut; Bahwa Nelayan tidak perlu menanggung kerusakan alat
sebab disediakan oleh tauke ataupun Pacther; Selain itu, sengitnya persaingan antar
pedagang akan menyebabkan nelayan tidak perlu bersusah payah mencari pembeli.
Biasanya Nelayan menjual hasil tangkapan ikan kepada Touke, dengan harga yang
ditetapkan oleh touke. Hal ini ditambah dengan pembagian hasil sebesar 30 % disetor
254
Dilihat dalam Setyawati, tahun 2008
255 Akan tetapi, pachter telah memilih untuk mengambil berbagai resiko, seperti; Nelayan yang
melarikan diri setelah memperoleh uang bayaran di muka, resiko pengiriman, jatuhnya harga
dan lainnya. Dilihat dalam Vleming, 1926.
127
kepada Touke dari hasil penjualan kotor. Sisanya, setelah dipotong dari hasil
pembelian garam dan operasional, dibagi diantara para nelayan. Dengan dana inilah
nelayan membayar pinjamannya kepada Touke.256 Kondisi ini menunjukkan
hubungan mutualistik, yakni saling ketergantungan antar keduanya; nelayan dan
tauke. Nelayan tidak disulitkan dengan upaya untuk mencari pembeli. Hasil pembelian
ikan, biasanya diolah oleh Touke menjadi hasil setengah jadi, untuk kemudian dijual
kepada Pedagang dan pedagang mengolahnya menjadi hasil jadi, untuk di ekspor.
Sebagaimana dikemukakan oleh Butcher257, bahwa ketika ikan diproduksi dengan
orientasi pasar, maka nelayan mengorganisir diri mereka pada perkumpulan-
perkumpulan yang disebut Kong-si, yang bekerja di bawah seorang Touke, pada suatu
unit pengolahan hasil penangkapan ikan pada tempat yang disebut Bang-liau. Kepala
Bangliau adalah Touke, dan kepada Touke inilah para pekerja dan Nelayan
bergantung. Adapun sebagai kepala Bangliau, Touke bergantung kepada para pemilik
modal atau pacht. Pada unit Bangliau inilah segala hasil tangkapan ikan diolah,
dijadikan hasil produk perikanan seperti; Udang Kering, Trassie, Ikan Kering, Sisik Ikan,
cincalok, dan Isi perut ikan/ kulit udang. Selama kurun waktu sekitar 40-an tahun,
yang dimulai dari akhir abad ke-19 hingga tahun 1930-an, dari Bangliau-bangliau ini
telah diproduksi hasil ikan mencapai rata-rata 32 juta Kg per tahun. Jumlah ini
bukanlah jumlah yang kecil, sebab produk ini didominasi oleh produk ikan kering yang
mencapai rata-rata 50 persen dari total produk; memberikan gambaran kesibukan
yang tinggi dari unit-unit bangliau ini. Dapat dikatakan, sumber daya manusia yang
terlibat dalam kerja industri mulai dari menangkap hingga mengolah hasil ikan adalah
terdiri dari Orang China; Adapun orang Melayu terlibat dalam usaha penyediaan Kayu,
ataupun rotan untuk digunakan sebagai jaring (ambai) pada jermal. Meskipun
Nelayan Bagansiapiapi dikenal sebagai nelayan yang sangat mandiri, akan tetapi
peningkatan produksi ikan di Bagansiapiapi diasumsikan berkaitan dengan masuknya
orang Belanda ke sana. Berpindahnya Orang Belanda ke Bagansiapiapi itu, sebagai
kondisi yang diasumsikan pula telah mengurangi peran Singapura sebagai exporter
utama ikan menuju pulau Jawa, yang selanjutnya berhadapan dengan Bagansiapiapi
yang semakin berperan dalam lintas perdagangan ikan di Hindia Belanda, dan
didukung oleh meningkatnya transportasi antara Bagansiapiapi dan Pulau Jawa.
Armada pelayaran kapal yang dimiliki oleh orang Inggris, Jerman, Siam dan Cina telah
mendukung pemasaran hasil ikan Bagansiapiapi, yaitu statistik tahun 1930, tercatat
sebanyak 600-an kapal singgah di Pelabuhan Bagansiapiapi.258 Kegiatan
penangkapan ikan di Bagansiapiapi sendiri telah intensif sejak sebelum tahun 1910,
dimana kebakaran besar yang terjadi tahun 1908 telah terlihat seperti menyebabkan
kemunduran produksinya. Halnya produksi ditahun 1904 hingga 1911, Butcher
256 Nelayan diasumsikan memiliki penghasilan berkisar antara 100 – 150 gulden sebulannya;
Vleming: 1926.
257 The Marine Fisheries of Western Archipelago: Towards an Economic History 1850- 1960s ,
Tahun 1996
258
Azmi Fitrisia dan Padmo, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, Tahun 2007
128
menandainya dengan dua peristiwa berikut; meningkatnya bea pacht dan stagnan-nya
produksi. Tingginya harga garam, membuat nelayan menguranginya dalam proses
produksi, dan mengakibatkan pada penurunan kualitas dan membuat jatuhnya harga
di Jawa. Gobee mencatat bahwa setelah kenaikan tinggi harga garam ditahun 1910,
membuat banyak nelayan meninggalkan jermal-jermalnya dan menggantinya dengan
udang kering – trassi yang sedikit membutuhkan garam dalam proses produksi.
Sebagaimana terjadi, Bottemane menggambarkan kondisi perikanan Bagansiapiapi
yang mengalami era penurunan sebagai berikut: 259
1. Hasil kerja tangkapan sangat rendah, rendahnya harga ikan rendah di Jawa
ditambah tingginya harga garam per pikul setelah dimulainya batas waktu
perjanjian baru (1 April 1910) bersama-sama dengan ekspor pada tahun tersebut
untuk secara signifikan berkurang;
2. Bahwa sehubungan dengan semua keadaan yang tidak menguntungkan, di paruh
pertama 1910-an, sekitar 1500 orang nelayan eksodus dari Bagansiapiapi,
dimana sebahagian menarik diri ke selat, dan sebagian lagi kembali ke China.
Pasca achteruitgang 1910 ini, menyusul pula ditahun 1913-1915 situasi yang
dikatakan sebagai “kekacauan.” Menurut Mouw,260 “kekacauan” di Bagansiapiapi ini
dapat dipahami dari kondisi perikanan itu sendiri yang telah mengalami
perkembangan pesat, perusahaan yang telah berdiri bertahun-tahun, yang
menghasilkan f1.200.000,- pertahun untuk Kas Hindia, meskipun para pedagang ikan
di sana telah menghasilkan keuntungan yang begitu signifikan, akan tetapi hal ini
bahkan tidak bisa mencegah “kekacauan” itu terjadi selama tiga tahun (1913-1915)
dimana pedagang ikan hampir setengahnya jatuh bangkrut dan menghilang. Sebelum
dianalisis, harus dikatakan bahwa terdapat hal yang kontradiktif dengan hal tersebut,
bahwa diperkirakan jumlah nelayan terus meningkat, kemudian perekonomian
mereka secara umum lebih menguntungkan daripada sebelumnya, dan bahwa ekspor
ikan asin, sejak yang menurun di tahun 1904, sejak 1910 terkadang meningkat atau
berkurang, sedangkan ekspor trassie sejak 1899 dengan sedikit variasi terus
mengalami peningkatan. “Harta karun” dari pemasukan “pacht” pada tahun 1895
adalah sebesar f3.500 per bulan, selanjutnya pada tahun 1913 mengalamin lompatan
besar dengan terjadinya peningkatan hingga sejumlah f36.200 per bulan. Dari hasil
pemasukan garam untuk jangka waktu tertentu mungkin tidak hanya konsumsi garam
dapat diturunkan, karena keduanya sebelumnya dan pachter hadir sesuai dengan
harga garam, dan juga terkadang hadir dalam jumlah besar sekaligus, kemudian lagi
dengan kuantitas lebih kecil. Dengan demikian, kehadiran pachter di awal April 1915,
hal tersebut hanya sebulan sebelum harga garam meningkat dari 91 ct hingga f1.40.
259
Bottemane, lihat juga Dr.A.L.J.Sunier, Nog Eens De Vischindustrie te Bagan Si Apiapi, Batavia,
6 Oktober 1912; dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur: vier en veertigste Deel,
Batavia G.Kolff & Co, 19 hal..44-55.
260
Nota Mouw, 16 Januari 1916,
129
lagi jika didukung oleh administrasi yang jauh lebih baik, setidaknya keuntungan akan
mencapai f9.000 per bulan. Pachter baru tidak akan diijinkan menetapkan nilai sewa
tinggi yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, jika saja, tidak terjadi salah
satu peristiwa yang tak terduga, yakni; perang Eropa. Dampak perang ini
menyebabkan harga garam meningkat ke taraf yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Akan tetapi, dari sumber catatan keuangan, pertamakali terjadinya
kenaikan yang melebihi kenaikan normal adalah pada Mei 1915, jadi ini, delapan atau
sembilan bulan setelah pecahnya perang. Mungkin saja terlihat pada awal perang,
belum ditetapkannya kontrak selama delapan bulan dari harga pembelian f0,91 per
pikul di Singapura. Pada bulan Mei 1915 garam dari f 0,91 per pikul sekaligus untuk
f1,40, 8 bulan kemudian (Desember 1915 kembali meningkat menjadi f5,75.
Sayangnya, Mouw nampaknya hanya memiliki akses ke catatan-catatan tertanggal
April 1915 - Desember 1915. Dalih bahwa buku catatan tahun sebelumnya tidak ada
dan ditolak akses kesana. Meskipun demikian, pachter pada tahun-tahun tersebut
telah berhasil meraup keuntungan. Karena itu, kongsie ini dapat saja mengelak, walau
tidak dengan meraup keuntungan besar. Dari pachter-lama dalam kongsie Bengkalis,
bahwa pachter hadir selama masa perang, dan membeli garam sebesar US17,50
perkoyang untuk 40pikul (beberapa bahkan ditetapkan US12) dan kemudian US 26
dan US 40 per koyang. Angka ini ditempatkan sempurna mengalahkan semua
pernyataan dari catatan yang ada. Jika demikian apa yang begitu murah adalah bahwa
pachter telah membeli selama masa perang maka dapat dimengerti mengapa akses
hanya diberikan untuk catatan tahun 1913 dan 1914, dimana telah terjadi penurunan.
Mengenai Pacht
Seperti telah disampaikan, pachter-lama, ketika bisnis mulai limbung, sia-sia saja
mencoba dengan kredit garam untuk merangsang perusahaan besar. Dalam satu
tahun (1911-1912) terjadi peningkatan penjualan garam sebesar 25%. Hasilnya adalah
bahwa para pedagang dan bangliau melakukan spekulasi secara “sembrono” bersama
dengan pachter yang nampaknya bertentangan dengan nelayan dalam hal pembelian
trassi. Mereka mengatakan bahwa kadang-kadang ikan tersebut telah dbeli sebelum
mereka melakukan penangkapannya. Hal itu karena kenaikan harga ikan dan kekuatan
tawar nelayan di Bagan, akan tetapi, terkadang para pedagang di pasar spekulasi
Jawa, juga mengalami kerugian dengan cara seperti ini. Pada tahun 1913 pacht-
kongsie lama dipaksa untuk kebelakang melihat nilai sewa, dan akhirnya bom waktu
itu meledak juga. Dengan menunjuk seorang pengacara, Mr.DEVE, diakseptasi jumlah
keseluruhan dari penawaran berbagai debitur yang mencapai nilai f202.054.99.
Hingga beberapa tahun sesudahnya, sebagian sebagai akibat dari tindakan pacht-
baru, yang berhati-hati untuk tidak mengambil pemesanan begitu besar jumlahnya
yang seperti dilakukan pendahulunya, kondisi di tahun 1913, 1914 dan 1915 dimana
tidak kurang dari 23 pedagang ikan dinyatakan bangkrut, dari total sejumlah 50
pedagang, menjadi hampir setengahnya saja. Pada tahun 1916, hanya 27 pedagang
131
Bagan termasuk 10 diantaranya dengan omset tahun ini yang lebih besar dari f50.000.
Di antaranya yang bangkrut tersebut terdapat sejumlah 9 perusahaan besar.
Meskipun demikian, nampaknya masih terdapat sedikit harapan, kredit ini – angin
segar untuk perdagangan dapat berdiri bila kita menganggap bahwa akibat tindakan
pachter sebelumnya yang jumlah keseluruhan lebih dari f30.000. Bahwa dengan
jatuhnya pedagang dengan sejumlah bangliao, berhamburanlah hutang-hutang
pedagang yang nampaknya melibatkan pedagang lainnya yang masih eksis, dan ini
tentu saja tidak memerlukan argumen nadir. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kelesuan ekonomi Bagan ini disebabkan oleh peningkatan drastis persewaan,
yang tumbuh dan berkembang di Bagan namun tidak diiringi oleh elemen lainnya.
Sejumlah besar pacht, yang dibayar langsung oleh rakyat, telah menekan perusahaan
begitu beratnya dimana seharusnya perusahaan-perusahaan tersebut telah dapat
membentuk modal jika tidak terjadi penekanan tersebut. Pedagang, terutama harus
fokus pada perdagangan kredit dan mencari peluang sedikit untuk beralih ke kredit
yang lebih besar dan menghindari hilang dan meningkatnya penutup omset, yang
dalam banyak kasus kegagalan mengakibatkan ia sendiri tertimpa lebih dalam lagi
pada hutang-hutang baru. Pachter hanya untuk memastikan bahwa keuntungan yang
diperoleh lebih tinggi disebabkan peningkatan penjualan garam, dan masih cukup
lebih besar dari kerusakan yang diderita pada kemungkinan kepailitan debiturnya.
Pada penanganan pertengahan era malaise ini adalah untuk menghilangkan
penurunan harga garam, setidaknya f1 per pikul. Kemudian para pedagang dapat
membuat keuntungan yang wajar tanpa mereka melakukan spekulasi. Akan ada
modal di Bagan untuk membentuk pacht-ikan dan perdagangannya. Bahkan para
pedagang tanpa berputus asa melalui petisi tanggal 8 Maret 1914; permintaan
tertutup untuk mengurangi harga garam dari semula f3,50 hingga f 2,50, kemudian
menghapuskan cukai, serta dimasukkannya Bagan dalam jaringan kabel telegraf, dan
masih memiliki beberapa kesempatan dan saran lainnya yang memungkinkan untuk
diterima pemerintah. Dengan sambungan telegraf, tentu saja para pedagang dapat
memprediksi waktu yang tepat untuk melepas komoditi yang paling tepat ke Jawa
sebagai pasar terbesar, bahwa pra-telegraf, para pedagang hanya menebak-nebak,
berspekulasi tanpa dukungan informasi yang kuat.
261Surat bertanggal 14 September 1915 yang juga untuk pengakuan sebagai sebuah lembaga
berbadan hukum yang menaungi kepentingan para pelaku industry perikanan. Selain itu,
pendirian Bank Bagan Madjoe yang berbasis untuk memajukan kepentingan perikanan, juga
132
akhirnya atas prakarsa dan saran dari kontrolir Haga; petisi bertanggal 8 Maret 1916
nomor 43, di bawah kondisi visibilitas dan kontrol oleh Konsultan perkreditan rakyat;
sebagai dasar, onderafdeeling Bank Bagan Madjoe akhirnya dapat tercapai, dan
didirikan pada tahun 1916(Indie;GNIK: 1924). 262 Kebijakan ini dapat dipahami
mengingat pentingnya impor ikan di Pulau Jawa dan Madura yang sebahagian besar
berasal dari Bagansiapiapi yang tentu saja layak untuk dikembangkan. Kondisi ini juga
mengingat aplikasi oleh pedagang China pada tahun 1914; permintaan untuk
pengurangan harga garam, kepala departemen perikanan, didampingi oleh Mouw,
pejabat untuk urusan China, berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 1 Oktober
1915 Nomor 41, diputuskan pada bulan Januari 1916 untuk mengadakan penyelidikan
keadaan industri perikanan, dan apa yang sebelumnya dikenal sebagai “Catatan Tuan
Mouw; 263 Bahwa Mouw dalam penyelidikannya ini telah memegang buku dari
beberapa pedagang dan pachter garam, dan terbukti dengan angka, kurangnya
besaran modal dari para pedagang, tingkat ketergantungan mereka pada sisi
keuangan dari pachter garam, dan juga, kondisi tingkat bunga yang tinggi. Bahwa
rekomendari Mouw, tahun 1916 perdagangan di Bagan berada pada sekrup longgar,
dan tanggal perubahan radikal tanpa memperhitungkan adanya sistem kredit yang
berlaku, kejutan yang paling menyenangkan mungkin diperlukan. Untuk menghindari
komplikasi yang tak terduga adalah metode paling aman untuk pacht dengan harga
maksimum garam f2,50 per pikul selama masih ada perdagangan dan agak diperbaiki
kondisinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan harga maksimum garam f2,50,
jumlah pacht diperkirakan menurun secara signifikan. Konsekuensi terhadap hal itu
diprediksi bahwa, “dalam waktu tidak terlalu lama, orang Bagan akan duduk
menghitung kekayaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.” Oleh sebab
itu, pendirian Bank perkreditan murah Bagan Madjoe, paling tidak dikondisikan oleh
beberapa hal sebagai berikut:264
memberikan kredit untuk kebun dan pertanian kecil. Seperti yang terdapat disepanjang jalan
antara Bagansiapiapi dan Labuhan Tangga, diberikan kesempatan yang luas kepada petani kecil
untuk memperoleh kredit.
262
Het Chineesche Visscherij Bedrijf Te Bagansiapiapi; A.W.Niewenhuis; INDIE geillustreed
Indschrift Nederland En Kolonien, 10 Desember 1924, Hal.300-308; Bank ini didirikan oleh
vereeniging yang beranggotakan B.J.Haga (Kontrolir sebagai ketua); Mohamad Arsad (sebagai
vice president); Lim Tek Soei (sekretaris); J.Koppelle; dokter R.M.Pratomo,; Oei I Tam (Luitenant
Chineezen); Sim Tjeng Song(wijkmeester der Chineezen); Ang Boen Koa, Oei Tong Kim; Li Tek
Goan, Ban Hong Hin(Pedagang) semuanya berasal dari Bagansiapiapi, dilihat dalam “De Sumatra
Post, Dondendarg, 28 Februari 1918.” Sebelum dana awal dikucurkan, juga tiba Dr.JH.Boeke
dibulan Agustus 1916 untuk secara bersama-sama melakukan penelitian bagi dasar pendirian
Bank. Setelah melalui diskusi dengan Asisten Residen Bengkalis dengan vorzitter, mereka tiba
pada kesimpulan bahwa kredit memang benar-benar diperlukan. Hasilnya, Bank Bagan madjoe,
mulai aktif bekerja pada tanggal 1 Februari 1917.
263
Laporan Mouw, bertanggal 16 Januari 1916.
264 O.P.Besseling, “De Visscherijbank “Bagan Madjoe” en de visscherij-industrie te Bagan Si Api
Api, dalam Koloniale Studien: Tijdschrift van de Vereeniging voor Studie van Koloniaal-
Maatschapij Vraagstukken, Volume 1, Number 1, 12 November 1916, p.340-349.
133
produksi ekspor tertinggi pada era pacth yakni Tahun 1919 mencapai 35,3 Juta Kg,
pada Tahun 1926 telah mencapai 43 juta Kg, dengan kondisi pinjaman terhadap
nelayan yang mencapai f1000,- De Sumatra Post, pada tanggal 5 Maret 1919
memberitakan Bank Bagan Madjoe sebagai berikut:
Kita menerima dari Laporan Tahunan dari Kontrolir Bagansiapiapi tentang
Onderafdeelingsbank Bagan Madjoe tahun 1918, sebuah bank perkreditan
untuk industri perikanan di sana. Ada bukti pemberian kredit hingga sebesar
f200.000, dari kas sentral. Hanya separuh yang dijamin oleh pemerintah. Kas
Sentral menjadwalkan pelatihan pengontrolan keuangan terhadap kondisi
pembukuan tersebut. Akhir tahun 1918, uang yang terdapat di bank sejumlah
f154.224,98, dari Kas sentral diperoleh f182.487,78, tabungan yang
diinvestasikan sejumlah f12.753,82.. terutama pada tahun 1920 saat kontrol
garam diberlakukan, daripada disediakan untuk kredit zout-pachter lebih baik
disediakan untuk pembelian garam. Jumlah uang yang dipinjamkan
meningkat dari semula f103.549,85 menjadi f174.190,07. Saldo pada
keadaan 31 Desember 1917 sejumlah f103.549,85. Pemberian pinjaman
sebesar f347.659,13 dan pembayaran pelunasan sebesar f277.018,91.
Sejumlah 321 debitur terkemuka terlibat, terutama orang-orang China.
Penyempurnaan aturan kredit terutama terhadap sejumlah besar perjanjian
overkredit dari para pedagang kecil. Dilakukan penghitungan jumlah
persentase bunga perbulan. Atas kewajiban yang berlapis-lapis diiganti
dengan rente 5 persen. Kas Sentral berpendapat bahwa kewajiban yang
berlapis-lapis akan menyebabkan keterlambatan waktu pembayaran.
Selanjutnya dalam Laporan Bank Bagan Madjoe pada tahun 1923, bahwa pihak Bank
melalui Visscherijfonds telah memberikan pinjaman mencapai f422.000,- dengan
rincian; untuk jermal sebesar f104.900,- untuk pasar ikan sebesar f15.050,- Impor
sebesar f68.696,- untuk ritel sebesar f44.500,- untuk peternakan sebesar f 1400,-
untuk perkapalan sebesar f9300,- untuk rumah mencapai f107.510,- aneka lainnya
sebesar f61.345,-. Dari total seluruh pinjaman, sebesar f390.000,- dipinjamkan
kepada peminjam China; mungkin ini sebabnya surat jaminan hampir seluruhnya
dalam bahasa China. Laporan Onderafdeeling Bank Bagan Madjoe Tahun 1928;
bahwa peningkatan pinjaman biasa, dari f366.700 pada tahun sebelumnya menjadi
f417.600, terutama terkait dengan konversi beberapa kredit besar. Para pedagang
diberitakan membuat hutang dengan kantor-kantor Bank Jawa melalui transfer
Telegraph, yang kesemuanya ditujukan kepada Bank Bagan Madjoe, dilaporkan juga
bahwa tunggakan pinjaman menurun drastis, disebutkan pula bahwa pinjaman guna
usaha impor barang-barang seperti; minuman, beras, tepung tapioka, gula, tali dan
lainnya dalam beberapa tahun terakhir dibeli melalui Singapura.265
265
De Sumatra Post, warta tentang Bagan Madjoe, tanggal 5 Juni 1929.
135
Ketersediaan Garam
Adapun kelimpahan ikan, dapat menjadi kelimpahan produksi ikan ketika ditunjang
oleh faktor utama produksi ikan selain alat tangkap, sebab menghasilkan ikan dalam
jumlah besar membutuhkan suatu sistem pengawetan yang memadai. Adanya
kebijakan harga Garam yang ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial pada saat itu,
bahwa; Kondisi ini ditunjukkan dengan data statistik bahwa sebesar 76.5% garam yang
ada di seluruh wilayah Hindia Belanda di gunakan di Bagansiapiapi; Kondisi ini melihat
realita bahwa seluruh produksi ikan tergantung pada garam. Tidak seperti pada
wilayah lainnya di Hindia Belanda, dimana Garam mencapai harga yang tinggi yang
merupakan produk kebijakan monopoli Pemerintah Kolonial. Era tahun 1900-an pada
saat kondisi industri perikanan di Jawa mengalami kelesuan, dan sentra perikanan
bergeser ke Sumatra Timur khususnyya Bagansiapiapi, hal ini ditengarai sebagai
dampak kebijakan garam murah yang diterapkan Pemerintah Kolonial. Persoalan
produksi perikanan ini Sebenarnya telah dilihat oleh Haga, juga Butcher, tidak lepas
dari peran ketersediaan garam; yang berfungsi sebagai pengawet dan bahan pengolah
hasil ikan. Sebagai contoh ketersediaan garam, pada tahun 1910, dari 20 juta Kg per
tahun garam yang di kirim ke Singapura dari Arabia (kawasan Laut Merah), 9 juta Kg
digunakan di Bagansiapiapi. Ketersediaan garam mempengaruhi jumlah produksi ikan.
Untuk menjaga kelangsungan industri ikan, bagaimanapun juga, diperlukan untuk
mengimpor sejumlah besar garam. Biasanya garam dibeli dari Laut Merah di
Singapura. Garam, sebagai sebuah komoditas, dikontrol oleh Pemerintah Kolonial.
Pada masa itu, pendapatan Pemerintah Kolonial dari hak monopoli garam pada tahun
1902 mencapai f9.456.466, Tahun 1913 meningkat menjadi f12.633.988,21 dan Tahun
1922 meningkat lagi mencapai f17.221.346,50, dimana kondisi ini belum termasuk
monopoli garam di Bagansiapiapi yang diperlakukan secara istimewa; Seperti pada
Tahun 1905 Pemerintah Kolonial memperoleh masukan sekitar f325.000 dari Industri
gram dan industri lain yang terkait. 266 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa di
Bagansiapiapi garam adalah bagian yang utama dari suatu proses pengasinan ikan,
kemudian terassi, udang kering yang membutuhkan garam dalam jumlah besar. Van
Kempen dalam laporan kunjungannya di tahun 1908, menyebutkan nama pemegang
hak pacht garam adalah “Oey I Tam”, mantan Kapiten China Bengkalis yang juga
tercatat sebagai pendiri Jalur pelayaran yang beroperasi di Bagansiapiapi. Selain Oey
I Tam, nampaknya bisnis pengadaan garam ini juga di ikuti oleh pengusaha dari
Medan, Singapura atau Penang, sebagaimana digambarkan oleh Vleming: Tidak
terdapatnya lembaga perbankan, maka modal pun diperoleh dari Singapura atau
Penang,. meskipun tidak ditemui adanya hubungan erat khususnya dengan
Bagansiapiapi. Salah satu sumber adalah kredit, tentu saja, dengan bunga yang tinggi,
biasanya tergantung pada “pachter-garam” (kongsie antara Ju Tjong A Fie Mayor China
Medan dan Mayor Khoe Tjin Tek yang hadir bersama juga dengan pedagang Cina
266 Kolonial Verslag, 1904; 1915; 1923; Kemudian Butcher 1996 dalam Yety Rochwulaningsih:
Petani Garam Dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang Jawa Tengah.
136
lainnya yang turut berpartisipasi).267 Selain itu, menjelang akhir abad ke-19, tepatnya
ditahun 1897, dari sindikasi pedagang China di Medan, juga terdapat nama Tan Tang
Ho(1860-1916) yang turut dalam kontrak Pacht garam di Bagansiapiapi. 268
Bagaimanapun juga, saat itu di Bagansiapiapi, bisnis pengadaan garam adalah bisnis
yang sangat menguntungkan. Dikatakan sangat menguntungkan disebabkan terdapat
keuntungan langsung dan tak langsung dari bisnis garam ini. Keuntungan langsung
diperoleh dari penjualan garam melalui Hak pacht yang diperoleh dari Pemerintah.
Adapun keuntungan tidak langsung diperoleh dari kewajiban untuk
menyelenggarakan ekspor terassi dan udang kering di Bagansiapiapi. Dikatakan bahwa
“pisau pemegang hak Pacht garam dapat memotong dua sisi”. Sebagai contoh, Gobee
dan juga Colijn yang melakukan kalkulasi secara teliti atas keuntungan bersih yang
diperoleh dari pachter atas penjualan garam adalah mencapai 112.000 gulden, juga
keuntungan yang dikumpulkan dari kewenangan penjualan terassi sebesar 14.000
gulden dan penjualan udang kering sebesar f5350. Pada tahun 1896 – 1904,
keuntungan pachter hamya mencapai 3500 hingga 6060 gulden per bulan. Akan tetapi
pada saat terjadi lonjakan penggunaan garam yang semula 4.9 menjadi 15.7 juta kg.,
kondisi ini juga menyebabkan lonjakan ekspor ikan kering dan produk ikan lainnya.
Hendrikus Colijn menghitung penerimaan kas Pemerintah dari sektor pajak bisnis
sejumlah f35.000,-, bea impor dan ekspor sejumlah f65.000,-, dan sejumlah
f100.000,- dari opium, dan total seluruhnya adalah sebesar f350.000,-. Untuk
pembiayaan pemerintahan di Bagansiapiapi, seperti gaji kontrolir dan sejumlah
pegawai lainnya, diperkirakan sejumlah f25.000,-. Singkatnya, Pemerintah Kolonial
menerima pemasukan sejumlah f325.000,- di tahun 1905 dari industri perikanan di
Bagansiapiapi.
Bagi pemerintah kolonial, van Kampen menyebutkan, Bagansiapiapi jelas
merupakan “Tambang Emas Kecil.”
Masih dalam dekade yang sama, ketika Pemerintah Kolonial mengambil sikap untuk
lebih represif terhadap persoalan yang berkaitan dengan sistem pacht, dimana di
Jawa telah dihapuskan, Colijn menentang keras pendapat yang berkaitan dengan
perlunya penghapusan sistem pacht, bahkan yang berada di luar Jawa. Colijn
mengemukakan dalam laporannya bahwa lebih baik untuk melakukan kebijakan
lainnya ketimbang penghapusan pacht, seperti penaikan pajak atas garam;
dikatakannya bahwa menghapuskan “pacht-garam” di Bagansiapiapi seperti
“membunuh angsa yang bertelur emas”. 269 Sukses di Bagansiapiapi, Colijn tidak
hanya terfokus pada area ini, melainkan juga, ia melirik Panei, 270 yang terletak di
267
Het Chineesche zakenleven in Nederlandsch-Indid: door Vleming, J.L. Landsdrukkerij, 1926.
268 Weight, tahun 1909,581-582; dilihat dalam Dirk A Buiskool, “The Chinese Elite Comercial of
Medan: 1890-1942, The Penang Connection, JMBRAS, Vol.82,part 2, 2009.p.113-129.
269 Butcher, 1996; hal.100-101.
270 Seperti diwartakan oleh De Sumatra Post, 8 Agustus 1905, “Het laastste punt van de opdracht
waarmede Kapitein Colijn hierterkuste is gekomen, luidt: ‘middelen te beramen om door een
137
gewijzigde zoutpolitiek is het Panei-kustgebied een visch industrie in het leven te reopen, gelijk
thans reeds bestaat te Bagan Api Api.”
271
Dalam Butcher, 1996; hal.103.
138
Beberapa studi tentang dua phenomena pun dilakukan, yakni phenomena kenaikan
bea pacht-garam di satu sisi dengan penurunan produksi disisi lainnya. Dapat
dikatakan, terjadi hubungan kausal antar keduanya, dimana pachter memiliki
kewajiban untuk lebih memenuhi kewajiban pembayaran sewa pacht, yang membawa
akibat dari penurunan produksi ikan. Bahwa kenaikan harga garam telah
menyebabkan berkurangnya keuntungan industri dan lebih jauh mengurangi
produksi. Kenaikan sewa pacht juga telah mengakibatkan kenaikan harga garam.
Berapapun keuntungan yang dihasilkan oleh pachter, jelas menunjukkan bahwa,
industri perikanan di Bagansiapiapi tidak lagi seperti tambang emas kecil yang
digambarkan Colijn disaat kunjungannya ke Bagansiapiapi; kondisi hanya pada tahun-
tahun awalnya saja. Antara tahun 1910 – 1914, pemasukan yang diperoleh berkisar
antara f1.000.000 – f2.000.000 per tahun, yang diperoleh dari sewa pacht,
pemasukan dari penjualan opium, bea impor dan ekspor dan sejumlah pajak lainnya.
Meskipun demikian, Butcher meyakini bahwa pada era ini, pemerintah telah
mengupayakan pemasukan kas yang sebesar-besarnya dari industri perikanan, begitu
pula dengan pachter, yang tidak saja memaksimalkan ekploitasi atas hak pacht,
melainkan juga melalui monopoli atas pengelolaan kredit. Pemerintah Hindia Belanda
dan juga pachter, mengeruk hampir seluruh surplus dari bisnis industri perikanan, dan
ini menyebabkan mustahil bagi pedagang yang berada di bawah pachter untuk
mengakumulasi modal sehingga dapat melepaskan diri dari pachter. Nampaknya, era
ini juga ditandai dengan kondisi bahwa eksploitasi sumber daya muara telah berada
pada ambang batas, seperti terefleksi pada statistik dengan tidak adanya peningkatan
produksi antara tahun 1910 – 1914. Kondisi ini berdampak pada ketidakmampuan
pedagang untuk bertahan, sehingga mereka collaps yang membawa serta tauke yang
berada dalam naungan pedagang tersebut. Para nelayan, mereka terkondisikan
sebagai “kuli dan hanya sedikit yang mengeluhkan tentang hal itu”, sebagaimana
telah dicatat oleh seorang administrator, tetapi, keuntungan mereka terjadi bukan
disebabkan oleh perluasan produksi, melainkan disebabkan sekarang mereka
menerima sejumlah pemasukan yang sebelumnya adalah milik pedagang dan
tauke.272 Meskipun telah terjadi “achteruitgang” atau penurunan produksi ikan,
namun secara umum industri perikanan di Bagansiapiapi mengalami peningkatan
semenjak masuknya orang Belanda kesana diakhir abad ke-19.. Sebuah warta pada
tahun 1916273, dapat menjelaskan bahwa selama kurun waktu penempatan kontrolir
di Bagansiapiapi, telah terjadi lonjakan tajam pemasukan pemerintah dari garam, yang
semula di tahun 1900 pemasukan adalah sebesar f6.510 perbulan, meningkat menjadi
f36.200 perbulan di tahun 1915, dimana harga garam di tahun 1900 adalah senilai
f2.05 per pikul naik menjadi f4.00 per pikul di tahun 1911 dan harga tersebut turun di
tahun 1913 sebesar f3.50 per pikul. Hal ini dapat dipahami mengingat impor garam
yang mencapai 16.700.000 kg dan produksi ikan yang mencapai 36 juta k.g. dengan
nilai mencapai f3.900.000. Berikut rinciannya:
3.900.000
Hingga tahun 1917274, sistem pacht-garam di Bagansiapiapi adalah satu-satunya yang
tersisa di Hindia Belanda dimana pemerintah telah memutuskan untuk
mengakhirinya. Pada Bulan November 1917, Konsil Batavia merekomendasikan agar
sistem pacht(farm) dihapuskan, dengan tidak mempedulikan beberapa faktor
penyebab penurunan dari produksi ikan di Bagansiapiapi. Konsil juga mengumumkan
bahwa penarikan keuntungan Pemerintah dari pacht akibat dari penerapan pacht
yang berlebihan. Gubernur Jenderal Mendukung pernyataan konsil yang digambarkan
sebagai “menyalahi prinsip dan tidak adil secara ekonomi.” Di Bagansiapiapi pada
akhirnya pacht-garam dihapuskan yang bukan disebabkan oleh hal lain melainkan
disebabkan sistem pacht itu sendiri. Setelah memutuskan untuk menghapuskan
sistem pacht, pemerintah menyiapkan alternatif untuk mensuplai kebutuhan garam
bagi nelayan. Lebih dari sebelumnya, kali ini monopoli penyediaan garam langsung
ditangani sendiri oleh Pemerintah. Pemerintah memutuskan untuk mensuplai garam
kepada serikat yang berbasis di Bagansiapiapi dan mewajibkan serikat ini untuk
menjualnya dengan harga tetap dengan atas nama pemerintah. Bersamaan dengan
dihapus secara keseluruhan pacht di tahun 1920, Serikat Tjin Tong mengelola bisnis
garam dan menjualnya dengan harga 3 gulden per pikul. Pemerintah nampaknya
melanjutkan model pengadaan garam yang sebelumnya di tangani oleh pebisnis
China, akan tetapi kali ini, Serikat Tjin Tong tampil dengan pola yang benar-benar
berbeda dengan pacht; disini semua pedagang memiliki saham, tidak satupun dizinkan
untuk menyimpan saham lebih dari yang lain, dan pemegang saham terikat untuk
meninggalkan bahagian sahamnya jika ia meninggalkan Bagansiapiapi. Dengan
metode seperti ini tidak ada satu pedagang pun yang dominan di industri seperti di
era sistem pacht. 275 Berikut adalah pasokan garam untuk memenuhi kebutuhan
industri perikanan Bagansiapiapi Tahun 1901 – 1930:
274
Serikat garam yang berperan pada era Tahun 1917 adalah serikat yang dimotori oleh Khoe,
bekerjasama terutama dengan Tjong A Fie, kapiten China dari Medan, yang juga merupakan
bagian dari sindikasi Straits Settlement: “In 1917, Khoe obtained the salt farm of Bagan Si Api Api
with Tan Tang Ho and Tjong A Fie as guarantors for f.38,000 a year”. Dilihat dalam Mailrapport
413/1917/, Extract uit het register der besluiten van den Gouverneur Generaal van
Nederlandsch Indie, Tjipanas, 15 February 1917, dilihat dalam The Chinese Comercial of Medan,
1890-1942:The Penang Connection, oleh Dirk A.Buiskool, JMBRAS Vol.82 Part 2, 2009, p.113-129
275
Butcher, 1996: 119
140
Perdagangan Ikan
141
Jawa merupakan pasar utama dari produk Bagansiapiapi. Menurut Colijn, sejumlah
14.0 dari 26.0 juta kg. ikan kering diekspor ke Jawa. Sebagaimana telah
diketengahkan bahwa data Van Kempen menunjukkan ekspor ikan kering
Bagansiapiapi ke Jawa sejumlah 56 persen dari 23.1 juta kg, 25 persen ke Malay
Peninsula, dan 19 persen ke sejumlah wilayah di Sumatra Timur. Jawa, wilayah pantai
Barat Malay Peninsula, sekitar medan dan Sumatra Timur, jumlah penduduk
meningkat dengan pesat, terutama dikalangan imigran di pertambangan dan
perkebunan di Malaya dan Sumatra Timur, menyebabkan permintaan akan ikan
sebagai sumber protein hewani juga meningkat. Disaat yang sama, produksi ikan di
Jawa mengalami penurunan, paling tidak, produksi ikan di Jawa tidak dapat
mengimbangi jumlah populasi yang terus meningkat.Selain itu, kondisi harga garam
yang dimonopoli oleh Pemerintah Kolonial telah menahan laju industri ikan disana.
Kondisi ini telah mengindikasikan kesiapan Bagansiapiapi dengan produk ikan
keringnya, akan tetapi, untuk halnya pemasaran di Jawa, terdapat produk saingan
yang diimpor, terutama dari luar Hindia Belanda, yakni Siam. Di Tahun 1903, dari total
impor ikan dari luar Hindia Belanda yang berjumlah 19 juta kg berasal dari
Bagansiapiapi. Akan tetapi ketika produk Siam memasuki Jawa, produk yang berasal
dari Bagansiapiapi menurun. Kondisi ini terutama disebabkan ikan yang dihasilkan
oleh Siam, adalah ikan yang bernilai lebih dari ikan produksi Bagansiapiapi. Ikan Siam
diasinkan, namun dilakukan lebih baik dari produk Bagan. Colijn mengomentari
produk terassi dari Bagansiapiapi sebagai “vogue” (kabur).276 Bagansiapiapi sebagai
salah satu pemasok ikan bagi Pulau Jawa, dengan komoditis perikanan yang terjamin
kualitasnya. Untuk mempertahankan kualitas tersebut, pada tahun 1915 Gubernur
Sumatra Timur mengeluarkan peraturan memberikan sanksi hukuman (straf) pada
pengusaha yang dalam pengolahan ikan memberikan campuran yang dapat
mempengaruhi kualitas, yakni hukuman 30 hari kurungan (Indie;GINK,1924). Pada era
1913-1915, dimana harga garam meningkat, nelayan mencampur produk trasi guna
mengurangi penggunaan garam, dan ini berakibat pada buruknya kualitas yang
menyebabkan harga trasi produk Bagan di Jawa jatuh. Seperti yang terlihat bahwa
pasar utama produk Bagan adalah di Jawa, ikan kering, terutama trassi. Akan tetapi,
kenyataannya menunjukkan bahwa di Jawa itu sendiri juga menghasilkan trassi. Desa
di sana juga melakukan penangkapan ikan lebih dari yang dipikirkan orang, akan tetapi
ini terjadi jauh lebih luas daripada di Bagan; sementara kualitas produk yang dihasilkan
jauh lebih tinggi daripada ikan boesoek. Unit Jawa dan Madura memproduksi mungkin
lebih dari impor yang berasal dari Bagan, sedangkan untuk pasar lain; Melaka bahkan
produk utama. Melaka menandakan tidak hanya Singapura, tapi Penang dan Inggris-
Malaya, pusat pelabuhan; Benteng Settenham, untuk yang terakhir juga cukup besar,
tidak termasuk dalam jumlah statistik ikan muncul. Bagi udang asin basah di Kantor
Statistik Singapura dikirim ke pelabuhan tertentu, akan tetapi dalam kenyataannya
mereka mengirimnya ke China. jumlah ikan kering, yang terutama berasal dari
276
Butcher, 1996, hal.96-97.
142
Seneboi jauh lebih besar dari ikan kering, Selanjutnya mengenai transportasi di
Panipahan sehubungan dengan posisinya, terutama untuk kegiatan ekspor ikan kering
ke Deli, Jawa dan Singapura. Hal ini, bahkan telah merupakan rute dari kapal
pengiriman yang telah ada. 277 Bahwa ekspor dari Bagansiapiapi ditujukan ke
Singapura dan juga Melaka.
279 18 Desember 1903, Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie: “Handel de Droge
Visch.”
144
biasa dituliskan hanya rata-rata saja dan berupa perkiraan. Angka yang akan
dicantumkan hanya berupa asumsi, meskipun dengan keyakinan bahwa ini benar.
Akhirnya dapat diasumsikan bahwa jumlah ini adalah sekitar f8.000.000,-. Bottemane
juga membahas akan nilai keuntungan dari sebuah bisnis ikan di Bagansiapiapi. Mulai
dari biaya produksi, seperti; pembangunan alat penangkapan ikan, biaya
pemeliharaan hingga upah buruh nelayan. Dari laporan setebal tiga puluh tujuh
halaman tersebut, secara singkat pemikirannya adalah sebagai berikut:
1. Haruslah dilakukan upaya penelitian biologis atas kondisi setempat di
Bagan atau di luar itu, sedangkan pengetahuan jangka panjang dari
perilaku ikan yang diinginkan sebagai dasar untuk menilai efek dari
penangkapan yng dilakukan oleh kapal ikan; Penelitian kelautan di sini
adalah berbeda dan lebih besar dari yang biasanya berlangsung dalam
perikanan laut;
2. Haruslah di tunjuk Mantri polisi untuk kepentingan hal-hal yang terkait
masalah perikanan; Sementara itu juga dilakukan pengumpulan data;
3. Penetapan tarif haruslah dicatat secara teratur untuk berbagai jenis dan
kelas kapal ikan, sehingga tersedia dasar untuk penelitian biologi;
4 Menghimpun hal-hal rinci hingga yang terbaru, terutama ekspor yang
diperlukan untuk penelitian biologi.
5 Masalah pelayanan kayu mengikuti pedoman tertentu untuk diatur;
6 Penyelidikan atas kemungkinan bantuan teknis perbaikan atau perangkat
berubah, yang dapat memiliki bobot pengurangan biaya;
7. Penyelidikan lebih lanjut ke kemungkinan yang lebih baik dan industri
"pengolahan" hasil tangkapan (tepung ikan?) sangat diinginkan;
8. Bank menyediakan suatu divisi khusus untuk menangani persoalan ini;
9. Dimungkinkan untuk terjadinya beberapa perbaikan dalam metode
pemasaran;
10. Akhirnya, dibutuhkan suatu pengaturan batas jermal 3-mil di "Selat" dan
Hindia Belanda;
warta yang terbit tahun 1929, diberitakan bahwa pedagang membuat hutang pada
Kantor-kantor Bank Jawa, melalui Telegraph.280 Lazimnya telegraph pada masa itu,
maka operasionalisasi teknologi ini membutuhkan hingga 6 petugas dengan beragam
ketrampilan, Jumlah tenaga yang terlibat dalam urusan operasional telegraph,
nampaknya berkaitan dengan beban kerja unit tersebut dalam melayani jasa
telegraph, seperti pada tahun 1932, telegraph masuk sejumlah 9390 dan keluar
sejumlah 3192; di tahun 1933 telegraph masuk sejumlah 9096 dan telegraph keluar
3213. Dari aktifitas telegraph ini, dilaporkan bahwa terdapat penghasilan yang pada
tahun 1932 mencapai f790.875,98 kemudian pada Tahun 1933 mencapai
f936.495,96.
280 De Sumatra Post, 5 Juni 1929; Pemberitaan dengan judul “Bagan Madjoe.”
281 De Sumatra Post, 30 Juni 1909, Bagansiapiapi.
146
Adapun pada tahun 1920, juga tercatat adanya kapal motor (motorschip) dengan
jumlah pertahun 35 unit, dan muatan tercatat 13055 M2. Koneksi Bagansiapiapi
dengan Bengkalis, Singapura dan Jawa, terutama dipelihara oleh armada K.P.M. dan
perusahaan Kapal milik orang China. Sedangkan arus lintas lokal dipenuhi oleh
sampan dan kapal motor (Vleming, 1926). Mengenai K.P.M., memiliki rute pelayaran
dari Bagansiapiapi menuju Singapura, Penang, Belawan, Jawa dan Kalianget; masing-
masing satu kali sebulan, hanya Singapura mencapai dua belas kali dalam satu
bulannya.282
282ANRI MVO; Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934,
hal.40
147
Sumber: KITLV.
148
Sumber: KITLV
Grafik Produksi Ikan kering, garam dan trassi hingga tahun 1922.
150
Sumber : KITLV
151
Hingga menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang ditahun 1942, jermal dan
ambai masih merupakan sarana penangkapan utama, disamping alat tangkap cici yang
digunakan dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih ekonomis.
Jermal
Jermal yang dikenal di perairan Pantai Timur Sumatra, dan menjadi khas alat
penangkapan ikan di Bagansiapiapi, pada prinsipnya sama dengan sistem bagan, yaitu
mengangkat ikan dari laut setelah terkumpul dari jaring yang ditenggelamkan
sebelumnya kedalam laut. Jermal beroperasi tergantung pada arus laut. Dengan
jaring yang berbentuk huruf V, maka ikan yang masuk dalam jarring akan ditangkap
dengan cara mengangkat jaring. Alat seperti ini, memungkinkan semakin kuat arus
akan semakin efektif penangkapan ikannya. Akan tetapi, kelemahan dari jermal
adalah alat ini tidak dapat dipindah-pindahkan mengikuti perpindahan ikan. Pada
tahun 1919, di Bagansiapiapi ditugaskan Mantri-Polisi khusus tentang perikanan,
dimana penduduk menyebutnya sebagai Mantri Ikan, dimana dalam permohonan
pembangunan jermal baru, maka sang Mantri-Ikan ini akan terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan tempat yang menjadi usulan lokasi pembangunan dan
membandingkannya dengan peta yang dikeluarkan oleh pihak angkatan laut Belanda.
Setelah melalui proses pemerikasaan, pendaftaran dan pemberian nomor registrasi,
maka jermal pun siap untuk dibangun oleh sang pemohon dengan berada dibawah
pengawasan sang Mantri Ikan; untuk memastikan bahwa jermal memang dibangun
sesuai dengan izin lokasi yang diberikan. Jermal adalah alat tangkap dengan biaya
yang cukup mahal, pada tahun 1916 mencapai hingga sekitar f5000, kemudian tahun
1926 sebesar f8000, dan nampaknya pada tahun 1937 mengalami penurunan hingga
f6400. Seperti alat tangkap jermal, yang berbiaya mahal, rincian biaya satu buah
jermal sebagai berikut:
60 buah tiang @ f6,- ……………. f 360,-
2000 tiang kecil f2,20 ……….. f 4400,-
Jaring Rotan …………………….. ..f 140,-
2 perahu ………………………... f 1500,-
Sehingga totalnya menjadi …….. f 6400,-
Kemudian untuk membuat sebuah jermal kecil, berikut rincian biayanya:
60 tiang ………………..……….. f 210
2000 tiang jajar …………….......f 2000
1 jaring rotan …………………… … f 140
2 perahu ……………………… ………..f 1500
Sehingga totalnya menjadi ……… f 3850
Kondisi ini ditambah lagi dengan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi, yang biasanya
dilakukan 2 hingga 3 kali setahun. B.Markus mendeskripsikan alat tangkap djermal
sebagai berikut: Pertama, yang disebut jermal adalah peralatan penangkapan ikan
dengan fokus sejumlah besar ikan kecil, untuk kemudian diolah menjadi ikan asin dan
ikan kering kering sebagai penghasil utama “produk Bagan.” Jermal ditempatkan
dalam barisan tegak lurus searah aliran air. Alat tangkap ikan jermal merupakan alat
tangkap yang penting dalam perikanan di Bagan. Sekitar 400 unit alat penangkap ikan
jenis ini berada di Muara Rokan sampai sejauh 16 mil dari lepas pantai. Untuk usaha
sederhana, dengan kepemilikan sebuah jermal yang dibangun di lepas pantai,
diperlukan modal lebih dari f20.000, termasuk 2 buah sampan untuk
mengendalikannya. Dua baris kayu memanjang dan rapat saling berhadapan
menimbulkan arus bolak-balik dan menggoyang kutub tipis (jajar) di dasar laut dan
akan berfungsi saat air pasang di atasnya. Dua baris kayu ditempatkan dalam bentuk
155
V ke sisi terbuka dari V yang terbalik, masing-masing baris dengan ukuran beberapa
ratus meter panjangnya dan terdiri dari; sebagian besar (dan ini berlaku terutama
untuk jermals di dalam laut yang paling bertahan lama) dari kayu Nibung, bahan yang
kuat akan tetapi berharga mahal. Dalam dua barisan ini, misalnya, diperlukan
sejumlah 1250 potong, jadi keseluruhannya bersama-sama menjadi 2500, dengan
biayanya tidak lebih dari f16.000, jumlah biaya ini adalah sebesar 2/3 dari biaya
keseluruhan jermal. Semakin pendek kutub jajar jermal akan semakin lebih dekat pula
keluasannya. Sebagian besar bahan lain misalnya kayu bakau (Rhizophora) atau kayu
Tengah (Ceriops) diproduksi untuk keperluan ini. Kutub nibung, yang sering lebih dari
8 depa panjangnya, mampu bertahan beberapa tahun, sementara lainnya bertahan
hanya beberapa bulan saja. Mereka berakhir di sisi ujung V yang difokuskan dalam
kumpulan tiang kayu (perepat atau nibung), sangat dilengkapi dengan setumpuk
kutub, dan bambu, yang terletak beberapa meter di atas dari permukaan laut, pada
dua panjang sisi persegi panjang, terdapat 30 sampai 40 tiang.
sekitar Bagan, 2 kano (sampan) dengan 2 kuli, Sebuah perahu menetap selama 2
minggui. Kembali ke jermal dan kemudian ke pantai untuk digantikan oleh yang lain.
Berbeda dengan alat jaring perangkap (atau bubu Ambai) yang dilakukan justru adalah
sebaliknya.
Pada tahun 1916, pemerintah Hindia mengeluarkan aturan tentang jermal bertanggal
21 Januari 1916; “Keur op de oprichting, de registratie en de opruiming van djermals
en op de zoogenaamde bangliau's in de Afdeeling Bengkalis.” Peraturan yang biasa
disebut Viscerijkeur ini, terutama mengatur pembangunan jermal hingga
pembersihan jermal yang telah ditinggalkan pemiliknya disebabkan timbulnya keluhan
tentang gangguan pelayaran yang berasal dari jermal-jermal yang sudah tidak
berfungsi lagi. Selain itu, Visscherijkeur juga mengeluarkan aturan tentang izin
pembangunan jermal, pendaftaran dan penomoran, hingga pencahayaan jermal yang
dimulai dari terbenam hingga terbitnya matahari; poin yang dirasakan berat
mengingat biaya yang cukup mahal. Akan tetapi, pelanggaran atas aturan ini,
dikenakan sanksi denda hingga f100, dan hukuman kurungan yang mencapai tiga
bulan. Hasilnya, jermal di muara Rokan, terlihat di gelapnya malam bagaikan
sekumpulan kunang-kunang bercahaya; dan pers Belanda menyebutnya “De Ville
Lumiere in het donkere Afdeeling van Bengkalis” (Kota Cahaya dikegelapan malam
Afdeeling Bengkalis). Bahwa juga, terbitnya visscherijkeur ini juga nampaknya sebagai
159
Bubu / Ambai
Seperti kita lihat dalam sketsa kantong udang sebagai perangkap. Udang yang berada
dalam perangkap di area Bagansiapiapi atau Pulau Halang, dibawa sesegera mungkin
ke lantai pengeringan. Lebih jauh ke laut dapat ditemukan suatu susunan kayu yang
tinggi yang merupakan bangunan gubuk nelayan berdampingan sebuah lantai kering
yang luas, di mana hasil tangkapan bagan-ikan sebelahnya dibawa kembali dan diolah
(direbus dengan garam dan kering). Mereka menyebutnya dengan “tah-Liau”, yang
berfungsi untuk pengeringan ikan. Metode perangkap dari 2 jenis bubu itu (Ambai)
juga sama. Jala melekat pada tali antara kutub, meskipun penangkapan ikan adalah
pada bagian bawah hampir ke dasar laut.
Berbeda dengan jermal, saat air pasang dan surut, ikan dapat tertangkap, jadi alat ini
dapat mencapai 4 kali sehari melalui jaring untuk mengambil hasilnya dibagian dalam.
Secara substansial, - ini berbeda dengan perikanan jermal, - saat pasang kecil, 4 hari
sebelum dan sesudah penangkapan ikan, setengah bulan kurang lebih 7-8 hari. Pada
musim panas berdasar keadaan dilapangan, tampaknya waktu ini tidak cocok
digunakan untuk menghasilkan udang dan rebon. Para nelayan pun menetap saja di
rumah, dan kesempatan tersebut digunakan untuk memeriksa jaring yang rusak, lapuk
dan memperbaikinya untuk dapat digunakan kembali. Nelayan rebon menggarami
162
produk mereka dan untuk sementara waktu tidak melaut selama periode 7 sampai 8
hari di tempat mereka. Sementara itu nelayan udang, yang alat-jaringnya berposisi di
Bagan, dan masing-masing tetangganya di Pulau Halang atau Seneboi, bertungkus-
lumus setiap hari dengan hasil tangkapan mereka di laut. Dengan ambai itulah mereka
dapat jauh ke tengah laut, memperoleh kesempatan menangkap dan segera menuju
lantai kering di "tah-Liau" itu untuk mengolah hasil tangkapan. Pengorganisasian dari
2 bentuk usaha, sesuai dengan produknya, ternyata sebagaimana kita lihat memiliki
perbedaan besar.
Cici
Mahalnya alat tangkap jermal, memunculkan inovasi alat tangkap di perairan Muara
Rokan, yakni alat tangkap Cici yang berbiaya lebih murah dan bersifat mobile (dapat
dipindahkan). Tjitji adalah sejenis alat penangkap ikan yang digunakan untuk tempat
dangkal yang tidak lebih dari 3m saja kedalamannya. Bentuk cici seperti kantong yang
dipasang pada tiang yang ditanam kelaut. Bentuknya yang sederhana memungkinkan
pembuatannya yang jauh lebih murah daripada jermal, dan keunggulannya adalah cici
dapat menangkap ikan pada saat air pasang dan surut. Adapun biaya pembuatan cici,
hanya mencapai sekitar f200, dengan rincian: 10 Tiang, 5 Jaring dan touw. 5 x f40 =
f200. Alat Penangkapan ikan Cici, sebagaimana tercatat dalam laporan B.Markus:
Sebuah jenis jaring penangkap ikan yang ketiga adalah yang terdapat di sini, yakni:
Cici bubuh, nama ini berasal dari bahasa China, yakni “tsiet” untuk 7, tujuh jala
mengapung, yang dalam hal inilah alat tangkap digunakan. Ini adalah bubuh yang
sangat luas jaringnya (fuiknet) melayani semua jenis ikan untuk ditangkap; pada
barisan alat trietsji, sisi demi sisi melebar kearah luar dan luas, dan lagi jalanya mudah
untuk digerakkan.
163
Penampangnya sangat luas, kantong kain belacan, bahkan terbukti dengan hasil
penangkapan rebon kecil. Kantong yang dilindungi oleh perangkap dengan lingkaran,
terhadap serangan lumba-lumba, hiu, dan lainnya, hasil tangkapan berada di ujung
kantong. Konfirmasi tersebut tidak seperti pada alat tangkap ambai. Bagian atas
pembukaan oleh tujuh batang bambu (pelampung), dan di setiap sisi sebesar (5-6 m),
lebih jauh lagi terdapat lima potong yang lebih kecil (2,5 - 3m). Jaring yang berbeda
(8-10) sering diatur berdampingan di sudut kanan ke arah aliran, dikendalikan oleh
sebuah perahu dengan dua laki-laki dan dengan demikian dapat meliputi areal yang
lebar. Di sekitar Panipahan banyak didapati jermal yang di dekatnya, seringkali di
bagian atasnya dikondisikan dan dibentuk sedemikian rupa untuk menakuti para
pesaingnya.
Menurut nelayan jermal, alat cici ini sangat mengurangi hasil tangkapan mereka.
Akibatnya, dilakukan pelarangan keberadaan alat cici di sekitar jermal. Cici banyak
terdapat di dekat Senaboi dan Pulau Halang. Selain persoalan cost (biaya) yang cukup
mahal, ternyata dengan munculnya alat tangkap cici, seperti telah diuraikan oleh
Markus, menimbulkan persoalan baru, yakni persaingan dalam memperebutkan areal
perairan tempat beroperasinya alat-alat penangkapan ikan tersebut. Persaingan ini
dapat dimengerti mengingat jumlah nelayan yang cukup besar dibandingkan dengan
luas perairan Muara Rokan itu sendiri. Persaingan ini berujung pada konflik, hingga
perkelahian phisik antar kelompok nelayan pengusaha jermal, dan juga cici.
Dipandang konflik tersebut cukup memprihatinkan, Pemerintah Kolonial akhirnya
campur-tangan dalam persolan tersebut; Dengan melakukan serangkaian pertemuan,
diaturlah areal pemasangan jermal, Takliauw, bubu dan cici sebagai berikut284:
I. 3 mil dari pantai antara 3 dan 2 km dari sungai, adalah Bubu ikan milik nelayan
Bagansiapiapi;
II. Di seberang Sungai Raja Bejamu sampai 5 mil dari pantai ke perbatasan untuk
“takliauw” Nelayan Bagansiapiapi;
III. Antara Sungai Siandam dan Sungai tengah yang berjarak 3 mil dari pantai,
bubu hanya milik orang Bagan;
IV. Sebaliknya, antara kubu dan Sungai Jermal diseberang Pulau Halang pada
kejauhan 3 mil, wilayah bubu hanya untuk orang kubu;
V. Sekitar Pulau Halang, Bubu dan cici khusus untuk penduduk pulau ini;
VI. Sekitar Pulau Halang Kecil untuk Bubu dan cici dari penduduk Sinaboi dan
Sungai Bakau:
VII. Disekitar Pulau Sinaboi, bubu hanya untuk warga Sinaboi dan Sungai Bakau.
Untuk mencegah permusuhan antara nelayan Sinaboi dan Ujung Sinbu - untuk
memastikan yang terbaik);
VIII. Ujung Sinbu arah berlawanan dengan antero timur hanya untuk cici milik
nelayan Ujung Sinbu;
IX. Antara panipahan dan sungai Tawar dan pada jarak tiga mil dari pantai, jermal
diperuntukan bagi nelayan Panipahan.
Kondisi diatas, Tiang Bubu dan Jermal, selain telah diarasa cukup padat, dianggap
oleh Pemerintah Kolonial telah mengganggu bahkan membahayakan lintas pelayaran,
oleh sebab itu Pemerintah Kolonial mengeluarkan ketentuan yang mengatur
pemasangan Tiang Jermal dan alat penangkap ikan lainnya. Aturan tersebut meliputi
pemasangan jermal yang harus berada pada jarak tertentu dengan jermal lainnya,
sebagai berikut: 285
Jarak antar dua alat Jarak depan dan belakang Jarak kiri dan kanan
284 Boudewijn Van Duren, ANRI-MVO; Memorie Van Overgave; 30 Agustus 1934. Hal.32.
285
Menurut Keputusan Gubernur Sumatra Timur Tanggal 13 Desember 1933.
165
Berikut adalah jumlah jermal dalam 10 tahun yang terdapat di perairan Muara Rokan;
Tahun 1921 sejumlah 430-an; Tahun 1922 sejumlah 400-an; Tahun 1923 turun
menjadi sejumlah 300-an; Kemudian tahun 1924 sedikit peningkatan menjadi sekitar
325; Pada Tahun 1925, naik lagi menjadi kurang lebih 350-an jermal; akan tetapi pada
tahun 1926 turun menjadi 321; Tahun berikutnya naik kembali menjadi 339; Tahun
1928 tercatat kurang lebih 400-an djermal; Tahun 1929 dan 1930 kembali turun
menjadi 300-an saja (MVO, 1936). Ikan yang sudah terjerat pada jaring jermal,
kemudian diambil oleh Nelayan. Letak jermal yang berada di perairan membutuhkan
sarana perahu untuk transpotasi pengangkutan nelayan dan hasil tangkapan ikan
untuk dibawa menuju bangliau-bangliau. Maka tidak lah berlebihan jika dikatakan
jumlah perahu Nelayan di Bagansiapiapi, cukup banyak untuk ukuran luas
Bagansiapiapi sendiri. Seperti pada Tahun 1921 dampai dengan tahun 1924, terdapat
sejumlah 1200-an perahu nelayan; adapun selama 2 tahun berikutnya terjadi
peningkatan jumlah menjadi 1300-an perahu; Kemudian pada tahun 1927 tercatat
sejumlah 1200-an perahu; dan dua tahun terakhir terjadi penurunan menjadi masing-
masing untuk tahun 1929 sekitar 1000-an perahu dan tahun 1930 menjad 950-an
perahu (MVO: 1936).
166
286
ANRI-MVO, Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934
167
Perikanan dengan drijftnets, atau juga disebut pukat adalah alat tangkap ikan paling
dalam yang dapat digunakan di laut, dengan tujuan untuk menangkap ikan-ikan yang
lebih besar seperti: hiu, pari-pari (ikan pari), ikan Bator, senohong, geret-geret dan
lainnya. Untuk perikanan lebih dekat, di mana spesies yang lebih kecil (seperti
senangin) yang tertangkap, jaring dengan ukuran mata 3cm. Metode penangkapan
ikan ini adalah: ikan berenang di antara jaring (atau terbawa oleh arus menuju jaring)
hanya kepala antara celah-celah, karena insang ikan tersangkut tali jaring, ikan pun
tidak lagi bebas. Ukuran ikan menjadi tergantung dari lebar jerat. Djaring terdiri dari
banyak potongan diatur sisinya dengan ukuran hanya 8,5 x 5 m. Mereka berdiri di
dalam laut ditempatkan di antara dua buah adalah pelampung (bambu buah) dan
masing-masing tujuh keping kayu mengapung pada keseluruhannya. Sampan
memiliki jaring dengan sendirinya, misalnya, 32 buah, yaitu panjangnya mencapai
beberapa ratus meter.
Dari jarings lebih kecil (jaring halus) dengan ukuran lobang kurang lebih 3 cm, Orang
menemukan berbagai bentuk, misalnya panjang dari hanya 40 x 1,25 m dengan 50
pengapung. Jaring apung yang ditemui di Panipahan dan Seneboi.
168
Berlayar secara bersama-sama, lalu seluruh nelayan dari tongkang (kano Cina) itu
melemparkan jala mereka (a) membiarkannya dengan mengikuti arus dan mengambil
setelah jala mereka kembali (b) dimana ikan akan didapat. Perikanan rawai, berada di
tempat yang berbeda, alat ini dihubungkan secara substansial dan dalam operasinya
lebih jauh ke laut. Ada 2 jenis garis, ini adalah baris dengan banyaknya kait ikan.
Pertama, satu dengan yang cukup kait pancing rawai panjang, yang umpan
dikonfirmasi (untuk hiu, dan lainnya). Dengan kondisi ia menggigit umpan, kait di
rahang, maka ikan tertangkap.
6
Pendangkalan Muara
Kontrolir Haga pada dasawarsa kedua awal abad ke-20, dalam Laporannya
menyebutkan bahwa proses pendangkalan diasumsikan telah menyebabkan
berkurangnya produksi ikan. Namun argumentasi ini pada saat itu masih terlihat
meragukan, atau bahkan ada yang menyangkal, mengingat proses pendangkalan yang
teleh berjalan sekian lama, sedangkan penurunan produksi terjadi dalam waktu
mendadak atau singkat. Untuk jelasnya, dapat kita ilustrasikan sebagai berikut: Jika
pada tahun 1896 produksi ikan mencapai 7.5 juta Kg, maka secara pasti mengalami
peningkatan seperti pada tahun 1901 ketika diberitakan memasok kebutuhan ikan
Pulau Jawa melalui Singapura yang mencapai 12 juta Kg, maka produksi ikan pada
tahun itu mencapai 17 juta Kg; terus meningkat hingga mencapai 25.8 juta Kg pada
tahun 1904, tahun-tahun setelahnya memang mengalami penurunan hingga 18 juta
Kg pada kurun waktu 1910-1911, namun kemudian mengalami kenaikan kembali.
Kontrolir Haga menulis Laporan hingga akhir tugas nya tahun 1917, dimana produksi
naik lebih sedikitnya 1 juta Kg, atau 19juta Kg pada tahun 1917. Meskipun demikian,
turunnya produksi ini, sebahagian elit Pemerintah Kolonial di Batavia tidak melihatnya
sebagai akibat dari gejala pendangkalan. Jurnal Kolonial Bulan Desember 1924 antara
lain menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian,
sebagaimana juga telah disampaikan Haga, yaitu: Terjadinya pendangkalan di Muara
Sungai Rokan secara cepat dan terus-menerus; Pendangkalan muara adalah proses
yang alamiah. Akan tetapi di Bagansiapiapi, seperti dikemukakan oleh Butcher bahwa
pendangkalan yang seharusnya terjadi dalam kurun waktu ratusan hingga ribuan
tahun, disini berlangsung begitu cepat; sebagai ilustrasi cepatnya pendangkalan ini
adalah, Pelabuhan modern yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial, saat ini letaknya
adalah di tengah kota yang berjarak sekitar 3 km dari bibir pantai, pendangkalan
ataupun perubahan dari laut menjadi daratan sejauh 3km dalam kurun waktu kurang
dari 100 tahun. Haga, juga Butcher menyinggung persoalan penebangan hutan di hulu
sungai, dan mangrove di muara. Sekitar tahun 1910 nelayan telah melakukan
sejumlah besar penebangan hutan mangrove dikawasan ini, yang digunakan untuk
jermal dan ambai. Setiap jermal membutuhkan sejumlah kayu besar dan ribuan yang
lebih kecil untuk pembangunan sayapnya, dan sejumlah besar lagi untuk
pembangunan pelantaran, gudang, rumah dan panglong. Belum lagi pembangunan
ulang akibat pelapukan, kebakaran yang sering menghanguskan bangunan dalam
jumlah besar. Menurut Kontrolir Haga (1916) kondisi ini telah berlangsung sejak awal
kedatangan pemukim China ke Bagansiapiapi, yang berlangsung terus menerus dan
173
mencapai jauh ke pedalaman. Selain itu, mangrove sebenarnya juga berfungsi dalam
menyediakan nutrisi bagi ikan di muara; penebangan mangrove secara besar-besaran
tentu saja berdampak pada kesetimbangan ekosistem penyedia makanan bagi ikan.
Kondisi ini, juga di lengkapi oleh penanaman tiang-tiang penopang jermal dan ambai,
yang pada akhirnya tidak saja menghalau atau menggiring ikan ke arah jermal dan
ambai oleh derasnya arus, melainkan juga membawa seluruh Lumpur endapan hingga
tertahan disana. Pada era kontrolir Haga, kondisi ini telah berlangsung dan berjalan
dengan cepat, dimana secara pasti disekitar Pelabuhan Bagan Siapiapi telah terjadi
pembentukan pulau-pulau kecil, meluasnya Pulau Halang besar dan kecil, serta Pulau
pedamaran yang telah membentuk pintu aliran sungai; Keseluruhan ini berlangsung
dengan cepat, diawal paruh abad ke-20. Adapun Verstappen (1975) melihat bahwa
Bagansiapiapi dan daerah lainnya seperti; Pulau Rupat, Bengkalis dan Tebing Tinggi
kondisi pendangkalannya diasumsikan oleh gejala gerakan lapisan Tectonic.
Penjelasan yang logis adalah bahwa garis pantai dipengaruhi oleh kondisi punggung
dasar samudera yang dalam kondisi pasang akan membawa material pasir-tanah
menuju garis pantai. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya pendangkalan.
Sulitnya untuk tetap dapat memenuhi permintaan akan peningkatan ataupun
perbaikan jermal yang mengalami kerusakan; laporan menunjukkan bahwa pada
tahun 1920 tidak kurang dari 170 Jermal yang tidak dapat digunakan, bahwa
Hardenberg menemukan perubahan konfigurasi dasar muara dan sebaran jermal yang
begitu banyak dan luasnya; berkemungkinan disebabkan juga oleh keberadaan jermal.
Gobee287 ditahun 1911 melaporkan bahwa sejumlah 250 jermal telah ditinggalkan
pemiliknya, dan atau ia memindahkannya ketempat yang lebih jauh di lepas pantai;
bahwa, kondisi ini memungkinkan untuk mulai dibangunnya rumah (shelther) ditas
jermal tersebut. Kemudian pada pulau di seberang Sinaboi, juga ditemukan sebaran
luas dari jermal disana; di tahun 1914, Sunier melaporkan bahwa dari sekitar 400
jermal di Bagansiapiapi, separuhnya tetap berada dilokasinya, sisanya dibangun oleh
orang yang telah meninggalkan jermal pertamanya. Kondisi ini berkaitan dengan telah
mendangkalnya sebahagian area muara dimana jermal menjadi tidak efisien.
Pentingnya persoalan perbaikan Jermal tersebut, mengingat bahwa penempatan dan
pemasangan Tiang Jermal haruslah sesuai dan tepat, Kuat, dan mampu menahan
terpaan ombak. Mengenai kekuatan arus di Muara Sungai Rokan, ada baiknya kita
melihat tulisan seorang opsir Belanda, dalam lawatan nya ke Bagansiapiapi dari
Medan.
Bagansiapiapi yang sangat berbeda dibandingkan dengan daerah lain yang
sudah ia kunjungi sampai saat ini. Kota ini terletak di muara yang luas dari
sungai Rokan, dimana perbedaan antara pasang tinggi dan rendah adalah 17
sampai 18 kaki, dan air berjalan dengan kecepatan yang tinggi dan
mematikan….. selain itu kapal yang ditumpanginya telah terjebak dalam arus
surut, sehingga ia harus menunggu sekitar 6 jam untuk dapat mencapai
287
Gobee, achteruitgang, Butcher, 1996: 111
174
pelabuhan. …..……. Bahwa sisi kapal di kelilingi oleh Lumpur, bahkan telah
nampak adanya pulau-pulau di sekitar pelabuhan….(1906-1911).
Seperti telah dikemukakan di muka, Verstepphen dan juga beberapa ahli
menyinggung tentang pendangkalan pantai, sebagai gejala progradasi, gejala yang
mungkin berlaku di seluruh muara, berikut ulasannya:
Di bagian timur Sumatera, progradasi tampaknya telah sangat cepat terjadi
dalam sejarah, meskipun demikian belum ada informasi yang cukup untuk
memungkinkan rekonstruksi rinci dan detail dari urutan garis pantai. Studi
peta awal, akurasi yang tidak pasti, dan interpretasi dari deskripsi oleh
wisatawan Cina, Arab, dan Eropa yang terutama Obdeijn (1941)
mengemukakan bahwa ada progradasi hingga 125 kilometer di delta Kuantan
sejak sekitar 1600 Masehi. Dalam artikelnya lebih lanjut, Obdeijn (1942a,
1942b, 1943, 1944) menemukan bukti pendukung untuk progradasi garis
pantai yang luas di sepanjang Selat Malaka dan di selatan Sumatera. Pada
abad kelima belas Palembang, Jambi, dan Pelabuhan Indragiri yang dekat
dengan laut terbuka atau jarak pendek sampai muara (Van Bemmelen 1949).
Baru-baru ini, garis pantai delta Jambi telah ter-progradasi sampai 7,5
kilometer antara 1821 dan 1922, sedangkan di pantai timur pelabuhan
nelayan Bagansiapiapi telah tertimbun lumpur, dan Pelabuhan Sri Vijayan
sekarang telah menjadi darat (Verstappen 1960, 1964b). 288
Butcher (1996) mencoba untuk menguraikan persoalan pendangkalan yang terjadi di
Muara Rokan sebagai berikut: Pada gambar pertama, kondisi Muara Rokan pada
Tahun 1893, dimana berselang waktu selama 20-an tahun, yakni tahun 1918, (gambar
kedua) Kondisi Muara Rokan telah memperlihatkan perbedaan yang nyata. Jika dilihat
kondisi saat ini, yakni, maka perbedaan tersebut benar-benar memperlihatkan
perubahan garis pantai dan pulau-pulau di perairan Muara Rokan, seperti Pulau
Barkey yang semakin menutup pintu pelabuhan Bagansiapiapi. Pada Tahun 1931,
hadenberg melaporkan bahwa pada lokasi pantai telah bertambah pulau baru yang
diikuti dengan tumbuhnya pohon Api-Api.
When Hadenberg revisited Bagan Si Api-Api in 1933, just four years after his
major study, he found that the configuration of the bottom of the estuary
had changed quite considerably and that a new island (of several hectares
and cover with young Avicennia-trees) had formed to the southwest of the
town…289
Pada peta Hardenberg I, adalah kondisi muara Rokan terdapat dalam laporannya yang
diterbitkan pada tahun 1931: Sedangkan peta Hardenberg II, terdapat pada
laporannya yang diterbitkan pada tahun 1932, yang mendeskripsikan dalam laporan
tersebut adanya “new Island”, atau pulau yang baru saja terbentuk. Dampak nyata
288 Dilihat dalam “Environmental Changes on the Coast of Indonesia”, Tahun 1980;
289
Dilihat dalam Butcher, 1996 , hal 111.
175
dari terjadinya perubahan fisik muara Rokan akibat perubahan ekologis, ekosistem
muara yang berdampak pada menurunnya hasil penangkapan ikan Tahun 1934,
kontrolir mencatat bahwa Pulau Barkey telah semakin terbentuk. Berikut
perkembangan Muara Rokan dalam sketsa. 290 Pembabatan hutan, terutama
mangrove dan Kayu Niboeng dianggap sebagai penyebab kerusakan ekologi Muara.
Meskipun pada saat itu telah dilakukan upaya untuk menjaga kelestarian hutan,
seperti pelarangan penebangan Hutan Nibung melalui Keputusan Gubernur Nomor 16
Tanggal 9 April 1934; namun dalam prakteknya; Panglong Bengkalis yang notabene
kayunya banyak berasal dari Hulu Sungai Rokan tetap melakukan ekspor Kayu Nibung
dalam jumlah besar. Kembali pada persoalan pendangkalan muara Rokan, bahwa
tidak saja lintas perairan kapal menjadi terganggu, tetapi juga menyebabkan ikan-ikan
hasil tangkapan berkurang. Seperti dikemukakan oleh Van Duuren tahun 1934, bahwa
Variabilitas air Teluk Rokan, sulit dilayari. Nampaknya juga, cukup sulitnya melintasi
perairan ini berkaitan dengan endapan lumpur yang menyebabkan berkurangnya
kedalaman muara. Bahkan sekitar tahun 1930-an, disekitar pelabuhan telah
terbentuk pulau Barkey, sehingga kapal-kapal terpaksa untuk merubah jalur
pelayarannya. Konsekuensi logis atas permasalahan ini adalah jenis-jenis ikan yang
tidak mampu bertahan pada perairan yang dangkal, menyebabkan ikan-ikan ini
cenderung berpindah ke perairan yang lebih dalam. Disamping itu, proses
pendangkalan ini diasumsikan telah menyebabkan adanya perubahan pola arus
sungai, berkurangnya kekuatan arus, dan juga dimana pertemuan air laut dengan air
tawar telah berpindah juga ke tempat yang lebih dalam, sehingga alat tangkap jermal
yang sedianya adalah alat tangkap utama tidak maksimal.291
290
Sketsa Muara Rokan, berturut-turut dimulai Tahun 1896, 1916, 1920, 1932 dan terakhir Tahun
1944. Sketsa dibuat berdasarkan Peta sebagaimana terdapat pada KIT Library: Royal Tropical
Institute: Dutch Colonial Maps;
291
ANRI MVO; Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934,
176
kelompok meminimalkan upaya dalam rangka penjagaan sumber daya, hal ini akan
menguntungkan kelompok lainnya, begitupula sebaliknya- nampaknya ungkapan
ekonom bahwa,
keserakahan yang satu akan dibatasi dengan keserakahan yang lain tidak
berlaku disini.
Halnya dengan pachter, meskipun diuntung dengan perolehan profit dari
pengelolaan pacht, maka yang menjadi orientasi dari pachter adalah bagaimana dia
dapat menghasilkan keuntungan dan membayar hak sewa tersebut kepada
Pemerintah. Jelas bahwa pachter tidak dapat diharapkan dalam upaya konservasi.
Kelompok yang dianggap mampu dan berkompeten untuk upaya konservasi muara,
jelas adalah pemerintah. Hanya pemerintahlah yang berada dalam porsi untuk
melakukan konservasi sumber daya. Akan tetapi nampaknya, di kalangan pejabat
Hindia Belanda di Batavia terdapat anggapan bahwa “achteruitgang” (penurunan)
dari produksi bukan disebabkan oleh overfishing (kelebihan eksploitasi sumber daya
ikan), melainkan oleh kenaikan harga garam.292 Meskipun demikian, teknologi
penangkapan ikan menggunakan jermal dan ambai di Bagansiapiapi, sepertinya telah
terbukti memiliki dampak destruktif terhadap kelangsungan fauna di muara.
Sebagaimana disampaikan van Kampen bahwa jermal yang disaksikannya di tahun
1908, telah menggiring semua jenis ikan ke jermal, membunuhnya bahkan ikan yang
masih muda dan tidak memiliki nilai ekonomis. Meskipun demikian, segala bukti yang
ada itu, belum benar-benar membuktikan bahwa jermal dan ambai telah
menyebabkan overfishing di muara Rokan. Memasuki dasawarsa pertama abad ke-20,
dan pada masa ini, nelayan benar-benar memperoleh berkah dari kondisi kekayaan
alam muara, sehingga nelayan terus membangun jermal menyebabkan alat ini
menjadi sangat banyak dan berdekatan di muara Sungai Rokan (“a few hundred”
altogether in 1908293); alat tangkap ikan jermal benar-benar bersifat “most exlusively”,
menangkap apa saja yang masuk dalam perangkapnya. Selain itu, nelayan juga
melengkapi jermal untuk menangkap prauwn dan belacan, dan membangun ambai
yang secara khusus di desain untuk menangkap ikan ini. Singkatnya, nelayan
membangun alat penangkapan ikan semaksimal mungkin bahkan melebihi kapasitas
dari ketersediaan fauna yang terdapat di muara. Sebagaimana disampaikan bahwa
dalam pengoperasiannyanya, alat jermal menangkap fauna apa saja yang masuk ke
jermal. Ikan kecil, bahkan yang tidak memiliki nilai ekonomi pun dapat tertangkap,
terluka, yang menyebabkan matinya ikan-ikan tersebut. Van Kempen menyebutnya
dengan “murderous way of fishing.” Jumlah jermal sendiri hingga tahun 1930-an
tercatat sejumlah 205 jermal besar (taam Pe) dan jermal sedang (Ta Liau), 47 jermal
kecil (Taam Pe Bang), 461 Bubu, 124 cicih dan 71 Bangpo.294 Investigasi diseberang
292
Butcher, 1996: hal.106.
293 Van Kampen, dalam Butcher, 1996: 105.
294 De Sumatra Post, 28 Oktober 1936, “Ville Lumiere der Donkere Bengkalis-Afdeeling:Wereld’s
pantai timur Sumatra tepatnya disepanjang pantai barat Malaya, seperti di muara -
Kuala Selangor, dilaporkan bahwa jermal tidak hanya menangkap fauna muda,
melainkan juga persediaan makanan bagi kelangsungan fauna ikan. Selanjutnya
dikatakan bahwa nelayan belacan juga telah menghancurkan sejumlah besar makanan
ikan. Begitu pula halnya dengan hasil investigasi atas sejumlah ambai di Tanjung
Piandang di Pantai Perak, dimana ditemukan bahwa ambai telah memusnahkan
sejumlah besar ikan yang tidak dikonsumsi manusia, melainkan sebagai bahan
makanan bagi ikan lainnya. Laporan pada periode yang sama juga menunjukkan
bahwa sejumlah besar ikan yang ditangkap yang berasal dari jermal dan ambai
disepanjang pantai barat Malaya, digunakan untuk pakan ternak, atau untuk
pemupukan tanaman tebu. Oleh sebab itu, nampaknya di Thailand, dihentikan izin
bagi usaha serupa jermal dan ambai disebabkan alat itu diklaim dapat menghancurkan
sejumlah besar larva yang berguna bagi kelangsungan fauna ikan. Keseluruhan data
ini, belum menunjukkan dampak secara langsung dari jermal dan ambai yang
menunjukkan terjadinya overfishing di muara Rokan. Akan tetapi, overfishing atau
tidak – apa pun itu, yang terjadi di muara Rokan, dikatakan oleh Butcher bahwa
nelayan Bagansiapiapi telah mengeksploitasinya hingga mencapai ambang batas. 295
Menjelang runtuhnya Hindia, pendangkalan akibat timbunan lumpur di pelabuhan
Bagansiapiapi, benar-benar mulai mengkhawatirkan. 296 Phenomena perubahan alam
ini, nampaknya direspon dengan sikap pasif dari pemerintah, 297 tidak jelas apa
tindakan yang diambil berkaitan dengan semakin terancamnya fungsi pelabuhan,
selain itu juga alat tangkap ikan telah beroperasi semakin jauh saja dilepas pantai.
Masa pendudukan, Jepang, industri perikanan benar-benar terhenti, dan mulai
kembali beroperasi efektif pasca konflik 1946. Pada saat ini, dipastikan alat-alat
tangkap yang tersebar di lepas pantai muara Rokan, banyak yang mengalami
kerusakan sebagai akibat terhenti dari penggunaan; yang berarti juga tidak adanya
pemeliharaan yang dilakukan pemiliknya semasa perang. Tercatat bahwa dari
sejumlah 600 sero yang ada disana, hanya 60 saja yang masih dapat beroperasi. Selain
itu, kondisi perairan muara semakin dangkal saja. Melihat ini, Belanda, sebagai pihak
yang telah mendorong industri perikanan selama lebih separuh abad, dan ingin
kembali berkuasa disana, melaporkannya dengan rasa pesimis yang teramat besar:
“Bahwa tidak mungkin Bagan Si Api-Api akan dapat mengambil kembali
posisinya dahulu sebagai pelabuhan perikanan terbesar kedua di dunia,
karena meningkatnya timbunan Lumpur di Sungai Rokan sehingga perikanan
disini menjadi kurang berdaya.” 298
295 ANRI MVO; Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934,
296
Indische Courant, 23 Maret 1940, “Bagan Si Api Api: Verzanding ven den Rivier Mond”;
297 De Sumatra Post, 18 Agustus 1941, “De Haven van Bagan Api Api”.
298
Tweede Kamer, Rijksbegrooting voor het dinstjaar 1949 1000 XIII 13, .Brief van de Minister
Zonder Portefeuille aan de Heer vorzitter van de tweede Kamer der Staten-Generaal, ‘s-
Gravenhage, 14 Juni 1949; Mitz deze heb Ik de eer U Hoogedelgestrenge te doen toekomen het
verslag omtrent de economisch toestand van Indonesie in 1948, hal.9
178
Pasca Perang Dunia II, para pedagang ikan dari Bagansiapiapi saat itu dapat kembali
melakukan kegiatan penjualan secara teratur ke pasar Batavia, sementara itu KPM,
seperti sebelum masa perang telah meminta koneksi langsung dengan Cirebon untuk
pemulihan, sehingga barang tidak lagi – seperti yang sebelumnya dilakukan - dikirim
melalui Singapura. Sementara itu peredaran uang sebahagian hampir normal
disebabkan pembukaan kembali Bank kredit Rakyat di Bagan.299 Sementara itu, arus
lalu lintas di perairan Bagansiapiapi khususnya di Pelabuhan, terganggu dengan
timbunan Lumpur, dan nampaknya perlahan-lahan mengalami pendangkalan.
Sekilas terlihat dari dek adalah "Brielle”: Sebuah instalasi Pelabuhan terapung yang
dikonversi di laut akan lebih ringan, dimana penempatannya di Bagansiapiapi adalah
agar kapal menjadi lebih mudah dalam melakukan kegiatan bongkar muat barang. Hal
ini diperlukan sehubungan dengan kenyataan, bahwa pelabuhan nelayan terpenting
ini, secara berangsur-angsur mendangkal akibat penimbunan lumpur. Saat itu,
pelabuhan yang merupakan tempat perikanan terbesar di kepulauan bekas jajahan
Hindia, praktis dianggap tidak lagi dapat digunakan dan dengan demikian dapat
299
Het Nieuwsblad Voor Sumatra, 15 September 1949, “Volkecrdietbanks Open Kantooren.”
179
Kapal yang terdampar dilumpur muara Rokan tahun 1930-40. Sumber KITLV
300
Dilihat dalam Java Bode, 1949, juga pada Documentatie van de Afdeeling handelsmuseum
van het Indisch instituut, Volume 4, 19 March 1949, Edition 004-1949-0006 — Page 148 “De
haven van Bagan Si Api-Api is verzand”.
301
Het Nieuwsblad voor Sumatra: Drijvende Haven voor Bagansiapiapi, 19 November 1949.
180
Muara Rokan Tahun 1899, muara yang luas; Dutch Colonial Map, name: 08862.
181
Situasi Muara Rokan hasil investigasi Hardenberg, Peta I (atas) dan II(bawah), 1930 dan 1931.
Telah menyatunya Pulau Halang Kecil dengan pantai Kubu, dan mulai tumbuhnya Pulau Barkey
tepat di pintu masuk sungai Rokan.
183
Lautan dipantai Bagan yang telah menjadi daratan dan tertutup oleh
Pulau Barkey; dilihat dengan Google map, 2016.
184
7
Perkembangan Kota
Dari Kampung Nelayan Hingga Metropol
Dalam menulis bahagian ini, kami meyakini bahwa berbeda dengan apa yang terjadi
di Jawa dimana keruangan kota akan mengikuti pertimbangan sosio-tradisional, maka
sejarah kota di luar Jawa, terutama Sumatra bahagian pesisir timur akan merefleksikan
suatu tipe kota perdagangan, dengan demikian kota akan tumbuh secara alami
mengikuti perkembangan perekonomian kota. Sejarah kota, memuat proses
transformasi sosial dan perekonomian yang juga merupakan bahagian dari suatu
perubahan sosial. Bagansiapiapi, sebagai sebuah kota yang dalam perkembangannya
memperoleh sentuhan penataan Belanda, tentu saja, bentukannya menjadi khas kota-
kota kolonial terutama di pantai timur. Meskipun demikian, tidak dapat diabaikan
adanya pengaruh pluratiltas kebudayaan; Perpaduan Eropa, China dan Melayu,
terlihat jelas dalam pembentukan kota, baik dari segi model bangunannya maupun
struktur keruangannya. Kesemuanya ini, merupakan hasil proses perkembangan yang
berlangsung dalam periodisasi yang dimulai dari pra-kolonial, hingga akhirnya Belanda
diusir oleh Jepang, kemudian Republik, bentuk keruangan yang nampaknya telah
menjadi baku hingga saat terakhir. Jepang tidak melakukan perubahan-perubahan,
sementara republik, denyut pemerintahan dan ekonomi masih bersumber dari ruang
lama, sebagaimana halnya pemerintahan pusat dimana Gubernur Jenderal Hindia
memerintah. Meskipun ada upaya untuk melakukan beberapa perubahan, hasilnya,
dominasi kuno itu masih tetap diminati dan cenderung kokoh. Selain itu, berbicara
tentang perkembangan sebuah kota, maka tidak akan dapat pula diingkari
keterkaitannya dengan ekologi yang lebih luas, sebuah sistem jejaring perdagangan
yang menempatkan kota tersebut sebagai titik entrypoint dari sejumlah noktah dalam
perdagangan regional bahkan internasional. Begitupula Bagansiapiapi; Sebagai
sebuah kota di pesisir timur Sumatra, mungkin akan berbeda dengan kebanyakan
kota-kota di pulau Jawa, yang dikenal terutama bukan disebabkan produk kota itu
sendiri, melainkan sebagai peran perdagangan perantara dari pedalaman sebelum
mengirimkannya ke jejaring perdagangan dunia; gejala yang umumnya ditemukan di
pesisir Jawa. Akan tetapi, Bagansiapiapi, dirinya dominan tampil terutama dengan
produk sendiri yang pada periode kejayaan seolah-olah sumber daya ini tidak akan
pernah ada habisnya. Surutnya produksi, lebih dituduhkan kepada faktor non-sumber
daya alam, seperti kebijakan pacht garam dan imbas lesunya perekonomian dunia,
serta terakhir adalah; pendangkalan muara. Perkembangan Bagansiapiapi yang pesat
185
dari sebuah kampung di muara Rokan, yang didirikan tidak jauh dan lebih ke hilir dari
kampung asli Bagan Punak, mungkin saja pada awalnya hanya merupakan upaya
sekelompok nelayan yang mencoba peruntungannya melalui usaha penangkapan ikan
dengan memanfaatkan arus pasang-surut muara, bahkan pada awalnya mereka
berposisi sebagai pengamat dari alat tangkap milik orang Melayu dilepas pantai Kubu
yang terletak diseberang Bagansiapiapi, alat tangkap yang ditanam tidak jauh dari
pantai dan lebih kecil, dan mereka para nelayan China itu berhasil mengembangkan
alat serupa tadi secara lebih maju dan dengan hasil penangkapan yang jauh lebih
besar. Meski mereka dikenal mandiri, campur tangan politik kolonial Belanda telah
membawanya pada salah satu simpul perdagangan terutama di kawasan Selat Melaka.
Bagansiapiapi dibawah Hindia, segera muncul sebagai pusat pelabuhan ikan
terpenting di Hindia, bahkan didunia setelah Bergen. Sebagaimana telah disampaikan
diawal, bahwa proses transformasi Bagansiapiapi dari pola Kampung menuju Kota,
setidaknya dimulai dengan hadirnya pemerintah penjajah disana, proses yang
berlangsung menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seperti tercatat dalam
Staatsblad 1894 No.93302 kemudian No. 94, Kontrolir Onderafdeeling Tanah Putih
dipindahkan ke Bagansiapiapi pada tahun 1900 sesuai dengan Staatsblad 1900 Nomor
64.303 Nampaknya, proses pemindahan ini berakhir ditahun 1901/02, dimana Seyne
de Kock telah berkantor sebagai Kontrolir disana, dan dimulai pembangunan sarana
kontrolir seperti pembangunan rumah dan kantor kontrolir. Dapat pula disampaikan
bahwa pertimbangan Pemerintah Kolonial pada saat itu selain untuk mempermudah
pemungutan bea ekspor-impor terutama dengan bentuk pemukiman dan usaha
perikanan yang terletak disepanjang pantai, juga dapat dilihat dari letak Bagansiapiapi
yang berada di lintas pelayaran Selat Melaka, berdekatan dengan Singapura.
Sebagaimana diketahui, saat itu Singapura merupakan pelabuhan terbesar Kapal-
kapal Belanda di luar Eropa, Singapura yang berkembang dan menjadi pusat pelayaran
bagi Hindia Belanda sendiri; Singapura sebagai pelabuhan persinggahan antara
kepulauan dengan jalur-jalur internasional,304 dari ramainya Bandar Singapura
sebagai pelabuhan re-ekspor-impor, termasuk pengiriman produk dari Bagansiapiapi
via Singapura; Kemudian Bagansiapiapi sendiri yang telah mulai berkembang menjadi
302 Chineezen buiten China, 1909 — Bijlage 11. (Zie blz. 322). Belangrijkste mededeelingen,
voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van
Sumatra. [1874—1906].
303
Bertitik tolak dari Staatsblad sebelumnya, yakni No.93 dimana pemberlakuan ketentuan
perubahan masalah pungutan pajak atas hasil laut adalah setelah Kontrolir bertempat di
Bagansiapiapi, maka Staatsblad No.94 ini menegaskan pemindahan Kontrolir tersebut,
sebagaimana tertera sebagai berikut: “Verplaatsing van de standplaats van den countroleur der
Onderafdeeling Tanah Poetih…. In stede van Tanah-Poetih zal zijn Bagan api-api”. Bagaimanapun
juga, pemindahan sebuah pusat administrasi pemerintahan akan memakan waktu, khususnya di
era awal abad ke-20, April 1894 telah dicatat dalam Statblad, namun realisasinya seperti terdapat
dalam Staatsblad 1900 nomor 64 adalah pada tahun 1900.
304 Anthony Reid, dalam “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit:
KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011, hal.251
186
pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal, baik kapal uap hingga kapal layar dan
motor, yang bahkan juga disinggahi oleh K.P.M. sejak tahun 1890.
305 KITLV, 1901; pembukaan jalan di Bagansiapiapi dengan menggunakan tenaga kerja-paksa.
306 Pohon Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae.
Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau Akar
napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan
lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Selain itu, seperti disampaikan oleh:
J.A.Van Rijn Van Alkemade dalam “Beschrijving Eener Rels Van Bengkalis Langs de Rokan-Rivier
Naar Rantau Binoewang, Tahun 1884 (Deskripsi perjalanan sepanjang sungai Rokan: dari
Bengkalis sampai Rantau Binoewang): Dikatakan sebagai berikut,”Wij waren al zoo te Bagan
ApiApi, zoo genaamd naar het vele Brandhout’ dat hier kan worden verkregen,” (footnote:‘Api
Api is de naam van een Boomsoort); hal. 29. Bahwa penamaan Bagan Api-Api nampaknya lebih
dekat bersumber kepada kawasan yang banyak ditumbuhi pohon Api-Api tersebut.
307 ANRI MVO (Memorie Van Overgave); Memorie van overgave van de onderafdeeling
Bagansiapiapi, 1925.
187
308 Dilihat dalam De Sumatra Post, “De Controleur van Bagan Si Api-Api, 30 September 1902,
“De nieuw benoemde Controleur kromm zal morgen zijn bestemming naar Bagan Si Api-Api
volgen.”
309
Dilihat dalam De Sumatra Post, Controleurswoning te Bagan Api Api, 24 Agustus 1903. Bahwa
pada tahap awal ini, semua masih sangat sederhana dan terus mengalami peningkatan dan
penyempurnaan di tahun-tahun berikutnya.
310 De sumpost 16 Oktober 1903, “Recherché te Bagan Api Api.”
311
De Sumatra Post, 27 April 1904, “Nieuwe Postkantoren ter Oostkust.”
312 De Sumatra Post, 13 Juni 1905, “De komst van Kapitein Colijn.”
313
De Sumatra Post, 3 Juni 1905, “Inspectiereis van den Resident.”
314 Het Nieuws Van den Dag Voor Nederlandsch Indie, 8 Juli 1908, “Kolonien: Brand ini Indie”;
315 Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 21 Juli 1908 (Uit de Indische Bladen. De
316
Koloniaal Verslag Tahun 1912 seperti diberitakan dalam De Sumatra Post: “Haven werker ter
Oostkust,” 16 Januari 1913.
317 Koloniaal Verslag 1917 – I Nederlandsch (Oost) Indie, Bijlage PP., Statistiek : betreffende den
320
Dilihat dalam De Sumatra Post, 5 Maret 1919, yang membahas laporan tahunan Bank Bagan
Madjoe, diantaranya adalah pendirian gedung Kantor Bank dan Kantor Kontrolir yang baru di
Bagansiapiapi.
321
Vleming, 1926.
190
menyebabkan Bagan menjadi tempat impor utama selain ekspor besar ikan keluar.
Jawa adalah tempat impor garam (Madura), gula, tapioka dan jaring untuk perikanan.
Bertahun-tahun Bagan memberikan kepada Singapura bagian terbesar untuk impor
ini, akan tetapi dengan terjadinya perubahan dalam beberapa tahun terakhir dimana
terdapat dukungan dari kawasan pantai timur Sumatra, terutama Pelabuhan Belawan-
Deli, dan Medan. Pentingnya impor langsung pada Bagansiapi yang terus meningkat,
terlihat jelas dari angka-angka berikut; depot-depot di Bagan untuk berbagai pasar
setara 11.510.000 Kg ikan. Pada tahun 1929, Singapura hanya setara dengan
1.590.000kg., pada tahun 1929 lebih jauh hanya setara dengan 400.000 Kg.
Perdagangan luar memainkan peran penting dimana ada dan jelas bahwa Singapura
sangat menekan dengan mengorbankan Jawa dan Pantai Timur. Dari sudut pandang
komersial, tampaknya wajar saja karena Pantai Timur terletak jauh lebih baik daripada
Singapura, yang akhirnya adalah posisi mana yang dipilih, yang selama bertahun-tahun
benar-benar telah dilakukan, pasar Bagan harus meninggalkannya. Nampaknya, ini
dilakukan demi kepentingan Hindia.
memperoleh rezeki disana. Diantaranya; Sri Pontianak, Esmeralda dan Ban Siong Bee
dan lainnya, sementara juga KPM, dengan kunjungannya dan kapal-kapal yang
melakukan bongkar-muat barang. Akan tetapi, sejumlah besar tonkang tetap
mempertahankan koneksinya dengan Singapura, dengan konsekuensi serius bagi
penyelundupan opium. Terkadang, warga yang tertangkap melakukan penyelundupan
itu, menggantungkan beberapa kilo opium pada hewan yang dibawanya. Betapa
pengiriman produk telah meningkatkan jumlah kapal uap dan berlayar dari Bagan dari
1099 dengan 160.000 ton pada tahun 1923; dan 1096 dengan 195.000 ton pada 1924;
hingga 1201 dengan 248.000 ton pada tahun 1925; termasuk 281 kapal uap dengan
173.000 ton. 322 Berbeda dengan situasi Bagansiapiapi era sebelum tahun 1920 yang
masih dilaporkan sebagai village (desa), H.P.H, seorang administrateur Belanda dalam
lawatannya ke daerah Boven Rokan (Pasir Pangarajan), Sentang, Siarang-arang,
Tanah Poetih, menuliskan Laporannya dalam, ”Swars Door Sumatra” sebagai berikut:
“ …Pukul sebelas Kami tiba dengan selamat di Bagansiapiapi.. Kami bertemu
dengan kontrolir dan Master Pelabuhan yang orang Eropa, dan dari mereka
kami memperoleh banyak keterangan tentang Bagansiapiapi sebagai
Pelabuhan nelayan terpenting ke dua di dunia… Desa ini dibangun diatas
pantai yang merupakan rumah panggung yang tinggi, seperti “desa jalanan”
dengan trotoar yang menyerupai rak panjang dan tinggi, sehingga ketika air
pasang yang tinggi sekalipun rumah dan jalanan desa tetap kering.…. pada
tempat pengeringan ikan (yang mungkin lebih tepatnya kondisi ikan yang
membusuk) berkeliaran hewan-ternak peliharaan.. terlihat wajah riang yang
tak dapat menyembunyikan keceriaan sebagai pertanda dari rasa syukur akan
kelimpahan makanan! Ribuan jermal beroperasi, membuat Bagan menjadi
sibuk dengan perdagangan, terutama yang datang dari luar. Seperti yang
menarik perhatian Kami adalah pengiriman beberapa telegram ke Penang
oleh Touke China. Kami mengetahui karena kebetulan sekali kami berada di
Kantor Pos.. sebahagian pengiriman terkait dengan pengiriman garam.. Tidak
dapat diragukan, bahwa di Bagansiapiapi banyak uang yang dapat diperoleh…
Sepanjang pantai dipenuhi Panglong…..dan para nelayan berlayar dengan
kapal-kapal layar….323
Sementara itu tahun 1926, dalam artikel yang berjudul Het Chineesche Zakenleven in
Nederland Indie, door den Belasting-Accountantsdienst in Nederlandsch-Indië onder
leiding van J.L. Vleming Jr., Bagansiapiapi adalah sebagai berikut:
322 Het Nieuws Van Den Dag Vor Nederlands Indies, Lang Sumatra’s Oostkust, 2 Agustus 1926.
323
H.J.H., 1923: 121-127.
192
melainkan selama 14 hari didarat, dan 14 hari dilaut, meskipun terdapat juga nelayan
yang berdiam di jermal-jermal yang tersebar di lepas pantai hingga bulanan lamanya.
Di sini, sejumlah besar upah yang dibayarkan per kapita sekitar f40 hingga f50 per
bulan, begitupula penghasilan dari pekerjaan sebagai kuli. Ketika mereka berada
didarat, mereka banyak menghabiskan waktunya dengan berbelanja, menyenangkan
diri hingga menonton wayang yang banyak terdapat di Kota.324 Kondisi ini
diasumsikan, seperti ditempat lainnya dalam lingkup sentra industri yang melibatkan
banyak pekerja, maka tidak terjadi akumulasi modal dikalangan pekerja (nelayan)
disebabkan uang yang diperoleh terpakai untuk kegiatan yang unproductive. Dari
kegiatan penangkapan ikan selama 14 hari sebelum mereka dapat melakukan
pengiriman, dari sini saya memperoleh ide kecil tentang keterlibatan total para
pemodal besar. Variasi harga yang tidak teratur terjadi sebagai akibat dari faktor
spekulatif yang berlaku dalam usaha ini. Dengan demikian, berdiri atau jatuhnya
potongan kredit permintaan pengimpor ke Bagan adalah sebagai berikut: di masa baik
pembeli sering membayar sebelum jatuh tempo, tetapi dalam keadaan pasar yang
buruk, sering terjadi beberapa bulan kredit ekstra terpaksa akan dikucurkan. Tidak
ada salahnya, meskipun biasanya persoalan ini sangat sedikit yang dapat diketahui. Ini
adalah masalah perasaan pribadi dan informasi yang tepat tentang tidak termasuknya
kerjasama dengan calon pembeli. Dimanapun tidak dapat diketahui dan tidak
mencurigakan….. Masalah-masalah moral di sini masih bersumber dari masyarakat
China: kepercayaan dan kredit mudah saja dibuat dan komitmen pun dipenuhi, akan
tetapi tidak selalu tepat waktu. Sebagai contoh adalah adanya dukungan keluarga
terhadap kewajiban besar mereka yang jatuh dalam kesulitan, nampaknya hal ini tidak
jarang terjadi. "kedeh" besar dalam 10 tahun terakhir yang jatuh pailit, terkadang
diakibatkan tidak saja oleh kematian sang pemilik, tetapi juga seringkali diakibatkan
oleh persaingan yang tidak sehat. L.H.C.Horsting325 dalam kunjungannya ke
Bagansiapiapi terkesan dengan bahagian pusat kota Bagansiapiapi, dimana terdapat
sebidang tanah persegi berpotongan dengan paralelnya jalan-jalan. Disini,
dijelaskannya, terdapat sebuah Tapekong China yang terbuat dari batu, dan tidak jauh
terdapat pasar, kedei-kedei, restaurant dan, tukang pangkas. Orang China memangkas
rapi rambut mereka, berbeda beberapa tahun saja sebelum kunjungan Horsting
kesana, dimana mereka masih mengenakan kucir pada rambutnya. Berbeda dengan
China Town yang memang berkarakter kota, maka pemukiman orang Melayu di
Ibukota Bagansiapiapi yang berjumlah sekitar 3000 jiwa, adalah tersebar pada
Kampong-Kampong Melayu. Untuk Bagansiapiapi sendiri, maka contoh bagus adalah
seperti pada arah Timur Kota, biasa warga menyebutnya dengan “arah ke
daek”(darat), tepatnya jalan Siak, Jalan Selamat, Jalan Bahagia - Madrasah sekarang,
dimana pada areal tersebut masih terlihat bangunan-bangunan rumah orang Melayu
yang dari desain arsitekturalnya, menunjukkan pengaruh era kolonial.
324
Vleming, 1926.
325
Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, “Het Leestafel
Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.”
194
326
Inlandsch Verslag, 1941.
327
Dilihat dalam De Sumatra Post, 5 Maret 1919, yang membahas laporan tahunan Bank Bagan
Madjoe, diantaranya adalah pendirian gedung Kantor Bank dan Kantor Kontrolir yang baru di
Bagansiapiapi.
195
Kondisi kota yang terbuat dari kayu, rapat dan padat, api adalah bahaya yang
sempurna, sebab hanya dalam hitungan jam saja seluruhnya akan berubah menjadi
abu. Rentannya kondisi ini juga dibahas dan ulas dalam beberapa laporan Media,
sekaligus merupakan sarana “promosi’ Bagansiapiapi sendiri, sebab pasca kebakaran
besar tahun 1920 ini, sebagaimana disampaikan, Bagansiapiapi nampaknya telah
memasuki fase modernitas, dengan pembangunan ulang kota yang lebih terencana
dengan sekat-sekat api (brandhuis), yang membagi kota dalam blok-blok untuk
mencegah meluasnya api jika kebakaran terjadi kembali. Besarnya kerugian akibat
kebakaran besar tahun 1920 ini, membuat Gubernur Pantai Timur Sumatra pada saat
itu tergerak untuk melakukan kunjungan ke lokasi bencana kebakaran; Bagansiapiapi,
dimana peristiwa ini dimuat pada halaman depan surat kabar De Sumatra Post selama
2(dua) hari, yakni tanggal 29 – 30 April 1920328. Berikut cuplikan kisahnya:
328De Sumatra Post; edisi tanggal 29 – 30 April 1920, “Naar Bagan Si Api-Api ! Bagan Si Api-Api
total afgebrand! Door Bios.
196
329
Istri dari Mr.Boejinga yang merupakan kontrolir saat itu .
197
keluar. Dan ini, segera cukup bagi S.S.Sinkel Singkel untuk menurunkan
muatannya. Sementara itu, gubernur dan otoritas utama mengadakan rapat
dengan para tauke. Selama berjam-jam berada di gedung afdeelingsbank
mengadakan pertemuan dan membahas banyak persoalan, yang pertama
harus dilakukan untuk mengatasi bencana di Bagan untuk bencana seperti ini
– dan ini bukan yang pertama! Jadi kita berdiri di sini untuk acara yang fatal,
yang akan menunjukkan lagi dan lagi. Gubernur benar-benar bertanya-tanya
tentang kenyataan bahwa terakhir api telah berkobar pada tahun 1908………
Tempat nelayan terbesar kedua di dunia membentang sepanjang sekitar 3 mil
di pantai…… Apapun Bagan, seperti semua lokasi di Hindia, membutuhkan
pemantauan secara teratur dalam pembangunan konstruksi dan kelanjutan
dari lokasi keberadaan pemukiman…. Kontrolir Haga membawa kehormatan
besar dan bekerja menciptakan afdeelingsbank dan ditingkatkan untuk
populasi heterogen, Setengah China dan setengah Melayu. Dan Kontrolir
Boejinga dengan karya besarnya dalam arah yang sama. - tidak ada
ditemukan tempat yang lebih mudah terbakar selain yang terdapat di Pantai
Timur…. Bios.
Berkaitan dengan kebakaran tahun 1920 tersebut, Gubernur meminta agar usulan
tentang rekonstruksi desa benar-benar didasarkan atas pertimbangan teknis dan
keuangan. Lalu pada Tanggal 27 Desember, Gubernur diberitakan berkeberatan
terhadap izin terhadap pembangunan kembali 4 kedei. Sang Gubernur meminta
pertimbangan lainnya kepada Direktur Binnenlandsch Bestuur tentang bantuan
terhadap pembangunan kembali “desa” Bagansiapiapi. Sementara itu, pemilik tanah
yang melihat kegagalan usulan pertama – sebagaimana disampaikan telah
mengakibatkan timbulnya keberanian pada diri mereka lalu membangun kembali
kedei kayu sepertti dahulu, layaknya sebelum terjadi kebakaran. Gubernur
melaporkan kepada Gubernur Jendral di Batavia, bahwa orang China di Bagansiapiapi
tidak menuruti arahan dewan untuk membangun rumah tahan api disebabkan tidak
memiliki modal yang cukup, sementara itu aturan tidak bisa lagi melarang orang untuk
membangun rumah mereka sendiri dari kayu, yang tidak sesuai dengan plot yang ada.
Akhir cerita kesedihan dari pembangunan kembali desa nelayan Bagansiapiapi yang
telah mengalami dua kali kebakaran besar, dan upaya untuk menghidupkan kembali
tempat yang telah menjadi abu ini adalah dengan membangun Bagansiapiapi dengan
kayu seperti era “Tempo Doeloe.” Dilaporkan juga bahwa saat ini penduduk
Bagansiapiapi telah mencapai sekitar 8000 jiwa, dengan 1600 kk. Perkiraan dari para
ahli tentang peristiwa kebakaran tahun 1920, menyebabkan kerugian sampai
f3.000.000. 330
Kemudian pada Tahun 1929, seperti diwartakan oleh De Sumatra Post telah terjadi
kebakaran, yang untungnya, angin yang bertiup kearah laut telah mencegah terjadinya
330
De Sumatra Post; edisi tanggal 9 Januari 1922; “Bagansiapiapi.”
198
kebakaran yang lebih besar. Beberapa gudang, rumah hancur karena kebakaran
tersebut. 331 Kebakaran tidak hanya terjadi di Bagansiapiapi, melainkan juga di Tanah
Putih, seperti berita pada bulan Maret 1919. Selain bencana kebakaran, pada Bulan
Desember 1920, tepatnya tanggal 11 Desember, Koran Het Vaderland memberitakan
pula tentang adanya Bencana yang menimpa Bagansiapiapi, yakni; Badai. Dilaporkan
dalam warta ini sejumlah bangunan, rumah, perahu nelayan mengalami kerusakan.
Meskipun demikian, apapun dan bagaimanapun bencana, terutama bencana
kebakaran, merupakan suatu pukulan bagi suatu sistem perekonomian. Begitu pula
dengan Bagansiapiapi, Dampak yang paling terasa adalah diperlukannya lagi kayu
sebagai bahan dasar untuk membangun, tidak saja rumah warga, melainkan juga
infrastruktur kota; seperti tiang-tiang untuk pelataran, gudang dan bangliau. Kondisi
ini diasumsikan telah menyebabkan pembabatan hutan semakin jauh ke Hulu Sungai
dalam jumlah besar. Kondisi ini memiliki konsekuensi logis berubahnya ekologi, sebab
bagaimanapun juga, Muara tergantung dari kondisi Hulu Sungai. Selain itu, persoalan
yang dilaporkan berkaitan dengan pengiriman kayu dari Hulu sungai adalah tidak
mudahnya transportasi sepanjang sungai. Kondisi arus pasang surut, dan juga; Bono.
Gelombang pasang yang diakibatkan oleh pertemuan arus pasang dengan surut,
seringkali membahayakan. Seorang administrateur Belanda, menuliskan laporannya
tentang Bono dalam lawatannya ke Hulu Sungai sebagai berikut:
Datuk (dari Tanah Putih) menyarankan waktu yang tepat esok hari bagi Kami
agar menghindari air pasang yang disertai Bono yang bisa sangat berbahaya..
berasal dari mulut Sungai Rokan yang semakin dekat semakin kuat.. Banyak
nelayan Cina yang bertemu Bono, seperti menipu kematian.. Kapal yang
terkena Bono akan tertarik ke dasar sungai dan dengan suara yang keras dan
terhempas hancur…. Itu suara yang menakutkan.. Bono datang dengan suara
yang bergulung-gulung dan pohon-pohon disepanjang sisi Sungai terguncang
dengan keras…. Jelas bahwa gelombang pasang ini tidak kondusif untuk
aktifitas pengiriman rutin.332
Hardenberg juga mencatat tentang kejadian “Bono”, berikut ulasannya:
Suatu sore tanggal 4 Oktober, saya berada disebuah perahu motor, di sebuah
selat sempit disepanjang timur pantai (dekat Bagansiapiapi). Terjadi surut
perbani, air pun menjadi sangat dangkal dan menyebabkan perahu motor
terjebak dalam lumpur, sekitar 9 mill laut arah utara Pulau Pedamaran. Tiba-
tiba, Sebentuk barisan terlihat di garis langit dan awak perahu berpikir itu
adalah Bono. Sekitar 5 menit kemudian, terlihat dinding air setinggi 1,25 m
datang mendekat… (1931).
Kembali pada masalah kebakaran, meskipun pemerintah Hindia telah mengupayakan
satuan unit pemadam api ini sejak 1907, akan tetapi seiring perkembangan, maka
333
Belajar dari rencana kontrolir Van Wilgenburg sebelum ke daerah kebakaran untuk
membangun juga taman Bermain dan olahraga, dan areal sekitarnya untuk penghijauan.
Pelaksanaan rencana ini tentu akan memberikan kontribusi memperindah kota dan mencegah
untuk meluasnya api.. Dikatakan oleh Pejabat setempat bahwa rencana ini diharapkan dibantu
dan didukung oleh semua pihak… Selain kontrolir Wilgenburg yang lebih dari satu tahun lalu
bertugas di Kisaran, pers menuliskan dengan “ditambahkan juga ucapan terima kasih kepada
Petugas Kota Bagan…. Telah menunjukkan keberanian dan tidak kenal takut, Komandan H.P.O.
Zijstra…juga ditujukan kepada Direktur Pekerjaan Umum Tuan Van Erden, yang telah menjamin
pasokan air yang cukup untuk menanggulangi api… “ Dalam De Sumatra Post, tanggal 30 Mei
1932, SUMATRA: De Brand Te Bagan.
200
beberapa kebakaran besar menjelang tahun 1930. Meskipun telah sedemikian besar
upaya dari pemerintah Hindia, “takdir” Bagansiapiapi saat itu seolah-olah memang
lekat dengan namanya, dan kebakaran besar pun tetap terjadi kembali, sebagaimana
peristiwa ditahun 1934; Sebuah kebakaran besar kembali melanda Bagansiapiapi,
sebanyak 180 rumah, toko, gudang pengolahan ikan habis terbakar. Berita ini juga
menyorot tentang banyaknya penduduk Bagansiapiapi yang kehilangan rumahnya,
dan Pemerintah Kolonial mengambil langkah untuk membantu.334
kondisi tanah dan air asin, maka pada tahun 1937 didatangkan seorang Insinyur dari
Afdeeling Gezondmakingswerken en Volkshuisvesting van den Dienst der
Volksgezondheid (divisi Revitalisasi Pekerjaan dan Perumahan Departemen
Kesehatan) di Batavia; Ir.Bleichrodt,335 dimana pada bahagian tertentu pipa dipasang
diatas tanah, pekerjaan hingga tahun 1939 dengan pemasangan pipa-pipa besi cor
hingga ke segenap kota, dimana sebelumnya menggunakan tabung baja yang telah
mengalami korosi.336 Waterleiding sebagai bahagian dari rencana yang sudah dimulai
tahun 1927 bahwa “MENGOEROES PERDJALANAN AIR AKAN MEMBIKIN SEHAT
NEGRI.”337
Penjaringan air minoem boeat kota Bagan Siapi-api. Dengan penjaringan air
sematjam ini, bisa dapat membeningkan, dari air jang beroepa koening,
merah, (boetak), dan dapat teroes diminoem. Lebih doeloe air itoe
dipompakan kedalam antara satoe dari doea coagulatiebak jang terbikin dari
pada besi, dan tiap-tiap bak mi, isinja 50 M 3, dapat poela dipergantikan
memakenja. Didalam bak mi, ada ditarokan obat, soda dan aluminiumsulfaat
namanja. Sesoedah satoe djam dinenapin (dibeningkan), baroe air itoe
mengalir kedalam tempat saringan (snelfilter), jang terbikin dari pada besi,
jang dapat menjaring air 10 M3 dalam satoe djam. Air jang mengalir dari
snelfilter mi, diatoerkan djalannja lagi oleh seboeah mesin, debietregulateur
namanja, terbikin dari pada logam, dan teroes mengalir kedalam bak
pandjang jang tertoetoep rapat (reinwatergoot), jang soedah ditaroki obat,
caporiet namanja, boeat mengabiskan koetoe-koetoe (bacteriën). Dari
reinwatergoot mi teroes mengalir kedalam bak besar, jang ditoetoep rapat,
sehingga ta bisa masoek koetoe-koetoe (bacteriën), reinwaterkelder namanja,
dan dari sini, mengalir teroes kedalam piggot tank jang isinja 30 M 3. Dari
piggot tank inilah baroe dibagi-bagi pada jang'akan memakenja.
Untuk sarana kesehatan, Pemerintah Kolonial memberikan dukungan untuk
pembangunan Rumah Sakit tidak jauh dari pemukiman Eropa. Rumah Sakit Modern
tempat salah seorang dokter awal yang bertugas, seorang bumiputra berasal dari
pulau Jawa, yakni; dr.RM.Pratomo, yang namanya saat ini diabadikan sebagai nama
pada RSUD Bagansiapiapi, sebagai bentuk penghargaan terhadap jasanya; diberitakan
wafat dalam kecelakaan kapal yang ditumpanginya dipedalaman sungai Rokan. 338
Selama tur-medis dipedalaman, ketika kapal itu dalam perjalanan di Sungai Rokan
dekat Siarang-arang, pada tanggal 8 Februari 1939 dr. Raden Mas Pratomo dari Rumah
339
Dr.RM.PRATOMO, seorang dokter lulusan Stovia Batavia yang bertugas di Bagansiapiapi
semenjak tahun 1910/11, merupakan seorang dari keluarga Mangkunegaran Yogyakarta, ia
datang ke Bagansiapiapi bersama sejumlah orang dan juga seorang tentara berkebangsaan
Jerman.
340
Bahwa pencarian ini sebagaimana diceritakan oleh Syamsoeddin, salah seorang staf dokter
yang turut dalam pelayaran dengan kapal F.II yang membawa dokter Pratomo itu.
341
Berdasarkan catatan dari salah seorang putri RM.Pratomo,
342 Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan polisi P.C.Kossen di Bagansiapiapi
dr.RM.Pratomo (ketiga dari kiri) beserta anak tertua Djajeng Pratomo(kedua dari kiri berjas,
masih hidup dan berdomisili di negeri belanda) dan sejumlah staf Medis Rumah Sakit. Gambar
diambil tahun 1937 menjelang keberangkatan RM Djajeng Pratomo ke negeri Belanda. Sumber:
Ibu Iljunah dan Marjati Pratomo.
343
Surat penyerahan nomor 193 yang ditandatangani Sultan tanggal 23 Oktober 1938; dan
Asisten Residen Bengkalis tanggal 6 Desember 1938.
344 Pekerjaan yang sedianya selesai pada 20 Desember 1940, nampaknya diperpanjang hingga 20
tempat bermain bola kaki, terletak di Wilhemina Straat, tempat yang sekarang
dikembangkan menjadi “Taman Kota Bagansiapiapi.” Pada kawasan rumah sakit,
yakni di “Kerk Straat” sekarang Jalan dokter RM Pratomo, berdiri sebuah bangunan
milik Khatolik yang nampaknya juga berfungsi sebagai “ziekenhuis” (sekarang
digunakan sebagai asrama polisi). Adapun rumah dinas Komandan Polisi tepat
terletak diseberang kazerne veldpolitie yang merupakan persimpangan dengan
“Juliana Straat” dan berdampingan dengan gedung “Inlanders School” (sekolah
Pribumi), Telegraaf dan Postkantoor. Adapun arah ke barat menyeberangi Juliana
Straat, maka terdapat areal BOW (departeman PU). Arah ke timur, maka terdapat
“gevangenis” atau rumah tahanan dan Rumah sakit milik “vereeniging” yang terletak
berseberangan dan sama menghadap ke “Kerk Straat”, selain itu juga tepat
berhadapan dengan sebuah ziekenhuis milik khatolik(sekarang asrama polisi). Arah ke
selatan dari rumah sakit, maka membentang Hospitaal Straat yang sekarang dikenal
dengan Jalan Tugu dan jalan dokter RM Pratomo, dimana terdapat Holland Chineesche
School dan Pastoor Kerk, dan juga Controleurswoning (rumah-Kontrolir)
dipersimpangan Hospitaal Straat dan Societeit Straat. Diantara Pesanggrahan dan
controleurswoning, terdapat Lapangan Tenis yang masih digunakan hingga saat ini.
Yang dapat dicermati adalah bahwa Bagansiapiapi sebagai kota yang rentan terbakar,
saat itu kota telah memiliki sejumlah gang (jalan kecil) yang disebut dengan
“brandhuis” diantara pemukiman yang rapat dan padat, yang dimaksudkan untuk
memudahkan pekerjaan pemadaman api bila terjadi kebakaran, solusi yang diberikan
mengingat beberapa kebakaran besar pernah melanda kota ini. Dan kota sendiri,
dibelah oleh “waterleidings Straat” yang saat ini adalah jalan Siak terus kearah
“Zeestraat” yang sekarang adalah jalan Perdagangan/perniagaan. Waterleiding ini
sendiri sangat penting dan mendesak; dengan pipa-pipa air dipompa keseluruh
penjuru kota guna mengantisipasi bencana kebakaran. Dari sisi pendukung
perekonomian kota sebagai pusat industri ikan, maka gudang-gudang garam terletak
di sumbu teluk “Sei Garam” yang terletak di “Zeestraat”, begitu pula dengan kantor
Serikat Tjin Thong, dan sebuah club terkenal: Soekarame. Dari sini arah utara, maka
terdapat Kantor Pabean yang berdiri di depan Pelabuhan Utama Bagansiapiapi. Disisi
utara kantor tersebut terdapat Pasar, yang terus kearah laut terdapat “visspasser”
(pasar ikan) yang terletak memanjang searah dengan dermaga Pelabuhan. Kota
sendiri memiliki jalan utama, yakni “Emma Straat” dimana berdiri gedung
“Pesanggrahan”, “Magistraat Kantoor” dan “Volkscredietbank”. Tepat diseberang
kantor utama tersebut, terdapat gang yang mengarah ke “Klenteng” yang juga
nampaknya “Brandspuithuis” berdiri dipersimpangannya. Arah ke timur di kerk
straat, terdapat rumah letnan China (Luitenantswoning). Masih di Kerk Straat, tepat
disebelah Volkscredietbank, berdiri Pandhuis atau Kantor Pegadaian. Perkembangan
kota adalah memanjang sepanjang garis pantai dari selatan kearah utara, dengan
pusat pemerintahan dan klenteng diareal tengah. Arah barat, adalah pelabuhan yang
sudah berangsur-angsur mengalami pendangkalan akibat timbunan lumpur. Lurus
arah ke timur, sebelum ditemuinya pemukiman masyarakat Melayu dan areal kebun-
kebun karet, terdapat jalan Haga (sekarang jalan Pahlawan) yang membentang paralel
205
dengan garis pantai dari utara ke selatan, seolah-olah merupakan garis demarkasi kota
berdasarkan etnis. Jalan Haga ini, penampilannya sekarang mungkin berbeda: bahwa
jalan semasa Hindia yang merupakan suatu garis lurus menuju Bagan Punak yang
merupakan rangkaian jalan setapak yang coba dibangun oleh Belanda menuju
pedalaman.345 Kemudian pemukiman China yang padat, seperti Macaustraat (Jalan
Makau) yang dideskripsikan oleh Haga sangat kental dengan Kharakter China.
Siapakah sebenarnya Haga ini? Namanya, cukup sering terdengar dalam peran Hindia
dalam mendorong industri perikanan Bagansiapiapi setelah terkena masa tekanan
pertama; dengan melihat bahwa pada salah satu jalan di Bagansiapiapi menggunakan
namanya, maka dapat dipastikan bahwa sang tokoh cukup berperan pada masanya.
Bauke Jan Haga, adalah seorang kontrolir yang bertugas di Bagan Api Api kurun waktu
1915 – 1919. Haga dilahirkan di Groningen 9 November 1890. terdaftar sebagai
mahasiswa hukum dan sastra di Universitas Leiden tanggal 23 September 1909, pada
tanggal 8 Februari 1913 berangkat dari Amsterdam ke Batavia dengan kapal
Rembrandt, bertugas sebagai Direktur Layanan Sipil di pantai timur Sumatera 7 Juli
1913, tinggal di Bindjei Langkat , kemudian di Siak tahun 1914, Sebagai adspirant-
inspektur Pematang Siantar Tahun 1914, bertugas sebagai Kontrolir Pemerintahan
Sipil Bagan Api-Api (1915-1919), tinggal di Bagan Api-Api, juga pernah menjabat
sebagai Presiden Onderafdeelingsbank Bagan Madjoe (1917), sebagai Presiden-
Bendahara Asosiasi (vereniging) untuk pembangunan dan pemeliharaan sebuah
rumah sakit di Bagan Api-Api (1917), kemudian memperoleh Ph.D. dari Universitas
Leiden pada bulan Desember 1924 dengan disertasi berjudul “Indonesische en
Indische democratie,” buku yang banyak dibaca oleh tokoh pergerakan kemerdekaan
nasional, seperti Dr.M Hatta. Karier terakhirnya adalah sebagai Gubernur Borneo
tahun 1939 hingga masuknya tentara pendudukan Jepang dimana ia dan isterinya
terbunuh disana. Belanda kembali memasuki Bagansiapiapi pada akhir tahun 1948,
kali pertama “berkuasa” kembali setelah Jepang mengusir mereka di tahun 1942.
Seorang jurnalis yang bersama-sama dengan tentara agresi itu melaporkan situasi kota
Bagan sebagai berikut:346 Pelabuhan Bagan ini merupakan pelabuhan perikanan
terbesar kedua di dunia, namun, belum mampu berbuat banyak karena mereka tidak
memiliki sumber daya modern seperti kapal keruk pasir dan lainnya, untuk melakukan
pengerukan itu. Sungai Rokan yang mengalir ke laut, telah berubah kekuatannya
dalam beberapa tahun terakhir, dengan hasil bahwa port tersebut benar-benar
tertimbun lumpur dan macet. Di mulut pelabuhan telah terbentuk ambang sekitar 1
meter. Sebagai tindakan penanggulangannya, diupayakan agar aliran air terus
mengalir ke dermaga. Dengan demikian, terdapat satu-satunya titik di mana "pada
345 Bahwa jejak-jejak jalan ke pedalaman era Hindia, tidak selalu bertepatan dengan jalan yang
sekarang digunakan. Hasil kontak pribadi dengan Nurhidayat,SH, seorang warga mantan Camat
Bangko, 31 Maret 2016.
346
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, tanggal 8 Januari 1949; Bagan-
siapi-api: „Staat in een Staat” Bevolking voelde niet veel voor republikeinse ideeën Troepen goed
ontvangen.
206
saat pasang maka masih bisa kapal merapat ke kota. .. Mereka memperhatikan
perkembangan terbaru dan kemajuan di berbagai wilayah, terutama pertumbuhan
Negara Soematera Timur; menjadi perhatian khusus mereka… Semua bangunan
publik di Bagan yang rusak mulai digunakan. Pasokan air dan listrik, bagaimanapun,
mengalami stagnasi karena terdapat bagian dari yang tidak lagi digunakan dan tidak
diganti selama bertahun-tahun. Rumah sakit selama bertahun-tahun berada di bawah
kepemimpinan Republik. Pasien tidak ada, tapi terdapat sejumlah tiga belas staf laki-
laki. Bangsal dibagi dan atap diperbaiki dalam bilik-bilik yang nyaman di mana staf
telah bertempat tinggal. Dan juga, gaji yang besar. 'Obat-obatan dan peralatan medis
tidak terdapat di sana, "lanjut dokter Belanda, yang kini telah mengambil alih rumah
sakit itu. Akan tetapi, setelah penyelidikan; dan pengupayaan, pada hari kedua, rumah
sakit telah mengalami metamorfosis secara lengkap. Rumor kehadiran dokter sudah
merambah penduduk. Hasilnya adalah bahwa pada pagi hari ketiga, sejumlah 175
orang pasien telah datang menunggu didepan kliniknya.
Kontrolir B.J.Haga
207
Sinaboi 1948.KITLV
8
Konfigurasi Sosial di Bagansiapiapi
347 Sebagaimana yang ditunjukkan dalam peta Hindia, “Kaart der residentie Riouw met
onderhoorigheden, aangrenzende deel van Sumatra's Westkust en Schiereiland Malakka,”
W.F.Versteeg, 1833 – 1867. Pada peta Muara, hanya terdapat nama: Og Perbabean, Pulau Halang
Besar dan Kecil
348
Voyage to Mergui Archipelago, hal.50; Purcell, hal.425-428.
215
352
De Locomotief, 10 Juni 1892.
353 Pada saat itu, ratusan jermal yang tersebar di lepas pantai, terdapat tonkang besar
disampingnya sebagai tempat kediaman nelayan dan keluarganya – disamping sampan-sampan
kecil untuk menampung hasil tangkapan. Sang nelayan, biasanya akan ke daratan dalam 2-3
bulan sekali untuk berbelanja kebutuhan harian. Untuk konsumsi rutin, mereka memasak bubur
nasi dan ikan, ataupun sedikit sayuran; rutinitas ini ternyata menimbulkan berbagai macam
217
juga dapat melihat, betapa tanah tempat berdirinya pemukiman merupakan rawa
gambut, yang akan memantul ketika kita melangkahkan kaki disana. Jelas saja,
bangunan batu pada era awal bukan pilihan yang tepat untuk model bangunan disana.
Dipastikan bahwa pada tahapan awal ini, para pemukim akan berhadapan dengan
ganasnya alam pesisir yang begitu hebatnya menguji batas ketahanan phisik manusia,
dan terbukti, para pemukim awal Bagansiapiapi ini berhasil melewati rintangan
ekologis tersebut. Masyarakat Bagansiapiapi terutama nelayan China, berada dalam
kehidupan yang keras. Menjelang akhir abad ke-19, Rijn van Alkemade mencatat
bahwa di Bagansiapiapi ia menyaksikan, seorang pencuri dengan tangan dan kaki
terikat; dilempar ke laut.354 Pembukaan lahan dan pendirian pemukiman tepat digaris
pantai muara, jelas meletakkan fondasi bagi perilaku para pemukimnya. Alam yang
keras membentuk kehidupan keras, dan tentu saja akan membentuk watak tertentu
bagi para pemukimnya. Bahwa tidak mungkin dapat dijalankan industri perikanan
disini tanpa kedisiplinan tinggi para pelakunya dan sikap sebagai pekerja keras. Dalam
kaitan “semangat kerja” itu, L.H.C.Horsting menggambarkan orang China di
Bagansiapiapi, terdapat jaringan seluruh keluarga untuk bergerak dalam usaha
perikanan; laki-laki, perempuan, dan anak-anak, semua sesak dan berteriak dalam
jalinan kerja. Orang Cina di disini (Bagansiapiapi), memang seperti semut, selalu sibuk,
selalu aktif. 355 Lebih jauh lagi, dilaporkan bahwa dalam persinggahannya di
Bagansiapiapi, Rijn van Alkemade juga mencatat bahwa dinegeri ini terdapat sejumlah
1000 jiwa orang China dilengkapi juga dengan senapan yang bermukim disana, dan
kesemuanya itu adalah laki-laki!356 Kondisi menjelang akhir abad ke-19 ini dapat
dipahami dari kharakter budaya masyarakat China itu sendiri; dimana tabu bagi
seorang perempuan terhormat untuk melakukan perjalanan mengarungi lautan. 357
Pada awalnya, Bagansiapiapi terlihat berkharakter sebagai tempat para “pemburu”
ikan yang mencoba peruntungannya disana; mereka tiba secara berkelompok,
bertahap, mulai dari Taiwan, China Daratan hingga Singapura. Pertemuan para pelaku
industri perikanan ini, terutama para “lajang” juga sekaligus memunculkan asumsi
tingginya tingkat migrasi sirkuler. Para pekerja ini, mungkin saja setelah berhasil
mengumpulkan uang, akan kembali ke negeri asal dan segera digantikan dengan
pelaku lainnya. Akan tetapi, situasi ini tidak bertahan lama. Perubahan politik dengan
masuknya penjajah Belanda yang begitu antusias untuk mengembangkan dan
untuk dipekerjakan pada pachter, sementara sisanya Haylam dan selusin Keh-China, sehingga
totalnya adalah 1000 jiwa, dan Rijn van Alkemade tidak melihat adanya perempuan disana; lihat
Alkemade, 1884.
357
Lihat “China Pesisir.”
218
meningkatkan produksi ikan tangkap ini, telah mengundang begitu banyaknya para
pekerja; juga dengan berdatangannya kaum perempuan China, membentuk keluarga
atau para pekerja ini membawa sendiri keluarga dari tempat asal. Meskipun demikian,
komposisi kaum perkerja “lajang” nampaknya masih bertahan, seperti tercatat dalam
laporan Kontrolir Haga(1915-1919) bahwa pada era tahun 1916, dari sejumlah 12.012
jiwa penduduk, laki-laki sejumlah 6825 jiwa dengan 4800 jiwa diantaranya adalah
nelayan – sisanya merupakan kaum perempuan(1943jiwa) dan anak-anak (3717 jiwa).
Selain itu, phenomena ini juga sekaligus menunjukkan tentang fluktuasi jumlah
penduduk yang nampaknya sebanding dengan kondisi industri perikanan. Kita tidak
akan merasa heran dengan eksodusnya dua ribu nelayan dari sini ketika terjadi masa
surutnya produksi di tahun 1910. Begitu pula ketika memasuki era stagnan, secara
kuantitas, para pemukim China ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pria
berkeluarga, mungkin saja memiliki keturunan yang akan menambah jumlah
penduduk, akan tetapi, para pemukim “lajang” yang cukup besar, jika melihat situasi
yang tidak menguntungkan, memilih akan segera berlalu. Sensus 1930 menunjukkan
bahwa penduduk China berjumlah 16.000 jiwa, dan hampir secara eksklusif-adalah
Hokkian-Singkeh (totok), 358 Komposisi demografi ini, dari jumlah 16.000 jiwa yang
berstatus lajang sekitar 8000 jiwa, kemudian sejumlah 2000 jiwa pria menikah
namun tidak terdapat keluarganya disini, dan sejumlah 2000 menikah dilengkapi
dengan anak-anak di Bagan. Kembali pada masa disaat Bagansiapiapi masih dikenal
dengan Kawasan yang disebut sebagai Perbabean ini, pada awalnya tentu didirikan
dengan dukungan hutan mangrove yang memberi pasokan kayu-kayu sebagai bahan
pendirian rumah, pelantaran, hingga alat penangkapan ikan; jermal. Alam telah
meyediakan kelimpahan kayu dari hutan disekitar Bagansiapiapi. Seorang pengamat
Eropa359 akan dengan mudah mendeskripsikan bahwa hutan-hutan disepanjang aliran
sungai yang berdekatan dengan Bagansiapiapi, telah gundul akibat ditebangi.
Kesemua ini menunjukkan upaya kerja keras yang dilakukan secara intensif,
mengingat perkembangannya yang memakan waktu tidak terlalu lama. Kesibukan
awal ini, tentu juga menunjukkan geliat pelayaran perdagangan dari dan ke muara
Rokan. Ramainya kegiatan, tentu bukan hanya penangkapan ikan dengan jermal saja,
melainkan tahapan awal ini telah meliputi pengolahan yang membutuhkan sejumlah
garam, dan aktifitas pengirimannya.
358 Totok adalah orang China yang secara kultural bukanlah peranakan, melainkan terlahir di
daerah dan berakulturasi dengan budaya setempat, dan sebahagian kecil memperoleh
pendidikan Belanda. Dengan demikian, seorang totok bisa jadi terlahir di Indonesia. Biasanya
seorang totok kelahiran daerah setempat lebih berhubungan dekat dengan totok kelahiran
China, secara sosial, linguistik, kultural dan bahkan dalam aktifitas ekonominya dibandingkan
dengan peranakan. Lihat Peck yang, hal.xxi.
359 Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, Het Leestafel
Muara Rokan, Peta. Kaart der residentie Riouw met onderhoorigheden, aangrenzende deel van
Sumatra's Westkust en Schiereiland Malakka, W.F.Versteeg, 1833 – 1867.
Para pemukim ini, sudah tentu bukan pemukim yang berbasis ekonomi subsisten.
Dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di negeri baru, subsisten bukanlah
alasan yang tepat. Pengembaraan di samudera tidak dihentikan hanya dengan suatu
alasan “secukup makan” saja, melainkan prospek pengembangan kemakmuran
sebagai indikasi peningkatan kehidupan yang lebih baik. Fakta ini, dapat juga dilihat
dari watak kegigihan yang dimiliki saudara dari timur asing ini, sehingga pada kurun
tiga dekade menjelang tutup abad ke-19, memenuhi kawasan pantai timur Sumatra
terutama pada sektor perkebunan; dimana keahlian dan keuletannya menjadi salah
satu kunci penunjang keberhasilan perkebunan swasta Eropa yang kualitas panennya,
diakui dunia. Sering disebut-sebut sebagai rentannya pemukiman pesisir dari berbagai
ancaman seberang lautan, perompak yang berkeliaran360 dan para pemburu budak,
atau bahkan sebagai “orang asing” dinegeri baru dalam ekologi dan pertetanggaan
yang bisa saja bersahabat ataupun tidak, akan cenderung menjadikan para pemukim
ini diorganisir dalam kelompok yang terintegrasi kuat dalam menghadapi perubahan
lingkungan yang seringkali ekstrim.
360Hingga memasuki abad ke-20, pemukim Bagansiapiapi ini rentan menghadapi perampokan di
laut, seperti yang terjadi pada tahun 1906 dimana dua sampan nelayan Bagansiapiapi dirampok
oleh empat orang perompak, lihat de Sumatra Post, 29 Juni 1906.
220
kalangan orang China ini, merupakan pengulangan kisah dari berabad kegiatan
perdagangan di selat Melaka yang telah intensif sejak era Sriwijaya, bahkan hingga
kekuasaan Melayu Melaka; periode yang diingat juga melalui artefak tembikar,
porselen dan barang niaga serta jejak-jejak kultural yang mewarnai perekonomian
nusantara, seperti halnya jejak eksistensi pemukim China dalam kesejarahan Jawa
yang dikisahkan secara rinci oleh Denys Lombard. 361 Bahwa, hubungan dengan
dengan latar pacht di muara Rokan ini antara pemukim baru dengan tatanan
kekuasaan Melayu, persinggungan itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang baru-baru
saja dalam sejarah peradaban Melayu sebagaimana ditunjukkan dalam hubungan
antara Sriwijaya, Panei dan Melaka, bukan mendadak saja dalam kepentingan
ekonomi semu dibawah para tauke dan penguasa lokal, melainkan dilihat telah
berakar jauh sebelumnya dalam terma “Perdagangan Selat Melaka”; hanya saja,
hubungan kali ini berlangsung dibawah bayang-bayang sang tuan Belanda. Penjajah
ini, dengan cermat mengikuti segala kesepakatan dan transaksi antara penyewa dan
yang disewa; antara penguasa Rokan dan orang-orang China: Berbagai pendapatan di
Bagan Api-Api (pemasukan dari opium dan arak, (387) permainan dadu dan pajak
ekspor udang dan belacan) yang dikenakan sebesar $600 oleh Sultan disewakan ke
orang China. Saat itu Bagan Api-Api dengan Penipahan (di Kubu) disewakan ke orang
China di Singapura sebesar $2800. Dari sejumlah $2800 tersebut, Sultan berjanji
sejumlah $150 per tahunnya untuk Datuk Bangko. 362 Hak penyewaan, dipegang oleh
para pemukim awal Bagansiapiapi ini. Tidak didengar kisah bahwa Melayu turut serta
dalam kepemilikan hak sewa penangkapan ikan sebagaimana saudara orientalnya.
Ketika Belanda berkuasa disana, mereka tidak mempersoalkan hal ini, melainkan
menyudutkan Melayu yang dianggap lebih memilih bersikap pasif dan enggan, dan
segera penjajah melekatkan stigma seperti terjadi dikebanyakan tempat lain di
nusantara. Betapa minim catatan Eropa tentang kehidupan pribumi di Bagansiapiapi,
entitas yang tidak memiliki peran dominan dalam industri perikanan yang menjadi
tambang emas kecil bagi penjajah. Bahwa, kondisi ini sebagaimana disampaikan
dilihat oleh pengamat Eropa dengan penuh prasangka;
Nampaknya tahun-tahun berlalu dimana hujan emas berjatuhan diatas hiruk-
pikuknya ribuan orang asing…. dan semakin mereka menjauh saja dari pusat
bisnis ini tanpa ada upaya mendekat untuk memperoleh bagian.. 363
Melayu, dilaporkan terfokus hanya pada penyediaan kayu yang menopang industri
perikanan; selain itu juga terlibat dalam pekerjaan menyediakan rotan guna
pembangunan ambai, dan jaring. Orang Eropa mungkin saja menyadari, bahwa,
ketidakterlibatan pribumi dalam industri perikanan secara langsung, bukan hanya
mengenai persoalan konservatifnya mereka, melainkan juga berkaitan dengan model
361
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Bdaya Bahagian II: jaringan Asia, Bab IV Warisan China,
2005, hal.243-364.
362 Hijman van Anrooij, 1885, hal.386-7
363
Indische Rivieren II; 11 Juni 1924.
222
alat tangkap seperti jermal yang dikembangkan oleh orang China, membutuhkan dana
yang cukup besar; alhasil, pengelolaan ini dikuasai oleh orang-orang China kaya saja.
Dengan demikian, kita dapat untuk sementara mengasumsikan bahwa relasi awal
yang terbentuk antar kelompok di muara Rokan merupakan pertemuan kepentingan
yang dilandasi motif-motif ekonomi. Meskipun demikian, sultan tetap memiliki
kekuasaan nyata atas pemukim terutama mengenai perwakilan otoritasnya disana.
Pada Tahun 1889 Sultan Siak Syarif Hasyim yang dalam lafal Mandarin disebut
Shao Ding, berkunjung ke Bagansiapiapi atas undangan yang dipertuan Raja
Bangko yang dalam manuskrip disebut Raja Bungkuk atau Bongkok. Dalam
kunjungannya Sultan disertai seorang Punggawa bernama Datuk Sontil, orang
Melayu yang fasih berbahasa Tionghoa, yang kemudian ditunjuk sebagai
administrator atau kapiten warga Tionghoa di Bagansiapiapi. Orang Tionghoa
menyapanya Sun Cha; dengan sapaan lengkap Sun Cha (Datuk Sontil) menjadi
Kapiten pertama warga Tionghoa di Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi.
Setelah Datuk Sontil kembali ke Kerajaan Siak Sri indrapura, maka warga
Tionghoa melakukan pemilihan Kapiten baru dan terpilih pengusaha
bermarga Ong.”364
Menjelang berakhirnya abad ke-19 itu, nampaknya Belanda tidak begitu banyak
bercerita tentang Bagansiapiapi, sebagaimana tampak dalam laporan yang terbatas;
bahkan pejabat Hindia yang berperan sebagai “utusan”365 membuat laporan dan
menceritakan perjumpaannya dengan pemukim Bagansiapiapi, dimana pertemuan
itu bukan menempatkan Bagansiapiapi sebagai tujuan utama laporannya, melainkan
disebabkan persinggahannya dalam menjalankan misinya menuju pedalaman sungai
Rokan; Rantau Binuwang. Sepertinya Belanda belum peduli, atau setidaknya hingga
saat mereka dikejutkan oleh kenyataan, bahwa, ternyata di pedalaman di Tanah Putih,
kondisi lahannya tidak memungkinkan untuk dilakukannya penanaman tembakau
yang begitu bernilainya dipasaran dunia. Dan ini berarti, sebagai tuan pengeksploitasi
sumber kekayaan alam, mereka harus melirik potensi lainnya diwilayah jajahan.
Kebetulan pula, potensi ini berada tepat dihilir dari wilayah dimana banyak
perusahaan Eropa pemegang konsesi tembakau memilih hengkang dari sana.
Keberhasilan pemukim awal Bagansiapiapi dalam penangkapan ikan, juga membuat
sang Belanda terkenang-kenang akan salah satu wilayah di negerinya yang memang
juga mengandalkan hasil laut; Ijmuiden. Lihat saja betapa bersemangatnya kontrolir
Haga bercerita tentang kegigihan kaumnya mengarungi laut dengan sejumlah
produksi tangkapannya, dan bahkan menyepadankannya dengan Bagansiapiapi.
Wajar jika Ini menjadi salah satu penyebab menguatnya motivasi Belanda untuk turut
campur meluaskan kekayaannya di tanah Hindia; khususnya di Bagansiapiapi. Jika
364
Dalam “Sejarah Perguruan Wahidin, 11 April 2008; www.iapw.info
365Hingga memasuki abad ke-20, pemukim Bagansiapiapi ini rentan menghadapi perampokan di
laut, seperti yang terjadi pada tahun 1906 dimana dua sampan nelayan Bagansiapiapi dirampok
oleh empat orang perompak, lihat de Sumatra Post, 29 Juni 1906.
223
366
Suhartono, China Klontng, Rural Peddler in the Residency of Surakarta 1850-1920, State and
Trade in the Indonesia Archipelago; Ed.G.J.Schutte,(Leiden, KITLV, 1994); dalam Winarni, 2009,
hal.100.
367 Schadee, Geschiedennis van Sumatra’s Oostkust, 1919, hal.82-3. Lihat juga BATAVIASCHE
berbahaya, hingga pada upaya saling membunuh bisnis sang kompetitor, atau bahkan
konflik yang mengarah pada antar politi; riuhnya persaingan, terkadang
memunculkan insiden “pertarungan” antara sindikat, terutama yang berasal dari
Singapura dan yang memiliki hak pengelolaan langsung dari Sultan Siak, seperti
peristiwa di tahun 1886, antara 12 orang Sepoy Inggris yang bertemu dengan 40 orang
dari Sultan di Bagansiapiapi; pertemuan yang hampir berujung dengan pertarungan
mematikan.369
Orang Eropa, yang berlaku sebagai penguasa kolonial tentu akan dengan
cerdik memainkan perannya sebagai “penyalib di tikungan,“ mengambil
keuntungan dari api dendam yang menyala-nyala dikalangan para pelaku
konflik.
Selain juga tentu, Belanda mengincar surplus dari bea, pacht dan jasa pengiriman
seperti ikut sertanya K.P.M. pada jalur pelayaran yang melibatkan Bagansiapiapi.
Mungkin saja orang Eropa pengusaha, ikut serta menanamkan modalnya pada jasa
perdagangan yang seringkali, ternyata tidaklah menggembirakan. Tidak seperti di
Sumatra timur laut dimana penguasaha Eropa larut dalam alunan booming
perkebunan, maka di aliran sungai Rokan mereka terbatas pada penanaman komoditi
tertentu saja, seperti karet di wilayah hulu, di Tanah Putih maupun di hulu sungai
Kubu; Senembah Estate. Kesemuanya ini, dipastikan akan memberikan warna bagi
relasi antar kelompok yang memiliki kepentingan atas tambang dan hujan emas.
Belanda yang telah tersadar akan situasi dan peluang dari “hujan emas” itu, segera
saja memindahkan pusat pemerintahannya ke Bagansiapiapi dan segera saja secara
bertahap Bagansiapiapi di tata menurut versi penjajah, hingga terbentuknya kota
Bagansiapiapi dalam tata-hukum Hindia; kota yang dibangun berdasarkan politik
segregasi.
369
The Straits Times, 8 Agustus 1886, page 7, Translated for the Straits Times: A war in
miniature.
370 Konsepsi integrasi ini berasal dari “Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial”
dalam konteks ini. Adapun integrasi koersif yang merupakan adanya unsur paksaan
dan biasanya berdimensi politik, merupakan sebuah bahagian dari sejarah kota itu
sendiri. Melalui kebijakan yang ambigu, pemerintah Belanda menerapkan ruang kota
sebagai alat untuk pencapaian integrasi sosial, sebagai contoh ketika berlangsung
event perayaan besar Hindia.371 Pada momen itu, kantor kontrolir di hias dengan
meriah, bahwa diperkirakan Resepsi akan berlangsung tepat disiang hari yang akan
dihadiri oleh para pemuka masyarakat, Pejabat Pemerintahan Pribumi dan Eropa,
serta para Tauke; dimeriahkan dengan nyanyian dari murid sekolah pribumi dan China,
kemudian kontrolir Baalbargen memulai pidato sambutan perayaannya, dilanjutkan
dengan sambutan dari Kepala distrik Pemerintahan setempat dan juga Letnan China.
Dalam suasana upacara yang khidmat itu, Kepada Inyo Beng San dianugrahi Bintang
Emas Kesetiaan oleh Kepala administrasi pemerintahan setempat. Selanutnya adalah
prosesi parade melalui kota yang dihiasi dengan meriahnya bendera, korps musik
China juga Pribumi. Dalam Perayaan malamnya, yang juga diadakan terpusat di
lapangan tenis yang dihiasi dengan meriah dan antusiasme yang tinggi; dimeriahkan
juga oleh Orkes Batak, Band Melayu dan China yang terkenal, bahkan dimeriahkan
juga dengan berbagai atraksi, seperti; Pencak. Pada kesempatan yang sama
dihidangkan Sate kambing dan minuman dingin sebagai pelepas rasa haus. Dikatakan,
“Kesuksesan penyelenggaraan acara ini disebut-sebut sebagai hasil kerja
keras secara bersama-sama dari seluruh anggota komisi perayaan, yang
meliputi; Datuk Comel, Achmad, dan Sujadi yang saat itu mereka duduk
berdampingan dengan Kontrolir Tuan Baalbargen.”
Tentu saja, ketika kita membaca situasi perayaan dimana kolektif kota ikut terlibat
aktif didalamnya, hal ini merupakan situasi kota khas kolonial, pengerahan partisipasi
warga dalam perayaan Hari Ratu. Bahwa pada saat itu, tercipta situasi kerjasama antar
komponen warga dalam perayaan dengan Pejabat pemerintah Hindia dalam hal ini
kontrolir sebagai perwakilan sang Ratu. Realita ini mengindikasikan, penataan
Bagansiapiapi tidak dilakukan oleh para pemukim China atau Eropa-Belanda saja,
melainkan juga melibatkan Pribumi-Melayu. Keteraturan dan keelokkannya,
menjadikan seorang jurnalis Belanda tidak dapat memungkiri kerjasama antar entitas
tersebut.
“Angkat topi untuk kontrolir, tauke dan kepala distrik, tidak mungkin
Bagansiapiapi tampil seperti ini tanpa peran mereka semua!”
Pernyataan Eropa itu, pada dasarnya mengakui bahwa langgengnya struktur
kekuasaan kolonial sebenarnya tergantung dari kemampuan mereka memadukan
berbagai komponen masyarakat majemuk yang terikat secara fungsional, masing-
masing entitas menyuplai kebutuhan keberlangsungan sistem masyarakat kolonial;
371Seperti yang diberitakan dalam De Sumatra Post tanggal 12 September 1928, dalam
pemberitaan berjudul “Koninginne_Dag Te Bagan Api-Api” (Perayaan Hari Ulang Tahun Ratu
Belanda di Bagansiapiapi);
226
konsensus nilai, jelas berada dalam masing-masing sub-sistem; tetap berdiri sendiri,
terpisah, dan integrasi semu yang menjadi kebanggaan Hindia ini dipertahankan
hingga saat-saat terakhir.
Ruang-Ruang Berbeda
Pada awal abad ke-20, di Bagansiapiapi berdiri kantor kontrolir yang merupakan
representasi dari ibukota Onderafdeeling yang sebelumnya berada di Tanah Putih.
Pada masa ini, sebagaimana disampaikan bahwa Belanda memulai pembangunan
infrastruktur pemerintahannya guna melayani kepentingan pemungutan pajak dan
bea; dan tentu diiringi dengan pembangunan jalan dan juga; pelabuhan. Kota ini,
didirikan diatas tanah bencah berlumpur dimana kuda beban tidak dapat melintas
diatasnya; dengan demikian, pembangunan jalan hanya efektif dilakukan di areal inti
dari perkantoran dan pemukiman Belanda dan juga kawasan pergudangan,
sementara dibahagian lainnya hingga dasawarsa kedua masih berupa bentangan
pelantaran. Sarana transportasi dan pengangkutan dari desa-desa disekitarnya
terutama ke wilayah hulu sungai Rokan, benar-benar dilakukan melalui sungai yang
memiliki arus yang cukup kuat. Bahwa, disepanjang pantai Bagansiapiapi, merupakan
areal tangkahan (pelabuhan) bagi ratusan perahu-perahu nelayan, dan juga tempat
bagi bangliau-bangliau melakukan proses produksinya. Orang-orang China membuka
toko-kedei yang menjadi wilayah dalam lingkaran primer komersil, dimana pada akhir
musim akan dikunjungi oleh ratusan nelayan China termasuk dari luar Bagansiapiapi,
seperti Panipahan dan Sinaboi. Situasi keramaian ini, tidak hanya pembukaan kedei-
kedei, juga memunculkan jenis pekerjaan baru diluar industri perikanan yang
diciptakan sendiri oleh pemukim China Bagan seperti halnya terdapat di sentra-sentra
Pecinan di Hindia, seperti; pertukangan, shinse, tukang jual obat, guru silat, tukang
pangkas rambut, tukang jam, pemilik rumah judi, bahkan yang juga seiring, pelayanan
jasa jago yang memeriahkan keramaian aktifitas perekonomian kota Bagan.
Keramaian kota hingga paruh kedua awal abad ke-20, sebagaimana
digambarkan pengamat, merupakan khas pecinan. Sehingga dapat dikatakan,
bahwa interaksi aktif dan intensif antara Pribumi dan China tidak terjadi disini.
Begitu pula orang Belanda, yang tiba disana bekerja sebagai kelompok
birokrasi penguasa, cenderung akan menjalin kontak intensif dikalangan
kelompok birokrasi itu sendiri.
Seiring dengan periode kolonialisme, hingga periode 1920-an perkembangan
Bagansiapiapi memperlihatkan kharakter khasnya seperti kota-kota kolonial lainnya
di Hindia Belanda. Kharakter khas pusat kota yang biasanya adalah kantor Pemerintah
dan Pasar. Khusus untuk kantor pemerintah, maka lokasinya berdekatan dengan
gereja dan tempat tinggal pegawai Kolonial yang biasanya dihuni oleh lapisan elit
yakni; orang-orang Eropa. Atau dengan kata lain, Pemerintah Kolonial merupakan
suatu komunitas eksklusif dengan pola tata kota yang membatasi interaksi warga,
228
372 Dilihat dalam The Kapitan China of Batavia: 1837-1942, A History of Chinese Establishment in
Colonial Society, oleh Mona Lohanda, Penerbit Djambatan Cetakan ke-2, Tahun 2001, hal.1
373 Dilihat dalam Hans Dieter Evers dalam Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di
Indonesia dan Malaysia, Tahun 1986; Cetakan keempat, Tahun 1996, hal.78
374
Claude Levi-Strauss, Race in History, 1957.
229
bercorak kota, begitu dominan di wilayah-wilayah yang kaya akan ikan. Orang-orang
China ini, sebahagian besar datang memang dikhususkan sebagai orang-orang yang
terlibat dalam sektor perikanan tangkap, baik sebagai pemodal maupun pekerja.
Kedatangan mereka, tentunya dengan membawa serta teknologi penangkapan ikan
yang terbukti handal ditempat lain, sehingga kombinasi sumber daya alam dan
teknologi memungkin mereka untuk memimpin dalam industri perikanan ini. Selain
itu, orang Melayu, nampaknya lebih terkonsentrasi pada bisnis hasil hutan yang laku
dipasaran, semisal; nipah. Kisah tentang pengupayaan jenis ini, sudah tidak asing
didengar dalam kisah-yang terdapat tentang keberhasilan perdagangan yang
dilakukan orang Melayu, baik ke Pantai Timur Sumatra sendiri, maupun ke
Semenanjung. Segala upaya pribumi, baik perikanan, pertanian, ataupun
perdagangan, terlihat kecil dimata penguasa penjajah; laporan pejabat Hindia
ataupun para pelancong dan jurnalis cenderung untuk mengabaikan kegiatan
perekonomian pribumi, mereka terpaku pada ladang emas kecil yang sangat
menguntungkan politik imperialis Hindia. Selain itu, kebijakan politik ekonomi baik
yang dilakukan melalui hak tradisional maupun kolonial, nampaknya tidak memihak
pribumi. Cerita tentang kegelisahan lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko, tentu
bukan riwayat yang tidak memliki kausalitas dengan keterpinggiran pribumi dari
perekonomian utama di Muara kedepannya, melainkan, merupakan salah satu
bahagian tahapan dari marginalisasi peran pribumi dalam lingkaran hujan emas
tersebut. Pemegang hak sewa yang semula dikelola secara tradisional dengan
melibatkan peran kedatuan lanskap, tidaklah begitu menggembirakan bagi elite lokal
yang berada dibawah kekuasaan Siak. Kemudian, kedatangan penjajah Belanda
mengebiri kekuasaan tersebut menjadi semacam penerima gaji saja; pemilik hak sewa
digantikan dengan sistem gaji oleh pemerintah Hindia. Peminggiran ini, yang dilakukan
dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad ke-19, benar-benar mapan diparuh
pertama abad ke-20. Pembelahan peranan ekonomi di muara, antara orang-orang
Melayu dan China, menjadi bahan fondasi bagi menguatnya ketimpangan; dan
struktur sosial baru pun segera dimulai, ketidakmerataan yang tidak hanya
berdasarkan ekonomi saja, melainkan juga terlihat sebagai ketidaksamaan ras.
Phenomena yang berlangsung tepat di jantung industri perikanan muara Rokan di
Bagansiapiapi. Meskipun demikian, yang dapat dipahami disini, jika kita menyadari
bahwa eksistensi masyarakat China di seluruh wilayah Hindia Belanda;
Entitas China dibentuk oleh beragam strata sosial, dan masing-masing strata
pun memiliki kepentingannya masing-masing. mereka dari kelas sosial yang
sama dari kelompok etnis yang sama bisa jadi memiliki kepentingan yang
sama; akan tetapi kelas-kelas dalam kelompok etnis seringkali gagal berbagi
kepentingan, kecuali disaat seluruh kelompok etnis menghadapi bahaya. 375
Sebagaimana telah disampaikan bahwa segregasi di Bagansiapiapi, tidak melulu
berbasis etnis, melainkan juga, pelapisan sosial didalam kelompoknya sendiri; Hingga
375
Peck Yang, 157.
232
tahun 1930-an, tercatat sejumlah besar orang China mendirikan "Kongsie", semacam
N.V, atau perusahaan yang mengerahkan dan mempekerjakan ribuan orang. Kongsie
atau firma tersebut dapat dibedakan dalam beberapa kategori sebagai berikut:
Para pemilik sero ataupun jermal; Ini adalah jaringan besar alat penangkap
ikan, semacam perangkap ikan besar yang menangkap ikan dengan
memanfaatkan kondisi pasang-surut dari air, yang di sini sangat berbeda
dalam tinggi - atau rendahnya air. Nilai rata-rata mencapai f15000 per unit.,
untuk yang lebih besar biayanya mencapai f25.000 hingga f30.000, untuk
diketahui terdapat 350 sero. Mereka kadang-kadang berlokasi hingga 16 mil
dilepas pantai di laut;
“Pemilik bangliauw atau "plantaran dengan gudang” di sepanjang pantai
untuk mengeringkan dan mengolah produk ikan;
Kombinasi dari pemilik Sero, bangliauw dan pemilik alat penangkapan ikan
hingga produk jadi yang dimulai atau diproses dan dikerjakan sendiri;
Sejumlah besar anak perusahaan (industri-hulu), langsung terhubung dengan
sektor perikanan seperti sebagai pembuatan kapal, jaring, perangkap kepang,
dan lainnya;
Pemilik toko, yang disebut "Kedeh", yang secara tidak langsung terkait dengan
bisnis perikanan ini; seperti: menjual pakaian untuk buruh, makanan,
minuman, dimana di sini terdapat sangat banyak minuman, bagaimanapun,
banyak perusahaan besar yang memiliki usaha perikanan mereka sendiri,
mengambil barang-barang untuk dijual kepada buruh.
Diluar mereka yang tergabung dalam kongsie dan firma, adalah mereka yang
dikategorikan sebagai lapisan pekerja, bukan pemilik modal. Modal mereka adalah
tenaga dan ketrampilannya, bekerja pada tauke, pedagang, nelayan ataupun pemilik
toko-kedei. Kelompok ini merupakan yang terbesar di Bagansiapiapi, dan
kedudukannya dalam sistem sosial Bagansiapiapi, meski mobile, namun lemah dan
cenderung berada pada lapisan yang terendah. Sebagaimana proletar dalam sebuah
industri, pekerja yang didatangkan dari China Daratan via Singapura ini rentan
menerima ketimpangan perlakuan, berbanding terbalik dengan para tauke, pemilik
modal dalam industri perikanan ataupun panglong. Seorang penjelajah menulis:
Itu tidak diragukan lagi, bahwa ada banyak uang di Bagansiapiapi,
tapi ini hanya bagi taukeh kaya (patron), sementara tidak buat kuli-pekerja;
dan terkadang-dimanfaatkan dengan cara yang mengerikan oleh rekan-rekan
mereka yang kaya itu. Disepanjang pantai ditemui panglong (milik orang
China sebagai tempat pemotongan kayu), yang terkadang, seolah-olah benar-
benar terisolir dari dunia luar; kuli-kuli yang didatangkan dengan kapal,
berlayar dari seberang pantai, biasanya tidak terdapat orang Melayu di
panglong ini, dan mereka itu (para pekerja) berada pada belas kasihan dari
bos mereka, yang memang banyak memberi makan (Ini dihitung dengan
pemotongan gaji), akan tetapi, di luar itu mereka hampir dianggap sebagai
budak… dapat dimengerti bahwa sangat sulit bagi Hindia mengendalikan
233
376 Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, Volume 7, 23 May 1923, Edition
007-1923-0008 — hal. 126.
377
Sumber : Controleur , ANRI – MVO, 1938. Hal 1-2
234
matahari dan, seperti yang disebutkan, untuk dikirimkan keluar. Di setiap toko
China terdapat ikan kering, sering dalam bentuk yang paling menakjubkan dan
spesimen aneh, hanya orang China yang dapat mengolahnya. Mereka
digoreng dengan minyak dan dimasak renyah. Kemudian dalam rijstafel diolah
dengan melalui berbagai bumbu. Ini menyangkut semua potongan yang lebih
besar. Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa Ikan yang lebih kecil diolah
menjadi "terasi" di mana setiap penduduk aslinya(orang Melayu)
mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, akan tetapi apa yang paling
orang Eropa benci adalah baunya (terasi) yang mengerikan, namun setiap koki
yang handal selalu mencoba memprosesnya di rijsttafel, untuk disesuaikan
dengan selera. Dan ini berarti segudang kelezatan, namun bahan ini juga
kadang-kadang digunakan orang sebagai pupuk, ini pula yang dianggap
sebagai penyebab kawasan lingkungan yang dihuni orang Eropa ini seperti tak
tertahankan! Udang kering yang diekspor dalam jumlah besar ke China,
dimana digunakan kerabat untuk pemasaran disana. Akhirnya, kita memiliki
apa yang disebut “Ikan Boesoek,” maksudnya adalah ikan boesoek
diterjemahkan secara harfiah dimana penanganannya dilengkapi dengan
perahu khusus yang disebut "Sampit". Produk ini terutama digunakan untuk
pupuk dan pakan ternak. Sama seperti di Belanda di kawasan dataran tinggi
dengan komposisi lebih banyak air, yang disebut “sarang” untuk bebek dan
digunakan untuk pakan ayam. Sepenggal khas Cina di Hindia Belanda Timur
untuk tempat ini memang sebuah nama yang benar. Pakaian, tata krama dan
bangunan, bahasa dan orang tidak lupa semuanya di sini bernafaskan spirit
khas China. Pada malam hari mereka hampir seluruhnya memenuhi jalanan.
Ratusan warung kecil, makanan, dedaunan, udara, Kantor, pengkhotbah, bau
lampu minyak tanah, semua tersedia dan dapat dilihat dari jauh, donat
Belanda serta aroma wafelen dihidung yang menggoda selera. Namun
sebanyak apapun yang kita hirup, selalu terasa aroma Naga China!
Ya, dan memang begitulah adanya.
akan posisinya. Budaya Indie pun memudar, sebaliknya pada era abad ke-20, Belanda
semakin menguatkan ke-Eropa-annya, terutama dalam berhadap-hadapan dengan
pribumi. Lihat saja, betapa tidak lagi terdapat gambar-gambar Belanda bersarung dan
batik diabad ke-20, atau menyaksikan pagelaran kesenian tradisional rakyat;
sebaliknya, ekslusivisme Eropa bahkan menghampiri sekelompok lapisan pribumi yang
mengenyam pendidikan Belanda; pengenaan busana tradisional segera saja
menempatkan penggunanya sebagai kolot, tidak modern dan cenderung
terendahkan. Pengalaman Sultan Hamid dari Kalimantan, sang Founding Father Bung
Karno, dan sejumlah tokoh pergerakan nasional merupakan rekaman betapa
hegemonik budaya barat dalam kemasan penjajahan Belanda menistakan budaya
Inlander. Dalam suasana seperti itulah Belanda tiba di Bagansiapiapi, berinteraksi
intensif di muara Rokan. Sementara dikalangan China, rasa untuk “setara” semakin
menguat, terutama secara ekspresif dengan ditinggalkannya potongan rambut kucir
yang menjadi khas tanah leluhur; sebelumnya Belanda menerapkan peraturan yang
melarang orang China memotong kucirnya sehingga mudah ditandai, hingga akhirnya
seorang pengusaha dengan seizin gubernur Jendral Hindia, berhasil memotong
kucirnya tersebut. Belanda, setengah mati berupaya menjaga citra tampilan diri, akan
tetapi, realitanya ia juga berposisi sebagai pemerintah dari negeri yang dijajahnya,
akan dikondisikan untuk memiliki sifat-sifat mendua yang semakin kuat saja; sama
dengan phenomena kekuasaan raja-raja tradisional. Sang Belanda, sebagai kelompok
yang terakomodir dalam kelas B.B. atau Binnenlandschbestuur, berfungsi melakukan
penyelenggaraan pemerintahan; memasuki era kontemporer tentunya dituntut untuk
menyediakan fungsi pelayanan kemasyarakatan. Sementara disisi lain, sebagai
penjajah dengan tujuan utama menghasilkan pemasukan sebesar-besarnya bagi kas
Hindia, akan selalu berada dalam posisi “culas dan serakah” dalam mengeksploitasi
kekaayaan alam negeri, tidak peduli bagaimana pun cara, tempat dan waktunya.
Seluruh laporan pejabat, utusan ataupun pengamat, tidak pernah terlepas dari
laporan dan catatan potensi sumber daya bagi pemasukan kas Hindia; apa yang dapat
dikembangkan, siapa pelakunya, bagaimana caranya, termasuk penilaian perlu
tidaknya didatangkan pekerja-pekerja Jawa ataupun China dalam suatu pekerjaan
eksploitasi. Untuk mencapai tujuan “ideal” penjajah ini, maka tenaga Eropa tentulah
tidak mencukupi, secara umum di Hindia sangatlah minimnya, bahkan, hingga tahun
1930-an saja orang Eropa yang bedomisili di Bagansiapiapi hanya terbatas pada 50-an
orang saja, dimana angka ini juga termasuk keluarga; isteri dan anak pegawai Belanda.
Kondisi ini, menyebabkan bahwa lapisan birokrasi Hindia Belanda, juga meliputi
sekelompok pribumi terdidik yang “tercerahkan” melalui pendidikan yang dibuka oleh
pemerintah Hindia bagi pribumi, seperti dibangunnya sebuah Inlandsch School
(Sekolah bagi Pribumi) di Bagan kurun 1916-1918.378 Tidak terdapat jumlah pasti
378
Bahwa perkembangan pendidikan diabad ke-20 di Hindia Belanda, dapat dibagi atas periode
berikut: 1900 – 1915; percaya akan nilai pendidikan Barat bagi pribumi, walaupun terdapat
sekolah desa yang didirikan Van Heutsz, pendidikan Barat sangat menarik perhatian; 1915-1927;
timbul reaksi yang menghendaki pendidikan yang lebih cocok bagi pribumi, agar mereka tidak
238
terlepas dari kebudayaan aslinya. 1927-1942; Pemerintah mengakui secara terbuka bahwa
karena kekurangan biaya dan tenaga guru, maka pendidikan harus dibatasi. Lihat IJ Brugmans,
geschiedenis van het Onderwijs in Ned.Indie, Groningen Batavia, 19938, hal.353-354; dalam
H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal.46.
379
Bertitik jumlah ini didapat dari laporan BA.Mokhtar: Tim perdamaian Bagansiapiapi 1946.
380 Dokter R.M.Pratomo tiba di Bagansiapiapi bersama seorang Jerman dan serombongan pekerja
dari Yogya.
381
Dilihat dalam MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, Boudwijen van Duuren, tahun 1934.
239
382
Gambar dari Iljunah dan Marjati Pratomo.
383
De Sumatra Post, 9 Agustus 1929, Sluipmoord op de Rokan Rivier; Surabaiasch Handelsblad, 8
Agustus 1929, “De Moord op den heer Van Hengst”;
240
perempuan China, dimana setelah peristiwa pembunuhan yang menimpa diri Eropa
ini, anak-anaknya yang berjumlah enam orang, si bungsu laki-laki diangkat anak oleh
dokter Pratomo, dan yang lainnya para kakak perempuannya pindah mengikuti
keluarga ibunya di Singapura: Sebagaimana diberitakan oleh pers di Hindia Belanda
pada kurun pertengahan tahun 1929, ramai memberitakan terbunuhnya seorang
Eropa; Van Hengst, seorang Gemeente Opzichter di Onderafdeeling Bagansiapiapi.
Kisahnya, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media pada masa tersebut adalah
sebagai berikut: pada tanggal 22-23 Juli 1929, Van Hengst mengadakan tornee ke
pedalaman sungai Rokan yang berjarak selama dua hari perjalanan dengan tim
sejumlah delapan orang Polisi dan 60 orang pekerja-narapidana. Hingga suatu malam,
diketahui seorang polisi - seorang Timoor - bernama Nisunkoebira meninggalkan
posnya tanpa izin dengan membawa senjata dan amunisi, kondisi diluar rencana. Guna
mengantisipasi keadaan yang tidak diniginkan, Komandan pos jaga memerintahkan
untuk melakukan pemadaman lampu di tenda-tenda dan juga telah mengingatkan Van
Hengst akan situasi tersebut bahwa sang disertir tersebut bisa saja berbahaya dan ia
memilih untuk memberikan pengamanan ekstra terhadap pos-pos tersebut. Akan
tetapi, nampaknya Van hengst memiliki pendapat lain dan mengatakan,
“Wie zal mij, ouden man, kwaad doen, ik heb geen vijanden."
Van Hengst, ia merasa tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu dan tetap menyalakan
lampu diluar tenda dimana ia tidur disana. Menjelang jam 5 pagi, sang disertir
kembali, dan dengan senjata ditangan ia membunuh Van Hengst dengan tiga kali
tembakan. Beberapa jam setelah perbuatannya tersebut, sang polisi disertir itu
menyerahkan diri kepada polisi di pos. Dari hasil interograsi dan di persidangan
dimana jaksa menanyakannya, pembunuh tersebut mengatakan bahwa ia “silap.”
Meskipun demikian, Pengadilan di Medan tetap menjatuhinya dengan vonis hukuman
mati. Van Hengst adalah seorang Eropa tertua di Bagansiapiapi, dimana pada saat
wafatnya ia berusia 60 tahun. Selain itu, Van Hengst telah bertempat tinggal di Bagan
sekitar 30 tahun. Ini berarti Van Hengst memasuki Bagansiapiapi pada kurun tahun
1899 – yang menempatkannya sebagai salah satu orang Eropa pertama yang tinggal
disana. Bahwa kurun perjalanannya di Kota-nelayan selama puluhan tahun tersebut
telah menjadikannya seorang pebisnis hingga kebakaran besar telah menghancurkan
usahanya yang tidak dijamin oleh asuransi dan membuatnya harus kembali memulai
segalanya dari awal. Van hengst menikahi seorang wanita China Bagan, dan memiliki
enam orang anak. Anak terakhirnya lahir dua tahun menjelang kematiannya di tahun
1929. Sejatinya, Van hengst adalah seorang pebisnis dan bukan birokrat. Namun
melihat kondisi bisnisnya, Pemerintah mengangkatnya menjadi seorang “Gemeente
Opzichter” sehingga ia dapat memperoleh penghasilan yang lumayan dan dapat
mencukupi keluarga besarnya. Selain itu, Van hengst adalah salah seorang tokoh
Eropa yang ikut andil dalam mewarnai modernisasi Kota Bagansiapiapi; dimana ia
termasuk yang turut mempelopori pendirian “Water Leiding” Bagansiapiapi. Water
241
384Seperti dokter R.M.Pratomo yang tiba di Bagansiapiapi pada tahun 1911 dengan membawa
sejumlah 30-an rombongan pekerja yang berasal dari Yogya.
242
385
Gambar milik Ibu Hj.Eva, menantu dari van Hengst.
243
386
Twang Peck Yang, Elit Bisnis Cina di Indonesia.
244
Mungkin saja pengamat Belanda dan Eropa, yang hanya terfokus pada perekonomian
industri perikanan akan “melewatkan” pencermatannya atas perubahan komposisi
demographi dan kaitannya dengan keberlangsungan kota yang memang memiliki
landasan utama; industri perikanan. Akan tetapi, Bagansiapiapi yang sejak awal abad
ke-20 telah mapan sebagai ibukota onderafdeeling yang wilayahnya mencapai lebih
9000km2, dengan sejumlah kampung-kampung yang tersebar ditepian anak-anak
sungai dan terutama, aliran sungai utama; Rokan sebagai sarana “jalan-raya” tempat
menghilirnya segala produk pedalaman, selain itu juga lompatan industri perikanan
dipastikan akan “menyeret” Bagansiapiapi dalam jejaring perdagangan regional,
bahkan internasional; kesemua ini merupakan faktor pendorong bagi urbanisasi
Bagansiapiapi, proses pengkotaan yang secara pasti akan menyingkirkan homogenitas
menjadi heterogenitas dalam batas-batas tertentu. Wajar saja jika proses yang
seharusnya berlangsung diasumsikan sebagai berikut; Urbanisasi diiringi diferensiasi
sosial, sebagaimana keberagaman status dan peran dalam masyarakat perkotaan.
Akan tetapi, realitas sosial disini menunjukkan kokohnya dominasi orang China di
Bagansiapiapi dalam seluruh tatanan dan peranan, terutama dikaitkan dengan
kehadiran mereka disana yang dibutuhkan untuk mendorong peningkatan produksi
ikan; terutama oleh pemerintah Belanda. Keberadaan orang China ini, selain sebagai
investor, pemilik alat tangkap, ataupun buruh-pekerja, mereka juga terlibat dalam
perdagangan hasil tangkapan laut tersebut; Ketika upaya produksi ikan diorganisir
245
untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka yang terjadi adalah para nelayan
mengorganisir diri mereka pada Kongsi, yang diketuai oleh seorang Touke Bangliau,
yang menyediakan modal untuk kelangsungan usaha dan keuntungan berupa uang
kontan untuk nelayan. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Fitrisia dan Sugianto
Padmo, Kedatangan Orang Belanda dan Cina migran dari Tanwa, Amoi,Teng Hai, Hai
Jib dan Shantung telah mendorong berlimpahnya hasil tangkapan ikan di muara
Rokan ini, 387 sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Bruin bahwa orang
Cina merupakan bagian penting dari kelompok komunitas nelayan di onderafdelling
Bagansiapiapi. Asumsi yang dapat diketengahkan, sebagaimana dikemukakan
Boejinga bahwa Masyarakat China di Bagansiapiapi era kolonial adalah masyarakat
yang sangat mandiri.388 Keberlangsungan industri perikanan, yang diiringi proses
pengkotaan Bagansiapiapi, tetap membagi peranan sosial dalam ruang-ruang kota
dominan dikalangan mereka sendiri, begitu pula hingga era revolusi phisik.
Halnya di Bagansiapiapi menunjukkan, bahwa keberagaman peran tetap
dominan berada dikalangan orang-orang China, sebagai entitas sosial awal
yang bermukim di Bagansiapiapi. Peranan yang tidak goyah, hingga pasca
perang, dimana industri perikanan yang mulai mencoba bangkit dari
keterpurukan akibat perang disambut oleh periodesasi menghebatnya
pendangkalan muara, beralihnya para pemegang kebijakan terutama yang
menangani industri perikanan di Bagansiapiapi, dan peranan pemerintahan
yang berada dikalangan republik.
Periode revolusi phisik, seorang Tokoh pendamai konflik sebagai akibat peristiwa
Bagansiapiapi, dalam laporannya menuliskan bahwa masyarakat China Bagansiapiapi
adalah masyarakat yang sangat lengkap, mulai dari nelayan, tukang, tani, cerdik
pandai hingga kuli. Begitu pula dengan kepemilikan alat produksi; serupa Tongkang,
Jermal, bahkan kebun-kebun karet yang luas sebagai milik mereka.389 Lebih jauh,
dalam laporannya, BA.Mokhtar menyadari bahwa Bagansiapiapi, meskipun juga
dihuni oleh orang-orang pribumi yang bermukim terutama dikampung-kampung
disekitar kota, tidaklah merupakan masyarakat yang padu, 3000 jiwa penduduk
pribumi diantara 15000 jiwa total warga kota, bahkan dalam peranan perekonomian
tidak menggambarkan dskripsi suatu jejaring sosial yang mapan, 12000 jiwa orang-
orang China disini tidak hanya dominan dalam perekonomian, melainkan juga dalam
jejaring perekonomian hingga unit yang terkecil; sarana yang sedianya menjadi
jembatan komunikasi antar entitas. Selama periode Hindia, jelas, kemapanan ini
dipelihara oleh politik rasis kolonial yang menempatkan pribumi dalam posisi yang
kurang menguntungkan.
387 Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942, Program Studi Sejarah: Program Pascasarjana
Universitas gadjah Mada, Tahun 2007 hal.497 – 506, dalam SOSIOHUMANIKA, 15, (3), September
2002.
388 Boejinga, 1926.
389
BA Mokhtar, Laporan tim pendamai Bagansiapiapi, 1946.
246
pers era Kolonial sempat menyebut Bagansiapiapi sebagai “Klein Chicago” (Chicago
Kecil) dalam laporan beritanya. Sebutan ini mengingat bahwa kehidupan komunitas
China di Bagansiapiapi, terindikasikan memiliki kemiripan dengan yang terdapat di
Chicago, Amerika Serikat, yakni; adanya kelompok gangster yang melakukan teror
terhadap masyarakat, Dalam melakukan aksinya, kelompok ini tidak segan-segan
untuk melakukan intimidasi, pemerasan, hingga pembunuhan. Kelompok gangster
melakukan pemungutan uang terhadap para pengusaha /tauke dan pedagang di
Bagansiapiapi. Meskipun terdapat tindakan dari Pemerintah Hindia terhadap
keberadaan gang ini, yaitu dengan ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara, laporan
Kontrolir Baalbargen nampaknya mengindikasikan keberlangsungan kejahatan
terorganisir tersebut. 390 Bahwa kelompok organisasi rahasia China ini, tidak segan-
segannya untuk membunuh dan khususnya mereka adalah petarung yang berasal dari
China Daratan.391 Terdapat teror yang cukup dalam terhadap para nelayan, terutama
berasal dari utusan kongsie agresif rahasia. Para tauke, dan tidak ada menyangkut hal
lain, akan tetapi hanya tentang “pembayaran” saja. Tauke mungkin saja melawan, tapi
dalam kenyataannya ia tetap saja membayar karena ia tahu, jika tidak, usahanya akan
segera dihentikan oleh mereka. Intimidasi terutama dilakukan terhadap nelayan dan
kuli, dalam waktu singkat saja telah menandakan kerugian sejumah besar uang.
Mereka kemudian memilih membayar daripada mengambil berisiko. Orang akan
bertanya-tanya mengapa mereka tidak meminta bantuan Dewan Kota untuk segera
diambil tindakan. Jawabannya sederhana saja; Pertama, tidak adanya hubungan
darah dengan Dewan Kota, kedua; juga bukan oleh sulitnya perlindungan oleh polisi
terhadap nelayan dan kuli di laut, tetapi oleh sedemikian luasnya percabangan kongsie
rahasia, bahwa mereka memiliki "agen"- nya di Melaka, Penang dan Singapura, di
tempat-tempat dimana pedagang ikan Bagan berada dan ia cepat atau lambat akan
jatuh sebagai korban balas dendam dari gang jika ia berani melaporkan intimidasi gang
tersebut. Tauke mungkin terhalang, namun akan ada campur tangan polisi, dengan
senyum ramah ia memastikan bahwa ia tidak punya uang untuk membayar, bahkan
hanya sedikit pengetahuan tentang komunitas Rahasia. Kadang-kadang orang
menemukan sejumlah kecil pesan keluar yang dikenal sebagai "tangan hitam” atau
sebagai sebuah kata yang harus ditebak. Kita tidak boleh berpikir bahwa kongsie tidak
melakukan apa-apa sama sekali untuk melindungi apa yang tauke lakukan. Bukan
begitu, mereka memang dilindungi terhadap kelakuan buruk lainnya dari kongsie itu,
khususnya terhadap pembajakan. Pertanyaannya, Siapa sajakah yang terlibat?
Jawabannya, tidak terpikirkan untuk tidak berafiliasi dengan kongsie. Jaring dan alat
penangkap ikan lainnya, sampan, bahkan barang dalam gudang akan menghilang
bagai “udara menguap” yang diakibatkan oleh berbagai pencurian, karena setiap
orang tahu bahwa mereka dapat melakukan apa-pun sebagai balasannya. Hanya
390
De Sumatra Post, De Terreur van Bagan Si Api-Api; 16-12-1925. Bahwa sekitar 200 orang
yang terlibat dengan aksi kejahatan ini telah ditahan, dan dihukum penjara.
391 De Sumatra Post; GANGSTERS OP SUMATRA: Chineesche Geheime Genootschappen te
kongsie agresiflah yang dapat melakukan untuk "mendapatkan uang" dan keunggulan
pun diperoleh melalui jumlah keanggotaan yang besar, hal ini diasumsikan telah
menggring nelayan dan tauke pada situasi suram; dan mereka pun menghadapinya
dengan cemas. Kadang-kadang terjadi, bahwa kota tiba-tiba berada dalam
kekacauan, di mana-mana suara gagap ketakutan dan histeris terdengar dari kedei
China dengan suara keras, "Sauve qui peut", ya, selamatkan diri masing-masing, yaitu
seruan untuk warga yang tengah melintas dan berada di jalanan dan segera saja situasi
itu tertutup untuk umum, hingga orang-orang tergesa-gesa mencoba untuk segera
mencapai rumah atau pun “club house,” biasanya kelompok ini kemudian
menghilang dengan meninggalkan lawan di dekat anak tangga dengan beberapa luka
yang bisa saja parah yang diakibatkan oleh pukulan benda tumpul. “Pekerjaan” yang
sebenarnya dilakukan oleh "petarung profesional" yang sering tak terduga dan secara
rahasia tiba dari China Daratan; Orang tidak perlu berpikir bahwa apa pun berita
tentang korban yang terjadi karena dendam dan dalam upaya terus mempertahankan
eksistensi kongsie tersebut. Pembunuhan terakhir dengan cara yang sama terjadi di
akhir bulan Desember 1927. Kongsie Ho Hm yang berada dibawah pengawasan polisi
nampaknya telah bertindak di luar koridor; berikut ini adalah nama bersalah lainnya
seperti; Hok Gie, dan lainnya yang secara substansial memiliki kepentingan "pendirian
Serikat Pedagang Ikan,” dan akhirnya adalah upaya pembersihan pengikut Sara Tiam
Boei pada tahun 1925 yang dilakukan oleh Kontrolir Smith. Para pedagang, dipimpin
klan Oei, merupakan bagian terkecil dari Populasi. Kongsie Rahasia kecil yang
kepentingannya dilindungi setelah “penghinaan” Sara Tiam, juga menjadi sibuk
dengan urusan kongsie tersebut.
“Chicago Kecil”
Banyak tauke kecil, yang sebelumnya berkontribusi pada Sam Tiam (serikat pekerja
“Chin Liong Tong”), berpikir ia telah tiba dengan selamat dibawah pengawasan
Pemerintah. Sam Tiam, bahkan pergi sendiri setelah melakukan intimidasi kecil
terhadap Ho Hm. Sam Tiam (Chin Liong Tong) tidak dapat memenuhi pembayaran
secara bertahap akan kewajiban keuangannya, kemudian petarung dan pemimpin
mereka bertemu untuk penghormatan dan pemulihan reputasi. Pemimpin mereka
Kho Poei Loy semacam imam "terkenal" dan pawang hujan akhirnya memutuskan
untuk melawan intimidasi tersebut. Karena visibilitas polisi menyababkan ia
meninggalkan segalanya termasuk pengembangan bisnisnya di Klang dan Pulau
Ketam. Ketika akhirnya para petarung Ho Hm begitu berani yang disebabkan istri dari
Sam Tiam mengalami penghinaan kasar - saudara perempuan dari salah satu petarung
Sam Tiam, berakibat pada diputuskannya kematian bagi dua orang dari pihak
lawannya terutama yang terlibat dalam penghinaan berat tersebut. Keputusan itu
adalah “menembaknya” dengan menggunakan revolver di Kota didepan umum, yang
juga memiliki fungsi sebagai propaganda balas dendam, uang sangat dibutuhkan
untuk membayar tiga petarung bersenjata sejumlah seribu gulden. Kebiasaan korban
diidentifikasi, kongsie tahu bahwa untuk pembunuhan hanya ditakuti di daerah
250
terpencil dari kota, akan tetapi, siapakah yang merasa cukup aman berada di pusat
kota tersebut? bahwa pada realitanya semua kedei Kopi dan hiburan, terutama
berada di bawah kendali kongsie mereka sendiri. Beberapa kedai kopi tetap dalam
"diatas jam" malam yang diatur oleh “sahabat” yang sering mengunjungi mereka, ini
bagai menjadi “berbagi” dari pemiik kedei kopi sebagai ganti “perlindungan” mereka.
Setiap waktu di akhir Desember, dimasa yang tenang bagi Perikanan, kota penuh
sesak dengan nelayan muda; pada sore harinya di pusat kota di luar restoran, orang
Cina di teater dan banyak lagi kedei kopi, tempat mereka mencari hiburan. Banyak
wajah-wajah yang asing, bahkan juga nelayan muda dari pemukiman tetangga,
sehingga tidak terlihat dan tidak disadari adanya puluhan orang asing tiba disana.
Pada tanggal 23 Desember 1927 di malam hari jam Sembilan, tiba-tiba terjadi suatu
peristiwa yang aneh di saat itu, dipersimpangan paling ramai yang terang benderang,
tepat sebelum teater China. Tiga laki-laki keluar dari kerumunan kemudian pergi dan
mereka berjalan di bawah keremangan yang samar-samar gelap di kaki lima (jalan
wilayah untuk pertokoan) pada arah sudut kedei kopi, terdengar beberapa tembakan
dan terlihat dua korban mati terhempas. Penduduk yang melihat kejadian pun buru-
buru meninggalkan lokasi kejadian dan menghilang. Seorang anggota polisi kota
bergegas menuju ke lokasi. Sementara beberapa orang dari kelompok gang itu
menjalankan “strategi pengalihan perhatian” dengan berteriak kebakaran, dan
dengan demikian menarik perhatian warga di bahagian lain kota. Ini adalah
kebingungan besar karena rumah-rumah kayu yang dibangun di Bagan telah dikenal
dengan ancaman bencana kebakaran yang mengerikan dan "alarm kebakaran" segera
membawa serta seluruh penduduk pada suatu kondisi “ketakutan yang menggila,”
dinyatakan dalam sebuah “home run” sesegera mungkin untuk menutup dan
mengambil segala langkah-langkah yang diperlukan untuk keselamatan keluarga dan
harta benda. Sebelum kita tahu persis apa yang terjadi, para pelaku telah melarikan
diri dengan menggunakan sampan.392 Persaingan dalam memperebutkan sumber
daya yang terbatas, ternyata telah menimbulkan sebuah persoalan sosial dalam
komunitas industri ikan di Bagansiapiapi seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa
warta di era Kolonial. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial adalah dengan
dilakukannya penahanan terhadap sejumlah orang yang dianggap terlibat dalam
keanggotaan “Gangster”.
392Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, “Het Leestafel
Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.”
251
“kehidupan malam.” Prostitusi,393 merupakan salah satu sisi kelam yang seolah
beriringan dengan judi(diantaranya permainan dadu), dan opium. Bisnis primitif ini,
bahkan bukan tidak mungkin berbasis pada sebuah jejaring trafficking sebagaimana
yang berhasil diungkap polisi di tahun 1940.
Tangisan seorang gadis muda di pelabuhan Tanjung Balai yang hendak
bepergian ke Bagansiapiapi, menarik perhatian seorang mantri-polisi yang
kemudian menghampirinya. Interograsi yang dilakukan terhadap gadis itu,
mengarah pada seorang perempuan tua. Kemudian gadis itu dipulangkan ke
Medan, sementara, polisi terus memeriksa sang perempuan tua, yang
mengatakan bahwa ia menebus gadis itu dari orang tuanya senilai f104. Kasus
ini, dibawa sampai ke pengadilan di medan yang diketuai oleh Hymans,
dimana sang perempuan tua mengaku bahwa ia telah berbicara dengan sang
ayah dari gadis, untuk menikah dengan cucunya yang tinggal di Bagan, dan
tentunya sang gadis harus pergi kesana. Akan tetapi, gadis itu sadar bahwa ia
telah dikhianati, sehingga, ia menangis sebagaimana diketemukan oleh
mantri polisi dalam perjalanannya menuju Bagansiapiapi. Menurut
keterangan dari polisi di Bagan, ternyata perempuan tua itu dikenal sebagai
pemilik rumah bordir. Pengadilan lalu menjatuhkan hukuman dua tahun
penjara kepada sang perempuan tua itu. 394
Bahwa permulaan abad ke-20 sebagai awal bermulanya kelompok nasionalis Kuo Min
Tang dan tumbangnya dinasti kerajaan tradisional, selain juga kelompok komunis
dibawah Mao Zedong. Tidak dapat dipungkiri sebaran pengaruh berbagai kelompok
tadi, terutama pada orang-orang China di negeri rantau, tidak terkecuali di Hindia
Belanda, terutama di sentra-sentra pemukiman orang China atau Pecinan.
Bagansiapiapi, jelas saja yang telah menjadi bahagian dari sistem perdagangan dunia
ikut terkena pengaruhnya. Sebagai totok atau singkeh yang masih memiliki
keterikatan yang tinggi terhadap tanah leluhurnya, memungkin pemukim China di
Bagansiapiapi memiliki hubungan yang intens dengan kelompok-kelompok di China
Daratan. Tidak seperti decade kedua abad ke-20 sebagaimana yang dilaporkan
kontrolir Haga bahwa orang China di Bagansiapiapi, persoalan revolusi China: Joen Sie
Kay , mereka menanggapinya dengan cukup dingin dan lebih terfokus ke laut dan
harga ikan di pasar Jawa; Belanda mencatat bahwa hingga tahun 1930-an, telah
berdiri beberapa kelompok diantaranya adalah kelompok pro-Kuo Min Tang yang
memiliki pengaruh kuat dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Pengaruh ini,
ternyata juga memiliki dampak psikologis terutama masa pasca perang dunia II
dimana negeri China terlibat didalamnya dan masuk sebagai kelompok negara
pemenang perang, dengan Jepang sebagai rivalnya.
393
Persoalan prostitusi di Bagan ini, pernah diuangkap oleh kontrolir B.J.Haga; De Sumatra Post,
3 April 1918, “De Verlei Prosititutie.”
394 De Sumatra post, 14-02-1940; “Een Chineesch meisje „verhandeld” De politie kwam er
tusschenbeide.”
252
Kedatangan tentara Jepang ini, pada awalnya disambut dengan sukacita oleh
masyarakat Indonesia, yang menandai runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda;
Jepang menangkapi orang-orang Eropa dan memasukkannya dalam kamp-tahanan;
orang Eropa di Bagansiapiapi sebagaimana juga diwilayah lain di lingkup Afdeeling
Bengkalis, ditempat dalam kamp di Siantar dan Bangkinang. Bagansiapiapi merupakan
salah satu kota yang ikut menderita. Industri perikanan terhenti total, segenap daya
dan upaya benar-benar dikerahkan untuk mendukung kepentingan militer Jepang
dalam memenangkan perang Asia Timur Raya. Kekejaman Jepang, tentu kita tidak
meragukannya lagi, juga berlaku di Bagansiapiapi. Akan tetapi, sifat hubungan yang
ambigu, barangkali telah menyelamatkan banyak warga. Bahwa warga Bagansiapiapi,
ikut menyumbangkan tiga unit pesawat tempur pada balatentara Jepang, 397
merupakan mekanisme penyelamatan diri yang wajar-wajar saja pada masa perang.
395 Lihat dalam “Chronology of events Japan and Japanese Occupied Countries; April 1945;
Procereur Generaal bij het Hooggerechtshaf in Nederlands Indie, No. 181.
396 Aiko Kurasawa 1993, hal.291; Noordjanah, 2004, hal.21.
397
Pesawat tempur dari jepang yang tiba di Pekanbaru ini, adalah berasal dari hasil sumbangan
masyarakat China Bagansiapiapi sejumlah f250.000, penyerahan dilakukan di Pekanbaru pada
tanggal 15 Maret 1945, dengan nama Bagansiapiapi nomor I, II dan III. Dalam “Sinar Baroe,” 29
Maret 1945.
253
Meskipun demikian, menarik apa yang disampaikan oleh Jenderal Yamamoto; salah
seorang panglima militer Jepang, bahwa,
“masyarakat China tampak patuh diluar, tetapi tidak didalam.”398
Pada waktu-waktu berikutnya, sumbangan masyarakat China ini diiringi dengan
penekanan akan ketulusan hati mereka, dan sangat diragukan bahwa pihak militer
Jepang mempercayai akan hal itu. Dampaknya, loyalitas masyarakat China ditanggapi
secara skeptis oleh penguasa Jepang yang cenderung bersikap negative terutama
terhadap kalangan pengusaha China. Sebaliknya, penguasa militer Jepang lebih
kompomistis terhadap pribumi. Meskipun demikian, pada masa ini, perdagangan yang
terjadi antara pantai timur Sumatra dengan Semenanjung, terutama dilakukan oleh
kelompok China dengan menggunakan tonkang mereka. Perdagangan ini
menggunakan nama Jepang, dan orang China lebih hanya kepada penyedia Tonkang,
dan menerima upah pembayaran atas jasanya itu. Hal ini sungguh merupakan
pelayaran perdagangan yang berat, disebabkan aksi blokade oleh pihak sekutu; rute
pelayaran melalui Belawan, Saynon dan akhirnya menuju Semenanjung, menjadi rute
biasa saat itu. Masa pendudukan Jepang, adalah periode dimana rasa kebangsaan
nasional Indonesia Menguat. Segala unsur yang berbau Belanda, dihapuskan, mulai
dari penggunaan bahasa, firma, organisasi, hingga nama-nama jalan. Masa sebelum
perang, jalan di Bagansiapiapi didominasi oleh nama Belanda, seperti; Haga, Kerk,
Wilhemina atau pun Zee-Straat; nama-nama ini tidak lagi ditemui pasca pendudukan
Jepang digantikan dengan nama-nama dalam bahasa Indonesia. Penguatan ke-
Indonesia-an ini, juga secara tidak langsung didukung oleh kelompok pengusaha
China, dimana Jepang mewajibkan mereka memberikan dukungan dana atas
pendirian organisasi-organisasi pribumi, dan sepertinya, proses perubahan ini tidak
mencirikan sistem pergerakan lokal yang terbatas, akan tetapi meliputi suatu jejaring
gerakan kaum nasionalis yang tumbuh subur diseluruh wilayah pendudukan Jepang.
Contohnya Kita dapat melihat pada pembentukan organisasi Ikatan Pemuda Riau399,
Riau Ksoyey kai, dan juga Riau Syu Sangi Kai,400 yang memiliki perwakilan dari
Sembilan daerah di Riau, termasuk Bagansiapiapi. Pada periode ini, kebijakan politik
kewilayahan penjajahan Jepang, mengkondisikan orang Riau dalam upaya penegasan
identitas kebangsaan yang nampaknya parallel dengan identitas kewilayahan. Kondisi
ini, menjadikan peranan elit pribumi pun menguat, begitu pula dengan yang terjadi di
Bagansiapiapi. Dijatuhkannya Bom Atom di Hirosima dan Nagasaki pada Agustus
1945, membuat Jepang takluk, dan kemenangan berada di tangan Sekutu, termasuk
Pekanbaru, dihadiri oleh Sembilan perwakilan dari daerah-daerah di Riau, dimana untuk
Bagansiapiapi, anggota-pilihan diwakili oleh Abdoerrab dan untuk anggota angkatan diwakili oleh
Oei Tek Sek; dalam “Kita-Sumatora-Sinbun”: Surat Kabar Harian, tanggal 18 Desember 1943.
254
negara China sebagai sekutunya. Situasi ini, memberikan efek nyata kepada pemukim
Bagansiapiapi, efek yang berkembang menjadi suatu peristiwa yang menjadi catatan
suram sebagaimana dipaparkan dibahagian selanjutnya.
255
9
256
“Perang Bagan”
Kapitulasi Jepang dan Kemerdekaan Republik
Pada bulan Juli 1945 seorang Inggris mantan pekebun di Sumatra: Kapten Lodge,
bersama sepasukan kecil dengan parasut mendarat disebuah kampung didekat
Bagansiapiapi (sebuah tempat dimana tidak adanya jalan raya), dimana dalam
posisinya itu ia mencoba melihat apakah terdapat peluang guna mengumpulkan
orang-orang untuk menghadapi Jepang di Bagansiapiapi; dikatakan bahwa ia bisa
menyediakan senjata untuk sejumlah 50 orang pasukan. Selain itu, penempatan
pasukan ini sebagai bahagian dari rencana menjalin kontak dan mengorganisir gerakan
bawah tanah untuk menyediakan kekuatan guna membantu pendaratan Sekutu ditiga
titik: Rantau Prapat, Kutaraja dan Bagansiapiapi.401 Akan tetapi, tidak jelas rencana
ini dengan terjadinya kapitulasi Jepang tanggal 15 Agustus 1945;402 Bangsa Indonesia
membuat suatu peristiwa yang sangat penting dan mendasar, diproklamasikannya
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan segera sesudahnya pemerintahan
pun dibentuk; Sukarno dan Hatta ditunjuk sebagai Presiden dan wakil presiden.
Sementara itu, Sumatra menjadi sebuah provinsi dengan Medan sebagai ibukota dan
mengutus Mr.Hassan sebagai gubernurnya. Mr.Hassan adalah seorang tokoh yang
terlibat aktif dalam pergerakan ini, sebaliknya, sulitnya akses komunikasi saat itu,
menjadikan peristiwa yang sangat besar dalam sejarah republik seolah-olah teramat
jauhnya bagi khalayak di pantai timur Sumatra. Yang sangat nyata adalah berhentinya
rezim fasis Jepang sebagai pemegang kekuasaan dan beralih menjadi penjaga belaka
dengan sia-sia menanti kedatangan Sekutu sebagai sang pemenang perang.
Pemberlakuan ketat atas informasi, menjadikan hanya sedikit saja orang Indonesia
yang mengetahui khabar proklamasi itu, beberapa hari setelah dilakukannya rapat
panglima Jepang di Singapura yang akhirnya menerima kekalahannya. Melalui siaran
radio, pengumuman peristiwa itu juga sekaligus penetapan Jepang sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban umum menjelang kedatangan
Sekutu. Belanda, yang mencoba menempatkan kembali pasukannya pada tahun 1946,
nampaknya diiringi dengan meluasnya antagonisme terhadap orang China di eks
Hindia. Belanda berupaya menerapkan kebijakan rekrutmen terhadap orang-orang
China sebagai bahagian dari kekuatannya; suatu posisi yang akan menyebabkan orang
China di Indonesia akan terombang-ambing dalam sebuah gelombang besar
401 Het Koninkrijk Der Nederlanden in De Tweede Wereldoorlog, 1939-1945, Deel IIc, Dr.L.De
Jong, tahun 1986, hal.245, 247, 280.
402 Bahwa diketahui juga, seorang officer Inggris mengunjungi Bagansiapiapi pasca Kapitulasi,
dan mengadakan kontak dengan pemukim China; tidak diketahui apakah orang Inggris itu adalah
orang yang sama yang terdapat dalam catatan Le Jong, 1986. Lihat Wan Saleh Tamin, 1972.
257
perubahan. Tsiang Tiang Chun, seorang konsul jendral China di Batavia yang
mengetahui rencana ini, menulis kepada Letnan Jendral Belanda; van Mook, meminta
agar Belanda membatalkan rencana itu yang akan membahayakan keselamatan orang
China lainnya diseluruh wilayah republik, akan tetapi, ternyata permintaan ini
nampaknya sia-sia saja. Belanda, dalam tahun-tahun revolusi juga melakukan
propaganda termasuk melalui media pers untuk secara ekspresif menyatakan bahwa
masyarakat China di eks Hindia merupakan salah satu unsur dari kekuatannya.
Meskipun, aksi ini nampaknya tidak berhasil menghimpun sejumlah kekuatan yang
sedianya menjadi modal dalam melakukan re-kolonialisme, akan tetapi Belanda telah
berhasil menanamkan politik adu-dombanya yang memposisikan sikap berhadap-
hadapan antara orang Indonesia dan China, seperti yang terjadi di Bagansiapiapi;
bahwa akhirnya Belanda benar-benar kembali ke Bagan dalam suatu aksi militer
ditahun 1948, saat itu, situasi secara umum bahwa Bagansiapiapi tidak dalam posisi
untuk berpihak pada Belanda.403 Bagaimanapun juga, sedari awal sesungguhnya
Belanda tidak pernah benar-benar berniat untuk melepas Bagansiapiapi. Pada bulan
Oktober, konsul Belanda di Singapura, meminta kepada perwakilan China disana
untuk segera mengirimkan bantuan obat-obatan ke Bagansiapiapi menggunakan
kapal perangnya, permintaan yang lagi-lagi ditolak dengan alasan yang memang dapat
dipahami mengingat latar konflik 1946.404 Belanda, akhirnya kembali memainkan
peran lamanya sebagai suatu kekuatan utamanya di perairan selat Melaka; aksi
blokade. Meskipun demikian, nampaknya untuk suatu alasan, Belanda mengizinkan
suatu pelayaran dari Singapura menuju Bagansiapiapi yang bermuatan obat-obatan,
makanan dan pakaian; dan kapal kembali dengan memuat kayu dan ikan menuju
Singapura.405
The Singapore Free Press tanggal 10 Oktober 1946 menulis sejumlah 1500 pengungsi
berasal dari Bagansiapiapi, telah mencapai Pulau Ketam dan sejumlah lainnya
mendarat dipantai Selangor Malaysia, yang terbagi dalam perahu-perahu kecil,
pengungsi yang dikatakan berasal dari konflik rasial.406 Beberapa kelompok yang
terus saja berdatangan ini, separuh dari mereka adalah perempuan dan anak-anak;
dipantai Kuala Selangor mencapai 350 orang, dan sebagaimana diketahui bahwa
403
Serangkaian catatan menunjukkan bahwa Belanda begitu percaya diri, bahwa mereka akan
kembali lagi berkuasa di wilayah eks Hindia, termasuk Bagansiapiapi.
404
Konsul Belanda di Singapura, M.F.Vigeveno, menyampaikan tiga ton obat-obatan kepada
Konsul Jendral Tiongkok di Singapura, dr.Wu Paak Shing, yang dimaksudkan untuk korban konflik
di Bagansiaiapi. Semula obat-obatan telah dimuat dikapal Perang Belanda, akan tetapi segera
dipanggil pulang dan selanjutnya dua orang utusan Tionghoa-indonesa yang akan pergi ke
Bagansiapiapi untuk mencoba mencari suatu solusi damai. Pandji Ra’jat, 11 Oktober 1946.
405
Akan tetapi, sebelum kembali ke Singapura diharuskan untuk diperiksa oleh Belanda terlebih
dahulu, Pelita Ra’jat, 30 September 1947.
406 Berita berjudul “Chinese Evacuate Api Api.” Sementara itu, pemberitaan yang sama dari The
Straits Times, 10 Oktober 1946, Bagan Api Api Fisherfolk To Settle Here.
258
hingga awal Oktober 1946 sejumlah kelompok kecil masih terus saja berdatangan 407
sehingga tercatat telah mencapai angka lebih 2000 jiwa.408 Sementara itu pula,
simpang siur berita tentang konflik anti China yang beredar di Singapura dan
Semenanjung, berita yang umumnya terlihat memojokkan pemerintah republik:
seperti jumlah korban jiwa yang belum melalui penyelidikan resmi, perlakukan
terhadap perempuan dan anak-anak diluar batas, dan tekanan-tekanan terhadap
pemerintah Indonesia atas peristiwa itu; Sebuah sumber di Singapura menuliskan:
“….Mengapa Hitler gagal? Dan mengapa pula imperialisme Jepang
dikalahkan? Setiap orang tahu kisah ini dengan benar. Sejarah memberikan
kita bukti lainnya bahwa negeri yang menjadi tempat imperialisme dan
kekerasan akan menghancurkan dirinya sendiri. Kita telah beberapa kali
mengingatkan pemerintah Indonesia, sebagaimana presiden Chiang telah
berulangkali mengungkapkan melalui korespondensi luan negeri, bangsa
China bersimpati terhadap pergerakan Indonesia…. Permintaan serius agar
pemerintah Indonesia menghentikan adanya tindakan pembantaian terhadap
orang China… darah di Tangerang belumlah mongering, disini muncul pula
insiden lainnya di Bagan, kami tidak dapat menanggungkannya lebih lama
lagi…”409
Tekanan kuat bagi perjuangan republik ini, sebagaimana digambarkan oleh
H.M.Lutfi410 dalam tulisannya sebagai:
“Badai Taufan yang kita tempoeh; Oetang Bidoek Beloem Loenas, Toekang
Dajung Menagih Poela.”
Pasca pertempuran dua hari 18-19 September itu, antara TRI dan orang China di
Bagansiapiapi, Bagan pun telah terputus hubungannya dengan pedalaman yang
berarti tidak terdapat lagi persediaan makanan yang akan datang dari sana, lalu
meminta bantuan ke Medan dan juga Singapura. Terdapat juga berita, bahwa jika
pihak TRI melakukan penyerangan kembali, maka pemukim China Bagan akan
melakukan taktik bumi hangus.411 Tidak cukup disitu, dikatakan dalam editorial Chung
Nan Jih Pao yang ditulis Ta Kung Pao, berencana akan mengirimkan kapal perang “FU
PO” yang sedang bersandar di pelabuhan Singapura menuju Bagansiapiapi untuk
407
“More Api Api refuges reach Malaya.” Singapore Free Press, 11 Oktober 1946.
408
Surat Sekretariat Jendral Inggris di Singapura kepada Konsul Belanda, tanggal 18 Oktober
1946.
409 An Urgent Appeal for the Overses Chinese in the Netherlands East Indies, Ed, Te Kung Pao, 24
Sptember 1946.
410 Sumber Penerangan, 30 September 1946.
411
Soeloeh Ra’jat, 27 September 1946: “Keadaan di Bagan Si Api Api, Tuan Gani akan Bertindak;”
menurut berita surat kabar “Mayung Siang Pao, kalangan Tionghoa di Singapura berpendapat,
orang-orang Tionghoa di Bagansiapiapi itu, akan terpaksa menjalankan politik “Boemi Angoes”
apabila orang-orang Indonesia menyerang kembali.
259
412 Cosulaat Generaal der Nederlanden te Shanghai, 9 Oktober 1946, Chineesche Pers: “Chinese
Warship Asked To Go To Save the Chinese in Bagan,” Ta Kung Pao. Pemberitaan surat kabar di
Singapura juga terdapat kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Bagan.
413
Bahwa perwakilan Kuo Min Tang di Padang; Oeh Kioeh Peng melalui diskusinya, dalam
Lembar Geheim, “Het Incident Bagan Si Api Api (De Onlusten in Bagan Si Api Api in Maart –
September 1946, afgesloten, 20 Oktober 1948, Koleksi ANRI.
414
Soeloeh Ra’jat, 26 September 1946, “Perkelahian Hebat di Bagan Si Api Api: Perkelaihan
chawatir akan meluap ke tempat lain.”
415
Sebagaimana diberitakan oleh The Straits Times, 27 September 1946, Consul For Bagan Api
Api: bahwa Konsul China di Kuala Lumpur, Mr.M.S.Hsu, dengan kapal motor yang disediakan
oleh asosiasi perdagangan di Klang, segera menuju Bagan.
416
Antaria(Pematang Siantar), 5 Oktober 1946, “Bagan Si Api Api.”
260
417
Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, 28 Maret 1946, koleksi: Nederlands Instituut voor
oorlogsdocumentatie.
418
Soeloeh Ra’jat, 5 Oktober 1946; “Kegadoehan di Bagansiapiapi, Penjelasan Gubernur Hassan.”
419Merdeka: Suara Rakjat Republik, 25 Oktober 1946, “Pemberesan Bagansiapiapi: Keadaan
421
Tan Pok, seorang China terkaya di Bagansiapiapi pada masa revolusi, meskipun diduga atas
peran dalam perdagangan penyelundupanlah berasalnya senjata orang China di Bagansiapiapi,
akan tetapi, Tan Pok jugalah yang diakui dari kelompok China bagan, berperan dalam
penyelesaian damai sengketa Maret dan September 1946. Lihat Twang Peck Yang, hal.432.
422 Twang Peck Yang, hal.194.
423
Kymlicka, 1995, hal.11.
262
itu sendiri. Leo Suryadinata, membagi dalam empat golongan besar orang China sejak
era Hindia Belanda hingga pendudukan Jepang; Sin Po, Chung Hwa Hui, Partai
Tionghoa Indonesia, Identitas Ganda di era Jepang. Sin Po, sebagai surat kabar yang
dikelola peranakan didirikan pada tahun 1910 di Jakarta; merupakan pendukung
nasionalis China; mendukung penyatuan peranakan & totok, pemberian status Eropa
bagi China lokal serta pendidikan bagi anak-anak peranakan; dukungan terhadap
gerakan politik di China serta tidak ambil bagian dalam politik lokal. Chung Hua Hui,
didirikan oleh kaum peranakan tahun 1928 yang berbeda dengan Sin Po yang melihat
Negara China sebagai pelindung, melainkan menempatkan sepenuhnya kerangka
kolonial sebagai tempat bernaungnya. Kemudian Partai Tionghoa Indonesia, berbeda
dengan dua sebelumnya, partai ini berdiri tahun 1932 yang benar-benar melihat
Indonesia untuk melakukan pembangunan ekonomi, sosial dan politik, bahwa,
penguatan kaum peranakan pada dasarnya untuk pencapaian tujuannya itu. Terakhir,
seiring masuknya Jepang, maka situasi berubah. Para pemimpin anti-Jepang ditawan,
dan ada yang bekerja sama dengan pihak Jepang, dan juga terdapat didalam
BPUPKI(Badan penyelidik usaha-usaha kemerdekaan Indonesia). 424 Bahwa sebelum
sikap politis China ini mengkristal sedemikian, maka konstruksi sejarah masyarakat
China di Hindia Belanda pada abad ke-19, awalnya mereka belumlah terkondisikan
dominan dalam perekonomian; akan tetapi pada tahun 1854 mereka diperlakukan
tidak sama dengan pribumi dengan berbagai macam alasan. Atas permintaan dari
para pedagang Belanda, orang Timur Asing hak-hak perdagangan Timur asing di Hindia
Belanda sama sebagai halnya orang Eropa. China, yang jatuh di bawah Timur Asing ini,
memiliki hak-hak tertentu yang tidak dimiliki orang Indonesia. Pemerintah kolonial
membuat perbedaan yang jelas antara pribumi dan China di Hindia Belanda. China,
mampu mengambil keuntungan dari posisi mereka yang baru diperoleh, yang ternyata
menjadi keuntungan besar bagi mereka dalam jangka panjang. Di kalangan penduduk
China berpegang pada tradisi untuk mempertahankan budaya dan kembali ke
kampung halaman. Banyak dari imigran China di Hindia Belanda meninggalkan
negerinya sebagai buruh berharap untuk akhirnya, kembali ke tanah air. Namun,
tampak bahwa semakin banyak migran China menetap di periode ini di koloni.
Pemetaan China, semakin jelas, menunjukkan dominasi ekonomi di Jawa berada pada
peranakan, sementara kaum singkeh berada diluar Jawa seperti Sumatra. Perbedaan
umum lainnya menyangkut domisili; perkotaan didominasi peranakan, singkeh
biasanya berada di pedesaan. Meningkatnya jumlah imigran China pada abad ke-19,
ternyata tidak disertai kaum perempuan; hal yang berbeda di abad ke-20.
Sebagaimana yang juga terjadi di Bagansiapiapi, adalah penting, karena lebih banyak
perempuan China di Bagansiapiapi yang tiba, sehingga kaum lelakinya yang sudah tiba
lebih dulu tidak lagi “terpaksa” untuk menikahi perempuan diluar kelompoknya. Hal
ini menyebabkan generasi anak-anak China dibesarkan dengan bahasa, budaya dan
tradisi China sendiri. Selain itu, peningkatan imigran China ini yang menumbuhkan
kekuatan tersendiri dalam lingkup Hindia, bertepatan dengan munculnya gerakan
424
Suryadinata, 2002, hal.28-39.
263
nasionalis China yang mempromosikan ide identitas China secara umum. Kondisi ini,
ditengarai menjadikan
Batas-batas antara orang-orang China dan Indonesia, akhirnya menjadi lebih
tajam dari sebelumnya. 425
Gerakan reformis Khonghucu Kang Youwei dan aliran lainnya dari gerakan Pan China
telah mendorong nasionalisme China baik peranakan maupun totok, penyebaran
besar-besaran sekolah China di tahun 1900 yang dipelopori Tiong Hoa Hwee Koan di
Batavia; bahwa organisasi ini didirikan untuk menyatukan peranakan dan totok di
Hindia Belanda. Penyatuan ini, menjadi kekuatan yang dikuatirkan Belanda, bahwa
mereka akan menjadi lebih sulit untuk dikontrol; realita bahwa Tiong Hoa Hwee Koan
merupakan refleksi dari menghadapi satu lawan bersama: Belanda. Selain itu, tentu
saja keputusan itu telah melahirkan generasi-generasi yang cenderung tidak
koorporatif dengan Belanda. Menghadapi ini, Belanda bergerak untuk melakukan
pemecahan orientasi dari kerangka masyarakat China di Hindia, yang pada dasarnya
terdiri dari berbagai macam kelompok dan aliran, dialek, yang terkutub pada
peranakan dan singkeh. Salah satunya, Belanda mendorong untuk didirikannya
sekolah dasar dan membujuk orang China peranakan untuk menjauhi nasionalisme
China dan menjadi warga Hindia Belanda yang setia.426
Pada saat itu di Hindia Belanda terdapat 75 sekolah China modern, dengan total
sekitar 5500 siswa. Pemerintah kolonial melihat sekolah-sekolah ini semakin hari
sebagai ancaman dan mereka mulai merasa takut akan kehilangan pengaruh pada
populasi ini. Hal yang menyebabkan pada tahun 1908 dengan berdirinya HCS., dimana
dengan pertumbuhan dan reorganisasi sekolah Tionghoa, berarti bahwa semakin
banyak orang Tionghoa berbahasa China di Hindia Belanda dan menyadari asal China
mereka, termasuk budaya dan tradisinya. Tidak hanya dikalangan orang-orang China
saja, akan tetapi juga negara China sendiri memberikan pengaruhnya pada hubungan
sosial antar kelompok etnis di Hindia Belanda. Pengaruh pemerintah China misalnya
muncul dalam memberi dukungan kepada organisasi pendidikan Cina di Hindia
Belanda. Pemerintah China, selain mengirim guru, juga mengirimkan pengawas
sekolah ke Hindia Belanda untuk memastikan tingkat pendidikan. Pada saat yang
425
Hingga periode 1930, diketahui bahwa mayoritas China di Hindia didominasi oleh keturunan
pertama dan kedua yang berasal dari Tiongkok, perolehan pengajaran ke-China-an disekolah-
sekolah, sosialisasi nilai budaya oleh keluarga dimana ayah dan ibunya adalah totok, dan juga
kondisi bangsa Indonesia yang sedang bangkit nasionalismenya, menyebabkan tumbuhnya juga
kesadaraan nasionalisme dikalangan China Hindia, yang berorientasi pada tanah leluhurnya.
Coppel, 1983, hal.34.
426 Aksi Belanda ini, bertujuan memecah-belah masyarakat China Hindia seiring dengan
menguatnya nasionalisme pan China, dan kali itu, Belanda berhasil membentuk kelompok China
berpendidikan Belanda, dan bahkan menjadi warga Negara Belanda-Eropa; kondisi ini tidak saja
menjauhkan kelompok ini pada kelompok China lainnya di Hindia, juga menjauhkannya terhadap
gerakan nasionalisme kebangsaan Indonesia yang sedang tumbuh subur. Lihat Peck Yang
264
427 Sejarah Pendidikandi Bagansiapiapi 1912 – 1953, bersumber dari Buku San Nian Hen Yu (Jejak
3 Tahun), Tahun 1953, sebagaimana diceritakan dalam Bagansiapiapi Online Network;
428 Dilihat dalam ANRI (MVO) Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi; 30
agustus 1934 Hal 36. Laporan dari Controleur Boudewijn van duuren.
429
MVO van Bagansiapiapi, 1938. Hal 1-2
265
agama katholik.430 Adapun Kisah Biarawati yang bertugas di Bagansiapiapi 431 hingga
era perang Dunia II, dimana kelompok warga Eropa Bagansiapiapi di internir Jepang
di Kamp Padang, Bangkinang dan Sumatra Timur, dapat menjelaskan situasi orang
Eropa Bagansiapiapi pasca Kapitulasi Belanda kepada Jepang Tanggal 8 Maret 1942.432
Untuk kehidupan keagamaan Orang Melayu, dalam hal ini Agama Islam, sejak
diterbitkannya Baboel Kawaid tahun 1901, Sultan mendorong penerapan Islam
diseluruh kewilayahan Siak, termasuk juga pada sub-sub distrik onderafdeeling
Bagansiapiapi. Hal yang menyolok adalah, kuatnya perkembangan tarekat yang
terkonsentrasi di distrik Bagansiapiapi lebih dari distrik-distrik lainnya dalam wilayah
kesultanan Siak;433 bahwa Bagansiapiapi saat itu sebagaimana terdapat sebuah berita
tentang pendirian Mesjid di Brastagi yang ternyata didukung oleh komunitas Islam
yang berada di Bagansiapiapi.434 Hal ini adalah salah satu realita tentang terjalinnya
suatu jejaring hubungan antara komunitas muslim di kawasan pantai timur Sumatra
termasuk Onderafdeeling Bagansiapiapi; bahwa masa sebelumnya, kelompok Tarekat
yang berkembang menjelang akhir abad ke-19, sejumlah khalifah yang berasal dari
Tanah Putih dan Kubu telah dilantik dari Kelompok Tarekat Naqsabandi yang terletak
di Besilam Langkat.435
Bahwa sekolah China sebagai sekolah China-Belanda, yang didanai oleh pemerintah
kolonial, akan tetapi tidak dapat diakses oleh penduduk pribumi; selain juga
sebagaimana telah disampaikan, model pendidikan membuat banyak generasi muda
China tidak mengerti selain etnisnya sendiri. Selain itu, di Bagansiapiapi menunjukkan
keterlibatan penuh Eropa dalam “kesuksesan” sekolah itu; sesuatu yang tidak
dilakukan terhadap kalangan pribumi. Dan ini, tentu menjadi salah satu penyebab
terjadinya penekanan perbedaan etnis antara China dan Indonesia. Selain itu,
430
End & Weitjens, 2003: 448-449, dilihat dalam Laporan “Penelusuran Arkeologi dan Sejarah
Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau”, oleh Tim Balai Arkeologi Medan,
Universitas Sumatra Utara dan Akademi Pariwisata Medan: Lucas Partanda Koestoro,
Taufiqqurahman Setiawan, Suprayitno, Fitriaty Harahap, Ratna & Rita Margaretha Setianingsih,
(tanpa tahun).
431
Seperti kisah dalam “Verlag Van Het Eerste Jaar Dat de Zusters op Sumatra werkten, dalam
Sumber Online;
432 Seperti kisah berikut: Zuster Margaretha werkte vanaf 1928 tot aan de oorlog in
Bagansiapiapi in het tegenwordige bisdom Padang,…… Dalam “Abstracts Van Interviews met
Missionarissen”: Pijnappels,C.M, dalam Sumber Online.
433
Amir Luthfi dalam “Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam
dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942,” tahun 1991.
434 Dilihat dalam Daniel Peret, (Terjemahan)Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di
Sumatra Timur Laut, Judul asli: La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & malais de
SumatraNord-Est, Paris 1995, Edisi terjemahan Cetakan pertama Tahun 2010, hal.236
435
Dilihat dalam Buku Sejarah “Syekh Abdul Wahab: Tuan Guru Babussalam”, H.Ahmad Fuad
Said, Penerbit Pustaka Babussalam, Cetakan ke-2 Tahun 1976, hal.119-120. Tarekat Naqsabandi
ini benar-benar dikembangkan di wilayah kesultanan Siak pada sekitar tahun 1912, Amir Luthfi,
1991.
266
436
Bahwa terdapat suatu organisasi China dimana keanggotaannya harus melalui pengucapan
sumpah menurut adat dan kepercayaan China, sehingga dipandang oleh kerapatan di Bagan
telah melanggar adat kesultanan Siak; sebagai suatu ancaman terhadap identitas Melayu, orang
Melayu yang masuk menjadi anggota organisasi ini, dipandang telah melanggar adat, Amir Luthfi,
1991.
437
Anderson, 1991, jelas saja, Belanda menempatkan pribumi dalam strata terendah masyarakat
Hindia Belanda.
438 “Pihak Jepang… telah memanfaatkan warga China sebagai alat. Memang benar bahwa
masyarakat China sendiri telah mengalami banyak kesulitan dalam posisi mereka sebagai alat
Jepang, namun demikian, mereka tetap mampu mempertahankan posisi ekonomi mereka untuk
tetap diatas. Karena alasan inilah masih dijumpai sebentuk perasaan tidak suka terhadap
masyarakat China. Suatu perasaan yang cenderung menguat. Sering kita dengar orang
mengeluh, orang China selalu punya kedudukan yang bagus. Dizaman kolonial Belanda mereka
diatas. Ketika Jepang berkuasa, mereka masih tetap diatas. Jika Jepang menang, mereka akan
dilindungi pemerintah Nanking, jika sekutu yang menang mereka akan dilindungi pemerintah
Chunking, inilah bentuk-bentuk perasaan yang terungkap dari masyarakat Indonesia pada
umumnya. Perasaan ini pula yang seringkali membangkitkan rasa permusuhan yang berujung
kerusuhan antara masyarakat Indonesia dengan China.” Hatta pada dalam Twang Peck Yang,
166-7.
267
Jika pada masa sebelumnya, dominasi ekonomi dikuasai oleh peranakan, maka masa
pendudukan Jepang menunjukkan pertumbuhan kaum totok mengejar posisi
peranakan yang dominan pada masa sebelumnya.439
Akan tetapi, nampaknya hak-hak istimewa ekonomi China bukan satu-satunya
alasan untuk tumbuhnya sentimen anti-China dari orang Indonesia. Politisasi
kelompok-kelompok etnis menyebabkan ketegangan yang meningkat antara
kelompok-kelompok ini.
Pentingnya melihat betapa terhalangnya “pembauran” antara orang China dan
pribumi dalam rentang periode kolonial, bukan sebagai sebuah sikap-kebijakan
Belanda semata, melainkan juga pilihan-pilihan baik sadar ataupun tidak yang
dilakukan oleh orang-orang China, terutama terkait dengan hal-hal politis.440 Seperti
yang terjadi di Jawa, dimana kolonialisme telah menyebabkan surutnya prestise elit
pribumi dan menaikkan kelompok China ke lapisan penting dalam struktur masyarakat
Hindia, sehingga, orang-orang China menjadi tidak tertarik untuk berpihak kepada
pribumi. Sementara itu meluasnya kekuasaan Belanda di wilayah pantai timur
termasuk Siak dimana berlokasinya Bagansiapiapi, dan serangkaian proses
menyebabkan merosotnya prestise penguasa Melayu dan menguatnya posisi China di
Bagansiapiapi; penguasaan pengelolaan sumber daya sebagai daya dorong keatas;
akan mengukuhkan jejaring orang-orang China disepanjang pantai timur dan juga
Semenanjung. Bermula sebagai pemegang pacht(hak sewa), kekuatan ekonomi
menempatkan kemudahan dalam jalinan hubungan tradisional dan orientasi yang
tidak melibatkan pribumi. Pada tahun 1928, Orang China mendirikan sebuah
organisasi sebagai wadah pergerakan, Chung Hua Hui; yang dimana dimotori oleh
kelompok peranakan dan tidak melibatkan totok. Arah dari institusi ini menjadi jelas
dengan digunakannya bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Bahwa satu
dekade setelah pendirian sekolah Belanda China, Belanda kembali menawarkan status
kewargaan (kekawulaan) yang jumlahnya terus meningkat. Disebut-sebut pendirian
Chung Hua Hui telah berhasil memecah masyarakat China yang semula sangat
berorientasi negeri leluhur, sebahagian berpindah kepada Belanda; memisahkan
sekelompok elit dari kelompoknya yang lebih besar. Anti tesa dari kondisi ini adalah
seperti pada tahun 1932, Partai Tionghoa Indonesia didirikan. Jika sebelumnya Chung
Hua Hui merupakan lembaga ekslusif yang semakin melebarkan jurang keterpisahan
dengan pribumi, pendirian Partai oleh peranakan China ini, bertujuan untuk
mereformasi Indonesia secara ekonomi, sosial dan politik di negara di mana setiap
orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Partai Tionghoa Indonesia yakin bahwa
China harus dimasukkan dalam masyarakat Indonesia, tetapi, populasi ini bisa
sekaligus berpegang pada budayanya sendiri. 441 Meskipun upaya dari pihak China
peranakan untuk memberikan kekuatan etnis bagi perjuangan Indonesia, diyakini saat
itu kalangan Indonesia tidak siap menerima peranakan China sebagai warga negara
penuh Indonesia.442
Sayangnya, politisasi etnis ini, tidak mendorong asimilasi penduduk China
kedalam masyarakat Indonesia, tetapi sebaliknya, semakin memperkuat saja
perbedaan etnis itu.
Batas-batas yang dibangun antara kelompok etnis bisa saja menyebabkan masalah
sosial. Ketika kelompok etnis diletakkan berlawanan satu sama lain, maka dapat
menyebabkan bentrokan. Para penguasa kolonial di Hindia Belanda menggunakan
pluralitas masyarakat untuk mengkonsolidasikan posisi mereka. Sebagaimana telah
disampaikan, kebijakan terhadap timur asing dan penduduk pribumi di bidang-bidang
tertentu seperti hak-hak perdagangan, yurisdiksi, pendidikan, segregasi pemukiman,
menghasilkan kelompok-kelompok yang terpisah muncul terpisah antar satu dengan
lainnya. Perbedaan di bidang ekonomi, dibentuk oleh pemerintah kolonial melalui
kebijakan dua sistemnya. Dua entitas ini sendiri pada dasarnya berbeda, terciptanya
konflik etnis, tercermin dalam setiap pergolakan terhadap kebijakan kolonial oleh
masyarakat Indonesia, maka penduduk Cina sering menjadi korban. Tegangnya
hubungan antara orang Indonesia dan China sebagai kelompok etnis, selama
perjuangan kemerdekaan terefleksi dalam kerusuhan besar; seperti di Tangerang dan
Bagansiapiapi. Orang China, selama era pendudukan Jepang dan transisi ke awal
Revolusi Indonesia, batas kelompok etnis China berubah dari dominasi peranakan
menuju pada dominasi kaum totok, sehingga varian China China dengan posisi yang
berbeda dari sebelumnya. Selain itu, menguatnya nasionalisme China, meningkatnya
aspirasi rakyat Indonesia untuk kemerdekaan, dan masa peralihan pasca perang dunia
II, menjadi alasan dalam hal ini. China di Asia Tenggara dijelaskan oleh banyak ahli
sebagai minoritas perdagangan, minoritas perantara atau borjuasi bisnis. Di daerah
padat penduduk seperti Jawa, China terutama terlibat dalam perdagangan,
sedangkan di daerah dengan kepadatan penduduk rendah, seperti di Sumatera Timur,
mereka berperan sebagai nelayan, petani atau bahkan pekerja tambang.
Akan tetapi, apapun status dan peranannya, orang China sering dilihat oleh
orang Indonesia sebagai penduduk kaya.
Posisi ekonomi China itu adalah akibat langsung dari kebijakan kolonial Belanda
dengan beberapa posisi monopoli dikalangan China. DI Bagansiapiapi, pengelolaan
pacht bagi pengupayaan sumber daya muara perikanan, terbatas pada kalangan China
dan tidak melibatkan Melayu. Selama rentang kekuasaan Belanda, pribumi dipaksa
untuk menjadi penonton pasif dan stigma pun dilekatkan kepada mereka sebagai
justifikasi situasi ini. Dengan diberlakukannya politik etis, telah merubah posisi China
dalam batas tertentu. Monopoli ditarik oleh penguasa kolonial dalam upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Memang telah terjadi
442Para ahli cenderung melihat macetnya hubungan antara Indonesia dan China, terutama
dimasa revolusi, yang memiliki akar permasalahan yang panjang.
269
443
Twang Peck Yang, hal.111-122.
270
444
BA Mukhtar, 1946, poin ke-6.
271
dan RRC.445 Pengakuan dan hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRC pada
tahun 1950, tentu menguntungkan kelompok pro RRC dan sekaligus merugikan
kelompok pro Kuo Min Tang; bahwa, orang-orang China di Bagansiapiapi, yang selalu
berada dalam pengawasan Belanda terutama menyangkut dengan dinamika politik di
China daratan, pasca revolusi phisik terpolarisasi dalam dua kutub besar itu. Laporan
tahun 1950, memuat ketegangan dua kelompok China ini di Bagansiapiapi yang
meskipun tidak berujung pada kontak phisik, namun informasi bantuan
“segerombolan orang bersenjata” (sekitar dua puluh orang) dari Bagan menuju “Sei
Bakau” cukup memberikan suasana mencekam dan menegangkan dikalangan aparat
saat itu.446 persoalan ini semakin kompleks ketika pecahnya pemberontakan PRRI
dimana China nasionalis ternyata memberikan dukungan terhadap gerakan ini.
Bagaimanapun juga, organisasi Cong Hoa Tsung Hui ini, terbukti efektif dalam upaya
pendamaian konflik di Bagan, bahwa meredanya aksi-aksi kekerasan orang China
menjelang kedatangan tim pendamai itu, diakui sebagai hasil keterlibatan Cong Hoa
Tsung Hui.
447 Pao An Tui adalah organisasi perlindungan Cina kohesif. Sebuah Pasukan Keamanan Cina di
Belanda Pendudukan Indonesia, 1945-1948.
273
perlu senjata selama layanan mereka, dan Belanda yakin bahwa hanya sepertiga dari
pasukan keamanan yang bertugas di setiap momen sebagai orang-orang China yang
berkelanjutan untuk jangka waktu yang signifikan. Meskipun beberapa kelompok
telah melakukan beberapa upaya; membentuk sebuah komunitas kohesif dan kuat
dengan bantuan partai politik dan organisasi ekonomi, kelompok keamanan seperti
Pao An Tui, akhirnya dikalahkan di masa Revolusi Indonesia. Bahwa penyelundupan
yang dilakukan orang-orang China, memainkan peran penting dalam perkembangan
setelah perang. Terdapat sekelompok besar China yang mendominasi perdagangan
penyelundupan antara Indonesia dan semenanjung. 448 Selama periode revolusi,
orang-orang China menyelundupkan berbagai produk dari Singapura; dan
Bagansiapiapi dengan cepat membangun pertukaran mata uang setelah perang. Hal
yang mencolok adalah adanya manfaat bagi republik; sejumlah senjata yang telah
dibawa oleh penyelundup begitu besarnya dan bahwa pihak berwenang tidak dapat
melacak asal-usul senjata. Setelah Perang Dunia II, Inggris adalah pihak yang
bertanggung jawab atas ketertiban dan perdamaian di Indonesia. Dalam upaya untuk
mencegah pembentukan kekosongan kekuasaan dan kurangnya tenaga kerja mereka
mengenakan penegakan hukum itu kepada tentara Jepang yang ditempatkan di
Sumatra.449 Akan tetapi, hal ini dilihat sebagai solusi sementara.
Pada bulan-bulan pertama tahun 1946 dimulai dengan penarikan Inggris dan evakuasi
pasukan Jepang dan Inggris dari Indonesia. Tentara republik, yang didirikan pada
bulan Oktober 1945, menyatukan kekuatan Indonesia yang independen dan
membentuk pasukan terorganisir untuk Republik. Beberapa anggota tentara Republik
memiliki pengalaman selama pendudukan Jepang dan juga dari Belanda dilatih untuk
menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL). TRI dikembangkan selama bulan-bulan
pertama tahun 1946 untuk kekuatan sejati di Sumatera. Ada beberapa kamp
pelatihan untuk tentara dan angkatan laut didirikan di Sumatera. Salah satu cabang
dari ALRI, angkatan laut TRI, terletak di Tanjung Balai, sebuah kota pelabuhan sebelah
utara dari Bagansiapiapi. Seperti halnya di Medan dengan Po An Tui, maka di
Bagansiapiapi, korps keamanan China yang serupa pun didirikan, tapi itu tidak berada
di bawah pengawasan dan kebijakan Belanda seperti di Medan. Korps keamanan di
Bagan terutama terdiri dari anggota China dari masyarakat, memiliki senjata sendiri
dari penyelundupan di Singapura untuk membela diri terhadap kekerasan revolusi.
Pada bulan Februari, pasukan Inggris dan Belanda menduduki Bangka, sebuah pulau
timur dari Palembang. Tentu aja ini menciptakan suasana tegang di Palembang. TRI
menduga akan terjadi invasi dan pertahanan kota itu pun diperkuat.450 Di berbagai
tempat di Sumatera dimulai persiapan pasukan TRI untuk mengusir invasi Belanda.
Sementara di Bagansiapiapi, pada bulan Februari 1946 berada dalam penguasaan TRI.
TRI memiliki sekitar 300 orang tentara bersenjata dengan sekitar 100 pucuk senapan
448
Peck Yang menduga, bahwa telah dilakukan penyelundupan senjata dan amunisi yang
sebagaimana dimiliki orang China di Bagan yang tampak dalam insiden September 1946.
449 Reid, 1979.
450
OB III: 556. Ramco, Ramco Raben, hal.23.
274
dan tiga senapan mesin. Mereka memeriksa kapal-kapal yang memasuki pelabuhan
dan menjaga keamanan dan ketertiban di kota Bagan. Akan tetapi, nampaknya
suasana antara pasukan Republik dan penduduk China sangat tegang. Komisaris polisi
Riau di Sumatera, P.A. van der Poel, pada Juni 1946 melaporkan suasana tegang antara
TRI dan China di bulan Februari. Ketengangan ini dipicu kesenjangan yang cukup tinggi
tentang arti proklamasi republik; bahwa penaikan bendera Kuo Min Tang dan tidak
dikibarkannya bendera Indonesia. Peristiwa serupa, sebagai insiden bendera di Hotel
Yamato Surabaya 1945, merupakan contoh betapa persoalan ini merupakan hal
mendasar dalam sebuah revolusi. Akan tetapi, disisi lain, Belanda menganggap bahwa
meningkatnya ketegangan itu disebabkan konflik kepentingan antara keinginan rakyat
China yang memiliki tempat untuk kembalinya Belanda(?).451 digambarkan terjadinya
beberapa bentrokan kecil dalam laporan bulan Februari dari polisi Bagan, beberapa
bentrokan antara orang Indonesia dan China. Situasi ini diperuncing dengan
melintasnya pesawat terbang di atas kota dan melemparkan kertas keluar, Belanda
meyakini bahwa China melihatnya sebagai tanda bahwa pendudukan oleh pasukan
Belanda atau sekutu sudah dekat(?). Hal ini ditandai dengan sikap yang lebih kuat
terhadap tentara Republik. Ketegangan antara China dan pasukan TRI Bagan
memunculkan konflik yang meletus 12 Maret 1946. Selama peringatan Sun Yat-sen,
presiden pertama Republik China, orang-orang China di Bagan menolak perintah dari
TRI untuk menaikkan bendera merah putih disamping bendera China. Ketika TRI
memutuskan untuk menurunkan bendera, orang-orang China pun protes. Situasi ini
berakhir dengan terbunuhnya letnan CHina, Lu Ching Po, ketika ia mencoba untuk
menenangkan situasi sehingga pecah pertempuran sengit.452 Jelas saja,
Sejak insiden bendera 12 Maret 1946, dapat dikatakan bahwa hubungan
antara TRI dan orang-orang China Bagan menjadi semakin menegang saja.
Komite Nasional Indonesia di Bagan meminta TRI di Tanjung Balai untuk memperkuat
dan juga menambah persediaan makanan tambahan, karena mereka untuk yang
terakhir ini masih tergantung pada penduduk China. Sementara orang China di Bagan
adalah mayoritas, dan memiliki akses untuk memiliki berbagai senjata. Menurut
kepala urusan politik di Kantor Gubernur Sumatra, Kepala Komandan-Amacab,453 J.J.
van de Velde, bahwa apa yang telah terjadi di Bagan pada bulan Maret 1946,
sebenarnya telah menciptakan situasi yang menguntungkan bagi pendaratan tentara
Belanda disana. Bahkan lebih jauh, hal ini dapat dipandang mampu mengembalikan
dominasi Belanda atas Sumatra, akan tetapi, kurangnya pasukan menjadikan hal itu
belum mungkin dilaksanakan.454 Bahwa kemudian segalanya ditetapkan oleh kepala
polisi Indonesia dan perjanjian dibuat mengarah ke perdamaian bersenjata.
451
E-Hana, NEFIS dan CMI, 2.10.62, inv 758. DB IV.dalam Ramco Raben, hal.23.
452 Bagaimana pecahnya pertempuran ini, lihat Sudarno Mahyudin,
453
Kepala Komandan-AMACAB menjabat gubernur selama perjuangan kemerdekaan di
Indonesia. CCO AMACAB diadakan tugas militer dan sipil setelah NICA berganti nama akhir
Oktober 1940 Sekutu Militer Urusan Sipil Administrasi Cabang.Lihat Ramco Raben, hal.24.
454
E-Hana, NEFIS dan CMI, 2.10.62, inv 758.Ramco Raben, hal.24.
275
Penolakan China untuk menaikkan bendera merah putih bersama bendera China,
dilihat oleh Belanda sebagai penyebab langsung dari konflik, dan harus disebutkan
sebagai akar penyebab dari hubungan yang tegang dari suasana anti-Republik dan
sikap China. Representasi dari Republik Pekanbaru membuat beberapa konsesi untuk
suatu upaya damai. TRI menarik diri dari kota dan diizinkan untuk masuk lagi. Terjadi
gencatan senjata dan korps keamanan China pun dibekukan. Akan tetapi, jurang
konflik telah muncul dan hidup diantara TRI dan orang China Bagan.455 Selama masa
gencatan senjata ini, di bulan-bulan berikutnya hubungan antara TRI dan China
semakin menegang saja. Terdengar khabar bahwa pihak TRI akan menduduki Bagan
sebagaimana telah dikuasainya Panipahan. 456 Pertempuran di Bagansiapiapi pun
pecah tanggal 18 September 1946 setelah orang-orang China menolak perintah dari
pasukan TRI untuk menyerahkan senjata. Pada hari pertama dari pertempuran,
korban paling banyak berjatuhan di pihak China; gabungan TRI dan polisi di Bagan
dengan ALRI, menyebabkan banyak kerugian pada pihak China. Akan tetapi, segera
orang-orang China mampu untuk berkumpul kembali dan membentuk sebuah front
defensif terhadap serangan dari TRI. Setelah pertempuran sengit yang berlangsung
dua hari, orang-orang republik harus menarik diri dengan kerugian dan jatuhnya
korban tidak saja dari kalangan tentara yang gugur dihari kedua, melainkan juga
penduduk sipil Indonesia.457 Kemudian kota dikuasai oleh China. Takut akan tibanya
aksi pembalasan, dikirim kembali pesan ke markas Sekutu di Batavia di mana mereka
meminta dukungan militer; akan tetapi, satu-satunya aksi sebagai reaksi dari Sekutu
adalah pamflet yang berserakan di sekitar Bagan yang meminta pihak-pihak yang
bertikai dalam konflik itu menahan diri.458 Keterangan yang diperoleh dari pengungsi
China, bahwa pasukan ALRI mundur ke Panipahan setelah terdesak keluar dari Bagan;
sebelumnya, pemukim China di Panipahan itu sudah melarikan diri dari sana. Kota ini
kemudian benar-benar dibakar oleh kaum republik.459 Oleh Residen Riau, ditugaskan
delegasi China-Indonesia menuju Bagan guna menyelidiki peristiwa yang terjadi dan
untuk membawa kesepakatan antara para pihak yang bertikai. Pada tanggal 27
September, delegasi mencapai wilayah ini dan pada tanggal 11 Oktober delegasi
mampu menyimpulkan gencatan senjata. Sebuah komite gabungan dibentuk di Bagan
yang disusun oleh kerjasama dari kedua belah pihak. Penduduk China Bagan yang
455
(OB V: 452, 453).Ramco Raben, hal.25.
456
Oficiele Bescheiden Betreffende de Nederlansch-Indonesische Betrekkingen, van der Wal,
vijfde deel, 16 Juli – 28 Oktober 1946, hal.464-5. Tentara ALRI yang berasal dari Sumatra Utara
itu, dikenal dengan Tentara Janggut atau Jambang.
457 BA Mukhtar, 14 November 1946.
458
E-Hana, Nefis dan CMI, 2.10.62, inv 637. Ramco Raben, hal.26.
459 Sumber Belanda menyebutkan, setelah di Panipahan, pasukan pergi ke Kubu dan ada
mendatangkan pembantaian di kalangan penduduk Cina. semua ini terjadi antara 24 dan 30
September, dengan 280 korban. Akan tetapi, laporan Tim Pendamai BA Mokhtar menyebutkan
bahwa populasi China di Kubu, diamankan oleh pejabat setempat, sehingga tidak terjadi korban
jiwa sebagaimana diberitakan oleh Belanda.
276
kapal perang itu tetap bersandar di Singapura dan tidak memperoleh perintah dari Nanking untuk
menuju Bagansiapiapi.
277
konteks seperti ini, sebagaimana telah disampaikan, dapat saja dikatakan bahwa
orang China melihat diri mereka terpaksa untuk mengangkat senjata guna melawan
pasukan Republik yang telah menduduki Bagansiapiapi; juga sebagai hasil sikap
nasionalis China yang berlebihan itu. Ini dapat dijelaskan atas dasar fakta bahwa telah
terbentuknya komunitas totok di Bagan sebagai hasil periode waktu yang panjang.
Komunitas totok yang otonom ini, merasa sedikit mirip dengan penduduk Indonesia;
bahkan, bisa saja dianggap “pribumi” Bagan. Sejak kedatangannya di Bagan pada akhir
abad ke-19, sekelompok masyarakat kecil China ini masuk ke dalam ruang kontak
dengan masyarakat Melayu, terutama dalam hubungan ekonomi yang pada awalnya
diatur dalam kewenangan tradisional. Akan tetapi, selama periode kolonial Belanda,
masing-masing komunitas ini mulai dipisahkan terutama berkaitan dengan penguatan
sistem pemasukan bagi kas Hindia. Belanda terus saja “menyapih” China di Bagan
terpisah dari penduduk asli disekitar Bagan. Hal yang serupa juga berlaku selama
periode pendudukan Jepang. Seperti Belanda, Jepang juga mengakomodir orang-
orang China, menyangkut juga tradisi dan bahasa; disamping memanfaatkan
sekelompok China bagi kepentingan perdagangan Jepang masa itu. Selama
perjuangan kemerdekaan, jelas saja bahwa kaum nasionalis Indonesia mengharapkan
orang-orang China-lah yang akan beradaptasi dengan Republik yang baru merdeka:
Indonesia. Sayangnya, orang China di Bagan menolak, seperti pada insiden bendera
tanggal 12 Maret 1946 bahwa orang-orang China bertepatan dengan peringatan Sun
Yat Sen; mereka mengibarkan bendera China, akan tetapi tanpa adanya bendera
Merah Putih, protes pemuda dan TRI tidak diindahkan, maka pecahnya konflik
bersenjata antara kaum republik dan orang China pun tidak terelakkan.
“De vrije pers: ochtendbulletin,” 6 Januari 1949; pers kolonial yang melaporkan situasi kota
Bagan pada saat aksi militer Belanda kesana.
278
Masyarakat China di Bagan adalah totok yang terdiri dari etnis China yang merasa
lebih kuat terkait dengan asal, budaya dan tradisi China. Dengan diproklamasikannya
kemerdekaan, tentu mereka harus menyesuaikan diri dibawah pemerintahan
republik. Meskipun terdapat peluang bagi Belanda untuk masuk ditengah kalutnya
perang Bagan, akan tetapi, Belanda, bagaimanapun, tidak cukup siap untuk
menaklukkan pantai timur Sumatera yang berada ditangan republik. Bahkan,
kebijakan Belanda sendiri atas Bagansiapiapi tidak begitu jelas. Hasilnya, pada
September 1946, China kembali memilih untuk mengangkat senjata berhadap-
hadapan dengan TRI dan ALRI setelah mereka menolak perintah dari TRI untuk
menyerahkan senjata; dengan alasan senjata itu digunakan saat mereka melaut guna
melindungi diri dari kemungkinan serangan bajak laut. 463 Seiring berlalunya waktu,
nampaknya semakin banyak saja orang China kehilangan harapan dari periode transisi
revolusi; harapan saat Jepang takluk kepada Sekutu. Pasca peristiwa September,
terjadi kekosongan kekuasaan di Bagan, maka melalui gencatan senjata yang
ditandatangani pada 11 Oktober: dimana sebelumnya tanggal 2 Oktober, delegasi
China-Indonesia tiba di Bagan dari Bengkalis, dan juga tanggal 6 Oktober tiba tim
pendamai dari Pematang Siantar; untuk bertindak sebagai mediator antara kedua
belah pihak. China di Bagan yang dituliskan BA Mukhtar sebagai tidak mudah patuh,
akhirnya menyetujui pembentukan sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh
Badan Keamanan yang anggotanya mewakili orang-orang Indonesia dan juga China. 464
Badan keamanan ini, memiliki alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban;
kepolisian, dengan proporsi anggota sejumlah 60 : 60 untuk masing-masing orang
Indonesia dan China.
Konflik 18-19 September sebagai sebuah konflik politik, dibantah oleh Tim
Pendamai Bagan. Bahwa ketegangan antara China dan Indonesia yang
meledak pada tahun 1946 di Bagan, lebih bernuansa rasial ketimbang
beradunya kekuatan antar negara Indonesia dan China.
Jelas saja, negara China tidak memiliki kepentingan politik dalam kekalutan rasial di
Bagan, meski pada awalnya, berita yang didengar sepihak, cukup untuk memberikan
dasar bagi sikap pengiriman kapal perang yang ternyata tidak pernah dikirimkannya
itu ke Bagan. Yang jelas, pihak konsulat China, memiliki kepentingan dengan
keselamatan orang-orang China di Indonesia. Konflik yang terjadi, berupaya di block
untuk tidak meluas kesegenap wilayah lainnya di Indonesia dan sesegera mungkin
diselesaikan dalam upaya-upaya damai; sebagai persoalan sendiri sebagaimana
dinyatakan pemimpin China di Bagan dan juga merupakan segenap sikap yang
dikeluarkan oleh pihak konsulat China. Selain itu, ketua tim pendamai, BA Mukhtar,
mengatakan bahwa saat mereka tiba di Bagan, mereka disambut oleh kibaran sang
merah putih dan bendera Tiongkok, yang semakin mempertegas keyakinannya bahwa
konflik ini, bukanlah konflik politik sebagaimana diklaim oleh Belanda; juga, tulisan ini
membantah apa yang diyakini oleh Ramco Raben yang cenderung melihat konflik
“perang Bagan” sebagai suatu wujud keberpihakan orang China kepada Belanda. 465
Jika sebaliknya, tentu saja tawaran Belanda berupa obat-obatan, makanan dan
senjata, tidak akan ditolak oleh pimpinan China Bagansiapiapi. 466 Dituliskan oleh BA
Mukhtar, Ketua Tim Pendamai Bagansiapiapi:
“Persengketaan ini (18-19 September 1946) hanya pergaduhan segolongan
penduduk bangsa Tionghoa dengan golongan penduduk bangsa Indonesia.
Sekali-kali tidak ada bersangkut paut dengan dasar cita-cita Negara Republik
Indonesia dan dasar Republik Tiongkok..”
Dalam laporannya itu, BA Mukhtar memperkuat argumentasinya dimana saat
berlangsungnya perundingan perdamaian, diterima surat dari Consulate Generaal of
the Republic China di Singapura bertanggal 1 Oktober 1946 yang wujudnya
penghargaan atas usaha-usaha rombongan pendamai Bagansiapiapi dan
mengharuskan supaya Indonesia – Tionghoa akan sama-sama menyadari sebagai
bangsa yang sudah lama mempunyai perhubungan rapat untuk bersama-sama
mencari kemakmuran bersama dimasa yang akan datang. Sikap negara Tiongkok ini,
dapat dipahami bahkan pada masa Hindia, ketika orang-orang China merasa tidak
puas dengan undang-undang kekawulaan yang mewajibkan wajib militer bagi orang-
orang China, dilakukan kampanye menentang undang-undang ini, akan tetapi tidak
berhasil, disebabkan negara China menghargai perjanjian konselir tahun 1911 yang
menyatakan bahwa selama orang China yang lahir Hindia Belanda dan masih
bertempat tinggal di Hindia Belanda, mereka wajib tunduk kepada hukum Belanda.467
Ketika Hindia Belanda tamat dan digantikan oleh Republik Indonesia, maka sangat
logis konsulat China di Singapura menuliskan surat semacam itu. Sementara itu
Belanda, sebagaimana era dahulu yang selalu berupaya mengambil keuntungan dari
situasi serupa ini. Ketika agresi militer digelar, segera tampak bentangan kampanye
Belanda sebagai “sang pembebas Bagansiapiapi;” seperti dilansir sebuah surat kabar:
“gerakan militer dimaksudkan untuk membebaskan rakyat yang sedang
menderita.” 468
Bahwa pemberitaan secara gencar dimana daerah yang baru diduduki Belanda,
menderita kelaparan dan kehadiran Belanda dikatakan akan membawa Bagansiapiapi
kembali kepada kehidupan normalnya. Sebuah gambar, masyarakat-pasar, yang
diambil pada tahun 1948 ini, mungkin dapat memberikan sebuah gambaran betapa
sebenarnya kampanye tersebut dilakukan disana. Bahwa gambar berikut dan
sejumlah lainnya menunjukkan betapa masyarakat dapat melakukan kegiatan
Bevrijding van Bagan Siapi-api (Sumatra). De bevolking kon weer onmiddellijk na aankomst van
de Nederlandse troepen op de pasar de dagelijkse inkopen doen. Tanggal 21 december 1948,
lokasi Bagansiapiapi, Indonesia, koleksi “Nationaal Archief;” 2.24.04.01, 4327.
281
10
Reorientasi Identitas
kesalahpemahaman penjajah atas fungsi dan peranan para pemimpin tradisional itu.
Pada lanskap dipesisir sungai Rokan, maka, kita dapat melihat hal serupa sebelum
Belanda benar-benar menerapkan hukum kapitalis-kolonial berdampingan dengan
struktur feodal tradisional. Penempatan kewilayahan kenegerian hanya sebatas
subdistrik, digambarkan sebagai sebuah upaya mereduksi kekuasaan tradisional yang
tersebar merata disegenap kenegerian; suatu bentuk administrasi pemerintahan yang
menguntungkan Belanda, bahwa Hindia dapat dengan mudah mengendalikan
“negeri” melalui kepala distrik, subdistrik, dan para kepala kampung. Masuknya
Belanda dalam upaya pengembangan ekonomi komersil yang dilakukan besar-
besaran, atau upaya pengalihan pengumpulan pajak-bea, akan menempatkan struktur
tradisional bagai antek-antek penjajah saja. Menguatnya barat dalam setiap transaksi
kontrak, menyebabkan semakin tergantungnya tatanan tradisional terhadap
sandarannya itu. Kekuasaan yang berawal mandiri, menjelang berakhirnya Hindia
terlihat semakin tidak memiliki kekuasaan nyata di masyarakat, terutama dengan
dihilang-paksanya kekuasaan para pejabat tradisional dalam pengumpulan hasil
sumber daya. Belanda menyadari ini, bahwa, penduduk asli suatu negeri dibuktikan
dengan kepemilikan komunal atas akses terhadap sumber daya yang berada dibawah
kekuasaan Sultan. Belanda sendiri pula yang menyatakan, bahwa suku negeri yang
tidak memiliki akses sumber daya, sebagai bukan asli, melainkan newcomers yang
datang belakangan. Tentu, keterikatan tradisional antara suku dan penguasaan akses
sumber daya merupakan nafas dan inti dari struktur komunal tradisional di Tanah
Putih, Kubu dan Bangko; yang telah lama beralih dari pemerintahan “Yang dipertuan”
masa pra-Siak. Setelah melalui serangkaian tuduhan pemerasan dengan sewenang-
wenang dan kekacauan lanskap,471 penjajah menghapuskan hak-hak itu secara
bertahap; dimulai dari kontrak 23 Juni 1884, reorganisasi 1915/16, hingga
penghapusan pancung alas tahun 1929. Jika dicermati perjalanan kesejarahan tiga
kenegerian ini, maka, sebenarnya lanskap memiliki beban ganda; berkaitan dengan
kewilayahan tradisional, lainnya kepada Belanda. Beban pertama menyangkut status
negeri yang dikatakan bukan eigenlijk Siak, bukan asli Siak, atau sebagai bukan wilayah
inti, melainkan dependensi. Predikat ini, tentunya bukan tanpa konsekuensi;
sebagaimana telah disampaikan, penetrasi kerajaan induk terhadap dependensi salah
satunya pada level kepala suku. Pengangkatan kepala suku oleh kerajaan induk
menyebabkan komunitas telah kehilangan hak komunal tradisionalnya, berganti
dengan semacam jabatan yang dimiliki oleh privilege raja pusat. Sebagaimana telah
kita lihat, betapa lanskap yang berada dibawah kekuasaan kerajaan induk,
berlangsung beberapa kebijakan yang telah melemahkan kepemimpinan kepala suku;
penggantian yang didahului pemecatan terhadap kepala sebelumnya. Pemecatan ini,
bagaimanapun juga membuat malu kepala suku didepan komunitasnya. Selain itu,
kepala suku yang baru juga akan memiliki ketergantungan besar kepada yang
mengangkatnya, yang tidak pernah dialami oleh para pendahulu sebelum dirinya.
Republik tidak mendukung pranata feodal itu. Mungkin saja, pranata ini terutama
menyangkut keterkaitannya dengan kekuasaan politik, dapat menghilang sesuai
dengan semangat baru di alam kemerdekaan. Akan tetapi, aktor pelaku sosial, dapat
mempertahankan eksistensinya dalam leburan republik, terutama orde lama yang
masih diwarnai euphoria kemerdekaan. Meskipun demikian, sebagaimana
disampaikan ternyata perubahan iklim politik tidak berarti mengikis habis nilai-nilai
tradisional; sebagaimana pranata suku hingga kini masih dapat ditemui di eks lanskap
kuno Tanah Putih, wujud kukuh terpeliharanya tradisi para tetua di bahagian hulu
sungai Rokan eks kewedanaan. Situasi ini, menunjukkan kemandirian dalam
menghadapi tekanan-tekanan Belanda terutama masa reorganisasi pemerintahan
1915/16. Belanda menyebutkan terdapat lanskap yang bertahan dalam kukuhnya
tradisi, terutama pada wilayah Tanah Putih yang dihuni oleh orang-orang Tambusai
dan disekitarnya itu; bahkan reorganisasi pada awalnya tidak dapat secara signifikan
mengurangi pengaruh Penghulu yang juga masih melampaui wilayah teritorial
mereka, terutama poetjoek Penghoeloe utama yang masih memberlakukan gelar
Datuk. Akan tetapi, tekanan-tekanan dari reorganisasi 1915/16 itu, bagaimanapun
juga, pranata ini akhirnya bertransformasi menjadi kepala kampung dan berada dalam
kerapatan dibawah distrik setelah penyerahan pancong alas tahun 1929.473
Selanjutnya, berkaitan dengan migrasi orang-orang China di Bagansiapiapi,
sebagaimana telah disampaikan meningkat pesat pada gelombang kedua yang
bersamaan dengan perkembangan industri perikanan; perkembangan ini, paralel
dengan kebijakan dualisme ekonomi yang diterapkan penjajah. Pendudukan
balatentara Jepang memang menghentikan diskrimanasi ekonomi dan sosial ini, akan
tetapi, tidak berarti benar-benar telah menghentikannya. Saat ini di Bagansiapiapi,
secara khusus kita dapat menemukan dimensi keruangan kota yang bercorak
segregasi seperti yang lazim terjadi pada masa lampau. Bahwa peralihan dari era
kolonial menuju republik, dimulai dari orde lama, orde baru, dan kemudian reformasi,
tidak merubah tampilan wajah dari kota tua ini. Sebagaimana telah diketahui,
meskipun pemukiman di Bagansiapiapi dahulu didominasi oleh orang-orang China dan
Belanda, akan tetapi sebagai bahagian dari wilayah tradisional Siak, maka dipastikan
bahwa
Bagansiapiapi menjadi ruang pertemuan bagi tiga entitas; Melayu, China dan
Eropa; menjadikan Bagansiapiapi tidak saja tersegmentasikan menurut pola
pelapisan sosial berdasarkan ekonomi, melainkan juga kultural.
Orang China dengan kepemilikan dibidang industri perikanan dan perdagangannya,
sementara pribumi melayu dengan kegiatan tradisional; nelayan, pengumpulan hasil
hutan, perladangan dan juga perdagangan; terutama disokong oleh kebijakan Siak
dalam hak pengelolaan hasil-hasil bumi, terutama dipedalaman. Bagansiapiapi,
memang menjadikan penangkapan ikan sebagai penghasilan utamanya, akan tetapi,
tidak pula dapat dihambat menghulunya orang-orang China dalam upaya panglong
473
Baalbargen, MVO Bagansiapiapi 1931, hal.41.
288
kayu, perkebunan terutama karet, dalam skala yang tidak pernah dimiliki oleh orang
pribumi sebelumnya. Arus kegiatan ekonomi alternative dari perikanan ini,
menempatkan orang-orang China hingga berdampingan dengan pribumi
dipedalaman, menambah riuhnya kegiatan di muara yang masih didominasi orang-
orang China. Anak bumi, nampaknya memposisikan dirinya dalam perekonomian yang
juga ditopang oleh kekayaan alam pesisir; mangrove. Turut sertanya Melayu dalam
penyediaan kayu, rotan hingga atap, menumbuhkan industri atap-nipah hingga dalam
batas-batas tertentu, mengalami kemandegan. Kondisi ini, sebenarnya lebih layak
dilihat pada keterbatasan sumber daya pekerja, dan kondisi kewilayahan hutan
mangrove yang masih dikuasai antar klan secara tradisional, akan tetapi, penjajah
lebih suka untuk melihatnya sebagai suatu kondisi dari ketiadaannya spirit
kewirausahaan anak bumi. Meskipun demikian, situasi gemerlapnya industri ini,
ditengarai telah memicu mulai berdatangannya Melayu menuju kota pesisir ini guna
terlibat dalam jejaring konsumsi kolektif kota.474 Konsumsi kolektif kota dalam
konteks ini, adalah relung yang terkondisikan oleh riuhnya perekonomian industri
perikanan di Bagansiapiapi yang diyakini, memiliki sebaran jejaring ekonomi yang
tidak mampu jika hanya dipegang oleh orang-orang China saja. Meskipun demikian
dipercaya, pokok-pokok, sumbu-sumbu utama, masih terpolarisasi mengikuti
pemukim awal itu. Dengan demikian, pada periode ini, tidak mengherankan bahwa
Bagansiapiapi yang mulai bertransformasi menjadi “metropol,” masih berkharakter
“naga” yang mungkin akan dianggap berlebihan ketika dikatakan bahwa aromanya
tercium bahkan sebelum pengamat Eropa yang berkunjung menjejakkan kakinya
dipelabuhan.
Bahwa persoalan yang mengemuka dalam rentang perkembangan kota hingga empat
dasawarsa diawal abad ke-20, dimana terdapat indikasi yang menunjukkan
ketidakpaduan struktur sosial yang mengisi ruang Bagansiapiapi; terutama yang
dilatari etnis. 475 Akan tetapi, diyakini bahwa persoalan tidaklah hanya kepada hal itu
semata yang dipercaya hanyalah sebagai tampilan puncak gunung es, melainkan hasil
dari perjalanan keruangan perekonomian Hindia yang timpang beriringan dengan
feodalisme Pribumi dan perekonomian tradisionalnya.476 Puncak-puncak interaksi
antar entitas akan berlangsung di relung-relung kota sebagai pusat pemerintahan dan
perekonomian; dan untuk Bagansiapiapi sebagai sebuah kota pesisir, dipastikan akan
lebih dinamis dibandingkan dengan kawasan lain yang bercorak tradisional. Hingga
dasawarsa pertama abad ke-20, Bagansiapiapi dikenal dengan kejayaannya sebagai
474 Melayu, meskipun berupaya dalam tatanan tradisional, akan tetapi secara berkala
mengirimkan surplus ekonominya pada jejaring perdagangan di kota, baik yang akan memenuhi
perdagangan ekspor maupun lokal, seperti pada pasar. Konsep Konsumsi Kolektif Kota ini, untuk
penjelasan lebih mendalam, lihat Hans Dieter Evers, 1986.
475 Kondisi ini terutama dari catatan para pengamat, wisatawan ataupun pejabat Belanda yang
penghasil ikan terpenting di Hindia Belanda, bahkan di dunia setelah Norwegia. 477
Dengan dukungan ekologi-selain tentunya faktor teknis; sumber daya alam muara
yang kaya akan fish fauna, menyebabkan lompatan besar produksi ekspor ikan ke
Jawa, Malaya, Vietnam, Thailand bahkan China. Bertitik-tolak dari kondisi sumber
daya alam, kebijakan kolonial, modal, sumber daya manusia dan teknologi; maka
dapat dikatakan bahwa Bagansiapiapi saat itu adalah tempat yang sibuk dan makmur,
dan karena itu juga merupakan sumber pendapatan yang penting bagi Pemerintah
Kolonial Belanda. Seperti pendapatan pada tahun 1923 yang mencapai f205.354,- dari
bea masuk, dan pendapatan sebesar f1.264.328,- dari monopoli opium, impor yang
sebagian besar dari Singapura.478 Diimajinasikan bahwa perkembangan
perekonomian yang begitu pesatnya, terwujud dalam meluasnya secara cepat pula
perkembangan institusi pelayanan pemerintah; peningkatan fasilitas perkotaan dan
pertambahan penduduk, yang kesemuanya mencirikan urbanisasi dalam kurun dua
dasawarsa saja. Akan tetapi, kejayaan ini ternyata dibayang-bayangi pula oleh gejala
perubahan alam; pendangkalan muara;
yang juga ditengarai sebagai akibat perilaku penangkapan ikan yang cenderung tidak
terkendali, meskipun pihak pemerintah kolonial mengklaim telah berupaya
melakukan serangkaian kebijakan untuk meredam dan membatasi produksi yang
cenderung tidak ramah lingkungan. Akan tetapi, sang waktu membuktikan bahwa
perubahan ekologi merupakan phenomena yang tidak terelakkan dan terus saja
menggerogoti industri. Penumpukan lumpur diantara ratusan jermal dan ambai di
muara, telah merubah peta wilayah penangkapan ikan menjadi semakin jauh di lepas
pantai, dan ini berarti pendangkalan yang menghebat sebagai konsekuensi
penimbunan lumpur yang terus berlangsung mengiringi arus pasang surut muara.
Pada awalnya, klaim perubahan – pendangkalan sempat kabur dan tidak jelas sebagai
akibat dari penolakan atas phenomena alam ini, bahwa penurunan produksi
tangkapan ikan, lebih dominan dilihat dari kebijakan pacht garam yang berdampak
pada berkurangnya impor garam sebagai bahan utama dalam proses produksi ikan
kering di Bagansiapiapi, meski diakui juga, bahwa kontrolir yang bertugas disana telah
menyampaikan kekuatirannya akan penimbunan lumpur dan pendangkalan yang
menyebabkan jermal, ditinggalkan pemiliknya untuk berpindah ketempat yang lebih
dalam dan ini juga berarti, semakin menjauh saja dari garis pantai. Phenomena
penurunan yang dikenal sebagai “achteruitgang” ini, telah terbukti menyebabkan
pelaku industri; ribuan nelayan dan pedagang China eksodus dari Bagansiapiapi pada
masa penurunan pertama (1910-1915), dan tentunya, kondisi fluktuatif industri akan
selalu diikuti perubahan perilaku dari para pelaku industri tersebut. Gerak sejarah
industri perikanan Bagansiapiapi, diklaim Pemerintah Belanda benar-benar menjadi
477 Dilihat dalam Indische Varslag 1931, Tekst Van Het Verslag Van Bestuur En Staat Van
Nederland-Indie Over Het Jaar 1930: Gedrukt Ter Algemeene Landsdrukkerij – 1931/1932’s :
disebutkan bahwa Bagansiapiapi adalah penghasil ikan terbesar kedua di dunia sesudah
Norwegia;
478
Vleming, 1924.
290
tidak berdaya pada masa pasca perang, dimana pelabuhan terpenting Bagansiapiapi,
tidak lagi menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal yang sebelumnya bebas berlabuh,
dan menghilangnya sejumlah bangliau sebagai sentra proses produk. Bahwa
kemerosotan produksi ini, nampaknya benar-benar mengikuti perubahan peta
penangkapan ikan yang didominasi jermal dan ambai. Tidak cukup berhenti disini,
bahwa pukulan depresi ekonomi 1930, telah menyebabkan naiknya harga garam,
tingginya biaya pengiriman, sehingga menyebabkan kenaikan harga ikan dipasaran
Jawa. Pengaruhnya di Jawa, maka penduduk setempat cenderung akan membeli ikan
tangkapan nelayan lokal yang tidak terkena kenaikan biaya pengiriman sehingga
menjadi lebih murah.479 Sementara di sentra produksi ekspor seperti di Bagan,
penurunan produksi menjadi jawaban atas depresi itu. Akan tetapi, seperti telah
disampaikan, Kehadiran nelayan cici, merupakan respon logis situasi ini. Teknologi
penangkapan yang berbeda, akan mengkondisikan situasi perekonomian yang
berbeda pula. Berbeda dengan Jermal yang membutuhkan sejumlah besar biaya untuk
bahan kayu, dan juga upah pembuatannya, buruknya perekonomian tentu akan
memutus koneksi dengan para pemasok kebutuhan bahan baku Jermal beserta
pekerjanya. Jermal yang pembuatannya menghabiskan hingga f5000, berbeda jauh
dengan cici yang hanya f200. Tingginya nilai ekonomi Cici, membuatnya menjadi
pilihan yang tepat dan segera menjarangkan penggunaan Jermal. Bahwa dalam dua
tahun saja setelah awal masa depresi ekonomi 1930, jumlah cici menjadi dua kali lipat
Jermal, dan mampu menaikkan produksi ikan kering. Akan tetapi, statistik telah
menunjukkan bahwa selama dekade depresi(1930-1940), produksi dapat dikatakan
mengalami masa stagnan, bahkan cenderung menurun menuju periode tahun 1940.
480 Dan pada era ini, surat kabar mulai memberitakan betapa lumpur dan
479Abdul Wahid, Bertahan ditengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon, pada
masa depresi ekonomi 1930-1940, tahun 2009.
480 Meski ditengarai tahun 1940 ini perikanan berada dalam kondisi stagnan, akan tetapi
dibandingkan dengan kewilayahan lain di pantai timur, Bagan masih tetap dominan; seperti
tampak pada penggunaan garam hingga 18.000 ton, bandingkan dengan wiayah pantai timur
yang membentang dari Bagan hingga Palembang yang keseluruhan penggunaannya hanya
mencapai 1200 ton saja.
291
masa orientalis, ideologi evolusi dari Eropa yang mengedepankan bahwa bangsa barat
lebih unggul, cenderung menempatkan bangsa timur dalam posisi yang berlawanan,
lemah, dan harus dikuasai untuk “memanusiakannya.” Dalam terminologi barat itu
sendiri, seperti Max Weber yang melihat perkembangan peradaban yang “hebat” itu
hanya ada di dunia barat, bukan di timur. sebaliknya, upaya telaah dilakukan terutama
terhadap diri pemerintahan Kolonial itu sendiri, institusi yang melahirkan kebijakan
perekonomian saat itu. Bagansiapiapi sebagai bahagian dari wilayah yang dipenetrasi
kolonialisme Belanda dengan modal-modal asing dan telah merubah struktur
perekonomian dan sosial kawasan menjadi bersifat ganda secara menyeluruh. Bahwa
keberadaan perkebunan ataupun suatu industri, merupakan suatu kesenjangan yang
cukup tinggi antara perusahaan raksasa dengan sistem perekonomian desa-pribumi.
Penanaman modal asing ataupun investasi kolonial biasanya akan memiliki lokus pada
wilayah yang “kosong,” sehingga segala kebutuhan untuk menopang kegiatan
investasi akan berasal atau didatangkan dari luar; Bagansiapiapi, adalah pemukiman
yang didirikan oleh orang China yang kemudian dibakukan oleh pemerintah, dan
bukan berasal dari pemukim “kampung” pibumi sebagai kampung atau desa terdekat;
dimana seperti di Bagansiapiapi, Bagan Punak sebagai “tetangga-terdekat.” Dualisme
perekonomian ini, logis saja melahirkan segregasi ruang kultural di Bagansiapiapi, garis
demarkasi yang begitu tegasnya menjadi khas kolonial yang juga menyumbat
interaksi. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin terjadi integrasi? Meskipun
demikian, terminologi Boeke ini, mungkin agak berbeda untuk kasus di luar Jawa;
bahwa pengembangan ekonomi hanya terbatas pada tempat-tempat tertentu dan
tidak lagi ditujukan pada bahan rempah-rempah, manisan dan perangsang, melainkan
bahan mentah industri, dan juga kaum petani memainkan peranan yang lebih besar
dalam ekspor.481 Yang menjadi fokus disini, bahwa investasi tidak menyentuh
lingkungan sekitar; hanya saja dalam taraf tertentu memberikan pengaruhnya pada
kehidupan tempatan. Struktur perekonomian kapitalis yang dibangun Hindia, salah
satu kakinya akan bertumpu juga diatas struktur perekonomian pribumi yang
tradisional; hidup berdampingan antara investasi asing dengan pribumi, menyerupai
pemisahan antara riuhnya imperialis-kapitalis dengan kearifan tradisi lokal. Selain itu,
dalam implementasi imperialis-kolonial, pemerintah menggunakan struktur foedal
masyarakat pribumi, memanfaatkan lapisan elit peribumi dalam upaya memapankan
eksistensi investasi modal asing. Belanda mengalihkan hak-hak tradisional elit pribumi
atas pengelolaan sumber daya kedalam bentuk-bentuk kontrak; dan ini berarti, terjadi
rasionalisasi tindakan482 dalam pengelolaan sumber daya. Sayangnya, kondisi ini
menjurus pada apa yang sampaikan Weber sebagai “rasionalitas instrumen.” 483
Kontrak memuat hak penggunaan, pengelolaan dari pemilik modal dalam berinvestasi
disuatu lokasi; pemilik modal mengejar profit, dan pemerintah Hindia menunggu
pembayaran pacht, pajak dan bea diujung lainnya. Elit pribumi, yang berabad-abad
bertumpu pada rasionalitas nilai,484 secara perlahan dipaksa bertransformasi pada
struktur perekonomian kolonial. Posisinya sebagai bangsa yang dijajah, menyebabkan
tidak banyak ruang negosiasi dalam pembuatan suatu keputusan, situasi yang juga
berbanding lurus dengan memudarnya rasionalitas nilai atas hak tradisional
penguasaan sumber daya.
Lemahnya kontrol rasionalitas nilai dari elit pribumi atas “rasionalitas
instrumen” industri perikanan kolonial, telah menyebabkan meluasnya
“perlombaan keserakahan” atas ekploitasi sumber daya; menghebatnya
pendangkalan muara adalah buah pahit akibat esploitasi penebangan
kawasan mangrove dan hulu sungai yang berpengaruh pada kesetimbangan
ekologi, dan pada akhirnya berdampak pada surutnya kejayaan industri
perikanan Bagansiapiapi.
Model perekonomian yang dibangun Hindia, sebagaimana telah disampaikan akan
membawa situasi dimana terjadinya polarisasi sosial; antara yang menguasai aset-aset
ekonomi dengan yang tidak, antara kota dengan desa; yang kesemua ini, terkondisikan
dalam hubungan rumit jejaring pelapisan sosial, bahkan etnik dan ras. Sebagaimana
diketahui, kehadiran suatu industri dengan sifatnya yang mekanis, akan memunculkan
beragam strata yang memungkinkan persaingan sengit didalamnya. Di Bagansiapiapi,
ini berarti pertentangan akan terjadi dikalangan komunitas China sebagai pelaku
sentral industri, intensitas konflik yang tinggi akan berlangsung lebih tajam didalam
kotak-kotak yang keberadaannya terpisah dari lingkungan setempat akibat politik
segregasi kolonial; kompetisi penguasaan pacht, sindikasi hingga perseteruan
gangster menjadi bahagian kelam masyarakat industri. Selain itu, massa proletar yang
terbentuk sebagai anak kandung dari industri perikanan, keberadaannya tidak saja
berhadap-hadapan dengan kelompok pemodal, juga terpisah dari kebersahajaan
masyarakat pedesaan disekitarnya. Akan tetapi, tekanan demographi dipastikan akan
mendesakkan pengaruhnya pada tatanan sosial yang tertutup dari luar ini, terutama
dengan lahirnya elite pribumi tersebab urbanisme Bagansiapiapi itu sendiri, dan
meningkatnya migrasi dari pedesaan sebagai akibat tarikan magnet perekonomian
kota. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masyarakat majemuk sebagaimana
yang ditemui pada ruang-ruang kota kolonial, merupakan hasil kebijakan penjajahan
Belanda yang memisahkan secara tajam antar kelompok-kelompok masyarakat.
Furnival melihat bahwa antar kelompok ini, masing-masing akan cenderung untuk
mempertahankan identitas dan eksistensi beradasarkan alasan-alasan primordial.
Masyarakat jamak dalam definisi ini, akan melihat tatanan masyarakat yang terbentuk
dari identitas yang berbeda, bersama-sama dalam satu ruang dan berdampingan,
namun tidak terintegrasi. Sementara itu, dalam perspektif berbeda akan tetapi
merupakan area konvergesi dari pemikiran Furnivall, Boeke, yang mengemukakan
484
Rasionalitas nilai dikatakan bukan sebagai tipe masyarakat industri, melainkan tradisional.
293
dominan di ruang kota yang terbatas, maka memasuki tahun 1930-an, situasi berubah
dalam tatanan yang lebih luas dalam lingkup kewedanaan. Komparasi populasi kota
masih didominasi pemukim awal sebagai pelaku industri, akan tetapi, secara
keseluruhan lingkup kewedanaan, penduduk pribumi mengalami peningkatan jumlah
yang signifikan. Tekanan demographi ini, tidak diimbangi dengan kapasitas ruang
dalam industri perikanan, maupun posisi-posisi strategis perekonomian yang telah
mapan dikuasai orang-orang China. Sementara itu, hadirnya industri yang mendunia
disisi lainnya, telah melahirkan sejumlah tatanan baru yang melakukan fungsi
pelayanan, baik pemerintahan maupun industri itu sendiri yang bermuara pada
kepentingan khas penjajah. Belanda, menciptakan elite birokrasi pribumi yang tidak
pernah benar-benar dipercayainya; diyakini, bahwa situasi masyarakat seperti ini
menyuburkan kecurigaan-kecurigaan, prasangka-prasangka, lebih dari pada
kesamaan visi dan tujuan bersama dalam lingkup kota dan kewedanaan. Selain itu,
dinamika orientasi politik warga dan gerakan nasionalis yang tumbuh subur di tahun
1920-an dan diperkuat dengan masa pendudukan Jepang, membuat orang Indonesia
sudah begitu tidak sabarnya untuk segera menggantikan dominasi Belanda yang
begitu ekslusive-nya berkuasa dan memerintah dan menempatkan anak-anak negeri
sebagai warga kelas tiga; sementara Belanda terlalu percaya diri bahwa bangsa yang
dijajahnya akan membela ketika musuh mereka (Jepang) datang menyerang. Meski
begitu, tidak dapat pula diabaikan situasi yang terjadi dalam skala nasional, bahwa
pada era sezaman, konflik serupa yang dialami Bagansiapiapi di tahun 1946, juga
terjadi didaerah lainnya. Periode perubahan dari alam penjajahan menuju masa
kemerdekaan, merupakan masa transisi singkat yang merubah secara radikal tatanan
lama ke baru, dari masyarakat kolonial menuju masyarakat republik; periode singkat
yang ternyata berisi letupan-letupan dari potensi ketegegangan yang telah
terakumulasi dalam kurunisasi Hindia secara simultan. Dan ini menunjukkan, bahwa,
gelombang revolusi 1945 idealnya dapat memecah kebuntuan dari
masyarakat produk kolonial Hindia; masyarakat majemuk yang terpisah,
penuh ketimpangan, dan tidak terintegrasi; tidak hanya di Bagansiapiapi,
melainkan juga di seluruh wilayah mantan Hindia Belanda.
Pasca perang nampaknya benar-benar paralel dengan surutnya industri perikanan
gelombang kedua yang nampaknya kondisi ini tidak pernah berubah kembali hingga
saat terakhir, dan juga turut merubah komposisi pelaku perekonomian Bagansiapiapi
yang semula cenderung bertumpu pada industri perikanan, secara berangsur-angsur
juga pasca perang, mulai didominasi dengan berbagai kegiatan perdangangan,
terutama menuju Semenanjung. Ketika hutan belum benar-benar habis dan
teralihkan menjadi lahan perkebunan, maka masih terdapat sumber daya yang dapat
dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan pembangunan kota Bagansiapiapi dan
perdagangan kayu serta hasil hutan lainnya didunia selat. Kebun-kebun karet masih
mengeluarkan getahnya yang dalam penanganannya akan melibatkan juga anak bumi
disana. Mulai dari produksi, pengangkutan hingga pengiriman, dipastikan melibatkan
anak bumi dalam proses ekonomi tersebut.
295
Periode ini, akan dikenang sebagai masa hiruk-pikuk anak bumi dalam
aktifitas “hujan emas”, yang melibatkan tidak hanya pemodal pedagang
besar, melainkan juga kelas buruh-pekerja dan mengakibatkan melonjaknya
jumlah anak bumi yang berdatangan terutama dari berbagai penjuru eks
kewedanaan Bagansiapiapi, dan juga yang berasal dari luar.
Bahwa memasuki akhir tahun 1949, situasi berangsur pulih, dan tatanan ekonomi yang
semula berada dalam penguasaan orang-orang China, tidak banyak berubah.
Meskipun Belanda dalam laporannya menyebutkan tidak berdayanya industri
perikanan sebagai akibat pendangkalan muara, betapa pun jua, Bagansiapiapi selama
dekade awal pasca Hindia, tetap mengemuka. Kondisi ini terutama disebabkan sumbu
perekonomian perikanan tangkap yang telah mapan selama masa pemerintahan
Hindia. Pada masa Sumatra tengah (1948-1958), industri hasil muara ini tetap berjalan
meski tertatih, atau, terseret langkahnya mengingat sang induk semang telah
digantikan dengan pemerintah Republik Indonesia yang masih relative baru, berada
dalam masa transisi yang benar-benar berat sehingga perioritas lebih kepada
konsolidasi politik. Pada saat aksi militer Belanda tahun 1948, Belanda pada awal
pendudukannya disana melihat phenomena ini memburuk disebabkan ketiadaan
peralatan modern untuk dilakukannya pengerukan, hal yang tidak mungkin
dilaksanakan pada situasi seperti itu. Pembahagian wilayah dimana Kewedanaan
Bagansiapiapi merupakan bahagian dari Bengkalis-Riau, dimana wilayah ini pun
berada dibawah Provinsi Sumatra Tengah dengan keterbatasan personel aparat
jawatan perikanan. Meskipun demikian, nampaknya pada periode Sumatra Tengah
ini Bagansiapiapi masih dominan menggunakan alat tangkap ikan jermal, bubu dan
ambai, begitu pula dengan armada kapal yang sedianya digunakan untuk kegiatan
penangkapan ikan; Bagansiapiapi dominan dengan sejumlah 50 kapal motor, 516
kapal berukuran besar, 834 kapal berukuran sedang dan 750 kapal berukuran kecil.
Produksi perikanan Bengkalis, yang meliputi Bagansiapiapi, Bengkalis, Selat Panjang
dan Tanjung Medang mencapai sekitar 50 juta Kg pada tahun 1953.487 Selain itu,
beberapa organisasi perikanan masih menunjukkan eksistensinya seperti; Hai Giap
Hwa di Sinaboi, dan Persatuan Djermal (Hwa Kiauw) di Bagansiapiapi yang memiliki 92
anggota. 488
Berita dari “De Nieuwsgier,” tanggal 24 Mei 1956; Suara sember dari pusat ikan terbesar:
Pelabuhan Bagansiapiapi mendangkal.
Akan tetapi, secara phisik, tampilan Bagansiapiapi memang saat itu tidak lagi
meyakinkan sebagai pelabuhan ikan terpenting kedua didunia, setidaknya dimata
orang Eropa yang berkunjung kesana. Sang jurnalis Belanda, membandingkan kondisi
pantai Bagan yang pada sepuluh tahun sebelumnya, masih merupakan pelabuhan
kapal-kapal nelayan dan ekspedisi pengangkutan, saat itu telah berdiri sekolah,
rumah, bahkan lapangan sepak bola. Kapal K.P.M yang diingatnya masih melakukan
pelayaran kesana, saat itu benar-benar menjadi mustahil untuk dilakukan. Surutnya
industri perikanan, juga dikaitkan dengan pelarangan oleh pemerintah tentang
penggunaan areal Pulau Barkey untuk tempat pengolahan ikan.489 Penampilan
Bagansiapiapi yang berhadapan dengan pulau Barkey yang semakin meluas, sehingga
aliran laut diantaranya menjadi semacam sungai saja, menutupi wajah pelabuhan
Bagansiapiapi. Tentu saja, alasan ini merupakan konsekuensi dari perubahan ekstrim
ekologi muara; dan surutnya industri menjadi salah satu pertimbangan untuk
melindungi ekologi muara. Hasil perikanan Bagan pada kurun 1956 ini, seorang
pejabat di distrik, Tuan A.Wahab, menjelaskan kondisi bulanan dari hasil produksi dari
pelabuhan terpenting ke-2 dunia ini setiap bulannya hanya berkisar 600 ton saja; yang
setara dengan 600.000 Kg dan setahun sekitar 7.200.000 Kg. Jumlah ini, tentu jauh
berbeda pada masa Hindia Belanda. Lebih jauh dijelaskannya, bahwa ikan tidak lagi
sebagai “primadona” yang disebabkan tidak mewakili nilai yang tinggi, akan tetapi
lebih kepada perdagangan karet dan hasil hutan.490 Dan Belanda pada saat-saat
terakhirnya, lebih tampak bagai seorang pemuda frustasi yang akan kehilangan gadis
pujaannya. Sebelum benar-benar pergi, Belanda yang sakit hati mendapati pula
kenyataan bahwa mereka tidak mampu menggeser dominasi Singapura atas
perekonomian Selat. Belanda menemui bahwa Oeang Repoeblik tidak berlaku di
Bagan, begitu pula halnya dengan mata uang mereka; Belanda tidak berhasil
489
De Nieuwsgier, 24 Mei 1956, “SEMBERE GELUIDEN UIT GROOTST VISCENTRUM: haven Bagan
Si Api Api Slipt Aan.”
490 Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie 11-07-1956,
Visopbrengst.
297
mengganti dolar Singapura dengan mata uang NICA, yang dirasakan membebani para
pedagang. Dolar Singapura, menjadi tuan dikawasan yang terkena efek langsung
perdagangan Selat, termasuk kewilayah republik yang tentu saja, ini jelas-jelas
merugikan.491 Dominasi yang berlangsung bahkan hingga pasca Sumatra Tengah;
dimana Presiden Republik, Ir.Sukarno, dengan berang mengatakan bahwa separuh
Singapura dibangun dari hasil sumber daya Sumatra; dan dikatakan juga bahwa sistem
perekonomian dollar Singapura dan barter telah merugikan bangsa. Akan tetapi,
nampaknya dominasi dolar itu menemui akhir dengan era konfrontasi; sebagai suatu
periode yang dikenal dengan “Ganyang Malaysia.”492 Bahwa pemutusan hubungan
diplomatik Indonesia – Malaya, berbuntut pada aksi blokade seluruh kegiatan
perdagangan ekspor-impor di Selat; benar-benar dirasakan dampaknya pada
masyarakat yang terutama menggantungkan mata pencahariannya dari ekonomi
selat. 493
491
Sebenarnya Lembaga Deviezen (Deviezeninstituut) bagi Indonesia, dalam surat edarannya
tentang ekspor barang dari pelabuhan Sumatera Timur (dimana tidak ada bank) mengumumkan
bahwa terhitung sejak 1 September 1949 jumlah uang Straitsdollar yang harus disetor ke bank-
bank di Singapura sebelum barang-barang tiba, akan dinaikkan dari 60% menjadi 70% dari total
harga. Dalam surat edaran itu juga diadakan pembedaan antara: (1) Daerah Rupiah, yang
meliputi Tembilahan (afd. Indragiri), Siak, Sri Indapura, Pakan Baru (afd. Bengkalis) dan Bagan
Siapi-api; (2) Daerah Straitsdollar, meliputi Bengkalis dan Selat Panjang. Ekspor yang dimaksud
adalah: ekspor barang-barang yang untuk pengirimannya diterima connossement atau sesuatu
dokumen untuk keperluan pengangkutannya dari Indonesia ke Singapura. Dengan surat-surat
tersebut barang-barang tadi bisa diambil dari pengangkutnya, melalui Konsulat Jenderal Belanda
di Singapura. Berita Antara, 27 Agustus 1949 - LSB. Koleksi ANRI.
492 Bahwa diyakini politik konfrontasi salah satunya adalah untuk menyingkirkan dominasi dollar
Singapura di Selat Melaka, terutama diwilayah Republik, Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era
Sukarno, 1985.
493 Dampak aksi blokade masa Ganyang Malaysia ini di kewedanaan Bagansiapiapi, sebagaimana
tampak dalam karya sastra tentang seorang tokoh yang berasal dari Pujud(dipedalaman sungai
Rokan) H.Saleh Djasit, dimana pada masa konfrontasi ayahnya tidak lagi dapat menjual hasil
kebun karet ke Malaysia untuk kebutuhan biaya sekolah. sebagaimana dikisahkan M.Amin dalam
“AYAH KEDUAKU,” cet.II tahun 2014.
298
pihak yang lain. Blokade perairan selat oleh Sekutu disatu sisi, berhadapan dengan
kebutuhan Jepang akan barang-barang disisi lain, telah menumbuhkan pelaku
penyelundup; sementara di Bagan sendiri, kerugian Belanda atas pemasukan dari bea
sering dikaitkan dengan perdagangan ini. Perilaku yang terpola hingga berakhirnya
Jepang, telah menguatkan sekelompok, terutama orang China dalam perdagangan
danbang itu. Dapat dikatakan, tidak hanya periode Jepang, kawasan pantai timur yang
langsung berhadapan dengan Semenanjung, semasa revolusi phisik pun (1945-1949),
telah akrab dengan perdagangan penyelundupan (smokkelhandel). Dimasa
pendudukan Jepang, perdagangan diarahkan untuk kepentingan militer Jepang, maka
pasca Jepang, terutama untuk memenuhi kebutuhan tentara Repubik dalam
persenjataan. Pasca perang, beralih menjadi penyelundupan barang-barang yang
diantaranya termasuk jenis impor dengan bea tinggi hingga dua ratus persen. Belanda
dahulu mengkategorikan perdagangan dari pantai timur ke Semenanjung sebagai
smokkel(selundupan) yang berada diluar wilayah kontrolnya; dan jumlah pada saat
sang Meneer berkuasa tidaklah seramai era republik. Para pemain smokkelhandel
atau juga danbangke di Bagan ini, tidak saja didominasi orang-orang China, melainkan
juga orang-orang Indonesia. Riuhnya perekonomian Bagansiapiapi, tidak lagi semata-
mata hanya bersumber dari penangkapan ikan di muara Rokan, melainkan juga
sebuah perdagangan lintas batas negara yang melibatkan jejaring perdagangan
internasional yang melintas didepan mata. Arbitrasi relung ekonomi menandai
periode yang menjadi kegairahan perekonomian, hingga menjangkau sudut terdalam
dari jejaring anak bumi tidak saja di area pesisir, melainkan hingga jauh ke pedalaman.
Kegiatan perdagangan ini benar-benar bernilai tinggi, tentu juga berdampak pula pada
tingginya kerugian negara dalam hal bea, bahwa dalam setahun nilainya mencapai
hingga empat juta dollar, sementara pada tahun sebelumnya yaitu 1955, pengiriman
barang yang dilakukan secara resmi tercatat hanya bernilai setengah juta dollar saja.
494 Dalam periode dimana diskriminasi warga oleh negara tidak lagi berlaku, maka ini
pada wilayah yang lebih luas; tumbuhnya organisasi dan bahkan politik yang terlepas
dari unsur-unsur lama, merupakan salah satu bentuk nyata suatu kesadaran
kebangsaan; akibatnya, tatanan yang mulai terbentuk mungkin saja masih labil dan
cenderung menimbulkan ketegangan-ketegangan; bertemunya semangat perubahan
dengan kokohnya tembok warisan penjajah, segregasi; juga berpotongan dengan
hiruk-pikuk politik nasional kurun orde lama. Pada masa ini, perubahan mendasar
dapat dilihat diantaranya dengan ditunjukkannya oleh masyarakat secara terbuka atas
ketidaksetujuan terhadap “permainan dadu.” Permainan dadu, mungkin saat itu
usianya sama dengan keberadaan kota Bagansiapiapi sendiri, sebagaimana dicatat
oleh Hijman van Anrooij sebagai salah satu kegiatan yang dikenakan bea. Dimasa
republik, tercatat bahwa permainan dadu telah menghasilkan sejumlah 875.000
rupiah. Aksi demo yang meliputi seluruh organisasi kemasyarakatan termasuk
Masyumi ini, meminta keberadaan permainan dadu dihentikan, dan selain itu sepuluh
teman mereka yang menandatangani deklarasi dan ditangkap, agar dibebaskan. 495
Perlu dipertimbangkan, bahwa hingga awal tahun 1958, kawasan Sumatra Tengah
berada dibawah tekanan rezim Dewan Banteng, yang arah kebijakannya, semakin
menjurus pada persinggungan dengan pemerintah pusat, kemudian masa leburnya
Sumatra Tengah tahun 1957-8 menjadi tiga provinsi dimana Bagansiapiapi menjadi
bahagian Bengkalis-Riau: suatu periode yang berlangsung hingga pergolakan revolusi
1965. Akibatnya, diasumsikan bahwa perubahan yang idealnya berlangsung dengan
deras dibawah pengaruh perubahan ekologi, tekanan demographi dan perubahan
struktur, ternyata tersendat;
bagai sebuah perahu yang terseret arus perubahan menuju lautan dangkal
berlumpur dan terdampar disana, karam-tenggelam tidak, bergerak pun tidak.
Sebelumnya, hantaman keras gelombang revolusi 1945, merubah tatanan ideologi
negara kolonial menuju alam kemerdekaan, yang tidak lagi toleran terhadap
ketimpangan lama. Sebagaimana kapal yang terperangkap ditengah-tengah lumpur;
Struktur sosial yang begitu tajamnya tersegregasi, didobrak oleh kaum republik yang
disikapi pula dengan keras oleh orang-orang China Bagan. Bentuk pemerintahan
campuran yang dibentuk oleh tim pendamai 1946, merupakan solusi temporer hingga
mapannya pemerintahan republik pasca pengakuan kedaulatan 1949. Kekisruhan
politik ditingkat nasional hingga era pasca Sumatra Tengah; Provinsi Riau, direspon
oleh berbagai kalangan di kewedanaan sebagaimana tampak dalam semangat
pembentukan daerah otonom, daerah Swatantra Tingkat II ditahun 1963-4; bahwa
penguatan dan kesadaran akan suatu nasionalisme pesisir Rokan diujung era orde
lama, bahwa perjuangan yang diketuai oleh (Alm) Husin Rambah ini, sayangnya, saat
itu belum berhasil.496 Embrio ini, kemudian memperoleh tekanan politik yang kuat
495
De waarheid, 15-08-1957, Een „fooi”. Permainan dadu ini, ditengarai dipertahankan dengan
jaminan uang tip bagi seorang oknum aparat sebesar 100.000 rupiah.
496 Perjuangan pembentukan daerah otonom: daerah swatantra tingkat II Bagansiapiapi yang
pasca 1965; peralihan politik dari orde lama ke orde baru. Sentralistik orde baru,
untuk sementara menekan semangat lokal dan menarik elit pada pusat-provinsi dan
nasionalisme ala orde baru. Sementara itu, pewarisan segregasi kemudian ditekan
dengan serangkaian kebijakan asimilasi. Kebijakan yang membekas dibenak warga
adalah seperti pada kebijakan dibidang pendidikan; penempatan silang siswa antar
sekolah yang bercorak etnis; ketat pada awal mulanya, akan tetapi berangsur-angsur
kembali seperti kesetimbangan semula. Bahwa alasan diberlakukannya kebijakan ini
adalah orde baru menginginkan lembaga sekolah dapat berperan sebagai “melting
Pot,” yaitu wadah pembauran dengan harapan kelompok tertentu akan meleburkan
diri dan kelompoknya kepada budaya yang lebih dominan; Pada era itu juga, seorang
nelayan tua berkisah bagaimana di tahun 1970-an, ia melaut bersama kelompok
nelayan China yang menggunakan jaring apung. Alat ini, membutuhkan sejumlah
tujuh orang pekerja untuk mengoperasikannya. Dirinya bersama dua teman
Melayunya, dan empat orang China mengoperasikan alat ini. Dan situasi ini, menjadi
gejala umum disaat itu, bahwa telah terjadi varian pekerja berdasarkan etnis, tidak
seperti periode sebelumnya dimana masih didominasi oleh nelayan China. Penerapan
kebijakan asimilasi dengan memposisikan warga untuk saling berbaur seperti
disekolah, diketahui, tidaklah berhasil mencapai taraf yang diinginkan; masing-masing
kelompok tidak meleburkan identitas mereka, seperti dikemukakan Gazer dan
Moynihan497 atas phenomana di New York dimana belasan kelompok berdasarkan
identitas etnik yang hidup berdampingan dalam rentang waktu yang lama tidak
meleburkan identitasnya; begitupula kebijakan asimilasi sekolah era orde baru,
sehingga Melting Pot nampaknya lebih kepada mitos belaka.498 Jika dicermati,
kebersamaan yang “dipaksakan” rezim Orde Baru pada ruang-ruang pendidikan,
kebersamaan dalam ruang perekonomian, atau yang lebih umum adalah kebersamaan
dalam ruang-ruang kota semenjak masa Hindia, tidak menjadikan masing-masing
entitas meninggalkan identitasnya. Dalam ruang publik dimana interaksi berlangsung
sebagai hasil gerakan “pergi-pulang” masing-masing individu dari rumahnya ke ruang
interaksi; dari rumahnya individu membawa identitas asalnya ketempat dimana
berlangsungnya praktek kebudayaan yang lebih luas; maka yang terjadi, adalah
“pengayaan akan kehidupan bersama yang tidak diiringi penanggalan identitas.”
terdiri dari tokoh cerdik pandei, partai politik, unsur dari Tanah Putih, Bangko dan Kubu, serta
birokrasi.
497
Glazer dan Moynihan, Beyond the Melting Pot, Cambrigde MIT Press, 1963.
498 Usman Pelly, Murid Pri dan Non Pri dalam Sekolah Pembauran: Kebijakan Asimilasi Orde Baru
499
Surat Jaksa Agung, Laporan Khusus Badan Koordinasi Pelaksana INPRES Nomor 6/1971,
Nomor: 11/LAPSUS/BAKOLAK/V/1973, tanggal 23 Mei 1973 tentang Pemakaian Candu dan
Jumlah Addicts di Daerah Bagansiapiapi.
500
Harga pembelian candu di Malaysia saat itu M$200 per 1 Kg, dalam setahun pelaku importir
akan memasukkan candu senilai 3.504 Kg X M$200 = M$ 700.000. Pengecer, membeli dari
importer gelap seharga M$300 per kilonya, naik M$100, maka dalam setahunnya, pengecer
memberli senilai 3.504 X M$300 = M$ 1.051.200,- maka keuntungan pengecer gelap dalam
setahunnya bisa mencapai M$1.051.200 – M$700.000 = 350.400,- dikurskan ke rupiah, maka
bernilai Rp.50.808.000,- Selain itu, pengecer candu di Bagansiapiapi, dan sekitarnya menjual
candu senilai Rp.100,- perbungkusnya, bahwa, 2Kg candu murni setelah diolah akan
menghasilkan 1250 bungkus. Maka keuntungan penjualan 2 Kg nya mencapai: 1250 X Rp.100 =
Rp.125.000 yang setara dengan M$860. Keuntungan per 2 kilonya, M$ 860 – M$300 = M$ 560,
maka, keuntungan pertahun: 3.504Kg/2 X M$560 = M$981.120, yang sama dengan
Rp.142.262.400,-
304
kuantitasnya jelas-jelas jauh berbeda pada masa jayanya dibawah Hindia. Akan tetapi,
pada tahun 1980-an, pemerintah dengan pertimbangan kesetimbangan ekologi,
mengeluarkan peraturan pelarangan penggunaan trawl(pukat harimau) yang
ditengarai mengakibatkan kerusakan berat sumber daya ekologi perairan.
Dampaknya, secara berangsur-angsur sebahagian nelayan China meninggalkan
Bagansiapiapi menuju tempat lain yang masih memungkinkan dilakukannya
penangkapan ikan dalam skala yang memadai, atau juga, beralih kepada pekerjaan
lainnya. Bahwa, mobilitas orang-orang China pelaku industri perikanan ini, juga diikuti
dengan sejumlah pribumi, yang mencoba “mematutkan” dirinya agar terserap
kedalam sektor perekonomian lain masih dalam keruangan Bagansiapiapi. Jejak
peralihan struktur ini, masih terekam jelas dalam ingatan pelaku yang kini menikmati
masa tuanya dalam berbagai varian pekerjaan yang tersedia di relung-relung kota.
Seorang mantan pekerja pembuat kapal, mengenang bagaimana ia dahulu memimpin
tim kerja yang membutuhkan keakuratan tinggi; atau seorang pria tua sembari
menyeruput kopinya, mengingat betapa sibuk dirinya menahkodai kapal menuju
Belawan, Bengkalis, bahkan Malaysia, atau seorang mantan nelayan baru-baru saja ia
kembali dari Melaka di Semenanjung, mengingat bahwa sebelum ia merantau ke
Malaysia, selepas Sekolah ia melaut mencari ikan bersama teman-temannya. Sebut
saja Ud, seorang pemukim ditepian kota yang mengaku berasal dari Panipahan,
mengenangkan kembali saat ayahnya mengajak melaut dalam kegiatan perdagangan
selat; dan bagaimana pula saat sebelum hijrahnya ke Bagansiapiapi, hutan disekitar
tempat bermukimnya begitu memanjakan diri dengan hasil-hasil yang melimpah;
situasi yang tidak lagi ditemui pada milenium ketiga. Untuk menyambung hidup, maka
ia terlibat dalam pengupayaan sawit yang tidak seberapa luas, dan bekerja pada
orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Bagi kaum pekebun, peladang, kelompok
ini bukanlah seperti yang digambarkan Geertz sebagai proletariat kota. 501
Kepemilikannya atas sumber daya lahan, lebih didasarkan pilihan diri pada sektor
pencaharian di darat, dan bukan lagi laut semasa pendahulunya dan serentang masa
dimana ia sempat turut andil disana. Sementara sebenar-benarnya proletariat,
terhimpun disekitar kota terutama di sebelah selatan kota dalam pemukiman padat
khas perkotaan. Disini, meski terdapat pasar rakyat yang mewadahi segala aktifitas
perekonomian warga, sejumlah individu masih berkutat dengan jenis pekerjaan yang
mengandalkan tenaga. Terdapat alat transportasi pengangkutan barang, yang spesifik
ditemui disini, gerobak yang ditarik oleh sepeda motor. Alat angkutan serba guna ini,
mengangkut berbagai jenis barang; mulai dari barang harian hingga material, atau
bahkan kayu hasil hutan yang panjangnya mencapai delapan meter. Ketika kita
menyaksikan phenomena ini,
maka mitos “Melayu malas,” tidak menemui pembenarannya;502 itu adalah
stigma yang ditemui dalam catatan penjajah sebagai suatu pembenaran sikap
503 Didatangkannya pekerja seringkali dikaitkan dengan ketrampilan yang dimiliki kelompok
pekerja, meskipun ketrampilan itu sendiri sebenarnya dapat dibentuk melalui pelatihan; sesuatu
yang tidak terdapat dalam politik perekonomian dualism.
504 Pengalaman IJzerman saat menelusuri pedalaman Sumatra Tengah merupakan salah satu dari
sejumlah perbedaan pemahaman akan jam kerja. Lihat IJzerman, 1895, hal.
306
sayangnya, itu tidaklah terjadi.505 Sebagaimana telah kita lihat, sang uwak gerobak
tidak kurang kerasnya dalam berkerja atau nelayan yang menyabung hidup dilautan,
dan tidak pula semua orang China itu berhasil meski ia juga telah bekerja keras. Mitos,
telah menjadi alat bagi sekelompok untuk memanfaatkan kelompok yang lainnya, atau
sekurang-kurangnya; digunakan untuk membujuk orang lain agar mau bekerja keras
dan hemat. Keberhasilan mendominasi perekonomian, terkait dengan akses
terhadap sumber daya. Dan penguasaan akses atas sumber daya di Bagansiapiapi,
dimiliki oleh orang-orang China; mulai dari penangkapan, garam, pengiriman dan
jejaring perdagangan. Lantas, sekali lagi dikatakan, tentu ini bukan masalah spirit, etos
ataupun budaya; melainkan persoalan ketimpangan struktur.
Memasuki periode reformasi, maka Bagansiapiapi kembali dikejutkan dengan konflik
sosial yang mengarah pada keadaan chaos. Yang terasa di peristiwa 1998 ini, adalah
sebagai dampak domino guncangnya struktur politik nasional dimana runtuhnya rezim
orde baru, mewarnai permulaan menguatnya daerah-daerah yang selama ini
mengalami perlakuan ketimpangan dari rezim yang sentralistik. Kami disini, tidak
membiarkan diri terbawa pada sikap prasangka dalam upaya memperoleh deskripsi
aktual tentang relasi antar entitas di Bagansiapiapi. Sebaliknya, sebagaimana telah
dijalankan dengan konsisten dari awal, perilaku aktual akan merefleksikan daya
adaptasi terhadap situasi-situasi ekologi yang berubah, atau setidaknya rentan
berubah. Situasi anarkhi dalam suatu kerusuhan rasial, bagaimanapun juga dapat
dipicu juga oleh pra-kondisi sebelumnya. Penelitian sumber daya perikanan
demersal506 di Selat Melaka pada kurun 1969-1975 menunjukkan bahwa kawasan
pantai timur Sumatra saat itu secara umum telah terlihat gejala lebih tangkap.507
Begitu pula sumber daya hutan sebagai penopang industri pembuatan kapal yang
mulai mengalami kesulitan dengan terbitnya UU Nomor 12 tahun 1970 tentang HPH,
dimana masyarakat tradisional yang mengandalkan sumber hasil hutan menjadi
cenderung terpinggirkan, 508 gairah perdagangan selat yang redup, menjadi dasar logis
bagi stagnannya perekonomian Bagansiapiapi. Situasi ini, jelas berimbas pada kondisi
demographi dan meluasnya kesenjangan. Situasi yang sempat direkam oleh
BAPPENAS menjelang runtuhnya Orde Baru menyangkut stagnan-nya Bagan
dibanding kota-kota lain yang berdekatan, seperti pertumbuhan demographi dari
empat kota; Dumai, Bagansiapiapi, Dumai dan Duri. Data tahun 1980-1990
505
Ong Hok Kan, Terbentuknya Kapitalisme dikalangan Peranakan Tionghoa di Jawa, dalam
Sekitar Pembauran Bangsa di Indonesia, Yayasan Kesejahteraan Pemuda 66 Jakarta, Cetakan
Pertama, 1985, hal.27-31.
506 Bahwa diketahui ikan dapat dibedakan jenisnya kedalam demersal dan pelagis; demersal
adalah ikan yang berada didasar, sementara pelagis berada dipermukaan air.
507
Martosubroto,P., T Sujastani &D.Pauly, De Mid 1970s Demersal Resourches in the Indonesian
Side of Melacca Strait, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western
Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996.hal. 40-46.
508 Bahwa semakin terbatasnya area hutan yang telah dikuasai pemegang HPH, mengakibatkan
terjadinya kriminalisasi atas masyarakat yang mencari kayu, sumber baku bagi industri
pembuatan kapal di Bagansiapiapi, lihat Kusnadi, Jaminan Sosial Nelayan, tahun 2007, hal.62.
307
509
Profil Perkotaan 111 kawasan andalan di Indonesia, BAPPENAS Deputi Bid.Regional dan
Daerah, 1997, hal1489-1491.
510 Terakhir, sang informan memutuskan mengirimkan anaknya ke Jakarta, dan ia pun beserta
capacity(Sumarwoto, 1995), mengacu juga pada konsepsi daya tampung sosial yang
dikembangkan oleh Faturochman dan Widaningrum(1993), atau secara mudah, sebagaimana
disampaikan Edi Susilo sebagai “kondisi sumpeg yang dirasakan oleh anggota komunitas:
kapasitas ruang struktur sosial adalah kemampuan struktur social untuk mendukung atau
308
tampilan pecinan yang dikatakan seorang warga, areal tepian dari sentral pecinan
akan terlihat “bolong-bolong,” bahwa dahulu, pemukim China merupakan barisan
rapat tanpa kehadiran pemukim diluar kelompoknya.512 Akan tetapi, nampaknya
perubahan merupakan penguasa sesungguhnya dalam kehidupan sosial. Suatu ketika,
masih di pecinan, seorang ibu tua yang kesehariannya bekerja memperbaiki jaring ikan
yang rusak berkata,
“Sekarang ini Melayu senanglah hidupnya, kerja banyak, proyek banyak, tak
macam kami inilah.”
Mungkin ucapan itu ada benarnya, atau bagai sebuah ungkapan putus asa saja
mengenang kejayaan yang dulu pernah ada. Bahwa ia, seorang janda tua, yang
kesehariannya duduk berkutat dengan perbaikan jaring dari pagi hingga petang,
dengan bayang-bayang tanggungan cucunya yang masih kecil sebab orangtuanya
telah tiada. Di pemukim oriental seperti Bagansiapiapi, Panipahan dan Sinaboi,
terdapat kantong-kantong tempat lapisan “proletar kota” yang tidak memiliki akses
sumber daya. Ibu tua di pecinan ini, orang tua mantan pembuat kapal, mantan
nahkoda, atau bahkan mantan nelayan, memiliki kenangan yang sama tentang
kejayaan Bagansiapiapi; terutama dalam rentang keemasan perikanan dan
perdagangan yang telah membuka selebar-lebarnya relung sumber daya disana;
meskipun dengan konsekuensi resiko yang tinggi pula. Bahwa, era keemasan
Bagansiapiapi itu, melibatkan hampir seluruh sumber daya, sehingga tingginya resiko
dalam berhadap-hadapan dengan negara berbanding lurus dengan keuntungan yang
diperoleh.513 Seorang lulusan strata dua mengenangkan sang uwak-nya, yang dengan
penghasilan dari perdagangan di jalur Selat itulah untuk membiayai sekolah anak, adik
dan keponakannya. Anak bumi yang memperoleh kesempatan bersekolah tinggi di
kota, sebahagian ada yang terserap oleh pekerjaan dan relung sumber daya disana,
dan terdapat juga yang kembali untuk mengisi peluang pekerjaan yang terbuka
semenjak era otonomi; pekerjaan di pemerintahan, ataupun pembukaan lahan-lahan
baru, perdagangan yang mencukupi Bagansiapiapi ataupun disebaran sentra-sentra
ekonomi baru. Halnya dengan anak bumi yang banyak terserap dalam relung sumber
daya seiring bergulirnya otonomi daerah; begitupula yang tidak, mungkin saja
jumlahnya melebihi mereka yang beruntung. Tidak semua pekerjaan di era otonomi
ini membutuhkan pendidikan tinggi, atau, ketiadaan sumber daya akan menyebabkan
generasi penerus cenderung bertahan dalam kultur nelayan, ataupun perladangan
menampung pertukaran sosial yang terjadi dalam struktur internal atau ketika struktur
berinteraksi dengan elemen suatu suatu struktur lokal atau struktur diluar lingkungan luar
komunitas; suatu konsepsi yang benar-benar elastis. Lihat Edi Susilo, 2010, hal.72.
512
Diskusi pribadi dengan seorang warga Bagan, Nurhidayat,SH, tahun 2010.
513 Bahwa Smokkelhandel yang berkonotasi tanpa pengenaan bea, jelas melanggar hokum formal
yang memiliki resiko-resiko. Akan tetapi, begitu besarnya keuntungan dari sekali perdagangan
saja, dikatakan akan menutupi kerugian akibat tertangkap petugas. Seorang informan
mengatakan bahwa kerugian dari tiga kali tertangkap dapat tertutupi dari satu kali keuntungan
perdagangan saja.
309
Saat ini, otonomi daerah, dapat menjadi wahana aspirasi elit dan massa tentang jati
diri anak bumi yang semakin mengkristal sebagai bangsa Melayu: entitas yang terkait
dengan pesisir, sungai dan anak-anak sungai. Wajar, ketika upaya menggali potensi
akan bertemu dengan realita, bahwa Bagansiapiapi Tempo Doeloe adalah sebuah kota
dalam jejaring perdagangan dunia; suatu hal yang hilang diera Jalan Raya Daratan.
Rancangan pembangunan lintas pesisir, merupakan jawaban atas dominasi daratan
yang seolah-olah hendak menjauh saja dari dunia maritim yang menjadi kharakter
negara kepulauan. Sementara itu, dibalik otonomi daerah sebagai buah kebebasan
514“Massa apung,” konsep ini mengacu pada apa yang disampaikan oleh Evers(1986). Bahwa
pekerja buruh lepas, adalah kelompok terbesar di Bagansiapiapi.
310
berdemokrasi, tersurat dan tersirat tugas mulia bagi para aparat, birokrat, dan
teknokrat untuk berupaya bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat, terutama
di wilayah eks kewedanaan Bagansiapiapi yang sekarang dikenal dengan Kabupaten
Rokan Hilir: mengingat betapa BELANTARA JERMAL yang dahulu merupakan
kharakter khas disini, tidak lagi terlihat, menghilang seiring masa dalam situasi ekologi
yang berubah.
311
Daftar Pustaka
312
Ahmad, Zuarman & Yoserizal Zen, KOBA HITAM MANIH, Titu Nai: Tradisi(Sastra) Lisan
Orang Bonai, Editor Alang Rizal, Penutur Norma, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Riau, 2013.
Amin, Mohd, AYAH KEDUAKU, Penerbit Pustaka pelajar Yogyakarta, Cet.II. tahun 2014.
Andaya, Barbara Watson, To Live as Brothers, University of Hawai Press, Honolulu,
1993.
Andaya, leonard Y, Leaves of the Same Tree: Trade and Etnicithy in Mellaca Strait,
University of Honolulu, Hawai’i, 2008.
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Komunitas-komunitas terbayang,
Pustaka Pelajar, Cetakan ke-3, tahun 2008; judul asli: Imagined
Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism.
Ankie, MM.Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Penyadur
Alimandan, cetakan pertama tahun 1986.
Basyarsyah, T.Lukman Sinar, dalam Makalah “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatra
Timur: Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau
dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau,
Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985.
————, 1986: 154; Tim Penulisan Sejarah Pemda sumatra Utara, 1990: 3-6, dalam
Historisisme, Edisi 21 Tahun X Agustus 2005.
Benda, Harry J., BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT: Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, cetakan kedua, 1985, judul asli: The
Cresent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under Japanese Occupation
1942-1945, Copyrigt 1958 pada N.V.Uitgeverij W.van Hoeve, Den Haag.
Boejinga, De Vischerij van Bagan Api-Api, Koloniaal tijdschrift / Vereeniging van
ambtenaren bij het binnenlandsch bestuur in Nederlandsch-Indië, de
economist, Volume 15, Number 1, 1 January 1926;
Boeke. Julius H., Economics and Economics Policy of Dual Soceities as Exemplified by
Indonesia, New York: Instituute of Pasific Relation, 1953.
Bottemane, C.J., Verslag over de Visscherij en de Vischhandel Van Bagan Si Api-Api,
Publisher Batavia: Instituur Voor Zeevisscherij, 37p., Tahun 1941.
Brown, C. C. “Sejarah Melayu or Malay Annals,” JMBRAS 25, 2 and 3 (October 1952).
Bronson, Bennett. “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes toward a
Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia.” In Economic
Exchange and Social Interaction in Southeast Asia: Perspectives from
Prehistory, History, and Ethnography, edited by Karl L. Hutterer. Ann
Arbor: University of Michigan Center for South and Southeast Asian
Studies, 1977.
Bruin, A.G., “De Chineezen Teer Oostkust Van Sumatra, Mededeeling No.1, Uitgave
Van het Oostkust Van Sumatra Intitute, Leiden 1918.
Budiman, Hikmat (editor), KOTA-KOTA DI SUMATRA; Enam Kisah Kewarganegaraan
dan Demokrasi, The Interseksi Foundation, Jakarta tahun 2012: M.Subhi
Azhari: Proyek Identitas dan Ketimpangan Representasi: Dinamik Relasi
antar Kelompok Etnis China dan Melayu di Kota Bagansiapiapi, hal.261-
313
Edwards McKinnon, E. “Kota Cina: Its Context and Meaning in the Trade of Southeast
Asia in the Twelfth to Fourteenth Centuries.” 2 vols. Ph.D. dissertation,
Cornell University, 1984.
Evers, Hans Dieter, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia
dan Malaysia, Tahun 1986; Cetakan keempat, Tahun 1996.
————, Rudiger Korff, URBANISME DI ASIA TENGGARA: Makna dan Kekuasaan
dalam Ruang-Ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2002.
Fitrisia, Azmi, Perikanan Bagansiapiapi (1871-1942), Tesis, Universitas Gajah Mada,
Tahun 2002;
Fitrisia, Azmi dan Soegijanto Padmo, Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942,
Program Studi Sejarah: Program Pascasarjana Universitas gadjah Mada,
Tahun 2007 hal.497 – 506, dalam SOSIOHUMANIKA, 15, (3), September
2002.
Fox, James J., PANEN LONTAR: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau
Rote dan Sawu, Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambrigde, 1967.
Geertz, Clifford, MOJOKUTO: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Pustaka
Grafitipers, Cetakan pertama 1986, judul asli: The Social History of
Indonesian Town, The Massachussets Institute of Technology, Cambrigde,
1963.
————, INVOLUSI PERTANIAN: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia,
diterjemahkan oleh S.Supomo, Kata Pengantar Prof.Ir.Sajogjo, diterbitkan
untuk Lembaga Pendidikan Sosiologi Pedesaan Intitut Pertanian Bogor,
Yayasan Obor, Bhatara Karya Aksara, Jakarta, 1983.
Gobee, E., De Oorzaken van de achteruitgang van de vischindustrie te Bagan Siapi-
api. Mededeelingen van het Visscherijstation VII, 1912.
Groeneveldt, W.P., Nusantara dalam Catatan Tionghia, Komunitas Bambu, cetakan
pertama 2009, judul asli: Notes on the Malay Archipelago and Mallaca
Compiled from Chinese Sources: Verhandelingen van het Bataviaasch
Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen, Jil XXXIX, 1880.
Guillot, Claude (Penyunting), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Seri Terjemahan Arkeologi
No.12, Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient,
Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, 2014.
Haga, B.J., De Beteekenis Der Visscherij Industrie van Bagan Api-Api En hare Toekomst
dalam De Economist Tahun 1917 Volume ; 66, Number1, P.237-262
————, Economische Nalezingen en Berichten dalam De Economist tahun 1918
Volume 67 Number 1 hal 75-76
Hardenberg, J.D.F., “The Fish Fauna of Rokan Mouth,” TREUBIA, Institut Scientifiques
De Buitenzorgs Lands Pantentuin, Volume XIII, 1931.
Harsono, Ganis, Cakrawala Politik Era Sukarno, Inti Idayu Press, 1985.
Hefner, Robert W., GEGER TENGGER: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, LKIS,
Cetakan pertama 1999, judul asli: The Political Economy of Mountain
Java: An Interpretative History, University of California Press, 1990.
315
Formation d’un Paysage Ethique: Batak & Malaise de Sumatra Nord Est,
Ecole Francaise d-Extreme Orient, 1995.
Profil Perkotaan pada kawasan Andalan di Indonesia, Deputi Bidang Regional dan
Daerah BAPPENAS, 1997.
Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove, Pekanbaru 15-18 September 1998, MAB
Indonesia LIPI,
Purcell, Victor, The Chinese in Souteast Asia, Oxford Uinversity Press, first published in
1951, Reprinted 1981.
Reichle, Natasha Ann. “Violence and Serenity: Late Buddhist Sculpture in Indonesia.”
University of California at Berkeley, 2002.
Reid, Anthony. “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit:
KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011.
—————, Sumatra: Revolusi dan Elit Tradisional, terjemahan Komunitas Bambu,
tahun 2011, judul asli, The Blood of the People: Revolution and the End of
tradisional Rule in Northern Sumatra, Oxford University Press, 1979.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern (1200-2008), terjemahan, Cetakan I,
November 2008, Judul Asli: A History of Modern Indonesia since c,1200,
Polgrave, 2008.
—————, SEJARAH ASIA TENGGARA: Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer,
Komunitas Bambu, tahun 2013.
Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science(Boston, Allyn and Bacon
Inc.,1980.
Rochwulaningsih, Yety,: Petani Garam Dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus
Petani Garam di Rembang Jawa Tengah, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro Semarang..
Setyawati, Santi, Pasang Surut Perikanan Bagansiapiapi (1896 -1936), Tesis, oleh Santi
Setyawati, pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tahun 2008.
Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro: Sebuah pendekatan terhadap Realitas Sosial,
Penerbit Rajawali Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Tahun 1993, Judul asli:
Macrosociology, Tahun 1991.
Satyawati Suleiman. “The Archaeology and History of West Sumatra.” Bulletin of the
Research Center of Archaeology of Indonesia 12 (1977): 1–25.
Scott, James C., MORAL EKONOMI PETANI: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, LPP3ES, diterjemahkan oleh Hasan Basri, Cetakan keempat
1994. Judul asli: The Moral Economy of Peasant, Rebellion and Subsistence
in Southeast Asia, Yale University Press L.t.d., 1976.
Siregar, Makruf, 127 Tahun Jejak Perikanan Riau: 1866-2013, Lahir Terperangkap
Hutang Matipun Meninggalkan Hutang, Zanafa Publishing, Pekanbaru,
Mei 2014.
Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Cetakan ke-2, Komunitas Bambu
tahun 2009, judul asli: Social Changes in Yogyakarta, 1962, Cornell
University Press.
318
Soemardjan, Selo (Kata Pengantar), Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial, Yayasan
Ilmu-iImu Sosial, Pustaka Grafika Kita, 1988.
Strauss, Amselm & Juliet Corbin, Dasar-sadar Penelitian Kualitatif: tatalangkah dan
teorisasi data, Pustaka Pelajar, tahun 2003.
Sumarno, Edi, “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatra Timur pada Priode
Kolonial, dalam Buletin Historisisme; Edisi No.22/Tahun XI/Agustus 2006.
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Cetakan Pertama, Bulan Februari
Tahun 1985.
Suryadinata, Leo, Etnis Tiong Hoa dan Pembangunan Bangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta
Tahun 1999.
Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tiong Hoa: Kasus Indonesia, LP2ES, Jakarta Tahun
2002.
Susilo, Edi, Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir, Pengantar
Prof.Dr.Ir.Keppi Sukesi, UB Press, 2010.
Sutjiatingingsih, Sri, Gatot Winoto, Kepulau Riau pada Masa Dollar, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional dan Nilai Tradisional
Direktorat Jenderal dan kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1999.
Syafri, Yulizar, Kontekstualisasi Kesukubangsaan di Perkotaan, Institut Antropologi
Indonesia, Cetakan I tahun 2010.
Tabrani, Sejarah Kabupaten Rokan Hilir, Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir Tahun
2008.
Tamin, Wan Saleh, Lintasan Sejarah Rokan, Badan Pembina Kesenian Riau, Januari
1972.
Tideman, Land en Volk Bengkalis, Mededeeling No.9, Van Het Encyclopedisch Bureau
Van De Koninklijke Vereeniging Koloniaal Intitute, Opgenomen In Het
Tijdschrift Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap,
November Tahun 1935;
Van Gorsel, J.T., Bibliography of the Geologi of Indonesia and Surrounding areas, 3rd
Edition, April 2011, II Sundaland.
Vermeulen, Johanes Theodorius, Tiong Hoa di Batavia dan Huru-Hara 1740, Komunitas
Bambu Jakarta 2010, judul asli: De Chineezen te Batavia en de Troebelen
van 1740, Universiteit Leiden, 1938.
Vickers, Adrian, Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, Kata
Pengantar Bambang Puwanto, Pustaka Larasan, Udayana University
Press, 2009.
Vleming Jr, De Chineesche Zakenleven In Nederland Indie, Tahun 1923;
Wade, Geoffrey. “The Ming Shi-lu (Veritable Records of the Ming Dynasty) as a Source
for Southeast Asian History: Fourteenth to Seventeenth Centuries.” Ph.D.
dissertation, Hong Kong University, April 1994.
Wahid, Abdul, Bertahan ditengah Krisis: Komunitas Tiong Hoa dan Ekonomi Kota
Cirebon pada masa Depresi Ekonomi 1930-1940, Penerbit Ombak tahun
2009.
319
Wang Gungwu. The Nanhai Trade: The Early History of Chinese Trade in the South
China Sea. Kuala Lumpur: Malayan Branch of the Royal Asiatic Society,
1958.
———. “The Opening of Relations between China and Malacca, 1403–5.” In Malayan
and Indonesian Studies, edited by John Bastin and R. Roolvink. Oxford:
Clarendon Press, 1964, 87–104.
Weber, Max, The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Routledge, London and
New York, 1992.
Wertheim, W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Tiara
Wacana Yogya, Cetakan pertama 1999.
Wheatley, Paul. The Golden Khersonese. Kuala Lumpur: Pustaka Ilmu, 1966.
Winarni, Retno, Cina Pesisir: Jaringan Bisnis Orang-orang Cina di Pesisir Utara Jawa
Timur Sekitar Abad XVIII, Pustaka Lrasan, 2009.
Wirawan, Verry, Sejarah Masyarakat Tiong Hoa Makassar: dari abad ke-17 hingga ke-
20, Pustaka Hikmah Disertasi(PhD), KPG(Kepustakaan Popular Gramedia)
bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient(EFEO), KITLV
Jakarta, Cetakan pertama Desember 2013.
Wolters, O. W. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri Vijaya. Ithaca,
N.Y.: Cornell University Press, 1967.
Yang, Twam Peck Yang, Elite Bisnis China di Indonesia: dan masa transisi kemerdekaan
1940-1950, Penerbit Niagara, tahun 1998.
Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda “66”: SEKITAR PEMBAURAN BANGSA DI
INDONESIA, Cetakan pertama 1985.
Yunus, Hadi Sabari, Klasifikasi Kota, Pustaka Pelajar, Mei 2005.
Zuhdi, Susanto, CILACAP (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di
Jawa, KPG(Kepustakaan Popular gramedia), 2002.
27. INDISCHE VERSLAG 1931: Tekst Van Het Verslag Van Bestuur En Staat Van
Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1930, Gedrukt Ter Algemeene
Landsrukkerij – 1931/1932.
28. Mededeeling / Afdeeling handelsmuseum, Koloniaal instituut te
Amsterdam, Volume 0, 1 January 1934, Edition 000-1934-0014.
29. INDISCH VERSLAG 1941: II.Statistisch Jaaroverzicht Van Nederlandsch-Indie
over het jaar 1940, III.Netherlands Indian Report 1941, Landsdrukkerij –
1941 – Batavia.
30. Officiele Bescheiden Betreffende de Nederlands-Indonesische Betrekkingen
1945-1949, uitgegeven door Dr.S.L.van der Wal, Vijf deel, 16 Juli – 28
Oktober 1946.
31. Documentatie van de Afdeeling handelsmuseum van het Indisch instituut,
Volume 4, 19 March 1949, Edition 004-1949-0006 — Page 148; Verkeer, De
haven van Bagan Si Api-Api is verzand.
32. B.A.Mukhtar, Laporan Tim Pendamai Bagansiapiapi, tanggal 14 November
1946.
Koleksi ANRI :
1. Staatsblad 1894 No.93 & 94, 21 April 1894.
2. Nota: Adviseur voor Chineesche Zaken te Batavia, Mouw, 16 Januari 1916.
3. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 5 Januari
1925 (Controleur A.Te Velde);
4. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 14 Mei
1931 (Controleur C.Baalbergen);
5. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus
1934 (Controleur Boudewijn Van Duuren);
6. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 1934 – 1936
(Controleur J.C.C.Haar);
7. Vervolg Memorie Van Overgave Van Dr.H.D.Von Meyenfeldt, 6 Maret 1937
– 27 Oktober 1938;
8. Keterangan/Verklaring No.193, tanggal 29 Oktober 1938, 6den December
1938. Sultan Siak Sri Indrapura en de Assistant Resident van Bengkalis.
9. Hoofder Opium en Zoutregie, aan den Directeur van Verkeer en Waterstaat,
16 December 1938 No.9895, Onderwerp: Nieuwbouwen regiebouwen te
Bengkalis Bagansiapiapi.
10. Afschrift, de Veld Politie te Bagansiapiapi, 2 Februari 1937, No.180/8,
onderwerp: Zeerbouwvallige toestand der kazerne Veld Politie te
Bagansiapiapi.
11. Afschrift, De Afdeeling Veld Politie ter oostkust van Sumatra, Bengkalis,
6den Februari 1937, No.3884/4, Onderwerp: Zeerbouwvallige toestand der
kazerne Veld Politie te Bagansiapiapi.
323
Surat Kabar:
1. De Locomotief: Samarangsch handles en advertentie-blad, 22 April 1884,
“Werkundige Waarnemingen”;
2. ALGEMEEN HANDELSBLAD: 18 Januari 1886, Binnenland: Tweede Kamer;
3. JAVA BODE, 21 Juli 1886, “Siak II”;
4. Bataviaasch Niewsblad, 28 Februari 1888, “De Politie Match ter Sumatra’s
Oostkust”;
5. JAVA BODE, 28 November 1888;
6. De Locomotief: Samarangsch handles en advertentia – blad, 30 November
1888, “Uit de Indische Bladen”;
7. Nieuwe Amsterdamsche Courant: Algemen Handelsblad : 2 Juni 1889
(Siak);
8. Rotterdamsch Nieuwsblad, 1 Maret 1894, “Kolonien”;
9. Utrechts Nieuwsblad, 30 April 1897, “Kolonien”;
10. De Sumatra Post, 31 Januari 1899, “De Sultan Van Siak.”
11. Algemeen Handelsblad, 30 Mei 1894, “Nederlandsch Kolonien: Engelsche
Mail”;
12. De Sumatra Post, 8 November 1900, “Telegrammen”;
13. De Sumatra Post, 14 Maret 1902, “Vertrokken”;
14. De Sumatra Post, 30 September 1902, “De controleur van Bagan Si Api
Api”;
15. De Sumatra Post, 6 Oktober 1902, “Een oude bekende ter Oostkust”;
16. De Sumatra Post, 6 Maret 1903; “de invoer van droge visch uit
Bagansiapiapi…”
17. De Sumatra Post, 24 Agustus 1903, “Controleurswoning te Bagan Api Api”;
18. De Sumatra Post, 18 Desember 1903, “De Droge Visch”;
325
54. De Sumatra Post, 16 Juli 1917, “De beteenis van Bagan Api Api”;
55. De Sumatra Post, 27 Februari 1918, “Bagan Si Api Api: I”;
56. De Sumatra Post, 27 Februari 1918, “Bagan Si Api- Api: II”;
57. De Sumatra Post, 30 Maret 1918, “Ziekenverpleging.”
58. De Sumatra Post, 9 April 1918, “De 3.G.D. ter Oostkust”;
59. De Sumatra Post, 12 April 1918, “De telegraaf”;
60. De Sumatra Post, 18 Mei 1918, “De Chineesche Prostitutie”;
61. The Strait Times, Singapura 20 April 1920 (Sumatra Village Destroyed);
62. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie : 27 April 1920, Aneta
Dienst, “De Groote Brand.”
63. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 1 Mei 1920,
“Bagansiapiapi”;
64. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederland Indie, 14 Juni 1920 (Bagan Si-
Api-APi, 14 Juni 1920. Rampspoedige plaats);
65. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederland Indie, Dendendarg 5 Agustus
1920;
66. Voorwaarts:Sociaal-Democratisch Dagblad, 8 Desember 1920,
“Gemengde berichten, Groote Storm in Indie: vermoedelijk 9 visschers
verdronken”;
67. De Sumatra Post, 9 Desember 1920, “Volkscrediet: Sumatra’s Oostkust”;
68. Het Vaderland: Staat Letterkundig Nieuwsblad, 11 Desember 1920;
69. Het Vaderland: Staat en Letterkundig Nieuwsblad, 2 Agustus 1921,
“Gemengde Berichten: Een complot ontdekt”;
70. De Sumatra Post, 28 Januari 1922, “Bagan Si Api-Api”;
71. De Sumatra Post, 9 Januari 1922 (Bagan Siapi-api);
72. De Sumatra Post, 24 Februari 1922, “Kabel-Storing”;
73. De Sumatra Post, 5 April 1922, “Visscherij-Onderzoek”;
74. De Sumatra Post, 4 Oktober 1923, “Medansche volkbank”;
75. De Sumatra Post, 18 Agustus 1924, “De medische verzorging van Bagan Si
Api Api”;
76. De Sumatra Post, Medan 15 Agustus 1923 (Besluiten en Benoemingen);
77. De Sumatra Post, 25 Februari 1924, “Iets over de Rokan Landen”;
78. De Sumatra Post, 25 juli 1924, “Een vreemde beschikking van den
Inspecteur de B.G.D.”;
79. De Sumatra Post, 26 Juli 1924, “De dokter van Bagan Si Api Api”;
80. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 2 Agustus 1926, “Langs
Sumatra’s Oostkust”;
81. De Indisch Courant, 5 Agustus 1924, “Een vreemde Beschikking”;
82. De Sumatra Post, 2 Desember 1925, “De afdeelingsbank van Bagan Si Api
Api”;
83. Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 2 Agustus 1926, “Langs
Sumatra’s Oostkust”;
84. De Sumatra Post, 4 Maret 1927, “Raad van Justitie”;
327
135. Sinar Baroe, tanggal 29 Maret 1945, “Penduduk Daerah Bagan Si Api-Api:
Menyumbangkan 3 Pesawat Penempur”;
136. Sin Po, tanggal 25 September 1946, “Bentrokan Tionghoa-Indonesia di
Bagan Si Api-Api”;
137. Het Dagblad, 23 Juli 1946, “Sero’s te Bagansiapiapi”;
138. Sin Po, tanggal 25 September 1946, “Bentrokan Tionghoa-Indonesia di
Bagan Si Api-Api”;
139. Soeloeh Ra’jat, tanggal 25 September 1946, “Kesoelitan2 orang2 Tionghoa
di Andalas”;
140. Soeloeh Ra’jat, tanggal 26 September 1946, “Perkelahian Hebat di Bagan Si
Api-Api: Perkelahian chawatir akan Meloeap ketempat-tempat lain”;
141. Het Dagblad uitgave voor de Nederlandsch: dagblad post te Bataviasch, 26
September 1946, “Bagansiapiapi in Noorr: Indonesier Overvallen
Chineezen; Twee Dagen Zware Gevachten”;
142. Mimbar Merdeka, tanggal 26 September 1946, “200 orang Tionghoa
Binasa”;
143. Merdeka; Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 26 September 1946,
“Peristiwa Bagansiapiapi”;
144. Soeloeh Ra’jat, tanggal 27 September 1946, “Keadaan di Bagan Siapi-api:
Toean Dr.Gani akan bertindak”;
145. Sin Po, tanggal 28 September 1946, “Bentrokan di Bagan Si Api-Api”;
146. Soeloeh Ra’jat, tanggal 30 September 1946, “Peristiwa2 di Bagan Siapi-api:
Penjelasan Badan Penerangan Tentara”;
147. Sin Po, tanggal 30 September 1946, “Serangan pada Bagan Si Api-Api”;
148. Soember Penerangan, tanggal 30 September 1946, “Badai Taufan Jang Kita
Tempoeh: Oetang bidoek belum lunas, toekang dadjoeng menagih pula”;
149. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 2 Oktober 1946,
“Delegasi Pemberesan Bagan Siapi-api”;
150. Soeloeh Ra’jat, tanggal 5 Oktober 1946, “Kegadoehan di Bagan Siapi-api:
Pendjelasan Gubernur Hassan”;
151. Merdeka; Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 7 Oktober
1946,”Bagansiapiapi”;
152. Soeloeh Ra’jat, tanggal 8 Oktober 1946, Obat2 an oentoek Bagan Siapi-
api”;
153. Panji Ra’jat, tanggal 11 Oktober 1946, “Pengiriman Obat-obatan bagi
Bagan Si Api-Api”
154. Pewarta, tanggal 12 Oktober 1946,”Orang Tionghoa pelarian dari Bagan Si
Api Api”;
155. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 19 Oktober 1946,
“Bagan Siapi-api diselesaikan”;
156. Merdeka; Suara Rakjat Repubik Indonesia, tanggal 25 Oktober
1946,”Pemberesan Bagan Siapi api: keadaan aman, tetapi masih gelisah”;
330
Kronik Bagansiapiapi
TAHUN PERISTIWA
Abad ke-14 Eksisnya Kerajaan Rokan di Kota Lama di aliran sungai Rokan Kiri.
Abad Ke-15 Dimuara sungai Rokan, terdapat “Negara Laut Air Tawar,” yang diyakini
juga sebagai Rokan –Pekaitan
Abad ke-16 Setelah menaklukkan Melaka tahun 1511, Portugis mengInvasi negeri-
negeri dialiran Sungai Rokan sekitar tahun 1513 dalam upaya memburu
pelarian Melaka dan menguasai Bandar-bandar di sungai itu. Rokan
Pekaitan merupakan salah satu kerajaan yang diduduki Portugis.
Abad ke-17 Diusirnya Portugis dari Melaka oleh aliansi VOC dan Johor ditahun 1641;
menandai juga dominasi Melaka-Johor dengan penempatan sahbandar
Johor di sungai Rokan.
Awal Abad Raja kecil, sebelum penaklukkannya atas Johor tahun 1718, menjadikan
ke-18 negeri Kubu dimuara Rokan sebagai salah satu basis kekuatan
militernya.
1791-4 Tengku Said Ali, menjadikan kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu
sebagai bahagian Siak.
1857 Terjadi konflik antara Sultan Siak dan rajamuda, konflik yang melibatkan
petualang Inggris: Wilson, dapat diakhiri dengan campur tangan
Belanda dalam suatu kesepakatan.
1858 Melalui Traktat 1858 antara Siak dan Belanda, tiga kenegerian dipesisir
Rokan, yang meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu, dibakukan
sebagai bahagian kewilayahan Siak, dan sekaligus merupakan titik awal
kolonialisme Belanda di hilir sungai Rokan.
1860 Prediksi awal tibanya orang China di Bagansiapiapi. Saat itu, kawasan
Bagansiapiapi didalam peta kolonial masih dikenal dengan nama
“Perbabean.”
Pada tahun ini juga, Belanda melaporkan kembali terjadi konflik antara
Sultan dan Rajamuda. Nampaknya, Tengku Putra sebagai rajamuda
berhasil dikalahkan. Kekalahannya itu, diiringi dengan dihapuskannya
jabatan “rajamuda.” Sebagai gantinya, diangkat Tengkoe Sjarief
Kesoema sebagai “Rijkbestuurder.”
1873 Melalui Staatsblad 1873 No. 81, maka kewilayahan Siak yang semula
berada dibawah Riouw en Onderhoorigheden, berganti, dengan
dibentuknya Residensi Sumatra Timur yang beribukota di Bengkalis.
Afdeeling Bengkalis, membawahi Onderafdeeling Siak, Bengkalis,
Labuhan Batu dan Asahan. Berdasar surat tanggal 15 Mei 1873,
kewilayahan Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai
dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur
yang ibukotanya di Bengkalis (Riau).
1882 Belanda mencatat tejadi pemungutan bea dengan nilai yang sewenang-
wenang di Tanah Putih; sehingga, kapal yang sedianya akan melalui
daerah itu menuju pedalaman, mengalihkannya ke tempat lain, tidak
jelas besaran nilai “sewenang-wenang” sebagaimana yang dilaporkan
itu.
Penduduk Labuhan Tangga saat itu berjumlah 150 jiwa orang Melayu
yang berasal dari Kubu, Dilaporkan juga bahwa orang China tidak hanya
bermata pencaharian menangkap ikan, juga melakukan kegiatan di hulu
Sungai Rokan (Berkebun dan panglong); Laporan Rijn van Alkemade
dan Hijman van Anrooij bahwa penduduk pribumi di kenegerian Bangko
sejumlah 1000 jiwa, Tanah Putih 1500 jiwa dan Kubu sejumlah 1200
jiwa. Bahwa lanskap Kubu beberapa waktu sebelumnya mengalami
wabah kolera yang menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa.
Mengacu pada traktat 1858 antara Siak dan Belanda, maka wilayah
Tanah Putih, Bangko dan Kubu adalah bahagian dari Kerajaan Siak.
Kemudian tanggal 23 Juni tahun 1884, ditandatangani pula kontrak
tentang pungutan Pajak di wilayah Tanah Putih antara Belanda dan para
penguasa Pribumi: Sultan Siak Yang Di Pertuan Besar Syarief Kasim
Abdul Jalili Sarief Oedin, Mangkubumi Tengku Putra, dan para Datuk di
Tanah Putih antara lain Datuk Suku Melayu Besar, Melayu Tengah,
Mesah dan Batu Hampar. Bahwa Tanah Putih telah menjadi pusat
pengiriman hasil bumi dari pedalaman sungai Rokan.
Dilaporkan bahwa penduduk China saat itu sudah berjumlah 4000 jiwa,
2500 di Bagansiapiapi dan 1500 jiwa di Panipahan. Pemerintah Hindia
Belanda mendorong seluruh sumber daya penduduk China ini untuk
melakukan penangkapan ikan.
1897 Dilaporkan bahwa Zainal Abidin dari Rantau Kasei telah kembali, dan
Belanda menganggap bahwa ia berkemungkinan berniat melakukan
permusuhan terhadap Siak dan khususnya Tanah Putih, dimana
penduduk segera berada dalam keresahan :Zainal Abidin adalah
mantan kepala Tamboesie-Streek dan dianggap Belanda sebagai
ancaman akan menyebabkan terjadinya gejolak di Tanah Putih yang
berada di bawah kekuasaan Siak, setelah ia pernah dilarang kembali
ke lanskap itu. Asisten Residen Bengkalis pun meminta kepada
Garnizun pendudukan untuk melakukan perlindungan sementara, yang
ditandai dengan hadirnya sebuah kapal. Residen wilayah ini pergi ke
sana pada tanggal 27 Februari, menyelidiki masalah itu dan
menemukan bahwa rasa takut terlalu dibesar-besarkan; dikatakannya
tidak ada bahaya permusuhan pada bagian dari negeri “Rokan” atau
Zainal Abidin. Bagaimanapun juga, kepada Asisten Residen
diperintahkan agar beberapa hari tinggal di Bagan Api Api untuk
menenangkan penduduk, lalu pergi mengunjungi Tanah Putih.
Kemudian ia menerima Kontrolir Tanah Putih yang membawa serta
surat sopan dari Zainal Abidin, berisi pemberitahuan pada waktu
kedatangannya yang membesarkan ungkapan damai perasaannya.
Asisten residen pun menjawab bahwa Zainal Abidin bebas untuk
bergerak di mana saja, namun harus tetap berada di luar Tanah Putih.
1900 Terbitnya Staatsblad 1900 Nomor 64, kantor kontrolir dipindahkan dari
Tanah Putih ke Bagansiapiapi.
Sebuah kapal S.S.Reynst, yang biasa berlayar dari pulau Jawa menuju
Belawan, akan tetapi untuk kali pertama tidak menyinggahi Singapura
sebagaimana biasanya, melainkan secara khusus merapat di pelabuhan
Bagansiapiapi sebelum melanjutkan pelayaran menuju Belawan.
1904 Sebagai tahun puncak produksi Ikan Kering yang mencapai 26 Juta Kg
(jumlah ini diluar trassi dan produk lainnya).
1913 Produksi Trassi diberitakan meningkat, akan tetapi secara kualitas jatuh
disebabkan nelayan mencampurnya dengan bahan lain.
1915 Bertugas Seorang Kontrolir bernama B.J.Haga, mulai tahun 1915 hingga
1919.
Pada April 1916 diberitakan bahwa “Inlandsch School der 2de klasse”
atau Sekolah Bumiputera akan segera dibangun di Bagan oleh B.O.W..
Pada tahun 1917, terjadi wabah disentri yang cukup serius di Tanah
Putih.
Kongsi Tiong Hoa yang dominan pada periode 1922-1926, adalah kongsi
Bantong yang memiliki hingga 14 buah galangan sampan.
Total Produksi: Ikan Kering, Trassi, Udang Kering, Cincalok, Isi Perut dan
Kulit Ikan, mencapai 59,4 Juta kg.
Dimulainya Masa
RESESI EKONOMI
Pada tahun ini di Tanah Putih, didirikan “rumah perawatan anak” oleh
1934 Dibangunnya jaringan pompa air yang terletak antar blok untuk
mencegah kebakaran
Terjadi kebakaran besar yang merusak 180 rumah dan kedei, dan
kerugian mencapai f250.000. kebakaran ini dikatakan bagai
menghanguskan separuh Bagansiapiapi. DIberitakan, bahwa kebakaran
ini disebabkan kecerobohan dari sebuah kedai kopi, yang kemudian api
dengan cepat membesar yang disebabkan juga kuatnya hembusan
angin.
Suster Van Schijndel dari misi Katolik berencana akan membuka sebuah
rumah sakit di Bagansiapiapi.
Kontrolir pada saat itu bernama Van Der Linden. Pada Bulan April 1939
yang bersangkutan dimutasikan ke Jambi.
Bulan Juli 1945, seorang Inggris: Kapten Lodjie dan pasukan kecilnya
dengan parasut mendarat didekat Bagansiapiapi.
1950 Pada Bulan Oktober, terjadi ketegangan antara pendukung Kuo Min
Tang dan RRC di Bagansiapiapi.
lapangan olah raga. Selain itu, pada malam hari dilaporkan situasi kota
yang sunyi, dan tidak lagi ditemui keramaian.
2002 Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hilir: H.Thamrin Hasyim dan
H.Ilyas RB untuk periode 2011-2016.
351
2006 Terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Annas Maamun
dan H.Suyatno untuk periode 2006-2011.
2011 Terpilih kembali Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Annas Maamun
dan H.Suyatno.
2016 Terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Suyatno dan
H.Jamiludin periode 2016-2021.
352
353
Het Nieuws Van Den Dag Ingetrokken: op verzoek, het aan den gewezen
17-11-1897 ontvager te Bagan Api-Api (Oostkust van Sumatra)
Ned.Oost-Indie H.W.Bangert , wegens langdurigen dienst,
verleende een jaar verlof naar Europa.
Het Nieuws Van Den Dag De controleur J.SEIJNE KOK, met het bestuur over de
09-10-1900 onderafdeeling Tanah Poetih afdeeling Bengkalis
Binnenlandsch Bestuur
Het Nieuws Van Den Dag Overgeplaatst: van Bagan Api-Api (Oostkust van
30-08-1901 Sumatra) naar Batavia de verifl. Van Hengst, van
Batavia naar Bagan Api Api , de ontvanger van
Rijgersma.
Ned.Oost Indie
Het Nieuws Van Den Dag Aan de Luitenant der Chineezen te Bagan Api Api, Ang
11-04-1911 Tjeng Ho, is drie maanden verlof verleend naar
Personalia Singapore.
De Sumatra Post Op verzoek is ontslagen de luitenant der Chineezen te
26-05-1911 Bagan Api-Api in Bengkalis Ang Tjeng-Ho.
Mutatie
Het Nieuws Van Den Dag De ontvanger bij de in en uitvoerrechten en accijnzen
10-07-1911 te Bagan Api-Api H.J.FLIERS is werkzaamgesteld als
Personalia verificateur en geplaatst te Bagan Api Api.
De verificateur bij de in en uitvoerrechten en
accijnzen te Belawan F.J.SEILEGER is
werkzaamgesteld als ontvanger en geplaatst te
Bagan Api Api.
355
Het Nieuws Van Den Dag WERKZAAM Gesteld: de ontvanger der accijnzen te
07-08-1911 Bagan Api Api H.J.Fliers als verificateur en geplaatst
te Belawan; de verificateur der accijnzen te Belawan
P.J.Seileger als ontvanger en geplaatst te Bagan Api
Api.
Het Nieuws Van Den Dag Als verificateur en overgeplaatst van Bagansiapiapi
05-11-1913 naar Batavia H.G.KEYNER, ontvanger;
Civiel Departement Als ontvanger en overgeplaatst van Pladjoe naar
Bagansiapiapi G.BEER, verificateur;
Het Nieuws Van Den Dag De gezaghebber B.Filet is belast met het bestuur over
15-06-1916 afdeeling, Bagan Api Api.
Personalia
Het Nieuws Van Den Dag Aan den controleur van Bagan Api Api B.J.Haga is
16-06-1916 wegens gewichtige redenen een maand verlof is
Personalia verleend naar Java.
De Sumatra Post Verleend wegens gewishtige redenen een maand
27-08-1917 verlof naar Pasoeroean aan den ontvanger der I.U.A.
Mutatie te Bagan Si Api Api, G.A.Neyndorff, en belast met de
waarneming van dienst function de assistant
E.C.A.Hubat.
Het Nieuws van Den Dag Benoemd tot commies op het kantoor van den
26-03-1919 controleur te Bagan Si Api Api A.A.Hillebrandt,
Personalia laatstelijk commies te Pontianak van buitenlandsch
verlof teruggekeerd.
Het Nieuws Van Den Dag De commies der derde klasse bij den post en
12-08-1919 telegraafdienst, M.Van Houten, is van Djombang
Personalia naar Bagan Si Api Api overgeplaastst.
De Sumatra Post Benoemd tot buitengewoon deurwaarder bij den
23-08-1919 Raad van justitie te Medan met woonplaatst Bagan
Mutatie Api-Api en Selat Pandjang, respectievelijk
A.A.Hillebrandt en H.A.de Lizer.
De Sumatra Post Met ingang van ultimo October 1932 eervol onhoven
22-10-1932 vn de fuctie van Agent der Weerskamer te Medan
Reorganisatie voor:
Weeskamerdienst ……………….
Onderafdeeling Bagansiapiapi, Tengkoe Hasanoedin
Commies o/h Plaatselijkkantoor aldaar.
Het Nieuws Van Den Dag Verleend: Wegens langdurigen dienst een jaar verlof
25-11-1935 naar Europa aan H.J.M.Vodegel, Beheerder bij de
Mutatie Opium- Zoutregie te Bagan Si Api Api, met bepaling,
dat hij zijne betrekking zal nederleggen op een door
het Hoofd der Opium – en Zoutregie nader te bepalen
datum in April 1936.
De Sumatra Post Met ingang van den dag van overgave en overname:
11-04-1939 a. eervol ontheven van het bestuur van de
Bestuur Bagan Si Api-Api onderafd.Bagan Si Api Api, de afd. Controleur
bij het Binnenlandsch bestuur, J.F.M.VAN DER
LINDEN.
b. Belast met het bestuur van de onderafd.Bagan
Si Api Api, de gediplomeerd gezaghebber bij het
Binnenlandsch Bestuur J.DE VISSER
515
Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer,
17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel.
371
aan Zijne Hoogheid den Sultan, ter uitkeering aan Toengkoe Poetra, f5625 (vijf
duizend zeshonderd vijf en twintig gulden); aan het hoofd der soekoe Melajoe
besar f 750 (zevenhonderd vijftig gulden); aan de hoofden der soekoe's
Melajoe Tengah, Mesah en Batoe Hampar, ieder f 375 (drie honderd vijf en
zeventig gulden) 'sjaars.
Art.2
Aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement blijft het recht voorbehouden
om de aan zich getrokken belasting in het gebied van Tanah Poetih te wijzigen,
dan wel nieuwe daarvoor in de plaats te stellen.
Art.3
Zijne Hoogheid de Sultan en de hoofden van Tanah Poetih verbinden zich om
het Nederlandsch-Indisch Gouvernement alle noodige hulp te verleenen ter
verzekering van zijne rechten op de heffing der in-en uitgaande rechten in het
landschap-Tanah Poetih, terwijl het Nederlandsch-Indisch Gouvernement zich
het recht voorbehoudt alle zoodanige maatregelen te nemen, als ter
verzekering eener richtige heffing noodzakelijk zullen worden geacht.
Art.4
Het tijdstip van inwerkingtreding dezer overeenkomst wordt bepaald op 1
Januari 1886.
Stempels en handteekeningen in
Arabische karakters.
Dit contract is goedgekeurd en bekrachtigd op heden den 7den Juli 1885.
372
Fasal 10. Jang dinamakan hindoek bahagian provincie negeri Tanah Poetih.
No.1.Lela Radja hindoek Lela Radja Melajoe Besar.
2.Mentara hindoek Mentara Melajoe Besar.
3.Rimau Soetan hindoek Rimau Soetan Melajoe Besar
4.Rebas hindoek djaoeh Rimau Soetan Melajoe Besar.
5.Simapahlawan hindoek Simapahlawan Melajoe Besar.
516BABOE’LKAWAID: Almoestachaza billah, Keradjaan Siak Seri Indrapoera, 1901, dilihat dalam
Tijdshrift voor het Binnenland Bestuur Negen-en-Derstigste Deel, Batavia, G.Kolf & Co, 1910,
hal.103-104.
375