Anda di halaman 1dari 375

1

Tressi A.Hendraparya

Diantara Belantara
Jermal
Dinamika Sosial di Bagansiapiapi
dalam Lingkungan Ekologi yang Berubah

Penerbit Soreram Media Pekanbaru,


Tahun 2016
2
3

Tressi A.Hendraparya

DIANTARA BELANTARA
JERMAL

Dinamika Sosial di Bagansiapiapi


dalam Lingkungan Ekologi yang Berubah

Soreram Media Pekanbaru - Tahun 2016


4

Judul : DIANTARA BELANTARA JERMAL


Dinamika Sosial di Bagansiapiapi
dalam Lingkungan Ekologi yang Berubah

Penulis : Tressi A.Hendraparya

Penerbit : Soreram Media Pekanbaru

Gambar Cover : Een Djermal met opgetrokken netslurf en


Pra bijbehoorende uw bij Bagan Si Api Api.

Sumber : Algemeenhandelsblad, 10 April 1929.

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang


All Right Reserved

Dicetak di Pekanbaru:

Cetakan I, Tahun 2016

ISBN
5

Suatu Pengantar
“Selamat Datang di Bagan!”
Demikian seorang jurnalis menuliskan kata-kata tersebut dalam salah satu laporannya
tentang Bagansiapiapi di tahun 1930-an setelah ia berkunjung dari Medan ke
Bagansiapiapi. Perjalanannya saat itu ditempuh dari Medan ke Tanjung Balai dengan
menggunakan jasa Kereta Api yang saat itu dikelola oleh D.S.M. (Deli Spoor
Maatschappij) kemudian dilanjutkan dengan menggunakan kapal dari K.P.M.
melewati Labuhan Bilik di Muara Panei terus ke Bagan. Perjalanan yang tidak sebentar,
melainkan memakan waktu hingga sehari semalam. Bagansiapiapi, sebagai sebuah
kota yang hingga saat ini berusia lebih dari satu abad, maka kota ini telah dilintasi oleh
berbagai perubahan dan berbagai zaman. Yang jelas dimulai dari era Kolonial hingga
otonomi daerah dengan segala konsekuensinya. Mekipun demikian, untuk tetap dapat
diingat bahwa Bagansiapiapi juga memiliki perkembangan yang terkait dengan
kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu, yang telah dikenal Eropa semenjak awal
abad ke-18; melalui serangkaian kisah sang pendiri kerajaan Siak Raja Kecil dalam
penaklukan Johor tahun 1718. Kondisi ini mengisyaratkan, bahwa kesejarahan eks
kewedanaan Bagansiapiapi bukanlah kejayaan industri perikanan semata, melainkan
sekelumit kisah “anak bumi” dalam pergulatan ruang dan waktu dialiran sungai Rokan
yang telah bersinggungan dengan lingkup perdagangan internasional di Selat Melaka
semenjak era Sriwijaya. Akibatnya, Jejak tapak ini menghendaki penggalian yang
begitu beratnya dalam upaya menelusuri kearifan-para pendahulu yang tersebar
dalam rekaman tradisi-lisan, catatan para pengamat Eropa dan juga yang
terproyeksikan dalam kehidupan sosial kontemporer. Pemahaman ini dibutuhkan agar
seorang pengamat tidak terjerat dalam ego kepentingan, apapun bentuknya.
Bagansiapiapi, tidak asing dalam literatur kolonial, bahkan pers pun ikut meramaikan
pemberitaan. Begitu pula beberapa karya kontemporer yang turut memperkaya
khasanah kepustakaan Bagansiapiapi, akan tetapi, secara umum berbicara hanya
tentang perikanan saja, belum menyentuh aspek lain dari Bagansiapiapi, terutama
kehidupan sosial masyarakat sebagai pelaku perekonomian, kebudayaan dan politik
yang saling berpengaruh satu sama lainnya. Tentu saja, Bagansiapiapi sebagai pusat
pemerintahan kewedanaan, memiliki wilayah yang membentang hingga kehulu sungai
Rokan, memerlukan penjelasan yang memadai berkaitan dengan booming
perekonomian dan urbanisme yang mengiringinya di Bagansiapiapi, dan dalam
konteks semacam itulah buku ini hadir untuk mencoba turut memperkaya
kepustakaan Bagansiapiapi itu, terutama yang berlatar kesejarahan sosial. Sejarah
dapat bermakna personal bagi individu yang melihat dan mengalaminya secara
6

langsung peristiwa ataupun momen yang melekat pada lintasan waktu sejarah
masyarakat itu sendiri.
Sepotong Besi tua yang terletak di halaman Kantor Pabean Bagansiapiapi,
bukan hanya sekedar besi tua, melainkan dahulunya adalah bagian dari
konstruksi dermaga yang disana tersimpan kisah dan cerita tentang kejayaan
dermaga tersebut sebagai Pelabuhan Ikan terpenting II di dunia.
Dengan mencermati besi tua itu, maka bentangan imajiner akan segera diisi oleh
riuhnya situasi, hiruk-pikuknya pekerja, dan kesibukan tinggi segala aktifitas
pelabuhan ikan terpenting itu, betapa sepotong besi tua telah merekam jejak aktifitas
para pelaku ekonomi dari segala bangsa; sepotong besi yang tidak saja merupakan
bahagian dari sejarah kejayaan, melainkan juga kolonialisme Belanda, eksploitasi
muara dan perang dunia II. Besi tua itu, dahulu adalah pintu masuk dari para raksasa
penjajah yang mencoba meraja, hingga akhirnya sang waktu pun menghentikan
mereka, dan tinggallah puing besi tua, diam membisu diapit kesibukan warga kota.
Bahwa “tak ada gading yang tak retak”, mungkin ini ungkapan yang paling tepat,
mengingat bahwa buku ini sendiri bagaimanapun juga berisi catatan tentang kisah
kehidupan masyarakat di masa yang telah lampau yang biasanya akan sarat polemik
dan perdebatan, seperti kisah tentang Onderafdeeling Bagansiapiapi saat mengalami
masa kejayaan sebagai Penghasil Ikan terbesar II di dunia –
pada era Kolonial terdapat juga pendapat bahwa Bagansiapiapi sebenarnya
adalah penghasil ikan yang terbesar dibandingkan Bergen-Norwegia, sebab
Bagansiapiapi menghasilkan ikan sepanjang tahun tanpa mengenal musim;
sebaliknya, musim membatasi Bergen.1
Dalam kesempatan ini Selain menyampaikan rasa syukur yang mendalam kepada Allah
SWT, Kami juga menyampaikan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat dan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir, kepada Bapak Bupati Rokan Hilir,
Bapak Wakil Bupati, Bapak Sekretaris Daerah, kepada Bapak Ketua dan anggota DPRD,
unsur pimpinan instansi, hormat kami kepada para tokoh masyarakat, cerdik pandai,
alim ulama, rekan-rekan, kepada Opa RM.Djajeng Pratomo, Iljunah & Marjati
Pratomo, Arsip Nasional Jakarta, Perpustakaan Nasional Jakarta, Perpustakaan
Wilayah Soeman HS Pekanbaru, KITLV, Royal Tropical Instituut, Nationaal Archief;
kepada, kepada Penerbit Soreram Media Pekanbaru, untuk kakekku alm.Letkol.H.Idris
Sutrisna juga alm.R.Soekabat Wonodirdjo, kepada ayahku alm R.H.Soekabat dan ibuku
Hj.Tuti Suparyati,BA, H.Sardjoko,MPd dan Keluarga besar; Kanda H.Ferry H.Parya dan
kakakku Frissa Hendraparya atas suportnya, keluarga besar, kerabat, isteriku Agustina
Srihastuti,SPi, dan anak-anak dirumah; Mutiara Cahaya Negeri, M.Bintang Cahaya
Negara dan M.Buminata Cahaya Negara, juga kepada berbagai pihak atas
dukungannya, yang telah banyak membantu namun tidak dapat Kami sebutkan satu
persatu, dan semoga Allah SWT memberkahi segenap upaya ini.

1
Sebagaimana diberitakan dalam Indische Caourant, 10 Maret 1928, “Bagan Si Api Api.”
7

Bagansiapiapi, 30 Maret 2016

Hamba Allah,

Tressi A Hendraparya
8
9

Untuk mengenang
Segenap Masyarakat yang dalam suasana batin kebersamaan
Memperjuangkan pembentukan Daerah Otonom
Swatantra Tingkat II Bagansiapiapi 1963/4,
Dan Kabupaten Rokan Hilir tahun 1999
10
11

Militer Belanda di Pantai Bagansiapiapi. Sumber ANRI


12
13

Kesibukan di Pelabuhan Bagansiapiapi, 1930-40, KITLV.


14
15

Lokus Kajian: Onderafdeeling Bagansiapiapi


16
17

DAFTAR ISI
Hal.

Daftar Judul

Kata Pengantar Penulis 5

Daftar Isi 17

1. Pendahuluan ……………………………………………………. 17

2. Keadaan Alam, Wilayah dan Kependudukan………. 27

3. Rekonstruksi Ruang ………………………………………. 45

4. Kekerabatan dan Kekuasaan……….…………………….. 91

5. Sejarah Perikanan Bagansiapiapi ………………………. 123

6. Pendangkalan Muara ………………………………………….. 173

7. Perkembangan Kota ……………………………………………… 185

8. Konfigurasi Sosial………………………………………………… 215

9. “Perang Bagan”………………………………………………….. 257

10. Reorientasi Identitas……….. ……………………………… 285

Daftar Pustaka …………………………………………………….. 313

Kronik Bagansiapiapi……………………………………………….. 333

Warta Mutasi Pegawai Hindia


di Onderafdeeling Bagansiapiapi………………………………. 355

Nama Ikan di Muara Rokan tahun 1929 ……………………. 369


18

Kontrak 1884 antara Siak & Belanda ………………………… 371

Staatsblad 1894, No,93 & 94 …………………………………….. 373

Nama Kepala Suku dan Hinduk …………………………………… 429


19

1
Pendahuluan

Latar Belakang
Buku ini bermaksud mempelajari dinamika sosial suatu masyarakat di pesisir, tepatnya
di hilir aliran sungai Rokan yang pernah dikenal sebagai kewedanaan (wedanaschap
atau Onderafdeeling) Bagansiapiapi; meliputi tiga kenegerian kuno yang mulai eksis
pasca periode kejayaan Melaka,2 dan juga suatu pusat pemerintahannya; sebuah kota,
terutama meliputi peristiwa-peristiwa sinkronik dan diakronik.3 Suatu upaya untuk
memahami perilaku masyarakat dalam menghadapi arus perubahan ekologi, ekonomi
dan politik itu, memiliki konsekuensi logis bahwa telaah akan meliputi serangkaian
peristiwa dalam keruangan yang umum; dalam buku ini yaitu “kewedanaan,” dan juga
tidak terelakkannya untuk menyajikan proses-proses sosial yang terjadi dalam
keruangan kota, dimana ternyata penulisan sejarah kota itu sendiri merupakan garis
terdepan dalam penulisan sejarah nasional.4 Kewedanaan Bagansiapiapi meliputi
lanskap disepanjang aliran sungai Rokan dari pedalaman hingga pesisir, sementara
kota Bagansiapiapi yang berlokasi ditepian muara sungai Rokan di pantai timur
Sumatra, menjadi contoh nyata bagi suatu perubahan yang merupakan respon suatu
perubahan lingkungan ekologi. Buku ini bermaksud menampilkan gambaran tentang
Bagansiapiapi; terutama sebagaimana telah disampaikan, lingkungan ekologi yang
berubah dan hubungannya dengan struktur sosial dalam masyarakat majemuk 5 yang
diproduksi oleh Belanda dan juga dualisme sistem perekonomiannya; 6 konsekuensi
logis dari penulisan serupa ini, akan membawa telaah sebahagian besar berada dalam
rentang awal keterlibatan Belanda tidak saja selama separuh pertama abad ke-20,

2
Diperkirakan pasca penaklukan Melaka oleh Portugis 1511 juga diiringi dengan keruntuhan
politi Rokan yang terletak di hulu aliran sungai Rokan, dan kemudian sejarah bergeser pada
peranan sebaran lanskap disepanjang aliran sungai Rokan; dipesisir, meliputi tiga kenegerian
Tanah Putih, Bangko dan Kubu.
3 Galtung, Theory and Methods of Social Reasearch, 1969.
4
Kuntowijoyo, dalam “Metodologi Sejarah,” Edisi kedua tahun 2003, hal.72.
5 Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, 1967, hal.446-449.
6 Boeke. Julius H., Economics and Economics Policy of Dual Soceities as Exemplified by Indonesia,

New York: Instituute of Pasific Relation, 1953.


20

melainkan juga beberapa waktu mundur kebelakang hingga satu titik dimana jejaring
perdagangan kuno yang bersinggungan dengan lanskap dialiran sungai Rokan
bermula. Dengan demikian, tulisan ini juga memuat sejarah dalam artian kronologi
peristiwa yang dapat memberikan deskripsi perubahan-perubahan dalam masyarakat,
sehingga kesimpulan umum akhirnya dapat dicapai. Untuk memenuhi tujuan ideal itu,
maka didalam buku ini, rekonstruksi masa lampau tidak dihindari, sembari berupaya
mencari penjelasan-penjelasan sosiologis dari runutan peristiwa yang ditampilkan.
Dan ini menjadikan studi sejarah menjadi landasan awal dari maksud penulisan;
dengan maksud penelusuran histori tersebut dapat memberikan penjelasan tentang
situasi sosial yang terakhir. Yang menarik adalah, bahwa setelah lebih 60 tahun
terlepas dari cengkraman kolonial Belanda, keruangan terakhir Bagansiapiapi
cenderung memiliki pola serupa dengan masa Hindia Belanda, terutama dari sisi
“pluralisme”nya, sebagaimana hasil observasi lapangan pasca pemekaran Kabupaten
1999.7 Sebagaimana telah disampaikan, persoalan ini, tentu tidak dapat dijawab
hanya dengan melalui pengamatan-langsung tanpa melihat situasi ekonomi, budaya
dan politik yang berlaku dalam rentang panjang kesejarahan Bagansiapiapi. Dengan
demikian, maka buku ini berupaya untuk: Pertama, merekonstruksi ruang
perekonomian, sosial dan politik dari ruang eks kewedanaan Bagansiapiapi ini;
Pencaharian tentang situasi kekinian yang dilakukan tanpa mengabaikan apa yang
berlangsung di era terdahulu, diyakini bahwa jawaban-jawaban atas apa yang terjadi
pada masa silam, menjadi fondasi bentukan dimasa sesudahnya, begitu seterusnya
hingga era terakhir. Wajar saja, buku ini juga, mengandalkan temuan-temuan para ahli
sejarah dan arkeologi yang menunjang rekonstruksi perjalanan kesejarahan lanskap
disepanjang aliran sungai Rokan. Dalam konteks ini, maka studi dan garis pemikiran
seperti Manguin, 8 Coedes,9 Wolters, 10 Miksic, 11 Leonard Y Andaya,12 tentang jejaring
perdagangan kuno di Selat Melaka dan kawasan yang merupakan arbitrasi keruangan

7
Salah satunya adalah sebagaimana dalam laporan M Subhi Azhari; Proyek Identitas dan
Ketimpangan Representasi: Dinamik Relasi antara Etnis China dan Melayu di Bagansiapiapi,
hal.261-348, dan Hikmat Budiman; Mendiskusikan kembali Furnival: Satu Cerita Lagi dari
Bagansiapiapi, hal.459-508; dalam Kota-Kota di Sumatra; Enam Kisah Kewarganegaraan dan
Demokrasi, The Interseksi Foundation Jakarta, 2012.
8 Manguin, “Archaeology of Early Maritime Polities,”
9 Coedes, G. Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: East-West Center Press, 1968.
10
Wolters, O.W., Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri Vijaya. Ithaca,N.Y.:
Cornell University Press, 1967.
11
Miksic, Jhon, ”Trade Routes and Trade Centres.” The Encyclopedia of Malaysia. Early History.
Vol. 4. Singapore: Archipelago Press, 1998, 78–9.
12 Para ahli meyakini bahwa kehidupan masa silam terutama awal masehi warnai dengan proses

Indiaisasi, sebagai dampak dari kehidupan perdagangan di Selat Melaka, laut sempit antara
pantai timur Sumatra dan Semenanjung yang menghubungan politi-politi di seluruh dunia. Proses
perdagangan ini, tidak saja menjadi cikal bakal terbentuknya politi-politi yang saling berkompetisi
memperebutkan sumber daya di selat, bahkan, dalam jangka panjang mempengaruhi etnisisasi
bagi entitas dalam lingkaran jalur perdagangan selat. Jelasnya, lihat Leonard Andaya, Leaves of
the Same Tree: trade and Ethnicithy in Mellaca Strait, University of Hawai’i Press, Honolulu, 2008.
21

Sriwijaya, Pagaruyung dan Melaka, menjadi acuan pemahaman akan keruangan dihulu
sungai Rokan; setidaknya menjadi kerangka acuan dalam upaya memahami
bagaimana ruang-ruang lanskap terbentuk dalam masa-masa Hindu Budha dan
Melaka. Selain itu, berbicara tentang lanskap sebagai bentuk suatu pengorganisasian
ruang, yang terpenting disini adalah para “khalipah penguasanya.” Individu manusia
yang membentuk kesatuan organisasi masyarakat, yang bermukim dikewilayahan
lanskap disepanjang aliran sungai Rokan sebagai bahagian dari dunia yang lebih luas:
ALAM MELAYU, maka dalam tema itu, buku ini tidak hentinya berterimakasih atas
pemikiran Barbara Andaya13 yang menjadi titik tolak dan perspektif dalam upaya
melihat lebih dekat “kekerabatan Melayu,” terutama di aliran sungai Rokan. Meskipun
demikian, kami berkeyakinan bahwa suatu penelaahan proses sosial menuntut
relevansi dengan situasi terakhir, sebab bagaimanapun juga, kita hidup disaat ini, dan
tentu cenderung meminta keterkaitan lebih atas apa yang terjadi di masa lampau
dengan sekarang ini. Untuk itu, kami mencarinya pada bentukan dimasa lampau yang
telah bersinggungan dengan dunia modern, tepatnya dimasa kolonial Belanda. Bahwa
Bagansiapiapi, melejit menjadi sebuah kota yang mendunia seiring dengan masuknya
Belanda yang mendorong indutri perikanan menjadi terkemuka, hingga surutnya
industri. Tentu saja, ini memerlukan penjelasan dan argumentasi lebih, berkaitan
dengan kondisi-kondisi kekinian, bahwa apa yang tampak saat ini, tentu berkaitan
dengan apa yang terjadi sebelumnya dan keterkaitannya dengan peristiwa-peristiwa
dalam skala yang lebih luas. Dengan demikian, tatanan sosial terakhir adalah proyeksi
dari apa yang berlangsung sebelumnya; maka dari itu, fokus kedua buku ini adalah:
berupaya menjelaskan konfigurasi sosial di Bagansiapiapi pada masa Hindia Belanda.
Kami percaya, bahwa pembentukan konfigurasi sosial dalam suatu keruangan, sangat
dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan juga budaya dalam skala dan
dalam rentang waktu tertentu. Pentingnya melihat konfigurasi sosial masa kolonial itu,
dilandasai kenyataan bahwa Bagansiapiapi pada tahun 1946 mengalami konflik berat
berdimensi ras dan tentu dibayang-bayangi kepentingan politik Belanda yang ingin
kembali berkuasa menjajah dan berhadap-hadapan dengan segenap kekuatan rakyat
Indonesia, suatu periode yang juga menandai suatu perubahan besar disana. Untuk
mencapai tujuan pemahaman kedua itu, maka diperlukan serangkaian pemandu yang
akan melihat kepada perkembangan ruang-ruang dan segala aktifitas perekonomian
yang berlangsung disana.
a. penjelasan logis atas dinamika perkembangan kota Bagansiapiapi terutama
semenjak kehadiran penjajah Belanda di Bagansiapiapi yang membawa serta
struktur perekonomian kapitalis-kolonialnya dan menyebabkan terbentuknya
“masyarakat plural,” dan ini berarti juga;
b. menyusun suatu deskripsi tentang industri perikanan masa Hindia Belanda,
dan

13 Bagaimana Barbara Andaya merekonstruksi kekerabatan di Sumatra, lihat “To Live as


Brothers,” 1993.
22

c. menyusun suatu penjelasan tentang dampak “booming” industri perikanan


terhadap struktur sosial di Bagansiapiapi, begitu pula saat surutnya kejayaan
industri;

Landasan Teori
Tanpa dipandu oleh suatu kerangka teoritik, maka tampilan kronologi data dalam
suatu penulisan akan cenderung menjadi tidak bermakna.14 dengan demikian, disini
akan ditampilkan serangkaian kerangka teori yang menjadi landasan pemikiran dan
alur penulisan. Melihat dari persoalan yang sudah diketengahkan, maka buku ini
terutama berupaya menggunakan pendekatan yang lebih menyentuh akar persoalan.
Dalam perspektif evolusi, maka alur dapat menyerupai garis linear perkembangan
ruang sosial semenjak terbentuknya; hingga pembentukan kota. Jika perubahan sosial
itu sendiri terlihat sebagai gejala umum yang berlaku pada masyarakat manusia
diseluruh dunia, maka, perubahan struktur dan fungsi ini, dalam perspektif
materialisme akan dilihat terutama mengacu pada perubahan infrastruktur-sosial
yang melandasinya, sehingga diharapkan tidak akan bias dalam upaya memberikan
penjelasan-penjelasan yang dianggap memadai dan logis; asumsi-asumsi dasar
terutama kondisi material dari eksistensi manusia – seperti tingkat teknologi, pola
kehidupan ekonomi, dan ciri-ciri lingkungan alamiah merupakan penyebab yang
menentukan pengorganisasian masyarakat manusia dan perubahan penting
didalamnya.15 Intinya, kajian masyarakat akan meliputi pengalamannya dalam rentang
waktu yang berbeda, komparasi historis merupakan basis dalam penelitian, seperti
Max Weber yang berupaya menjelaskan tumbuhnya kapitalisme. Masyarakat, akan
dianalogikan seperti alam yang memiliki hukum-hukum pasti; keteraturan yang
deterministik. Sebaliknya, dalam paradigma yang berbeda, ternyata perilaku tatanan
sosial itu sendiri tunduk pada skenario drama yang dimainkan para pelakunya, secara
sadar atau tidak aktor akan melakukan ekspansi aktif dalam merajut sulaman struktur
ini yang pada akhirnya benar-benar menjerat dirinya sendiri dalam sikap kepasifan
yang khas; selain itu, terdapat juga tuntutan untuk tidak terlalu memaksakan desain
kerangka pada suatu rentang perjalanan sejarah, disebabkan pertimbangan keunikan
yang dimiliki pada fase-fase kesejarahan. Meskipun demikian, apapun drama yang
dimainkan, akan tetap juga melihat pijakan landasan tempat pagelaran drama digelar;
infrastruktur sosial. Seperti pada masyarakat tradisional; pemburu, pengumpul dan
peramu, yang nyata-nyata sangat tergantung pada lingkungan ekologi, maka ekologi
yang berubah akan mendesakkan pengaruhnya pada struktur masyarakat yang berdiri
diatasnya untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian pada ekologi yang berubah itu,
maka perubahan sosial dari tatanan sebelumnya ke yang berikutnya, strutur lama ke

14 Kuntowijoyo, 2008.
15
Sanderson, Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadao realitas Sosial, edisi ke-2, hal.21.
23

struktur baru, akan segera terjadi dalam tahapan-tahapan perubahan itu sendiri.
Tentu saja, tema besar yang relevan adalah bagaimana perubahan sosial dalam suatu
masyarakat itu terjadi berkenaan dengan berlangsungnya perubahan lingkungan
ekologi. Selain itu, buku ini, terutama memanfaatkan sifat dari sosiologi yang memiliki
paradigma ganda;16 dapat melihat realitas sosial dengan menggunakan kerangka
fakta sosial,17 sebaliknya dapat pula berlandaskan pada definisi sosial. Penulisan ini,
sebagaimana telah tampak diawal, secara prinsip mengacu pada perspektif
materialism – evolusionis; 18 yang melihat bahwa perubahan sosial berlangsung
sebagai perubahan dalam rentang diakronis; bagaimana suatu tatanan sosial beralih
kedalam bentuknya yang baru; hal ini mengindikasikan perubahan yang lebih bersifat
kualitatif daripada kuantitatif. Perubahan masyarakat dari meramu, ke masyarakat
pertanian, atau perubahan masyarakat pertanian ke perdagangan merupakan
perubahan kualitatif. Akan tetapi, peningkatan jumlah desa, atau penduduk dengan
kharakteristik yang sama, bukanlah suatu perubahan kualitatif, melainkan perubahan
kuantitatif semata. Halnya dengan muatan dari struktur sosial, dalam perspektif ini
tentu akan mengacu pada perilaku aktual. Perilaku aktual teridentifikasi melalui; ada
tidaknya pelapisan sosial; ada atau tidaknya pemisahan etnis atau rasial; cara
bagaimana masyarakat mengorganisir dirinya dalam upaya penegakan aturan-aturan;
pembagian kerja dan kekerabatan. Perspektif materialism ini, nampaknya lebih
mengutamakan identifikasi struktur sosial bermula dari kondisi infrastruktur sosial
yang terdiri dari; teknologi, perekonomian, lingkungan ekologi yang diartikan sebagaai
lingkungan fisik yang dihadapi dimana struktur harus mampu beradaptasi, dan
kemudian adalah demographi. Selain melihat dari bangunan bawah struktur sosial,
ketika penjelasan yang diharapkan ternyata tidak memadai, maka perspektif
materialism akan melihat juga kepada alam gagasan; suprastruktur sosial, seperti:
ideologi umum; agama; kesenian; dan kesusastraan, dimana disini nampaknya tradisi
lisan,19 digunakan sebagai sarana untuk memperoleh pemahaman suatu peristiwa
dimasa lampau.
Selanjutnya, mengacu pada permasalahan yang telah disampaikan, maka penulisan ini
menggunakan kewilayahan Kewedanaan (Onderafdeeling) Bagansiapiapi sebagai unit
analisis; dengan pertimbangan mengingat bahwa satuan geografis ini merupakan
tempat keberlangsungan hubungan antara ekologi, ekonomi, sosial dan budaya yang
menjadi obyek dari penulisan. Untuk diketahui, Kewedanaan Bagansiapiapi yang
meliputi tiga sub-distrik, Tanah Putih, Bangko dan Kubu; areal yang meliputi aliran
sungai Rokan dari hulu dengan jarak 70 km dari pantai. Tersebab untuk memahami
kharakter masyarakat yang mendiami tiga lanskap ini yang teridentifikasi sebagai

16
George Ritzer, Sociology: A Multiple Paradigm Science(Boston, Allyn and Bacon Inc.,1980.
17 Fakta social, sebuah terminology yang terutama dikembangkan oleh Emille Durkheim;
18
Sanderson, Sosiologi Makro.
19 Untuk kajian lebih mendalam, sepertl artikel dari James Danandjaja, Pendekatan Folklor dalam

Penelitian bahan-bahan Tradisi Lisan, dalam “Metodologi Kajian Tradisi Lisan,” Edisi Revisi,
Editor Prudentia MPSS, 2015, hal.63-78.
24

Melayu, maka, upaya yang dilakukan akan menyangkut juga hal-hal kuno. Akan tetapi
ini tidaklah berarti Melayu itu kuno; beberapa penjelasan dalam upaya melakukan
rekonstruksi ruang; memang akan membawa perhatian pada hubungan-hubungan
yang terjadi jauh kebelakang dimasa kuno itu. Kami berpendapat, bahwa hal-yang
menyangkut kekinian bukanlah phenomena yang bersifat serta-merta, melainkan
melalui suatu proses panjang dalam rentang waktu dan ruang yang relevan. Proses
sosial dinamis yang berlangsung di pesisir sungai Rokan, diyakini sebagai pengalaman
bersama dalam berbagi ruang dan pengetahuan, yang menghendaki pemahaman
yang tidak sepenggal saja, bagai notasi yang berdiri sendiri dari sebuah rangkaian
irama; terbaca, tetapi tidak bermakna. Akan tetapi disini, empati utuh terhadap
serangkaian peristiwa yang tidak dibiarkan begitu saja berdiri sendiri, akan lebih
membantu untuk mengerti bagaimana suatu masyarakat dapat bertahan dalam
menghadapi tekanan ketidaksamaan dan ketimpangan dalam keruangan yang
bernama Bagansiapiapi.
25

Onderafdeeling Bagansiapiapi.20

20Dilihat dalam MVO (Memorie van Overgave); Memorie van overgave van de Onderafdeeling
Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934, koleksi ANRI.
26
27

2
Keadaan Alam, Administrasi Wilayah
dan Kependudukan

Ekologi Muara Rokan


Sebagaimana lazimnya kawasan pantai timur Sumatra, maka kecenderungan wilayah
daratannya yang terus saja meluas kearah lautan, disebabkan terbawanya pasir di hulu
sungai dan gerakan lapisan tektonik di wilayah perairan Selat Melaka, delta-delta
yang terbentuk pada muara sungai secara terus menerus dan secara alamiah semakin
memperluas wilayah daratan. Dapat juga dikatakan pesisir Timur Sumatra dibentuk
oleh endapan laut dan endapan alluvial sehingga mengalami proses akresi. Proses ini
dihasilkan oleh endapan sedimen sungai-sungai besar yang mengalir dari arah
pegunungan menuju selat Melaka, dangkalnya laut yang menutupi paparan Sunda,
dan gerakan-gerakan tektonik itu.21 Bagansiapiapi sebahagian besar meliputi
perairan Muara Rokan yang tepiannya rimbun ditumbuhi mangrove, suburnya hutan
bakau seperti pepohonan bakau(rizhopora); tengar (Ceriops Candolleana); nibung
(Oncosperma Filamentosum); api-api(Avicennia); dan nipah (Nipa Fruticans) yang
merupakan kesatuan ekosistem di pantai timur Sumatra, khususnya di muara Rokan.
Muara Sungai Rokan mengandung Kekayaan akan fish fauna, dimana tercatat lebih
dari 100 jenis ikan beredar di perairan ini. Zat organik secara terus menerus terbawa
oleh aliran sungai Rokan dari pedalaman Sumatera, berpadu dengan kondisi hutan
bakau yang padat dan air pasang telah menyebabkan oksigenasi dan menyuburkan
elemen zat makanan ikan, plankton, sehingga memicu pertumbuhan ikan, diantaranya
jenis ikan dari berbagai perairan lain yang mendatangi daerah ini. Seperti
dikemukakan oleh Hardenberg, Bahwa dari 149 jenis ikan di perairan muara rokan, 80
diantaranya adalah tamu musiman;22 Melimpahnya ikan di Muara Rokan ini, tentu
dapat dilihat dari kondisi ekologis perairan muara Rokan itu sendiri. Laut
Bagansiapiapi yang tergolong Paparan Sunda ini, diketahui tingkat kekeruhannya

21 Bahkan Daniel Peret lebih jauh mengatakan akibat proses demikian, pesisir Timur Sumatra
bertambah sekitar 100 meter setiap tahunnya (hal-27-28). Daniel Peret, Kolonialisme dan
Etnisitas, Tahun 1995;
22 Hadenberg, sebagaimana dikemukakan oleh Azmi Fitrisia dan Padmo, dalam Sejarah Perikanan

Bagansiapiapi, Tahun 2007;


28

tinggi dan banyak mengandung pitoplankton. Pitoplankton merupakan makanan


utama Zooplankton. Zooplankton merupakan makanan utama bagi berbagai jenis ikan.
Volume zooplankton (cc/1000m3) di Laut China Selatan, misalnya rata-rata relative
tinggi, yakni 273 cc. Disebelah Pulau Bangka kearah Pulau Sumatra, terutama
Bengkalis/Bagansiapiapi, kepadatannya justru lebih dari 500cc.23 Selain itu, arus
pasang laut yang datang menghampiri Muara Rokan, benbenturan dengan bibir pantai
sehingga air mengalami kondisi turbulensi, yang akhirnya akan mengangkat Lumpur
yang berada di dasar. Lumpur yang mengandung banyak zat makanan ikan, berpadu
dengan arus Lumpur dari hulu sungai yang terbawa, terutama saat musim hujan,
diduga merupakan penyebab suburnya perairan Muara Rokan. Oksigenasi
sebagaimana disampaikan; sungai Rokan, yang memiliki pinggiran yang bukan
merupakan suatu garis lurus, melainkan berbelok-belok mengakibatkan hantaman
arus sungai memperkuat turbulensi yang berdampak pada kayanya kadar oksigen di
sungai, dan kondisi ini bagus untuk pertumbuhan ikan. Mudahnya, seperti kita melihat
akuarium, adanya airator akan menjaga ketersediaan kadar oksigen pada air. Terlebih
lagi hamparan Mangrove, yang merupakan tempat tumbuhnya anak ikan di daerah
pantai; juga faktor yang mempengaruhi kesuburan seperti dedaunan yang jatuh dan
membusuk diantara akar mangrove, kesemua ini merupakan suatu kesatuan logis
melimpahnya ikan di Muara Rokan. Ahli yang mempelajari secara intensif kondisi
sumber daya ikan di Muara Rokan sebagaimana namanya telah disebutkan, adalah
Hardenberg,24 yang laporannya diterbitkan di majalah Treubia pada tahun 1931.
Hardenberg yang melakukan penelitian pada rentang awal tahun (Januari-Februari)
1929, dan kemudian pada periode Oktober; memaparkan kondisi muara Rokan
dengan areal laut yang luas, dengan ukuran dari arah utara - selatan sekitar 20 mill
laut, dan arah timur-barat mencapai 40 mill laut. Areal luas membentang dari
Bagansiapiapi, Panipahan dan Sinaboi. Untuk Panipahan, maka arah ke sebelah barat,
terdapat muara yang juga luas, Panei. Pulau Pedamaran di leher sungai Rokan, Pulau
Halang Besar yang terletak sebelah barat pantai, dengan kedalaman pasang surut
mencapai 3-4 m, dan pulau Halang kecil yang sebelum tahun 1920 masih terpisah dari
Pulau Induk (Sumatra), namun saat itu telah menyatu akibat timbunan lumpur. Tentu
saja, saat pasang tiba, maka diantara pulau tersebut akan menyebabkan air pasang
tersebut menjadi sangat kuat; meski disini terdapat ceruk yang agak dalam
terbentuknya, namun tidak terjadi suatu endapan lumpur: Fakta tersebut, ternyata
memiliki pengaruh besar terhadap perikanan disini. Ceruk yang agak dalam juga
terdapat disebelah timur Pulau Halang Besar, yang berisi air bahkan saat surut
perbani. Kondisi ini terjadi di sepanjang Pantai timur. Untuk dua ceruk terakhir,

23
Azmi Fitrisia dan Sugianto Padmo, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942, Program
Studi Sejarah: Program Pascasarjana Universitas gadjah Mada, Tahun 2007 hal.499
24
Dr. J.D.F. Hardenberg, “The Fishfauna of the Rokan Mouth, Laboratorium voor het Onderzoek
der Zee, Batavia, dalam Treubia: reeueil de travaux zoologiquess, Hydrobioloqeues et
oceanographiques /’s Lands plantentuin = Jardin botanique de Buitenzorg, Jaargang 13,
Aflevering 1, 1 Januari 1931.
29

memiliki sejumlah besar endapan Lumpur, dan biasanya menjadi kering pada saat air
surut. Bentuknya seperti segitiga yang berpuncak di muara Rokan dan berbasis di Laut
lepas. Endapan Lumpur ini terjadi hingga arah barat-laut digugusan Pulau Aroea,
Selat Malaka. Kedalamannya berkisar 8-9 m yang diindikasikan dengan keadaan
perangkap ikan yang terdapat disana. Sentra endapan ini terbentuk dari lumpur cair,
dan fakta ini merupakan penyebab mengapa untuk mengetahui kedalaman dasar laut,
metode SOUNDING25 tidak dapat digunakan. Di tempat lainnya, juga terbentuk
penumpukan endapan, namun lumpurnya lebih keras. Endapan-endapan ini terdapat
di laut dekat Sinaboi, dan juga dekat pulau Halang Besar, baik untuk kelangsungan
didalam laut dan terlihat berlumpur. Menuju arah barat laut; Pulau Halang Besar,
disepanjang pantai kondisi dasarnya semakin hari semakin keras, lebih jauh lagi dari
pantai, ditemui Lumpur yang bercampur dengan pasir; Bahkan didekat Panipahan
hanya dijumpai pasir. Dekat arah pantai, yang berhadapan dengan Pulau Halang Besar
airnya terlihat berlumpur, akan tetapi berpasir disekitar Panipahan, dengan sejumlah
endapan lumpur ditemukan di depan muara beberapa sungai kecil. Disebelah timur
dekat Bagansiapiapi kondisinya berlumpur serta ditumbuhi dengan mangrove. Untuk
lingkungan di Sinaboi, ditemukan tumbuhan mangrove, yang menyebabkan garis-
pantai bergeser kearah laut. Antara Pulau Halang Besar dan Bagansiapiapi terhadap
sentra endapan, dan dari sini air secara berangsur-angsur semakin mendalam.
Kedalaman berkisar 8-9m yang pada saat surut perbani ditemui garis batas areal
melimpahnya ikan yang terletak di sebelah barat-laut itu.26
Halnya Muara Rokan, memiliki kharakteristik arus yang kuat, cocok dengan
keberadaan alat penangkapan ikan yang lazim ditemui di muara Rokan, JERMAL. Kita
menjumpai bahwa di Selat Malaka, terjadi air surut sebanyak dua kali sehari. Ini tidak
mengejutkan bahwa dalam mendistribusikan bentuk bagian dari laut, terdapat
perbedaan yang sangat besar pada kondisi pasang-surut. Perbedaan ini berkisar 3-4
m, dan pada saat spring-tide, yang biasanya sebanyak dua kali sebulan, mencapai
hingga 5-6m. Saat musim hujan ketika air sungai melimpah, akan meningkatkan
ketinggian air dan daratan akan tergenang. Satu hal menarik adalah phenomena
sebuah danau kecil berisi air tawar di Pulau Pedamaran. Informasi yang diperoleh
menyebutkan bahwa fauna yang ditemui disana adalah fauna yang hidup di air tawar.
Dua kali sehari pulau di kelilingi pasang besar oleh air payau dengan kadar garam
mencapai 8 – 10%. Fauna yang ditemui disini adalah fauna yang biasa ditemui di
muara. Telah disebutkan bahwa arus besar yang datang bersamaan dengan musim
penghujan telah menggenangi pulau, dan ini yang menyebabkan pulau tersebut
kembali memperoleh pasokan air tawar, bersamaan dengan datangnya fauna.
Terjadinya perbedaan yang cukup besar pada lavel air, tentu saja, dikondisikan oleh
kuatnya arus pasang. Dengan demikian, seluruh perikanan disini tentu tergantung

25
Sounding merupakan metode pengukuran kedalaman laut dengan gema suara yang terpantul
dari benda yang dijatuhkan kedasar laut;
26 Hardenberg, “The Fishfauna of The Roan Moth”, Treubia: Jaargang 13, Aflevering 1, 1 Januari

1931.
30

pada arus pasang ini. Kecepatan maksimalnya berkisar antara 3-4 mill laut perjam dan
di musim penghujan dapat lebih kuat lagi. Arah arus juga sangat berpengaruh
terhadap perikanan. Ini disebabkan alat penangkap ikan jermal dengan sumbu
panjangnya harus memiliki arah yang sama dengan arus. Ini adalah kondisi esensial
yang menyebabkan jermal dapat bekerja dengan baik. Bentuk V seperti sayap yang
menangkap ikan saat pasang dan menempatkannya ke jaring yang terletak di belakang
jermal. Arus pasang di Selat Malaka diarah tenggara dan arus surut berlawanan arah
di barat-laut, terletak di sepanjang sumbu dari Selat tersebut. Pada awal pasang-surut
, air yang tiba, mengalir bergerak memutar keluar dari Muara Rokan Oleh karena itu,
aliran ini bergerak kearah barat-laut disepanjang pantai Panipahan. Di sepanjang
Pantai Bagansiapiapi aliran ini menuju arah utara, yang berganti arah menuju timur
dekat Sinaboi. Berdasarkan hal tersebut, arah dari sumbu jermal bervariasi antara
utara-barat-tenggara dan barat-timur. 27 Selain itu, dapat juga dikatakan, Sungai
Rokan adalah sungai pasang surut dan juga disebut “sungai laut” yang air lautnya
mencapai bagian hulu meski sudah berpuluh Km jauhnya dari Muara hingga mencapai
Tanah Putih yang berjarak sekitar 70 Km.28 Selain kekayaan lautnya, kewedanaan
Bagansiapiapi memiliki potensi sumber daya hutan yang pada era pra-kolonial,
dipastikan masih sesak dengan keragaman hayati hasil hutan. Bahwa di pantai timur
yang garis pantainya dipenuhi dengan hutan bakau yang terkadang mencapai hingga
hampir 50 km, seperti ditemui pula di sungai Kampar. Di sungai Rokan, ditemui
suburnya tanaman bakau pada lanskap Bantaian yang berjarak lebih 20km dari bibir
pantai. Keanekaragaman ini terpelihara melalui kearifan lokal yang dinamakan
“Larangan Raja.” Akan tetapi, maraknya industri perikanan dipantai timur pada abad
ke-19, dan masuknya perekonomian kolonial diyakini telah merusak kesetimbangan
sumber daya hutan ini.

Administrasi Kewilayahan
Belanda, yang mengalami kerugian besar akibat perang Jawa(1825-1830), telah
menerapkan secara massif cultuurstesel (tanam-paksa) 29 dimana pada tahun 1877,
telah memperoleh keuntungan hingga ratusan juta gulden! Jumlah fantastis yang
menggerakkan roda perekonomian, dan Belanda yang sebelumnya sempat terpuruk
tersebab kekalahannya atas Inggris, kembali menjadi pemasok bahan mentah bagi
kebutuhan dunia. Perluasan penjajahan di nusantara pun menjadi begitu luasnya. Di

27 Hardenberg, 1931.
28
Controleur Baalbaren, MVO van Onderafdeeling van Bagansiapiapi, 1931.
29 Tanam Paksa sebagai sistem penggantian pajak tanah kepada penyerahan hasil bumi sesuai

dengan nilai pajak itu, dapat 2/5 atau 1/5, atau menukar dengan 1/5 waktunya dalam setahun
untuk suatu kerja wajib. Lihat Robert van Niel, Sistem Tanam Paksa di Jawa, 2003.
31

Sumatra, periode merkantilisme30 digunakan Belanda untuk menekan kerajaan-


kerajaan di pantai timur Sumatra, dan juga Semenanjung. Pasca kekalahan Portugis
dari VOC di Melaka 1641, mengakibatkan berubahnya peta kekuatan disepanjang rute
perdagangan selat. VOC Belanda, tak ubahnya seperti “Tuan” yang secara aktif dan
pasif, turut mengatur dominasi perdagangan. Kita bisa mengingat, betapa berang-nya
paduka raja Johor sebagai akibat begitu pasifnya Belanda saat kerajaan Jambi
menyerang menghancurkan dan menjarah Johor; mungkin saat itu VOC lupa betapa
sebagai akibat peranan yang dimainkan oleh Johor-lah VOC dapat mendepak Portugis
dari Melaka; atau, VOC yang lagi-lagi hanya duduk-duduk menonton saja ketika
sepasukan Raja Kecil menyerang aliansinya itu di tahun 1718. Akan tetapi, VOC
Belanda, turut aktif menyerang, ketika kepentingannya secara langsung tergangggu;
seperti pada peristiwa Pulau Guntung. VOC, mengerahkan kekutannya secara besar-
besaran menyerang Siak, mengusir Raja Ismail dari tahta. Akan tetapi, kepentingan
yang tidak memperoleh imbalan sepadan, menyebabkan VOC angkat kaki dari Pulau
Guntung – Siak. Dan kemudian, Belanda melibatkan diri dalam peperangan hebat di
pantai barat Sumatra; Perang Padri, yang berakhir di hulu sungai Rokan tahun 1838.
Pada tahun yang sama, Belanda yang telah memadamkan perlawanan di pantai barat,
diketahui telah memasuki wilayah pantai timur, tepatnya di hilir Indragiri; dalam
upaya perluasan dan peningkatan perannya sebagai “Tuan.” Siak, menjadi sasaran
aneksasi berikutnya. Belanda, tidak menguasai Siak melalui peperangan sebagaimana
“perang Guntung,” melainkan memanfaatkan situasi konflik internal yang berpuncak
di tahun 1857, antara Sultan Ismail dan Tengku Putra, dengan alasan menjaga
ketertiban yang lebih luas, Belanda menekan Siak melalui perjanjian 1858 yang
menghilangkan kedaulatan Siak, menjadi bahagian dari wilayah Hindia Belanda. Selain
itu, nampaknya ekspansi penjajahan Belanda pasca perjanjian Siak 1858, tidak lagi
sebagai dominasi penjajah dalam hal perdagangan saja, akan tetapi dimulainya era
dimana Eropa secara langsung turut dalam kegiatan produksi hasil bumi; perkebunan,
seperti tampak pada upaya komersialisasi perkebunan di pantai timur Sumatra.
Perilaku ini, diperkuat oleh Traktat Sumatra 1871 yang membagi wilayah Sumatra
untuk Belanda dan Malaysia untuk Inggris, maka bangsa Eropa khususnya Belanda,
akhirnya benar-benar dapat melangsungkan misi dan kepentingannya atas Sumatra;
invasi besar-besaran. Jika invasi Belanda ke wilayah Aceh dilakukan dengan
menyertakan bala pasukan militer dalam jumlah besar, maka di kawasan Pantai Timur
Sumatra, Belanda masuk dengan membawa serta sejumlah modal Eropa untuk
pengusahaan perkebunan, terutama Perkebunan Tembakau dan karet. Tentu saja,
perilaku penjajah ini ditopang oleh suatu rasa percaya diri yang besar; Wacana yang
berkembang di kalangan orang Belanda, bahwa merekalah yang menghidupkan
Lanskap di kawasan Pantai Timur Sumatra; melalui industri yang dikembangkan oleh
orang-orang Eropa. Seperti yang terdapat pada warta Algemeen Handelsblad Tahun

30 Merkantilis merupakan kebijakan beabarang yang tinggi bagi para pedagang asing yang masuk,
begitupula dikenakan pajak yang tinggi bagi pemasaran barang hasil industri dari negara pusat
ke daerah jajahan, juga kebijakan monopoli perdagangan di koloni.
32

1889, bahwa opini yang dikembangkan adalah di kerajaan ataupun lanskap yang
diwilayahnya tidak terdapat industri Eropa, maka lanskap tersebut akan cenderung
tidak berkembang.31 Deli in woord en Beeld yang terbit tahun 190532 secara jelas dan
rinci dapat mendeskripsikan serangkaian gambar elok yang sekaligus menjelaskan
lompatan perubahan kehidupan ekonomi di pantai Timur Sumatra, melalui
pengusahaan perkebunan, juga perubahan-perubahan lainnya. Sementara itu, arus
migrasi dari China dan Pulau Jawa, menjadikan kawasan Pantai Timur menjadi
cenderung heterogen, dan juga telah merubah komposisi masyarakat berdasarkan
etnis, yang biasanya diikuti dengan proses peng-kota-an kawasan di Pantai Timur
Sumatra. Sementara telah berkembang pantai timur dengan pola perkebunannya,
halnya diwilayah pesisir, tepatnya di muara Rokan juga telah berkembang sebuah desa
nelayan, dimana awal mula perkembangannya pada akhir abad ke-19 dan permulaan
abad ke-20 telah menjadi tempat industri perikanan terpenting di Hindia Belanda,
yaitu; Bagansiapiapi. Masuknya Belanda itu, tidak saja telah mempengaruhi tatanan
struktur pemerintahan negeri setempat, juga membawa berbagai perubahan;
terutama perubahan-perubahan ekonomi, hingga perubahan struktur politik dan
kependudukan. Sebagaimana telah disampaikan, dengan ditandatanganinya kontrak
politik oleh Sultan Siak dengan Belanda Tahun 1858, maka politik imperialis ini terus
berlangsung hingga ke wilayah kerajaan lainnya di Sumatra Timur.33 Bahwa di Sumatra
Timur, sampai pertengahan abad ke-19, Pemerintah Belanda terus saja melancarkan
politik imperialismenya. Pengaruhnya semakin kuat setelah Sultan Serdang
(Basyaruddin) menandatangani perjanjian acte van erkening tanggal 16 Agustus 1862
yang menyatakan takluk kepada pemerintah Belanda. Setelah itu menyusul kerajaan
Asahan 2 Maret 1886, Langkat 21 Oktober 1885 dan sebagainya. Pada tanggal 15 Mei
1873 Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai dan Bilah dijadikan
menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur yang ibukotanya di Bengkalis (Riau).
Mengingat perkembangan ekonomi yang pesat di Sumatera Timur, maka pada tahun
1887 ibukota keresidenan Sumatera Timur dipindahkan ke Medan. Saat itu Residensi
Sumatera Timur dibagi dalam lima afdeeling, yakni Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis,
Deli dan Batubara.34
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa pasca Traktat 1871 (Perjanjian Inggris
Belanda) telah menyebabkan “booming” industri perkebunan swasta di kawasan
Pantai Timur Sumatra yang berdampak pula pada reorganisasi pemerintahan kolonial;

31
Dilihat dalam Koran ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 Juni 1889 hal.1
32 Lihat Deli in Word en Beeld, oleh J.H.De Buussy, Amsterdam, Tahun 1905; Kemajuan Pantai
Timur Sumatra yang dianggap sebagai akibat masuknya Modal Eropa;
33
Dalam perjanjian disebutkan bahwa Siak mengakui kekuasaan Belanda yang juga meliputi
Kerajaan di Pantai Laut Siak: Pantai Bilah, Kualuh, Asahan, Batu Bara, Padang-Bedagai, Deli,
Serdang, Percut, Langkat, Tamiang dan Perbaungan: Dalam “Politiek Verslak Van Het Residentie
Riouw Over Het Jaar 1858. Bundel Riouw No.58.
34 T. Luckman Sinar, 1986: 154; Tim Penulisan Sejarah Pemda sumatra Utara, 1990: 3-6, dalam

Historisisme, Edisi 21 Tahun X Agustus 2005


33

seperti pada tahun 1873 melalui Staatsblad 1873 No. 81 dibentuklah Afdeeling
Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling Siak, Bengkalis, Laboehan Batoe dan
Asahan. Selanjutnya pertumbuhan dan perkembangan ekonomi perkebunan tersebut
yang diiringi dengan kontrak-kontrak baru antara Belanda dan Siak termasuk kontrak
dimana pemerintah Hindia mengeluarkan kebijakan akuisisi hak “pacht” atas lanskap
Tanah Putih, Kubu dan Bangko – hal ini berarti perluasan kewenangan Kolonial di
kerajaan Siak - maka sebagai konsekuensi logisnya adalah pendirian kantor Belanda
dan ditempatkannya seorang pejabat kontrolir di Tanah Putih di tahun 188535;
bahwasanya salah satu butir kontrak – Pasal 4 dari perjanjian 23 Juni 188436 antara
wakil Pemerintah Hindia dengan Sultan Siak, Mangkubumi dan para “Rijksgrooten”
(para pembesar) Tanah Putih atas hak pungutan pajak pada wilayah Tanah Putih, Kubu
dan Bangko yang ditetapkan berlaku pada tanggal 1 Januari 1886; terjadinya
perubahan pengelolaan sumber daya kepada pemerintah Belanda, terutama
mengenai pemungutan pajak(belasting).37 Selain itu, sebagaimana diketahui bahwa
Tanah Putih adalah Lanskap dengan pelabuhannya yang ramai disinggahi kapal dari
pedalaman hingga era 1880-an. Secara bertahap, Pemerintah Hindia pun sebagaimana
telah disampaikan mulai melengkapi komponen pemerintahannya dengan sumber
daya personil mulai dari tenaga administrasi pemerintahan hingga satuan polisi, segala
sesuatu yang nampaknya telah dipersiapkan jauh sebelumnya ditahun 1865 dengan
mengirim seorang utusan menuju tiga lanskap di hilir sungai Rokan: Boerhanuddin. 38
Akan tetapi, implementasi kontrak tentang pungutan tersebut pada awalnya diwarnai
dengan pembangkangan oleh komunitas nelayan Bagansiapiapi terhadap pemerintah
kolonial, dengan insiden perlakuan “tidak sopan” yang dilakukan oleh komunitas
China terhadap Kontrolir Tanah Putih yang berkunjung kesana untuk melakukan
pengumpulan pajak dari hak atas sewa (pacht) garam dan opium yang telah
diserahkan Sultan Siak kepada pemerintah Hindia. Seperti kisah lainnya di tanah
jajahan, penolakan selalu diasosiasikan dengan pembangkangan atau ketidaksopanan,
maka, ada penolakan tentu akan ada reaksi. Pemerintah Kolonial melakukan aksi
militer dengan memblokade jalur opium, pacht garam dan aktifitas penangkapan ikan

35
Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya menempatkan petugas
pengumpul bea, meainkan sekaligus penempatan pejabat pemerintahan: seorang kontrolir, yang
juga disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang joeroe moedi dan 6 orang awak kapal, dan
sebagaimana umumnya tipe pemerintahan kolonial diluar Jawa dan Madura- maka Tanah Poetih
masuk dalam kategori Kelas 2a. dilihat dalam Soerabaiasch Handelsblad; 27 Juni - 1Juli 1885.
36
Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer,
17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel.
37 Dilihat dalam T.Lukman Sinar Basyarsyah dalam Makalah “Sejarah Kesultanan Melayu di

Sumatra Timur: Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan
Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau, Indonesia, pada tanggal 17 – 21
Juli 1985.
38 Dilihat dalam ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 Juni 1889. Bahwa pemerintah telah menurunkan

timnya ke Lanskap Tanah Poetih, Koeboe dan Bangko pada waktu jauh sebelumnya, yaitu pada
tahun 1865, berita dalam De Sumatra Post, tanggal 6 Oktober 1902.
34

di Bagansiapiapi selama lima hari dengan menggunakan kapal uap Belanda –


“M.S.Djambi” dan beberapa kapal uap kecil, maka selanjutnya yang terjadi pada sikap
orang-orang China di Bagansiapiapi adalah meletakkan kepala di pangkuan
(mengalah), akan tetapi ditemui, bahwa sang Kontrolir tersebut kembali ke Tanah
Putih. 39 Kontrolir kemudian kembali lagi ke Bagansiapiapi dengan bersama satu
kesatuan polisi, dan komunitas China Bagansiapiapi tersebut diharuskan membayar
biaya kerugian serta pajak atas hak sewa (pacht) garam dan opium sebesar 1500
dollar. Kontrolir dan satuan polisi tersebut lalu mengadakan sensus di “kampong”
Bagansiapiapi40. Setelah itu, orang China di Bagansiapiapi pun melakukan kegiatan
seperti biasa, yaitu menjalankan bisnis penangkapan ikan. Pemerintah Penjajah
menganggap bahwa mereka memenangkan momen tersebut berdasakan kelemahan
komunitas China Bagansiapiapi itu sendiri. Peristiwa tersebut, menjadi pemicu
hadirnya Hindia dalam industri perikanan di Bagansiapiapi: bahwa, diakhir abad ke-19,
seluruh sumber daya komunitas ini dikerahkan untuk mendukung industri tersebut.
Berkaitan dengan keadaan Muara Rokan khususnya Bagansiapiapi dengan
pelabuhannya, kondisi ini jelas menguntungkan Penguasa Kolonial pada saat itu.
Pada tahun 1887 kembali terjadi reorganisasi pemerintahan, bahwa melalui
Staatsblad 1887 Nomor 21 dibentuklah beberapa Afdeeling yang dipimpin oleh
seorang Asisten Residen; yang mana diantaranya adalah Afdeeling Bengkalis yang
membawahi Onderafdeeling Bengkalis, Siak dan Tanah Putih. Perkembangan
tersebut, nyata-nyata terlihat dari keadaan kependudukan yang bahkan pada tahun
1888, tepatnya dua tahun sesudah peristiwa blokade, populasi China Bagansiapiapi
tumbuh dengan sangat pesat, yakni mencapai 4000 jiwa (Bagansiapiapi sejumlah 2500
dan Panipahan sejumlah 1500 jiwa; bandingkan dengan laporan Rijn Alkamade Tahun
1884 yang hanya berjumlah 1000-an jiwa di Bagan dan sejumlah lainnya di Panipahan
dan Tanah Putih), dimana sebagian besar dari mereka didorong untuk melakukan

39
Dilihat dalam Butcher, 1996,Juga seperti terdapat pada “Chineezen buiten China,” Tahun 1909,
— Bijlage 11. (Zie blz. 322). B elangrijkste mededeelingen, voorkomende in de Koloniale
Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van Sumatra. [1874—1906]: “In
Januari 1886 zag ons bestuur zich genoopt om eenige aan den mond der Rokanrivier, te
Baganapiapi, gevestigde Chineezen, die aldaar de visch – en de garnalenvangst uitoefenen, tot
gehoorzaamheid te brengen, daar zij geweigerd hadden den pachter, wien de Sultan van Siak
het opium en zoutmiddel aldaar had afgestaan, te erkennen en tevens een onbetamelijke houding
hadden aangenomen tegen den controleur van Tanah Poetih, die naar baganapiapi was
gekomen om er de bedrijf belasting te innen. Toen geleden verlies te vergoeden en de
verschuldigde bedrijf belasting te betalen, werd als dwangmaatregel haar de uitoefening van
haar bedrijf belet waartoe het gouvernements-stoomschip Djambi met een paar stoomsloepen
naar Baganapiapi werd afgezonden. Nadat de maatregel gedurende 5 etmalen met klem
gehandhaafd was, legden de Chineezen het hoofd in den schoot.
40 Dilihat dalam BATAVIASCHE NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's

Oostkust.
35

penangkapan ikan.41 Tahun 1880-an ini, seperti dicatat oleh Van Rijn, jumlah
penduduk Bagansiapiapi baru mencapai sekitar 1000 jiwa, yang hampir seluruhnya
terdiri dari laki-laki China. Selain itu, pasca blokade 1885, dimulai juga berdatangan
orang-orang China gelombang kedua di Bagansiapiapi menjelang akhir abad ke-19,
yang berasal dari Tanwa, Amoy, Teng Hai, Hai Jib dan Shantung,42 terutama melalui
Singapura. Secara politik, Belanda yang sebelumnya ditahun 1885 telah menempatkan
pejabat kontrolirnya di Tanah Putih dan menjadikan Tanah Putih sebagai pelabuhan
transit produk dari pedalaman, namun tidak sampai sepuluh tahun berikutnya,
tepatnya ditahun 1894 (Stbld 1894 Nomor 93 dan 94), telah menyebutkan perlunya
pemindahan pusat onderafdeeling dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi dalam rangka
pemudahan pengumpulan pajak dan bea. Niat pemerintah Belanda ini, terakhir adalah
dengan pemindahan kantor kontrolir ditahun 1900 melalui terbitnya Staatblad 1900
Nomor 64. Menetapnya pemukim China di Muara Rokan, juga diatur oleh Pemerintah
Hindia Belanda melalui Staatsblad 1884 No.61 yang merupakan pengaturan
lingkungan pemukiman untuk para pemukim oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana
wilayah Afdeeling Bengkalis ditetapkan; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat,
Bagansiapiapi, Tanah Putih dan Penipahan sebagai lingkungan pemukiman orang
China. Adapun untuk pemukim China di Sinaboi, sebagaimana ditetapkan dalam
Staatsblad Tahun 1908 Nomor 662. Untuk penduduk China, maka kelompok ini
dikepalai oleh seorang dengan jabatan Luitenant, sebuah lembaga buatan Pemerintah
Hindia Belanda; kedudukan dan jabatan yang kemudian di Bagan dikenang sebagai
Kapitan.
Sebagai Onderafdeeling dibawah Afdeeling Bengkalis, Bagansiapiapi membawahi tiga
subdistrik, yakni Bangko, Tanah Putih dan Kubu; dengan ibukota Bagansiapiapi.
Wilayah subdistrik Bangko dan Kubu merupakan wilayah pesisir, sedangkan subdistrik
Tanah Putih terletak di Hulu Rokan. Wilayah BANGKO meliputi Kota Bagansiapiapi
sendiri hingga Sinaboi berbatasan dengan Selat Malaka dan Onderafdeeling Bengkalis,
kemudian arah ke Hulu hingga Bantaian. Adapun sebelah Barat berbatasan dengan
onder-distrik KUBU, yang wilayahnya meliputi; panipahan, Kubu sendiri dan Pulau
Halang, kemudian berbatasan dengan Afdeeling Laboehan Batu. Arah ke selatan,
tepatnya di pada Hulu Sungai merupakan sub distrik TANAH PUTIH, yang meliputi
Siarang-arang, Sintong, Rantau Bais Sidinginan. Subdistrik Tanah Putih berbatasan

41
Bahwa pesatnya arus migran China yang bergerak dibidang perikanan dan panglong di
Bagansiapiapi, selain disebabkan oleh dorongan pemerintah Kolonial, juga melibatkan
Rijksgrooten Siak; salah seorang pembesar Siak yang memperoleh hak atas distrik Tanah Poetih,
melakukan perjalanan ke Singapura guna menemui para nelayan dan Panglong China disana,
mengajak mereka untuk bermigrasi menuju Bagansapiapi yang dikatakan memiliki prospek yang
bagus. Dan hasilnya, dikatakan oleh sumber warta kolonial memang banyak dari mereka akhirnya
bermigrasi ke Bagansiapiapi, dari laporan kunjungan seorang Eropa ke kediaman Tongkoe
Mangkoeboemi, dalam “Sultan van Siak”, De Sumatra Post, 31 Januari 1899.
42 Fitrisia dan Padmo, 2002, hal.499; lihat juga In en om de Chineesche kamp: Page 19, Moerman,

J. Hardeman, J.Landsdrukkerij, 1929.


36

kearah selatan dengan Onderafdeeling Boven-Rokan (Pasir Pangaraian). Pemetaan


batas-batas wilayah yang demikian, menyebabkan dalam mendefinisikan
Bagansiapiapi, dapat dalam konteks Bagansiapiapi sebagai wilayah administrasi
pemerintahan (onderafdeeling), atau dalam konteks ibu kenegerian dari tiga
landschap dimaksud, yakni Kota Bagansiapiapi di Muara Rokan. Wilayah
onderafdeeling Bagansiapiapi yang mencapai 9718 km2 dengan batas-batas yang
sangat luas dapat menimbulkan persoalan sengketa batas. Namun, akhirnya pada
tahun 1927 diadakan pertemuan untuk membahas sengketa batas dan dapat
diselesaikan, yakni hampir disepakati persoalan batas dengan semua pihak kerajaan,
kecuali dengan Kota Pinang.43 Adapun kewedanaan Bagansiapiapi secara tradisional,
merupakan bagian dari wilayah kerajaan Siak bersama dengan tiga kenegerian; Tanah
Putih, Bangko dan Kubu, namun bukanlah eigenlijk (wilayah asli) Siak, melainkan
sebagai wilayah dependensi.44 Persoalan kewilayahan dihilir sungai Rokan ini, seperti
sebagaimana perjanjian yang ditandatangani antara Sultan Siak dengan Belanda
tanggal 5 Februari 1890, juga perjanjian sebelumnya tanggal 28 Maret 1863, Tanah
Putih, Kubu dan Bangko merupakan wilayah dari kerajaan Siak;45 Sebagaimana telah
dibakukan dalam perjanjian Siak – Belanda tahun 1858. Kewilayahan yang dibakukan
kembali melalui Bab Al-Qawaid,46 sehingga segala pergerakan Belanda untuk
memperluas wilayah administrasinya di Bagansiapiapi harus melalui persetujuan
Penguasa Siak. Adapun tiga kenegerian di Onderafdeeling Bagansiapiapi
sebagaimana tertera dalam Baboe’lkawaid Bab yang pertama sebagai berikut47:
“Fasal 5. Bahagian provincie negeri Bangko;
dari soengai Sineboei mengikut tanah besar masoek kesoengai Rokan sebelah
kiri, moedik sampai sesoengai siarangiang dan mengikoet sebelah kanan,
moedik soengai Rokan, dari soengai Doea Pekaitan sampai ketandjoeng
Sigerah dan poelau2 yang kecil2, mana jang masoek didalam keradjaan Siak
Seri Indrapoera, jang dekat sitoe.
Fasal 6. Bahagian provincie negeri Tanah Poetih:
Dari Tandjoeng Sigerak mengikoet soengai Rokan sebelah kanan, moedik,
laloe masoek kesoengai Rokan kiri sampai ke Pasir roempoet watasan dengan

43 Baalbergen, ANRI (MVO), 14 Mei 1931, hal.29


44
Traktat 1858 antara Siak dan Belanda, membagi wilayah Siak atas Eigenlijk Siak(wilayah asli
Siak) dan dependensi Siak; Lanskap Tanah Putih, Bangko dan Kubu, merupakan wilayah
dependensi Siak.
45 Bahwa Lanskap Tanah Poetih, Koeboe dan Bangko dikatakan menjadi bahagian dari Kerajaan

Siak adalah pada tahun 1795 – dimasa Said Ali bertahta di Siak; yang dikatakan oleh sumber-
sumber Belanda sebagai Radja Siak yang paling energik dan Siak banyak memperoleh wilayah
taklukkannya, Sebagaimana dilihat dalam Java Bode: Siak, 21 Juli 1886.
46
Dilihat melayuonline.com; Hukum Adat Tentang Batas Wilayah Kesultanan Siak Sri Indrapura.
47 BABOE’LKAWAID: Almoestachaza billah, Keradjaan Siak Seri Indrapoera, 1901, dilihat dalam

Tijdshrift voor het Binnenland Bestuur Negen-en-Derstigste Deel, Batavia, G.Kolf & Co, 1910,
hal.87-88.
37

koenta di Kota Intan dari soengai Siarangiang mengikoet soengai Rokan


sebelah kiri, moedik, laloe masoek ke batang Koemoe sampai ke moeara
batang Boereoek, watasan dengan Tamboesai dan laloe kesoengai Rokan
sampai ke ke-Air Mindah, watasan negeri Kepenoehan dan lagi masoek
kesoengai Rajoeng sampai bertemoe watasan batin Delapan Sakai dan
poelau2 jang ketjil2, mana jang masoek didalam keradjaan negeri Siak Seri
Indrapoera, jang dekat disitoe. Dan lagi ditarik satoe garis dari tandjoeng
Sigerak teroes ke hoeloe soengai Dahoen dan teroes kehoeloe soengai
Sipangambat, teroes kehoeloe soengai Mahta sehingga soengai koening dan
laloe menikam batang Boeroek dan Lengkoeas, berwatas dengan Tamboesai.
Fasal 7. Bahagian provincie negeri Koeboe.
Dari soengai Doea Pekaitan mengikoet tanah besar laloe sampai ketelaga
Tergenang berwatasan dengan negeri Panai dan kedaratnja sampai ke
Beroehoel berwatasan dengan negeri Kota Pinang dan poelau Djemoer dan
poelau Tokong Simbang dan poelau Lalang Besar dan poelau Lalang Ketjil
dan poelau jang ketjil2, mana jang dekat disitoe; dan ditarik satoe garis dari
telaga tergenang melaloei Beroehoel menoedjoe hoeloe soengai Dahoen,
jang didalam batang Koemoe berwatasan dengan Tanah Poetih.”
Secara umum, kondisi utama yang berlaku adalah banyaknya wilayah onderafdeeling
yang di bentuk Pemerintah Kolonial saat itu sebagai akibat reorganisasi Sumatra
Timur, dan Besluit Gubernur 6 Juli 1915 dimana status Residensi Sumatra dinaikkan
menjadi Gouvernement (provinsi) yang berkedudukan di Medan, dan secara
administrasi wilayah Sumatra Timur dibagi menjadi lima afdeeling, dimana
Onderafdeeling Bagansiapiapi masuk dalam Afdeeling Bengkalis.48 Model ataupun
sistem pemerintahan Kolonial Hindia Belanda yang disebut Binnenland Bestuur
dimana orang-orang Belanda sebagai penguasa pemerintahan dimulai dari Gubernur
Jenderal, Residen, Asisten Residen hingga Kontrolir, adalah dengan menempatkan
penguasa kerajaan tradisional-lokal dalam wilayah administrasi pemerintahannya,
sehingga Belanda akan mudah untuk mengontrol segala tindakan penguasa
tradisional-lokal. Kondisi ini juga telah menyebabkan terbatasnya kewenangan raja-
raja penguasa kawasan Hindia Belanda, khususnya di Pantai Timur Sumatra. Raja,
yang selayaknya dalam kondisi normal bebas, adalah lazimnya merupakan
kewenangan raja dalam hal pemungutan bea, terbatasi oleh perangkat aturan yang
dikeluarkan pemerintah kolonial. Bahkan, raja sebagai penguasa wilayah secara
tradisional, memiliki level yang sama dengan perwakilan Belanda di landschap, yaitu
Kontrolir. Kontrolir sebagai pengawas, yang merupakan wakil penguasa kolonial
terendah yang tidak bertanggung jawab kepada Raja, melainkan kepada Asisten
Residen. Kontrolir dalam konteks hubungan dengan Raja adalah sebagai penasihat.
Raja sebagai penguasa tradisional, dalam melaksanakan praktek kekuasaannya
diawasi oleh kontrolir, meski Raja tidak merupakan bawahan kontrolir. Akan tetapi,

48
Tengku Lukman Sinar, 1985.
38

segala persoalan selalu dalam kondisi pengawasan kontrolir, sehingga melemahkan


kekuasaan tradisional Raja. Kekuasaan Raja secara tradisional adalah membawahi
para Datuk, dan Datuk membawahi para Penghulu. Sebagaimana halnya di
Bagansiapiapi, maka hukum yang berlaku adalah sebagaimana yang ditetapkan oleh
Raja (Sultan Siak), bahwa organisasi pengadilan Zelfbestuur49 mengacu pada aturan
hukum Siak50. Untuk Bagansiapiapi, setidaknya sekali dalam 4 bulan dilaksanakan
sidang yang dihadiri oleh Sultan Siak ataupun pejabat Kerajaan Siak yang
mewakilinya.51 Datuk, selain sebagai kepala pemerintahan tradisional diwilayahnya,
juga merangkap jabatan sebagai Hakim Polisi. Menjelang berakhirnya kekuasaan
Hindia Belanda, Bagansiapiapi merupakan sebuah kota, ibukota Onderafdeeling,
kewedanaan. Sebuah kota yang tidak terlalu luas, namun sebagai pusat pemerintahan
memiliki keluasan hingga lebih 9000 km2; digambarkan Vleming merupakan daerah
yang padat, sibuk, dan menghasilkan pajak yang besar untuk pemasukan Kas
Pemerintah Kolonial.52

Kondisi Kependudukan
Untuk mengetahui bagaimana kondisi kependudukan pada masa lampau, ada baiknya
sebagaimana yang dikemukakan oleh Daniel Peret, melihatnya dari keadaan sekarang
ke masa lampau; untuk mengetahui sejarah migrasi penduduk. Kewedanaan
Bagansiapiapi pada saat sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Rokan Hilir,
dimana jumlah penduduknya pada tahun 2010 mencapai lebih dari 700.000 jiwa.
Berdasarkan pengamatan lapangan, tidak terdapat sebuah desa dengan komposisi
yang homogen, melainkan memiliki varian etnis. Varian ini, meliputi dominasi Melayu,
Jawa, Batak, Bugis, dan Minangkabau; diketahui tumbuh pesat pasca booming kelapa
sawit di Riau, dimana terjadi lonjakan pertambahan penduduk yang sangat pesat;
terutama juga setelah diberlakukannya otonomi daerah di tahun 1999. Selain itu,
jumlah desa bertambah sesuai dengan perkembangan pertumbuhan penduduk, yang
nampaknya juga mengikuti tren perkembangan ekonomi; daratan. Pusat-pusat
pertumbuhan desa baru mengikuti perkembangan jalan raya, terutama jalan raya

49
Zelf Bestuur adalah bagian dari Sistem pemerintahan Kolonial Belanda, dimana kerajaan
memiliki pemerintahannya sendiri;
50
Dilihat dalam Controleur Van Durren, ANRI-MVO: Memorie Van Overgave Van de
Onderafdeeling Bagan Si Api Api, 30 Agustus 1934, Hal 45: De rechterlijk organisatie voor
"zelfbestuur" zonder hoorigen bleef nagenoeg ongewijzigd; t.d.s. worden verwezen naar het
rechtsregelling siak. van belang en een groote verbetering is de uitbreiding van de bevoegdheid
van de districts echter tot kennis neming van de lichte nisdrijven (uitvoeriger besluit van zijne
hoogheid den sulthan van siak ddo.11 agustus 1932 No.193).
51 Dilihat dalam Controleur Van Durren, ANRI-MVO: Memorie Van Overgave, ddo, 11 Agustus

1932.
52
Dilihat dalam Vleming Jr.De Chineesche Zakenleven in Nederland Indie, 1926.
39

lintas Sumatra yang membelah wilayah ini menjadi dua bahagian utama; bahagian
kearah selatan atau ke pesisir merupakan eks wilayah sub-distrik Kubu dan Bangko,
sementara arah ke utara sebahagian besar merupakan eks sub-distrik Tanah Putih.
Meskipun demikian, mantan pusat Distrik Tanah Putih(Onderafdeeling Tanah Putih),
terletak dibahagian arah pesisir yang sekarang dikenal dengan Tanah Putih Tanjung
Melawan. Sebahagian desa-desa itu juga, berada pada kawasan yang saat ini
diketahui sebagai area pengembangan budidaya kelapa sawit. Bukan urusan kita disini
untuk mengetahui bagaimana perkebunan itu begitu dominannya, akan tetapi,
kepentingan kita adalah menyangkut bagaimana pertumbuhan penduduk di kawasan
ini pada era kekinian; diasumsikan kondisi yang merupakan akumulasi serangkaian
gerak migrasi penduduk dari kawasan lainnya; dan untuk mencapai tujuan ini, maka
kita akan melihatnya dari kharakteristik perkembangan desa itu sendiri.
Perkembangan terakhir, wilayah ini menjadi Kabupaten Rokan Hilir melalui
pemekaran Kabupaten Bengkalis, melalui Undang-Undang Nomor 53 Tahun 1999.
Pada lintasan jalan raya arah perbatasan Sumatra Utara, maka ditemui sejumlah besar
kepenghuluan yang dalam konteks kekinian, dapat dipahami sebagai dampak
pembukaan jalan raya tersebut. Akan tetapi, jika kita melihat kebelakang, maka
wilayah itu merupakan hulu dari sungai Kubu, Senembah, yang pada tahun 1920-an
dibuka perkebunan karet oleh pihak kolonial, dan perkebunan komersil ini menarik
kedatangan sejumlah pemukim tidak saja dari pesisir sungai Kubu, melainkan juga
yang berasal dari arah Sumatra Utara. Perkembangan penduduk selanjutnya,
nampaknya para migran berasal dari pedesaan di Jawa melalui kebijakan pembukaan
pemukiman transmigrasi Bagan Sinembah, dan pada beberapa dekade menjelang
akhir milennium kedua, kembali sejumlah besar migran dari Sumatra Utara
berdatangan seiring tingginya tingkat perkembangan perkebunan sawit.53 Bahwa
sebelum tren perkebunan sawit begitu meluas disini, maka berkembang juga
pemukim terutama bergerak dalam pengupayaan padi-sawah(wet culture) yang
didominasi oleh etnis Jawa. Sebaran pemukim ini, terutama pada lanskap pesisir di
Kubu; bentangan lautan sawah dapat ditemui yang dikembangkan oleh orang Jawa
yang berasal dari Jawa dan Sumatra Utara. Selain itu, hamparan padi sawah juga
ditemui di wilayah hulu dari eks pusat lanskap Bangko, tepatnya di Teluk Pulau – Rimba
Melintang, dan juga ke arah utara Bagan disebahagian jalan raya Bagansiapiapi -
Sinaboi.
Memasuki era booming perkebunan kelapa sawit, terjadi pula perkembangan varian
etnis. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa secara umum Melayu merupakan
kelompok etnis terbesar yang mendiami wilayah mulai dari pesisir hingga pedalaman,
terutama dititik lanskap kuno. Beberapa peristiwa besar era republik, diasumsikan
merupakan sumbangan penting terhadap gerak penduduk menuju wilayah eks
kewedanaan Bagansiapiapi ini; seperti peristiwa Bagansiapiapi 1946, PRRI tahun 1958,
peristiwa 1965 dan terakhir adalah reformasi yang berbuah otonomi daerah ditahun

53Lihat C. Hoshour, “Resettlement and the politicization of ethnicity in Indonesia” In: Bijdragen
tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Riau in transition 153 (1997), no: 4, Leiden, 557-576.
40

1999. Selain itu, gerak perekonomian danbangke merupakan daya tarik tersendiri bagi
pelaku perdagangan di jalur Selat Melaka yang juga menjadi daya tarik bagi migran.
Perfoma varian penduduk tampak dari lapisan birokrasi yang meskipun didominasi
Melayu, juga menunjukkan heterogenitas dalam skala terbatas; kemudian para pelaku
perdagangan di seantero pasar rakyat, atau juga dalam pagelaran pasar pekan di
wilayah ini, orang-orang dari Sumatra timur laut dominan sebagai pelaku dalam gerak
mobile yang cukup tinggi. Di kota utama, Bagansiapiapi, terdapat lebih 80 varian
etnik54 yang didominasi beberapa etnis; mulai dari Melayu, Jawa, China, Batak dan
sejumlah Minangkabau yang berprofesi sebagai pedagang; meskipun tampilan pusat
kota merupakan pecinan sebagai warisan dari masa lampau. Sementara tarikan pusat
pemerintah ke wilayah sebelah selatan, Bagan Punak, merupakan refleksi elit
pemerintah dalam suatu upaya menempatkan kharakter dasar Melayu, Islam, dimana
wilayah ini sekarang dikenal dengan sebutan “Negeri Seribu Kubah.” Suatu tampilan
upaya penguatan identitas di era otonomi daerah. Pada era awal penempatan ibukota
kewedanaan Bagansiapiapi, Belanda, diketahui hadir dengan sejumlah polisi pribumi,
dan juga narapidana yang juga pribumi dan berasal dari berbagai wilayah. Dalam
sistem pemerintahan kolonial, maka lazim dikerahkan narapidana dalam suatu kerja-
paksa terutama untuk membuka lahan-lahan baru. Kemudian, ditahun 1911, diketahui
sejumlah tiga puluh orang pekerja dari Yogya tiba di Bagansiapiapi atas kemauannya
sendiri.55 Bahkan, keberadaan orang-orang Jawa di kewedanaan Bagansiapiapi telah
mencapai sekitar 500 jiwa di tahun 1930, akan tetapi luput dari catatan kolonial
tentang varian pribumi itu dilokus perkebunan.

54Dilihat dari BPS Kabupaten Rokan Hilir wilayah Kecamatan Bangko tahun 2011.
55Dalam suatu sumber disebutkan bahwa awal mula kedatangan orang Jawa ke Bagansiapiapi
bersamaan dengan dokter RM Pratomo (1911-an), yang berencana mendirikan Rumah Sakit
disana, sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Dokter Pratomo bersama-sama dengan
E.C.A. Herbst, seorang mantan perwira Belanda berkebangsaan Jerman, banyak melakukan
kegiatan sosial, seperti memberikan pelatihan ketrampilan pada penduduk. Atas bantuan Kepala
Distrik (Hoofd district) saat itu, diberikanlah kepada “paguyuban” tersebut tanah pemukiman
diarah timur Bagan., yang menjadi cikal bakal Kampung Jawa di Bagansiapiapi.
41

Sebaran pusat pemerintahan desa(kepenghuluan)


di Kabupaten Rokan Hilir tahun 2010. .

Dari perkembangan demografi, dapat diduga bahwa era booming perkebunan di


Sumatra Timur telah menarik migran, khususnya Migran China, yang didatangkan via
Penang ataupun Singapura. Bahwa migrasi orang-orang China ke Hindia, khususnya
pantai timur, yang terjadi dalam dua gelombang besar; pertama masa tahun 1860-
1900; dan tahun 1900-1930. Dalam gelombang pertama, meskipun kedatangan
orang-orang China diluar Jawa dominan berada di pantai timur, menunjukkan jumlah
42

yang masih terbatas di muara Rokan. Sebaliknya, gelombang kedua menunjukkan


jumlah mereka yang meningkat pesat bersamaan dengan perkembangan industri
perikanan. B.J.Haga, dalam jurnalnya tahun 1917 mengidentifikasi jumlah penduduk
Bagansiapiapi, khususnya orang China yang populasinya tersebar di wilayah
Onderafdeeling Bagansiapiapi yang mencapai 12.012 jiwa, sebagaimana terdapat
dalam tabel berikut:

Sumber: Haga56, 1917

Data diatas menunjukkan bahwa kondisi Bagansiapiapi sendiri hingga tahun 1917,
terdiri dari sejumlah 8800 orang China, kelompok dominan yang memiliki konsekuensi
logis atas perkembangan warna kota Bagansiapiapi itu sendiri, bahwa realita
kehidupan orang China adalah yang dominan di Bagansiapiapi. Mengenai komposisi
penduduk berdasarkan etnis ini, dapat dikatakan bahwa sejak awal Desa Nelayan
Bagansiapiapi terbentuk, ditinjau dari sisi etnik, masyarakat tidaklah homogen,
melainkan telah ada varian meskipun dalam perbandingan yang tidak seimbang.
Laporan Kolonial juga menunjukkan bahwa di Bagansiapiapi, tidak saja berdiam
Orang-orang China, melainkan juga kelompok Bumiputra, dalam jumlah ratusan;
Komunitas Pribumi ini juga terlibat dalam usaha perikanan jauh sebelum orang China
mendatangi wilayah ini. Hanya saja, usaha perikanan tersebut tidak dalam skala yang
sama dengan yang diupayakan oleh komunitas China, melainkan dalam skala terbatas.
Sensus Penduduk tahun 1930 menunjukkan bahwa di Onderafdeeling Bagansiapiapi
memiliki jumlah Penduduk sebanyak 43.467 jiwa, dengan rincian; Bangko sejumlah
25.355 jiwa; Tanah Putih sejumlah 7.500 jiwa dan Kubu sejumlah 10.782 jiwa. Adapun

56salah satu tulisan terpenting tentang Perikanan Bagansiapiapi adalah seperti yang dilakukan
oleh B..J.Haga, dalam “De Beteekenis Der Visscherij Industrie Van Bagan Api Api en Hare
Toekomst” yang dipublikasikan Tahun 1917 dalam jurnal De Economist Januari 1917 (66: 237-
262). Tulisan ini secara rinci menggambarkan keterkaitan antar elemen dalam suatu industri
perikanan, seperti alat produksi, transportasi, kebijakan penguasa kolonial terhadap garam,
kondisi penduduk dan perhitungan ekonomi produksi – industri Bagansiapiapi. Tulisan yang
terdiri dari delapan bab ini merekomendasikan hal yang menjadi dasar penyusunan kebijakan
pemerintah kolonial dalam menangani Industri perikanan tersebut era Bank Bagan Madjoe.
43

di Bagansiapiapi sendiri, pada saat itu jumlah pemukim China diperkirakan sejumlah
13.000 jiwa, dimana penduduk Bagansiapiapi sendiri mencapai hampir 15.321 jiwa;
3266 diantaranya adalah inlanders (Bumiputra), 28 jiwa adalah orang Eropa, 11.998
jiwa adalah orang Cina dan 29 jiwa adalah orang yang termasuk golongan Timur atau
Asia lainnya.57 Untuk jelasnya, dapat dilihat pada Tabel berikut:
Sub- Tahun 1920 Tahun 1930
Distrik Erp Prib Chi Total Erp Prib. Chin Total
Bangko 10 7.266 8.421 15.697 28 12.232 13.066 25.326
trmask Bagan
siapiapi
Tanah Putih - 4.546 103 4.749 - 7.305 191 7.496

Kubu - 4.986 4.565 7.551 - 7.652 3.118 10.770

Total 10 16.898 11.089 27.967 28 27.189 16.375 43.592


Sumber: Data Kependudukan Tahun 1920, dilihat dalam MVO - Controleur Te Velde Tanggal 5
Januari 1925, untuk data Kependudukan Tahun 1930; dilihat dalam Volkstelling Tahun 1930: Del
IV Inhemsche Bevolking Van Sumatra- Departement Van Economische Zaken, 1935 Batavia.

Data diatas belum termasuk sejumlah orang yang dikategorikan sebagai orang Asia
lainnya, yakni sejumlah 50 orang yang tersebar di subdistrik; Bangko sejumlah 5 jiwa,
Tanah Putih sejumlah 3 jiwa, Kubu sejumlah 13 jiwa dan ibukota Bagansiapiapi
sejumlah 29 jiwa. Laporan Volkstelling 1930 juga memisahkan penduduk ibukota
Bagansiapiapi, dengan subdistrik Bangko, yakni: Dengan demikian, penduduk
subdistrik Bangko diluar ibukota Bagansiapiapi adalah; Pribumi sejumlah 9.006 dan
orang China sejumlah 1.068 jiwa. Tingginya jumlah penduduk China di Bagansiapiapi
yang mencapai 78,3%; kondisi itu bukanlah merupakan gejala umum, sebab di daerah
lain situasinya akan berbeda. Dengan statistik seperti ini, tidak mengherankan
Bagansiapiapi tak ubahnya seperti sebuah China Town di Kawasan negeri Melayu.
Tidak hanya di Bagansiapiapi terdapat penduduk China, di Tanah Putih, jumlah orang
Cina yang berdiam disana sekitar 200-an jiwa. Adapun di Panipahan-Kubu, orang Cina
jumlahnya mencapai 3000-an jiwa. Orang Melayu pada saat itu berjumlah sekitar
27.000 jiwa atau sekitar 60 persen dari total populasi. Sebagaimana populasi orang
China di Hindia Belanda, yang biasanya di daerah di luar Jawa, terdiri dari Kaum
Singkeh atau Totok,58 begitu pula orang China yang bermukim di Onderafdeeling
Bagansiapiapi.
Pertumbuhan kota Bagansiapiapi, jelas merupakan cerminan perkembangan varian
etnis, ras, sesuai dengan kepentingan perkembangan kota; bahkan perayaan kota ala
pemerintahan Hindia, merangkum berbagai varian etnis untuk terlibat didalamnya.

57 Volkstelling 1930, hal.131.


58 Dilihat dalam The Kapitan China of Batavia: 1837-1942, A History of Chinese Establishment in
Colonial Society, oleh Mona Lohanda, Penerbit Djambatan Cetakan ke-2, Tahun 2001, hal.11.
44

Pasca pendudukan Jepang, lazim ditemui dalam catatan ataupun laporan tentang
varian etnis yang terdapat terutama di kota Bagansiapiapi, tentunya, selain dari orang-
orang China sebagai pelaku utama industri perikanan. Kita kembali menuju pada
masa lampau di Bagansiapiapi sebelum didatangi oleh pelaku industri, orang-orang
China dan kemudian, Belanda; terdiri atas orang-orang Melayu yang terdapat pada
tiga kenegerian (Sub-Distrik); Bangko, Tanah Putih dan Kubu. Penduduk Pribumi pada
onderafdeeling Bagansiapiapi, dikatakan oleh Baalbergen;59
penduduk dari seluruh sub-distrik Bangko, kawasan pantai ke perbatasan
Sungai Daun terus ke Hiir Labuhan-Bilik, Tanah Putih-ke-Rantau Bais, mereka
menganggap dirinya sebagai ras dari aristokrasi kesultanan Siak. Halnya
dengan penduduk Melayu di desa-desa pesisir Kubu, mereka menganggap
dirinya sebagai penghuni asli Kubu. Orang melayu adalah orang laut dan
nelayan, berkaitan dengan penduduk asli pada onderafdeeling, memiliki lebih
banyak kontak dengan Labuhan-Bilik dan Tanjung Balei, Onderafdeeling
(khususnya-Tanah Putih), Rantau Bais yang merupakan perkampungan yang
memanjang ke hulu, dihuni oleh orang Tambusai, yang bermigrasi dari
daerah Rokan. Orang Benai di Bagan-Senembah yang merupakan bagian dari
Sub-distrik Kubu.
Data sebelum abad ke-20, bahwa penduduk sub distrik Tanah Putih berjumlah ±700
jiwa, dimana sejumlah ±150 terdapat di desa Tanah-Putih yang menghuni ±60
rumah. Perkampungan terlihat cenderung berada di tanah yang rendah, dan
beberapa orang China telah menetap di sana guna membeli hasil hutan. Hijman van
Anrroij mengemukakan bahwa populasi Bangko seluruhnya terdiri dari satu suku yang
berasal dari Aceh, bahkan lebih jauh; ia mengatakan dapat terihat dari
pengamatannya atas orang Bangko yang menunjukkan setipe dengan orang Aceh:
suatu entitas melalui interaksi asimilasi dengan penduduk asli. Disini dapat ditemui
beberapa rumah, namun, penduduk disini hidup (menetap) dan berladang, dan bukan
dalam kehidupan nomaden(berpindah/ tidak menetap). Bangko, negeri ini memiliki
populasi yang mencapai 1.000 jiwa, sementara Rijn van Alkemade mencatat
penduduk Labuhan Tangga mencapai 150 jiwa yang mendiami lebih 60 rumah tinggal.
Untuk Kubu, pada kurun 1880-an, wabah-kolera berdampak pada penurunan jumlah
masyarakat Kubu; seluruh keluarga merupakan sasaran wabah penyakit, dan dikenal
dengan nama dari penjakit tahunan, sehingga jumlah jiwa yang tersisa hanya ±1200.
Populasi ini sebagian besar terletak di daerah rendah, dekat Sungai Kubu, di jalan lain
di Selat Melaka yang diketahui memimpin dirinya sendiri, kecuali di Sungai Daun
dimana dapat ditemui suatu kehidupan orang China, yang melakukan kegiatan
penangkapan dan pengeringan ikan. Lokasi Kepala dari permukiman Cina tersebut
berada di Sungai Panipahan.

59
Controleur Baalbargen, MVO Bagansiapiapi tanggal 14 Mei 1931, Hal 12
45

3
Rekonstruksi Ruang

Mencari Titik Awal


Perdagangan di Selat Melaka
Lebih dari dua ribu tahun Selat Melaka merupakan rute penting di Asia Tenggara, dan
komunitas yang bermukim dipesisir berkecimpung dalam jalur perdagangan komersil
disana. Di sisi semenanjung, dilokasi situs cekungan sungai Kelang dan Langat di
Selangor yang berasal dari abad terakhir SM, telah mengungkapkan sekumpulan
artefak lokal dan impor. Disini termasuk perlengkapan adat dan alat-alat dari
perunggu, manik-manik dan gerabah dari India, dan menyisakan lonceng perunggu
dan juga gendang Dongson di Vietnam Utara.60 Sementara itu, Sumatera di sisi
lainnya, memiliki tiga situs pada awal abad ke-5 dan berkemungkinan juga lebih awal
pada abad pertama SM, dengan artefak baik pembuatan lokal maupun asing: Air
Sugihan, Karang Agung, dan dihulu sungai Karang Agung. Lokasi itu berdekatan
dengan Sungai Musi yang menempatkan mereka secara strategis di jalur perdagangan
internasional melalui selat Melaka dan Bangko terus ke bahagian barat; Jawa, Bali, dan
pulau-pulau dengan rempah-rempah. Barang-barang asing menembus jauh ke
pedalaman Sumatera, seperti yang dibuktikan oleh keberadaan manik-manik India,
artefak Dong Son, dan kendi berleher tinggi di situs megalitik di Pasemah. Seperti di
situs semenanjung, barang tersebut ditukarkan dengan hasil hutan dan emas.
Meskipun hanya sedikit yang diketahui tentang kompleksitas arkeologi di Sumatera
selatan, akan tetapi mereka menyediakan bukti yang jelas dari daerah yang juga
terbiasa dengan cepat menanggapi peluang perdagangan baru yang mengalir melalui
Selat Melaka.61 Sebagaimana diketahui bahwa titik penting dalam jaringan masyarakat
“laut Melayu” adalah Selat Melaka. Hari-hari pelayaran kapal di selat, merupakan
lokasi untuk pedagang pada awal dan akhir dari musim angin muson. Antara
November dan Februari, angin muson timur laut membawa kapal dari Asia Timur,
serta antara bulan Juni dan Agustus pedagang dari India, Timur Tengah, dan Eropa
pada saat angin muson barat daya ke selat dan lebih lanjut ke arah timur. Di antara
dua pola yang dominan tersebut, angin bergerak searah jarum jam, memungkinkan
pedagang dari berbagai negara di Asia Tenggara untuk mencapai entrepot besar yang
terletak di atau dekat Selat Melaka. Karena selat memberikan perlindungan dari

60 Christie, “Trade and State Formation,” 50–1.


61
Manguin, “Archaeology of Early Maritime Polities,” 287–8.
46

kekuatan angin muson, akibatnya, port pada kedua tepi selat secara historis bersaing
untuk meraih status sebagai entrepot terkemuka di kawasan ini. Bukti untuk rivalitas
ini sebagai bursa awal, disediakan oleh penelitian terbaru terhadap perdagangan
manik Indo-Pasifik, yang telah menunjukkan bahwa Asia Tenggara dan India sudah
menjadi mitra perdagangan penting di masa sebelum Masehi, yang sering dianggap
sebagai awal Indianisasi di Asia Tenggara. Di China, penjualan kargo dan pemuatan
pengiriman barang baru dapat diselesaikan pada waktunya untuk menangkap angin
muson timur laut yang bertiup lebih kencang; dan dengan unsur penarik yang lebih
konsisten dari China menuju Selat Melaka. Dengan mengandalkan angin tersebut,
Pedagang Arab dan Persia bisa membuat round trip sekali setiap tahun.62 Hingga
tibanya teknologi untuk melakukan pelayaran di laut terbuka banyak digunakan pada
abad pertama, sebelumnya, kapal cenderung berlayar dengan berpandu pada garis
pantai. Akan tetapi, bahkan ketika pelaut menguasai pelayaran di laut terbuka, kapal
terus saja setia dengan garis pantai karena keuntungan yang akan dibuat dengan
membeli dan menjual sesuatu dari satu pelabuhan ke pelabuhan berikutnya. 63
Sebuah rute laut awal, bertolak dari pantai timur India di sepanjang pantai Teluk
Benggala, kemudian Semenanjung Burma dan Thailand, atau wilayah Isthmian, dan
kemudian ke selatan ke bagian utara Semenanjung Melayu. Dari Kra-Isthmian dan
Pelabuhan utara Semenanjung Malaya, Kapal bisa terus melaju melalui Selat Melaka
ke Teluk Siam, atau mereka bisa membongkar barang-barang yang telah mereka
kapalkan untuk dialihkan melalui rute darat. Wolters berpendapat bahwa Selat
Melaka biasanya tidak digunakan oleh kapal-kapal yang datang dari barat di abad
pertama dan kedua Masehi.64 Penggunaan rute Transpeninsular65 meningkat pada
saat terjadi gejolak politik di selat. Jalur terpendek yang hanya enam puluh lima
kilometer di Tanah Genting Kra, akan tetapi terdapat pihak lain diantara Tanah
Genting Kra dan Kedah yang dapat disilangkan dengan sedikit kesulitan. Salah satunya
dari Kedah ke Songkhla, dan satu lagi dari Trang dibagi menjadi tiga cabang yang
berbeda yang mengarah ke Phattalung, Nakhon Si Thammarat, dan Bandon di Teluk
Siam. Rute dari Takuapa di pantai barat yang memandu untuk melintasi tanah genting
ke Chaiya, tetapi karena situasi politik, rute ini mungkin telah ditinggalkan pada
pertengahan abad ke-11 untuk lebih jauh ke selatan di Kedah.66 Pada berbagai waktu,
kekuatan pun bersaing di wilayah yang menggunakan rute berbeda di seluruh Tanah
Genting Kra dan Semenanjung Malaya. Paul Wheatley telah mengidentifikasi sebelas
rute yang membentang dari Tanah Genting Kra ke ujung selatan Semenanjung
Malaya.67 Beberapa rute yang lebih sulit daripada yang lain dan melibatkan berbagai
moda transportasi: perahu, rakit, gerobak, pak gajah, kuda, dan kerbau. Tergantung

62
Hourani, Arab Seafaring, 69–75; Flecker, Archaeological Excavation, 33, 37.
63 Leonard Andaya, 2008, hal.31.
64
Wolters, Early Indonesian Commerce, hal.34.
65 Rute yang meliputi Tanah Genting Kra menuju sebelah utara Semenanjung.
66 Lubeigt, “Ancient Trans-peninsular,” 50, 52–4, 61.
67
Wheatley, Golden Khersonese, xxvi.
47

pada musim dan rute yang digunakan, mengambil rute mana saja untuk dapat
melintasi tanah genting atau semenanjung, dengan waktu dari seminggu untuk sekitar
satu bulan, meskipun individu yang tanpa banyak muatan atau kargo bisa membuat
perjalanannya menjadi lebih cepat. Barang dikirim menggunakan rute Martaban /
Moulmein dengan Kokarit, maka lalu dengan menggunakan karavan menuju Three
Pagodas Pass dan Sungai Kwai. Barang-barang itu kemudian dimuat ke perahu atau
rakit, yang membawa mereka ke pelabuhan di Teluk Siam. Rute Tavoy disepanjang
Sungai Kwai ke Kanchanaburi dan ke Ayutthaya walau lebih pendek, akan tetapi jauh
lebih sulit. Hal itu terutama disebabkan pedagang harus menyeberangi serangkaian
pegunungan terjal dan lembah sebelum tiba di Sungai Kwai, dan barang diangkut
dengan menggunakan gajah atau kuli. Meskipun demikian, selama berabad-abad,
masalah transportasi melalui beberapa lanskap yang keras secara bertahap dapat
diatasi. Pada rute-rute ini ditemukan pos penjaga, rumah istirahat, dan kuil-kuil kecil
yang didedikasikan untuk dewa. Setiap sarana transportasi mulai kuli hingga
gerobak/kereta dengan tenaga hewan dapat disewa, dan pedagang asing yang
bermukim di di pelabuhan menjabat sebagai juru yang menyediakan informasi
tentang bisnis, jenis transportasi, jalan, Penginapan, dan bahkan rute alternatif dalam
masa perang.68 Ini akan menjadi kepentingan pemerintahan pada kedua ujung rute
untuk menjaga keamanan dari ketentuan tersebut untuk menjamin arus perdagangan
barang atas tanah mereka. Bukti dari Buddha China: It-Shieng menunjukkan bahwa
Sriwijaya mungkin telah terlibat dalam urusan di Kedah menjelang akhir abad ke-7,
pada saat ekspansi Sriwijayan. Abad ke-8, prasasti Ligor di Nakhon Si Thammarat
menegaskan keterlibatan ini.69 Kedah dan Ligor adalah termini dari rute
Transpeninsular dan jelas masih cukup penting untuk menjaminnya dengan
peningkatan kekuatan Sriwijayan. Alternatif untuk jalur darat adalah semua-rute
laut, yang pada abad sebelumnya juga punya masalah. Berlayar sejauh delapan ratus
kilometer melalui Selat Melaka memerlukan waktu sekitar satu bulan, dan kondisi
angin yang berubah-ubah akan sering menyebabkan penundaan pelayaran. Akan
tetapi penghalang utama untuk menggunakan rute ini bukanlah masalah angin saja,
melainkan suatu ancaman bahaya untuk suatu pelayaran di laut disepanjang rute
perdagangan. Ancaman itu berasal dari Orang Laut, yang menghuni pulau-pulau dan
pantai di pintu masuk selatan ke selat yang terkenal berbahaya dan biasa memangsa
kapal-kapal yang melintas. Bahkan jika kapal selamat dari serangan tersebut, masih
harus menghindari beting berbahaya, gumuk pasir, dan pulau di perairan di sebelah
selatan Singapura. Oleh sebab itulah untuk keamanan dan kenyamanan, pedagang,
diplomat,dan pejabat lainnya di abad sebelumnya lebih suka menggunakan jalur
darat. Selama periode berikutnya ketika semua rute laut pada umumnya lebih disukai,
setiap pergolakan politik di Selat Melaka dengan hasil peningkatan kegiatan
pembajakan, memaksa pedagang untuk menggunakan rute Transpeninsular.

68 Lubeigt, “Ancient Trans-peninsular,” 60, 62–3, 68.


69
Miksic, “Entrepots,” 117; Wolters, Early Indonesian Commerce, 15.
48

Suatu ketika diantara abad ke-5 hingga ke-7, telah terjadi pergeseran dalam
kepentingan relatif dari jaringan perdagangan maritim. Sampai abad ke-5, China telah
menerima barang dari negeri-negeri ini ke barat, serta produk-produk eksotis dari Asia
Tenggara. Mereka datang melalui Laut jaringan Melayu, dengan termini timurnya di
salah satu pelabuhan lembah Mekong milik kompleks budaya Oc Eo dan di beberapa
pelabuhan Cham di Vietnam tengah. Pergolakan di China utara dan pergeseran yang
dihasilkan dalam kekuasaan politik di selatan mendorong perkembangan perdagangan
maritim China. Dalam mencari sebuah bagian yang lebih aman untuk barang-barang
yang sebelumnya telah datang dari daratan melalui Asia Tengah, kerajaan di China
selatan mulai menggunakan rute maritim menggunakan kapal laut asing. Meskipun
China memiliki kapal besar, mereka terutama ditujukan untuk sungai dan transportasi
danau. kapal utama yang membawa barang ke dan dari China disebut kunlun bo atau
"kapal kunlun."70 Manguin telah menunjukkan bahwa beberapa fitur dari kunlun bo
dijelaskan dalam era China dari abad ke-3 dan lainnya dari abad ke-8 masih
dipertahankan oleh pembuat kapal di pulau Asia Tenggara. Hal ini sangat mungkin,
karena itu, bahwa orang-orang di sepanjang Selat Melaka, termasuk Sriwijaya dan
pendahulunya, berpartisipasi sebagai operator pada kunlun bo mereka.71
Pada abad ke-7 yang disebut sebagai kapal kunlun datang setiap tahunnya ke
Guanzhou dan Ton King. Seorang Budhis China- Yijing, yang mengunjungi Sriwijaya dan
Melayu pada akhir abad ke-7, membuat perbedaan antara kunlun tersebut, juga
penduduknya yang ia digambarkan sebagai gelap dan berambut keriting, 72 lebih
wajar dari penduduk negara-negara lain di Asia Tenggara.73 Penjelasan ini tampaknya
merujuk kepada penduduk pulau-pulau dan lebih khusus untuk Orang Laut. Dalam
sumber-sumber China abad ke-15, kunlun disewa untuk memandu kapal-kapal China
melalui wilayah tersebut dan keluar ke Samudera Hindia, Praktek juga diikuti oleh
Portugis di abad ke-16.74 Sementara tugas-tugas ini biasanya dilakukan oleh Orang
Laut, Kunlun digunakan lebih umum pada abad ke-7 untuk merujuk kepada orang-
orang di pulau-pulau dan penduduk di sepanjang Selat Malaka, dengan siapa China
telah sebagian besar kontak dalam periode awal ini. Meningkatnya penggunaan rute
laut memungkinkan disukainya pelabuhan selatan di selat karena pintu masuk selatan
adalah "titik akhir" dari muson timur laut, yang memberikan daya tarik yang kuat bagi
para pedagang yang berasal dari China dan tempat lain di Asia Timur. Pendaratan di
suatu tempat di Sumatera Selatan membuat "pantai disukai" dan mendorong

70 Dalam suatu waktu di era lalu, orang China telah menggunakan “kunlun” untuk menunjuk
kebanyakan prominent dari masyarakat Asia Tenggara; termasuk Malayu.
71
Manguin, “Southeast Asian Ship,” 274–5; Manguin, “Trading Ships,” 258–63.
72 Ada yang menarik, bahwa Yijing juga mencatat bahasa yang digunakan di Sriwijaya sebagai

bahasa Malayu Kulon, yang digunakan oleh Ptolemy diabad ke-2; suatu identifikasi Melayu sejak
periode awal masehi.
73 Wolters, Early Indonesian Commerce, 153, 199–200; Yijing, Record of the Buddhist Religion.
74
Wade, “Ming Shi-lu,” 353.
49

munculnya pemukiman yang bercita-cita menjadi entrepot.75 Situs arkeologi awal


disebutkan di atas adalah indikasi bahwa penduduk daerah ini di Sumatera akrab
dengan dan menerima peluang ekonomi yang ditawarkan oleh perdagangan
internasional. Kapal dagang yang berasal dari China dengan menggunakan angin
musim timur laut tertiup langsung ke pantai Sumatra Selatan. Salah satu yang paling
awal untuk mendapatkan keuntungan dari perkembangan ini adalah port
pemerintahan Sumatera diketahui terdapat dalam sumber-sumber China sebagai
Gantoli (Khan-to-li), letaknya di provinsi Lampung sekarang). Nama ini muncul untuk
pertama kalinya dalam sumber China tahun 441 Masehi dan berkemungkinan
mencakup baik Palembang dan Jambi.76 Khan-to-li pun mengirimkan misi upeti dan
dihargai dengan patronase yang melimpah dan berharga dari kaisar China. Akibatnya,
segera saja menjadi pelabuhan favorit dari kapal-kapal yang berasal dari China, dan
pada gilirannya menarik pedagang daerah yang mencari barang-barang China; dan
terus berkembang di bawah kondisi ini sampai setidaknya pada awal abad ke-6.77
Salah satu alasan untuk keberhasilan Khan-to-li adalah kemampuannya untuk
mendapatkan keuntungan dari Permintaan tak terpuaskan China untuk kemenyan
Arab dan mur karena kualitas styptic dan fumigatory mereka. Pada abad ke-5 dan ke-
6, Kamper dan benzoin, semua tumbuh secara luas di bagian utara Sumatera, ternyata
sedang berada dalam tahap pemunculannya untuk kemudian lebih disukai di selatan
China.78 Kamper adalah barang mewah yang sangat berharga dan sangat dihargai di
China yang ditempatkan setara dengan emas.79 Selain kemampuannya banyak
digembar-gemborkan mereka untuk menyembuhkan berbagai penyakit dan
kekurangan, oleoresin Sumatera ini juga sulit diperoleh, yang selanjutnya memberikan
kontribusi terhadap harga tinggi yang mereka bisa memintanya.80 Kamper dan
benzoin merupakan produk yang diminati di pelabuhan utama di Selat Melaka dari
awal abad ke-5 . dan di Sriwijaya antara abad ke-7 hingga ke-11. Produk bernilai ini
ditemukan di hutan Sumatra sebelah utara di negeri Batak, dan perdagangan kamper
serta benzoin-lah yang menyediakan bukti tidak langsung partisipasi Batak dalam
perdagangan internasional.

75 Wolters, Early Indonesian Commerce, ch. 13.


76
Wolters, Early Indonesian Commerce, hal.165.
77
Wolters, Early Indonesian Commerce, 220–5; Manguin, “Archaeology of Early Maritime
Polities,” 303–4.
78 Wolters, Early Indonesian Commerce, 106, 111, 126–7, 129, 181–3.
79 Donkin, Dragon’s Brain Perfume, 127. Pada abad ke-19, diperkirakan bahwa dari 280 gram

hingga 8,4 kg champor dapat dikumpulkan dari setiap pohonnya, dan 1 pikul (56 kg) champor
bernilai hingga ribuan guilders;. Zeijlstra, “Boschproducten,” 826. Selain itu disebabkan,
pengiriman yang terbatas ke China, India dan Asia Tengah pada abad ke-6 membuat nilainya
tetap terjaga tinggi.
80 Wolters, Early Indonesian Commerce, 118–9; Ptak “Possible Chinese References,” 138;

Stephan, “Le Camphre,” 234–9; Marsden, History of Sumatra, 153, 155.


50

Gambar 3.1. Peta “Laut Malayu,” Sumber: Cartography


by Manoa mapwork, Leonard Andaya,2007, hal.23.
Pohon kamper adalah satu dipterocarps di Indonesia barat yang tingginya mencapai
60-70m diketinggian 60-365m dari permukaan laut. Kondisi ini ditemui di tanah Batak
51

antara Singkel dan Air Bangis. Begitu pula pohon benzoin yang memiliki kondisi yang
sama dengan kamper. Ditemukan di utara Padang Sidempuan diseputaran Tarutung;
Dapat diasumsikan bahwa pengumpulan kamper dilakukan secara tradisional dibawah
pimpinan seorang pawang. Beberapa meyakininya bahwa pengiriman kamper dimulai
selambatnya pada abad ke-8 atau ke-9. Peningkatan permintaan untuk kamper dan
benzoin dengan pelakunya Sriwijaya, dominan pada entreport selat antara abad ke7
dan ke-11. Inskripsi Ligor bertahun 775 mengindikasikan ekspansi kekuasaan Sriwijaya
di sepanjang Selat. Berkemungkinan motivasi terpenting ekspansi ini adalah kontrol
atas persediaan kamper Tanah Genting Kra dan Semenanjung. Laporang dinasti Liang
yang berkuasa di China dari tahun 502 hingga 556 menyebutkan bahwa kamper
datang dari Funan dan langkasuka. Funan dipastikan mengimpor Kamper dan
mendistribusikannya sejak tidak lagi memproduksi varian dryobalanops aromatic dan
membawanya ke China. Pengaruh Sriwijaya di semenanjung telah melindungi ekspor
lebih jauh dari kamper ke pelabuhan di Lembah Mekong. Bagaimanapun juga,
berkemungkinan Sriwijaya berhasil memonopoli penjualan kamper dan benzoin
diwilayah ini pada abad ke-8. Dimana sumber utama Sriwijaya bagi produk Kamper
dan benzoin adalah pada hutan-hutan di barat-laut Sumatra. tersedia rute dari hutan
ini menuju Sriwijaya; menuju Padang Lawas via Sipirok dan lembah Batang Toru. Ada
sedikit bukti bahwa Padang Lawas pernah menjadi pemukiman besar, akan tetapi
mungkin telah menjadi suatu pusat perdagangan yang terhubung dengan arah barat-
laut dari area produksi ke pantai timur Sumatra. Dari sini terdapat rute langsung
menuju Barus, sama dengan dua alternative rute di arah selatan. Satu dari rute arah
selatan melalui Padang Sidempuan meuju lembah Batang Angkola, sementara lainnya
melalui dekat Sibuhuan di padang Lawas melintasi pengunungan di Lembah Angkola
dekat Si Abu. Dari lembah Angkola rute arah selatan berlanjut melalui Bonan Dolok
ke Penyabungan dan Hutanopan di lembah Batang Gadis. Ini berarti melintasi
pegunungan didekat Muara Sipongi menuju Rao. Dari Rao seseorang dapat langsung
menuju Muara Takus di lembah Batang Mahat, anak sungai dari Kampar Kanan. Akan
tetapi, lebih sering digunakan rute melalui lembah Batang Sumpur, anak sungai Rokan
melalui Tanjung Medan dan juga Lubuk Sikaping via Bonjol menuju wilayah
Minangkabau.81 Batak seringkali mengirimkan produknya ke Minangkabau, yang
mana melengkapi perjalanan melintasi negerinya menghilir ke Melayu di Sriwijaya.
Produk lain yang diinginkan yang menarik Tionghoa adalah kayu gaharu, rotan,
mutiara, dan rumput laut yang dapat dikonsumsi. Melemahnya dinasti di China pada
abad ke-6 menyebabkan penurunan dalam permintaan untuk barang-barang impor
dan mungkin telah berkontribusi terhadap kematian Khan-to-li, yang terakhir
disebutkan oleh orang China di tahun 563. Pada awal abad ke-7 sebuah toponim baru,
"Melayu," muncul dalam jadwal dari utusan China yang dikirim kadang-kadang antara
tahun 607 dan 610 Masehi oleh kaisar Sui ke “komunikasi yang terbuka” dengan Asia
Tenggara. Kemudian pada tahun 644 dari tempat yang disebut Melayu; mengirim misi

81
Leonard Andaya, hal.148-150
52

ke kerajaan China.82 Kemunculannya di pantai Sumatera Selatan tidak mengherankan


dan akan dibangun di atas pengalaman pendahulunya seperti Kan-to-li.83 Pada tahun-
tahun 1024-5, Chola dari India Selatan menyerang dan menghancurkan pelabuhan
Sriwijaya di kedua sisi Selat Melaka. Baik alasan untuk serangan maupun waktunya,
dapat ditentukan oleh sumber, meskipun persaingan perdagangan mungkin menjadi
salah satu penyebabnya. Penghancuran pusat Sriwijaya di Palembang menyebabkan
kenaikan pentingnya Zhanbei (Chanpei, Jambi), yang pertama kali muncul dalam
sumber-sumber China di tahun 840,84 yang mengirimkan misinya ke dinasti Tang China
di tahun 1053 dan ke dinasti Sung China ditahun 1079 dan 1088.85 Restorasi
kekuasaan Jambi/Melayu melanjutkan tradisi Sumatra Selatan dalam rangka
merespon perdagangan internasional. Palembang kembali menjadi pelabuhan dagang
yang seringkali melibatkan pedagang China diabad ke-12 dan 13, tetapi Zhou Zufei
(1178) dan Zhao Rugua(1225) yang menyebut negara “Sanfoqi” atau “Shihlifoshih,”
the previous rendering of Sriwijaya.86 Pada abad ke-13, wilayah Jambi-Palembang
benar-benar telah menjadi bahagian Jawa, dan ekspedisi Pamalayu yang dikirim dari
Jawa Timur di tahun 1275 adalah bukti dari kemunduran mereka.87 Beberapa ahli
meyakini bahwa maksud dari ekspedisi Pamalayu adalah sebagai pemberian
hukuman, dan sebagaian lainnya memandang sebagai upaya memproteksi negeri
vassal dari invasi Mongol.88 Bahwa tidak pernah diketahui motivasi sesungguhnya
dari digelarnya ekspedisi Pamalayu, lebih jauh lagi terindikasi bahwa penguasa Melayu
berkemungkinan menghindar lebih jauh dari serangan Jawa dengan pemindahan
pusat kerajaan; dari pantai ke pedalaman. Akan tetapi, perpindahan tidak
membuktikan sebagai suatu penghalang bagi ambisi dari pulau Jawa. Tahun 1286,
Kertanegara, seorang penguasa Singasari dari Jawa, memerintahkan ekspedisi ke
suatu tempat suci di Dharmasraya, ibukota Melayu di Padang Roco di dataran tinggi
dihulu sungai Batang Hari.89 Selain memperingati kemurahan kerajaan ini, prasasti
menyatakan bahwa semua penduduk Melayu (mengacu kepada penduduk
Dharmasraya) -brahmana, Ksatriyas, vaisas, dan sudras-dan terutama raja, Srimat

82 Di dalam kitab Sejarah Dinasti T‘ang (abad 7-10 Masehi), untuk pertama kalinya disebutkan
datangnya utusan dari negeri Mo-lo-yeu ke negeri China pada tahun 644-645 Masehi (Pelliot
1904:324- 334). Toponim Mo-lo-yeu dapat diidentifikasikan dengan Mālayu yang berlokasi di
pantai timur Pulau Sumatera, dan pemerintahannya berada di sekitar Jambi.
83 Wang, Nanhai Trade, 96; Wolters, Early Indonesian Commerce, 230, 235.
84
Geoffrey Wade, dalam Andaya.
85
Wang, Nanhai Trade, 96; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua, 66 fn 18.
86
Wolters, Fall of Srivijaya, 45, 194 fn 9; Hirth and Rockhill, Chau Ju-kua,66 fn 18.
87 Banyak ahli sependapat bahwa nama Malayu menunjukkan suatu ekspedisi obyektif, hanya

saja, terdapat juga yang melihatnya sebagai “tidak jelas, apakah ini menunjuk pada politi Melayu
di Jambi atau area yang lebih luas di Sumatra sebagai Melayu. Who knows?
88 Berg, “Pril Majapahit I,” 485; Casparis, “Sriwijaya and Malayu,” 247–8.
89
Berg berpendapat bahwa pengiriman Amoghapasa Buddha menuju Dharmasraya ekuivalen
dengan kehadiran seorang putrid suci dari Tapasi ke Champa. Dalam kedua kasus ini,
menyimbolkan sebuah transfer kekuatan sakti. Berg, “Pril Majapahit I,” 501; Berg “Pril Majapahit
II, 195.
53

Tribhuwanaraja Mauliwarmadewa, Bersukacita atas penganugerahan hadiah.


sebelumnya, tradisi Sriwijaya tentang penyebaran dokumen sakral yang tertera pada
batu pada lokasi-lokasi krusial. Dharmasraya sendiri berada dalam zona transisi antara
hilir dan lokasi baru di hulu yang dikembangkan di pegunungan Minangkabau. 90

Pusat Melemah, Mandala Menguat


Keruntuhan sebuah kerajaan besar seperti Sriwijaya, akan diiringi dengan kemunculan
negeri-negeri ataupun sebagai kelanjutan eksisistensi mereka yang semula berada
dalam naungan negeri pusat tersebut, semisal Barus dipantai barat, yang awal
kemunculannya cukup menggoyahkan kerajaan pusat Sriwijaya dimana para
pedagang dari arab-India, bahkan China cenderung untuk melakukan transaksi
langsung kesana dalam rangka mengurangi bea-ketimbang berhubungan melalui
kerajaan pusat. Sementara dialiran sungai Rokan, tepatnya di wilayah onderdistrik
Tanah Putih, dapat ditemui situs candi era Hindu-Budha yang diperkirakan didirikan
pada abad ke-12/13.91 Bahwa di cekungan yang lebih rendah dari hulu Rokan ini,
didekat kampung Sintong, ditemukan reruntuhan situs Hindu; 92 dan berdasarkan
sebuah prasasti abad ke-14 yang ditemui di bagian hulu aliran sungai Rokan,
dipercayai itu diperuntukkan bagi seorang Tuan Tanah yang tunduk kepada
Adityawarman.93 Bahwa terdapat juga situs-sItus yang berlokasi disebelah timur dari

90 Krom, Hindoe-Javaansche, 235–6, 393–4.


91
Dominasi Hindu ini, selanjutnya diikuti dengan periode pengaruh dari Minangkabau.
Sebagaimana diketahui, kondisi matrilineal di Minangkabau telah mendorong ramainya migrasi
(merantau), sekelompok besar migran telah mencapai daerah timur. Kondisi tersebut
menyebabkan orang Asli yang bermukim di sana (Orang Bonai, Orang Sakai, Orang Akit dan Orang
utan) didesak mundur ke hutan dan rawa-rawa, dan ketika kerajaan Minangkabau berada di
puncak kekuasaannya; mendirikan kewenangannya di wilayah perbatasan, termasuk dibagian
hulu dari daerah tangkapan air Kampar dan Rokan sebagai “Rantau-Minangkabau.” Hingga
memasuki awal abad ke-20, kawasan Rantau ini dihuni oleh keturunan Minangkabau, akan tetapi
terdapat kesamaran lebih-lebih ketika didapati realita disuatu masa tentang adanya invasi dari
sisi lain (Johor) yang juga menunjukkan pengaruhnya disana. Bahwa disuatu masa Rokan-
Tambusai yang berbentuk kerajaan, kesemua wilayah yang tercakup dalam Rokan-staatjes di era-
Hindia, bermukim orang-orang Minangkabau. Lihat Tideman, Land en Volk Bengkalis, 1935.
92
Lokasi situs Candi Sintong dan Sedinginan, bercirikan sebagaimana yang telah disampaikan;
seperti candi Sintong yang memiliki ketinggian tanah hingga 10m dari garis ketinggian air sungai,
dimana disebelah tenggara terdapat jejak situs kolam yang disebut-sebut sebagai kolam
pemandian Putri Hijau. Kemudian sejauh 200m rah barat daya dari candi Sintong, terdapat
sebuah pertapakan yang dikelilingi parit sepanjang 2m dan terdapat nisan yang dikenal dengan
nisan Aceh. Kemudian di desa Sedinginan, dikenal candi Sedinginan yang berlokasi 22m diatas
permukaan laut; Penelusuran Arkeologi dan Sejarah Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir
Provinsi Riau, Tim Balai Arkeologi Medan dan Universitas Sumatra Utara.hal.35-7
93 Suleiman, The Archaeological and history of West Sumatra, 1977, hal.6, juga hipotesis Carparis

bahwa Adityawarman betul-betul memerintah atau menuntut kuasa atas seluruh bagian barat
54

kompleks candi yang juga diperkirakan sezaman, candi di kompleks Padang Lawas.
Penanggalan dicandi-candi Padang Lawas, menunjukkan angka 1175 Caka yang sama
dengan 1235M, dan yang lebih tua menunjukkan tahun Caka 1101 yang setara dengan
1179M. Bahwasanya juga, situs-situs candi ini didirikan pada era yang sama dengan
candi Muara Takus dialiran sungai Kampar; akan tetapi, Krom meyakini pendapat yang
berbeda, bahwa Muara Takus didirikan jauh sebelumnya; pada tahun 825M. Melihat
penanggalan pada candi Padang Lawas, spekulasi berkembang tentang pendirinya;
dimulai oleh Chola dari India Selatan yang melakukan penyerangan ke Sriwijaya, Panei,
Lamuri ditahun 1024-5; sebuah kemenangan gemilang atas wilayah Panei di Padang
Lawas, dan sang Raja penakluk memerintahkan pembangunan candi. Sayangnya,
terdapat kesenjangan yang cukup panjang antara kedatangannya ke lembah Padang
Lawas itu dengan angka yang tertera di candi. Jika benar, maka berkemungkinan
pendirian candi-candi berikutnya dilakukan oleh keturunan penerusnya. 94 Akan
tetapi, tampilan candi mengindikasikan bahwa disuatu periode pra-Islam, di kawasan
ini bermukim orang-orang Hindu-Budha, meski hanya sedikit saja informasi yang
diketahui; model arsitektural dan kesenian yang ada menunjukkan pengaruh dari asli
Sumatra, Jawa dan juga Tamil; selain juga dari timur tengah antara abad ke-10 dan 14
Masehi. Semula situs Panei ini diperkirakan menghilang seiring dengan runtuhnya
Majapahit, namun dalam surat raja Aceh ditahun 161595 menunjukkan tidak
memudarnya eksistensi Panei, meski berstatus sebagai dependensi. Meskipun
demikian, dalam upaya menapak lebih dalam ke lanskap dialiran sungai Rokan, ada
baiknya kita menarik lebih lebar rentang telaah, tidak saja meliputi situasi di selat
Melaka sebagaimana telah sampaikan, juga melihat ke arah pedalaman; situs yang
terkait dengan keberadaan lanskap-lanskap di pesisir timur Sumatra, terutama
dibentangan antara aliran sungai Panei dan Rokan; dan ini berarti kita akan melihat
kepada salah satu sumber peradaban kuno Sumatra; Pagaruyung, yang tentu dalam
kaitannya dengan Panei.

Dipesimpangan Jejaring Kekuasaan


Ruang-ruang Jejaring Pedalaman, Semenanjung dan Aceh
Melihat situs candi di Sintong dan Sedinginan yang diperkirakan didirikan sezaman
dengan candi di kompleks Padang Lawas, maka diasumsikan bahwa dialiran sungai
Rokan, terdapat peradaban Hindu-Budha yang lebih tua dari perkiraan periode

dan tengah pulaunya, termasuk Melayu yang artinya berkemungkinan saja sama dengan
Sriwijaya ataupun Sumatra, lihat dalam Subbarayalu,”The Tamil merchant guild inscription at
Barus, Indonesia: a rediscovery, 1998. Hal ini juga menunjukkan bahwa candi itu tetap bertahan
setidaknya hingga era berdirinya Pagaruyung 1347-1375
94 Meuraxa, Kerajaan Melayu Purba, 1971, hal.12-15.
95
Peret, hal.124.
55

kerajaan Rokan di pedalaman seperti di Kotalama,96 atau juga situs kerajaan Rokan
yang terletak dikawasan hilir sungai Rokan pada era sesudahnya. Letak situs candi
yang berada di hilir pertemuan anak sungai rokan kanan dan rokan kiri, diyakini
merupakan sebuah bahagian entryport dengan pintu keluarnya menghadap selat
Melaka. Sebelumnya, diketahui bahwa Panei telah menjalin hubungan dengan
Sriwijaya sebagai pemasok Kamper, bahkan kemudian Pagaruyung, hingga akhirnya
era Melaka dan Johor yang bersamaan dengan invasi Aceh, mengkondisikan bahwa
sejak era perdagangan Sriwijaya dengan Panei dimana Kamper dan benzoin sebagai
produk primadona, maka diyakini situs-situs di hulu sungai Rokan bersinggungan atau
setidaknya merupakan salah satu rute perdagangan dari pedalaman melintasi
pegunungan, dan atau menuju Selat; dan ini merupakan poin penting bagi upaya
melihat kembali kehidupan disepanjang aliran sungai Rokan. Selain itu, pentingnya
juga melihat peranan Pagaruyung dan Panei, disebabkan ini merupakan suatu fase
pasca Sriwijaya dan sebelum hubungan Rokan dengan Melaka sebagaimana terdapat
dalam SEJARAH MELAYU, suatu masa pra-Islam di aliran sungai Rokan, dan dipercaya
juga, bahwa periode ini merupakan periode Melayu yang diwariskan oleh Sriwijaya
sebelum menyebarnya Islam di politi-politi Rokan.
Berdasarkan lokasi dari tiga puluh prasasti yang dikeluarkan oleh Adityawarman
antara tahun 1347-1375, adalah pemerintahan yang mungkin telah diperluas dari
tepian Sungai Sinamar dimana Buo berada, Sungai Selo, situs Pagaruyung dan
Suruaso.97 Prasasti pertama Adityawarman ditahun 1347 mengacu pada
penyelesaian sebagai Melayupura, atau "kota (yang) Melayu," mengindikasikan
bahwa pemerintahan itu sendiri dikenal sebagai “Melayu.” Dalam prasasti yang sama
ia diberikan gelar tradisional yang digunakan di Sriwijaya dan Melayu. 98 Prasasti
terakhir bertahun 1375 menambahkan gelar lebih lanjut “Kanakamedinindra”,
dimana diyakini hal ini identik dengan Suvarnadvipa (pulau emas), sebuah nama kuno
untuk Sumatra.99 Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa Adityawarman
menganggap dirinya sebagai bagian dari kontinum Sriwijaya dan penguasa Melayu
yang pusatnya telah berpindah dari pantai ke hulu sungai Batang-Hari dan akhirnya
ke dataran tinggi Minangkabau. Hanya untuk alasan itulah sudah tepat bahwa ia
menganggap gelar Kanakamedinindra sebagai Tuan Sumatera (lord of Sumatera).
Sesuai dengan tradisi Sriwijaya dan Melayu, Adityawarman Sebagai datuk dari Melayu,
berusaha untuk menarik dan mempertahankan kesetiaan rakyatnya melalui
demonstrasi kecakapan spiritual. Sepanjang masa pemerintahannya, diciptakan
gambaran untuk menekankan pada kualitas supranatural.100 Patung megah besar

96 Kerajaan Rokan, terdapat juga yang memperkirakan eksis pada abad ke-15 dilihat dalam
kaitannya sebagai kerajaan mitra Melaka;. Lihat Wan Saleh Tamin, 1972, hal.13.
97 Krom, Hindoe-Javaansche, 393–4; Westenenk, “Opstellen II,” 261–2.
98
Coedes, Indianized States, 232; Kern, Verspreide Geschriften, vol. VII, 172.
99 Kern, Verspreide Geschriften, vol. VII, 219; see also Krom, Hindoe-Javaansche,413.
100 prasasti tahun 1347 menyebutkan upacara Tantra Buddha menampil-ulangkan peluncuran

patung Amoghapasa di lokasi baru di Suruaso, dan memperingati inisiasi Adityawarman sebagai
56

Bhairawa ditemukan di dekat desa Sungai-Langsat di Suruaso mungkin saja telah


dianggap sebagai perwakilan dari Adityawarman dan pengingat yang menakjubkan
atas klaim penguasa untuk kekuatan supranatural. Akhirnya, di prasasti di Kuburajo
I, Adityawarman disebut sebagai Kalpataru, “Pohon Keberkatan”, di mana diberikan
sumpah, kutukan dan pengabulan permohonan.101 Bahasa dan skrip yang digunakan
dalam prasasti Suruaso I perlu juga diperhatikan. Kata-kata di sisi kiri prasasti dalam
bahasa Sansekerta dan ditulis dalam varian aksara Jawa kuno, menurut Krom, ini
adalah “Keanehan Sumatera.” Ini adalah skrip yang paling sering dikaitkan dengan
prasasti Adityawarman itu. Sementara di sisi kanan, pesan yang sama ditulis
menggunakan skrip India Selatan Grantha, yang meningkatkan kemungkinan bahwa
ada kehadiran yang kuat India di dataran tinggi tersebut.102 Sebuah prasasti abad ke-
9 ditemukan di Takuapa di utara Semenanjung Malaya yang menyebutkan kehadiran
anggota Manikkiramam, seorang pedagang serikat Tamil. Setelah invasi Chola ke
wilayah Sriwijaya di tahun 1024-5, Kegiatan ekonomi Tamil di kepulauan barat
meningkat pesat. Bukti arkeologi dan paleographik dari LoboTua di Barus dan Kota
China di timur laut Sumatera menunjukkan keunggulan pedagang Tamil dibidang
perniagaan emas, kapur barus, dan benzoin.103 Dengan India Selatan yang terlibat
dalam perdagangan emas, ada kemungkinan kuat bahwa mereka akan mendirikan
pemukiman di Melayupura. Negeri Adityawarman sendiri terletak di jantung daerah
penghasil emas di daerah yang berdekatan dengan lembah dan bukit-bukit Sungai Selo
dan Sinamar dan Sumpur. Sebuah komunitas pedagang India Selatan juga
diperkirakan telah tinggal di Pariangan.104 Jadi, Krom berkemungkinan benar dalam
asumsinya bahwa prasasti Adityawarman ini dimaksudkan untuk orang India selatan
yang tinggal dinegerinya. Pedagang India Selatan, serta gagasan India, bisa juga
datang ke Melayupura dari arah daratan utara melalui Padang Lawas. Bahwa hingga
abad ke-14; Padang Lawas adalah pusat seremonial utama dari pemerintahan Panei
dan terletak di posisi strategis konvergen rute perdagangan.
Gabungan dari pusat-pusat keagamaan dan komersial merupakan fenomena umum di
dunia kuno, di mana para dewa dipanggil untuk melindungi serikat pedagang. Sebelah
selatan dari Padang Lawas adalah string candi antara Tapanuli dan Minangkabau, yang
membentuk bagian pertama dari rute yang baik untuk bepergian. Hal ini disebabkan

dewa Tantra Siva-Buddha Bhairawa. Ia menggambarkan dirinya memegang pisau di tangan


kanan, tengkorak di kirinya, dan berdiri pada seorang pria dilipat ke belakang dalam posisi korban
yang dikelilingi oleh delapan tengkorak manusia yang besar. Bertahta di atas tumpukan mayat
dan dilalap asap berputar-putar pengorbanan manusia, dia minum darah korbannya sambil
tertawa. Moens, “Buddhisme,” 579; Schnitger, Forgotten Kingdoms, 31; Krom, Hindoe-
Javaansche, 394.
101
Diyakini bahwa Bhairawa, memiliki posisi seperti Ganesa di Jawa, yang ditempatkan dalam
sebuah ruang publik. Reichle, “Violence and Serenity,” 284–5 fn 88.
102
Krom, Hindoe-Javaansche, 414–5.
103 Nilakanta Sastri, “Takuapa,” 25–30; Miksic, “Cola Attacks,” 120–1; Edwards McKinnon, “New

Light,” 87.
104
Dobbin, Islamic Revivalism, 60–2.
57

tersedianya kapur barus dan benzoin dari hutan di kawasan sekitar Danau Toba di
Sumatera Utara, Rao di Minangkabau, kemudian ke hulu Sungai Jambi, dan akhirnya
keluar ke Selat Melaka melalui aliran penyaluran di Jambi atau Palembang.105 Kuil-kuil
dan patung yang ditemukan di Padang Lawas mengungkapkan bahwa tempat itu
dihuni oleh penganut Vajrayana Tantra Buddhisme, Siva, dan dari sinkretisme Siva-
Buddha. Pada salah satu kuil adalah tubuh dari Ratu diyakini ditahbiskan sebagai
Bhairawi. Di antara temuan lainnya adalah gambar langka Heruka, Dewa yang jarang
digambarkan dari Tantra Vajrayana Buddhisme, mengenakan kalung tengkorak
manusia dengan rambut berapi dan hiasan kepala yang berisi Bodhisattva Aksobhya.
Penemuan ini umumnya diyakini berasal dari abad ke-13 dan ke-14, meskipun
beberapa diantaranya lebih cenderung dalam jangkauan yang lebih tua; dari abad
ke-11 hingga ke-14.106 Bukti kehadiran Tantra Buddhisme dan kultus Bhairawa di
Padang Lawas menunjukkan afinitas budaya yang kuat dengan Melayu
Adityawarman. Afinitas tersebut akan juga telah diperkuat melalui pengaruh yang
datang dari selatan. Para ahli telah menunjukkan bahwa pengaruh Jawa pada seni,
bahasa, dan gaya penulisan dari bagian selatan Sumatera secara bertahap meningkat
pada awal abad ke-10 dan diperpanjang sejauh sebelah utara Padang Lawas.107 Panei
telah cukup penting pada abad ke-11 setelah menjadi salah satu dari kelompok-
kelompok mandala Sriwijaya yang diserang oleh Chola. Pada abad ke-14, Panei pun
berkembang menjadi sebuah entitas mandiri yang kuat, dan bahkan mungkin saja
menjadi saingan Melayu Adityawarman. Untuk alasan inilah arkeolog Satyawati
Suleiman percaya bahwa penempatan prasasti Adityawarman itu di Lubuk Layang di
distrik Pasaman, di perbatasan antara pemerintahan Melayunya dan kompleks
Padang Lawas, dimaksudkan untuk melindungi perbatasan terhadap suatu invasi. 108
Ditegaskan oleh Andaya, bahwa meskipun Panei dan Melayu berbagi warisan sejarah
yang sama dari Sriwijaya dan Melayu, pada abad ke-14 mereka mulai menganggap
satu sama lainnya sebagai saingan. 109 Dalam mencari keuntungan ekonomi dan
politik, masing-masing akan berusaha untuk menekankan perbedaan daripada
kesamaan, hasilnya; sebagai tampak di era terkini.

105 Edwards McKinnon, “Kota Cina,” 31–3.


106
Parkin, Batak Fruits, 84–6; Schnitger, Forgotten Kingdoms, 96.
107 Miksic, “Archaeology,” 93; Parkin, Batak Fruit, 87.
108 Satyawati, “Archaeology and History,” 6.
109
Andaya, 2008, hal.88.
58

Gambar 3.2. Kawasan Panai, Padang Lawas dan hulu Rokan.


Bentukan masing-masing terproyeksi terpisah dari Melayu, dan penguatan Melayu
justru tumbuh diseberang Selatan Sumatra; Melaka. Sementara itu, sebagaimana kita
telah melihat kepedalaman dan hubungannya dengan lanskap pesisir, dengan rute
bepergian yang membentang mulai dari sungai Panei, pegunungan Minangkabau dan
berlanjut di hulu Batang Hari hingga ke selat. Kembali dapat dikatakan bahwa
diantara Panei dan dataran tinggi, kita telah melihat pula bagaimana rute-
rute darat dan anak sungai akan bersinggungan dengan sepanjang punggung
Sumatra di pedalaman hulu Panei hingga Batang Hari; yang tentu melalui rute
pedalaman Rokan sebagaimana ditunjukkan oleh keberadaan situs candi
Sintong dan Sedinginan yang terletak dijejaring perdagangan Melayu, seperti
juga Candi Muara Takus di pedalaman Kampar.
Berikutnya, kita akan melihat pula pengaruh yang datang dari seberang pesisir,
tepatnya dipusat peradaban Melayu di Semenanjung; Melaka. Sebagaimana
dikisahkan dalam “Sejarah Melayu”, bahwa seorang pangeran dan pengikutnya
bertolak dari Pelembang (situs Sriwijaya) menuju Semenanjung disuatu waktu
59

menjelang akhir abad ke-14.110 Disini kita tidak mempersoalkan asal-usul Melaka ini,
hanya saja seorang Pangeran dari Palembang nampaknya melarikan diri sewaktu
terjadinya serangan Majapahit ditahun 1377 dan akhirnya tiba di Melaka sekitar tahun
1400. Di tempat ini, sang pangeran yang bernama Prameswara menemukan tempat
sebagai pelabuhan yang baik dimana seluruh kapal-kapal dapat berlabuh disegala
musim, dan Melaka sendiri terletak dibahagian paling sempit dari Selat Malaka.
Dengan bersekutu dengan para orang laut, ia memaksa kapal-kapal yang melintas
disana untuk menggunakan pelabuhannya, dan iapun mencukupi kebutuhan kapal-
kapal tersebut, dan ini menjadikan Melaka segera menjadi pelabuhan internasional
yang besar, sekaligus juga sebagai pelabuhan transit. Sebagaimana dalam Sejarah
Melayu, Sri Tri Buana kemudian bermukim di pulau Temasek. serta mengganti nama
itu menjadi Singapura. Hingga kematiannya, ia digantikan oleh putranya; Singapura
tumbuh berkembang, makmur, dan ketenarannya ini mengundang kompetitornya
untuk memeranginya; Ayutthaya atau Siam. 111 Sementara itu, Pasai yang juga
berkembang di timur laut pesisir Sumatera, ikut menderita sebagai akibat serangan
yang dilakukan oleh orang-orang Siam. Dalam Sejarah Melayu, bahkan penguasa
Samudera Pasai ditahan oleh penguasa Sharu'n-nuwi.112 Bukti serangan Siam ke dunia
Melayu dikuatkan dalam catatan Ming Shi-lu bertanggal 20 November 1407: Raja-raja
dari kedua negara Samudera dan Melaka juga mengirim orang untuk mengeluhkan
bahwa Siam dengan sombong telah mengirim pasukan untuk mengambil segel dan
gelar yang telah mereka terima dari Kerajaan. Mereka juga mencatat bahwa orang-
orang di negara mereka merasa takut dan tidak mampu tinggal dalam kedamaian. 113
Kelanjutannya, dInasti Ming nampaknya menjalin hubungan yang lebih dekat dengan
politi-politi dilingkungan selat Melaka hingga pertengahan abad ke-15 (tahun1434);
Bukti hubungan ini, pada tanggal 11 November 1405, Kaisar memberikan kepada
Melaka prasasti yang disusunnya sendiri untuk ditempatkan di bukit Melaka (sekarang
Bukit China). Hanya tiga negara lain diberi simbol kehormatan oleh Kaisar; Jepang
pada 1406, Brunei pada tahun 1408, dan Cochin pada tahun 1416.114 Keinginan China
untuk menemukan pusat perdagangan yang nyaman di selat dan perjalanan yang
aman ke India bertepatan dengan harapan Melaka sendiri untuk menjadi sebuah

110 Meskipun banyaknya tradisi memiliki banyak varian kisah dalam Sejarah melayu, awal mula
kisah ini sebagaimana terdapat diabad ke-15, sebagaimana “Raffles 18” yang menggunakan
sumber manuskrip tahun 1612. Untuk jelasnynya, lihat Roolvink, “Variant Versions.” Halnya
Sejarah Melayu versi Raffles 18 dapat dilihat dalam Cheah, SejarahMalayu. Penulis yang juga
melihatnya sebagai Sulalatu’l-Salatin atau dalam Malayu Penurunan Segala Raja-Raja (The
Genealogy of Kings). Roolvink meyakini bahwa apa yang diketahui sebagai Sejarah Melayu
bermula pada pengkronologisan raja-raja berdasarkan waktu, akan tetapi, kemudian, unsure
waktu tidak lagi dominan melainkan diwarnai juga dengan beragam tempat dalam kurun berbeda
yang menunjukkan juga varian versi.
111
Cortesao, Suma Oriental, vol. 2, 232.
112 Brown, Sejarah Melayu, 35–6.
113 Wade, “Ming Shi-lu,” 413–4.
114
Andaya, 2008, hal.69.
60

entrepot utama. Ini konvergensi kepentingan yang memungkinkan Melaka sedari


awalnya telah serius menanggapi ancaman terhadap eksistensinya; dari Ayutthaya
dan Majapahit, dan memilih menjalin aliansi dengan dinasti China.
Aliansi Melaka – China ini, diyakini dapat memberikan gambaran situasi
diseberang Melaka dipantai timur Sumatra tepat pada saat hubungan itu
berlangsung pada akhir abad ke-14 dan awal abad ke-15.

Rokan dan Pekaitan (Negara Laut Air Tawar)


Sebagaimana diketahui bahwa para ahli memandang pusat perkembangan Sriwijaya
pertamakali bukan terletak dipesisir, melainkan jauh dipedalaman Sungai Musi.
Penyebabnya, mungkin dapat dilihat dari wilayah pantai timur Sumatra yang
didominasi oleh mangrove, dengan kondisi garis pantai yang tidak ramah; memang,
menyediakan sumber daya bagi orang laut akan tetapi tidak untuk suatu pemukiman
komunitas yang mapan. Dikatakan juga orang-orang akan lebih suka untuk tinggal di
pedalaman di sepanjang tepian sungai. Lokasi dari pemukiman utama merupakan alur
pengangkutan dan rute dari negeri, dan dengan struktur kecil yang sama, komunitas
menyediakan bahan bagi pelabuhan utama.115 Terdapatnya sungai besar yang
mengalir dari dataran tinggi melalui hutan pedalaman menuju laut; kondisi yang
memungkinkan untuk menetap di sepanjang tepian sungai dan anak sungainya, dan
mereka menciptakan bentuk pemerintahan yang cocok dengan lanskap tersebut.
Konsentrasi penduduk dalam struktur permanen yang cukup besar seperti yang
ditemukan dalam masyarakat pertanian sawah, bahwa kondisi tersebut tidaklah
praktis atau tidak mungkin diterapkan dalam lanskap seperti itu. Sebaliknya,
masyarakat kecil dengan rumah perahu atau panggung yang dibangun di atas air dan
beberapanya didirikan di darat pada bidang yang datar; suatu lokasi yang dibersihkan
di tepian sungai atau anak sungai. Komunikasi antara masyarakat dengan
menggunakan perahu melalui berbagai jalur air dan darat yang singkat, untuk
menghubungkan mereka, atau dengan jalan kecil yang menghubungkan dusun
tetangga. Sifat pemerintahan tersebut, sebagaimana disampaikan Leonard Andaya

115
Ini merupakan varian model dari Bronson, dimana ia melokasikan port utama sebagai
disepanjang pantai; Bronson, “Exchange,” hal.42. Meskipun demikian, Sumatra menyediakan
sebuah landasan bagi modelnya, bahwa pemukiman di selatan Sumatra berlokasi jauh
dipedalaman disebabkan kondisi mangrove di sepanjang pantai. Begitu pula Miksic yang
meyakini bahwa situs utama adalah tempat dimana gelombang tidak mengancamnya; pohon
nipah (sebagai sumber pembangunan dan juga makanan) dapat berkembang, dan kapal besar
tidak dapat menjangkau lebih kepedalaman tersebab dangkalnya perairan. Lebih jauh, seperti
kota-kota “hilir” ataupun situs Hindu Budha yang ditemukan terletakjauh ke pedalaman, seperti
Palembang di Sungai Musi; Jambi di sungai Batang hari, Rengat di sungai inderagiri, Muara takus
di Pedalaman Kampar, dan situs Sintong di pedalaman Rokan.
61

hanya dapat disimpulkan dengan unit analisis administratif sebagaimana terdapat


dalam prasasti kuno Melayu; kedatuan, vanua, samaryyada, mandala, dan bhumi.
Akan tetapi, ketika alam pesisir menyediakan sumber daya yang dibutuhkan
untuk kelangsungan suatu pemukiman seperti ketersediaan air tawar, maka
tentunya cerita akan berbeda.
Ketika situasi geographi pesisir memungkinkan untuk dibangunnya suatu tatanan
sosial yang mapan, maka segera saja lanskap ditepian garis pantai sebagai suatu
pelabuhan entriport terbentuk. Akan tetapi, sebagaimana disampaikan bahwa
pendirian lanskap pantai tentunya memiliki resiko berada dalam kerentanan situasi
terhadap serangan-serangan luar. Untuk itu, sebagaimana kharakter Melayu yang
mengacu pada perluasan jejaring kekerabatan, maka, aliansi kekerabatan dengan
negara yang lebih besar dan kuat, menjadi mutlak. Kondisi ini dilandasi dalam upaya
mencari keuntungan ekonomi di lingkungan pasar yang sangat kompetitif di Selat;
sebagaimana dikatakan, Melayu berusaha untuk meningkatkan efektivitas mereka
dengan memperluas jejaring keluarga atau kerabat mereka. Berbagai strategi pun
digunakan untuk memasukkan orang luar ke dalam keluarga. Yang paling jelas adalah
melalui perkawinan yang sangat memperluas kelompok kekerabatan. Berkaitan
dengan ide ini, politi di aliran sungai Rokan sebagaimana tersebut dalam “SEJARAH
MELAYU,” kerajaan Rokan menjalin hubungan baik dengan Melaka dimana Sultan
Melaka menikah dengan salah seorang anggota keluarga penguasa Rokan. 116
Perluasan jejaring kekerabatan ini, dapat dipahami juga sebagai salah satu bentuk
perluasan kekuasaan kerajaan Melaka itu sendiri, bentuk mutualisme; kerajaan Rokan
merupakan salah satu pemasok sumber daya bagi pendayung ataupun prajurit
kemiliteran Melaka, dengan sendirinya Rokan memiliki sekutu yang kuat sebagai
bentuk “proteksi” terhadap ancaman serangan negara lain. Prestise ini, juga
ditunjukkan ketika penguasa Rokan berkunjung ke Melaka ia memperoleh sambutan
layaknya keluarga Raja. Bahkan, ketika Sultan Muhammad Syah sebagai raja ketiga
kesultanan Melaka wafat, putranya Sultan Ibrahim yang ibunya adalah putri dari Raja
Rokan, ditabalkan sebagai Sultan Melaka.
Jenazah Sultan Muhammad Syah dinaikkan ke atas perarakan lalu ditabalkan;
sudah itu maka Raja Ibrahlm117 pula ditabalkan. Setelah sudah maka jenazah
diarak ke masjid dengan alat pawai dan bunyi-bunyian. Pertama berjalan
dahulu dian; sudah itu orang menyelarupai kain; sudah itu perasapan; sudah
itu orang menyelarupai tetarupan; sudah itu maka perarakan keranda. Setelah
datang ke masjid, disembahyangkan di sana. Setelah itu maka anakanda
baginda, Raja Ibrahlm kerajaan menggantikan ayahanda baginda, gelar
baginda Sultan Abu Syahid. Tetapi baginda Raja Ibrahlm itu budak, tiada ia

116
Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak
menurunkan Raja Ibrahim.
117 Raja Ibrahim yang merupakan raja keempat dari Kesultanan Melaka dan bergelar SRI

PARAMESWARA DEWA SYAH (1444-1446).


62

hiraukan kerajaan; tiada lain pekerjaan baginda melainkan bermain bantak


sama-sama dengan budak-budak banyak; itulah dibuat orang nyanyi: 118
Mana Sultan Abu Syahid,
Budak-budak bermain bantak;
Tuan seorang dipandang baik,
Bagai cincin kena pennata.
Maka Raja Rekanlah memangku Sultan Abu Syahid memerintahkan negeri
Melaka.
Sayangnya, intrik dan persekongkolan Raja Kassim, telah mengakibatkan terbunuhnya
Sultan Ibrahim, sehingga ia memerintah Melaka hanya dalam kurun satu tahun dan
lima bulan saja. 119
Maka baginda pun masuklah melanggar ke dalam. Orang pun geruparlah
mengatakan Raja Kasim melanggar ke dalam; segala Orang Besar-besar dan
hulubang sekalian pun datang mengusir Bendahara, sekalian mereka itu
bertanya "Mana Bendahara?" sahut orang itu, "Bendahara pergi bersama-
sama dengan Raja Kasim." Maka pada hati segala Orang Besar-besar itu.
Bendaharalah yang empunya pekerjaan ini. Maka sekalian mereka itu pun
mendapatkan Bendahara dan bersertalah dengan Raja Kasim. Maka dalam
pun alahlah. Akan Raja Rekan tiada bercerai dengan Sultan Abu Syahid. Maka
kata Seri Nara Diraja, "Bahawa titah menyuruh merebut Sultan Abu Syahid,
takut dibunuh oleh Raja Rekan." Maka orang berseru-seru melarang jangan
menikam Raja Rekan dahulu. Maka tiada didengarkan oleh sekalian, kerana
sangat sabur. Maka ditikam oranglah Raja Rekan terus-menerus. Setelah Raja
Rekan merasai luka itu, maka ditikamnya Sultan Abu Syahid. Maka baginda
pun syahidlah. Adapun umur baginda di atas kerajaan setahun lima bulan.
Setelah Sultan Abu Syahid sudah mangkat, maka Raja Kasim pun masyghul
akan adinda baginda itu, maka ditanamkanlah seperti adatnya. Syahadan
maka Raja Kasimlah menggantikan kerajaan adinda baginda. Maka baginda
pun ditabalkan oranglah;
Sebagaimana telah kita lihat, kharakteristik populasi di aliran sungai Rokan ini
menunjukkan “silang budaya” dari Pagaruyung dan Melaka-Johor; serta tidak dapat
diabaikannya eksistensi Panei di bentangan Padang Lawas dan pengaruh migran Aceh;
menunjukkan bahwa sebagaimana sebuah jalan raya, sungai Rokan yang begitu
strategis sebagai kongruen jalur perekonomian dipedalaman, begitupula dipintu
keluarnya di muara yang menghadap langsung ke Selat Melaka. Bahwa perkiraan
lokasi kerajaan Rokan di Kota Lama di sungai Rokan Kiri, 120 selanjutnya ditemui suatu
lanskap dipesisir Rokan sebagai entitas yang diyakini berbeda dengan kerajaan Rokan

118 A.Samad Ahmad, Sejarah Melayu, 1979: A-101


119 A.Samad Ahmad, Sejarah Melayu, 1979: A-101
120
Wan Saleh Tamin, 1972, hal.13.
63

awal, akan tetapi kisahnya terpelihara dalam memori kolektif lanskap hingga era
terkini. Bahwa lokusnya di pesisir yang dipenuhi dengan suburnya mangrove dan kaya
akan ikan, praktek mata pencaharian lanskap di pantai dengan yang salah satu
teknologinya menggunakan alat tangkap ikan jenis bubu atau jermal, merupakan
bentuk eksisnya teknologi hingga abad ke-19 yang diamati oleh para petualang China
yang baru-baru saja tiba di Muara Rokan; tepat diseberang sungai yang kemudian
berkembang dan dikenal sebagai Bagansiapiapi. Diyakini bahwa bagi Melayu yang
terkait dengan kosmopolitan perdagangan Selat; kemapanan dan upaya
pemeliharaan suatu basis perekonomian adalah perkara yang dapat berlangsung
berabad lamanya; hingga suatu periode memperoleh benturan besar dari perubahan
peradaban yang mampu mengubahnya secara radikal. Politik di Selat dapat saja
berubah menjadi ancaman mematikan, terutama terhadap lanskap yang berada
digaris pantai, sebagaimana dikatakan rentan terhadap serangan-serangan dari
seberang lautan. Walau begitu, teknologi mata pencaharian yang merupakan basis
perekonomian, dapat saja bertahan kukuh dalam memori penduduk yang telah
beralih kedalam bentuk politi yang berikutnya; sebagai salah satu pewarisan kultur
perekonomian di lanskap yang hadir kemudian.
Bahwa jejak memori kolektif dihilir sungai Rokan yang nampaknya merekam
kemegahan sebuah bandar yang ramai disinggahi kapal yang berlalu-lalang di
Selat, sebahagian mungkin saja untuk mengambil perbekalan dan air minum,
sebahagian lagi untuk berdagang dan barter. Letaknya disekitar tepian muara,
mengingatkan lokasinya pada situs Melaka, hanya lokus ini tepat
diseberangnya arah ke barat di pulau Sumatra. Keriuhan, ramainya
persinggahan kapal, maka diimbangi dengan hamparan tiang-tiang sebagai
tempat “pengait” tali kapal, dan legenda mencatatnya sebagai PEKAITAN.121
Kisah kerajaan diseberang Semenanjung ini, Rokan atau Pekaitan, menyisakan
pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab; seperti detail titik lokus, periode atau
para pelaku dengan sistem sosial yang berlaku; mungkin ini sama dengan Sriwijaya
yang hingga hari ini masih terus saja mengundang perdebatan, terutama berkaitan
dengan pertanyaan yang telah disebutkan. Meskipun demikian, dapat pula kita
cermati laporan Groeneveldt yang meneliti lembaran catatan-catatan China tentang
situasi nusantara, terutama di sepanjang pantai timur Sumatra. Bahwa salah satu
catatan itu membahas sebuah kerajaan yang diperkirakan berlokasi di muara sungai
Rokan pada abad ke-15. Kerajaan yang diidentifikasi sebagai “DAN-YANG” (NEGARA
LAUT AIR TAWAR), berbatasan dengan Aru, dan berjarak tiga hari pelayaran dari
Melaka. Bahwa lokus ini dikenal dengan terdapatnya teluk luas sebagai sebuah muara
aliran sungai, dimana air tawar cukup jauh mengalir kelaut sehingga airnya jernih dan
manis. Dengan demikian, pelaut yang melintas disana menyebutnya dengan laut air
tawar; laporan Hardenberg atas penelitiannya di tahun 1929 tentang adanya danau
air tawar di pulau Pedamaran seperti mengingatkan situasi muara Rokan berabad

121
Wan Saleh Tamin, 1972, hal.17-21.
64

silam itu. Tanahnya yang subur, dan menghasilkan bulir beras yang kecil namun
dikatakan memiliki rasa yang cukup menggugah selera untuk dikonsumsi, ditunjang
pula dengan iklim hangat sepanjang tahun. Selain itu, diberitakan juga kondisi
penduduk yang cukup baik, dimana dimiliki kebiasaan bagi lelaki dan perempuan
menyanggul rambutnya, dan menutup bagian bawah tubuh dengan sehelai kain
sarung bergaris: sebuah kebiasaan saat itu yang juga terdapat di negeri-negeri
Sumatra seperti Aceh, dan bahkan juga ditemui di Melaka. Barang yang diimpor adalah
emas, perak, besi dan tembikar. Dikatakan bahwa lokus ini berada disebelah selatan
gugusan pulau Aru (dikenal juga dengan gugusan pulau Aruah); sebuah muara sungai
yang luas dimana sebagai pertemuan dua aliran sungai penting mengalirkan airnya
kelaut. Dimusim penghujan, maka lapisan air tawar menutupi permukaan air laut
disana.122
Berkembangnya sebuah negeri dimuara Rokan, kontras dengan perspektif Sriwijaya,
Jambi, Kampar, Siak, Panei; sebagai “negeri pesisir” yang berlokus lebih kepedalaman,
tentu menghadirkan pertanyaan-pertanyaan berkaitan dengan geografis pesisir saat
itu. Bagaimanakah sebenarnya kondisi topographi pesisir timur lima abad lampau
terutama disekitar muara Rokan? Atau lebih jauh lagi, delapan hingga sepuluh abad
lampau? Dimanakah garis pantai timur itu sebenarnya, mengingat pantai yang terus
saja bertambah menjorok kelautan yang dapat mencapai hingga 100 meter
pertahunnya. Perubahan ekologi pantai, jelas akan mempengaruhi struktur sosial,
selain juga pengaruh dari tekanan kolonialime barat mulai abad ke-16. Terekamnya
Negara laut air tawar di muara Rokan, nampaknya sezaman dengan periode naungan
dinasti Ming atas Melaka dari invasi Siam ditahun 1405. Dan menjadi logis, bila negeri-
negeri diseberang pantai Melaka sebagai kawasan yang masuk dalam rute perjalanan
utusan sang Kaisar, tercantum dalam lembaran catatan mereka. Negara laut air
tawar, dengan periode yang diperkirakan sama dengan kerajaan Rokan sebagaimana
terdapat dalam SEJARAH MELAYU, keunikannya sebagai kawasan pesisir dengan
kondisi air tawar, menjadikan muara Rokan berbeda dengan kawasan pesisir lainnya
disepanjang pantai timur yang sebagaimana telah disebutkan, dikenal sebagai
kawasan rawa mangrove yang tidak ramah bagi sebuah situasi pemukiman, seperti di
pesisir sungai Musi, Batanghari, Indragiri, Kampar, Siak dan Panei. Catatan China itu,
bisa saja menjadi salah satu pentunjuk awal bagi perkembangan dikawasan muara
Rokan, yang nampaknya juga berubah seiring runtuhnya Melaka 1511.
Sementara itu, pertanyaan yang lebih jauh adalah apa yang terjadi di muara Rokan
pasca kerusuhan Portugis itu. Beberapa abad kemudian, terutama abad ke-18 William
Marsden, dengan “Sejarah Sumatra” yang terbit ditahun 1811; mencatat bahwa

122
Berdasarkan catatan Xingcha Shenglan yang berarti “Catatan Umum Perjalanan di Lautan,”
diterbitkan tahun 1436 oleh Fei Xin, bahwa orang ini berasal dari Fang Zhou dan Selma 20 tahun
mengadakan empat kali perjalanan luar negeri bersama Cheng He; tidak diketahui secara pasti
jabatan atau kedudukannya, hanya saja ia adalah seorang Tionghoa Muslim dan mengerti bahasa
Arab. Dilihat dalam Groeneveld, 1880, terbitan Komunitas Bambu, tahun 2003, hal.xx, dan
hal.130-131.
65

muara Rokan lebih menyerupai suatu teluk yang luas, dimana pelaut-pelaut Eropa,
akan berpikir ulang untuk menyusurinya hingga kepedalaman dengan arus Bono yang
berbahaya dan mematikan itu. Sayangnya, Marsden tidak menyebutkan tentang
keadaan pantai lebih jauh terutama menyangkut keberadaan kampung-negeri disana.
Hanya saja, Netscher, menunjukkan bahwa sebelum Raja Kecil invasi ke Johor 1718, ia
menjadikan salah satu lanskap di pesisir Rokan: Kubu, sebagai basis militernya.
Pemilihan lokus sebagai sebuah basis penyerbuan negeri yang cukup kuat saat itu
seperti Johor, tentu dengan pertimbangan dukungan sejumlah besar sumber daya
manusia yang cukup; situasi yang juga menunjukkan suatu perkembangan lanskap
pesisir disekitar muara Rokan. Selain itu, runtuhnya Melaka akibat serangan Portugis
ditahun 1511 sebenarnya telah menghancurkan perdagangan Selat itu sendiri yang
bersumbu di Melaka; sentral yang menghilang akan memunculkan sejumlah titik
perdagangan baru yang lokasinya tersebar. Meskipun tidak sestrategis Melaka sebagai
pelabuhan dipersimpangan dunia, secara tidak langsung telah menumbuhkan Aceh
sebagai kekuatan baru yang memperoleh suntikan kekayaan dari pedagang-pedagang
muslim yang menggelar jual-beli di sebaran titik pelabuhan perdagangan itu. Segera
saja, konflik merebak diantara Aceh dan Johor sebagai klaim pewaris Melaka, dan
Portugis yang mempertahankan benteng Melaka untuk memperoleh pengaruh di
Selat. Masa kegemilangan Aceh (Sultan Iskandar Muda), ditandai dengan invasi kedua
sisi pantai Sumatra; barat dan timur. Jejaknya masih dapat ditemui, baik berupa nama
desa, seni arsitektural, dan juga cerita rakyat yang berkembang dan dikenali oleh
masyarakat lanskap. Pada tahun 1564, Aceh merebut kembali Haru yang jatuh
ketangan Johor pada 1540; menyerbu ibukota dan menawan semua anggota keluarga
kerajaan Johor. Perang yang berlangsung pada abad ke-16 dan 17 ini, akhirnya diakhiri
di tahun 1641; dimana VOC dengan sekutu Johornya, memblokade Melaka, dan
Melaka pun jatuh ketangan VOC. Melalui perjanjian damai, Johor tidak lagi mampu
berposisi seperti sebelum kedatangan Portugis, melainkan mendominasi diwilayah
vassal, seperti Siak di tahun 1622 dan Inderagiri ditahun 1669. Aceh dan Portugis,
disebut tidak lagi sebagai rival penting bagi Johor.
Bahwa keruntuhan Melaka tahun 1511 ini diasumsikan merupakan titik
menguatnya Islam di kawasan Selat Melaka disebabkan Islam disini sebagai
memperoleh musuh bersama; Portugis. 123
Cerita rakyat yang terdapat dilanskap di aliran sungai Rokan, menunjukkan gerakan
menghulu orang-orang Melaka yang eksodus sebagai akibat penyerbuan Portugis. 124
Para pelarian Melaka ini, nampaknya diburu oleh Portugis tidak saja ke pedalaman
Rokan, juga mencapai pedalaman Siak dan Kampar, dimana mereka membawa misi

123 Tidak hanya Sumatra, penguatan Islam yang juga berlaku di Maluku dan Jawa sebagai akibat
invasi Portugis, lihat C.J.van Leur, Indonesian Trade and Society, Essays in Social and Economic
History, Vol I Den Haag/Bandung, 1955, hal.160-9.
124 Bahkan dikatakan bahwa Raja Mahmud Syah memperisteri puteri Raja Rokan yang kelak

menurunkan Raja Ibrahim.


66

lainnya; menguasai bandar-bandar yang terdapat disepanjang aliran sungai sebagai


jalan raya penghubung dengan kawasan pedalaman. Bahwa meriam dan bekas
benteng di Batu Hampar (Rokan) diyakini merupakan bukti kedatangan Portugis ke
negeri tersebut. Di Batu Hampar juga ada lokasi yang dikenal sebagai Parit Peringgi.125
Dalam bahasa setempat/Melayu, kata peringgi kerap dikaitkan dengan orang Portugis.
Seperti halnya politi Gasip di sungai Siak, maka politi Rokan ini mengalami
perkembangan dalam rentang yang relative sama dengan Melaka, dan kemudian
menghilang seiring runtuhnya Melaka dan juga masa invasi Aceh abad ke-16 dan 17.
Dengan demikian,
kerajaan Rokan di Kota Lama dialiran sungai Rokan Kiri, dapat diasumsikan
eksis sebelum abad ke-15;126 sebagai lanskap dengan lokus lebih kehulu dari
lokasi situs Candi Sintong dan Sedinginan; Bahwa pudarnya kerajaan Rokan
yang berlokasi dianak sungai Rokan Kiri ini dilanjutkan dengan kerajaan Rokan
di Pekaitan atau juga sebagai “Negara Laut Air Tawar” dimuara yang sezaman
dengan periode kegemilangan Melaka, diyakini pasca invasi Portugis tahun
1513127 digantikan oleh sebaran lanskap yang berlokasi disepanjang aliran
sungai Rokan.
Selanjutnya, Meleburnya Rokan kedalam sebaran politi; hulu, dan juga di hilir dalam
tiga lanskap; Tanah Putih, Bangko dan Kubu, menunjukkan periode perubahan;
semakin menguatnya Islam diwilayah sepanjang aliran sungai Rokan. Bahwa,
kemunculan tiga lanskap ini, tentu saja bersamaan dengan periodesasi invasi Aceh.
Bahwa situasi ini terekam dalam legenda yang dikenal disepanjang aliran sungai
Rokan. Kisah Aceh di sungai Rokan, diperkirakan menguatkan proses terpisahnya
lanskap menjadi dua bahagian besar, bahagian hulu dan hilir. Proses dalam rentang
periodesasi perebutan hegemoni Melayu di Selat Melaka antara kekuatan Aceh dan
Johor, yang turut menghimpun sebaran politi-politi guna menghadapi kompetitor.
Seperti Johor yang sepanjang dekade ke-3 dan ke-4 abad ke-17, melakukan aliansi
dengan Inderagiri, Siak dan Kampar dalam menghadapi Aceh; atau seperti di hulu
sungai Rokan, ancaman invasi Aceh menyebabkan lanskap hulu kembali menguatkan
aliansinya dengan kekuatan pedalaman; Pagaruyung.
Sebelum invasi Aceh mencapai pedalaman sungai Rokan, bermula di ranah Kepenuhan
disepanjang sungai Rokan sampai Kuwala, situasi yang terproyeksikan hingga

125
Darmawi, 2008, hal.117.
126
Sebagaimana nama Rokan terdapat dalam catatan Majapahit, Kitab Kakawin
Nagarakertagama pupuh XIII dan XIV, kitab yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365
dimasa pemerintahan Hayam Wuruk (1350-1389). Meski Majapahit mengklaim negeri-negeri di
Sumatra itu yang dikatakan sebagai Malayu sebagai negeri taklukkan, akan tetapi tidak pernah
ditemui klaim pengakuan dari negeri yang tercantum dalam kitab itu.
127
Tahun 1513 ini Portugis menyerang pelabuhan Pekaitan, dan juga istana Raja. Terdapat kisah
Raja yang tengah asyik bermain catur dengan Datuk Bendahara, saking asyiknya, Baginda Raja
tidak menyadari jika “Peringgi” atau “Pertukal” (Portugis) telah datang menyerang; Lihat Wan
Saleh Tamin, 1972. Hal.48-50.
67

beberapa abad menjelang akhir abad ke-19, negeri itu terbagi menjadi dua. Bahagian
pedalaman tetap berada dibawah penguasa Kepenuhan, sementara dihilirnya,
dibawah kendali Raja Lontar yang merupakan keturunan Pangeran Johor dan menikah
dengan Raja Siti, seorang putri Kepenuhan. Selama beberapa waktu, wilayah hilir
sungai Rokan dilingkup Tanah Putih, berada dibawah penguasaan Johor; wilayah ini
dikatakan dihuni oleh suku-suku Melaka yang bermigrasi ketika kerajaanya
dihancurkan Portugis; hingga paruh abad ke-17, bahagian pesisir Rokan tersebut
dikendalikan oleh pejabat yang diangkat oleh dinasti Johor, seorang Sahbandar.
Sementara di bahagian hulu, sebagai lanskap perbatasan, pangeran Johor meminta
pangeran dari hulu - Tambusai dimana telah bermukim penduduk Minangkabau,
untuk dilengkapkan kedalam wilayahnya. Dengan demikian, muncul kerajaan
Kepenuhan, Kota Intan dan Kota Lama, kedua terakhir ini, berlangsung sampai pada
suatu masa dimana terjadi penyatuannya kedalam “Kunto.” Bahkan Pangeran Johor
pun ternyata dapat memenangkan tahta Tambusai, sehingga Johor kemudian
memperluas pengaruhnya sampai ke Rambah. Ketika pasukan Aceh melakukan
penyerangan ke daerah-daerah di pedalaman; wajar bila politi-politi ini beraliansi
dengan Pagaruyung untuk menahan laju ekspansi Aceh, hubungan yang telah ada
semenjak masa Adityawarman.128 Akan tetapi, kisah Aceh di aliran sungai Rokan tidak
hanya berisi cerita invasi semata, melainkan juga migrasinya orang-orang Aceh
terutama sebagai akibat tekanan internal kerajaan; dimana yang berdatangan ke
lanskap dihilir sungai Rokan ini juga adalah kaum ulama. 129 Terdapat situs, dan
sebagaimana disampaikan, juga cerita yang beredar tentang bangsa Aceh ini, yang
kisahnya memiliki kesamaan dengan cerita yang terdapat di Sumatra Timur Laut. 130
Dialiran hilir sungai Rokan, kita akan menemukan situs ulama Aceh yang terletak di
Batu Hampar, pusat lanskap Bangko dan bahkan disebutkan sang ulama Aceh sebagai
pendirinya.

Diantara Siak dan Kolonialisme Belanda

128 dan akibatnya, tentu saja memperkuat kembali pengaruh Minangkabau di negara-negara
darat tersebut. Konsekuensi logis dari kondisi ini adalah dapat dijumpainya campuran antara
unsur aristokrat dan demokratis (Masing-masing dari Johor dan Minangkabau) dalam sistem
pengaturan masyarakat di sana. Nampaknya ini juga harus disebutkan bahwa untuk
pengangkatan Raja Tambusai yang baru, terdapat dalam tulisan Hindu – yang disebut sirih - teks
itu mengatakan bahwa penguasa Pagaruyung melimpahkan pangerannya ke negeri Tambusai.
Sebagaimana dikisahkan Rijn van Alkemade dalam kunjungannya ke hulu sungai Rokan, 1884.
129 Datuk Batu Hampar di Bantaian di pesisir sungai Rokan, adalah seorang ulama yang berasal

dari Aceh.
130 Seperti Legenda Putri Hijau, selain terdapat di Deli Tua, juga terdapat dialiran sungai Rokan.

Lihat B.van Durren kontrolir Bagansiapiapi(MVO.19334, Wan Saleh Tamin(hal.35-8),


sebagaimana dikisahkan dalam Riau Daratan: dari darat sampai pesisir, 2015, hal.55-60.
68

Pada periode pertengahan abad ke-17, sebagaimana telah disampaikan bahwa


wilayah dihilir sungai Rokan (Tanah Putih) dikendalikan oleh Sahbandar sebagai wakil
dari dinasti kesultanan Johor. Akan tetapi, pada perjalanan paruh kedua berikutnya,
kesultanan Johor melemah terlebih dengan peristiwa terbunuhnya Sultan Mahmud di
tahun 1699. Sumber-sumber hikayat, maupun laporan pengamat Eropa menyebutkan
bahwa disuatu periode sebelum invasi Raja Kecil ke Johor di tahun 1699, sebagaimana
disebutkan; Kubu dipesisir muara Rokan merupakan salah satu basis bagi Raja Kecil
dalam menggalang pasukannya, tersebut juga diantaranya adalah Batu Bara.
Kemenangan Raja Kecil dan dibangunnya dinasti Siak di awal abad ke-17, menandai
terusirnya pejabat Sahbandar itu dari kawasan pantai timur. Akan tetapi klaim
pertama atas lanskap dilakukan oleh anak sulung Raja Kecil, yaitu Raja Alam, kemudian
juga oleh Raja Ismail (cucu Raja Kecil) yang menjadikan kawasan Rokan sebagai salah
satu basis kekuatannya, hingga akhirnya; Said Ali yang bertahta di Siak tahun 1791,
memasukkan tiga lanskap dilairan sungai Rokan kedalam wilayah Siak. Sebagaimana
diketahui, sebelum ditandatanganinya perjanjian Siak tahun 1858 antara Siak dan
Belanda, bahwa dalam tubuh pemerintahan kerajaan Siak di abad ke-19, telah
ditandai dengan berulangkali terjadinya aksi pengusiran Raja, baik ke Asahan, Batu
Bara, maupun distrik Rokan: keadaan yang menyebabkan Siak “beristirahat” dari
upaya ekspedisi atau ekspansi keluar wilayah kerajaannya. Dapat dikatakan, bahwa
pergolakan internal Siak yang berlangsung terus menerus telah melemahkan kekuatan
kerajaan, mengurangi pengaruhnya, terutama terhadap negeri-negeri dependensinya
sendiri. Hal berlangsung hingga era Said Ali yang naik tahta Siak pada tahun 1791.
Hingga abad ke-19, Belanda memandang Said Ali sebagai Raja paling energik yang
pernah ada di Siak, memiliki kemampuan mempertahankan keamanan Siak serta
wilayah yang menjadi dependensinya dan bahkan memperluas wilayah di pesisir timur
hingga keperbatasan Aceh, meski untuk itu ia harus menggunakan senjata. Pada
ekspedisinya ke Tanah Putih, ia telah menunjukkan dan mengukuhkan pengaruhnya,
bahwa ia layak menjadi Sultan Siak. Hal Ini cukup bagi Said Ali untuk menunjukkan
eksistensi dirinya di Muara Sungai Rokan, untuk menerima baiat dari orang-orang
Tanah Putih, Kubu dan Bangko dengan cara yang paling elegan. Sejak hari itu, Siak
tetap tak terbantahkan berada dalam kepemilikan atas dependensi, bahwa Sultan
menganggap hak atas tanah adalah sebagai “tanah lungguh” Sultan sendiri,
memperoleh penghasilan dari sana, dan atau diserahkan kepada keluarganya. Kondisi
ini, selanjutnya dibakukan melalui perjanjian Siak dengan Belanda di tahun 1858,
dimana wilayah Siak juga meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Peristiwa ini juga
menandai pemisahan lanskap di sepanjang aliran sungai Rokan antara bahagian hulu
dan hilirnya, dimana wilayah hilir aliran sungai Rokan masuk kedalam wilayah jajahan
Hindia Belanda. Meskipun demikian, ditegaskan bahwa ketiga kenegerian di hilir
sungai Rokan ini bukanlah wilayah “Eigenlijk” Siak(wilayah asli Siak), melainkan
sebagai wilayah dependensi. Penegasan kembali klaim Siak atas Tanah Putih,
sebagaimana oleh Marhum Besar, dimana ia memberikan lanskap sebagai tanah
lungguh untuk keponakannya Tengku Besar. Nampaknya, hal ini berkaitan dengan
69

sengketa batas-batas antara Siak dan Rantau Binuwang terkait atas kewilayahan
Tanah Putih.
Pada tahun 1881, Sultan Siak mengklaim supremasi atas semua wilayah
Tambusai, dikatakan bahwa Rantau Binuwang berada di daerah yang
termasuk kedalam wilayah Tanah Putih, yang dianggap sebagai dependensi
Siak. 131
Kemudian kepala Tambusai, Mohamad Zainal Abidin, menemui residen di Bengkalis
untuk pembelaannya. Bahwa pembentukan Rantau Binuwang sebagian besar terjadi
di wilayah Kepenuhan, dan kemudian Kepenuhan pun muncul dengan segala
konsekuensi tuntutannya. Sementara sang Residen, ia mengklaim dapat membangun
batas-batas antara Kepanuhan dan Rantau Binuwang yang memuaskan bagi kedua
belah pihak. Akan tetapi, dalam hal ini dikatakan Siak hanya memberikan sebahagian;
yang disetujui lebih kepada bagian hulu dari Tambusai (Dalu-Dalu) yang dianggap
tidak memiliki otoritas, dan tentu saja ini diklaim oleh Rantau Binuwang. Sebaliknya,
Zainal Abidin menunjukkan klaimnya yang diletakkan di Negeri Tinggi, 132 wilayah yang
menurut Siak pada era sebelumnya selalu berada di bawah lanskap Tanah Putih; dan
dengan demikian, tidak lagi diragukan sebagai bahagian dari Siak. Perkara ini,
penjajah menganggap sebagai bagian dari tanggung jawab Zainal Abidin; dan terdapat
berita yang mengatakan bahwa ia dipanggil ke Batavia(?). Nampaknya, perjanjian
tanggal 12 Januari 1885 dirasa tidak memihak Rantau Binuwang; bahwa dinyatakan
telah didudukinya secara illegal wilayah di Tanah Putih; tentang dihapuskan dan juga
kemampuan upeti dari Rantau Binuwang di Siak; dan juga untuk berperilaku sesuai
dengan keinginan pemerintah Belanda. Terutama pembayaran upeti sejumlah $300
per tahunnya. Akan tetapi, pembayaran dari jumlah ini dihilangkan; setelah beberapa
tahun, Mohamad Zainal Abidin dibebaskan dari kewajiban membayar; akan tetapi,
pada saat yang sama residen menarik kewenangan yang diberikan kepada Mohamad
Zainal Abidin sebagai Raja dari Tambusai dan Rantau Binuwang, meskipun kepala
Tambusai tersebut telah tinggal di Rantau Binuang selama puluhan tahun. Sementara
Siak, tetap bersikukuh bahwa Rantau Binuang merupakan bahagian dari wilayahnya.
Hal itu, menyebabkan penguasa Rantau Binuang, Zainal Abidin berada dalam posisi
berhadap-hadapan dengan Siak, dimana hak-haknya di Tanah Putih, Kubu dan Bangko
ditolak, dengan kata lain, Zainal Abidin tidak mengakui kekuasaan Siak atas lanskap-
lanskap tersebut. Zainal Abidin, secara pribadi mengajukan kasusnya dan menyatakan
sudah terlebih dahulu mengajukan sebagai bahagian dari “rechtstreeksch” kepada
pemerintah di Bengkalis, untuk menghindari tuntutan Siak dengan melakukan
penyerahan. Belanda sendiri berupaya meyakinkan dirinya bahwa telah dilakukan
upaya-upaya untuk membawa pihak-pihak yang berselisih agar menuju pemulihan
hubungan; dan ternyata gagal. Zainal Abidin tinggal beberapa bulan di Bengkalis,

131 Schadee: Geschiedenies van Sumatra’s Oostkust, 1919, hal.79.


132 Dalam lawatannya ke Rantau Binuwang, Rijn van Alkemade melaporkan bahwa Negeri Tinggi
dihuni oleh pemukim dari Tambusai.
70

kemudian menuju Batavia membawa keluhan terhadap Siak dan klaim atas wilayah
Rokan.133 Upaya lebih jauh dikerahkan untuk menyelesaikan isu tersebut, akan tetapi,
daerah terakhir itu kembali dialihkan ke Siak ditahun 1888. Bahwa kemudian Zainal
Abidin diketahui “meninggalkan” lanskap ini, sementara Belanda menganggapnya
sebagai sikap “merajuk” terhadap pemerintah dan otoritas Hindia menyangkut hal di
bagian yang tersisa dari kerajaannya. Akan tetapi, dari beberapa catatan Belanda,
memang menunjukkan bahwa Belanda menganggap Zainal Abidin tidak memiliki
batas-batas nyata atas Rantau Binuang. Berikut catatannya:
“…Beberapa dokumen menunjukkan, bahwa Raja Tambusai telah menerima
pinjaman dari Sultan Siak berupa tanah yang terletak di antara hulu Ajer
Meminda dan hilir Pagaran Itik. Pada awalnya, ia menyangkal supremasi Siak,
atau bahwa ia menikmati saja suatu keramahan dalam batas-batas negara
tersebut, dan kisah pengembaraannya tersebab ia terusir dari negerinya pun
berakhir. Bagaimanapun juga, berangsur-angsur kekuatan rezim di Siak
terlihat mulai mengendur, dan sebaliknya, Raja Tambusai pun bertahap mulai
menganggap diri mereka merdeka secara keseluruhan dari Siak, bahkan
memberanikan diri melakukan klaim atas tanah di hilir Pagaran itik, berikut
dengan kekayaan didalamnya(hutan dan lainnya), dan seluruh wilayah Tanah
Putih, serta seluruh sisa area Rokan, diklaim sebagai properti wilayah
hukumnya.” 134
Sikap penjajah ini, tentu saja dilandasi telah dikukuhkannya kewilayahan Siak melalui
perjanjian 1858, yang memang bisa saja dirasa berlebihan. Penyelesaian persoalan,
akan lebih dominan kepentingan penjajah dan terutama dalam kerangka perluasan
kewenangan atas wilayah jajahan. Seperti kasus perbatasan dengan Aceh di Sumatra
Timur Laut; menyebabkan berkobarnya perang Aceh yang begitu hebatnya menguras
sumber daya.135 Di aliran sungai Rokan, sikap kolonialis Belanda, lebih didasarkan rasa
ketakutan berlebihan terhadap segala potensi gejolak yang mungkin muncul dari
tokoh yang dianggap berpengaruh. Seperti kedatangan Muhamad Zainal Abidin ke
lanskap Tanah Putih dalam rangka kunjungan berziarah, telah direspon dengan
penyiagaan satu kesatuan polisi dari Bengkalis yang tiba dengan kapal perang. Meski
akhirnya diketahui bahwa ini dikatakan Belanda merupakan sesuatu rasa ketakutan
yang terlalu dibesar-besarkan, pengalaman traumatik Perang Padri di hulu sungai
Rokan, menyebabkan Belanda merasa perlu melakukan penangkapan terhadap
Mohamad Zainal Abidin ditahun 1904, dan diinternir ke Madiun hingga wafatnya
disana.136 Sebagaimana halnya politik aneksasi Belanda terhadap pantai timur

133 Dalam Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 12, 1883 (2e deel) [volgno 5]: 01-10-1883, hal. 264
– 265.
134 Hijman van Anrooij, hal.380.
135
Lihat Anthony Reid, sebab-sebab perang Aceh.
136 Dikisahkan bahwa Pakir Saleh, yang berjuang bersama kaum Padri, dan dikenal dalam sejarah

sebagai Tuanku Tambusai: Raja dari Tambusai, setelah melalui peperangan ganas di benteng
Dalu-Dalu di tahun 1838, beliau menyingkir ke Linggi di Pantai Barat Melaka. Bahwa Pangeran
71

Sumatra; perluasan Wilayah Hindia atas kawasan Siak ini juga memungkinkan bagi
penjajah untuk melakukan apa yang dinamakan sebagai “mempelajari” lanskap.
Pengamat seperti Anderson, Raffles, dan sejumlah pengamat asing pun berdatangan
guna memperoleh informasi mengenai wilayah jajahan atau bakal calon jajahan;
sejumlah informasi-yang mendukung eksploitasi sumber daya di tanah jajahan. Dua
tahun sesudah penandatanganan perjanjian 1858 yang sangat merugikan Siak,
pemerintah Hindia mengutus seorang pegawai pribumi, “Boerhanddin” ke lanskap
Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Akan tetapi, catatan yang lebih detail tentang tiga
kenegerian tersebut, dapat diproleh dari Hijman van Anrooij yang menuliskan
laporannya atas wilayah Siak ditahun 1884, dan juga laporan dari Rijn van Alkemade 137
dalam lawatannya ke Rantau Binuwang dihulu sungai Rokan. Dari catatan dua hamba
Hindia tersebut, dapat ditelusuri kehidupan sosiobudaya di sepanjang hilir sungai
Rokan, yang meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu. Aparat pemerintah Hindia ini,
nampaknya kesulitan dengan sumber informasi terutama untuk sejarah awal Bangko,
dan ini juga berlaku untuk Kubu, minimnya keterangan atau bahkan hampir tidak
ada sama sekali. Adapun batas-batas Tanah Putih dengan Kubu dan Bangko adalah
dengan Kota intan, juga Kunto, Rantau Bais, di tepi kiri sungai Rokan, perbatasan dan
di Kapenuhan di Ayek-Meminda yang merupakan anak sungai sebelah kanan (Rokan-
Kanan) dari Sungai Rokan ini. Hijman van Anrooij, membatasi konsepnya atas Tanah
Putih, yang dikatakannya bahwa ketika berbicara tentang Tanah Putih, dengan
demikian yang dimaksudkan adalah sebagai tanah hilir Pagaran itik. Tideman
mengemukakan bahwa mata pencaharian Melayu di kewilayahan afdeeling Bengkalis
(Onderafdeeling Bengkalis, Onderafdeeling Bagansiapiapi, Onderafdeeling Siak,
Onderafdeeling Rokan, dan Onderafdeeling Kampar Kiri) terpokok pada tiga hal;
nelayan, berdagang dan pengumpul hasil hutan. 138 Ketiga sumbu perekonomian
populasi ini, seringkali berpotongan dengan apa yang dinamakan hak privilege Sultan
atas lanskap yang juga menyimbolkan kekuasaan dan perlindungan penguasa
terhadap hamba secara mutualistik.

Ramba dan Kepenuhan, mungkin saja tidak seperti Sultan Achir Lamaan yang semakin melemah,
dan segera menuju Sungai Krangin Penei, dimana ia wafat disana. Putra dan sebagai
penggantinya; Djamaloe Talair menetap di Sungai Daun di Kubu hingga wafatnya. Ia, digantikan
oleh putranya, Sultan Abdul Wahid, yang bermukim di Rantau Binuwang; penerusnya adalah
Sultan Mohamad Dzen yang bergelar Yang dipertuan Besar di Rantau Binuwang dan
menambahkan kata “Sakti” pada nama kerajaannya, sehingga bernama Rantau Binuwang Sakti.
Sang pangeran, berusia sebelas tahun sebagai Madjalelo dan pada usia lima belas tahun; Soetan
Dzainal hingga ia dinyatakan sebagai raja, lihat Rijn Van Alkemade, 1884.hal.35-8. Kisah
penangkapan Muhammad Dzainoel Abidin, sebagaimana diberitakan oleh De Sumatra Post, 4
Oktober 1905; Koloniaal Verslag 1905; lihat juga Soerabaijasch Handelsblad tanggal 28 Juli 1906,
bahwa beliau ditangkap Belanda dalam suatu operasi militer dibulan Juni 1904.
137 Sebagaimana diterbitkan tahun 1885.
138
Tideman, Land en Volk Bengkalis, 1935.
72

Tanah Putih dan Tambusai, Peta Tahun 1883-5. 139

Selain itu, masyarakat juga terlibat dalam perladangan terutama untuk memenuhi
subsistensi ekonomi. Kegiatan dalam skala komersil, terutama dipastikan akan
berkaitan dengan kelas pedagang yang didominasi “Orang Kaya.” Seperti di Tanah
Putih, secara keseharian, penduduk akan berada di wilayah perladangan dan juga
perdagangan; seorang kepala pedagang di Tanah Putih tercatat ditahun 1885 bernama

139
KIT, Dutch Colonial Map: Nomor: 11964-08. Skala 1:900.000.
73

Haji Muhammad Taib; tengkulak yang posisinya ada diantara Pemerintah dan Pribumi
serta dengan pedagang yang datang dari tempat lain.

Perekonomian Anak Bumi


Demikian halnya populasi Bangko yang bergerak dalam perladangan padi, menangkap
ikan, perdagangan, pengumpul hasil hutan, budidaya gambir dan gendies adalah mata
pencaharian penduduk, banyak kebun gambir musnah oleh kebakaran hutan di tahun
1880-an yang berkobar dan membentang melampaui Kepenuhan, Tanah-Putih,
mengakibatkan kehancuran, namun kemudian telah dibuka kembali kebun-kebun
baru. Ketika Rijn van Alkemade berkunjung ke Rantau Binuang melintasi lanskap
Bangko, dikatakan negeri ini memiliki populasi yang terlibat dalam budidaya padi,
menangkap ikan dan pengumpul hasil hutan sebagai sumber mata pencahariannya.
Untuk populasi di Labuan Tangga, Rijn van Alkemade mengatakan bahwa mereka
semua berasal dari Kubu dan terutama berkaitan dengan kegiatan penangkapan ikan
(vischvangst), mengumpulkan buah dan hasil hutan. Adapun populasi Kubu terfokus
pada perladangan dan penangkapan ikan (vischvangst), sementara itu mereka juga
mengumpulkan hasil hutan. Akan tetapi,
Pemerintah Belanda cenderung untuk mengabaikannya, tersebab dikatakan
mereka memperoleh hasil yang tidak signifikan. Apakah memang benar
demikian adanya?
Sebagaimana telah disampaikan, bahwa kegiatan perekonomian orang Melayu yang
terkait dengan pengumpulan hasil hutan, merupakan salah satu basis dari
perekonomian kesultanan; Sultan memperoleh hak konsesi atas komoditi itu yang
juga seringkali menyangkut pula dengan hubungan antar lanskap. Perekonomian
tradisional yang ditopang oleh hak-hak tradisional, disini, di Pantai timur titik ini
bertemu dengan perekonomian kapitalis-kolonial. Tidak terlalu bergairahnya penjajah
pada sektor perekonomian pribumi tidak lantas menyurutkan aktifitas kuno tersebut.
Diyakini, bahwa bentuk-bentuk perekonomian tradisional Melayu mampu
bertahan, sebagaimana bentuknya yang memang sederhana itu.
Sementara disisi lainnya, perdagangan yang telah menjadi ciri dari kehidupan dikedua
sisi selat Melaka, diyakini menumbuhkan kelompok pedagang pribumi dalam batas-
batas tertentu, sebagaimana “Orang Kaya” yang merupakan kelompok penting
pedagang Melayu di Pantai Timur.140 Orang kaya, bagaimanapun juga, merupakan
satu mata rantai dari struktur kekuasaan sultan yang memiliki kewenangan tertentu
dan terbatas atas sumber daya. Bahwa pengiriman produk sebagai bahagian dari
aktifitas perekonomian asli ini, juga dilakukan oleh kalangan Melayu sendiri dengan

140
Anderson, 1971.
74

dukungan sarana pengangkutan yang dimilikinya, atau milik dari “Orang Kaya.” Kondisi
ini merupakan juga sebuah mata rantai dari jejaring yang lebih luas, baik di pantai
timur Sumatra maupun semenanjung. Hingga akhir abad ke-19, minimnya
populasi141 dan begitu luasnya wilayah, benar-benar mendukung kehidupan
tradisional yang bertumpu pada istana. Sementara itu Sang Sultan, dengan kenangan
akan kewilayahan kunonya yang membentang di sepanjang pesisir timur hingga
perbatasan Aceh, sehingga akan sulit bagi Sultan jika dihadapkan dengan kondisi
bertatap-muka dengan penguasa kesultanan di Sumatra Timur Laut yang pernah
menjadi bawahannya. Sultan terakhir, meski tidak lagi memegang otoritas
sebagaimana pendahulunya, ia tampil sebagai sosok yang mengesankan dan
sebagaimana ia kemudian dikenang oleh masyarakat Riau sebagai tokoh pendorong
bagi perkembangan enterpreneurship pribumi; bahwa pada tahun 1920-an, hanya di
Siak-lah jumlah terbanyak pedagang pribumi Melayu di pantai timur Sumatra yang
memiliki penghasilan hingga f700. 142

Ruang Perekonomian masa Kolonial


Sebagaimana telah disampaikan, sebelum Belanda tiba di Tanah Putih; lanskap
dependensi Siak merupakan wilayah tanah lungguh dari seorang keluarga Sultan.
Sebagai pemegang otoritas, keluarga Sultan menerapkan aturan yang tidak disukai
Belanda. Pemerintah Hindia menuding Mangkubumi melakukan penyimpangan
disana-sini, menggunakan hak-hak jauh melebihi kewenangannya, seperti ditahun
1882, lintas perdagangan di sungai Rokan yang sedianya akan menuju Tanah Putih
dipedalaman, akan tetapi pedagang mengalihkannya menuju Labuhan Batu yang
dikatakan oleh pemerintah diakibatkan “kesewenang-wenangan” dalam menetapkan
bea;143 akan tetapi, tidak jelas besaran bea yang dituduhkan itu. Sebagaimana
diketahui, di Tanah Putih bertempat Sahbandar Siak yang menetapkan bea sebesar
lima persen bagi komoditi yang bernilai f5 per pikul; untuk kayu laka dibayarkan
sebesar f2.50 per tiga pikul; 100 batang rotan tidak melebihi f5, dan garam dibeli dari
Sultan Siak sebesar 72 rijksdaalder per koyangnya. 144 Pada tanggal 23 Juni 1884, Siak
Sri Indrapura menandatangani suatu kesepakatan yang sangat penting, dimana Sultan
Siak beserta Mangkubumi dan pembesar yang semula dipandang Belanda berada

141
Salah satu akibatnya, sebagaimana dicatat oleh Rijn van ALkemade adalah serangan wabah
penyakit, sebagaimana terjadi di Lanskap Kubu, yang mengakibat sejumlah 1000jiwa menjadi
korban; diprediksi ini adalah separuh dari populasi disana. Selanjutnya diawal abad ke-20, juga
terjadi di Tanah Putih. Lihat Laporan dr.R.M.Pratomo. Selain itu, juga perlu dipertimbangkan
sebagai apa yang dituduhkan Belanda dengan praktek “Mal-administrasi, sehingga sejumlah
besar orang Melayu di wilayah Siak eksodus ke semenanjung.
142 Reid, 1979.
143 Dilihat dalam Koloniaal Verslag 1882,kol.14.
144
Dilihat dalam Koloniaal Verslag 1877, kol.12-13.
75

dalam rentang jarak yang sangat jauh dengan Hindia, kemudian berada dalam
perjanjian yang sama untuk meningkatkan pengaturan Perjanjian dari 7 Oktober 1863
dan 4 November 1875 beberapa pengaturan lebih lanjut mengenai pajak dan
monopoli dari wilayah asli Siak dan beberapa pulau milik Siak, lanskap Tanjung, SiParé
Paré dan Pagurawan, untuk akuisisi biaya tahunan - biaya disetujui sebelumnya
ƒ40.000.- per tahun dan sebagian besar masih berasal dari pendahulunya - sebesar
ƒ51.285.-, ini dibebaskan. Dari f40.000.- per tahun f22.000.- dimaksudkan untuk Sultan
sendiri, sedangkan sisanya dari berbagai Kepala dan pejabat di Siak dan Tanjung, Si
Pare Pare dan Pagurawan yang akan dibayarkan. Sultan mengambil untuk dirinya dari
Datuk suku Pesisir di Batu Bara sejumlah f500.- per tahun selama hidupnya; sebagai
bagiannya dari pendapatan di Si Pare Pare. Pada saat yang sama, kontrak kedua
ditutup untuk mengambil alih tugas retribusi Tanah Putih, akan tetapi, perjanjian yang
dibuat beberapa waktu setelah itu; sehubungan dengan beberapa pernyataan yang
dibuat oleh pemerintah, digantikan dengan yang baru. Untuk kompensasi ini
diberikan setiap tahunnya sejumlah f7.500.- kontrak akuisisi bea dan pajak yang
ditandatangani Belanda dan Sultan Siak beserta Mangkubumi dan Rijksgrooten Tanah
Putih 23 Juni 1884, menyebutkan pelaksanaannya pada 1 Januari 1886.
Sehubungan dengan perkara itu, dimulai pada tanggal 1 Januari 1886, di
Tanah Putih ditempatkan seorang kontrolir untuk melakukan tugas akuisisi
pajak itu.
Sebelumnya di tahun 1884, oleh Sultan tiga konsesi diberikan untuk penggergajian
Siak, w. o. Konsesi Sungai Rawah; dikenal saat itu sebagai "Asosiasi Perdagangan F.
Kehding”(Handelsvereniging). Pada tahun 1886, dua konsesi pertanian yang pertama
di Siak dikeluarkan, dan cepat saja diikuti oleh yang lain di tahun-tahun berikutnya.
Tengkoe Soeloeng Moeda, pada tahun 1891 oleh Sultan ditunjuk sebagai
perwakilannya di Sungai Rokan, akan tetapi, pada tahun berikutnya ia kembali ke Siak
dan mengajukan pengunduran dirinya; diberitakan bahwa terdapat kehidupan di
Tanah Putih yang tidak menyukainya. Lantas, Sultan kemudian meminta salah satu
sepupunya menjadi perwakilan untuk Tanah Putih, Bangko dan Kubu; Setelah empat
tahun berjalan, diberitakan pula bahwa ia harus dialihkan karena laporan tentang
pemerasan(?) yang telah dilakukannya.145 Wilayah dependensi kesultanan ini secara
umum kurang digarap oleh para pemodal perkebunan dibandingkan kesultanan
lainnya di Pantai Timur. Disini, semula direncanakan dibuka perkebunan-modern
sebagaimana hak konsesi atas penggunaan lahan terutama setelah berkantornya
seorang kontrolir diawal tahun 1886. Tercatat seperti “Tanah Poetih Plantagien Actien
Gesseschaft,” o;ch.Muller, yang memiliki hak konsesi mencapai 6000ha guna
pembudidayaan tembakau.146 Kemudian masih dalam jenis perkebunan yang sama
adalah “Siak-Kampar Syndicate” dengan bentangan konsesi hingga 10.000ha.147 Akan

145 Schadee, “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust,” 1919, hal.63.


146 Dilihat dalam Hans Koloniaal verslag, 1890;
147
Dilihat dalam Koloniaal Verslag, 1895.
76

tetapi, ternyata budidaya tembakau di Tanah Putih hasilnya tidaklah seperti yang
terjadi di wilayah Sumatra timur laut; Deli Serdang misalnya, hasil yang cukup
mengagumkan para pemodal Eropa. Tekstur, ataupun juga kondisi topographi itu
menjadi alasannya bagi gagalnya budidaya ini. Bahwa setelah dilakukan uji coba
penanaman tembakau yang ternyata mengalami kegagalan, sejumlah perusahaan
yang telah berdiri pun akhirnya terpaksa ditinggalkan di tahun 1891/2.148
Adapun karet, nampaknya dipertimbangkan sebagai komoditas yang tetap
dibudidayakan. Karet, terutama berhubungan erat dengan industri mobil yang baru-
baru saja muncul. Asli pohon karet (ficus elastica) telah diupayakan tidak hanya di
Jawa Barat, melainkan juga di Sumatra sejak tahun 1864; akan tetapi benar-benar
berhasil pada mulai era 1900-an, nampaknya dengan menggunakan karet jenis lain;
Hevea Brasiliensis. Karet jenis inilah yang benar-benar berhasil dikembangkan,
terutama di Sumatra. Tanaman karet ini mencapai puncak produksinya hingga ditahun
1930, dimana dari areal perkebunan di Hindia, sebesar 44 persen ditanami pohon
karet; jumlah total produksinya mencapai hampir separuh produksi di dunia. Depresi
besar 1930, membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap industri ini. 149
Kebun-kebun karet ini terletak sekitar 30 Km kearah hulu Rokan, terutama yang
dimiliki orang-orang China, mereka dapat mencapai daerah tersebut, terutama
dengan kapal motor. Ditepi kanan Rokan, areal perbukitan yang subur sepenuhnya
ditanami dengan karet. Sementara di aliran sungai Rokan, hasil produk karet memang
tidak sebesar di Pekanbaru, akan tetapi Bagansiapiapi tetap merupakan tempat
penting dalam pengiriman produk karet, dan hasil-hasil bumi lainnya. Dapat
berkembangnya pengusahaan perkebunan karet di wilayah hulu di Onderafdeeling
Bagansiapiapi ini, terutama disebabkan tumbuhan inilah yang tumbuh dengan baik di
sini, bukan jenis tanaman produk unggulan seperti di tempat lainnya. Hingga tahun
1938, luas kebun-kebun karet telah mencapai 3000ha, sementara di hulu Rokan
mencapai 10.000ha.150 Catatan Bank Bagan Madjoe nampaknya juga menyinggung
tentang usaha pengiriman bahan makanan, dan barang-barang lainnya. Sedangkan
untuk dua terakhir nampaknya dilakukan dalam kegiatan menghulu di Sungai Rokan.
Seperti dari hasil sensus, bahwa sekitar 200-an orang China telah menetap di Tanah
Putih. Dalam konteks ini, menghulu adalah suatu kegiatan ekonomi yang biasanya
berkaitan dengan sumber daya alam di Hulu sungai, seperti telah disebutkan;
panglong, hingga usaha perkebunan; pinang, kopra, nipah, atap-nipah, kulit kayu, dan
terutama; perkebunan karet.

148 Sebagaimana seorang Kontrolir mencatat, bahwa pertanian Eropa (tembakau) sia-sia saja
diupayakan di Tanah Putih, maka di wilayah Kubu pun telah dibudidayakan, akan tetapi
dilaporkan nampaknya ini tidaklah terlalu berhasil; bahwa ternyata kondisi tanah terlalu banyak
mengandung air.
149 Ricklefs, 1981, hal.331.
150 Di Pantai Timur Sumatra, pada tahun 1938 itu tercatat mencapai 42.000ha, dan Afdeeling

Bengkalis seluas 35.000ha; De Sumatra Post, 25 Mei 1938.”Uitbreiding Rubberareal.”


77

Konsesi Perkebunan Karet di Tanah Putih. 151

Pengupayaan perkebunan karet milik orang-orang China, selain berada di Tanah Putih,
juga berada di daerah Pematang Langgadei, Jumrah dan Bangko, akan tetapi untuk
tanaman yang lebih muda, ditemui lebih ke arah Bagansiapiapi. Mengacu pada
realita itu, tidaklah berlebihan jika Bagansiapiapi dahulu memiliki sebuah pabrik karet,
yang letaknya arah ke darat (barat) kota, Rokan Rubber Faktorie; yang barangkali
sekaligus merupakan garis demarkasi Kota yang berbasis etnis. Keseluruhan produk
karet, terutama dikoordinir di Tanah Putih, dan pengirimannya dilakukan dengan

151
Peta Thematic tahun 1930, Sumber Universiteit Leiden, Dutch Colonial Map No.05888.
78

menggunakan jasa pelayaran KPM dimana orang Cina sebagai agennya. Pengiriman
dilakukan terutama ke Singapura dengan harga yang mencapai f0.7 per pikul. Kualitas
karet, ditentukan terutama oleh kadar kebasahan/ kering karet; merupakan salah
satu potensi unggulan yang juga menjelaskan alasan kehadiran orang China hingga ke
hulu Rokan di Tanah Putih. Sebagaimana yang dicatat Baalbergen; bahwa di wilayah
hulu yang jauh, dilakukan penanaman pohon karet dimana dalam waktu singkat
segera saja menghasilkan kekayaan yang menyebabkan hingga hari ini masih terus
disadap, selain karena kurangnya budidaya tanaman lain, budidaya karet masih
dianggap sebagai bisnis yang menguntungkan. Sementara di areal pesisir, terhampar
kebun kelapa; meskipun harga kopra hingga tahun 1930-an telah turun, namun masih
dipandang menguntungkan. Selain itu, komoditas Karet, kopra, dan juga pinang yang
masa sebelumnya merupakan produk yang berkembang di kawasan hulu, tidak
menutup kemungkinan juga berkembang di pesisir melihat bentangan kebun kelapa
itu. Kondisi kawasan Hulu sebagai penghasil karet, Kopra dan Pinang, dapat dilihat
sebagai berikut; ekspor kopra, pinang dan karet pada Onderafdeeling Rokan-Streken,
Tahun 1924-1930):152
Tahun Copra Pinang Karet Rotan Atap Nilai
(Kg) (Kg) (Kg) 153(Kg) Kadja Ekspor-
ng (f) Impor (f)
1924 676.706 308.947 807.923 - - -
1925 820.042 356.352 1.721.314 - - -
1926 815.038 383.307 1.709.335 - - -
1927 765.441 135.598 2.018.259 - - -
1928 1.235.075 357.601 1.688.884 - - -
1929 1.223.924 357.176 2.156.298 - - -
1930 1.247.197 390.722 1.888.917 440.761 f 2.014 -
1931 1.087.620 401.881 2.268.898 322.724 f 798 f273.696,91
1932 1.614.197 502.324 1.198.733 554.037 f 848 f 222.855,41
1933 1.772.789 365.018 1.845.815 804.755 f 1.148 f 209.538,52
1934 824.321 66.470 2.343.299 292.782 f 571 f134.662,18

Sebagaimana telah disampaikan tentang elastisitas Melayu dalam menghadapi


perubahan akibat penetrasi kolonial, meskipun dipedalaman telah mulai
dikembangkan perkebunan komersil, sebagaimana masa sebelumnya, masyarakat
pribumi Melayu tetap bertahan terlibat dalam upaya pengusahaan hasil hutan;
diantaranya adalah pucuk nipah yang digunakan untuk sigaret dan juga produk atap,
rotan, kulit tengar (Ceriops Condolleana), bakau (Rhizophora), balam dan suntai, yang
produknya dikirimkan hingga ke Deli-Asahan. Terdapat bea sebesar f2.50 dari
sejumlah 40 pikul kulit tengar dan kulit bakau. Sayangnya, belum ditemukan catatan

152 Data tahun 1931, 1932, 1933, 1934 dilihat dalam Laporan Boudewijn Van Duuren, Memorie
Van Overgave, 30 Agustus 1934
153
Van Duuren, hal.27
79

rinci tentang kulit tengar dan kulit bakau di onderafdeeling Bagansiapiapi, akan tetapi
sebagai komoditi khas hutan rawa di pantai timur, dapat dilihat betapa signifikannya
produk ini dikalangan masyarakat Melayu. Berikut adalah ekspor hasil hutan
mangrove (Kulit Tengar dan Kulit Bakau) ;154
Tahun Pantai Timur Sumatra
(1000 Kg)
1908 4744
1909 3486
1910 2360
1911 1120
1912 4162
1913 5303
1914 5475
1915 6006
1916 6041
1917 2386
1918 643
1919 742
1920 197
Mencermati apa yang disampaikan Tideman, bahwa anak bumi terfokus pada
kegiatan; nelayan, perdagangan dan pengumpulan hasil hutan, maka berikut ini, kita
akan memusatkan perhatian kita pada kegiatan yang berhubungan langsung dengan
sumber daya muara; pengumpulan hasil hutan. Kontrolir Baalbargen sendiri telah
menunjukkan bahwa, di onderafdeeling Bagansiapiapi, selain industri perikanan, juga
terdapat apa yang dinamakannya sebagai homeindustri. Ia menunjuk kepada produk
“kadjangmatten” (tikar), Atap-nipah, “rotannetten” (jaring terbuat dari rotan) dan
pembuatan sampan.155 Pekerjaan ini, pada pembuatan jala rotan dan sampan atau
perahu/sampan, mungkin saja tidak dilakukan dalam skala seperti yang diproduksi
oleh para tauke di pantai Bagan, akan tetapi untuk tikar kadjang dan atap nipah,
terutama yang terakhir, kegunaannya terlihat berkaitan juga dengan booming
kegiatan produksi komoditi lainnya di pantai timur Sumatra.
Van Heurn dalam kajiannya atas kawasan mangrove di Sumatra Timur Laut,156 telah
menunjukkan signifikansi ekonomi dari pepohonan bakau di sepanjang pesisir timur
Sumatra, dimana potensi hutan bakau tersebut dapat dilihat dari dua unsur utama
pemanfaatannya; batang kayu dan daunnya. Untuk pemanfaatan kayu, maka

154
Dilihat dalam : “Gronden van Het Cultuurgebied van Sumatra’s Oostkust en Hunne
Vruchtbaarheid voor Cultuurgewassen,” JH De Bussy, 1922, hal.40.
155
Lihat Baalbargen, 1931, hal.28.
156 Lihat Frans Cornelis Van Heurn, “De Gronden Van Het Cultuurgebied Van Sumatra’s Oostkust

en Hunne Vruchtbaarheid Voor Cultuurgewassen,” Juli 1922.


80

pertama-tama adalah fungsi utamanya dalam konsumsi rumah tangga, dan penunjang
kegiatan ekonomi sosial; kita berbicara mengenai ruang-waktu dimana bahan bakar
masih ditopang oleh ketersediaan kayu bakar, baik rumah tangga maupun sebahagian
industry diakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Penggunaannya dalam skala besar
untuk memasok kebutuhan sarana transportasi seperti bantalan rel kereta api, mulai
dari Sumatra Timur Laut hingga wilayah menuju Aceh. Sementara di wilayah pesisir
sendiri, dapat dikatakan seluruh pembangunan menggunakan kayu, terlebih dengan
mulai berkembangnya industri perikanan. Di muara Rokan, berbagai laporan
menyebutkan bahwa pemasok kebutuhan kayu dari pedalaman terutama untuk
pembuatan jermal dan ambai, tidak hanya dilakukan oleh panglong yang dikelola oleh
orang-orang China, melainkan juga dilakukan oleh Melayu; sebuah jermal besar
membutuhkan kayu besar, ribuan kayu kecil, dan juga rotan, menghabiskan biaya
hingga f5000; dan jumlah jermal besar itu mencapai hingga ratusan unit. Jumlah ini
diluar alat tangkap lain seperti jermal kecil, bubu, ambai, belat, dan juga ratusan
perahu besar –kecil; hamparan pelantaran yang luasnya meliputi sepanjang pantai
Bagansiapiapi; bangliau-bangliau, gudang-gudang, toko-kedei, rumah; dan sejumlah
keperluan lain. Jumlah kekayaan muara guna pemanfaatan kayunya, jelas merupakan
suatu perekonomian yang signifikan bagi pemanfaatan ruang kota Bagansiapiapi.
Besarnya nilai perekonomian ini, belum termasuk yang digunakan anak bumi dalam
lingkup lanskap, yang tersebar. Bahwa penggunaan kayu yang tentu membutuhkan
pemeliharaan, seperti penggantian disebabkan lapuk, kerusakan lain ataupun karena
peristiwa kebakaran, menjadi sebuah proses pemanfaatan sumber daya hutan muara
yang cukup besar.
Adapun pemanfaatan mangrove yang kedua, kita dapat melihat pada dedaunan-nya.
Seperti dillaporkan Hijman van Anrooij bahwa populasi lanskap Bangko, terlihat
terlibat dalam industri pembuatan rokok yang biasa dikonsumsi dikalangan pribumi;
Pucuk Nipah. Sebagaimana telah disampaikan halnya di kawasan Sumatra Timur Laut,
anak bumi sungai Rokan turut memasok kebutuhan pucuk nipah hingga ke kawasan
Deli. Selain itu, hasil dari dedaunan mangrove lainnya, adalah: atap-nipah. Van Heurn
membahasnya secara lebih mendetail tentang apa yang dilihatnya di Sumatra Timur
Laut. Bahwa dikatakan kegiatan itu sebagai suatu industri, sebab skala produksi yang
dihasilkannya semenjak kehadiran Eropa, melonjak cukup tinggi. Semula, atap-nipah
hanya digunakan bagi kebutuhan populasi Melayu sendiri sebagai bahagian atap
ataupun dinding rumah, sehingga pembuatannya juga terbatas dan skala kecil. Atap
serupa dipedalaman, bahan pembuatannya menggunakan alang-alang, halnya nipah,
hanya ditemukan dibahagian pesisir. Akan tetapi, kehadiran secara luas perkebunan
tembakau yang ternyata membutuhkan keberadaan atap nipah bagi gudang-gudang
tembakau; dikatakan memiliki efek yang lebih baik bagi penjagaan kualitas tembakau,
atap nipah memungkinkan tersedianya semacam ventilasi bagi tembakau sebagai sifat
porositas-nya; dinding dan atap harus cukup tebal untuk kondisi sehari-hari dimana
fluktuasi suhu menjadi serendah mungkin; selanjutnya cukup dekat untuk menjaga
dari kabut malam, akan tetapi cukup sejuk dan berpori untuk memberikan
81

penyegaran udara yang cukup bagi keadaan ideal tembakau;157 sehingga tidak
terelakkan pemesanan atap nipah secara besar-besaran bagi penunjang perkebunan
Eropa itu. Pesatnya penggunaan atap Sumatra Timur Laut, telah mencapai 25 juta
keping ditahun 1887, dengan nilai mencapai 8-14 dollar per seribunya. Sementara
pada tahun 1871, nilainya sudah mencapai f15 per seribunya. Tidak heran, bahwa
terdapat suara-suara di “Deli Plantersvereeniging” untuk memohon bantuan
administratif guna pengawasan produksi atap dan mempromosikan penanaman
nipah. Kesulitan ini tentu berasal dari sana, bahwa pasokan atap-nipah bervariasi
dalam musim yang berbeda. Seperti keluhan pada tahun 1891 terutama di bulan
Maret, April dan Mei, di mana kebutuhan besar mendesak dihadapkan dengan
rendahnya pasokan, sehingga harga melonjak pada bulan Juni. Angka-angka yang
tertera pada 1890 pada bulan Januari dan Februari; lebih dari dua juta atap dibawa
dengan sejumlah tongkang dan memiliki harga berkisar 13 hingga 16.5 dollar per
seribunya. Pada bulan Maret dan April angka tetap di bawah dua juta, tetapi harga
dipertahankan. Pada bulan Mei, jumlah belum jatuh, Namun, harga telah pindah dari
13 ke $ 17,75. Pada bulan Juni dan Juli dibesarkan lagi lebih dari 2 juta atap dan harga
telah 17,5 hingga 30 dollar. Agustus dan September memiliki persediaan, Masing-
masing sekitar 2 juta unit terhadap harga 12,5 hingga 15 dollar; pada bulan Oktober
hingga Desember, ada lebih dari 2 juta per bulan dijual sekitar 13.5 dollar per seribu.
Halnya para pemilik kebun, peminat atap-nipah di Bagansiapiapi sebahagian memiliki
lebih banyak agen untuk pembelian atap-nipah dan membayar mereka komisi. Hak
“pacht”perdagangan hasil ini dikalangan Melayu, dimiliki oleh Sultan dan dijalankan
oleh kelompok pedagang yang telah ditunjuk. Sejumlah besar pohon nipah juga
tumbuh di di sepanjang muara sungai Kampar sebagaimana disebutkan oleh IJzerman
;158 dan ini memungkinkannya industri atap nipah untuk muncul tumbuh menjadi
lebih besar lagi : tanaman nipah dan industri atap pribumi secara bertahap telah
berkembang menjadi sangat penting. Sebaliknya,
kemandegan produksi atap nipah pada sepuluh tahun sebelumnya, oleh van
Heurn dituding sebagai akibat minimnya sumber daya pekerja, kurangnya
kewirausahaan pribumi dan pengaruh kebijakan penguasa Melayu. Dikatakan
bahwa para kepala dan orang-besar, dalam sifat pemerintahan tradisionalnya
telah membatasi populasi pelaku industri untuk bergerak dalam wilayah yang
lebih luas. 159

157
Mededeelingen van het Deli Proefstation I (1906— 1907), hal.149, wordt hieromtrent gezegd:
„Atapschuren verdienen de voorkeur door hunne poreusheid, die eene voortdurende ventilatie
toelaat. De wanden en het dak moeten dik genoeg zijn om de dagelijksche schommelingen der
temperatuur zoo laag mogelijk te houden; verder dicht genoeg om de binnendringende
nachtlucht van nevel te zuiveren, maar luchtig en poreus genoeg om voldoende
luchtverversching mogelijk te maken.
158 Ijzerman, 1895.
159 Van Heurn mengemukakan bahwa itu terkondisikan melalui kekuasaan antar datuk dalam

wilayah-wilayah yang berbeda di pantai timur, sebagaimana Hijman van Anrooij, “De grenzen van
82

Tudingan ini pada faktor pertama dan ketiga, mungkin saja ada benarnya, mengingat
minimnya populasi Melayu dipesisir timur Sumatra, serta hak dan batas tradisional
dikewilayahan yang didominasi oleh klan berbeda, meskipun kepemilikan
perdagangan memang ditetapkan oleh Sultan, akan tetapi kawasan sumber daya
hutan nipah, merupakan bahagian real dari kekuasaan nyata para datuk disebaran
lanskap pesisir. Faktor kedua, tentang ketiadaan jiwa kewirausahaan pribumi? Kondisi
ini, persis sebagai tudingan Max Weber atas kebangkitan peradaban yang
dikatakannya hanya muncul di Barat, tidak di Timur. 160 Dunia konservatif tradisional
anak bumi, dipaksakan untuk beradaptasi dan memenuhi tuntutan kapitalisme
kolonial barat hanya dalam rentang dua sampai tiga puluh tahun saja, dan ini tentu,
rasa cultural schock tentu tidak hanya melanda kalangan anak bumi saja, melainkan
juga orang barat itu sendiri. Tidak terbayangkan stress yang dialami para manajer
pekebun modern itu dalam menghadapi hitungan atap-nipah yang tidak sesuai dengan
kebutuhan! Atau penggunaan tenaga kerja anggota keluarga secara maksimal dan
optimal dalam industri atap-nipah, telah menekan pola kerja yang selama berabad-
abad telah mereka pahami dan terserap dalam kolektif kekerabatan sebagai
pemenuhan kebutuhan sendiri, menjadi pemenuhan kebutuhan untuk orang asing.
Dan ini berarti,

anak bumi telah nyata memasuki dunia komersil secara signifikan yang semula
dari tatanan subsisten saja; atap-nipah, terutama semenjak kedatangan
orang China dan Eropa kesana.
Hingga ditahun 1920-an, masih lazim digunakan atap nipah dalam “industri modern,”
dan tidak terbatas pada kegiatan diperkebunan komersil saja. Penggunaannya juga
ditemui dalam keberlangsungan industri perikanan di pesisir, seperti di Bagansiapiapi.
Keberadaan bangliau, gudang, toko-kedei dan rumah, hingga sebelum kebakaran
besar tahun 1908, umumnya masih menggunakan atap nipah. Seperempat abad
semenjak pemantauan Hijman van Anrooij di lanskap Bangko, atap-nipah adalah suatu

de Residentie Sumatra’s Oostkust en van haar samenstellende deelen. Tijdschrift van het Ned.
Aardr. Genootschap. Tweede Serie, I (1884), 291.
160 Kapitalisme Belanda, menemukan musuh sejatinya dalam diri tradisionalisme anak bumi;

iming-iming peningkatan pesanan yang berarti penambahan penghasian, dalam rasionalitas


instrument barat maka anak bumi akan menambah produksinya itu untuk memenuhi pesanan
yang berarti peningkatan kekayaan. Sebaliknya, yang terjadi adalah anak bumi akan bekerja tetap
dalam skala yang biasa sebagaimana rasionalitas nilai telah mengingatkan; betapa untuk tidak
bertanya berapa produk yang harus dikerjakan dalam upaya mencapai penghasilan sebanyak
mungkin, melainkan dalam skala waktu yang sama, seberapa banyak yang harus dikerjakan untuk
mencapai hasil yang biasanya diperoleh, sinisme ini nampaknya melekat dalam tradisi barat
dalam melihat dunia timur.
83

komoditas yang umum diproduksi dikalangan anak bumi. Mungkin saja, saat
kedatangan pengamat Eropa itu, industri perikanan belumlah seperti setelah
kedatangan Belanda di Bagansiapiapi, sehingga permintaan akan kebutuhan, dipenuhi
untuk kebutuhan sentra perkebunan tembakau yang memang telah tumbuh pesat di
Sumatra Timur Laut, seperti Deli. Pengiriman, dilakukan dengan junk milik orang China
dan kapal-kapal milik pedagang Melayu. Pesatnya industri, berarti tingginya
permintaan akan atap-nipah yang terspesialisasikan sebagai produk dari anak bumi.
Nilai dari atap-nipah hingga tahun 1920-an, sebagaimana telah dihitung oleh van
Heurn, mencapai 7 dollar perseribu-nya. Sementara kebutuhan untuk perkebunan
tembakau, bangliau, gudang, kedei, rumah, bahkan kapal dan perahu nelayan, dapat
mencapai ratusan ribu hingga jutaan unit, dan ini memerlukan pergantian yang lama
dengan atap nipah baru setiap 3-4 tahun sekali. Dengan demikian, dipastikan terdapat
hitungan tinggi nilai ekonomi disini, dan dapat dikatakan bahwa,
“tidak dapat diabaikan nilai dari industri atap-nipah Melayu pesisir, baik bagi
pemasokan kebutuhan sentra perkebunan tembakau di Sumatra Timur Laut,
maupun sentra industri perikanan di Bagansiapiapi.”
Tentu saja, signifikansi produk atap-nipah berkaitan dengan pekerja yang terserap
kedalam industri ini, biasanya terdiri dari anggota keluarga atau kerabat “rumah
produksi.” Penggunaan atap nipah, nampaknya mulai berkurang diruang perkotaan
Bagansiapiapi pasca kebakaran 1908. Belanda, melakukan penataan ulang kota pasca
kebakaran, sehingga tampilan kota lebih modern dan menggantikan atap nipah
disebabkan alasan mudah terbakar, dan tampilannya yang terkesan tradisional. Akan
tetapi, penggunaannya pada industri sebenarnya belum banyak berubah. Hasil hutan
yang dicatat oleh Haga di tahun 1915 sebagai berikut: 161

Hasil Hutan Jumlah


Rotan 263.000 Kg
Pinang 261.000 Kg
Atap-Nipah 246.810 potong
Kopra 143.000 Kg
Damar 44.000 Kg
Balam - Sunkei 43.000 Kg

Sebahagian hasil hutan itu, sebagaimana dilaporkan Haga, dikirimkan ke Melaka dan
Singapura dengan menggunakan tonkang China dan juga jaringan KPM, sebagai hasil

161
Haga, “De Beteekenis Der Visscherij van Bagan Api Api en Hare Toekomst, 1920, hal.240.
84

yang tidak hanya berasal dari onderafdeeling Bagansiapiapi, melainkan juga distrik di
pedalaman Rokan. Sebagaimana diketahui, Onderafdeeling Bagansiapiapi yang
wilayahnya terdiri dari pesisir dan pedalaman (hulu), maka memiliki konsekuensi logis
corak mata pencaharian yang berbeda; terutama mengikuti garis geografis tempat
penduduk berada. Di Pesisir, atau muara, maka tidak diragukan lagi penduduk
mayoritas adalah nelayan dan pengumpul hasil hutan. Adapun di hulu sungai, maka
didominasi oleh pengumpul hasil hutan, peladang dan pekebun. Sebagaimana
disampaikan bahwa terdapat juga komunitas China diluar kota Bagansiapiapi:
komunitas yang tersebar di subdistrik Bangko, terutama dalam pengusahaan sebagai
pekebun ataupun Panglong.

Atap-nipah di pantai timur Sumatra, dilihat dalam laporan van Heurn.


85

Situasi rumah dan pohon kelapa di Bagansiapiapi tahun 1930-40.KITLV


Adapun lanskap Bangko, adalah sebuah desa ditepi sungai yang nampaknya aman,
terbebas dari satwa liar seperti halnya Harimau yang banyak terdapat pada saat itu.
Untuk Kampong Siak, maka ditemui dengan menelusuri Sungai Rokan mulai dari
Sekeladi, Sintong, Sedinginan, Tanah Putih hingga Rantau Bais; dimana ladang dan
perkebunan karet terdapat di sekitar lingkungan areal pemukiman penduduk. Selain
Tanaman Keras (seperti; Karet, Kelapa, Pinang), maka penduduk setempat melakukan
kegiatan penanaman padi untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Pertanian
padi ladang, seperti lazimnya ditemukan dibahagian lain di Sumatra. Meskipun
demikian, kegagalan panen subsistensi yang disebabkan banjir dan arus pasang-surut
Sungai Rokan tidak pernah berdampak besar bagi penduduk, terdapat kekuatiran
Pemerintah Kolonial tentang produksi yang diasumsikan tidak dapat mencukupi untuk
sekitar 16.000 jiwa penduduk China di Bagansiapiapi dan juga penduduk lainnya; yakni
penduduk Melayu sejumlah 27.250 jiwa, maka tentu saja impor beras diperlukan;
terutama berasal dari lanskap lainnya masih dari kawasan di pantai timur Sumatra.
Berbeda dengan Kehidupan di ibukota Onderafdeeling Bagansiapiapi yang
didominasi oleh industri perikanan, maka di hulu, orang-orang China dan
Belanda berperan sebagai pengurus perkebunan, juga tumbuhnya panglong 162
yang dijalankan terutama oleh orang-orang China; hidup berdampingan
dengan kehidupan tradisional masyarakat Melayu.

162Kontrak politik 25 Oktober 1890 hanya diberikan gouv. Keputusan 27 April1893. Kecuali untuk
beberapa perubahan kecil yang di dalamnya membayar suplemen lebih menarik, n.1. pemerintah
ditetapkan untuk dirinya sendiri hak untuk memungut beban pada penggergajian (panglong).
86

Bahwa penggergajian tersebut hanya bisa didorong oleh kongsi-kongsi China


setidaknya untuk melibatkan 25 orang pekerja, dan juga telah memperoleh izin untuk
tujuan ini. hasil temuan tersebut adalah sejumlah f2,25 per pekerja per bulan.
Pungutan pajak ini disewakan. Dalam lingkup afdeeling Bengkalis, jumlah panglong
pada tahun 1893 mencapai sekitar 70 unit dengan pekerja mencapai 1.600 orang.
Penggergajian kayu ini, menghasilkan ribuan ton per tahun, dan bahkan sebagian
besar diekspor ke Singapura dan dibawa ke pasar internasional. 163 Mengingat luasnya
wilayah Onderafdeeling dan potensi hasil bumi yang dihasilkan, menurut Baalbergen
maka pada era kontrolir Haga, direncanakan pembangunan jalan yang diharapkan
dapat menghubungan antar sub-distrik, bahkan antar Onderafdeeling. Bahwa
perencanaan itu adalah pembangunan jalan di Telok Palas pada areal perkebunan
kelapa milik orang China hasil dari “Haga-Weg”(jalan Haga). Juga direncanakan
pembangunan jalan sepanjang 139 km dari Bagan melewati Labuhan-Tangga, Sungai-
Sialang, Bantaian, Lenggadai, Teluk-Pulau, Jumerah, Tanah-Putih, Sedinginan (pinggir
jalan Sikeladi 20km), Sintong, Siarang-Arang, dengan rute jalan mengikuti alur yang
telah ada dari Rantau Binuang terus mengikuti rute pada Onderafdeeling Rokan-
Streken menuju Pasir Pangaraian. Rencana pembangunan jalan ini dapat dipahami,
mengingat pembangunan ataupun pengembangan kawasan kolonial berhubungan
dengan ketersediaan pengangkutan hasil bumi menuju pelabuhan, untuk selanjutnya
dapat dilanjutkan dengan transportasi laut.
Akan tetapi, nampaknya rencana rute antar onderafdeeling ini tidak
terealisasi.
Disebutkan bahwa rute jalan tersebut dibatalkan karena faktor ketidakmampuan
Pemerintah Hindia pada saat itu. Kondisi resesi dan biaya yang besar merupakan
kendala utama, disamping masih eksisnya transportasi sungai. Begitu pula seperti
diuraikan bahwa jalan-jalan penghubung antar desa pada awalnya adalah tanah yang
dibiarkan kosong selebar “punggung kuda”. Pembangunan jalan setapak terutama
pada tanah bencah, paling tidak saat itu berkemungkinan hanya dapat dilewati oleh
angkutan sepeda. Untuk wilayah pedalaman yang memiliki tanah padat dan keras,
dilaporkan terdapat alat angkut-transportasi Kuda Beban, seperti yang terdapat di
Sidinginan. Alat transportasi kuda ini, bahkan digunakan oleh dokter Pratomo sewaktu
melakukan tourney pengobatan masyarakat dipedalaman; kuda yang disediakan oleh
pihak kesultanan Siak. Baalbergen mencatat kondisi infrastruktur jalan di
Onderafdeeling Bagansiapiapi sebagai berikut: bahwa jalan dari Bagan ke Bantaian di
musim kemarau dapat dilalui. Sebaliknya dimusim hujan, jalan penuh Lumpur oleh air
hujan ataupun air pasang. Jembatan sebagian besar masih tradisional dan sering
hancur karena gelombang Beno (Bono). Jalan Bantaian – Lenggadei kemudian
dipadatkan, kondisi ini hanya memungkinkan dilakukan pembangunan hanya dengan
cara yang sangat tepat untuk tanah gambut, dan biasanya biaya konstruksi akan
sebanding dengan manfaatnya. Dari Lenggadei melintasi pematang menuju Jumrah.

163
Schadee, “Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust,” 1919, hal.61.
87

Terusan jalan menuju Teluk Pulau, melalui rawa gambut, akan tetapi dengan
dibuatnya parit sepanjang jalan, maka diperoleh hasil kondisi yaitu dari semula tanah
rawa berair menjadi tanah yang kering. Jalanan disekitar ibukota Onderafdeeling,
terlihat bagus, padat, terutama jalan-jalan yang berhubungan dengan Perkebunan
Karet milik orang China, dimana jalan tersebut digunakan untuk kepentingan skala
lokal. Situasi pemukiman sebagaimana diterdapat pada peta hingga tahun 1900,
menunjukkan bahwa konsentrasi pemukiman pada kampung-kampung di tepian
sungai dan menggunakan sungai sebagai transportasi. Berbeda dengan peta pada
tahun 1930-1940-an, bahwa mulai dari Bagansiapiapi hingga Jumrah yang berjarak
60km di pedalaman, pola pemukiman menunjukkan bahwa desa-desa dialiran sungai
utama juga dihubungan dengan “voedweg” (jalan setapak); suatu periode bahwa
wilayah dalam lingkup kewedanaan Bagansiapiapi, diarahkan sebagai sentra-sentra
hasil sumber daya yang akan dibawa menuju Bagansiapiapi. Suatu kebijakan rezim
kolonial dalam menghimpun surplus dari desa menuju kota. Perkembangan jalur
transportasi diwilayah pedalaman yang semula hanya diakukan melalui sungai. Bahwa
Belanda adalah pihak yang menfasilitasi ini, dapat dimengerti; sehubungan dengan
kepentingannya untuk mengangkut hasil bumi menuju pelabuhan di Bagansiapiapi.
Meskipun demikian, keberadaan jalan setapak ini, tidak pernah disebut-sebut pada
masa pasca perang; bahkan eksodusnya Melayu yang menghindari “perang Bagan”
1946, tidak dikatakan menggunakan jalan setapak ini: berkemungkinan masa
pendudukan Jepang telah melumpuhkannya. 164 Bagaimanapun juga, sebelum kita
melihat bagaimana perkembangan kota Bagansiapiapi, pada bahagian berikut,
terlebih dahulu ditelusuri industri perikanan terpenting di dunia setelah Norwegia
yang diasumsikan menarik kedepan perkembangan-kewedanaan secara keseluruhan.
Dan ini juga berarti, bahwa
memasuki abad ke-20, orang Melayu yang bermukim di kampung-kampung di
sepanjang tepian sungai dan anak sungai Rokan, Belanda telah merancangnya
untuk secara gradial “ditarik” guna mendukung pola perekonomian Hindia;
Meskipun demikian, nampaknya hingga runtuhnya Hindia Belanda, Melayu tetap
bertahan dengan lingkungan pola tradisional, hanya saja lapisan pedagang dari anak
bumi pasca perang mulai tumbuh secara perlahan menuju suatu dunia yang
merupakan kharakter dari “Laut Melayu”, dunia yang direduksi oleh penjajahan
Belanda, suatu alam kosmopolitan yang direngutkan dan didiperoleh kembali dalam
periode yang bersamaan antara surutnya industri dan rentannya masa-awal republik;
Smokkelhandel di Selat Melaka. Gambar berikut (3.5) menunjukkan bahwa pola
pemukiman Melayu dalam sebaran hunian kampung-kampung, tidak saja hanya
berlokasi mengikuti alur anak-anak sungai, melainkan juga mengikuti alur jalan

164
Jalan setapak atau jalan tanah, merupakan jalan yang dengan cepat akan ditumbuhi belukar
yang menyamarkan kondisinya. Masa 3 tahun pendudukan Jepang dengan ketiadaan kegiatan
ekonomi yang berarti, dan ini cukup untuk menumbuhkan belukar sehingga tidak lagi diminati
bagi para pelintas.
88

setapak yang menuju ke Bagansiapiapi. Jelas saja, bahwa pengembangan


Bagansiapiapi sebagai pelabuhan ikan terpenting di Hindia, disertai juga dengan
terbawanya daerah pedesaan kedalamnya. Pada tempat dibukanya perkebunan-
perkebunan Eropa dan China, maka dipastikan diiringi dengan pembukaan
pemukiman bagi pekerja, terutama yang didatangkan dari luar. Seperti pada outlet
dipedalaman, tepatnya Tanah Putih yang berjarak 80km, sebagaimana dicatat oleh
seorang Belanda yang berkunjung disana, bahwa terdapat pemukiman yang dihuni
oleh orang-orang China, dan dikatakannya sebagai miniatur Bagansiapiapi. 165

165Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, Volume 7, 23 May 1923, Edition
007-1923-0008 — Page 123,
89

Sebaran pemukiman dari Bagansiapiapi menuju


Labuhan Tangga yang dihubungan dengan jalan setapak.166

166
Graadafdeelingblad van Sumatra’s oostkust No.19/XII, dated 1931.
90
91

4
Kekerabatan dan Kekuasaan

Signifikansi Kekerabatan dalam Kehidupan Sosial


Dalam perspektif adaptasi, maka yang terpenting adalah melihat bagaimana suatu
masyarakat dapat bertahan dan melakukan penyesuaian menyangkut kondisi-kondisi
lingkungan fisiknya. Dalam masyarakat pemburu dan peramu sekalipun menunjukkan
betapa pentingnya keluarga dalam kelangsungan hidup (survive). Kekerabatan yang
ada, dipastikan merupakan bahagian dari sistem yang mengatur kelangsungan dan
kebertahanan suatu jejaring sosial; kekerabatan mengatur bagaimana harta
didistribusikan melalui sistem pewarisan dan juga, mengatur peranan bagi setiap
anggota keluarga kekerabatan. Hal ini berarti, kesinambungan keluarga, merupakan
hal mutlak untuk keberlangsungan entitas yang lebih luas; keturunan merupakan hal
penting menyangkut kesinambungan generasi yang akan mewarisi tidak saja
kepemilikan materi, juga kekerabatan itu sendiri. Kematian anak, atau ketiadaan
keturunan, akan menjadi momok menakutkan bagi kalangan orangtua; keterputusan
eksistensi mereka dan juga keluarga kekerabatan diatas kehidupan dunia. Dan jika pun
memang terjadi hal-seperti itu, maka sebagaimana terjadi pada raja di rantau Kuantan
yang tidak memiliki keturunan, menarik “anak” yang berada di Lubuk Ramo
perbatasan Jambi yang masih memiliki geneologi kekerabatan sebagai penggantinya.
167 Dalam situasi seperti ini, maka tidak mengherankan bila suatu produk dari hasil

kekayaan alam yang memiliki khasiat sebagai ramuan penyubur akan cenderung
bernilai tinggi, dan terutama menjadi hak privilege dari penguasa. Selain itu, kondisi
demographi sendiri dapat kita lihat dari ketergantungan populasi atas kondisi
ekologinya; kegiatan pengumpulan hasil alam yang terbukti hingga abad ke-19, hanya
mendukung pertumbuhan populasi yang cukup rendah. Terdapat juga wabah penyakit
yang begitu mematikan; laporan penyebaran wabah di lanskap Kubu yang memakan
korban hingga 1000 jiwa, dan di Tanah Putih di abad ke-20. Apa yang terjadi di Kubu,
menyebabkan populasi hanya tinggal separuhnya.168 Bahkan di dataran tinggi, wabah
penyakit yang menyerang dapat menyebabkan korban ribuan jiwa dalam satu bulan
saja. Situasi kehidupan yang seringkali berada didalam ketidakpastian, akan
menyebabkan begitu pentingnya kekerabatan. Seseorang, bisa meminta tolong pada

167IJzerman,1895.
168
Rijn van Alkemade, 1885.
92

anggota kerabatnya yang lebih kuat atau makmur, atau paling tidak banyaknya
anggota kerabat meminimalisir kekuatiran diri akan resistensi lingkungan. Dalam
kehidupan yang diselimuti ganasnya rimba dengan hewan pemangsa, maka bentuk
keluarga luas menjadi alasan pembenaran bagi terciptanya rasa aman. Sekelompok
keluarga besar, akan cenderung lebih siap dalam menghadapi serangan harimau, atau
buaya yang seringkali mengintai diperairan. Begitu pula dengan akses terhadap
sumber daya, luasnya jejaring kekerabatan akan memudahkan pencapaian akses yang
dimiliki alam, pekerjaan akan terselesaikan lebih cepat dan juga mengurangi resiko
kegagalan. Hal ini berarti; semakin luas kekerabatan, akan semakin meningkatnya rasa
aman bagi setiap individu anggota kekerabatan. Sebaliknya, minimnya jumlah kaum
kerabat hanya bisa menggugah perasaan cemas. Bisa saja, seseorang mungkin tidak
pernah tahu tiap-tiap orang di keluarganya dalam kekerabatan yang lebih luas, akan
tetapi ia harus tetap selalu berada dalam kondisi siap untuk klaim dari segenap
kerabatnya. Kerabat, berarti keamanan, karena tentu saja mereka ini bisa dipercaya;
wajar, dan yang berada di luar “lingkaran keajaiban” dari kekeluargaan, dianggap
berpotensi sebagai ancaman, sebaliknya, rasa percaya diri yang menguat dan
optimisme, seringkali sebagai hasil dari perolehan dukungan kerabat. Ditambahkan
pula, terdapatnya kisah-kisah menyeramkan tentang bajak laut, pemburu kepala
(headhunter), penculik manusia untuk dijadikan budak, dan monster jahat; dapat
dipandang sebagai bentuk-bentuk persaingan antar suku untuk menguasai sumber
daya yang sama; lembah-lembah sungai datar dan wilayah yang dapat diakses dari
hutan hujan. Individu, secara tidak sengaja berburu atau memancing di luar domain
klan mereka, bisa dikenakan hukuman berat jika ditemukan oleh orang-orang yang
bisa saja mengklaim sebagai tidak adanya hubungan kerabat dengan dirinya. Dampak
dari kondisi ini, maka semakin kuat hubungan antar klan, semakin besar pula
kewajiban antara kedua pihak untuk saling memberi dan menerima bantuan. Dapat
dikatakan, bahwa ketergantungan dan kepercayaan kepada kerabat dekat, maka
didalamnya ditempatkan fungsi yang sedianya diperkuat oleh lingkungan ekonomi.
Dalam perladangan berpindah yang menjadi khas daerah-daerah di Sumatra, unit
kerja dasar bersifat tidak begitu banyak melibatkan garis keturunan secara
keseluruhan, akan tetapi terbatas pada kelompok keluarga kecil orang tua dan anak-
anak. Dalam bentuk perekonomian seperti ini, sedikit saja diperlukan tingkat
kerjasama, berbeda dengan skala besar seperti yang diperlukan dalam pengerjaan
sawah (wet culture) di desa-desa Jawa. Bahwa seorang Kubu atau Bangko, akan
membutuhkan kerjasama dari keluarganya; isteri dan anak, untuk mengerjakan atap-
nipah, ataupun memotong rotan; begitupula halnya seorang nelayan yang bekerja
dengan istri dan anak-anaknya secara bersama, dan bahkan keluarga ini bisa saja
dibawa pada suatu ekspedisi perdagangan. Pada kesempatan tersebut setiap anggota
keluarga akan memiliki tugas-tugas tertentu sebagai bagian dari keluarga dengan basis
ekonomi, interaksi diperkuat oleh kecenderungan untuk menganggap orang tua dan
anak-anak sebagai satu kesatuan. Kesatuan dan kebersamaan yang merupakan
berkah, dalam segala situasi yang melahirkan sikap-sikap kebersamaan sebagai
sesama anggota keluarga; dalam senang atau susah, dalam suka atau duka, dalam
93

kebahagian ataupun kepedihan, dalam kejayaan ataupun kemunduran. Dengan


demikian, Sama hal layaknya sebuah kebersamaan dalam suatu keluarga yang turut
serta dalam kesenangan atau perayaan, sebaliknya, mereka pun akan berbagi malu
atau hukuman secara bersama. Aib individu, akan menyangkut aib keluarga, bahkan
dialami kekerabatan dalam skala yang lebih luas. Mengacu pada pertimbangan
lingkungan, sebagaimana telah disampaikan; tidak ramah ini, pada prinsipnya sebagai
suatu sikap respon terhadap lingkungannya, maka Melayu cenderung akan meluaskan
kekerabatannya; dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap suatu kesetimbangan
ekologi dan demographi. Segala kondisi lingkungan ini, diantisipasi dengan perilaku
perluasan jejaring kekerabatan. Leonard Andaya mengemukakan bahwa
perluasan kekerabatan dikalangan Melayu, terjalin melalui; Perkawinan,
hubungan persusuan dan adopsi.169
Hal itu dikatakannya mengacu pada asumsi bahwa genealogi sangat penting dalam
masyarakat Melayu-Polinesia disebabkan merupakan determinan pokok dari suksesi
dan status kelas. Seleksi tentang dengan siapa akan dilangsungkan perkawinan,
bagaimanapun juga, dapat menjadi dasar lainnya atas prinsip keturunan atau
aliansi.170 Sebuah analisis pada awal abad ke-17, Raffles, dan pada akhir abad ke-18,
Shellabear atas “Sejarah Melayu;” mengungkapkan pergeseran penekanan dari aliansi
untuk keturunan,171 yang nampaknya sesuai dengan perubahan politik di dunia
Melayu. Dimulai pada akhir abad ke-18, akan tetapi berpuncak pada abad ke-19,
pemerintahan kolonial secara perlahan-lahan menekan dunia Melayu. Konflik antara
Inggris dan Belanda sebagaimana terefleksi dalam Traktat 1824, membagi dunia
Melayu ini berada dibawah pengaruh Inggris dan Belanda. Maka dimulailah proses
dimana kedua pemerintah kolonial berusaha untuk menjamin stabilitas di wilayah
pemerintahan mereka dengan mengandalkan keluarga-keluarga dengan legitimasi
hak untuk memerintah; Legitimasi ditentukan dengan silsilah, dan karena itulah
keluarga kerajaan dipaksa untuk melakukan penulisan dan menyalin ulang teks 172
untuk memajukan kasus mereka dengan orang Eropa.173 “Shellabear recension”
ditulis dalam kerajaan Bugis-Melayu Riau, sebagai dua teks utama Melayu pada abad
ke-19: “Salasilah Melayu Dan Bugis”, dan “Tuhfat al-Nafis.” Pada saat yang sama
Minangkabau-Melayu Siak juga masuk dalam kehingaran dengan versi mereka,

169
Andaya, 2008.
170
Bowen, “Cultural Models,” hal.164.
171 Bowen, “Cultural Models,” hal.173.
172 Andaya memandang bahwa dalam dunia Melayu, penyalinan kembali teks dilakukan dengan

“improvisasi” mengacu pada realita sosial dan politik. Ini seringkali berakkibat in the expunging
Dan memasukkan informasi guna mendukung klaim geneologi dari kekuasaan keluarga.
173
Schulte Nordholt menggambarkan situasi di Bali pada pertengahan abad ke-19 ketika Belanda
menyuburkan konflik sebagai akibat persaingan antar faksi; dan beberapa keluarga menulis ulang
sejarah (babad) untuk menguatkan posisi otoritas mereka di pulau Bali. Schulte Nordholt, Spell
of Power, 1; Schulte Nordholt, “Origin”, hal.54–5.
94

peristiwa yang dikenal hari ini sebagai “Hikayat Siak”.174 Dalam situasi inilah dilakukan
penulisan atau re-diedit “Sejarah “ Melayu yang menekankan keturunan dan asal
terkenal (asal) dalam menceritakan silsilah kerajaan mereka. Sementara posisi
penguasa dengan keturunan unggul adalah bagian penting dari pemerintahan Melayu,
bahkan lebih penting lagi adalah aliansi jaringan kekerabatan yang merupakan dunia
politik itu sendiri. Jaringan tersebut difasilitasi oleh praktek menelusuri garis melalui
keduanya; laki-laki dan perempuan, Sehingga hampir tak terelakkan bahwa akan
terjadi tumpang tindih kerabat di "tepinya." Seperti dalam model pemerintahan
mandala, "pinggiran" adalah situs kontestasi antara keluarga. Bahwa perluasan
kekerabatan ini, memiliki serta potensi konflik di tepinya: yang secara alami
menyentuh satu sama lain dan dapat mengatur friksi.175 Lebih jauh dikemukakan;
Untuk meminimalkan konflik tersebut, mungkin saja terdapat kecenderungan
untuk "re-enter" anggota periferi atau sepupu ketiga dengan menikahi
mereka. Dalam pencarian acak "pupu" (kelas, derajat hubungan) hubungan
terdaftar hanya sejauh Tiga pupu; hal ini tampaknya menjadi batas paling
umum langsung ego "keluarga," dan karena itu menjadi keharusan untuk
menikahi sepupu ketiga untuk mencegah mereka meninggalkan keluarga dan
menjadi orang luar. Tetapi masing-masing individu dalam unit keluarga inti
tersebut akan memiliki jaringan kerabatnya sendiri, berkontribusi terhadap
proliferasi jaringan kekerabatan. Penekanan pada prinsip aliansi dalam
pernikahan antara Melayu sebelum abad kesembilan belas membantu untuk
memperpanjang keluarga. Karena pentingnya jaringan keluarga, cara lain
yang bekerja selain pernikahan untuk memperluas keanggotaan. Salah satu
cara yang paling umum adalah melalui silsilah fiktif untuk memasukkan tokoh
sejarah yang kuat sebagai nenek moyang. Seperti nenek moyang fiktif tidak
hanya memenuhi fungsi yang berguna sebagai pembawa budaya, tetapi juga
memungkinkan keluarga ambisius untuk melegitimasi klaim mereka atas
bagian dari sumber daya politik atau ekonomi yang dikendalikan oleh nenek
moyang tertentu langsung ke kelompok kerabat.176
Alasan utama berlangsungnya pernikahan, adalah kelahiran anak-anak. Selain sebagai
penerus kekerabatan, dan ternyata terdapat alasan bernilai tinggi untuk memiliki
anak-perempuan. Perempuan memainkan penting bagian dalam pemeliharaan garis
keturunan, selain tanggungjawab penjagaan simbolisasi kesepakatan yang dicapai
oleh nenek moyang mengenai batas-batas wilayah. Kita tidak dapat mengatakan
bahwa hal ini terjadi hanya pada daerah yang berada dibawah pengaruh Minangkabau
bahwa garis keturunan dan warisan melewati garis perempuan; seperti di Semendo,
bahwa putri sulung, selain menjadi ahli waris, juga bertanggung jawab untuk

174
Andaya, “Bugis Diaspora, Identity.”
175 Brown, Malay Sayings, 126; Andaya, hal.74.
176 Situasi peran tertentu dari kekuasaan moyang merupakan suatu phenomena umum. Lihat

Andaya, To Live as Brothers, ch. 6; Andaya, Heritage of Arung Palakka. Andaya, hal.74.
95

mengawasi upacara terhubung dengan kuburan leluhur. Para anak perempuan,


merekalah yang akan merawat orang tua atau mertua di usia uzur mereka, kondisi
yang lebih diinginkan daripada anak laki-laki, bahkan terdapat kekerabatan yang
meyakni bahwa ini sekaligus pertanda hadirnya bantuan khusus dari nenek moyang.
Disepanjang peradaban Melayu dari Palembang dan Jambi, terdapat kisah-kisah
betapa elite penguasa menginginkan kelahiran anak perempuan. Sebaliknya, laki-laki;
tentu saja, sering meninggalkan keluarga mereka ketika terlibat dalam pelayaran
perdagangan ataupun untuk pergi berperang, akan tetapi tetap kondisi itu dipandang
sebagai suatu kemalangan; berpisahnya dari keluarga untuk jangka waktu yang sangat
lama; Rokan pada masa Melaka, yang diketahui merupakan salah satu pemasok bagi
kebutuhan tentara Melaka; merupakan contoh dekat bagaimana lelaki dikalangan
Rokan meninggalkan keluarganya untuk rentang waktu yang panjang. Selain itu,
utusan yang tidak ingin melakukan sebuah perjalanan yang mahal ke negeri jauh atau
juga perjalanan menghulu dan menghilir; tentu berupaya memaafkan diri mereka
sendiri dengan mengatakan bahwa mereka tidak ingin “pergi begitu jauh dari istri dan
keluarga.” Sampai batas yang tentu jauh lebih besar daripada laki-laki, perempuan
akan menghabiskan seluruh hidupnya dikelilingi oleh kerabat dekat. Dengan begitu,
tidak terlalu mengherankan jika dipesisir Rokan terdapat kisah tentang dua
pulau(Halang Besar dan Kecil) yang terkait dengan perginya sang anak laki-laki ke
perantauan; meninggalkan orang tua mereka.177
Di muara sungai terdapat dua buah Pulau, yakni pulau Lalang (Halang)Besar
dan Pulau Lalang (Halang)Kecil, yang terakhir berada di Muara Sungai Kubu.
Terdapat legenda tentang asal-usul pulau-pulau tersebut. Sebelumnya di
muara Sungai Rokan tinggal seorang laki-laki dan perempuan yang
menemukan diri mereka dalam keadaan yang sangat membutuhkan dan
hidup dari sedekah yang diberikan oleh orang yang lewat disitu. Mereka
memiliki seorang putra bernama “Lalang”(atau Halang), yang pergi merantau
untuk melakukan kegiatan perniagaan di tempat lain. Setelah mengumpulkan
banyak harta ia menikah dengan seorang wanita dari kelas atas, dan suatu
saat dia memutuskan untuk kembali ke bekas rumah kampung halamannya
dulu. Di muara sungai Rokan, dia berlabuh dengan kapal besar dan kecil, di
mana ia menemukan orangtuanya, tapi ia tidak mengenalkan mereka kepada
istrinya karena dia malu dengan asal kelahirannya yang rendah. Setelah sang
orang tua mengenali anaknya, mereka berupaya keras untuk mencapai anak
mereka, namun mereka (sang anak), bergerak meninggalkan ayah dan ibu
dengan sampan, dimana sang putra mereka disertai oleh banyak pengikut..
Tak lama setelah itu kapal tenggelam berikut dengan sampan kecil yang
dihubungkan dengan tali ke kapal yang lebih besar. Kapal besar menjadi pulau
Halang besar, dan perahu kecil menjadi Pulau Halang Kecil, dan tali yang

177
Sebagaimana dicatat Rijn van Alkemade, 1884. Lihat juga Wan Saleh Tamin, 1972.
96

menghubungkan dua perahu itu, merupakan beting178, yang sekarang


ditemukan antara kedua pulau tersebut. Orang tua Lalang berubah menjadi
dua pokok (kayu), satu condong ke darat, lainnya condong kearah ke laut.
Kemudian cara lain untuk memperluas kelompok kekerabatan adalah melalui
hubungan menyusui, atau “susu ibu.” Kepercayaan pada kekuatan susu juga
ditangkap dalam Salasilah Melayu dan Bugis, di mana air susu Engku Raja Fatimah
digambarkan sebagai begitu kuatnya, bahwa seorang anak yang diasuhnya akan
memperoleh keberuntungan khusus (Bertuah).179 Ikatan kedekatan antara ibu susu
dan anak, dibuat jelas dalam sebuah episode Hikayat Hang Tuah. Ketika fitnah
menyebabkan penguasa Melaka menghalau Hang Tuah, ia pun melarikan diri ke
Indrapura. Untuk mendapatkan kembali budi penguasa, Hang Tuah mencoba untuk
meyakinkan Tun Teja, putri penguasa Indrapura, untuk menjadi pengatin dari
penguasa Melaka. Karena itu ia berhasil diadopsi oleh ibu susu Tun Teja sebagai cara
terbaik untuk mendapatkan akses istimewa ke keluarga. 180 Bahwa dalam dunia
Melayu, orang luar dapat dimasukkan ke dalam keluarga melalui hubungan menyusui.
Obligasi yang diciptakan melalui ASI, sangat meningkatkan kesempatan untuk
membuat unit kekerabatan menjadi lebih besar dan efektif. Seorang anak
memberikan keluarga dengan kesempatan untuk memajukan keberuntungannya;
sehingga akhirnya menikah atau ia dengan kelompok kerabat lain. Hubungan
persusuan, di sisi lain, dapat menjangkau kelompok yang lebih besar dari keluarga
melalui praktek "mengundang" para perempuan berkeluarga yang berguna untuk
berbagi dalam keperawatan anak. Praktek kekerabatan bilateral dan Islam membuat
setiap anak sangat berharga di kalangan orang Melayu. Melalui hubungan darah atau
persusuan, baik laki-laki dan anak perempuan bisa memberikan dua sumber yang
berbeda dari perekrutan untuk kelompok kekerabatan. Hubungan saudara yang
timbul antara orang-orang yang telah menyusui pada ibu yang sama dianggap menjadi
sekuat orang-orang dari saudara sedarah.181 Praktek ini diasumsikan memberikan
kontribusi terhadap penguatan kelompok kekerabatan, meski ditemui seringkalinya
tumpang tindih jaringan kerabat disebabkan populasi relatif yang terbatas dikalangan
Melayu.
Cara terakhir dalam memperluas kekerabatan, adalah adopsi (Mengangkat anak);
digunakan untuk memasukkan orang luar ke dalam keluarga, meski cara ini sering
dianggap mengaburkan batas-batas kekerabatan. Kisah adopsi yang paling menonjol
adalah yang melibatkan Raja Kecil; mengaku sebagai anak mantan penguasa Johor

178 Disebut juga beting, semacam timbunan(endapan) pasir atau Lumpur yang mengendap di laut
dan menghubungkan kedua pulau.
179 Mohd. Yusof, Salasilah Melayu dan Bugis, 120, line 16.
180
Kassim, Hikayat Hang Tuah, 170–1.
181 Dalam berbicara tentang saudara angkatnya (yaitu, "saudara sepersusuan") Aziz, kaisar

Mughal Akbar (1542-1605) dianggap telah mengatakan, "Antara aku dan Aziz adalah sungai susu
yang aku tidak bisa menyeberanginya, dalam Lai, “Settled,” 14–9; Andaya, 75-6.
97

dibunuh oleh bangsawan di tahun 1699.182 Menurut versi Melayu, Raja Kecil dibawa
sebagai seorang pemuda ke kerajaan Pagaruyung di Minangkabau, di mana ia diadopsi
oleh Putri Jamilan, ibu dari penguasa Pagaruyung. Ia adalah orang luar, Keturunan
yang diduga keluarga kerajaan Johor, tetapi melalui adopsi ia menjadi Minangkabau
penuh dan bahkan menikmati hak istimewa menjalani sistem kerajaan Minangkabau.
Ini adalah penyerapan Raja Kecil ke dalam keluarga kerajaan Minangkabau yang
menyediakan kunci penting untuk kemampuannya membangkitkan dukungan di
kalangan Minangkabau di rantau timur (Daerah yang ditetapkan oleh Minangkabau
diluar tempat asalnya di dataran tinggi Sumatera bagian tengah). Kualitas khusus Raja
Kecil yang ditekankan oleh Putri Jamilan saat upacara pengukuhannya. Contoh-
contoh yang dikutip di atas menyorot fitur tertentu dalam praktek adopsi di dunia
Melayu. Pertama-tama, adopsi terjadi tidak pada saat lahir, tetapi di kemudian hari
ketika karakter individu telah ditentukan. Kedua, orang tua angkat merupakan elit
masyarakat Melayu, dan ketiga, individu yang diadopsi merupakan orang luar yang
penggabungan akan bermanfaat bagi kelompok. Melalui penerapan kelompok tidak
hanya meningkatkan keanggotaannya tetapi juga manfaat dari infus darah segar dan
bakat. Relasi persaudaraan yang ditetapkan melalui hubungan darah, hubungan per
susuan, atau pun juga adopsi; membentuk inti dan obligasi terkuat dalam kelompok
kekerabatan; saudara dikatakan saling mengasihi sejak usia dini, dalam sakit dan
sehat, bahagia dan kesusahan, akan membantu satu sama lain dalam masa-masa sulit
tanpa keraguan sedikitpun.183 Hubungan yang lebih jauh hingga sepupu level ketiga
(tiga pupu) mungkin disini tidak dapat dinikmati kedalaman yang sama dari loyalitas
dan pengabdian sebagai saudara kandung, akan tetapi mereka tetap dalam posisi
dihormati sebagai anggota keluarga. Contohnya, ketika penguasa Rokan di pantai
timur Sumatera mengunjungi Melaka, ia "diperlakukan dengan perbedaan besar"
karena istrinya adalah saudara penguasa Melaka.
Hatta Raja Rekan pun datang mengadap ke Melaka, maka sangat dipermulia
oleh Sultan Muhammad Syah, kerana Raja Perempuan itu saudara sepupu
kepada Raja Rekan. Adapun Raja Rekan itu anak Sultan Sidi, saudara Sultan
Sujak. Apabila Raja Rekan akan masuk mengadap, orang menitir gendang ria,
sekalian orang berkampung. Itulah maka diperbuat orang pantun:
Gendang ria dapat berbunyi,
Raja Rekan masuk mengadap
Orang kaya apa disembunyi

182 Andaya, Kingdom of Johor; Barnard, Raja Kecil. Bahwa even ini disebutkan baik dalam catatan
Belanda sebagaimana dalam Hikayat Siak, Salasilah Melayu dan Bugis, dan juga Tuhfat al-Nafis.
183 Kedalaman hubungan ini ditangkap di Salasilah Melayu dan Bugis, yang berbicara tentang

hubungan yang sangat dekat antara lima bersaudara Bugis, terutama bertanggung jawab untuk
membangun kehadiran Bugis di dunia Melayu pada abad kedelapan belas. Menurut Salasilah,
ditulis oleh keturunan Bugis bersaudara ini, Mohd. Yusof, Salasilah Malayu dan Bugis, 229, line
33.
98

Dendam sahaya dapat berdapat. 184


Kekerabatan, juga menyangkut keuntungan dalam suatu transaksi perdagangan dan
bisnis, sebab, kepercayaan yang lebih besar ditempatkan pada anggota keluarga
daripada dengan orang luar, sehingga mendorong pedagang asing untuk mencari isteri
dari warga lokal. Melalui pengaturan tersebut, saudagar memperoleh kepercayaan
dari masyarakat dan agen permanen untuk memfasilitasi pertukaran barang-
barang.185 Selain itu, keuntungan selanjutnya dari menjadi bagian dari sebuah
keluarga adalah pemahaman bahwa setiap hutang dapat dibagi dan diwariskan oleh
norma kekerabatan(kinfolk); 186 seperti yang terjadi di lanskap Rokan dimana hutang
atau kesalahan anak laki-laki akan dibayarkan oleh pihak anak perempuannya. 187 Area
ini, dipandang sebagai sebab mengapa Raja Alam cenderung untuk tidak begitu
mempedulikan Belanda mengenai hutangnya.188 Cara yang bervariasi di mana
pembicaraan lebih banyak lagi tentang kelompok kekerabatan dapat diperluas, maka
diskusi akan lebih banyak lagi ditemui berkisar tentang pentingnya "keluarga" dalam
efektifitas fungsi organisasi dan masyarakat. Dalam dunia Melayu dan tempat lain
pada era pra-kolonial di Asia Tenggara, kelompok kekerabatan membentuk blok
bangunan utama pemerintahan (negara). Hal itu merupakan pergeseran aliansi
antara kelompok-kelompok kekerabatan yang menyumbang volatilitas dan paradoks
kekuatan politik.
Yang terkuat adalah pihak yang paling sukses dalam menyesuaikan diri
dengan perubahan dan menata ulang aliansi kekerabatan.
Raja Kecil merupakan contoh nyata sebagaimana ia memperluas kekuasaan politiknya
direntang paruh pertama abad ke-18 melalui aliansi kekerabatan dengan sebaran
entitas disepanjang pantai timur, gugusan pulau-pulau, diantaranya melalui hubungan
pernikahan.189 Dalam dunia Melayu, arena fluks terbesar adalah berada pada margin,
di mana individu disajikan dengan sejumlah pilihan karena tumpang tindih kelompok
kerabat yang ditetapkan melalui hubungan darah, persusuan, dan adopsi. Melaka,
mirip dengan Sriwijaya yang memiliki hubungan ketergantungan pada jaringan
keluarga sebagai dasar dari pemerintahan Melayu. Meskipun sumber-sumber
Sriwijaya tidak mengungkapkan bagaimana obligasi tersebut ditempa, dokumen
Melayu dari Semenanjung Malaya memberikan bukti yang kuat dari perluasan dan
perkuatan hubungan keluarga untuk memapankan kekuasaan mereka melalui

184
A.Samad Ahmad, Sejarah Melayu, 1979: A-99;B-99.
185
Foreest and Booy, De Vierde Schipvaert, vol. 1, 225; Hamilton, A New Account, vol.
2, 28, 96.
186 Andaya, “Orality, Contracts,” hal.25.
187
Wan Saleh Tamin, hal.70.
188 Betapa Belanda mengikuti Raja Alam hingga ke Sungai Pelam untuk “menagih” hutang; lihat

Netscher, 1871.
189 Barnard, dalam Multiple centre of Authority: Society and Environment in Siak and East

Sumatra, 1674–1827. Leiden: KITLV Press, 2003.


99

praktek hubungan pernikahan, persusuan, dan adopsi. Fitur besar budaya ini adalah
kemampuan mereka untuk secara progresif memperbesar lingkaran kerabat dekat
mereka, kemampuan tercermin dalam terminologi kekerabatan yang dapat dengan
mudah diterapkan untuk kerabat dekat atau jauh, dan sama sebagai tanda
penghormatan atau kasih sayang. Akan tetapi, bentuk-bentuk perluasan kekerabatan,
seperti adopsi dapat mengaburkan hubungan antara anggota keluarga, diduga
terdapat ambivalensi terhadap praktek adopsi tersebut. Adopsi bisa saja mengangkat
kedua prospek yang memperluas batas-batas kelompok, tetapi juga sekaligus menjadi
“momok” konflik akibat tumpang tindih keluarga di tepi silsilah. Meskipun demikian,
jika ketakutan lebih bersifat nyata daripada kebaikannya, tentu saja adopsi sudah lama
ditinggalkan. Idealnya, hubungan paling dekat satu sama lainnya adalah yang terjadi
dikalangan saudara kandung, kemudian antar saudara-kerabat. Meskipun masih
terdapat sebuah hirarki lebih tua dan lebih muda, rumus sekelompok saudara-tiga,
lima, tujuh, atau sembilan yang tidak hanya berbagi petualangan tapi saling
mendukung lainnya dalam kesulitan muncul berulang kali dalam legenda. Ikatan
"persaudaraan" ini, paling sering dipanggil antara teman-teman yang terikat
bersama-sama oleh asosiasi panjang dan kepentingan bersama daripada oleh ikatan
darah. Dengan tidak adanya kerabat, hubungan tersebut dapat memberikan bantuan
yang biasanya diperoleh dari kerabat. Meskipun demikian, tanpa ikatan hubungan
keluarga, persaudaraan semacam ini dapat dipertahankan hanya jika kewajiban
bersama secara cermat tertunaikan. Contoh yang dekat adalah petualangan Hang
Tuah, Hang Jebat, Hang Lekir dan Hang Kasturi. 190 Namun motif persaudaraan
seringkali juga digambarkan sebagai salah satu sisi gelap dalam hubungan manusia,
hubungan yang tidak hanya dihiasi dengan kasih sayang dan dukungan, tetapi juga
dengan kecemburuan, kebencian, dan bahkan pembunuhan antar saudara. Dalam
kehidupan sehari-hari, emosi yang sama dimainkan dalam kehidupan nenek moyang,
juga bisa memporak-porandakan sulaman hubungan keluarga yang idealnya adalah
suatu kedamaian. Ternyata, ditemui bahwa sesama saudara seringkali terjadi
pertengkaran. Bahwa pertikaian antara anak-anak Raja Kecil; antara Raja Alam sang
sulung dengan adiknya, Raja Mohamad mewarnai kekisruhan tahta generasi kedua
dari dinasti Siak; dan “Syair Perang Siak” menggambarkan dengan jelas situasi ini.191
Tiada berapa lama antara
Tiadalah mufakatnya dengan saudara
Hampirlah negeri huru hara
Hendak menanggung duka sengsara
Dengan saudara tidak mufakat

190Seperti dalam Hikayat Hang Tuah.


191
Syair Perang Siak, a court poem presenting the state policy of a Minangkabau Malay Royal
Family in exile, edited and translated by Donald J Goudie; MBRS 1989, Kuala Lumpur, Malaysia,
hal.96-100; dilihat dalam Tenas Efendi, Catatan Singkat Tentang: Peranan SAYID OSMAN
STAHABUDDIN di Kerajaan Siak Sri Indrapura; 24 Oktober 1993, hal.3-4.
100

Masing-masing dengan hakikat


Sebab kebesara tiada serikatt
Kurang pendapat laksana sikat
Sudahlah takdir khaalikulbahri
Alamat susah isi negeri
Segaa hulubalang dengan menteri
Gundahnya tidak lagi terperi
Mendirikan kubu sebelah menyebelah
Orang negeri sudah berbelah
Sudahlah dengan takdir Allah
Tidak mencari benar dan salah
Banyak orang berhati pilu
Seorang dihilir seorang dihulu
Banyaklah kena sudah berlalu
Sebelah menyeblah menjadi malu
Berperang itu sama senegeri
Gundahlah hati segala menteri
Heran memandang tidak berperi
Karena berkelahi sama sendiri
Yang keempat suku tidak bersatu
Baginda melihat berhati mutu
Remuk redam tidak bertentu
Laksana kaca jatuh kebatu
Demikianlah konon khabarnya Gerang
Mufakat tak dapat, lalu berperang
Didalam itu serang menyerang
Ada yang lebih ada yang kurang
Baginda pun tahu lalulah murka
Merah padam warna muka
Haram sekali tidak disangka
Akan menjadi malapetaka
Datang titah duli baginda
Menyuruh memanggil paduka anakanda
Pergilah menteri anum berida,
Tuanku dipersilakan paduka ayahanda
Datang menghadap paduka anakanda
Serta dengan adinda dan kakanda
Lalu bertitah paduka baginda
“Apa diperkelahikan dengan saudara muda?”
101

Betapa kronik Siak dalam pandangan Belanda, penuh dengan catatan konflik antar
saudara;192 Pertentangan Raja Ismail dan Mohamad Ali, hingga terusirnya Sultan
Yahya oleh Said Ali. Bahkan, aneksasi Belanda atas Siak pada tahun 1858, didahului
oleh meruncingnya pertikaian Sultan Ismail dengan Tengku Putra. Akan tetapi,
pertikaian tidak terbatas pada sesama saudara saja, persengkataan dalam keluarga
juga dapat terjadi antara ayah dan anak; bisa saja hubungan berubah menjadi sebuah
persaingan keji; Tun Talanai, penguasa legendaris Jambi, telah membiarkan anaknya
sendiri terkunci dalam peti dan membuangnya ke laut karena kekhawatiran bahwa
sang anak mungkin saja suatu hari akan merebut takhta; atau juga kemarahan sang
penguasa Labuhan Papan di hulu Sungai Rokan sehingga membunuh anak-anak dan
isterinya, tanpa terlebih dahulu secara cermat melihat apa yang telah diyakini
keluarganya itu.193 Sang ayah atau Ibu, mungkin saja dapat bersikap berat sebelah;
mendukung anak yang satu ketimbang anak yang lain, sikap pilih kasih, atau juga,
loyalitas perempuan pun sering terpecah diantara suami mereka dan lingkungan
kerabatnya sendiri. Bahwa isteri dari Raja Kecil; Tengku Kamariyah, terombang-
ambing dalam lingkaran konflik antara suaminya dan saudaranya; Sultan Sulaiman. 194
Di balik persepsi hubungan kekerabatan sebagai bentuk interaksi sosial, adalah
kesadaran bahwa mereka selalu tunduk pada gangguan. Karena kecaman atas
ketidakpantasan bisa begitu luas dan dampaknya pun begitu jauh ke depan; salah
satuny adalah perbuatan asusila, mungkin saja merupakan ancaman terdalam untuk
kerukunan tatanan kekerabatan. Nilai normatif tentu terbentuk untuk mengantisipasi
ancaman dan pemeliharaan kedamaian; maka memata-matai perempuan yang
terbuka aurat misalnya, dianggap sebagai penghinaan besar dan merupakan
pelanggaran; lainnya adalah mengintai keberadaannya di luar rumah seperti sedang
mandi di sungai, diam-diam menonton gerakan provokatif tubuh saat ia beraktifitas,
atau bahkan mencoba untuk berada didekatnya yang bukan muhrim, atau
mengandung nilai-nilai yang tidak patut. Hal itu tidak hanya menodai kehormatan
perempuan, akan tetapi juga berarti penghinaan terhadap keluarganya, saudara laki-
lakinya akan terikat untuk membalas dendam; dan itu juga diyakini bahwa
mencemoohkan kebiasaan seksual yang halal, lazim dan ideal merupakan tantangan
bagi hal-hal yang sangat kosmos. Keyakinan bahwa konsekuensi dari kejahatan
seksual seperti perzinahan dan hubungan “sumbang” bisa menjadi bencana bagi
keseluruhan kekerabatan; dijelaskan dari tingkat beratnya hukuman yang diterapkan.
Pada abad ke-13, deskripsi Cina tentang Palembang berkomentar bahwa perzinahan
adalah satu-satunya kejahatan yang layak dikenakan hukuman mati, dan bahkan
komentar senada masih menggema hingga ratusan tahun kemudian. Di abad ke-19,
alasan umum untuk menjelaskan rasa malu dari suku kubu di Jambi adalah bahwa
nenek moyang mereka yang berlindung di hutan, dikucilkan karena perilaku hubungan
sumbang. Atau seperti yang terjadi dengan kelompok petualang Raja Ismail, dimana

192 Seperti yang dikisahkan oleh Netscher dalam “De Nederlanders in Djohor en Siak”,
193 Wan Saleh Tamin, 1972. hal.29-34.
194
Lihat dalam Netscher, 1871.
102

perilaku yang dilakukan seorang kerabatnya dijatuhi hukuman berat; 195 sementara di
hulu sungai Rokan dikenal legenda “anak raja jatuh.” 196 Prinsip yang melekat untuk
sikap-sikap budaya adalah asumsi bahwa semua anggota masyarakat, mulai dari
kelahiran terendah sampai tertinggi, harus sadar akan bahaya yang melekat dalam
hubungan laki-laki-perempuan. Betapa masyarakat dengan serangkaian legenda
yang dimilikinya, menerapkan nilai normatif bahwa tidak peduli ia seorang raja atau
hamba, sama-sama akan menerima sebuah pembalasan atas tindakan yang tidak
bermoral. Dengan demikian Tun Talanai, yang menyingkirkan anaknya sendiri,
menerima hukuman karena ketika sang pemuda kembali dengan balatentara Siam
untuk menghancurkan Jambi; sementara Aria Damar membunuh dirinya sendiri
karena tidak menghormati istri orang lain; Perpatih nan Sebatang, pahlawan
Minangkabau yang memainkan peran penting dalam banyak legenda dari pedalaman
Jambi, melarikan diri karena malu ketika ia menemukan ia tanpa disadarinya terlibat
dengan adiknya yang lama hilang; Puteri Pinang Masak.197 Bahwa sebagaimana
diketahui, dalam budaya yang bahkan bisa menghukum mati seorang putri karena
perbuatan perzinahan, pembicaraan mencolok tentang amoralitas kerajaan akan
memiliki makna lebih mendalam ketimbang hanya skandal semata. Dengan
demikian, rumor “mengkhianati” bukan hanya mengenai rasa ketidakpuasan dengan
perilaku seorang penguasa, akan tetapi ketakutan mendalam tentang bahaya
bencana yang akan menimpa bagi seluruh masyarakat, sebagai akibat perilaku
penguasa. Menurut Barbara Andaya, pandangan bahwa standar yang mengatur
kehidupan manusia biasa dan perempuan, harus sama diberlakukannya terhadap para
penguasa, memiliki dampak penting bagi hubungan antar negara.198 Pernikahan
antara keluarga tinggi selalu menjadi letak dasar diplomasi, dan kelalaian yang
dirasakan sebagai kewajiban yang telah didikte oleh norma kekerabatan bisa menjadi
pemicu krisis antara kerajaan dengan mengasingkan seluruh garis keturunan kerajaan;
pada tahun 1616 misalnya, kerajaan Jambi dan Indragiri berada pada istilah miskin
karena penguasa Jambi telah menyisihkan istrinya Indragiri-nya. Berulang kali di
tahun-tahun yang diikuti, hikayat ataupun sumber VOC memberikan contoh buruk
tentang aksi satu kerajaan terhadap lainnya; dan satu lagi karena beberapa
penghinaan hampir selalu melibatkan perempuan. Salah satunya yang sarat emosi
misalnya menyangkut penolakan pewaris Jambi untuk mengakhiri hubungan dengan
mantan budak gadis Bugis, dan selanjutnya bertunangan dengan putri raja
Palembang. Bertahun-tahun kemudian kenangan penghinaan ini muncul dalam
sumpah Sultan Palembang, bahwa ia akan "membasmi" semua klan kerajaan Jambi.

195 Barnard, Timothy P.,“Texts, Raja Ismail and Violence: Siak and the Transformation of Malay
Identity in the Eighteenth Century,” dalam Contesting Malayness: Malay Identity Across
Boundaries, First Edition, 2004.
196 Wan Saleh Tamin, hal.22-25.
197
de Kock, "Legenden van Djambi," pp. 36-41; "Piagam atau sejarab Marga Air Hitam," fo. 4;
Westenenk, "Rentjong-schrift," p. 104; VOC 1498 Palembangto Batavia, 22Jan. 1691, fo. 147v.;
Barbara Andaya, hal.28-9.
198
Barbara Andaya, hal.28-9.
103

Kewajiban bagi raja menghormati komitmen keluarga mereka dimaksudkan bahwa


pergeseran dalam hubungan kekerabatan antara keluarga kerajaan, dapat menjadi
sangat signifikan dalam peristiwa diplomatik. Dan Eropa, segera menyadari situasi ini;
bahwa seperti kejadian seorang putri yang diabaikan, tidak dapat dianggap hanya
sebagai gosip sepele, karena mereka bisa jadi membawa perubahan besar dalam
aliansi regional. Peristiwa tidak jadinya Tengku Tengah dipersunting oleh Raja Kecil,
menyebabkan bergesernya aliansi kubu Johor kepada petualang Bugis yang pada
babak berikutnya berakibat tersingkirnya Raja Kecil dari Johor dan Riau;199 sementara
itu di hulu sungai Rokan, ancaman terhadap keberlangsungan hubungan cinta antara
Hitam Manih dengan putri di kerajaan Tanjung Bunga, menyebabkan peperangan. 200

Raja dan Hamba:


Pusat dan Dependensi
Dalam tatanan feodal, Raja adalah personifikasi dari kerajaan, sementara hamba
adalah tiang kerajaan. Di luar kerajaän, mungkin mereka bukanlah apa-apa, akan
tetapi sebaliknya, kerajaan tidak bisa eksis tanpa mereka. Terdapat bahagian dari
hamba, yang menyebut dirinya dengan “tiang kerajaän,” dan mereka sadar untuk
menjaga dengan cukup baik posisi independennya, setidaknya untuk lebih baik,
Sementara di sisi lainnya, terdapat elemen hamba sebagai subyek langsung dari sang
pangeran. Hamba, yang bernaung dibawah kedatuan, di Siak, sebagaimana yang
terdapat pada “Anak IV Suku”201 dan lainnya sebagai langsung dibawah sultan; anak
raja, hamba raja dan rayat raja. Pengamat Eropa, mencatat terjadinya perbedaan
perlakuan terhadap kedua kategori itu. Jika dikelompok pertama, maka sang datuk
cenderung berperan sebagai pelindung dengan posisinya; sebaliknya, ditempat kedua
peran datuk tidak sekuat seperti dalam Anak IV Suku.202 Sultan, memiliki kewenangan
untuk langsung mengatur kehidupan hingga di level anak buah dari kepala suku;
dimana jika terjadi pertentangan antara anak buah dengan sang kepala, maka sultan
dapat menempatkan anak buah itu ke tempat lain dan kepala suku tidak memiliki
kewenangan lagi untuk melakukan pengerahan kerja terhadapnya, sebagaimana
berikut:
Dan djikalau anak boeah kepala soekoe sekalian mana2 djoeapoen bersalahan
pikiran dengan kepala soekoenja, terang dilihat olëh Seri Padoeka Soeltan
kepala soekoenja itoe hendak mentjarikan djalan kesoesahan diatas anak
boeahnja, maka sebab itoe bolêh anak boeahnja, jang bersalahan pikiran itoe

199 Netscher, Hoofdstuk III, hal.47-66


200
Koba Hitam Manih, Tradisi Lisan Suku Bonai, 2014.
201 Anak IV Suku; Suku Pesisir, suku Limapuluh, Suku Tanah Datar dan Suku Kampar.
202 Pengamat atau komentator, sering mengaitkan kondisi itu pada masa invasi Raja Kecil ke Johor

1718, dimana Raja Kecil dibantu oleh sepasukan Minangkabau dapat menaklukkan Johor.
104

keloear dari kepala soekoenja, masoek ianja mendjadi orang Radja, tiada
bolëh di kerah oleh kepala soekoenja lagi. 203
Anak IV Suku, keturunan Said, Syarief, Syekh dan bangsa raja dari tempat lain, tidak
diperkenankan berada dalam kelangsungan kerja kerah ditempat semenda-nya, hanya
Sultan-lah yang dapat melakukan perintah itu.204 Sebagaimana diketahui, tatanan
feodal menempatkan Raja sebagai pemilik negeri/tanah, sehingga, melekat dalam
kekuasaan raja apa yang dinamakan sebagai sistem serah dan sistem kerah. 205 Di
satu sisi, penguasa adalah orang dengan kepemilikan harta-kekayaan yang sunguh-
sungguh besar, sumber segala kesaktian dan keramat, kemampuan yang besar dan
luasnya kemurahan hati; sementara di sisi lain, ia bisa saja menjadi serakah, penuh
dendam, sewenang-wenang dan tidak adil. Kontradiksi yang bisa saja merupakan
kharakter khas individu. Sifat-sifat alamiah ini, terefleksikan dalam kehidupan
terutama dalam lingkup kewenangan yang dimilikinya, menyangkut pada lingkaran-
lingkaran diluar diri mulai dari yang terdekat hingga terjauh. Seberapa besar porsi
sikap ini ditunjukkan sang raja, akan mengikuti latar dan kepentingan yang tidak sama
pula. Kategorisasi hamba, merupakan bentuk nyata dari konvergesi sikap-sikap
alamiah tadi, dan ini tidak terbatas disini saja, melainkan meliputi pula areal
kewilayahan kekuasaan yang meliputi bahagian asli(pusat) dan dependensi, atau juga,
wilayah kekuasaan atas bahagian hulunya. Legenda dan dokumentasi Eropa
menunjukkan, bahwa dalam era pra-kolonial, meskipun kekuasaan khusus dikaitkan
dengan mereka, otoritas sebenarnya dari penguasa pusat seringkali minim, terutama
terhadap hulu atau wilayah dependensinya. Sriwijaya, dengan kekuasaan yang begitu
luasnya, kita tidak dapat membayangkan bagaimana pusat mampu mengekang
dependensi yang letaknya begitu jauh, meliputi kawasan hutan-hutan lebat, lautan
ganas dengan sejumlah besar pulau-pulau kecil sebagai tempat bersembunyi para
pembangkang. Dengan demikian, sebagaimana telah disampaikan, sang raja sebagai
pusat kesaktian dan kekuatan, akan menempatkan kutukan bagi para pengkhianat
kerajaan yang dibakukan dalam prasasti-prasasti. Begitu pula Pagaruyung, patung
yang menggambarkan kekuasaan supranatural merupakan alat efektif dalam
memelihara kewibawaan dan kekuasaan berlandaskan kharisma; dan yang terakhir

203 Sebagaimana terdapat pada pasal 13, Bab keduapuluh satu, Baboelkawaid, hal.130.
204 Pasal 14, Bab Keduapuluh satu, Baboelkawaid, hal.131. Bahwa dimaksudkan seseorang dari
kelompok yang dimaksudkan itu, melakukan ikatan kekerabatan melalui perkawinan dengan
salah satu suku, dan kepala suku tidak dapat mengikutsertakannya dalam kerja kerah kecuali
Sultan yang memerintahkannya. Akan tetapi, kondisi ini tidak berlaku bagi “Orang Dagang;”
sebagai orang yang lahir diluar wilayah Siak dan dependensinya, maka ia akan disertakan kerja
kerah dimana ia bersemenda.
205
Sistem Serah berasal dari anggapan bahwa pemilik tanah disuatu negeri adalah raja, dan tanah
juga dapat diberikan kepada pembesar tertentu; maka, sang hamba yang melakukan
pengambilan hasil tanah/hutan, akan menjualnya kepada pembesar dengan harga yang
ditetapkan; Sistem Kerah, merupakan kewajiban bagi hamba untuk melaksanakan kerja seperti
pembangunan jembatan, gedung, atau sarana lain, yang diatur secara berkala.
105

ini, benar-benar merupakan unsur kekuasaan yang merekatkan bagi kewilayahan


kekuasaan Raja Kecil di abad ke-18.

De Sultan Van Siak met rijksgroten in de afdeeling Bengkalis, Oostkust Van Sumatra, 1888,
Koleksi Tropen Museum.

Bentukan kekuasaan politi yang menghimpun kekuasaan yang sangat luas ini, tentu
pula ditopang oleh sebaran politi-politi dalam wilayah taklukan pusat, yang
menegakkan supremasi berdasarkan kesetiaannya terhadap pusat. Konsekuensi logis,
maka kekuasaan pusat, semakin jauh akan semakin berkurang, semakin memasuki
wilayah arbitrer diwilayah tepi yang berbatasan dengan politi kompetitor. Ketegangan
akan menjadi situasi yang umum terjadi, seperti Siak dengan Aceh, atau Siak dengan
hulu sungai Rokan. Situasi varian politi penuh kompetisi ini, dengan baik dimanfaatkan
penjajah, bahwa kehadiran mereka disana juga merupakan pertanda bagi berubahnya
hubungan antar politi. Belanda, mememiliki alasan bahwa ketika akan menemui
“raja,” seorang putra mahkota (biasanya disebut Raja Muda), dan sejumlah kerabat
kerajaan, bangsawan, dan para pengikut, Belanda mengeluhkan situasi dimana
efektifitas Raja menjadi sangat terbatas dimata Eropa, dimana begitu banyak Raja
akan menyebabkan banyaknya permintaan ini-itu dan ini dianggap tidak efektif bagi
ekspansi kolonial. Raja pusat, bisa saja menandatangani suatu perjanjian dengan
Belanda, akan tetapi, sebaran raja-raja belum tentu merupakan suatu alur
pemahaman yang sama dengan sang pusat. Kondisi ini disebabkan meskipun secara
umum, penguasa pusat mengklaim sebagai penguasa atasan yang samar-samar atas
106

dependensi dan jarang melanggar kehidupan hambanya yang secara geografis begitu
jauh darinya, penguasa perwakilannya bisa saja menggunakan kesempatan untuk
kepentingan sepihak tanpa persetujuan penguasa pusat. Kondisi ini diantaranya
disebabkan di daerah pinggiran (dependensi), pengaruh yang lebih besar sering
bersumber dari individu-individu yang menjadi anggota “jauh” dari garis keturunan
kerajaan dan yang leluhurnya telah memilih untuk tinggal di sepanjang sungai telah
ditugaskan sebagai tanah lungguh. Mereka dan keturunannya tampaknya hadir bukan
sebagai wakil raja, melainkan sebagaimana penguasa pada diri mereka sendiri. Para
ahli sering melihat periode masuknya kolonialis Eropa diiringi dengan penguatan atas
satu kerajaan (kerajaan induk), dan melemahkan yang lain untuk mematuhi mutlak
kerajaan induk. Perilaku ini, digambarkan sebagai bentuk ketidaktahuan Eropa atas
kharakter negeri jajahannya, sekaligus juga dampak keserakahan imperialis yang ingin
secara mudah saja mengatur negeri-negeri yang tersebar dalam suatu wilayah yang
begitu luasnya. Tidak banyak informasi, bagaimana kenegerian di hilir sungai Rokan
mengatur dirinya sendiri, terutama pada periode sebelum tibanya Belanda yang
mengatur ulang pemerintahan tradisional itu melalui perjanjian tahun 1858. Berbagai
laporan yang dicatat para penjelajah disana, terutama setelah negeri-negeri itu
ditransformasi melalui perjanjian versi barat; bahwa dalam konteks barat, kerajaan
induk sebagai pusat, dan negeri dependensi sebagai pheripheri. Dan ini cukup untuk
memberikan gambaran betapa sebuah pusat menerapkan kekuasaannya diwilayah
tepian, yang barangkali jauh dari gambaran sebagai “negeri naungan” dalam masa
kejayaan Melaka; sebagaimana hubungan antara Melaka dan Rokan. Dan anehnya,
Belanda, sebagai tokoh yang menjadi “pembelok” arah evolusi negeri-negeri di pesisir
Rokan, merasa tidak siap dengan apa yang telah dimulainya disana.
Untuk melihat persoalan bagaimana kekuasaan negara pusat diselenggarakan di
pheripheri itu, kita menuju lanskap Tanah Putih. Bahwa pendapatan Sultan Siak yang
berasal dari Tanah Putih, pertama diserahkan kepada adik perempuannya; Tengku
Maklugsun, yang menikah dengan Tengku Kelana dari Pelalawan, dan kemudian
setelah kematiannya, beralih kepada saudaranya, Mangkubumi dari Siak. Yang kedua,
sebagai kompensasi atas pengambilalihan pulau Bengkalis oleh Sultan kepada
Pemerintah Belanda dengan kesepakatan; bahwa sejumlah $400 per tahunnya akan
dibayar kepada Datuk Tanah Putih. Akan tetapi, Hijman van Anrooij dalam catatannya
mengatakan bahwa dokumen tersebut yang pastinya dicatat oleh Mangkubumi,
ternyata dipalsukan, bahwa bagi Mangkubumi, perolehan dari Tanah Putih dianggap
sebagai perdikan turun-temurun. Kondisi itu, menyebabkan hal yang terdapat pada
akte tersebut, bagi Belanda nampaknya semua harus ditolak. Hijman van Anrooij
melukiskannya sebagai berikut:206
bagi orang dengan pengetahuan yang lebih luas, maka orang tersebut dapat
memastikan bahwa hak pendapatan Mangkubumi berasal dari catatan yang
dipalsukan, dimana isinya tidak konsisten dengan adat, bahwa tidak ada

206
Hijman van Anrooij, hal.377-9
107

pangeran Melayu memiliki hak untuk otoritas sendiri atas sebahagian


negerinya kepada pihak ketiga – siapa pun mereka yang mungkin untuk
memberikannya. Sementara itu, Mangkubumi tidak luput, sekarang dan
kemudian begitu baik untuk berperilaku sebagai pangeran berdaulat dari
Tanah Putih, oleh Sultan, bahkan terhadap larangan-nya, untuk
memberhentikan atau menunjuk kepala, dan untuk mengatur orang-orang
pada kedudukannya, tanpa Sultan terlibat di dalamnya. Sultan,
bagaimanapun, tidak pernah memiliki keberanian untuk bertindak atas
penyalahgunaan kekuasaan ini.
Akan tetapi, memasuki tahun 1879, sikap tidak senang Hindia semakin menguat,
dinyatakan oleh Belanda bahwa Mangkubumi dengan sikap arogan-nya telah
membuat plakat: sebuah segel Sultan dan juga dirinya sendiri, serta menetapkan
sanksi berat bagi setiap pelanggaran bagi masing-masing kepala di Tanah Putih, Kubu
dan Bangko. Dan untuk menentukan apakah akan menerima satu janji tunduk, tetapi
sebaliknya, Mangkubumi mengabaikan apa yang bisa dilakukan, Ia dikatakan semacam
memperoleh suatu kekebalan atas apa yang dikerjakannya dihadapan pandangan
Sultan. Semakin bersemangat, pengamat Eropa itu menambahkan dengan pertanyaan
serupa ini, seberapa jauhkah kesewenang-wenangan yang dilakukan Mangkubumi?
menurut redaksi dari “acte van aanstelling” (riwayat pengangkatan), pada tanggal 8
Dzoelhidjah 1294, terhadap Bimbang dan Badu, Mangkubumi mengangkat mereka
sebagai kepala suku Batu Hampar dan Mesa, dan mereka ditunjuk di tempat yang sah
sebagai hak dari Sultan: dimana sebelumnya sultan tidak pernah memecat para
kepala tersebut. Berarti, terjadi pemecatan kepala sebelumnya, tidak pernah
dilakukan sultan. Lebih jauh dalam catatan menunjukkan bahwa,
“tidak terdapatnya peran dari Sultan Siak, dan bahkan tempat bagi sultan
untuk menentukan. Apa yang penting disini bahwa yang tidak dapat
diputuskan di Tanah Putih maka akan diadili bukan oleh Karapatan di Siak,
atau hakim yang berwenang, Melainkan oleh Mangkubumi pribadi!” 207
“Absolutely power, absolutely corrupt.” Jika ia memiliki kekuasaan tak terbatas atas
Tanah Putih, maka tentu saja akan ada tindakan-tindakan yang tidak memerlukan
pertimbangan lainnya. Mangkubumi memiliki alasan, bahwa berdasarkan penggalan
editorial yang tertera bahwa Tanah Putih menyerahkan kepemilikan penuh; dan
menurut Belanda, bukan tidak mungkin bahwa seseorang telah melakukan ini secara
tidak wajar, setelah bagian itu dibuat sedemikian rupa, secara eksplisit dinyatakan
diantaranya terdapat kata-kata "Sampei-anak-tjoetjoenjda" sebagai satu keturunan,
hingga semua quaesties berikutnya, baginya, dan tidak ada penghambat untuk
pelaksanaannya. Situasi inilah yang dikatakan Belanda sebagai praktek-praktek yang
telah menimbulkan kekacauan di Tanah Putih, yang tidak dapat dikesampingkan
adalah bahwa hal ini ternyata relevan dalam posisinya saat itu secara politik sebagai

207
Hijman van Anrooij, hal.396
108

wilayah dependensi.208 Tentang lanskap Kubu dan Bangko, juga terdapat suatu
kebijakan Sultan yang tercantum dalam akte, dimana dikatakan bahwa lanskap ini juga
dibawah pengaruh Mangkubumi, meskipun demikian, di bawah persyaratan dimana
setengah dari pendapatan harus dibayarkan kepada Sultan, sementara separuh
lainnya akan diserahkan untuk Mangkubumi. Akan tetapi, Keabsahan dokumen
tersebut seluruhnya ditolak oleh Sultan. Elemen kunci dalam pelaksanaan
kewenangan dalam komunitas dalam suatu negeri dependensi adalah tidak adanya
paksaan atau bahkan ketiadaan ancaman kekerasan; akan tetapi, tradisi dan sikap
masyarakat wilayah pheripheri pada akhirnya akan disesuaikan dengan keinginan dari
“saudara tua.” Kondisi itu, sebagaimana terdapat ungkapan yang dapat menjelaskan
kedudukan Tanah Putih, Kubu dan Bangko dihadapan kerajaan pusat sebagai berikut:
“Berimam ka ampat soekoe, bertoewan katoewan Sultan Siak,”
Ungkapan diatas yang berarti bahwa mereka berada dibawah datuk empat suku (di
Siak), Sultan Siak sampai kepada bangsawannya. Ketika Datuk dari tiga lanskap di hilir
Rokan berkunjung ke Siak, maka terlebih dahulu mereka selalu menemui datuk di
sana, untuk membahas urusannya dengan mereka. Kewajiban penduduk terhadap
sultan Siak yang memiliki lanskap seperti terdapat dalam seluruh kerajaan,
sebagaimana yang bernama “Larangan Raja” yang memuat produk seperti; gading
gajah, Rhino, guliga , atau cula, di sini mereka mengatakan, tidak pernah ditemukan
komoditi tersebut. Sultan mungkin memiliki nilai pada 4/5 bahagian. Selain itu,
populasi menurut adat juga dikenakan apa yang disebut sebagai “bunga padi” yang
dikerahkan sebagai pajak atas padi tanaman 1 sumpil (sekitar 1 Gantang)beras. Selain
itu, orang-orang dari Tanah Putih, Bangko dan Kubu, juga memiliki kewajiban atas
pemanggilan terhadap mereka untuk datang ke Siak, dan terlibat dalam pekerjaan
mendirikan benteng, jasa pemeliharaan, membuat jalan, selokan dan pekerjaan
lainnya. Untuk pembangunan istana baru Sultan Siak, penduduk lanskap harus
memberikan sebesar f5 per rumah tangga, sebagai salah satu bentuk kontribusi
moneter terhadap kerajaan. Sayangnya, sebagaimana dampak yang dikuatirkan
terhadap kebijakan itu, dikatakan dalam laporan van Anrooij, bahwa Masyarakat di
Tanah Putih, Bangko dan Kubu umumnya menjadi tidak sejahtera, bahkan dilaporkan
umumnya populasi dari Tanah Putih hidup sangat bersahaja. Pandangan bahwa raja
sebagai kepala keturunan, memiliki efek signifikan pada asumsi mengenai hubungan
antara penguasa dan hamba. Terhadap hambanya, tentu tugas utama raja adalah
untuk bertindak, seperti orang tua dan seperti kepala desa, sebagai sumber nasihat
dan terutama sebagai mediator dalam perselisihan. Di kampung (desa) pertengkaran
tersebut mungkin berkisar dari isu-isu serius seperti zinah sampai hal-hal yang lebih
biasa seperti di mana padi dapat menyebar di bawah sinar matahari sampai kering dan
jauh dari penjelajahan menjengkelkan dari ayam tetangga. Demikian pula, seorang
raja juga diharapkan dapat memberikan kebijaksanaan yang akan mendinginkan

208 Hijman van Anrooij, hal.397


109

semua pihak-pihak yang bersengketa. Tradisi yang berlaku di lanskap pesisir, bahwa
keterlibatan Sultan hanya ketika pihak berwenang setempat telah gagal untuk
mencapai suatu solusi, dan tidak mungkin untuk mencapai kompromi, dan kasus itu
perlu untuk meminta bantuan kepada otoritas yang lebih tinggi. Di hilir sungai Rokan,
maka penyelesaian dibawa ke kerapatan dengan otoritas empat datuk; terlebih ketika
Belanda telah ikut sebagai “Saudara Tua” dari Siak, maka dipastikan jalannya
penyelenggaraan ketertiban mengikuti kehendak penjajah. Terbitnya Baboe’l Kawaid,
sedikit banyaknya menunjukkan kepentingan Belanda dalam birokratisasi
penyelesaian permasalahan mengenai hamba-hamba(rakyat) sultan. Pada era
sebelumnya, pada banyak kesempatan Belanda menyebutkan kepergian perwakilan
penguasa untuk menyelesaikan perselisihan, seperti pada perkara pembunuhan;
begitu pentingnya yang dirasakan penjajah untuk masuk dalam berbagai persoalan,
meskipun pada akhirnya ruang zelfbestuur menunjukkan bahwa Belanda sebenarnya
juga tidak sepenuhnya paham atas persoalan-persoalan tradisional negeri jajahannya.
Untuk itu, “Banding” bisa menjadi sangat penting dalam menyelesaikan sengketa
karena suatu keputusan yang dianggap tidak adil, dapat dituntut kembali bagi
perolehan kompensasi memadai. Secara teoritis, misalnya, pada perihal
pembunuhan maka diperlukan kepada kerabat pelaku menyerahkan anggota keluarga
sebagai pengganti, akan tetapi penguasa bisa mengkondisikan kompensasi dalam
bentuk uang atau bentuk “wang bangun” –yang dibayarkan sebagai gantinya.
Dikatakan di Bangko, bahwa hak bea 10 persen atas pancong alas diberikan kepada
Daëng Puwarih, untuk menyelesaikan utang darah sebesar $1000(?), yang
sebelumnya dikenakan pada rakyat Tanah Putih; atas pembunuhan yang dilakukan
terhadap Daëng Basok, relatif jauh dari Daëng Puwarih, dan ini nampaknya tidak
pernah dibayar. Sebaliknya, informasi yang diperoleh dari SIak, ini tidaklah akan
benar, karena jelas saja kontrak Bangko tidak untuk membayar utang darah Tanah
Putih yang terletak lebih ke hulu, sementara Daeng Puwarih berada di Bangko ketika
Daëng Basok tewas. Tentu saja, Sultan dalam pelaksanaan keputusan, harus
menggunakan persuasi dan konsultasi, dan bukan paksaan. Otoritas Kerajaan, seperti
itu dari sesepuh kekerabatan, harus bergantung bukan pada hukuman fisik tetapi pada
hubungan timbal balik dan saling kewajiban. Idealnya, raja harus memperlakukan
rakyatnya seperti kaum kerabat. Berkaitan dengan itu, tentu kita dapat mengingat
bagaimana Raja Kecil yang menghimpun pasukannya, tidak hanya berdasarkan plakat
dari Raja Pagaruyung, melainkan berdasarkan kapabilitas personal; kemampuan yang
muncul dari kharismatik yang dimilikinya, sehingga orang-orang menjadi pengikut
yang berada dibawah kekuasaan dan mengikuti apa yang diperintahkannya. Seperti
sebentuk lembaga sesepuh “Orang Besar” yang merupakan dasar dari pemerintahan
desa, bisa saja pada suatu kesempatan didominasi oleh individu tunggal, terutama di
masa krisis. Untuk mencapai dan mempertahankan posisi ini orang tersebut jelas
memerlukan untuk memiliki kemampuan luar biasa yang akan memperoleh ketaatan
dari rekan-rekan mereka. Bukanlah hal yang aneh jika kisah heroik seorang pemimpin,
juga ditopang kecerdikan ataupun kemampuan supranatural. Raja Kecil, memasukkan
kayu kedalam air asin dan berubah menjadi tawar dalam upaya menunjukkan bahwa
110

ia adalah sebenar-benarnya keturunan Raja Mahmud: Sultan Johor yang dibunuh


tahun 1699. Atau juga Sultan dari Jawa yang dipercaya memiliki kemampuan untuk
berkomunikasi dengan penguasa gaib dari pantai Selatan; dan tokoh yang
menurunkan raja-raja Jawa sendiri adalah orang biasa yang kebetulan minum air
kelapa dimana ada suara gaib, bahwa yang meminum air kelapa tersebut dalam sekali
alur, akan menurunkan raja-raja Jawa. Ilham, ataupun sebagai dianggap wahyu, akan
dapat diperoleh sesiapa pun hamba yang terpilih untuk melakukan peralihan
kekuasaan istana. Hal ini berarti, bahwa selalu terdapat kemungkinan untuk menjadi
raja bagi siapa saja; kalangan orang biasa, terlebih lagi dalam statusnya sebagai anak-
anak raja yang bukan ditetapkan statusnya sebagai pewaris tahta. Sebagaimana
terdapat dalam kisah-kisah intrik dikalangan istana, maka keberadaan paman, ipar,
ataupun perempuan istana, membuat kondisi menjadi lebih rumit. Seringkali
kedudukan raja junior, menghasilkan ketidakstabilan sebagaimana ditunjukkan antara
Tengku Putra sebagai Raja Muda dengan Sultan Ismail, sebagai Sultan. Kebingungan
ini, mengkondisikan sultan Ismail jauh dari sultan sebenarnya, ia tidak berkuasa
sebagaimana seharusnya; hingga ia akhirnya dijatuhkan oleh Kerapatan yang disetujui
Belanda. Halnya Tengku Putra, dipertahankan sebagai Raja Muda, hingga akhirnya
persoalan ketidaksepahaman dengan Belanda dan juga Sultan, mengakhiri jabatan
tidak hanya atas dirinya, melainkan juga jabatan Raja Muda itu untuk selamanya.
Dalam praktek, apapun kondisinya, sang penguasa haruslah terus-menerus
menampilkan keunggulan diri atas kompetitornya.
Misalnya saja ia menunjukkan kemampuannya untuk menahan sakit atau peragaan
ilmu magis belaka. Penguasa sama bisa menarik kekuatan dari hubungannya dengan
lainnya tempat kekuasaan penuh seperti gunung suci, lembah datar, rawa dipesisir
Sumatera bahkan bukit kecil melambangkan energi yang sangat besar yang melekat di
bumi. Bukit Siguntang di Sumatra Selatan adalah contoh bagaimana kisah awal mula
raja-raja Melayu bermula, sekaligus menunjukkan kaitannya dengan dunia
Semenanjung. Selain itu, komoditi yang termasuk dalam l”Larangan Raja” dapat
diklaim bahwa berbagai item-bezoar batu, cincin, dan khusus pakaian-dipercaya untuk
mewujudkan kemampuan supranatural. Senjata selalu dipamerkan dalam
penghormatan khusus, dan orang-orang penguasa sendiri, mampu membuat barang-
barang seperti yang dilihat, seperti pandai besi, sebagai orang tenaga yang cukup
besar. Dan juga secara arti sebenarnya, senjata sebagai alat untuk berperang, akan
memiliki nilai lebih ketika benar-benar digunakan untuk mengalahkan musuh; seperti
salah satu datuk di Siak yang dengan bangga menunjukkan keris yang masih terdapat
bercak darah orang Belanda yang dibunuh buyutnya dalam peristiwa Pulau Guntung.
Senjata, juga memiliki fungsi supranatural yang dapat menjadi kekuatan bagi
pemegangnya, pedang Sapuryaba yang dianugerahkan Penguasa Pagaruyung kepada
Raja kecil, telah digunakan dalam peristiwa hingar bingar di Johor pada bulan Maret
1718. Salah satu hal mendasar dalam mempertahankan kekuasaan, adalah
kemampuan untuk meminta dukungan kerabat; ini bisa menjamin penguasa pada
kelanggengan kekuasaannya, ini berarti, hilangnya setiap anggota dari klan kerajaan
111

merupakan suatu keprihatinan besar. Setelah kematian, tidak ada urusan kerajaan
dilakukan, sedekah dibagikan, dan raja berkabung secara terbuka di kuburan, kadang-
kadang selama berminggu-minggu. Sebagaimana di hulu sungai Rokan, pada saat
wafatnya sang raja, maka seluruh orang harus mengetahui berita ini, utusan pun
dikirim kepada penguasa Kepenuhan, Rambah dan Kunto, dan ini juga mengenai
pengenaan “toedoeng moeka.” 209 Ukuran utama keberhasilan seorang raja adalah
jumlah pengikutnya, Belanda sendiri mengatakan, "Orang-orang tertarik ke arah orang
yang paling berkuasa, disukai oleh karena keberuntungannya. Di daerah dependensi
ini, nampaknya jumlah penduduknya hingga menjelang akhir abad ke-19 sangat
rendah, kondisi yang berlaku umum di Siak, sumber daya manusia adalah sesuatu yang
paling berharga. Nampaknya, lebih mudah bagi hamba untuk menemukan seorang
tuan daripada seorang tuan menemukan hambanya yang setia. "Tanpa pengikut,
seorang raja tidak memiliki prestise atau kekuasaan. "Jika tidak ada rakyat," dalam
Kisah Melayu ataupun Hikayat, "siapa yang akan membuat penghormatan kepada
raja?" Sebagaimana dicatat oleh Rijn van Alkemade di Rantau Binuwang:
Bandahara dan Orang Besar lainnya dari sang pangeran, orang-orang
dikumupulkan dalam Balei, dimana Raja ditempatkan pada satu kain
berwarna kuning… , dan tulisan-tulisan dari Siri dibaca oleh salah satu dari
para Imam. Kemudian bandahara kepada orang-orang (sakalian orang dan
orang dagang di mana mana negri) diumumkan Soetan Dzènal sebagai Yang
dipertoewan besar, oleh orang diikrarkan tiga kali “Daulat Toewankoe”..
Jelaslah bahwa acara ini bagi masyarakat menyambut sang Raja.
Pemimpin heroik yang melegenda selalu dibedakan oleh kemampuannya untuk
mempertahankan pengikut, sehingga dapat dikatakan loyalitas pengikut tidak akan
mengkondisikan kekerasan terhadap sang raja; apatah lagi pembunuhan terhadap
raja; hampir-hampir perilaku ini tidak dikenal; di Jambi Belanda mengatakan bahwa
orang-orang bahkan tidak akan menggunakan kekuatan terhadap raja, apalagi terlibat
dalam tindakan kekerasan terhadap dirinya. Perbuatan kekerasan terhadap raja,
merupakan perbuatan “derhaka” yang sangat tercela. Sama halnya dengan perbuatan
sumbang yang merusak kedamaian, perbuatan “derhaka” terhadap penguasa,
dianggap akan mengalami akibat yang sangat berat. Pembunuhan Sultan Mahmud
tahun 1699, menjadi alasan pembenaran bagi sebahagian kalangan Johor untuk
membalas peristiwa pembunuhan tersebut dengan membelot mendukung Raja Kecil.
Dari keseluruhan rangkaian kisah ini, maka dapat dipastikan bahwa sebelum
kedatangan Eropa, terdapat jurang perbedaan yang besar antara konsepsi barat dan
Melayu dalam hal hubungan penguasa politik dan hubungan dengan hambanya.
Seperti yang berlaku di Sriwijaya, kekuatan memaksa lebih kepada ancaman atau
kutukan dari sumpah yang tertera di prasasti, merupakan metode ampuh untuk
membingkai luasnya wilayah mandala-mandala. Begitu pula raja-raja Melayu pewaris

209 Rijn van Alkemade, hal.38


112

Sriwijaya. Ketika kekerasan digunakan, maka sang hamba, akan dengan mudah
beralih kepada tuan baru, atau ia eksodus meninggalkan tuannya kedaerah lain yang
lebih permisif dan kompromis bagi dirinya. 210 Bahwa penting untuk memahami
sepenuhnya implikasi dari fakta bahwa raja-raja Melayu di Sumatera kekurangan
kekuatan memaksa sebagaimana rekan-rekan mereka di belahan benua Eropa.
Penguasa ini hanya tidak bisa mempertahankan posisi mereka di dependensi semata-
mata atau bahkan terutama melalui kekuatan. Meskipun keuntungan mungkin saja
adalah hasil dari kerjasama antara dependensi dan pusat yang nampaknya masihlah
jauh, ikatan yang dikembangkan tidak berarti tak terelakkan. Masyarakat dependensi
nampaknya melihat penerimaan raja pusat jauh sebagai bersyarat, dan mereka
menjadi "hamba" hanya sejauh mereka setuju untuk menganggapnya sebagai tuan
mereka. Begitu penetrasi ekonomi kolonial dimulai, para pemodal asing datang
membawa harapan akan sumber daya, penguasa tradisional di hulu bisa saja segera
bersiap untuk terlibat meskipun dengan penggunaan senjata. Kekerasan yang terjadi
antara Kota Intan di hulu sungai Rokan dan Siak adalah contoh betapa penetrasi modal
kolonial telah merubah hubungan tradisional antar politi Melayu. 211 Bahwa raja
pusat, bersiap dalam upaya pengetatan sumber daya kekayaan mereka, dipusat atau
dependensi, bahkan diwilayah-wilayah pedalaman. Sementara itu, Eropa sudah jauh
melompat dalam rentang kemajuan peradaban; mereka telah menggenggam dunia
dalam tangannya. Lompatan ilmu pengetahuan memungkinkan mereka lebih siap,
tidak hanya dibidang militer, melainkan juga pengetahuan yang memungkinkan
eksploitasi lebih luas dan dalam terhadap sumber daya. Selain itu, dapat dipastikan
perubahan besar dengan bergesernya iklim politik yang telah dimasuki kapitalisme-
kolonial, maka, bentukan tatanan masyarakat yang mengikut ruang-ruang budaya dan
lokalitas beserta faktor kepemimpinan disini jelas-jelas tergerus oleh penetrasi
kekuasaan penjajahan yang tidak pernah puas, dan dapat dipastikan pula situasi
benar-benar berubah, tidak lagi sama seperti ketika Eropa belum tiba disana.

Struktur Kekuasaan Lanskap


Situasi Menjelang Akhir Abad ke-19
Sebagaimana diketahui, bahwa pada tahun 1887, berlangsung reorganisasi
pemerintahan di pantai timur Sumatra, dan lokasi kepala pemerintahan daerah pun
dipindahkan ke Medan. Siak ditempatkan di bawah Asisten Residen Bengkalis dengan
ditambahkan pula penempatan tiga kontrolir; untuk pengelolaan onderafdeeling di

210 Netscher, mengemukakan bahwa akibat pertikaian antara Sultan dan Tengku Putra,
mengakibatkan eksodusnya sebahagian populasi diseputaran wilayah konflik, atau kebijakan-
yang dilakukan penguasa di Indragiri, menyebabkan hal yang sama.
211 Konflik antara Kota Intan dan Siak berkaitan dengan konsesi di lanskap Tapung. Lihat

Hendraparya, dalam “Riau Daratan: dari darat sampai pesisir,” tahun 2015.
113

Bengkalis, Siak dan Tanah Putih (Staatblad 1887, No. 21). Pada tahun 1885, anak
tertua Sultan; Tengku Muda Anom; sebagai penerus sultan, menikah dengan putri
seorang raja muda RIAU. Sebelum tahun 1887; dilimpahkan kepadanya berdasakan
pengamatan Dewan karena sakitnya Sultan. Terbetik berita, bahwa forum seperti ini
tentunya tidak memuaskan. Seperti Mangkubumi; Tengku Putra, berbagai keluhan
menyebabkan sang sultan mengambil tindakan terhadap dirinya. Dewan Negara
(Kerapatan) kini telah diinvestasikan sementara dengan otoritas sultan, dan sebagai
kepala, ditunjuk atas usulan rijksgrooten; Tengku Ngah Said Hassim, anak bungsu
Sultan. Pada tanggal 21 Oktober 1899, Sultan Sharif Kassim wafat. Sebagaimana hari
sebelumnya, para rijksgrooten telah memilih Tengku Ngah sebagai penggantinya.
Sebelumnya, sebagaimana kisah penjajah dinegeri koloninya, maka Belanda selalu
mengajukan pembaharuan kontrak untuk menggantikan kesepakatan sebelumnya
yang terus saja mereduksi kekuasaan tradisional Sultan; seperti menggantikan item
yang terdapat dalam perjanjian 1858. Salah satunya, adalah menghapuskan jabatan
rajamuda (Onderkoning). Pada tanggal 25 Oktober 1890, dilakukan penunjukkan
sultan baru yang disahkan pada 7 Januari 1891. Dan pada hari yang sama, juga
disahkan sebuah kontrak politik. Bahwasanya menurut kontrak politik tertanggal 25
Oktober 1890, diberikan suatu definisi baru, berbeda dengan perjanjian Februari
1858, terutama menyangkut hal-hal berikut:
bahwa ranah kerajaan Siak dihitung mulai dari lanskap Teratak Buluh; sebagai
wilayah dependensi dari kerajaan, disebutkan lanskap Tapung Kanan, Tapung
Kiri, Tanah Putih, Bangko dan Kubu; disebutkan tentang kepemilikan pulau-
pulau secara lebih akurat, akan tetapi tidak lagi meliputi pulau Bengkalis;
bahwa pemerintahan kerajaan Siak terdiri dari Sultan, empat Datuk Kepala
Suku dan Laksamana; pelaksanaan eksekusi (hukuman mati), hanya berlaku
dengan izin dari residen; pengaturan wilayah untuk orang-orang non pribumi
dan batas hukum wilayah Hindia; kontrak diberlakukan sesuai dengan
konsepsi baru dari pemerintah; pemerintah Hindia dapat menolak orang
untuk bermukim diwilayah Siak sepanjang dianggap membahayakan
keamanan umum; pengaturan dan polisi pelabuhan menjadi wilayah yuridiksi
pemerintah Hindia; Sultan dan rijksgrooten berkontribusi terhadap
kepentingan bea dan pajak terhadap pemerintah Hindia di semua wilayah
bagian mereka, dan dilakukan sebagaimana perjanjian sebelumnya, yang
belum dilakukan;
Mengenai yang terakhir itu, dikecualikan hak-hak tradisional Sultan:
1)“Barang Larangan;” Hak sultan atas “Barang larangan,” atau sebagai hak
prerogatif kerajaan untuk dapat memiliki yang dikandung oleh kekayaan
alamnya yang dianggap sebagai komoditi “mewah.” Hamba mengumpulkan
benda-benda yang termasuk dalam kategori barang larangan, sejauh itu,
menyerahkannya sebagai penghormatan kepada sultan. Sultan kemudian
memberi imbalan hadiah atau persalinan, biasanya terdiri dari satu set
pakaian. “Barang larangan” seperti gading, (gajah), sumbuh badak (tanduk
114

badak), goeliga (Bezoar-batu), gaharoe meroepa, dan lainnya, sampai batas


tertentu adalah; kamper. Sumbuh badak umumnya dipandang sebagai
perlindungan terhadap kecelakaan dan sebagai obat untuk racun dan gigitan
ular. Guliga adalah batu yang terdapat di dalam perut seekor landak, yang
sangat spesifik dan berlaku di hulu Mandau. Terdapat hak-hal tertentu yang
terkadang menyebabkan benda ini bernilai hingga ratusan dolar. Gaharu
merupa berbentuk tidak teratur sebagaimana sepotong dahan gaharu, dan
juga dalam pencahariannya terkadang ditemukan juga beberapa jenis kayu
dupa. Begitu pula halnya dengan Kamper, yang menuntut otorisasi raja;
2)Tapak Lawang; adalah sejenis sewa tanah, bahwa penduduk dipungut oleh
panghulu yang di daerah mereka ingin pembukaan tanah dan penanaman,
sejumlah 10 gantang padi per ladangnya;
3) Pancong Alas; dipungut oleh panghulu, yang datang untuk mengumpulkan
hasil hutan di daerah mereka, untuk sejumlah 10 persen dari nilai;
4) Hasil Tanah atau sewa tahunan, diatur dalam penerbitan surat tanah atau
mijnbouwconcessiën;
5) Sewa hasil hutan atau konsesi Sungei Rawah dan Kota Boeroek. 212
Kekuasaan Sultan secara tradisional adalah membawahi para Datuk, dan Datuk
membawahi para Penghulu. Ditiga kenegerian dihilir Rokan, masyarakat terdiri atas
suku; dan yang mengetuai suku adalah Kepala Suku dimana pengangkatannya
dilakukan oleh Sultan Siak dan mereka menerima penganugerahan gelar.

Adapun masyarakat TANAH PUTIH terbagi menjadi suku: Melayu Besar, Melayu
Tengah, Mesah dan Batu hampar. Masing-masing suku memiliki Datuk hingga kepala,
dan lagi di bagian-bagian yang lebih tua, Hinduk yang terbagi dan dipimpin oleh
seorang tokoh; Tongkat. Hanya tiga suku memiliki Oetan tanah; adapun suku Batu
Hampar tidak. berkemungkinan suku ini awalnya terdiri dari imigran, akibatnya;
mereka tidak memiliki pancong alas, atau hasil tanah; sebaliknya, mereka harus
membayar kepada suku lainnya, jika mereka memungut hasil hutan atau ladang.
Oetan tanah tidak termasuk dalam tiga suku secara keseluruhan, tetapi masing-
masing anggota memiliki bagiannya dalam warisan. Pemilik dari perantauan ini
berhak atas pancong alas dan hasil tanah disana karena, disediakan, bagaimanapun,
bahwa tongkat yang bebas dari pajak; bebas, di perantauan itu anak induk dan Datuk
di sukunya. Kedua, sebagai adat, orang-orang dari Bangko dibebaskan bea atas rotan
yang berasal dari Tanah Putih, dan sebaliknya, bahwa di Tanah Putih dibebaskan bea
atas atap yang berasal dari Bangko. Suku Melayu besar terbagi menjadi 4 induk dan
3 Tongkat; Melayu tengah atas 2 induk dan 1 Tongkat; Mesah di 2 hinduk dan 1
Tongkat; Batu Hampar dalam 3 Induk dan 2 Tongkat; Dimana Datuk sendiri adalah
merupakan Kepala induk. Suku Mesah pada saat itu tidak memiliki tongkat; Datuknya
dipecat oleh Mangkubumi, dan mantan Tongkatnya, Badu: didudukkan dijabatannya

212 Geschiedenies Sumatra Oostkust, 1919. hal.60-61


115

itu. Sebelumnya, Tongkat bukan merupakan instrumen pengangkatan, akan tetapi


di tahun 1878, oleh Mangkubumi diberikan terhadap mereka, ketika mereka datang
untuk merayakan pesta di Siak(?) Martabat Datuk atau tongkat turun dari ayah ke
anaknya, tetapi hanya jika ia adalah putra dari seorang Toekoe atau hindoek. Bukankah
dalam tradisi, lazim didapati anak begitu patuhnya dan martabat mengikuti garis
kemenakan. Begitu juga hukum warisan sebagian besar untuk anak-anak, tapi
sebagian tetap untuk kemenakan. Tongkat memiliki hak mereka, anak hinduk, untuk
menghukum hingga sebesar $10, sementara Datuk dapat mengenakannya ke anak
Toekoe denda sejumlah $20; Untuk denda sebesar $20 - $40, ditentukan oleh para
Datuk tersebut. Issue atau masalah yang lebih besar, dibawa ke Kerapatan Siak. Akan
tetapi Datuk di Tanah Putih mengeluh, bahwa meski suatu urusan yang bisa ditangani
dengan sangat baik di tingkat lokal, tetap saja ditarik ke kerapatan, sehingga mereka
kehilangan segmen. Hasil dari denda didistribusikan oleh Datuk dengan mereka
tongkat itu: suku Melayu Besar mendapatkan sendi (3) tongkat itu sebanyak setengah
bagian, dan suku lainnya, mereka menerima sepertiga. Bea impor dan ekspor, cukai,
bea lainnya, sejumlah $400 berasal dari Datuk; "Sebelumnya, dikumpulkan oleh
Tengku Kelana untuk; Tengku Mak Ingrun, sejumlah $800 untuk hak sewa. Pada tahun
1882, Mangkubumi menyerahkan hak kepada Eropa di Bengkulu untuk sejumlah
$1200, dan atas orang China di Singapura, telah dilakukannya dengan memperoleh
keuntungan sebesar $200. Dengan cara ini, Mangkubumi telah memenuhi
kewajibannya untuk menyerahkan kepada para Datuk sejumlah $400 per tahunnya,
dimana Mangkubumi telah memenuhi kewajibannya $400 setiap tahun untuk para
Datuk, dari sisi yang lain ternyata situasi ini berulangkali melahirkan keluhan. Karena
hak sewa untuk setiap orang Eropa, dimaksudkan dapat dilakukan dengan lebih baik,
sejak kontrak ditandatangani, sejumlah $400 langsung dibayarkan kepada penerima,
dimana dari sejumlah $400; Datuk Melayu besar memperoleh 2/5 bagian atau
sejumah $160, dan tiga orang lainnya masing-masing 1/5 bagian atau sejumlah $80.
Yang pertama perolehannya sejumlah $160 atau ¼ atau $40 lagi untuk tongkat
utamanya, Lela Raja, sehingga ia sendiri menikmati hanya sebesar $120. Datuk
Melayu Besar seharusnya mendapatkan lebih banyak, Karena dia memiliki sejumlah
besar anak buah. Jumlah keluarga punggawanya diduga sekitar 150 keluarga,
sementara yang lainnya; Melayu tengah dan Mesah masing-masing sekitar 25
keluarga, dan Batu hampar sekitar 35 keluarga. Secara keseluruhan Tanah Putih
memiliki sekitar 250 keluarga, sehingga jumlah total mencapai 12-1500 jiwa. 213
Kepala Suku Malayu Besar menerima porsi pendapatan terbesar yaitu 2/5 bagian,
sementara kepala suku lainnya menerima 1/5 bagian. Kepala Suku Malayu besar
memiliki tiga pembantu (Tongkat): satu dari suku Malayu Tengah dan dua dari suku
Batu Ampar. “Tongkat” ini dahulunya ditunjuk oleh Kepala Suku, dan memiliki gelar
Datuk. Pada era Mangkubumi, tidak sesuai dengan adat, mereka ditunjuk oleh
Mangkubumi. Kecuali berbagi hak sewa, penghasilan kepala suku terdiri dari denda,
sewa (tapak Lawang) dan sepersepuluh dari hasil hutan (pancong alas), suksesi akan

213
Hijman van Anrooij, hal.384-5.
116

berlangsung pada cara sama seperti yang dilakukan di Bangko. Melalui pengaruh
Tengku Mangkubumi dan anaknya Tengku Mansur yang tinggal di Tanah-Putih,
sebagaimana catatan Belanda diduga terjadi pelanggaran hak-hak Kepala Suku
setempat, yang menyebabkan ketidakpuasan besar, seperti, menurut hukum adat
bahwa tanah dan kepala hanya tunduk terhadap tuan mereka; Sultan Siak. Selain itu,
terdapat pula kewajiban memasok persembahan tahunan (hadiah) dalam bentuk
tunai, Beras, kelapa, dan lainnya. Catatan pengamat nampaknya lebih cenderung
untuk menampilkan keberlangsunggan mal administrasi di negeri Tanah-Putih;
dimana seharusnya tidak seperti itu; untuk diakhirinya semua pelanggaran hukum,
bahwa kemakmuran negara dikorbankan untuk hanya kepentingan aneh penguasa.214

Di BANGKO, pemberian gelar kepada kepala kenegerian; Datuk Bangko, adalah Indra
Pahlawan, yang mewakili Sultan Siak dan bermukim di Bantaian.215 Hingga akhir abad
ke-19, anak hasil pernikahan mengikuti suku ibu, membicarakan suku berarti bahwa
fungsi di atas diturunkan ke saudara laki-laki atau anak-anak saudara perempuan, tapi
karena perkawinan dalam suku sendiri tidak dilarang, juga dapat terjadi bahwa dalam
hal itu anak akan mengikuti garis ayah. Rijn van Alkemade berspekulasi bahwa hal ini
merupakan pengaruh dari menangkabau, meskipun adat Minangkabau tidak secara
tegas diterapkan. Lebih kehilir dari Bantaian, terdapat lanskap Labuhan Tangga; nama
yang berasal dari nama Sungai dan berjarak sekitar dua jam berlayar dari Bagan Api-
Api. Dikatakan sebagai adik dari ibu sang Datuk Bangko; hadir di sana dan dipimpin
oleh Orang Kaya Jalil, terdapat sebidang tanah yang diberikan sebagai hadiah oleh
Sultan kepada mereka untuk menetap di sana, Rijn van Alkemade mengatakan bahwa
ini diperkuat dengan bukti tertulis pengangkatannya; Orang Kaya Jalil sebagai kepala.
Nama Labuhan sendiri menunjukkan bahwa di situ adalah tempat yang cocok untuk
berlabuhnya perahu. Dalam hak usaha kecil dimaksud dibicarakan Orang Kaya Jalil
yang urusannya dibantu oleh saudaranya Abas dan adiknya Ma Jewa. Sungai Labuhan
Tangga dapat dilalui, akan tetapi hanya saat permukaan air berada pada kondisi
tertinggi (air pasang). Kepala Bangko pemerintahannya terdiri dari 6 tongkat. Mata
pencaharian penduduknya terutama dari perladangan dan penangkapan udang, yang
terakhir ini ditemukan dalam jumlah besar di kawasan pantai lanskap, akan tetapi
tidaklah signifikan, berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh sekitar 400 sampai 500
orang China di kampong Bagansiapiapi, yang telah sangat disibukkan dengan hasil
tangkapan ikan dan udang. Produksi tangkapan (udang) tersebut dikeringkan, sebagai
sebuah bisnis yang baik – dijadikan sebagai belacan. Tanah di Bangko dibagi di antara
berbagai hinduk dengan Datuk. Mereka datang sebagai hasil dari hukum dan pancong
alas yang sayangnya, pada saat kedatangan Eropa kesana, masih jauh dari hasilnya.
Akan tetapi, diyakini bahwa dimasa silam, mereka menikmatinya. Dan kemudian,

214
Hijman van Anrooij, hal.374.
215Berdasarkan catatan Baalbargen, 1931, lokus ibukota kenegerian Bangko di Bantaian,
berdasarkan perpanjangan kontrak 1 Januari 1910, berlokasi di Bagansiapiapi(?).
117

pendapatan Sultan dari sungai Bangko diberikan untuk mengamankan Hadji Math Seh,
ayah dari seorang selir Sultan, saat itu ia diserahkan hak pancong alas dari semua
produk hutan yang berasal dari Sungai Bangko, dan juga dari semua yang terkumpul
di sana, maka sejumlah $25 (yaitu sekitar 40% dari nilai) akan diserahkan kepadanya.
Sungai Bangko, yang bagaimanapun juga memiiki banyak pohon bakau, saat ini telah
menjadi begitu baik. Selanjutnya, Sultan dengan kebijakannya untuk mengamankan
seorang Bugis, Daëng Puwarih, hampir terjadi di semua tanah dan bagian lain dari
Bangko telah diberikan kepadanya. dikatakan bahwa Daeng akan memiliki hak
eksklusif perdagangan nibung dan atap-nipah di Sungei Raja Bejamu dengan sekitar
20 orang pengikutnya. Selain itu, semua pohon baru (seperti halnya pancong alas)
dari Sungai Sinaboi (perbatasan dengan Dumai) sampai sungai Suwasa besar yang
diserahkan kepada Daeng, dan “kendala alam” lainnya kepada penduduk Bangko
sendiri. Bahkan pada anak-anak negeri, ketika mereka ingin mengirim atap-nipah
atau nibung ke Deli atau di tempat lainnya, mereka harus membayar 10% bea
pancong alas untuk mantan tentara Bugis tersebut.216 Di tempat ketiga, hak Sultan
untuk mengamankan Hadji Mohamad Noer sejumlah $250 untuk hak eksklusif, hak
sewa untuk apa yang disebut dengan “pucuk nipah kering” (daun nipah yang belum
matang, yang dikenal dengan “strootjes” (untuk pembungkus sigaret) yang dibuat oleh
penduduk asli) yang bahannya sangat dicari dan dibayar dengan baik, terutama di Deli.
Haji Mohamad Noer. Ia membawa kargo pucuk nipah ke Deli, dan sesampainya di
Kwala di sungai Deli, saat itu sedang terjadi wabah kolera, sehingga ia dengan terburu-
buru saja kembali ke Bangko. Sayangnya, ternyata ia tidak bisa bertahan hidup.
Pendapatan sah kepala Bangko secara keseluruhan adalah pancong alas, kecuali
sialang, yang sebahagian hasil denda dicabut dari mereka. Tongkat dapat menghukum
mereka dengan tanggungan hingga sejumlah $10, dan "Datuk bisa melakukannya
sampai $20. Menurut adat di Bangko, bahwa semua denda yang diterima oleh Datuk,
setengah darinya diperuntukkan bagi dirinya sendiri. Sementara setengah lainnya,
umumnya berada di bawah Tongkat itu. Apakah itu benar, seperti halnya keluhan
Tongkat, bahwa denda yang diterapkan Datuk tidak menghasilkan apa-apa untuk
mereka, tidak dapat dikomunikasikan. Akan tetapi, Belanda menolak keluhan itu,
dirasakan sebagai tidak mungkin terjadi. Salah satu biaya lainnya terhadap
penduduk Bangko, pengiriman tapak lawang kepada Sultan, menjadi 10 Gantang beras
per rumah tangga. Sebelumnya mereka membayar atas hasil ladang yang terdapat di
Bangko, sebagai pajak atas tanaman padi (bunga padi). Bahwa kemudian oleh Tengku
Ngah - anak sultan, dikenakan pajak atas nama ayahnya. Sebelumnya Jare dapat
ditemui tersebar diladang diseluruh negeri, dimana terdapat perintah bagi masyarakat
untuk kembali ke desa. Mungkin untuk mengumpulkan pendapat penduduk di
kampung, tidak diragukan lagi bahwa saat-saat itu, sangatlah buruk dengan dipilihnya
tujuan ini disebabkan penduduk telah menyiapkan ladangnya hanya untuk

216 Hijman van Anrooi, hal.386-7.


118

penanaman padi. Akan tetapi, perintah tertinggi tidak mentolerir adanya penundaan,
sebagai alibatnya, bahwa hampir seluruh penduduk Bangko diharuskan menanam
jare, sehingga tidak lagi terdapat penanaman padi hingga periode 1880-an. Realita ini
dilaporkan Belanda sebagai suatu ketidakwajaran; bahwa penduduk telah terlalu
lama dieksploitasi, tentu akan tetap di lanjutkan dengan pemerintah Hindia sendiri
menjaga jarak untuk tidak terlibat masalah. Dikatakan ini adalah adat, bahwa orang-
orang dapat berdiam di rumahnya dan kemudian membayar sampai $5 per kepala.
Dan bantahan atas tuduhan ini, adalah sebagai biaya bagi kehadiran dalam perayaan
ditahun 1880. Tengku Ngah mengambil langkah-langkah tersebut di Bangko
sehubungan dengan Tapak Lawang; untuk menyatukan kampung penduduk, ia juga
telah ditahbiskan di Kubu, sementara tentu saja penduduk setempat, serta orang-
orang dari Tanah Putih, telah disebutkan hal itu berkaitan untuk perayaan. Akan
tetapi, penduduk sebagaimana disebutkan, didapati berada dalam suatu kondisi sulit
akibat berjangkitnya wabah kolera yang belum mereda; dan ini tentu berdampak
pada kontribusi moneter atas tiga lanskap itu.217

Masyarakat KUBU awalnya terdiri dari tiga suku sebagai berikut: Suku Hamba Raja,
yang berasal dari Johor; Suku Rawa, yang berasal dari Rau; dan Suku Haruh; yang
berasal dari Haru. Kepala masing-masing tiga suku ini adalah seorang Datuk. Datuk
dari suku Hamba Raja dan suku Rawa masing-masing memiliki tongkat di antara
mereka sendiri; Sedangkan Haru tidak. Selain dari tiga suku yang telah disebutkan,
terdapat suku keempat, yang dinamakan dengan Suku Bebas. Sebahagian Suku ini
terdiri dari orang-orang asal Siak, dan sebagian lain anggotanya dari tiga suku lainnya,
yang keluar dari suku mereka sendiri, karena perselisihan atau karena alasan lain.
Mereka tidak memiliki Datuk, akan tetapi disertai dengan empat panghulu, kepala,
yang masing-masing memiliki bawahan mereka sendiri. Orang bebas dianggap berada
langsung dibawah Sultan Siak; kepala suku mereka dinamakan sebagai “Mata-Telinga”
dari Sultan Siak(Alkemade). ketika mereka datang ke Siak, mereka sebagai bagian
Hamba Raja Dalam; bahwa kelompok ini berasal dari pengikut RajaKecil. Sebagaimana
telah disampaikan, Raja Kecil menjadikan Kubu sebagai salah satu basis pendukungnya
dalam melakukan invasi ke Johor, melakukan petualangan bersama, hingga
mendukung Raja Kecil mencapai tahta Johor. Wajar saja, bila kedudukan Hamba Raja
Dalam ini, secara umum lebih baik dalam stratifikasi masyarakat Siak. Selain di Kubu,
Hamba Raja Dalam juga ada yang bermukim di sepanjang tepian sungai Siak, dan
bahkan sebahagian besar bermukim disekitar kediaman Sultan. Kepala mereka, Datuk
yang bergelar Maharajadewa, menikmati penghasilan f1000 pertahun dari Sultan. 218
Adapun Oetan tanah di Kubu milik dari tiga suku; dimana setiap suku atau induk
memiliki bagiannya sendiri. Dengan maksud untuk terjadinya suku behau tak usah
dikatakan, supaya mereka tidak menguasai oetan tanah. Menjelang akhir abad ke-
19, meskipun masyarakat Kubu berkaitan dengan Johor, dapat kita amati bahwa di

217 Hijman van Anrooi, hal.387-9


218
Hijman van Anrooij, hal.389-390.
119

sini juga terdapat pengaruh adat menangkabau, akan tetapi, di sini suku anak-anak
berasal dari ayah, atau mengikuti ayah. Untuk kelompok suku di Bangko, terlihat
bahwa di sini pengaruh Minangkabau telah berkurang. Penghasilan lainnya dari para
Kepala Suku adalah dapat dilihat pada contoh dari pada Datuk Bangko yang telah
ditetapkan. Kepala Suku-Hamba Raja, meskipun ia memiliki penghasilan khusus,
tetapi yang pertama di pertimbangkan adalah yang berada di bawah para kepala suku.
Terhadap Sultan Siak, orang-orang Bangko dan Kubu wajib memenuhi panggilan untuk
datang ke Siak dan memberikan layanan mereka, baik untuk perang atau untuk
membuat Benting jalan, adalah hak Sultan jika itu memang diperlukan, dan dilaporkan
masing-masing rumah tangga dibebani lima dolar untuk biaya perbaikan. Akan tetapi,
Sultan, bagaimanapun, memilih tidak menggunakan hak-hak ini, oleh Sultan, mereka
diberkahi dengan penghasilan yang berasal dari Bangko dan Kubu, memiliki hak sewa
dan kompensasi atas sumber daya. Pendapatan yang dimiliki Datuk dari Kubu;
pancong alas dari dalam hutan, dimana mereka mengumpulkan hasil hutan, di
samping bagian mereka atas denda yang dikenakan. Tongkat, memperoleh juga hasil
dari denda yang dikenakan. Tongkat dapat memberikan hukuman sejumlah $20
sampai dengan $ 1,0, dan Karapatan bersama-sama dengan Datuk, juga penghulu
bebas yang turun (tapi bersama-sama mewakili satu suara) senilai $60. Untuk hal-hal
yang lebih besar akan ditetapkan di Karapatan Siak. Retribusi dari beberapa hak yang
terletak di Kubu dimana terdapat komunitas China di Penipahan, digunakan oleh
kapiten China di Bengkalis sebagai hak sewa senilai $450 pertahun, sedangkan
Bagansiapiapi dalam komplotan dengan kongsi-kongsi Singapora diberikan untuk
$2800 pertahunnya. Datuk mengklaim, bahwa mereka sebelumnya memiliki hak
untuk untuk menangani bea pajak ikan tangkapan sebesar 1 real ($ 0,20) per pikulnya,
sementara saat itu, tidak hanya bahwa hak-hak mereka telah dirampas, bahkan
tanggungan mereka sejumlah lima persen dari ikan yang ditangkap oleh penyewa
terpaksa dilepaskan. Untuk klaim yang satu itu, beserta yang lainnya, sayangnya
ditolak oleh pihak Siak. Tentang Tapak Lawang dipungut oleh Tengku Ngah, serta pada
kebijakan yang diambil oleh putra raja Kubu, sudah dikomunikasikan. Ini masih akan
dapat ditambahkan, dimana keturunan Raja beberapa kasus bersedia untuk membuat
kunjungan terakhirnya ke Kubu, untuk beberapa pelanggaran kecil dikenakan denda
sebesar $60. Ketika pelakunya mengajukan banding ke Karapatan ke Siak, denda
dikurangi menjadi $20.219 Memasuki abad ke-20, pengaruh Pemerintah Hindia
terhadap organisasi asli Siak, semakin dalam saja, dan mulai diterapkan, bahwa
lanskap di sini, Belanda memahaminya sebagai pemberian waktu yang lebih baik yang
akan segera tiba; dan bahwa orang-orang yang tinggal di sini pun akan segera dapat
menikmati kemakmuran yang dikatakan oleh penjajah bersumber dari eksploitasi
sumber daya alam dimana negara bisa mendapatkannya; dan tentu terutama
menguntungkan Eropa. Akan tetapi, dengan sifat perekonomian kolonial yang
dualistis itu, benarkah kehadiran Belanda ini sebagaimana diklaimnya memang
memakmurkan anak-bumi di lanskap pesisir sungai Rokan? Selain itu,

219
Hijman van Anrooij, hal.389-390
120

Kolonialisme Eropa dalam satu titik tertentu, telah menyebabkan terhentinya


evolusi masyarakat yang dijajahnya; 220
Reorganisasi pemerintahan versi Belanda sebagai bentuk “pembunuhan” evolusi
pemerintahan asli ini, mungkin teramat mencolok dengan tereduksinya kewilayahan
Sultan ditahun 1915-1916, semakin menyempit saja kewilayahan onderafdeeling
bersama empat onderafdeeling lain. Selain itu, sebelumnya penetapan kewilayahan
kenegerian dari bentuk tradisional menjadi hanya bentuk “onderdistrick,” atau sub-
distrik, penyatuan komunitas-komunitas tradisional dalam kewilayahan distrik dan
sub-distrik, tentu memiliki konsekuensi-konsekuensi hilang dan lenyapnya kekuasaan
dan kewenangan yang dimilki perangkat lanskap dalam batasan tertentu. Dan ini
berarti, evolusi terhenti, atau setidaknya berubah arah dalam derajat yang mungkin
Belanda sendiri tidak mengetahuinya sebatas kepentingan-kepentingan imperialis-
kapitalisnya saja. Dapat dikatakan, sebelum mapannya administrasi pemerintahan
kolonial Belanda di hilir sungai Rokan, posisi “raja-lokal” sebagai kepala lanskap
diketahui merupakan pucuk dari tatanan kepala penduduk asli, yang dilengkapi
dengan berbagai gelar.221 Pendapatan (penghasilan) mereka, meskipun sangat acak,
terutama berasal dari hutan dan juga denda; akan tetapi, periode ini juga dituding
Belanda sebagai masa yang penuh dengan penyimpangan seperti penyitaan properti;
Sebagaimana telah disampaikan, telah diatur oleh Sultan mengenai pendapatan para
pemimpin suku menurut daerah (rantau). Struktur sosial di hilir sungai Rokan yang
terdiri dari suku, hinduk, dan juga tongkat dimana keseluruhan komponen sosial ini
memiliki perannya masing-masing. Pada masing suku, terdapat hinduk yang ditunjuk
dari yang tertua; bertugas membantu kepala suku. Kepala suku yang tertua, 222
memimpin negeri dengan posisinya yang juga sebagai Hakim Polisi, 223 dibantu oleh
tongkat. Suku-suku lainnya, terbatas kewenangannya pada anak buah. Dalam
menangani suatu perkara, putusan tidak hanya ditetapkan hakim polisi sendiri saja,
melainkan dengan kepala suku yang bersangutan berperkara. Meskipun demikian,
hakim polisi dan para kepala suku memiliki kewenangan yang terbatas dan dalam
perkara tertentu, Sultan dapat menetapkan untuk dilakukannya kembali proses
peradilan, kepada kerapatan atau kepada diri sultan sendiri. 224 Selain itu, telah dilihat
juga kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh orang-orang besar di kenegerian,
mulai dari datuk hingga kepala hinduk, yang akhirnya situasi ini, sebagaimana
disampaikan, mangalami perubahan seiring kebijakan reorganisasi yang diterapkan
pemerintah kolonial. Reorganisasi ditahun 1915-16 dianggap sebagai suatu

220 Ankie, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, 1986, hal.169-190.


221 Boudewijen van Duuren, `1934, hal.9-10.
222
Di Bangko, maka terdapat Datuk Dewa Pahlawan sebagai kepala Suku Tujuh Hinduk; di Tanah
Putih terdapat Datuk Setia Maharaja kepala Suku Melayu Besar atau Paduka Meraja Lela kepala
Suku Melayu Tengah; sementara di Kubu adalah Datuk Jaya Perkasa kepala Suku Rawa atau Datuk
Raja Indera Setia kepala Suku Hamba Raja.
223 Sebagaimana terdapat pada Baboelkawaid, Bab yang kedua, pasal 5, 6 dan 7, tahun 1901.
224
Sebagaimana terdapat pada Baboelkawaid, Bab yang ketigabelas pasal 1, 1901.
121

kelanjutan dari perubahan pajak raja di tahun 1908, dan ditahun 1909 mulai
dikenalkannya “Oeang Kerahan” dimana pengumpulannya diserahkan kepada kepala
suku dan kepala hinduk. Pendapatan ini yang awalnya diterima sebesar 8 persen, dan
kedua sebesar 5 persen; pembagian ini datang dari kaki-Kepala suku itu. Oeang-
kerahan awalnya sejumlah f2,50 diterapkan terhadap penduduk laki-laki, dan
kemudian meningkat menjadi f3. Sebagai konsekuensi reorganisasi 1915-16 itu,
diidentifikasinya seluruh kepala suku dan induk, oleh kontrolir, sebagai kepala distrik
didudukan orang setempat yang dirasa cocok dari kepala kampung; 225 Penempatan
kepala di distrik utama, merupakan seorang wakil Sultan yang tunduk kepada
Kerapatan; sebuah kekuasaan yang terbatas. 226 Posisi ini, Sultan mengangkat dan
memberhentikannya sesuai dengan rekomendasi pejabat Binnenlandsch Bestuur. 227
Selain itu, tiga orang kepala negeri(sub-distrik) dan seorang Letnan China memperoleh
penghasilannya sebesar tiga persen dari hasil pengumpulan pajak. Aturan itu,
dikecualikan untuk orang-orang Tambusai, dimana adat suku masih sangat kuatnya,
sehingga pengaruh terhadap penghulu masih dalam wilayah teritorial mereka,
terutama penghulu pucuk utama yang senior, dimana masih diberlakukan gelar Datuk.
228

225 vgl.dezz.geheim Higenhandig Schrijven ddo. 28 Agustus 1934 no.23.


226
Phenomena ini juga ditambahkan dengan penghapusan Pancung Alas pada 1929.
227 Sebagaimana diketahui, sistem pemerintahan daerah Binnenlandsch Bestuur merupakan

bahagian dari Bestuur ter Plaatse yang ditetapkan melalui Ind.Stb.1866 Nomor 127.
228
Baalbargen, MVO van Bagansiapiapi, 14 Mei 1931, hal,41.
122

5
Sejarah Perikanan Bagansiapiapi
Kajian tentang industri perikanan Bagansiapiapi, telah dimuat dalam bentuk laporan
ataupun artikel, dimulai dari A.G.Van Der Land229, A.L.J.Sunier dengan dua artikel:
yang pertama adalah “Nog Eens de Vischindustrie te Bagan Si Api-Api”230; kemudian
“Nawoord over de Vischindustrie te Bagan Si Api-Api,”231 penulisan tentang industri
perikanan Bagansiapiapi yang dilakukan kontrolir Bagansiapiapi(1915-1917) B.J.Haga,
dalam “De Economist”, “De Beteekenis Der Visscherij Industrie van Bagan Api-Api En

229 Artikel dalam Tijdscrift voor Hetbinnenlandschbestuur, 4p.,P.215-219, Tahun 1912.


230 Artikel dalam Tijdscrift voor Hetbinnenlandschbestuur, 4p.,P.44-56, Tahun 1913.
231
Artikel dalam Tijdscrift voor Hetbinnenlandschbestuur, 4p.,P.57-62, Tahun 1913.
123

hare Toekomst232” tahun 1917, dan terbit setahun berikutnya “Economische


Nalezingen en Berichten233”, CH Kampen234, Vleming235, Horsting,236 juga artikel
seperti termuat dalam INDIE Geillustreed Indisschrift Voor Nederland en Kolonien;
dengan tim redaksi Prof Dr.A.W.Nieuwenhuis, Prof.Dr.I.P.B.Dejosselin De Jong,
M.Joustra dan C.Clekkerkerker,237 Schipers238, Haderberg, Markus239, Bottemane240,
hingga Ph.Jordaan. 241 Adapun Studi ataupun penulisan tentang Bagansiapiapi di era
kontemporer mengenai sejarah perikanan Bagansiapiapi juga telah dilakukan,
terutama oleh Jhon G Butcher, melalui “The Salt farm and The Fishing Industry of
Bagansiapiapi” Tahun 1996242; yang banyak memberikan informasi mengenai kondisi
keterkaitan antara garam dengan melimpahnya produksi ikan Bagansiapiapi.
Kemudian Azmi Fitrisia, dalam studinya tentang “ Perikanan di Bagansiapiapi 1871-
1942” (tahun 2002);243 kemudian studi yang dilakukan oleh Setyawati Shanti, dalam;
Pasang Surut Perikanan di Bagansiapiapi 1889-1936, tahun 2008244; memaparkan
kondisi pasang surut industri Perikanan Bagansiapiapi era pemerintahan Belanda, dan
beberapa artikel yang memuat berita Bagansiapiapi seperti yang ditulis oleh
Masyhuri.245 Berdasarkan seluruh hasil riset para ahli dimaksud, bagaimanapun juga,
industri perikanan Bagansiapiapi diasumsikan adalah suatu kondisi yang didukung
oleh Faktor sebagai berikut; Kondisi sumber daya alam; Adanya kebijakan harga
Garam; Ketersediaan Modal; Ketersediaan Tenaga Kerja, yakni orang China;

232 Artikel dalam De Economist Tahun 1917 Volume ; 66, Number 1, P.237-262
233
Artkel dalam De Economist tahun 1918 Volume 67 hal 75-76 ;
234 Hadenberg, dilihat dalam beberapa artikel; Butcher, Azmi Fitrisia dan Padmo;
235 De Chineesche Zakenleven In Nederland Indie, Vleming Jr. Tahun 1923;
236
L.H.C.Horsting, Bagansiapiapi, The largest and the Most importand Fishing Centre of
Netherland India, Published in: Inter-Ocean.A Dutch East Indian Magazine covering Malaysia and
Australasia, Vol. 4, Number 9, September 1923.
237
H.J.H dengan artikel Dwars Door Sumatra dilihat dalam INDIE Geillustreerd Weekblad Voor
Nderland Kolonien Jaargang No.8 Tanggal 23 Mei 1923; Artikel Het Chinesche Visscherij Bedrijf
Te Bagansiapiapi, Jaargang No.17 Tanggal 12 November 1924; Artikel De Bedrijf Industrie Te
Bagansiapiapi, jaargang No.19 Tanggal 10 Desember 1924.
238
Schipers,1928, dalam Butcher Tahun 1996;
239
B.Markus, Visscherij-Methoden en Vischproducten Van Bagan Si Api-Api, Pubisher:
Batavia:Instituut Voor Zeevisscherij, 35p., Tahun 1941
240 C.J.Bottemane, Verslag over de Visscherij en de Vischhandel Van Bagan Si Api-Api, Publisher

Batavia: Instituur Voor Zeevisscherij, 37p., Tahun 1929; dicetak kembali Tahun 1941
241
Ph.Jordaan: Het Zoutverbruik bij de Visscherij Van Bagan Si Api-Api, dipublikasikan oleh Batavia
Instituut voor de Zeevisscherij, Tahun 1941.
242 Artikel yang dimuat dalam jurnal Southseast Asian Program, Publications at Cornell University,

Volume 62, Oct, 1996;


243
Azmi Fitrisia, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, Tesis, Universitas Gajah Mada, Tahun
2002;
244
Pasang Surut Perikanan Bagansiapiapi (1896 -1936), Tesis, oleh Santi Setyawati, pada Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2008
245 Usaha Penangkapan Ikan dan Masyarakat Nelayan di Indonesia 1880-1940, Lembaga Ilmu

Pengetahuan Indonesia, Tahun XX, No.1, Tahun 1993.


124

Perkembangan Pantai Timur Sumatera; Adanya Pangsa pasar yang besar, khususnya
wilayah Jawa dan Madura. Meskipun demikian, lazimnya sebagai suatu sentra
industri, industri perikanan Bagansiapiapi juga tidak lepas dari berbagai persoalan;
Haga Mendidentifikasi beberapa persoalan berkaitan dengan industri perikanan,
seperti; Kenaikan harga garam, kenaikan harga kayu, persoalan upah kuli,
Pendangkalan Muara Rokan, Penurunan harga Trassi, yang nampaknya berkaitan erat
dengan persoalan kurangnya modal, tingginya suku-bunga kredit, tingginya spekulasi
pemberian kredit, tingginya resiko, munculnya persaingan ketat dengan Siam di pasar
Jawa, kemudian dugaan terjadinya overfishing dan meningkatnya operasionalisasi di
industri perikanan. Turunnya harga ikan di pasaran Jawa menyebabkan pukulan bagi
sejumlah pedagang yang bahkan menyebabkan kebangkrutan. Peningkatan produksi
perikanan di Hindia Belanda, sering digambarkan sebagai era Comercial Revolution,
yaitu ketika ikan tangkapan tidak lagi diproduksi sebatas kebutuhan (subsisten),
melainkan telah diorganisir dalam jumlah masal terutama untuk memenuhi
kebutuhan daerah yang kurang akan ikan. Periode ini, diperkirakan dimulai tahun 1860
di jawa sebagai sentra penghasil ikan, yang secara berangsur berpindah ke Pantai
Timur Sumatra. Bahwa Bagansiapiapi pernah menjadi sentra ikan terpenting di Hindia
Belanda, merupakan suatu realita historis keunggulan sumber daya alam perikanan di
Hindia Belanda. Dalam pandangan Penguasa Kolonial, berkembangnya Bagansiapiapi
sebagai sentrum perikanan di Hindia Belanda, khususnya setelah era tahun 1900-an,
tidak lepas dari peran Pemerintah Kolonial, meskipun upaya awal yang dilakukan oleh
sekelompok komunitas China di Perairan Muara Rokan. Pada tahun 1899,
Bagansiapiapi tercatat menghasilkan ekspor ikan mencapai 12.729.123 KG.
Kelimpahan produksi ikan ini diasumsikan menjadikan Bagansiapiapi sebuah negeri
pesisir yang makmur berkelimpahan, seperti yang digambarkan oleh Colijn dalam
laporan kolonial tentang Bagansiapiapi pada tahun 1905, “a good livelihood for the
fisheres, a great profit for the (Netherlands Indies) treasury, and certainly, a gold mine
for the farmer”. 246 Hal ini tidak berlebihan mengingat besarnya produsi ikan dari
Bagansiapiapi, bahkan tahun 1924, ekspor ikan, udang dan trassi telah mencapai
39.322.609.kg.247 Berikut (dalam Kg.) ekspor ikan, udang dan Trassi Bagansiapiapi:248
Tahun Ikan Kering Udang Kering Trassi
1900 12.078.653 268.998 193.946
1905 24.170.663 520.295 4.152.491
1920 27.700.000 1.200.000 8.700.0000
1921 22.700.000 2.300.000 9.700.000

246 Schipers,1928; Kampen, 1909, Hardenberg, 1931; Data 1921,1922,1923 dari Kolonial Verslag
1922, dilihat dalam Mashyuri: Usaha Penangkapan ikan dan masyarakat Nelayan di Indonesia
1880-1940; LIPI, Tahun XX, No.1, Tahun 1993, hal.26
247
Colijn Tahun 1905, dalam Jhon G.Butcher; The Marine Fisheries of Western Archipelago:
Towards an Economic History, 1850 to the 1960s, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish
Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996
248
ALGEMEEN HANDELSBLAD, 2 juni 1889;
125

1922 24.496.500 9.192.846 852.017


1923 21.180.000 10.550.000 8.800.000
Bahwa pada awal mula perkembangan Bagansiapiapi memasuki era ekspor ikan,
terutama ke Pulau Jawa dan Madura, memiliki beberapa hambatan, seperti tercatat
dalam Laporan kontrolir Bagansiapiapi, B.J.Haga tentang pentingnya perindustrian
perikanan Bagansiapiapi, dan upaya-upaya yang perlu dilakukan; Penurunan harga
garam dari f3,50 menjadi f2,50; 249 Penghapusan pajak atas Terassi, udang dan
kerang; Mendirikan Bank untuk pemberian kredit murah bagi pedagang ikan; Agar
segera menghubungankan Bagansiapiapi dengan Kabel Telegraf;
Memasuki abad ke-20, terutama juga oleh kenaikan industri trassi, Bagan lebih
menjadi tempat penting, tetapi juga berbagai peristiwa pada tahun-tahun 1916-1920
telah memberikan kontribusi bagi kemakmuran tempat ini: Pendirian onderafdeeling
Bank Bagan Madjoe 1917); Diberlakukannya kontrol garam, mulai berlaku pada
tanggal 1 April 1920, membuat posisi patcher dalam pengurusan garam dihapuskan;
Pengadaan komunikasi telegraf; dan Sambungan langsung Bagansiapiapi – Jawa250
dengan menggunakan jasa K.P.M.251 Meskipun demikian, kondisi umum yang terjadi
di Hindia Belanda menjelang tahun 1920-an adalah permodalan biasanya dipegang
oleh satu orang, yang memiliki hubungan baik dengan penguasa kolonial hingga dapat
memperoleh hak sewa (pacth) dengan membayar sejumlah kompensasi terhadap
pemerintah; Pacht adalah semacam pemegang Hak sewa, yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Kolonial sehubungan dengan pengadaan urusan tertentu.
Vleming menjelaskan bahwa sebelum adanya lembaga perbankan, tanpa adanya
modal dari “pachter-garam”, mustahil binis ikan akan tetap dapat berjalan. 252 Hal
yang juga dikemukakan oleh Azmi fitrisia dan Padmo, bahwa ketersediaan dana yang
menggerakkan industri perikanan Bagansiapiapi, sebelum era tahun 1920-an,
dihidupkan oleh Pachter. 253 Kondisi ini disebabkan Pemerintah yang berkuasa saat itu
tidak mempu untuk melakukan pungutan sendiri terhadap berbagai bea yang berlaku.
Hak Sewa tersebut diadakan secara terbuka, atau dilelang; Pemenangnya adalah
penawar tertinggi Dengan hak sewa tersebut, seseorang dapat melakukan upaya

249 Seruan untuk penurunan harga garam telah dilakukan sekurang-kurangnya oleh para
pedagang sendiri, kemudian seperti yang dilakukan oleh Kepala Departeman Perikanan, Gobee,
dari semula f5,0 menjadi f3,50 sebagaimana dalam Staatsblad 1913 No.49. Laporan Gobee 14
Februari 1916 yang juga didampingi oleh Mouw (Pejabat urusan China di Hindia) yang datang ke
Bagansiapiapi kurun tahun 1914 -1916 merekomendasikan penurunan harga garam hingga
f2,50; Mouw, Batavia, 16 Januari 1916.
250 ANRI-MVO; Memorie Van Overgave van Dr.H.D.Von Meyenfrldt, 6 Maret 1937 - 27 Oktober

1938; Bijlage VIII, Iets Over Het Visscherij Bedrijf Te Bagansiapiapi, Hal 1-2;
251K.P.M. singkatan dari Koninkiljke Pakeetvaart Maatschappij, sebuah perusahaan Pelayaran

Belanda yang didirikan pada Tahun 1888, terfokus pada pelayaran regular penumpang dan kargo
antar pulau di Hindia Belanda atau lebih popular dengan sebutan Pelayaran Pos antar Pulau;.
252 Het Chineesche zakenleven in Nederlandsch-Indid: door Vleming, J.L. Landsdrukkerij, 1926.
253
Fitrisia dan Padmo: Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, 2007
126

eksploitasi produk sumber daya alam tertentu di wilayah yang menjadi teritori
penguasa kolonial. Khusus untuk eksploitasi perikanan laut, maka pemegang hak sewa
(pacther) biasanya akan meminjamkan sejumlah modal kepada nelayan, dapat berupa
kapal/sampan hingga alat penangkap ikan. Pachter akan menanggung semua
permodalan, dan sebagai imbalannya maka nelayan akan menjual hasil tangkapannya
kepada pachter. Seperti hak untuk pengadaan garam di Bagansiapiapi. Pemerintah
Kolonial menyadari bahwa ketersediaan garam sangat berpengaruh dalam
meningkatan produksi dengan kebutuhan garam yang mencapai hampir sekitar 15
juta K.g. pertahunnya, sehingga dengan hak monopolinya, pemerintah dapat
menetapkan harga garam murah, untuk wilayah Bagansiapiapi, yakni seharga f3 per
pikul. Pachter, dan keterkaitannya dengan garam adalah untuk; mengadakan,
mendistribusikan atau menjual garam kepada toke dan nelayan. Pachter mengimpor
garam yang biasanya berasal dari Singapura, atau langsung dari Timur Tengah. Pachter
dapat menentukan harga jual garam, namun tetap tidak melampaui harga yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah. Selain itu, nampaknya pachter dalam hubungannya
dengan toke dan nelayan, memiliki peran sebagai berikut:254
Pachter berperan atau bertindak selaku pedagang yang menampung hasil
tangkapan ikan; Pachter juga berperan aktif menyalurkan peralatan
penangkapan ikan kepada nelayan yang biasanya dilakukan dengan
menggunakan pembayaran kredit. Kondisi tersebut memungkinkan Pacther
memperoleh keuntungan yang besar karena nelayan dikondisikan untuk
menjual hasil tangkapan ikannya kepada sang pachter255;
berkaitan dengan hasil produksi perikanan yang sudah diolah, maka pachter akan
meyediakan jasa pengiriman, baik melalui K.P.M. maupun jasa pengiriman lainnya.
Untuk kebutuhan sumber daya pekerja, maka pachter bertindak selaku agen yang
mendatangkan tenaga kerja yang biasa didatangkan via Singapura atau tempat
lainnya, dan biasanya sering secara gelap. Pachter secara umum memperoleh
keuntungan dari bunga pinjaman yang diberikannya kepada toke dan pedagang.
Secara umum, keuntungan pachter diperoleh selain sebagai pemegang hak sewa, juga
bertindak selaku penarik pajak. Selain itu, juga diperoleh keuntungan dari bunga
pinjaman yang diberikannya kepada toke dan pedagang. Dalam industri perikanan
Bagansiapiapi, nampaknya Nelayan memiliki posisi yang relative kuat, hal ini didasari
oleh realita sebagai berikut; Bahwa Nelayan tidak perlu menanggung kerusakan alat
sebab disediakan oleh tauke ataupun Pacther; Selain itu, sengitnya persaingan antar
pedagang akan menyebabkan nelayan tidak perlu bersusah payah mencari pembeli.
Biasanya Nelayan menjual hasil tangkapan ikan kepada Touke, dengan harga yang
ditetapkan oleh touke. Hal ini ditambah dengan pembagian hasil sebesar 30 % disetor

254
Dilihat dalam Setyawati, tahun 2008
255 Akan tetapi, pachter telah memilih untuk mengambil berbagai resiko, seperti; Nelayan yang
melarikan diri setelah memperoleh uang bayaran di muka, resiko pengiriman, jatuhnya harga
dan lainnya. Dilihat dalam Vleming, 1926.
127

kepada Touke dari hasil penjualan kotor. Sisanya, setelah dipotong dari hasil
pembelian garam dan operasional, dibagi diantara para nelayan. Dengan dana inilah
nelayan membayar pinjamannya kepada Touke.256 Kondisi ini menunjukkan
hubungan mutualistik, yakni saling ketergantungan antar keduanya; nelayan dan
tauke. Nelayan tidak disulitkan dengan upaya untuk mencari pembeli. Hasil pembelian
ikan, biasanya diolah oleh Touke menjadi hasil setengah jadi, untuk kemudian dijual
kepada Pedagang dan pedagang mengolahnya menjadi hasil jadi, untuk di ekspor.
Sebagaimana dikemukakan oleh Butcher257, bahwa ketika ikan diproduksi dengan
orientasi pasar, maka nelayan mengorganisir diri mereka pada perkumpulan-
perkumpulan yang disebut Kong-si, yang bekerja di bawah seorang Touke, pada suatu
unit pengolahan hasil penangkapan ikan pada tempat yang disebut Bang-liau. Kepala
Bangliau adalah Touke, dan kepada Touke inilah para pekerja dan Nelayan
bergantung. Adapun sebagai kepala Bangliau, Touke bergantung kepada para pemilik
modal atau pacht. Pada unit Bangliau inilah segala hasil tangkapan ikan diolah,
dijadikan hasil produk perikanan seperti; Udang Kering, Trassie, Ikan Kering, Sisik Ikan,
cincalok, dan Isi perut ikan/ kulit udang. Selama kurun waktu sekitar 40-an tahun,
yang dimulai dari akhir abad ke-19 hingga tahun 1930-an, dari Bangliau-bangliau ini
telah diproduksi hasil ikan mencapai rata-rata 32 juta Kg per tahun. Jumlah ini
bukanlah jumlah yang kecil, sebab produk ini didominasi oleh produk ikan kering yang
mencapai rata-rata 50 persen dari total produk; memberikan gambaran kesibukan
yang tinggi dari unit-unit bangliau ini. Dapat dikatakan, sumber daya manusia yang
terlibat dalam kerja industri mulai dari menangkap hingga mengolah hasil ikan adalah
terdiri dari Orang China; Adapun orang Melayu terlibat dalam usaha penyediaan Kayu,
ataupun rotan untuk digunakan sebagai jaring (ambai) pada jermal. Meskipun
Nelayan Bagansiapiapi dikenal sebagai nelayan yang sangat mandiri, akan tetapi
peningkatan produksi ikan di Bagansiapiapi diasumsikan berkaitan dengan masuknya
orang Belanda ke sana. Berpindahnya Orang Belanda ke Bagansiapiapi itu, sebagai
kondisi yang diasumsikan pula telah mengurangi peran Singapura sebagai exporter
utama ikan menuju pulau Jawa, yang selanjutnya berhadapan dengan Bagansiapiapi
yang semakin berperan dalam lintas perdagangan ikan di Hindia Belanda, dan
didukung oleh meningkatnya transportasi antara Bagansiapiapi dan Pulau Jawa.
Armada pelayaran kapal yang dimiliki oleh orang Inggris, Jerman, Siam dan Cina telah
mendukung pemasaran hasil ikan Bagansiapiapi, yaitu statistik tahun 1930, tercatat
sebanyak 600-an kapal singgah di Pelabuhan Bagansiapiapi.258 Kegiatan
penangkapan ikan di Bagansiapiapi sendiri telah intensif sejak sebelum tahun 1910,
dimana kebakaran besar yang terjadi tahun 1908 telah terlihat seperti menyebabkan
kemunduran produksinya. Halnya produksi ditahun 1904 hingga 1911, Butcher

256 Nelayan diasumsikan memiliki penghasilan berkisar antara 100 – 150 gulden sebulannya;
Vleming: 1926.
257 The Marine Fisheries of Western Archipelago: Towards an Economic History 1850- 1960s ,

Tahun 1996
258
Azmi Fitrisia dan Padmo, dalam Sejarah Perikanan Bagansiapiapi, Tahun 2007
128

menandainya dengan dua peristiwa berikut; meningkatnya bea pacht dan stagnan-nya
produksi. Tingginya harga garam, membuat nelayan menguranginya dalam proses
produksi, dan mengakibatkan pada penurunan kualitas dan membuat jatuhnya harga
di Jawa. Gobee mencatat bahwa setelah kenaikan tinggi harga garam ditahun 1910,
membuat banyak nelayan meninggalkan jermal-jermalnya dan menggantinya dengan
udang kering – trassi yang sedikit membutuhkan garam dalam proses produksi.
Sebagaimana terjadi, Bottemane menggambarkan kondisi perikanan Bagansiapiapi
yang mengalami era penurunan sebagai berikut: 259
1. Hasil kerja tangkapan sangat rendah, rendahnya harga ikan rendah di Jawa
ditambah tingginya harga garam per pikul setelah dimulainya batas waktu
perjanjian baru (1 April 1910) bersama-sama dengan ekspor pada tahun tersebut
untuk secara signifikan berkurang;
2. Bahwa sehubungan dengan semua keadaan yang tidak menguntungkan, di paruh
pertama 1910-an, sekitar 1500 orang nelayan eksodus dari Bagansiapiapi,
dimana sebahagian menarik diri ke selat, dan sebagian lagi kembali ke China.
Pasca achteruitgang 1910 ini, menyusul pula ditahun 1913-1915 situasi yang
dikatakan sebagai “kekacauan.” Menurut Mouw,260 “kekacauan” di Bagansiapiapi ini
dapat dipahami dari kondisi perikanan itu sendiri yang telah mengalami
perkembangan pesat, perusahaan yang telah berdiri bertahun-tahun, yang
menghasilkan f1.200.000,- pertahun untuk Kas Hindia, meskipun para pedagang ikan
di sana telah menghasilkan keuntungan yang begitu signifikan, akan tetapi hal ini
bahkan tidak bisa mencegah “kekacauan” itu terjadi selama tiga tahun (1913-1915)
dimana pedagang ikan hampir setengahnya jatuh bangkrut dan menghilang. Sebelum
dianalisis, harus dikatakan bahwa terdapat hal yang kontradiktif dengan hal tersebut,
bahwa diperkirakan jumlah nelayan terus meningkat, kemudian perekonomian
mereka secara umum lebih menguntungkan daripada sebelumnya, dan bahwa ekspor
ikan asin, sejak yang menurun di tahun 1904, sejak 1910 terkadang meningkat atau
berkurang, sedangkan ekspor trassie sejak 1899 dengan sedikit variasi terus
mengalami peningkatan. “Harta karun” dari pemasukan “pacht” pada tahun 1895
adalah sebesar f3.500 per bulan, selanjutnya pada tahun 1913 mengalamin lompatan
besar dengan terjadinya peningkatan hingga sejumlah f36.200 per bulan. Dari hasil
pemasukan garam untuk jangka waktu tertentu mungkin tidak hanya konsumsi garam
dapat diturunkan, karena keduanya sebelumnya dan pachter hadir sesuai dengan
harga garam, dan juga terkadang hadir dalam jumlah besar sekaligus, kemudian lagi
dengan kuantitas lebih kecil. Dengan demikian, kehadiran pachter di awal April 1915,
hal tersebut hanya sebulan sebelum harga garam meningkat dari 91 ct hingga f1.40.

259
Bottemane, lihat juga Dr.A.L.J.Sunier, Nog Eens De Vischindustrie te Bagan Si Apiapi, Batavia,
6 Oktober 1912; dalam Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur: vier en veertigste Deel,
Batavia G.Kolff & Co, 19 hal..44-55.
260
Nota Mouw, 16 Januari 1916,
129

“Sebagian besar kemakmuran nelayan terutama karena otonomi mereka lebih


besar, yang memungkinkan mereka untuk menegosiasikan harga yang lebih
baik untuk produk ikan tangkap dan ikan asinnya.”
Pada masa sebelumnya dimana masih sepenuhnya tergantung pada para pemimpin
bisnis mereka, bangliao, pada usaha tersebut pachter memberikan bahan yang
diperlukan dan garam, serta uang muka, dan sejumlah besar dari mereka, bersatu di
kongsie kecil saja terutama untuk kepentingan mereka sendiri. Namun, ini kurang
berhasil jika dilihat dari kemajuan nelayan atau konsekuensi atas kerusakan pada
bang-liao, yang jumlahnya dalam tiga tahun terakhir diperkirakan dari kondisi semula
berjumlah 80 buah jatuh menjadi 50 bangliao saja. Sebagian besar hasil produk
perikanan, yang pada periode sebelumnya mengalir ke kantong bangliao, sesudahnya
mengalir untuk kepentingan nelayan. Penurunan jumlah bangliao pada gilirannya
adalah konsekuensi dari penurunan jumlah pedagang, yang biasanya diantaranya
adalah mantan nelayan yang menyediakan garam secara kredit, dan dengan demikian
terlibat dalam perputaran uang secara mandiri. Tampaknya juga, krisis ekonomi yang
terjadi mendadak di era 1913, akan tetapi disembunyikan dari masyarakat dan ketika
di tahun pertama pacht-kongsie dari Oei Koen Poey diberi tempat bersama-sama
dengan Khoe Tjin Tek. Peran yang sangat besar bagi pachter garam dalam memainkan
bisnis perikanan ini, ditunjukkan sekaligus; andai saja ada yang tahu bahwa ia
sebenarnya adalah pemonopoli garam dan bahwa ikan asin atau basah, dengan
persentase garam adalah 43%, sedangkan setiap pikul trassie persentase garam
diperkirakan berada pada 20% hingga 25%. Pachter, sejauh ini meraup keuntungan
terbesar dalam pendapatannya terutama berasal dari penjualan garam, yang
memperbolehkan pachter menetapkan harga maksimum penjualan hingga f3,50 per
pikul, dan ini penting baginya di satu sisi perusahaan, sejauh memungkinkan, dengan
tingginya harga seperti yang akan dilakukan oleh pemasok garam secara kredit,
setelah pacht-nya diperkirakan telah membayar keuntungan yang layak, tetapi di sisi
lain untuk juga untuk memastikan bahwa tidak terlalu banyak jatuh korban akibat
penyediaan kreditnya. Sayangnya, pola itu adalah bentuk kongsie pacht-lama yang
hanya sampai batas tertentu saja dapat berhasil. Namun setelah itu, selama jangka
waktu tertentu; mereka memiliki monopoli (1900-1913) yang membuat mereka
menjadi kaya-raya. Akan tetapi, ketika nilai sewa sejumlah f32.000 dimana yang
demikian itu mencapai lebih dari dua kali lipat batas yang sebelumnya telah dicapai;
terbukti, mereka melakukan pemesanan maksimal untuk marangsang tumbuhnya
perusahaan garam besar, akan tetapi ternyata upaya ini sia-sia belaka. Pada tahun
1913, kondisi ini telah mengalahkan pacht. Seperti pemesanan yang telah mencapai
total f202.054, dalam 25 klaim saja. Pacht-kongsie baru segera berdiri sendiri di
Singapura dan mengatur perdagangan garam, dan ini juga memungkinkan mereka
untuk memperkirakan harga garam 35 sen per pikul lebih murah, apa yang harus
dimulai dengan penjualan 20.000 pikul per bulan, memberikan keuntungan mencapai
f7.000 per bulan. Jika yang satu ini menambah biaya transportasi dan lainnya sampai
ke gudang di Bagan, pachter lama memperoleh 48 sen per pikul, sedangkan pachter
baru memperoleh 38 sen, maka diperoleh lagi keuntungan yang lebih besar, belum
130

lagi jika didukung oleh administrasi yang jauh lebih baik, setidaknya keuntungan akan
mencapai f9.000 per bulan. Pachter baru tidak akan diijinkan menetapkan nilai sewa
tinggi yang dapat menghasilkan keuntungan yang besar, jika saja, tidak terjadi salah
satu peristiwa yang tak terduga, yakni; perang Eropa. Dampak perang ini
menyebabkan harga garam meningkat ke taraf yang belum pernah terjadi
sebelumnya. Akan tetapi, dari sumber catatan keuangan, pertamakali terjadinya
kenaikan yang melebihi kenaikan normal adalah pada Mei 1915, jadi ini, delapan atau
sembilan bulan setelah pecahnya perang. Mungkin saja terlihat pada awal perang,
belum ditetapkannya kontrak selama delapan bulan dari harga pembelian f0,91 per
pikul di Singapura. Pada bulan Mei 1915 garam dari f 0,91 per pikul sekaligus untuk
f1,40, 8 bulan kemudian (Desember 1915 kembali meningkat menjadi f5,75.
Sayangnya, Mouw nampaknya hanya memiliki akses ke catatan-catatan tertanggal
April 1915 - Desember 1915. Dalih bahwa buku catatan tahun sebelumnya tidak ada
dan ditolak akses kesana. Meskipun demikian, pachter pada tahun-tahun tersebut
telah berhasil meraup keuntungan. Karena itu, kongsie ini dapat saja mengelak, walau
tidak dengan meraup keuntungan besar. Dari pachter-lama dalam kongsie Bengkalis,
bahwa pachter hadir selama masa perang, dan membeli garam sebesar US17,50
perkoyang untuk 40pikul (beberapa bahkan ditetapkan US12) dan kemudian US 26
dan US 40 per koyang. Angka ini ditempatkan sempurna mengalahkan semua
pernyataan dari catatan yang ada. Jika demikian apa yang begitu murah adalah bahwa
pachter telah membeli selama masa perang maka dapat dimengerti mengapa akses
hanya diberikan untuk catatan tahun 1913 dan 1914, dimana telah terjadi penurunan.

Mengenai Pacht
Seperti telah disampaikan, pachter-lama, ketika bisnis mulai limbung, sia-sia saja
mencoba dengan kredit garam untuk merangsang perusahaan besar. Dalam satu
tahun (1911-1912) terjadi peningkatan penjualan garam sebesar 25%. Hasilnya adalah
bahwa para pedagang dan bangliau melakukan spekulasi secara “sembrono” bersama
dengan pachter yang nampaknya bertentangan dengan nelayan dalam hal pembelian
trassi. Mereka mengatakan bahwa kadang-kadang ikan tersebut telah dbeli sebelum
mereka melakukan penangkapannya. Hal itu karena kenaikan harga ikan dan kekuatan
tawar nelayan di Bagan, akan tetapi, terkadang para pedagang di pasar spekulasi
Jawa, juga mengalami kerugian dengan cara seperti ini. Pada tahun 1913 pacht-
kongsie lama dipaksa untuk kebelakang melihat nilai sewa, dan akhirnya bom waktu
itu meledak juga. Dengan menunjuk seorang pengacara, Mr.DEVE, diakseptasi jumlah
keseluruhan dari penawaran berbagai debitur yang mencapai nilai f202.054.99.
Hingga beberapa tahun sesudahnya, sebagian sebagai akibat dari tindakan pacht-
baru, yang berhati-hati untuk tidak mengambil pemesanan begitu besar jumlahnya
yang seperti dilakukan pendahulunya, kondisi di tahun 1913, 1914 dan 1915 dimana
tidak kurang dari 23 pedagang ikan dinyatakan bangkrut, dari total sejumlah 50
pedagang, menjadi hampir setengahnya saja. Pada tahun 1916, hanya 27 pedagang
131

Bagan termasuk 10 diantaranya dengan omset tahun ini yang lebih besar dari f50.000.
Di antaranya yang bangkrut tersebut terdapat sejumlah 9 perusahaan besar.
Meskipun demikian, nampaknya masih terdapat sedikit harapan, kredit ini – angin
segar untuk perdagangan dapat berdiri bila kita menganggap bahwa akibat tindakan
pachter sebelumnya yang jumlah keseluruhan lebih dari f30.000. Bahwa dengan
jatuhnya pedagang dengan sejumlah bangliao, berhamburanlah hutang-hutang
pedagang yang nampaknya melibatkan pedagang lainnya yang masih eksis, dan ini
tentu saja tidak memerlukan argumen nadir. Dari hal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kelesuan ekonomi Bagan ini disebabkan oleh peningkatan drastis persewaan,
yang tumbuh dan berkembang di Bagan namun tidak diiringi oleh elemen lainnya.
Sejumlah besar pacht, yang dibayar langsung oleh rakyat, telah menekan perusahaan
begitu beratnya dimana seharusnya perusahaan-perusahaan tersebut telah dapat
membentuk modal jika tidak terjadi penekanan tersebut. Pedagang, terutama harus
fokus pada perdagangan kredit dan mencari peluang sedikit untuk beralih ke kredit
yang lebih besar dan menghindari hilang dan meningkatnya penutup omset, yang
dalam banyak kasus kegagalan mengakibatkan ia sendiri tertimpa lebih dalam lagi
pada hutang-hutang baru. Pachter hanya untuk memastikan bahwa keuntungan yang
diperoleh lebih tinggi disebabkan peningkatan penjualan garam, dan masih cukup
lebih besar dari kerusakan yang diderita pada kemungkinan kepailitan debiturnya.
Pada penanganan pertengahan era malaise ini adalah untuk menghilangkan
penurunan harga garam, setidaknya f1 per pikul. Kemudian para pedagang dapat
membuat keuntungan yang wajar tanpa mereka melakukan spekulasi. Akan ada
modal di Bagan untuk membentuk pacht-ikan dan perdagangannya. Bahkan para
pedagang tanpa berputus asa melalui petisi tanggal 8 Maret 1914; permintaan
tertutup untuk mengurangi harga garam dari semula f3,50 hingga f 2,50, kemudian
menghapuskan cukai, serta dimasukkannya Bagan dalam jaringan kabel telegraf, dan
masih memiliki beberapa kesempatan dan saran lainnya yang memungkinkan untuk
diterima pemerintah. Dengan sambungan telegraf, tentu saja para pedagang dapat
memprediksi waktu yang tepat untuk melepas komoditi yang paling tepat ke Jawa
sebagai pasar terbesar, bahwa pra-telegraf, para pedagang hanya menebak-nebak,
berspekulasi tanpa dukungan informasi yang kuat.

Pendirian Bank Bagan Madjoe


Adapun untuk pendirian bank Perkreditan, bahwa dengan difasilitasi oleh kontrolir
Haga, diajukan surat oleh sejumlah warga China dan Melayu untuk pendirian
perserikatan perkreditan, yang sedianya akan membantu para pedagang ikan dari
kekurangan modal.261 Setelah melalui diskusi dengan para pemegang kebijakan,

261Surat bertanggal 14 September 1915 yang juga untuk pengakuan sebagai sebuah lembaga
berbadan hukum yang menaungi kepentingan para pelaku industry perikanan. Selain itu,
pendirian Bank Bagan Madjoe yang berbasis untuk memajukan kepentingan perikanan, juga
132

akhirnya atas prakarsa dan saran dari kontrolir Haga; petisi bertanggal 8 Maret 1916
nomor 43, di bawah kondisi visibilitas dan kontrol oleh Konsultan perkreditan rakyat;
sebagai dasar, onderafdeeling Bank Bagan Madjoe akhirnya dapat tercapai, dan
didirikan pada tahun 1916(Indie;GNIK: 1924). 262 Kebijakan ini dapat dipahami
mengingat pentingnya impor ikan di Pulau Jawa dan Madura yang sebahagian besar
berasal dari Bagansiapiapi yang tentu saja layak untuk dikembangkan. Kondisi ini juga
mengingat aplikasi oleh pedagang China pada tahun 1914; permintaan untuk
pengurangan harga garam, kepala departemen perikanan, didampingi oleh Mouw,
pejabat untuk urusan China, berdasarkan Keputusan Pemerintah tanggal 1 Oktober
1915 Nomor 41, diputuskan pada bulan Januari 1916 untuk mengadakan penyelidikan
keadaan industri perikanan, dan apa yang sebelumnya dikenal sebagai “Catatan Tuan
Mouw; 263 Bahwa Mouw dalam penyelidikannya ini telah memegang buku dari
beberapa pedagang dan pachter garam, dan terbukti dengan angka, kurangnya
besaran modal dari para pedagang, tingkat ketergantungan mereka pada sisi
keuangan dari pachter garam, dan juga, kondisi tingkat bunga yang tinggi. Bahwa
rekomendari Mouw, tahun 1916 perdagangan di Bagan berada pada sekrup longgar,
dan tanggal perubahan radikal tanpa memperhitungkan adanya sistem kredit yang
berlaku, kejutan yang paling menyenangkan mungkin diperlukan. Untuk menghindari
komplikasi yang tak terduga adalah metode paling aman untuk pacht dengan harga
maksimum garam f2,50 per pikul selama masih ada perdagangan dan agak diperbaiki
kondisinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa dengan harga maksimum garam f2,50,
jumlah pacht diperkirakan menurun secara signifikan. Konsekuensi terhadap hal itu
diprediksi bahwa, “dalam waktu tidak terlalu lama, orang Bagan akan duduk
menghitung kekayaannya, baik secara langsung maupun tidak langsung.” Oleh sebab
itu, pendirian Bank perkreditan murah Bagan Madjoe, paling tidak dikondisikan oleh
beberapa hal sebagai berikut:264

memberikan kredit untuk kebun dan pertanian kecil. Seperti yang terdapat disepanjang jalan
antara Bagansiapiapi dan Labuhan Tangga, diberikan kesempatan yang luas kepada petani kecil
untuk memperoleh kredit.
262
Het Chineesche Visscherij Bedrijf Te Bagansiapiapi; A.W.Niewenhuis; INDIE geillustreed
Indschrift Nederland En Kolonien, 10 Desember 1924, Hal.300-308; Bank ini didirikan oleh
vereeniging yang beranggotakan B.J.Haga (Kontrolir sebagai ketua); Mohamad Arsad (sebagai
vice president); Lim Tek Soei (sekretaris); J.Koppelle; dokter R.M.Pratomo,; Oei I Tam (Luitenant
Chineezen); Sim Tjeng Song(wijkmeester der Chineezen); Ang Boen Koa, Oei Tong Kim; Li Tek
Goan, Ban Hong Hin(Pedagang) semuanya berasal dari Bagansiapiapi, dilihat dalam “De Sumatra
Post, Dondendarg, 28 Februari 1918.” Sebelum dana awal dikucurkan, juga tiba Dr.JH.Boeke
dibulan Agustus 1916 untuk secara bersama-sama melakukan penelitian bagi dasar pendirian
Bank. Setelah melalui diskusi dengan Asisten Residen Bengkalis dengan vorzitter, mereka tiba
pada kesimpulan bahwa kredit memang benar-benar diperlukan. Hasilnya, Bank Bagan madjoe,
mulai aktif bekerja pada tanggal 1 Februari 1917.
263
Laporan Mouw, bertanggal 16 Januari 1916.
264 O.P.Besseling, “De Visscherijbank “Bagan Madjoe” en de visscherij-industrie te Bagan Si Api

Api, dalam Koloniale Studien: Tijdschrift van de Vereeniging voor Studie van Koloniaal-
Maatschapij Vraagstukken, Volume 1, Number 1, 12 November 1916, p.340-349.
133

1. Pendirian Bank Kredit murah diarahkan untuk dapat meningkatkan pasokan


ikan sebagai bahan makanan yang bergizi dan juga dengan harga murah. Hal
ini juga didasarkan pada realita bahwa Pemerintah Kolonial telah melihat
perlunya harga garam yang murah untuk mendorong meningkatkan produksi
ikan. Jika melihat data statistik, maka harga garam masih relative tinggi;
berturut-turut: Tahun 1895(f1,2), 1900(f1.45), 1905(f 2.30), 1910(f 3.85) dan
1913 (f 4). Harga ideal yang ingin dicapai adalah maksimal f3.50; Tingginya
harga garam tidak saja mempengaruhi produksi ikan, juga menyebabkan
menurunnya kualitas pengolahan ikan, disebabkan nelayan banyak yang
melakukan pencampuran ikan dengan bahan yang tidak berkualitas dan ini
menyebabkan harga ikan di pasaran, jatuh;
2. Pada saat didirikannya Bank ini, Bagansiapiapi memiliki 8800 jiwa penduduk
dengan 3200 KK. Adapun jumlah nelayan diperkirakan mencapai 4800 jiwa,
yang berarti memiliki kecukupan sumber daya manusia pengelola
kelangsungan industri ikan. Tahun 1915 mencapai hampir f4.000.000,-
dihasilkan dari total produksi ikan yang mencapai 36 juta Kg;
3. Meskipun demikian, ditemui bahwa setahun sebelumnya dari sekitar 50
pedagang, 23 diantaranya jatuh bangkrut, dan sebahagian bangliau tutup.
Dikatakan bahwa penyebab kebangkrutan ini yang terutama adalah akibat
persaingan yang tidak sehat antar pedagang dalam membeli ikan dari nelayan.
Akibatnya, pedagang membeli ikan dengan harga yang terlalu tinggi;
4. Faktor lainnya yang juga krusial, adalah belum tersedianya telegraf. Alat
komunikasi ini dapat menghubungan Bagansiapiapi dengan dunia luar
sehingga dapat memantau situasi pasar; Selain itu, Sebuah Pelabuhan dengan
ketiadaan fasilitas komunikasi dapat membahayakan. Kondisi pasang surut
dengan banyaknya djermal yang terdapat di perairan dapat membahayakan
pengiriman dan arus lintas disana;
5. Tepatnya waktu pendirian bank perkreditan di Bagan, berhubung situasi
kebijakan yang hanya menetapkan pacht sekali setahun dan penyediaan jasa
pengangkutan pengiriman ikan, tidak lagi dikelola pachter Kondisi ini.
berkemungkinan dapat menciptakan hubungan bebas antara pihak Bank
dengan nelayan, bahkan pedagang dengan pachter;.
Besseling menyarankan beberapa perbaikan dalam menata peningkatan produksi,
seperti; penyediaan koneksi telegraf, mencegah pencampuran produk ikan dengan
bahan tidak berkualitas, penambahan dermaga untuk menghubungkan berbagai
gudang ikan, menata jermal dengan mencabut yang telah ditinggalkan pemiliknya.
Bagaimanapun juga, dengan didirikannya Bank Bagan Madjoe, dapat dikatakan bahwa
nelayan dapat terbebas dari renternir dan tekanan-tekanannya, dan dapat memulai
upaya ekonomi dengan modal perkreditan dari perbankan. Hal ini memungkinkan
nelayan untuk lebih dapat meningkatkan produksi dan kesejahteraannya. Nampaknya
realitanya memang demikian, bahwa sejak dihapusnya sistem Pacth tahun 1920,
produksi perikanan Bagansiapiapi mengalami peningkatan; yang semula maksimal
134

produksi ekspor tertinggi pada era pacth yakni Tahun 1919 mencapai 35,3 Juta Kg,
pada Tahun 1926 telah mencapai 43 juta Kg, dengan kondisi pinjaman terhadap
nelayan yang mencapai f1000,- De Sumatra Post, pada tanggal 5 Maret 1919
memberitakan Bank Bagan Madjoe sebagai berikut:
Kita menerima dari Laporan Tahunan dari Kontrolir Bagansiapiapi tentang
Onderafdeelingsbank Bagan Madjoe tahun 1918, sebuah bank perkreditan
untuk industri perikanan di sana. Ada bukti pemberian kredit hingga sebesar
f200.000, dari kas sentral. Hanya separuh yang dijamin oleh pemerintah. Kas
Sentral menjadwalkan pelatihan pengontrolan keuangan terhadap kondisi
pembukuan tersebut. Akhir tahun 1918, uang yang terdapat di bank sejumlah
f154.224,98, dari Kas sentral diperoleh f182.487,78, tabungan yang
diinvestasikan sejumlah f12.753,82.. terutama pada tahun 1920 saat kontrol
garam diberlakukan, daripada disediakan untuk kredit zout-pachter lebih baik
disediakan untuk pembelian garam. Jumlah uang yang dipinjamkan
meningkat dari semula f103.549,85 menjadi f174.190,07. Saldo pada
keadaan 31 Desember 1917 sejumlah f103.549,85. Pemberian pinjaman
sebesar f347.659,13 dan pembayaran pelunasan sebesar f277.018,91.
Sejumlah 321 debitur terkemuka terlibat, terutama orang-orang China.
Penyempurnaan aturan kredit terutama terhadap sejumlah besar perjanjian
overkredit dari para pedagang kecil. Dilakukan penghitungan jumlah
persentase bunga perbulan. Atas kewajiban yang berlapis-lapis diiganti
dengan rente 5 persen. Kas Sentral berpendapat bahwa kewajiban yang
berlapis-lapis akan menyebabkan keterlambatan waktu pembayaran.
Selanjutnya dalam Laporan Bank Bagan Madjoe pada tahun 1923, bahwa pihak Bank
melalui Visscherijfonds telah memberikan pinjaman mencapai f422.000,- dengan
rincian; untuk jermal sebesar f104.900,- untuk pasar ikan sebesar f15.050,- Impor
sebesar f68.696,- untuk ritel sebesar f44.500,- untuk peternakan sebesar f 1400,-
untuk perkapalan sebesar f9300,- untuk rumah mencapai f107.510,- aneka lainnya
sebesar f61.345,-. Dari total seluruh pinjaman, sebesar f390.000,- dipinjamkan
kepada peminjam China; mungkin ini sebabnya surat jaminan hampir seluruhnya
dalam bahasa China. Laporan Onderafdeeling Bank Bagan Madjoe Tahun 1928;
bahwa peningkatan pinjaman biasa, dari f366.700 pada tahun sebelumnya menjadi
f417.600, terutama terkait dengan konversi beberapa kredit besar. Para pedagang
diberitakan membuat hutang dengan kantor-kantor Bank Jawa melalui transfer
Telegraph, yang kesemuanya ditujukan kepada Bank Bagan Madjoe, dilaporkan juga
bahwa tunggakan pinjaman menurun drastis, disebutkan pula bahwa pinjaman guna
usaha impor barang-barang seperti; minuman, beras, tepung tapioka, gula, tali dan
lainnya dalam beberapa tahun terakhir dibeli melalui Singapura.265

265
De Sumatra Post, warta tentang Bagan Madjoe, tanggal 5 Juni 1929.
135

Ketersediaan Garam
Adapun kelimpahan ikan, dapat menjadi kelimpahan produksi ikan ketika ditunjang
oleh faktor utama produksi ikan selain alat tangkap, sebab menghasilkan ikan dalam
jumlah besar membutuhkan suatu sistem pengawetan yang memadai. Adanya
kebijakan harga Garam yang ditetapkan oleh Pemerintah Kolonial pada saat itu,
bahwa; Kondisi ini ditunjukkan dengan data statistik bahwa sebesar 76.5% garam yang
ada di seluruh wilayah Hindia Belanda di gunakan di Bagansiapiapi; Kondisi ini melihat
realita bahwa seluruh produksi ikan tergantung pada garam. Tidak seperti pada
wilayah lainnya di Hindia Belanda, dimana Garam mencapai harga yang tinggi yang
merupakan produk kebijakan monopoli Pemerintah Kolonial. Era tahun 1900-an pada
saat kondisi industri perikanan di Jawa mengalami kelesuan, dan sentra perikanan
bergeser ke Sumatra Timur khususnyya Bagansiapiapi, hal ini ditengarai sebagai
dampak kebijakan garam murah yang diterapkan Pemerintah Kolonial. Persoalan
produksi perikanan ini Sebenarnya telah dilihat oleh Haga, juga Butcher, tidak lepas
dari peran ketersediaan garam; yang berfungsi sebagai pengawet dan bahan pengolah
hasil ikan. Sebagai contoh ketersediaan garam, pada tahun 1910, dari 20 juta Kg per
tahun garam yang di kirim ke Singapura dari Arabia (kawasan Laut Merah), 9 juta Kg
digunakan di Bagansiapiapi. Ketersediaan garam mempengaruhi jumlah produksi ikan.
Untuk menjaga kelangsungan industri ikan, bagaimanapun juga, diperlukan untuk
mengimpor sejumlah besar garam. Biasanya garam dibeli dari Laut Merah di
Singapura. Garam, sebagai sebuah komoditas, dikontrol oleh Pemerintah Kolonial.
Pada masa itu, pendapatan Pemerintah Kolonial dari hak monopoli garam pada tahun
1902 mencapai f9.456.466, Tahun 1913 meningkat menjadi f12.633.988,21 dan Tahun
1922 meningkat lagi mencapai f17.221.346,50, dimana kondisi ini belum termasuk
monopoli garam di Bagansiapiapi yang diperlakukan secara istimewa; Seperti pada
Tahun 1905 Pemerintah Kolonial memperoleh masukan sekitar f325.000 dari Industri
gram dan industri lain yang terkait. 266 Sebagaimana telah dikemukakan bahwa di
Bagansiapiapi garam adalah bagian yang utama dari suatu proses pengasinan ikan,
kemudian terassi, udang kering yang membutuhkan garam dalam jumlah besar. Van
Kempen dalam laporan kunjungannya di tahun 1908, menyebutkan nama pemegang
hak pacht garam adalah “Oey I Tam”, mantan Kapiten China Bengkalis yang juga
tercatat sebagai pendiri Jalur pelayaran yang beroperasi di Bagansiapiapi. Selain Oey
I Tam, nampaknya bisnis pengadaan garam ini juga di ikuti oleh pengusaha dari
Medan, Singapura atau Penang, sebagaimana digambarkan oleh Vleming: Tidak
terdapatnya lembaga perbankan, maka modal pun diperoleh dari Singapura atau
Penang,. meskipun tidak ditemui adanya hubungan erat khususnya dengan
Bagansiapiapi. Salah satu sumber adalah kredit, tentu saja, dengan bunga yang tinggi,
biasanya tergantung pada “pachter-garam” (kongsie antara Ju Tjong A Fie Mayor China
Medan dan Mayor Khoe Tjin Tek yang hadir bersama juga dengan pedagang Cina

266 Kolonial Verslag, 1904; 1915; 1923; Kemudian Butcher 1996 dalam Yety Rochwulaningsih:
Petani Garam Dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus Petani Garam di Rembang Jawa Tengah.
136

lainnya yang turut berpartisipasi).267 Selain itu, menjelang akhir abad ke-19, tepatnya
ditahun 1897, dari sindikasi pedagang China di Medan, juga terdapat nama Tan Tang
Ho(1860-1916) yang turut dalam kontrak Pacht garam di Bagansiapiapi. 268
Bagaimanapun juga, saat itu di Bagansiapiapi, bisnis pengadaan garam adalah bisnis
yang sangat menguntungkan. Dikatakan sangat menguntungkan disebabkan terdapat
keuntungan langsung dan tak langsung dari bisnis garam ini. Keuntungan langsung
diperoleh dari penjualan garam melalui Hak pacht yang diperoleh dari Pemerintah.
Adapun keuntungan tidak langsung diperoleh dari kewajiban untuk
menyelenggarakan ekspor terassi dan udang kering di Bagansiapiapi. Dikatakan bahwa
“pisau pemegang hak Pacht garam dapat memotong dua sisi”. Sebagai contoh, Gobee
dan juga Colijn yang melakukan kalkulasi secara teliti atas keuntungan bersih yang
diperoleh dari pachter atas penjualan garam adalah mencapai 112.000 gulden, juga
keuntungan yang dikumpulkan dari kewenangan penjualan terassi sebesar 14.000
gulden dan penjualan udang kering sebesar f5350. Pada tahun 1896 – 1904,
keuntungan pachter hamya mencapai 3500 hingga 6060 gulden per bulan. Akan tetapi
pada saat terjadi lonjakan penggunaan garam yang semula 4.9 menjadi 15.7 juta kg.,
kondisi ini juga menyebabkan lonjakan ekspor ikan kering dan produk ikan lainnya.
Hendrikus Colijn menghitung penerimaan kas Pemerintah dari sektor pajak bisnis
sejumlah f35.000,-, bea impor dan ekspor sejumlah f65.000,-, dan sejumlah
f100.000,- dari opium, dan total seluruhnya adalah sebesar f350.000,-. Untuk
pembiayaan pemerintahan di Bagansiapiapi, seperti gaji kontrolir dan sejumlah
pegawai lainnya, diperkirakan sejumlah f25.000,-. Singkatnya, Pemerintah Kolonial
menerima pemasukan sejumlah f325.000,- di tahun 1905 dari industri perikanan di
Bagansiapiapi.
Bagi pemerintah kolonial, van Kampen menyebutkan, Bagansiapiapi jelas
merupakan “Tambang Emas Kecil.”
Masih dalam dekade yang sama, ketika Pemerintah Kolonial mengambil sikap untuk
lebih represif terhadap persoalan yang berkaitan dengan sistem pacht, dimana di
Jawa telah dihapuskan, Colijn menentang keras pendapat yang berkaitan dengan
perlunya penghapusan sistem pacht, bahkan yang berada di luar Jawa. Colijn
mengemukakan dalam laporannya bahwa lebih baik untuk melakukan kebijakan
lainnya ketimbang penghapusan pacht, seperti penaikan pajak atas garam;
dikatakannya bahwa menghapuskan “pacht-garam” di Bagansiapiapi seperti
“membunuh angsa yang bertelur emas”. 269 Sukses di Bagansiapiapi, Colijn tidak
hanya terfokus pada area ini, melainkan juga, ia melirik Panei, 270 yang terletak di

267
Het Chineesche zakenleven in Nederlandsch-Indid: door Vleming, J.L. Landsdrukkerij, 1926.
268 Weight, tahun 1909,581-582; dilihat dalam Dirk A Buiskool, “The Chinese Elite Comercial of
Medan: 1890-1942, The Penang Connection, JMBRAS, Vol.82,part 2, 2009.p.113-129.
269 Butcher, 1996; hal.100-101.
270 Seperti diwartakan oleh De Sumatra Post, 8 Agustus 1905, “Het laastste punt van de opdracht

waarmede Kapitein Colijn hierterkuste is gekomen, luidt: ‘middelen te beramen om door een
137

sebelah utara sepanjang pantai timur, dimana sekelompok pengusaha China


mengajukan petisi kepada pemerintah kolonial untuk melakukan pengusahaan pacht
disana. Penguasa kolonial di Panei mengemukakan bahwa impor ikan ke Jawa
menurun sejak pertumbuhan industri ikan di Bagansiapiapi. Dan Jika, Panei menjadi
“Bagansiapiapi kedua,” maka, Pemerintah akan kehilangan banyak dari impor dan
beberapa bea lainnya. Colijn membantah argumen ini bahwa Pemerintah
memaksakan bea kecil dari kebijakan impor ikan ke Jawa dari daerah di luar Hindia
Belanda, akan tetapi Konsil Hindia, seiring dengan kebijakan etis membujuk Gubernur
Jenderal untuk tidak membebani rakyat dengan membuat mereka membayar lebih
hanya untuk salah satu jenis makanan yang mampu mereka peroleh. Sebagaimana
telah disampaikan, terdapat kenaikan pemasukan yang cukup tajam dari pacht-garam
(zoutpacht) bagi pemerintah kolonial antara tahun 1904 hingga tahun 1910, dimana
tahun 1904 hanya mencapai f6060 per bulan, di tahun 1910 menjadi f13.500 per
bulan. Kondisi menjelang tahun 1910 ini, dirasakan cukup stabil dan tidak ada
dilaporkan terjadinya suatu persaingan sengit para pelaku bisnis. Hanya pada Tahun
1910 terdapat Laporan dari Residen Pantai Timur Sumatra tentang adanya
percekcokan serius dalam tubuh sindikat. Salah satu kelompok sindikat yang berbasis
di Singapura memisahkan diri dan menjadi rival dari sindikat. Tujuannya bukan hanya
mendapatkan pacht, melainkan juga menghancurkan pachter, yang diidentifikasi oleh
Residen sebagai “Kapiten China Oei Koen Poey, meskipun penyebab “dendam
kesumat” ini tidak begitu jelas. Dengan dorongan dari Residen, sang rival melakukan
penawaran sangat tinggi atas tender pacht, penawaran yang sangat tinggi tersebut
diharapkan mereka akan mengalami kerugian jika benar-benar mereka memperoleh
pacht. Sebaliknya, ternyata Oei dapat mempertahankan pacht dengan mengajukan
penawaran yang lebih tinggi lagi, namun kemenangannya dirusak ketika pemerintah
di Batavia menarik penawarannya untuk mengalihkannya kepada pacht di Panei. Oei
kuatir jika pacht jatuh ke tangan rivalnya, maka mereka akan menyelundupkan garam
murah ke wilayah pacht-nya yang akan menyebabkan kehancuran bisnisnya. Atas
intervensi Residen Pantai Timur Sumatra, dia dapat menangani pacht di Panei dengan
baik meskipun dengan sewa yang lebih besar ketimbang pada awal penawarannya.
Residen berkomentar,
“ini sudah pantas bagi kita untuk memperoleh keuntungan dari permusuhan
antara kompetitor dalam menaikkan sewa pacht, tetapi bukan dalam rangka
menfasilitasi kebangkrutan mereka(pachter)”. 271
Terjadi puncak produksi pada tahun 1904, yakni sebesar 25,9 juta kg. Bandingkan
dengan produksi tahun 1909 yang mencapai 20 juta kg., disaat yang sama ekspor trassi
meningkat menjadi 10.1 juta kg., dan menurun di tahun 1910. Tahun 1912, dikatakan
sebagai “achteruitgang” atau penurunan dari industri perikanan di Bagansiapiapi.

gewijzigde zoutpolitiek is het Panei-kustgebied een visch industrie in het leven te reopen, gelijk
thans reeds bestaat te Bagan Api Api.”
271
Dalam Butcher, 1996; hal.103.
138

Beberapa studi tentang dua phenomena pun dilakukan, yakni phenomena kenaikan
bea pacht-garam di satu sisi dengan penurunan produksi disisi lainnya. Dapat
dikatakan, terjadi hubungan kausal antar keduanya, dimana pachter memiliki
kewajiban untuk lebih memenuhi kewajiban pembayaran sewa pacht, yang membawa
akibat dari penurunan produksi ikan. Bahwa kenaikan harga garam telah
menyebabkan berkurangnya keuntungan industri dan lebih jauh mengurangi
produksi. Kenaikan sewa pacht juga telah mengakibatkan kenaikan harga garam.
Berapapun keuntungan yang dihasilkan oleh pachter, jelas menunjukkan bahwa,
industri perikanan di Bagansiapiapi tidak lagi seperti tambang emas kecil yang
digambarkan Colijn disaat kunjungannya ke Bagansiapiapi; kondisi hanya pada tahun-
tahun awalnya saja. Antara tahun 1910 – 1914, pemasukan yang diperoleh berkisar
antara f1.000.000 – f2.000.000 per tahun, yang diperoleh dari sewa pacht,
pemasukan dari penjualan opium, bea impor dan ekspor dan sejumlah pajak lainnya.
Meskipun demikian, Butcher meyakini bahwa pada era ini, pemerintah telah
mengupayakan pemasukan kas yang sebesar-besarnya dari industri perikanan, begitu
pula dengan pachter, yang tidak saja memaksimalkan ekploitasi atas hak pacht,
melainkan juga melalui monopoli atas pengelolaan kredit. Pemerintah Hindia Belanda
dan juga pachter, mengeruk hampir seluruh surplus dari bisnis industri perikanan, dan
ini menyebabkan mustahil bagi pedagang yang berada di bawah pachter untuk
mengakumulasi modal sehingga dapat melepaskan diri dari pachter. Nampaknya, era
ini juga ditandai dengan kondisi bahwa eksploitasi sumber daya muara telah berada
pada ambang batas, seperti terefleksi pada statistik dengan tidak adanya peningkatan
produksi antara tahun 1910 – 1914. Kondisi ini berdampak pada ketidakmampuan
pedagang untuk bertahan, sehingga mereka collaps yang membawa serta tauke yang
berada dalam naungan pedagang tersebut. Para nelayan, mereka terkondisikan
sebagai “kuli dan hanya sedikit yang mengeluhkan tentang hal itu”, sebagaimana
telah dicatat oleh seorang administrator, tetapi, keuntungan mereka terjadi bukan
disebabkan oleh perluasan produksi, melainkan disebabkan sekarang mereka
menerima sejumlah pemasukan yang sebelumnya adalah milik pedagang dan
tauke.272 Meskipun telah terjadi “achteruitgang” atau penurunan produksi ikan,
namun secara umum industri perikanan di Bagansiapiapi mengalami peningkatan
semenjak masuknya orang Belanda kesana diakhir abad ke-19.. Sebuah warta pada
tahun 1916273, dapat menjelaskan bahwa selama kurun waktu penempatan kontrolir
di Bagansiapiapi, telah terjadi lonjakan tajam pemasukan pemerintah dari garam, yang
semula di tahun 1900 pemasukan adalah sebesar f6.510 perbulan, meningkat menjadi
f36.200 perbulan di tahun 1915, dimana harga garam di tahun 1900 adalah senilai
f2.05 per pikul naik menjadi f4.00 per pikul di tahun 1911 dan harga tersebut turun di
tahun 1913 sebesar f3.50 per pikul. Hal ini dapat dipahami mengingat impor garam
yang mencapai 16.700.000 kg dan produksi ikan yang mencapai 36 juta k.g. dengan
nilai mencapai f3.900.000. Berikut rinciannya:

272 Butcher, 1996: 118.


273
De Sumatra Post, 8 Mei 1916: Een groot vissbedrjf in Indie.
139

Hoeveelheid in Pikol Waarde in guldens


300.000 2.100.000
Gedroogde Visch 200.000 1.200.000
Trassie 20.000 300.000
Gedroogde Garnalen 40.000 200.000
Garnalenschillen 20.000 60.000
Nat geconserv.garn. - 40.000
Vischmaag

3.900.000
Hingga tahun 1917274, sistem pacht-garam di Bagansiapiapi adalah satu-satunya yang
tersisa di Hindia Belanda dimana pemerintah telah memutuskan untuk
mengakhirinya. Pada Bulan November 1917, Konsil Batavia merekomendasikan agar
sistem pacht(farm) dihapuskan, dengan tidak mempedulikan beberapa faktor
penyebab penurunan dari produksi ikan di Bagansiapiapi. Konsil juga mengumumkan
bahwa penarikan keuntungan Pemerintah dari pacht akibat dari penerapan pacht
yang berlebihan. Gubernur Jenderal Mendukung pernyataan konsil yang digambarkan
sebagai “menyalahi prinsip dan tidak adil secara ekonomi.” Di Bagansiapiapi pada
akhirnya pacht-garam dihapuskan yang bukan disebabkan oleh hal lain melainkan
disebabkan sistem pacht itu sendiri. Setelah memutuskan untuk menghapuskan
sistem pacht, pemerintah menyiapkan alternatif untuk mensuplai kebutuhan garam
bagi nelayan. Lebih dari sebelumnya, kali ini monopoli penyediaan garam langsung
ditangani sendiri oleh Pemerintah. Pemerintah memutuskan untuk mensuplai garam
kepada serikat yang berbasis di Bagansiapiapi dan mewajibkan serikat ini untuk
menjualnya dengan harga tetap dengan atas nama pemerintah. Bersamaan dengan
dihapus secara keseluruhan pacht di tahun 1920, Serikat Tjin Tong mengelola bisnis
garam dan menjualnya dengan harga 3 gulden per pikul. Pemerintah nampaknya
melanjutkan model pengadaan garam yang sebelumnya di tangani oleh pebisnis
China, akan tetapi kali ini, Serikat Tjin Tong tampil dengan pola yang benar-benar
berbeda dengan pacht; disini semua pedagang memiliki saham, tidak satupun dizinkan
untuk menyimpan saham lebih dari yang lain, dan pemegang saham terikat untuk
meninggalkan bahagian sahamnya jika ia meninggalkan Bagansiapiapi. Dengan
metode seperti ini tidak ada satu pedagang pun yang dominan di industri seperti di
era sistem pacht. 275 Berikut adalah pasokan garam untuk memenuhi kebutuhan
industri perikanan Bagansiapiapi Tahun 1901 – 1930:

274
Serikat garam yang berperan pada era Tahun 1917 adalah serikat yang dimotori oleh Khoe,
bekerjasama terutama dengan Tjong A Fie, kapiten China dari Medan, yang juga merupakan
bagian dari sindikasi Straits Settlement: “In 1917, Khoe obtained the salt farm of Bagan Si Api Api
with Tan Tang Ho and Tjong A Fie as guarantors for f.38,000 a year”. Dilihat dalam Mailrapport
413/1917/, Extract uit het register der besluiten van den Gouverneur Generaal van
Nederlandsch Indie, Tjipanas, 15 February 1917, dilihat dalam The Chinese Comercial of Medan,
1890-1942:The Penang Connection, oleh Dirk A.Buiskool, JMBRAS Vol.82 Part 2, 2009, p.113-129

275
Butcher, 1996: 119
140

Tahun Garam Tahun Garam


(Juta Kg) (Juta Kg)
1901 12,3 1916 -
1902 14,4 1917 -
1903 15,17 1918 -
1904 14,3 1919 -
1905 14,3 1920 -
1906 14,3 1921 -
1907 10,4 1922 18
1908 10,8 1923 17,9
1909 9,3 1924 18,5
1910 9,5 1925 18,8
1911 13,1 1926 23
1912 14,7 1927 22,7
1913 13,8 1928 -
1914 16,7 1929 -
1915 16,7 1930 -
Garam Garam
Singapore Madoera
Natrium Chlorida (keukenzout) 94.43% 87.73%
Calcium sulfat 0.84% 0.80%
Calcium Cholride 0.15% 0.80%
Natrium Sulfat 0.15% 0.58%
Magnesium chloride 0.55% 1.43%
Organische stof 0.08% 0.08%
Kiez elzuur en silicaten 0.11% 1.03%
Yzeroxide 0.03% 0,.05%
Air 2.97% 6.46%
Calcium Carbonaat 2.97% 0.46%

Sumber: Markus, 1929

Perdagangan Ikan
141

Jawa merupakan pasar utama dari produk Bagansiapiapi. Menurut Colijn, sejumlah
14.0 dari 26.0 juta kg. ikan kering diekspor ke Jawa. Sebagaimana telah
diketengahkan bahwa data Van Kempen menunjukkan ekspor ikan kering
Bagansiapiapi ke Jawa sejumlah 56 persen dari 23.1 juta kg, 25 persen ke Malay
Peninsula, dan 19 persen ke sejumlah wilayah di Sumatra Timur. Jawa, wilayah pantai
Barat Malay Peninsula, sekitar medan dan Sumatra Timur, jumlah penduduk
meningkat dengan pesat, terutama dikalangan imigran di pertambangan dan
perkebunan di Malaya dan Sumatra Timur, menyebabkan permintaan akan ikan
sebagai sumber protein hewani juga meningkat. Disaat yang sama, produksi ikan di
Jawa mengalami penurunan, paling tidak, produksi ikan di Jawa tidak dapat
mengimbangi jumlah populasi yang terus meningkat.Selain itu, kondisi harga garam
yang dimonopoli oleh Pemerintah Kolonial telah menahan laju industri ikan disana.
Kondisi ini telah mengindikasikan kesiapan Bagansiapiapi dengan produk ikan
keringnya, akan tetapi, untuk halnya pemasaran di Jawa, terdapat produk saingan
yang diimpor, terutama dari luar Hindia Belanda, yakni Siam. Di Tahun 1903, dari total
impor ikan dari luar Hindia Belanda yang berjumlah 19 juta kg berasal dari
Bagansiapiapi. Akan tetapi ketika produk Siam memasuki Jawa, produk yang berasal
dari Bagansiapiapi menurun. Kondisi ini terutama disebabkan ikan yang dihasilkan
oleh Siam, adalah ikan yang bernilai lebih dari ikan produksi Bagansiapiapi. Ikan Siam
diasinkan, namun dilakukan lebih baik dari produk Bagan. Colijn mengomentari
produk terassi dari Bagansiapiapi sebagai “vogue” (kabur).276 Bagansiapiapi sebagai
salah satu pemasok ikan bagi Pulau Jawa, dengan komoditis perikanan yang terjamin
kualitasnya. Untuk mempertahankan kualitas tersebut, pada tahun 1915 Gubernur
Sumatra Timur mengeluarkan peraturan memberikan sanksi hukuman (straf) pada
pengusaha yang dalam pengolahan ikan memberikan campuran yang dapat
mempengaruhi kualitas, yakni hukuman 30 hari kurungan (Indie;GINK,1924). Pada era
1913-1915, dimana harga garam meningkat, nelayan mencampur produk trasi guna
mengurangi penggunaan garam, dan ini berakibat pada buruknya kualitas yang
menyebabkan harga trasi produk Bagan di Jawa jatuh. Seperti yang terlihat bahwa
pasar utama produk Bagan adalah di Jawa, ikan kering, terutama trassi. Akan tetapi,
kenyataannya menunjukkan bahwa di Jawa itu sendiri juga menghasilkan trassi. Desa
di sana juga melakukan penangkapan ikan lebih dari yang dipikirkan orang, akan tetapi
ini terjadi jauh lebih luas daripada di Bagan; sementara kualitas produk yang dihasilkan
jauh lebih tinggi daripada ikan boesoek. Unit Jawa dan Madura memproduksi mungkin
lebih dari impor yang berasal dari Bagan, sedangkan untuk pasar lain; Melaka bahkan
produk utama. Melaka menandakan tidak hanya Singapura, tapi Penang dan Inggris-
Malaya, pusat pelabuhan; Benteng Settenham, untuk yang terakhir juga cukup besar,
tidak termasuk dalam jumlah statistik ikan muncul. Bagi udang asin basah di Kantor
Statistik Singapura dikirim ke pelabuhan tertentu, akan tetapi dalam kenyataannya
mereka mengirimnya ke China. jumlah ikan kering, yang terutama berasal dari

276
Butcher, 1996, hal.96-97.
142

Seneboi jauh lebih besar dari ikan kering, Selanjutnya mengenai transportasi di
Panipahan sehubungan dengan posisinya, terutama untuk kegiatan ekspor ikan kering
ke Deli, Jawa dan Singapura. Hal ini, bahkan telah merupakan rute dari kapal
pengiriman yang telah ada. 277 Bahwa ekspor dari Bagansiapiapi ditujukan ke
Singapura dan juga Melaka.

Bagansiapiapi dalam jejaring pelayaran KPM. 278

277 Bottemane, 1929, hal.21


278
Dutch Colonial Map, Thematic Map, name:08271.
143

Terlihat perbedaan menyolok antara pengiriman dari Bagan ke Jawa dibandingkan


dengan yang menuju Deli atau Melaka. Ekspor asal Sinaboi ke Jawa juga berbeda
dengan yang berasal dari Bagan, berkemungkin terkait dengan ekspor ikan yang
relative besar,khususnya di akhir tahun. Anehnya, pergerakan angka ekspor ke Jawa
terutama di arah yang sama dengan angka impor di Jawa dari "Siam". hanya di bulan
Maret dan Oktober menunjukkan gerakan berlawanan; Dalam kasus terakhir, ini
berbeda dengan berkurangnya ikan tangkapan Bagan. Kenyataan ini dikatakan oleh
Haga, ekspor ikan dari Siam ke Jawa tampaknya berkurang, atau tidak ada. Total
ekspor trassi berubah lebih kuat dari ikan. Angka ekspor ke Jawa bergerak kearah yang
sama, akan tetapi nampaknya tidak terlalu berfluktuasi. Jumlah ekspor dari Bagan ke
Melaka, nampaknya diakhir tahun menurun. Penjelasan akan hal ini menjadi tidak
mungkin jika tidak didukung oleh data-data tambahan. Pertama yang perlu dilakukan
adalah dengan melihat pada statistik harga untuk menunjukkan akurasi dan nilai,
kemudian pengetahuan yang lebih memadai dari konsumsi - hubungan di Jawa dan
kondisi nelayan di China dan Siam. Jawa adalah pasar utama penjualan dari produksi
trassi juga untuk ikan. Pedagang di Bagan memiliki hak untuk melakukan kontak
langsung. Sebelumnya, direntang awal abad ke-20, ekspor ikan dan trassi untuk Jawa
terutama singapura, sampai ia menyimpulkan bahwa bahkan hukum penjualan
wilayah itu memungkinkan. Saat itu juga hanya sebagian kecil yang menjalankannya
dari Singapura. Sebuah warta kolonial melaporkannya sebagai berikut: 279
“Pemasukan ikan kering dari Bagansiapiapi di Semarang, mengalami
peningkatan drastis semenjak K.P.M. melakukan pelayarannya dijalur ini.
Sebelumnya, ketika kapal tidak melintas disana seperti untuk melakukan
impor ikan kering dari singapura dimana muatan dari Bagansiapiapi diangkut
dari sana, Ini berarti sebelumnya importir membayarkan kesana karena ikan
dianggap di impor dari singapura. tak seorangpun disini akan membuat
perubahan, jika tidak disebabkan oleh seorang reserse yang cerdas, dan
begitu ia ditempatkan di Bagansiapiapi, idenya langsung menuju titik dimana
pedagang ikan kering yang berada pada keuntungan yang mengirimkannya
langsung ke semarang, dan tempat lain di Jawa pun akan dilibatkan…..”
Untuk perkembangan pada tahun 1920-an, juga memberikan kontribusi untuk K.P.M.
yang dalam 10 hari dengan cepat memberikan layanan kargo besar langsung dari
Bagan ke Jawa. Transportasi terutama menyangkut pengangkutan udang dan ikan
boesoek. Kualitas dari tiga kelompok terakhir dibedakan, yang juga perbedaan harga
yang juga cukup signifikan. Penambahan dari tangkapan dibuat bervariasi bahkan
lebih baik, dengan penetapan harga yang lebih tinggi, tapi hal itu tidak dicegah di
jumlah yang besar tersebut. Pada saat ini diuraikan dalam pengorganisasian yang
lebih rinci. Pada periode berikutnya, mungkin tidak dicantumkan harga yang telah

279 18 Desember 1903, Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie: “Handel de Droge
Visch.”
144

biasa dituliskan hanya rata-rata saja dan berupa perkiraan. Angka yang akan
dicantumkan hanya berupa asumsi, meskipun dengan keyakinan bahwa ini benar.
Akhirnya dapat diasumsikan bahwa jumlah ini adalah sekitar f8.000.000,-. Bottemane
juga membahas akan nilai keuntungan dari sebuah bisnis ikan di Bagansiapiapi. Mulai
dari biaya produksi, seperti; pembangunan alat penangkapan ikan, biaya
pemeliharaan hingga upah buruh nelayan. Dari laporan setebal tiga puluh tujuh
halaman tersebut, secara singkat pemikirannya adalah sebagai berikut:
1. Haruslah dilakukan upaya penelitian biologis atas kondisi setempat di
Bagan atau di luar itu, sedangkan pengetahuan jangka panjang dari
perilaku ikan yang diinginkan sebagai dasar untuk menilai efek dari
penangkapan yng dilakukan oleh kapal ikan; Penelitian kelautan di sini
adalah berbeda dan lebih besar dari yang biasanya berlangsung dalam
perikanan laut;
2. Haruslah di tunjuk Mantri polisi untuk kepentingan hal-hal yang terkait
masalah perikanan; Sementara itu juga dilakukan pengumpulan data;
3. Penetapan tarif haruslah dicatat secara teratur untuk berbagai jenis dan
kelas kapal ikan, sehingga tersedia dasar untuk penelitian biologi;
4 Menghimpun hal-hal rinci hingga yang terbaru, terutama ekspor yang
diperlukan untuk penelitian biologi.
5 Masalah pelayanan kayu mengikuti pedoman tertentu untuk diatur;
6 Penyelidikan atas kemungkinan bantuan teknis perbaikan atau perangkat
berubah, yang dapat memiliki bobot pengurangan biaya;
7. Penyelidikan lebih lanjut ke kemungkinan yang lebih baik dan industri
"pengolahan" hasil tangkapan (tepung ikan?) sangat diinginkan;
8. Bank menyediakan suatu divisi khusus untuk menangani persoalan ini;
9. Dimungkinkan untuk terjadinya beberapa perbaikan dalam metode
pemasaran;
10. Akhirnya, dibutuhkan suatu pengaturan batas jermal 3-mil di "Selat" dan
Hindia Belanda;

Telegraf dan Transportasi Laut


Seperti saran Haga untuk segera dilakukan pemasangan telegrapf, maka pemasangan
telegrapf dilihat sebagai kondisi yang menguntungkan bagi perkembangan industri
perikanan Bagansiapiapi, mengingat bahwa era kolonial dengan segala keterbatasan.
Nampaknya, Teknologi komunikasi ini memungkinkan suatu koneksi bisnis yang lebih
cepat, suatu lompatan yang sangat baik, sebab pengusaha tidak akan menunggu
terlalu lama untuk melakukan suatu transaksi hingga pengiriman ikan. Dipasangnya
kabel telegraph di Bagansiapiapi merupakan kunci utama arus hubungan
Bagansiapiapi dengan daerah lainnya, yang tidak saja tentang pengiriman hasil ikan,
melainkan juga pengiriman (impor) garam, dan barang kebutuhan lainnya. Bahkan dari
145

warta yang terbit tahun 1929, diberitakan bahwa pedagang membuat hutang pada
Kantor-kantor Bank Jawa, melalui Telegraph.280 Lazimnya telegraph pada masa itu,
maka operasionalisasi teknologi ini membutuhkan hingga 6 petugas dengan beragam
ketrampilan, Jumlah tenaga yang terlibat dalam urusan operasional telegraph,
nampaknya berkaitan dengan beban kerja unit tersebut dalam melayani jasa
telegraph, seperti pada tahun 1932, telegraph masuk sejumlah 9390 dan keluar
sejumlah 3192; di tahun 1933 telegraph masuk sejumlah 9096 dan telegraph keluar
3213. Dari aktifitas telegraph ini, dilaporkan bahwa terdapat penghasilan yang pada
tahun 1932 mencapai f790.875,98 kemudian pada Tahun 1933 mencapai
f936.495,96.

Rute Pelayaran Perdagangan


Sementara itu, posisi Bagansiapiapi yang berada ditengah lintas Pengiriman produk
juga jalur perdagangan lainnya seperti garam, sebenarnya menunjukkan bahwa
Bagansiapiapi saat itu adalah sebuah Bandar ikan yang ramai, dipenuhi dengan kapal
uap dan kapal layar yang singgah untuk memenuhi kebutuhan pengangkutan, aspek
yang tidak kalah pentingnya dari cerita suatu industri perikanan. Hingga peristiwa
kebakaran besar yang melanda Bagansiapiapi di tahun 1908, tercatat sebanyak enam
rute pelayaran yang melayani Bagansiapiapi dalam pengiriman produknya antara
Bagan dan Singapura, begitupula antara Bagan dan Jawa. Lima kapal memiliki
kapasitas hingga 200 ton, sementara yang keenam dari Batavia, mencapai hingga 1400
ton. 281 Di awal abad ke-20 ini, tercatat juga kapal-kapal yang singgah dipelabuhan
Bagansiapiapi, seperti; “De Brouwer” dengan jalur pelayaran Asahan, Panei,
Bagansiapiapi, Bengkalis, Siak dan Singapura; kemudian “De Van Der Para”, yang
melayani rute Asahan, Panei, Bagansiapiapi dan Singapura; terdapat juga “De Reynst
yang melayani pelayaran Belawan, Bagansiapiapi dan Singapura; “De Koek” yang
merupakan armada dari K.P.M., mengambil rute yang sama dengan “De Brouwer”,
yaitu Asahan, Panei, Bagansiapiapi, Bengkalis, Siak dan Singapura; “S.S.Medan”
dengan rute Asahan, Panei, Bagansiapiapi dan Singapura, lalu ada
“S.S.G.G.V.Lamberge dengan rute Palembang, Singapura dan Bagansiapiapi.
Sementara rute langsung Bagansiapiapi – Batavia ditempuh oleh “S.S.Swaardecroon”;
dan rute menuju Riau(kepulauan) dari Bagansiapiapi dilayani oleh “S.S.Cheang Hock
Kian.” Kondisi riunya pelayaran dari, via atau menuju Bagansiapiapi ini, dapat
dikelompokkan dalam dua kategori kapal; kapal uap dan layar. Kondisi ini, tercatat
jelas seperti yang terdapat pada tulisan Dr.R.Broersma, dalam Oostkut Van Sumatra ;
Tweede Deel; De Ontwikkeling Van Het Gewest, tahun 1922, sebagai berikut:

280 De Sumatra Post, 5 Juni 1929; Pemberitaan dengan judul “Bagan Madjoe.”
281 De Sumatra Post, 30 Juni 1909, Bagansiapiapi.
146

Keadaan Kapal uap dan layar di Pelabuhan Bagansiaiapi


Tahun 1913 - 1920
Stoomer (kapal uap) Zeilschepen(kapal layar)
Aantaal Inhouden M2 Aantaal Inhouden M2
1913 292 71273 527 27185
1914 261 72985 457 26785
1915 287 88438 551 34856
1916 223 57985 586 33839
1917 213 59109 597 28316
1918 298 71794 750 35054
1919 263 70693 821 28097
1920 214 63610 865 35663
Sumber: Oostkut Van Sumatra ; Tweede Deel; De Ontwikkeling Van Het Gewest, tahun 1922
hal.276-277.

Adapun pada tahun 1920, juga tercatat adanya kapal motor (motorschip) dengan
jumlah pertahun 35 unit, dan muatan tercatat 13055 M2. Koneksi Bagansiapiapi
dengan Bengkalis, Singapura dan Jawa, terutama dipelihara oleh armada K.P.M. dan
perusahaan Kapal milik orang China. Sedangkan arus lintas lokal dipenuhi oleh
sampan dan kapal motor (Vleming, 1926). Mengenai K.P.M., memiliki rute pelayaran
dari Bagansiapiapi menuju Singapura, Penang, Belawan, Jawa dan Kalianget; masing-
masing satu kali sebulan, hanya Singapura mencapai dua belas kali dalam satu
bulannya.282

282ANRI MVO; Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934,
hal.40
147

Belanda dan Buaya di Muara Rokan, 1930-40, KITLV.

Sumber: KITLV.
148

Sumber: KITLV

Sumber: Sin Po, 25 Mei 1940, “Saingan Bagansiapiapi.”


149

Sumber: Inlichtingen en Onderzoekingen Van de Afdeeling Museum,


Tahun 1932

Grafik Produksi Ikan kering, garam dan trassi hingga tahun 1922.
150

Sumber : KITLV
151

Sumber: IGTVNK, 12 November 1924.

Pengolahan Trassi, Sumber: Weekblad voor Indie, 9 Mei 1920


152

Pengolahan Trassi, Sumber: Weekblad voor Indie, 9 Mei 1920

Pengolahan Trassi, Sumber: Weekblad voor Indie, 9 Mei 1920


153

Teknologi Penangkapan Ikan


Ir.B.Markus melihat perikanan Bagansiapiapi ditinjau dari sisi metode dan produksi. 283
Bahwa di Bagansiapiapi, dinarasikan suatu metode perikanan, yang utama dan
dipraktekkan di Muara Rokan oleh orang China (Hokkien) terutama Baganapiapi dan
nelayan tetangga seperti; Panipahan, Seneboi dan Halang. Disini, Perikanan,
sepenuhnya disesuaikan dengan kondisi yang berlaku, yaitu: arus pasang- surut yang
kuat Sebuah laut dangkal dengan bank lepas pantai yang kaya ikan, dan air berlumpur.
Keadaan arus pasang surut pada waktu tertentu, saat pasang perbani (keadaan tinggi
air saat pasang tertinggi dan surut terendah) dari 5 kaki, dan pasang besar 18 kaki.
Kedalaman perikanan pesisir, berkisar dari 0.5 sampai 5m. Alat penangkapan ikan
orang Melayu adalah penting, sebab di sini pada masa lalu oleh orang Melayu sebagai
nelayan asli alat ini (jermal) telah digunakan, dan oleh orang China yang menetap di
sini diadopsi dan dikembangkan. Alat Tangkap ikan di perairan Bagansiapiapi yang
utama adalah jermal, terutama sekitar tahun 1901 hingga akhir tahun 1920-an.
Setelah itu, nelayan mulai mengenal alat tangkap lain yang lebih sederhana, yakni cici,
kelong dan bubu. Alat-alat terakhir ini terutama dipergunakan setelah pendangkalan
muara yang menyebabkan jermal menjadi kurang efisien. Berikut adalah distribusi alat
tangkap ikan yang utama di Muara Rokan berdasarkan lokus penangkapan dan jenis:
Tempat Jermal Vaartuigen Bubu Bubu vaartuigen
Trassi Udang
Bagan 225 275 52 66 172
Panipahan 40 46 - - -
Seneboi 5 6 15 - -
Halang - - - - -
Sumber: Bottemane, 1929

Hingga menjelang masuknya tentara pendudukan Jepang ditahun 1942, jermal dan
ambai masih merupakan sarana penangkapan utama, disamping alat tangkap cici yang
digunakan dengan pertimbangan-pertimbangan yang lebih ekonomis.

Jermal

Jermal yang dikenal di perairan Pantai Timur Sumatra, dan menjadi khas alat
penangkapan ikan di Bagansiapiapi, pada prinsipnya sama dengan sistem bagan, yaitu
mengangkat ikan dari laut setelah terkumpul dari jaring yang ditenggelamkan
sebelumnya kedalam laut. Jermal beroperasi tergantung pada arus laut. Dengan

283Ir.B.Markus, Visscherij-Methoden en Vischproducten Van Bagan Si Api-Api, Pubisher: Batavia:


Instituut Voor Zeevisscherij, 1941.
154

jaring yang berbentuk huruf V, maka ikan yang masuk dalam jarring akan ditangkap
dengan cara mengangkat jaring. Alat seperti ini, memungkinkan semakin kuat arus
akan semakin efektif penangkapan ikannya. Akan tetapi, kelemahan dari jermal
adalah alat ini tidak dapat dipindah-pindahkan mengikuti perpindahan ikan. Pada
tahun 1919, di Bagansiapiapi ditugaskan Mantri-Polisi khusus tentang perikanan,
dimana penduduk menyebutnya sebagai Mantri Ikan, dimana dalam permohonan
pembangunan jermal baru, maka sang Mantri-Ikan ini akan terlebih dahulu melakukan
pemeriksaan tempat yang menjadi usulan lokasi pembangunan dan
membandingkannya dengan peta yang dikeluarkan oleh pihak angkatan laut Belanda.
Setelah melalui proses pemerikasaan, pendaftaran dan pemberian nomor registrasi,
maka jermal pun siap untuk dibangun oleh sang pemohon dengan berada dibawah
pengawasan sang Mantri Ikan; untuk memastikan bahwa jermal memang dibangun
sesuai dengan izin lokasi yang diberikan. Jermal adalah alat tangkap dengan biaya
yang cukup mahal, pada tahun 1916 mencapai hingga sekitar f5000, kemudian tahun
1926 sebesar f8000, dan nampaknya pada tahun 1937 mengalami penurunan hingga
f6400. Seperti alat tangkap jermal, yang berbiaya mahal, rincian biaya satu buah
jermal sebagai berikut:
60 buah tiang @ f6,- ……………. f 360,-
2000 tiang kecil f2,20 ……….. f 4400,-
Jaring Rotan …………………….. ..f 140,-
2 perahu ………………………... f 1500,-
Sehingga totalnya menjadi …….. f 6400,-
Kemudian untuk membuat sebuah jermal kecil, berikut rincian biayanya:
60 tiang ………………..……….. f 210
2000 tiang jajar …………….......f 2000
1 jaring rotan …………………… … f 140
2 perahu ……………………… ………..f 1500
Sehingga totalnya menjadi ……… f 3850
Kondisi ini ditambah lagi dengan biaya pemeliharaan yang cukup tinggi, yang biasanya
dilakukan 2 hingga 3 kali setahun. B.Markus mendeskripsikan alat tangkap djermal
sebagai berikut: Pertama, yang disebut jermal adalah peralatan penangkapan ikan
dengan fokus sejumlah besar ikan kecil, untuk kemudian diolah menjadi ikan asin dan
ikan kering kering sebagai penghasil utama “produk Bagan.” Jermal ditempatkan
dalam barisan tegak lurus searah aliran air. Alat tangkap ikan jermal merupakan alat
tangkap yang penting dalam perikanan di Bagan. Sekitar 400 unit alat penangkap ikan
jenis ini berada di Muara Rokan sampai sejauh 16 mil dari lepas pantai. Untuk usaha
sederhana, dengan kepemilikan sebuah jermal yang dibangun di lepas pantai,
diperlukan modal lebih dari f20.000, termasuk 2 buah sampan untuk
mengendalikannya. Dua baris kayu memanjang dan rapat saling berhadapan
menimbulkan arus bolak-balik dan menggoyang kutub tipis (jajar) di dasar laut dan
akan berfungsi saat air pasang di atasnya. Dua baris kayu ditempatkan dalam bentuk
155

V ke sisi terbuka dari V yang terbalik, masing-masing baris dengan ukuran beberapa
ratus meter panjangnya dan terdiri dari; sebagian besar (dan ini berlaku terutama
untuk jermals di dalam laut yang paling bertahan lama) dari kayu Nibung, bahan yang
kuat akan tetapi berharga mahal. Dalam dua barisan ini, misalnya, diperlukan
sejumlah 1250 potong, jadi keseluruhannya bersama-sama menjadi 2500, dengan
biayanya tidak lebih dari f16.000, jumlah biaya ini adalah sebesar 2/3 dari biaya
keseluruhan jermal. Semakin pendek kutub jajar jermal akan semakin lebih dekat pula
keluasannya. Sebagian besar bahan lain misalnya kayu bakau (Rhizophora) atau kayu
Tengah (Ceriops) diproduksi untuk keperluan ini. Kutub nibung, yang sering lebih dari
8 depa panjangnya, mampu bertahan beberapa tahun, sementara lainnya bertahan
hanya beberapa bulan saja. Mereka berakhir di sisi ujung V yang difokuskan dalam
kumpulan tiang kayu (perepat atau nibung), sangat dilengkapi dengan setumpuk
kutub, dan bambu, yang terletak beberapa meter di atas dari permukaan laut, pada
dua panjang sisi persegi panjang, terdapat 30 sampai 40 tiang.

Sumber: B.Markus, 1929.


Bagan ikan ini, memiliki luas permukaan 5,5-16,5 m persegi, memungkinkan
berbentuk sebidang horizontal, pada pertengahan poros angin (6 sisi keduanya sama),
yang disebut "daun jermal" (China = pin). itu adalah kombinasi dari tikar rotan, dengan
tepi yang sangat kuat, sekitar seluas lantai atau lebih besar lagi. Daun ini terbuat dari
anyaman rotan, di mana berfungsi untuk mengisi celah yang ada. Ikan tertangkap
hanya saat air surut, dua kali sehari, arus pasang surut yang kuat untuk ikan kecil
diantara barisan jajar. Semua jenis ikan, besar dan kecil, dan udang yang tertangkap di
jermal, diambil, terutama spesies yang lebih kecil. Adapun ikan besar yang tertangkap
menjadi milik nelayan kuli. Spesies utama yang tertangkap, teri, senangin (Kuru) Timah
(lajoer) samgo (golamah) nomeh, bawal Putih.
156

Sumber: B.markus, 1929.


Daun jermal yang terdiri dari tiga bagian yang telah terikat satu sama lainnya, berada
di kedua sisi panel samping, yang cenderung mencegah ikan dapat melarikan diri ke
arah samping. Sebagaimana dikatakan, keseluruhan prosesnya pada saat penurunan
air, ikan dengan cepat menuju daun yang miring ke atas, di mana mereka hampir tidak
berdaya pada bagian yang kering, dan seringkali didapati saat pengambilan hasil
masih terdapat ikan disana.

Sumber: B.Markus, 1929.


Kantong, ujung kecil antar jarig, di papan perahu nelayan ditarik melepas ujung bawah,
ruang vakum dikosongkan untuk beberapa jam selama aliran pasang surut sehingga
ikan terkumpul. Lalu hasil tangkapan diletakkan di palka dan dicampur dengan
sejumlah garam. Dikatakan bahwa penangkapan ikan terjadi pada waktu air surut;
bentuk usaha tetap dari alat tangkap-berarti hanya satu sisi, berbeda dengan Ambai,
dimana perubahan dari air pasang kondisinya dapat diubah. Jermals, kecuali untuk
157

sekitar Bagan, 2 kano (sampan) dengan 2 kuli, Sebuah perahu menetap selama 2
minggui. Kembali ke jermal dan kemudian ke pantai untuk digantikan oleh yang lain.
Berbeda dengan alat jaring perangkap (atau bubu Ambai) yang dilakukan justru adalah
sebaliknya.

Sumber: Fishing and Fish Culture in The Netherlands Indie,


by Dr.H.C.Delsman, 1939.

Jermal di Muara Rokan: Sumber : INGIK, Tahun 1923


158

Sumber: Fishing and Fish Culture in The Netherlands


Indie, by Dr.H.C.Delsman, 1939.

Pada tahun 1916, pemerintah Hindia mengeluarkan aturan tentang jermal bertanggal
21 Januari 1916; “Keur op de oprichting, de registratie en de opruiming van djermals
en op de zoogenaamde bangliau's in de Afdeeling Bengkalis.” Peraturan yang biasa
disebut Viscerijkeur ini, terutama mengatur pembangunan jermal hingga
pembersihan jermal yang telah ditinggalkan pemiliknya disebabkan timbulnya keluhan
tentang gangguan pelayaran yang berasal dari jermal-jermal yang sudah tidak
berfungsi lagi. Selain itu, Visscherijkeur juga mengeluarkan aturan tentang izin
pembangunan jermal, pendaftaran dan penomoran, hingga pencahayaan jermal yang
dimulai dari terbenam hingga terbitnya matahari; poin yang dirasakan berat
mengingat biaya yang cukup mahal. Akan tetapi, pelanggaran atas aturan ini,
dikenakan sanksi denda hingga f100, dan hukuman kurungan yang mencapai tiga
bulan. Hasilnya, jermal di muara Rokan, terlihat di gelapnya malam bagaikan
sekumpulan kunang-kunang bercahaya; dan pers Belanda menyebutnya “De Ville
Lumiere in het donkere Afdeeling van Bengkalis” (Kota Cahaya dikegelapan malam
Afdeeling Bengkalis). Bahwa juga, terbitnya visscherijkeur ini juga nampaknya sebagai
159

respon pemerintah Hindia atas situasi “achteruitgang” pada setengah dasawarsa


sebelumnya, dan juga, fluktuasi kualitas sebagai mahalnya harga garam yang
menyebabkan jatuhnya harga produk Bagan di pasar Jawa.

Sumber: Fishing and Fish Culture in The Netherlands Indie,


by Dr.H.C.Delsman, 1939.
160

Bubu / Ambai

Sebagaimana jermal, maka Bubu digunakan untuk penangapan ikan dengan


menggunakan 21 Tiang berdampingan dan pemasangan jaring. Adapun rician biaya
pembuatan Bubu adalah sebagai berikut:
21 Tiang Nibung @ f 1,50 …… f 31,50
20 netten ad ongeveer f 15 …… f300,-
Perahu dan sampan………………... f 400,-
Total ……………….…………… f 731,50
Untuk bubu/ambai, Markus menuliskannya sebagai berikut: Di bawah jaring
perangkap besar yang biasanya terbuat dari rami, terutama untuk menangkap udang
(udang) dan rebon (udang kecil). Penempatan jaring adalah tegak lurus terhadap arah
aliran diantara 2 sisi air laut pada kutub (ujung poros) yang disediakan, sementara ada
yang berbeda (12-15) di samping satu sama lain, antara deretan tumpukan yang
terpasang. 535 baris bubu seperti yang terdapat di muara Rokan.. Kami memisahkan
dua jenis alat penangkapan ikan ini, perlunya memilah, dan dapat ditemukan bahwa
dalam bisnis ini; Ambai berlaku untuk udang atau Ambai untuk menangkap rebon
yang kadang-kadang disebut belacan, yang terakhir ditujukan untuk pembuatan trassi.
Perangkap jenis pertama memiliki ujung kecil dengan bahan jaring yang lebarnya
sekitar 1 cm. ukurannya sama dengan bagian belakang secara berangsur semakin
menyempit.

Sumber : B.Markus, 1929.


161

Sumber: B.markus, 1929.

Seperti kita lihat dalam sketsa kantong udang sebagai perangkap. Udang yang berada
dalam perangkap di area Bagansiapiapi atau Pulau Halang, dibawa sesegera mungkin
ke lantai pengeringan. Lebih jauh ke laut dapat ditemukan suatu susunan kayu yang
tinggi yang merupakan bangunan gubuk nelayan berdampingan sebuah lantai kering
yang luas, di mana hasil tangkapan bagan-ikan sebelahnya dibawa kembali dan diolah
(direbus dengan garam dan kering). Mereka menyebutnya dengan “tah-Liau”, yang
berfungsi untuk pengeringan ikan. Metode perangkap dari 2 jenis bubu itu (Ambai)
juga sama. Jala melekat pada tali antara kutub, meskipun penangkapan ikan adalah
pada bagian bawah hampir ke dasar laut.

Sumber: B.Markus, 1929.

Berbeda dengan jermal, saat air pasang dan surut, ikan dapat tertangkap, jadi alat ini
dapat mencapai 4 kali sehari melalui jaring untuk mengambil hasilnya dibagian dalam.
Secara substansial, - ini berbeda dengan perikanan jermal, - saat pasang kecil, 4 hari
sebelum dan sesudah penangkapan ikan, setengah bulan kurang lebih 7-8 hari. Pada
musim panas berdasar keadaan dilapangan, tampaknya waktu ini tidak cocok
digunakan untuk menghasilkan udang dan rebon. Para nelayan pun menetap saja di
rumah, dan kesempatan tersebut digunakan untuk memeriksa jaring yang rusak, lapuk
dan memperbaikinya untuk dapat digunakan kembali. Nelayan rebon menggarami
162

produk mereka dan untuk sementara waktu tidak melaut selama periode 7 sampai 8
hari di tempat mereka. Sementara itu nelayan udang, yang alat-jaringnya berposisi di
Bagan, dan masing-masing tetangganya di Pulau Halang atau Seneboi, bertungkus-
lumus setiap hari dengan hasil tangkapan mereka di laut. Dengan ambai itulah mereka
dapat jauh ke tengah laut, memperoleh kesempatan menangkap dan segera menuju
lantai kering di "tah-Liau" itu untuk mengolah hasil tangkapan. Pengorganisasian dari
2 bentuk usaha, sesuai dengan produknya, ternyata sebagaimana kita lihat memiliki
perbedaan besar.

Alat Tangkap Bubu

Cici
Mahalnya alat tangkap jermal, memunculkan inovasi alat tangkap di perairan Muara
Rokan, yakni alat tangkap Cici yang berbiaya lebih murah dan bersifat mobile (dapat
dipindahkan). Tjitji adalah sejenis alat penangkap ikan yang digunakan untuk tempat
dangkal yang tidak lebih dari 3m saja kedalamannya. Bentuk cici seperti kantong yang
dipasang pada tiang yang ditanam kelaut. Bentuknya yang sederhana memungkinkan
pembuatannya yang jauh lebih murah daripada jermal, dan keunggulannya adalah cici
dapat menangkap ikan pada saat air pasang dan surut. Adapun biaya pembuatan cici,
hanya mencapai sekitar f200, dengan rincian: 10 Tiang, 5 Jaring dan touw. 5 x f40 =
f200. Alat Penangkapan ikan Cici, sebagaimana tercatat dalam laporan B.Markus:
Sebuah jenis jaring penangkap ikan yang ketiga adalah yang terdapat di sini, yakni:
Cici bubuh, nama ini berasal dari bahasa China, yakni “tsiet” untuk 7, tujuh jala
mengapung, yang dalam hal inilah alat tangkap digunakan. Ini adalah bubuh yang
sangat luas jaringnya (fuiknet) melayani semua jenis ikan untuk ditangkap; pada
barisan alat trietsji, sisi demi sisi melebar kearah luar dan luas, dan lagi jalanya mudah
untuk digerakkan.
163

Sumber: B.markus, 1929.

Penampangnya sangat luas, kantong kain belacan, bahkan terbukti dengan hasil
penangkapan rebon kecil. Kantong yang dilindungi oleh perangkap dengan lingkaran,
terhadap serangan lumba-lumba, hiu, dan lainnya, hasil tangkapan berada di ujung
kantong. Konfirmasi tersebut tidak seperti pada alat tangkap ambai. Bagian atas
pembukaan oleh tujuh batang bambu (pelampung), dan di setiap sisi sebesar (5-6 m),
lebih jauh lagi terdapat lima potong yang lebih kecil (2,5 - 3m). Jaring yang berbeda
(8-10) sering diatur berdampingan di sudut kanan ke arah aliran, dikendalikan oleh
sebuah perahu dengan dua laki-laki dan dengan demikian dapat meliputi areal yang
lebar. Di sekitar Panipahan banyak didapati jermal yang di dekatnya, seringkali di
bagian atasnya dikondisikan dan dibentuk sedemikian rupa untuk menakuti para
pesaingnya.

Sumber: B.Markus, 1929.


164

Menurut nelayan jermal, alat cici ini sangat mengurangi hasil tangkapan mereka.
Akibatnya, dilakukan pelarangan keberadaan alat cici di sekitar jermal. Cici banyak
terdapat di dekat Senaboi dan Pulau Halang. Selain persoalan cost (biaya) yang cukup
mahal, ternyata dengan munculnya alat tangkap cici, seperti telah diuraikan oleh
Markus, menimbulkan persoalan baru, yakni persaingan dalam memperebutkan areal
perairan tempat beroperasinya alat-alat penangkapan ikan tersebut. Persaingan ini
dapat dimengerti mengingat jumlah nelayan yang cukup besar dibandingkan dengan
luas perairan Muara Rokan itu sendiri. Persaingan ini berujung pada konflik, hingga
perkelahian phisik antar kelompok nelayan pengusaha jermal, dan juga cici.
Dipandang konflik tersebut cukup memprihatinkan, Pemerintah Kolonial akhirnya
campur-tangan dalam persolan tersebut; Dengan melakukan serangkaian pertemuan,
diaturlah areal pemasangan jermal, Takliauw, bubu dan cici sebagai berikut284:
I. 3 mil dari pantai antara 3 dan 2 km dari sungai, adalah Bubu ikan milik nelayan
Bagansiapiapi;
II. Di seberang Sungai Raja Bejamu sampai 5 mil dari pantai ke perbatasan untuk
“takliauw” Nelayan Bagansiapiapi;
III. Antara Sungai Siandam dan Sungai tengah yang berjarak 3 mil dari pantai,
bubu hanya milik orang Bagan;
IV. Sebaliknya, antara kubu dan Sungai Jermal diseberang Pulau Halang pada
kejauhan 3 mil, wilayah bubu hanya untuk orang kubu;
V. Sekitar Pulau Halang, Bubu dan cici khusus untuk penduduk pulau ini;
VI. Sekitar Pulau Halang Kecil untuk Bubu dan cici dari penduduk Sinaboi dan
Sungai Bakau:
VII. Disekitar Pulau Sinaboi, bubu hanya untuk warga Sinaboi dan Sungai Bakau.
Untuk mencegah permusuhan antara nelayan Sinaboi dan Ujung Sinbu - untuk
memastikan yang terbaik);
VIII. Ujung Sinbu arah berlawanan dengan antero timur hanya untuk cici milik
nelayan Ujung Sinbu;
IX. Antara panipahan dan sungai Tawar dan pada jarak tiga mil dari pantai, jermal
diperuntukan bagi nelayan Panipahan.
Kondisi diatas, Tiang Bubu dan Jermal, selain telah diarasa cukup padat, dianggap
oleh Pemerintah Kolonial telah mengganggu bahkan membahayakan lintas pelayaran,
oleh sebab itu Pemerintah Kolonial mengeluarkan ketentuan yang mengatur
pemasangan Tiang Jermal dan alat penangkap ikan lainnya. Aturan tersebut meliputi
pemasangan jermal yang harus berada pada jarak tertentu dengan jermal lainnya,
sebagai berikut: 285

Jarak antar dua alat Jarak depan dan belakang Jarak kiri dan kanan

284 Boudewijn Van Duren, ANRI-MVO; Memorie Van Overgave; 30 Agustus 1934. Hal.32.
285
Menurut Keputusan Gubernur Sumatra Timur Tanggal 13 Desember 1933.
165

Jermals 2000 depa 500 depa


Takliaw 2000 depa 500 depa
Bubu 300 depa 20 depa
Cici 300 depa 20 depa

Berikut adalah jumlah jermal dalam 10 tahun yang terdapat di perairan Muara Rokan;
Tahun 1921 sejumlah 430-an; Tahun 1922 sejumlah 400-an; Tahun 1923 turun
menjadi sejumlah 300-an; Kemudian tahun 1924 sedikit peningkatan menjadi sekitar
325; Pada Tahun 1925, naik lagi menjadi kurang lebih 350-an jermal; akan tetapi pada
tahun 1926 turun menjadi 321; Tahun berikutnya naik kembali menjadi 339; Tahun
1928 tercatat kurang lebih 400-an djermal; Tahun 1929 dan 1930 kembali turun
menjadi 300-an saja (MVO, 1936). Ikan yang sudah terjerat pada jaring jermal,
kemudian diambil oleh Nelayan. Letak jermal yang berada di perairan membutuhkan
sarana perahu untuk transpotasi pengangkutan nelayan dan hasil tangkapan ikan
untuk dibawa menuju bangliau-bangliau. Maka tidak lah berlebihan jika dikatakan
jumlah perahu Nelayan di Bagansiapiapi, cukup banyak untuk ukuran luas
Bagansiapiapi sendiri. Seperti pada Tahun 1921 dampai dengan tahun 1924, terdapat
sejumlah 1200-an perahu nelayan; adapun selama 2 tahun berikutnya terjadi
peningkatan jumlah menjadi 1300-an perahu; Kemudian pada tahun 1927 tercatat
sejumlah 1200-an perahu; dan dua tahun terakhir terjadi penurunan menjadi masing-
masing untuk tahun 1929 sekitar 1000-an perahu dan tahun 1930 menjad 950-an
perahu (MVO: 1936).
166

Peta jermal, bubu, takliauw dan cici di Muara Rokan 1930-an.286

286
ANRI-MVO, Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934
167

Pukat atau jaring

Perikanan dengan drijftnets, atau juga disebut pukat adalah alat tangkap ikan paling
dalam yang dapat digunakan di laut, dengan tujuan untuk menangkap ikan-ikan yang
lebih besar seperti: hiu, pari-pari (ikan pari), ikan Bator, senohong, geret-geret dan
lainnya. Untuk perikanan lebih dekat, di mana spesies yang lebih kecil (seperti
senangin) yang tertangkap, jaring dengan ukuran mata 3cm. Metode penangkapan
ikan ini adalah: ikan berenang di antara jaring (atau terbawa oleh arus menuju jaring)
hanya kepala antara celah-celah, karena insang ikan tersangkut tali jaring, ikan pun
tidak lagi bebas. Ukuran ikan menjadi tergantung dari lebar jerat. Djaring terdiri dari
banyak potongan diatur sisinya dengan ukuran hanya 8,5 x 5 m. Mereka berdiri di
dalam laut ditempatkan di antara dua buah adalah pelampung (bambu buah) dan
masing-masing tujuh keping kayu mengapung pada keseluruhannya. Sampan
memiliki jaring dengan sendirinya, misalnya, 32 buah, yaitu panjangnya mencapai
beberapa ratus meter.

Sumber: B.Markus, 1929.

Dari jarings lebih kecil (jaring halus) dengan ukuran lobang kurang lebih 3 cm, Orang
menemukan berbagai bentuk, misalnya panjang dari hanya 40 x 1,25 m dengan 50
pengapung. Jaring apung yang ditemui di Panipahan dan Seneboi.
168

Berlayar secara bersama-sama, lalu seluruh nelayan dari tongkang (kano Cina) itu
melemparkan jala mereka (a) membiarkannya dengan mengikuti arus dan mengambil
setelah jala mereka kembali (b) dimana ikan akan didapat. Perikanan rawai, berada di
tempat yang berbeda, alat ini dihubungkan secara substansial dan dalam operasinya
lebih jauh ke laut. Ada 2 jenis garis, ini adalah baris dengan banyaknya kait ikan.
Pertama, satu dengan yang cukup kait pancing rawai panjang, yang umpan
dikonfirmasi (untuk hiu, dan lainnya). Dengan kondisi ia menggigit umpan, kait di
rahang, maka ikan tertangkap.

Sumber: B.Markus, 1929.


Jalur ini hampir di bagian bawah dan di satu sisi dengan jangkar diturunkan, di sisi lain
dari sampan dan kemudian dilemparkan ke perahu. Pada beberapa tempat di jalur
pelampung bambu, ditandai dengan bendera. Di kedua tempat, garis yang lebih kecil
atau garis, yang bekerja tanpa umpan, dan dengan pengapung yang diupayakan tidak
banyak muncul dipermukaan.

Sumber: B.Markus, 1929.

Alat Penangkapan Ikan Lainnya

Berturut-turut selanjutnya di sini alat penangkap ikan: Di Panipahan, diperlukan 2 - 3


atau bahkan 4 orang (yang besar). Ini adalah alat penangkapan ikan di lepas pantai,
yang beberapa dari jaring terdapat disana. Maka cara operasi alat ini adalah dalam
sebuah lekukan dimana ikan tertangkap di bagian tengah, semakin dekat ditarik akan
menghasilkan kantong,.
169

Sumber: B.Markus, 1929.


Jaring yang luas dan memiliki bentuk skema berikut:

Sumber: B.Markus, 1929.


Secara umum ukurannya sama, 1 inci, sayapnya sebagaimana terlihat memiliki banyak
pelampung kayu (lima buah per meternya) dan di bawah tendon, tali tebal dengan
blok timah (satu buah per empat meternya). Secara keseluruhan, panjang sayap
masih bervariasi; mulai dari 90 hingga 150cm. Spesies ikan yang ditangkap di pantai
ini meliputi: Sembilang, gelamah, dan sejumlah ikan kecil. Belat (penduduk setempat
menyebutnya;bolek) adalah alat pemancing, yang terdiri dari rangkaian panjang yang
ditempatkan dilaut pada tikar yang terbuat dari batang rotan, yang dalam bentuk V
didirikan di laut, antara lain terdapat di Panipahan. Pengaturan alat ini adalah
bertempat di pantai, sehingga ketika air surut ikan terperangkap dalam pola V,
kemudian pada permukaan kering di bawahnya. Panjang sayap adalah 90 m, tinggi 90
cm tikar. Kemudian adalah tikar yang masing-masing selebar 7 m yang melekat satu
sama lain.
170

Sumber: B.Markus, 1929.

Alat Pengolah; Sumber: B.Markus, 1929.


171
172

6
Pendangkalan Muara
Kontrolir Haga pada dasawarsa kedua awal abad ke-20, dalam Laporannya
menyebutkan bahwa proses pendangkalan diasumsikan telah menyebabkan
berkurangnya produksi ikan. Namun argumentasi ini pada saat itu masih terlihat
meragukan, atau bahkan ada yang menyangkal, mengingat proses pendangkalan yang
teleh berjalan sekian lama, sedangkan penurunan produksi terjadi dalam waktu
mendadak atau singkat. Untuk jelasnya, dapat kita ilustrasikan sebagai berikut: Jika
pada tahun 1896 produksi ikan mencapai 7.5 juta Kg, maka secara pasti mengalami
peningkatan seperti pada tahun 1901 ketika diberitakan memasok kebutuhan ikan
Pulau Jawa melalui Singapura yang mencapai 12 juta Kg, maka produksi ikan pada
tahun itu mencapai 17 juta Kg; terus meningkat hingga mencapai 25.8 juta Kg pada
tahun 1904, tahun-tahun setelahnya memang mengalami penurunan hingga 18 juta
Kg pada kurun waktu 1910-1911, namun kemudian mengalami kenaikan kembali.
Kontrolir Haga menulis Laporan hingga akhir tugas nya tahun 1917, dimana produksi
naik lebih sedikitnya 1 juta Kg, atau 19juta Kg pada tahun 1917. Meskipun demikian,
turunnya produksi ini, sebahagian elit Pemerintah Kolonial di Batavia tidak melihatnya
sebagai akibat dari gejala pendangkalan. Jurnal Kolonial Bulan Desember 1924 antara
lain menyebutkan bahwa terdapat dua hal yang menjadi fokus perhatian,
sebagaimana juga telah disampaikan Haga, yaitu: Terjadinya pendangkalan di Muara
Sungai Rokan secara cepat dan terus-menerus; Pendangkalan muara adalah proses
yang alamiah. Akan tetapi di Bagansiapiapi, seperti dikemukakan oleh Butcher bahwa
pendangkalan yang seharusnya terjadi dalam kurun waktu ratusan hingga ribuan
tahun, disini berlangsung begitu cepat; sebagai ilustrasi cepatnya pendangkalan ini
adalah, Pelabuhan modern yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial, saat ini letaknya
adalah di tengah kota yang berjarak sekitar 3 km dari bibir pantai, pendangkalan
ataupun perubahan dari laut menjadi daratan sejauh 3km dalam kurun waktu kurang
dari 100 tahun. Haga, juga Butcher menyinggung persoalan penebangan hutan di hulu
sungai, dan mangrove di muara. Sekitar tahun 1910 nelayan telah melakukan
sejumlah besar penebangan hutan mangrove dikawasan ini, yang digunakan untuk
jermal dan ambai. Setiap jermal membutuhkan sejumlah kayu besar dan ribuan yang
lebih kecil untuk pembangunan sayapnya, dan sejumlah besar lagi untuk
pembangunan pelantaran, gudang, rumah dan panglong. Belum lagi pembangunan
ulang akibat pelapukan, kebakaran yang sering menghanguskan bangunan dalam
jumlah besar. Menurut Kontrolir Haga (1916) kondisi ini telah berlangsung sejak awal
kedatangan pemukim China ke Bagansiapiapi, yang berlangsung terus menerus dan
173

mencapai jauh ke pedalaman. Selain itu, mangrove sebenarnya juga berfungsi dalam
menyediakan nutrisi bagi ikan di muara; penebangan mangrove secara besar-besaran
tentu saja berdampak pada kesetimbangan ekosistem penyedia makanan bagi ikan.
Kondisi ini, juga di lengkapi oleh penanaman tiang-tiang penopang jermal dan ambai,
yang pada akhirnya tidak saja menghalau atau menggiring ikan ke arah jermal dan
ambai oleh derasnya arus, melainkan juga membawa seluruh Lumpur endapan hingga
tertahan disana. Pada era kontrolir Haga, kondisi ini telah berlangsung dan berjalan
dengan cepat, dimana secara pasti disekitar Pelabuhan Bagan Siapiapi telah terjadi
pembentukan pulau-pulau kecil, meluasnya Pulau Halang besar dan kecil, serta Pulau
pedamaran yang telah membentuk pintu aliran sungai; Keseluruhan ini berlangsung
dengan cepat, diawal paruh abad ke-20. Adapun Verstappen (1975) melihat bahwa
Bagansiapiapi dan daerah lainnya seperti; Pulau Rupat, Bengkalis dan Tebing Tinggi
kondisi pendangkalannya diasumsikan oleh gejala gerakan lapisan Tectonic.
Penjelasan yang logis adalah bahwa garis pantai dipengaruhi oleh kondisi punggung
dasar samudera yang dalam kondisi pasang akan membawa material pasir-tanah
menuju garis pantai. Kondisi tersebut memungkinkan terjadinya pendangkalan.
Sulitnya untuk tetap dapat memenuhi permintaan akan peningkatan ataupun
perbaikan jermal yang mengalami kerusakan; laporan menunjukkan bahwa pada
tahun 1920 tidak kurang dari 170 Jermal yang tidak dapat digunakan, bahwa
Hardenberg menemukan perubahan konfigurasi dasar muara dan sebaran jermal yang
begitu banyak dan luasnya; berkemungkinan disebabkan juga oleh keberadaan jermal.
Gobee287 ditahun 1911 melaporkan bahwa sejumlah 250 jermal telah ditinggalkan
pemiliknya, dan atau ia memindahkannya ketempat yang lebih jauh di lepas pantai;
bahwa, kondisi ini memungkinkan untuk mulai dibangunnya rumah (shelther) ditas
jermal tersebut. Kemudian pada pulau di seberang Sinaboi, juga ditemukan sebaran
luas dari jermal disana; di tahun 1914, Sunier melaporkan bahwa dari sekitar 400
jermal di Bagansiapiapi, separuhnya tetap berada dilokasinya, sisanya dibangun oleh
orang yang telah meninggalkan jermal pertamanya. Kondisi ini berkaitan dengan telah
mendangkalnya sebahagian area muara dimana jermal menjadi tidak efisien.
Pentingnya persoalan perbaikan Jermal tersebut, mengingat bahwa penempatan dan
pemasangan Tiang Jermal haruslah sesuai dan tepat, Kuat, dan mampu menahan
terpaan ombak. Mengenai kekuatan arus di Muara Sungai Rokan, ada baiknya kita
melihat tulisan seorang opsir Belanda, dalam lawatan nya ke Bagansiapiapi dari
Medan.
Bagansiapiapi yang sangat berbeda dibandingkan dengan daerah lain yang
sudah ia kunjungi sampai saat ini. Kota ini terletak di muara yang luas dari
sungai Rokan, dimana perbedaan antara pasang tinggi dan rendah adalah 17
sampai 18 kaki, dan air berjalan dengan kecepatan yang tinggi dan
mematikan….. selain itu kapal yang ditumpanginya telah terjebak dalam arus
surut, sehingga ia harus menunggu sekitar 6 jam untuk dapat mencapai

287
Gobee, achteruitgang, Butcher, 1996: 111
174

pelabuhan. …..……. Bahwa sisi kapal di kelilingi oleh Lumpur, bahkan telah
nampak adanya pulau-pulau di sekitar pelabuhan….(1906-1911).
Seperti telah dikemukakan di muka, Verstepphen dan juga beberapa ahli
menyinggung tentang pendangkalan pantai, sebagai gejala progradasi, gejala yang
mungkin berlaku di seluruh muara, berikut ulasannya:
Di bagian timur Sumatera, progradasi tampaknya telah sangat cepat terjadi
dalam sejarah, meskipun demikian belum ada informasi yang cukup untuk
memungkinkan rekonstruksi rinci dan detail dari urutan garis pantai. Studi
peta awal, akurasi yang tidak pasti, dan interpretasi dari deskripsi oleh
wisatawan Cina, Arab, dan Eropa yang terutama Obdeijn (1941)
mengemukakan bahwa ada progradasi hingga 125 kilometer di delta Kuantan
sejak sekitar 1600 Masehi. Dalam artikelnya lebih lanjut, Obdeijn (1942a,
1942b, 1943, 1944) menemukan bukti pendukung untuk progradasi garis
pantai yang luas di sepanjang Selat Malaka dan di selatan Sumatera. Pada
abad kelima belas Palembang, Jambi, dan Pelabuhan Indragiri yang dekat
dengan laut terbuka atau jarak pendek sampai muara (Van Bemmelen 1949).
Baru-baru ini, garis pantai delta Jambi telah ter-progradasi sampai 7,5
kilometer antara 1821 dan 1922, sedangkan di pantai timur pelabuhan
nelayan Bagansiapiapi telah tertimbun lumpur, dan Pelabuhan Sri Vijayan
sekarang telah menjadi darat (Verstappen 1960, 1964b). 288
Butcher (1996) mencoba untuk menguraikan persoalan pendangkalan yang terjadi di
Muara Rokan sebagai berikut: Pada gambar pertama, kondisi Muara Rokan pada
Tahun 1893, dimana berselang waktu selama 20-an tahun, yakni tahun 1918, (gambar
kedua) Kondisi Muara Rokan telah memperlihatkan perbedaan yang nyata. Jika dilihat
kondisi saat ini, yakni, maka perbedaan tersebut benar-benar memperlihatkan
perubahan garis pantai dan pulau-pulau di perairan Muara Rokan, seperti Pulau
Barkey yang semakin menutup pintu pelabuhan Bagansiapiapi. Pada Tahun 1931,
hadenberg melaporkan bahwa pada lokasi pantai telah bertambah pulau baru yang
diikuti dengan tumbuhnya pohon Api-Api.
When Hadenberg revisited Bagan Si Api-Api in 1933, just four years after his
major study, he found that the configuration of the bottom of the estuary
had changed quite considerably and that a new island (of several hectares
and cover with young Avicennia-trees) had formed to the southwest of the
town…289
Pada peta Hardenberg I, adalah kondisi muara Rokan terdapat dalam laporannya yang
diterbitkan pada tahun 1931: Sedangkan peta Hardenberg II, terdapat pada
laporannya yang diterbitkan pada tahun 1932, yang mendeskripsikan dalam laporan
tersebut adanya “new Island”, atau pulau yang baru saja terbentuk. Dampak nyata

288 Dilihat dalam “Environmental Changes on the Coast of Indonesia”, Tahun 1980;
289
Dilihat dalam Butcher, 1996 , hal 111.
175

dari terjadinya perubahan fisik muara Rokan akibat perubahan ekologis, ekosistem
muara yang berdampak pada menurunnya hasil penangkapan ikan Tahun 1934,
kontrolir mencatat bahwa Pulau Barkey telah semakin terbentuk. Berikut
perkembangan Muara Rokan dalam sketsa. 290 Pembabatan hutan, terutama
mangrove dan Kayu Niboeng dianggap sebagai penyebab kerusakan ekologi Muara.
Meskipun pada saat itu telah dilakukan upaya untuk menjaga kelestarian hutan,
seperti pelarangan penebangan Hutan Nibung melalui Keputusan Gubernur Nomor 16
Tanggal 9 April 1934; namun dalam prakteknya; Panglong Bengkalis yang notabene
kayunya banyak berasal dari Hulu Sungai Rokan tetap melakukan ekspor Kayu Nibung
dalam jumlah besar. Kembali pada persoalan pendangkalan muara Rokan, bahwa
tidak saja lintas perairan kapal menjadi terganggu, tetapi juga menyebabkan ikan-ikan
hasil tangkapan berkurang. Seperti dikemukakan oleh Van Duuren tahun 1934, bahwa
Variabilitas air Teluk Rokan, sulit dilayari. Nampaknya juga, cukup sulitnya melintasi
perairan ini berkaitan dengan endapan lumpur yang menyebabkan berkurangnya
kedalaman muara. Bahkan sekitar tahun 1930-an, disekitar pelabuhan telah
terbentuk pulau Barkey, sehingga kapal-kapal terpaksa untuk merubah jalur
pelayarannya. Konsekuensi logis atas permasalahan ini adalah jenis-jenis ikan yang
tidak mampu bertahan pada perairan yang dangkal, menyebabkan ikan-ikan ini
cenderung berpindah ke perairan yang lebih dalam. Disamping itu, proses
pendangkalan ini diasumsikan telah menyebabkan adanya perubahan pola arus
sungai, berkurangnya kekuatan arus, dan juga dimana pertemuan air laut dengan air
tawar telah berpindah juga ke tempat yang lebih dalam, sehingga alat tangkap jermal
yang sedianya adalah alat tangkap utama tidak maksimal.291

Terjadi Kelebihan Tangkap di Muara Rokan(?)


Selain faktor yang telah diuraikan, dapat dicermati bahwa sumber daya perikanan di
Bagansiapiapi adalah sebagai suatu “Sumber daya alam dengan akses yang terbuka”.
Siapa pun dapat menangkap ikan disana; sebagaimana dikemukakan oleh ekonom
bahwa “one owned by no one but available for exploitation by all.” Meskipun seluruh
nelayan terikat dengan pachter-garam, mereka dalam melakukan operasinya berada
dalam kelompoknya sendiri, disebabkan tidak adanya pembatasan jumlah kelompok
nelayan yang dapat melakukan ekploitasi perikanan di muara. Kelompok-kelompok
nelayan tersebut melakukan penangkapan ikan sebanyak yang dia mampu untuk
menghasilkan profit. Setiap kelompok berupaya memaksimalkan hasil
penangkapannya, begitu pula dengan kelompok yang lain. Tidak ada upaya yang
dilakukan kelompok ini dalam menjaga (konservasi) sumber daya, sebab jika salah satu

290
Sketsa Muara Rokan, berturut-turut dimulai Tahun 1896, 1916, 1920, 1932 dan terakhir Tahun
1944. Sketsa dibuat berdasarkan Peta sebagaimana terdapat pada KIT Library: Royal Tropical
Institute: Dutch Colonial Maps;
291
ANRI MVO; Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934,
176

kelompok meminimalkan upaya dalam rangka penjagaan sumber daya, hal ini akan
menguntungkan kelompok lainnya, begitupula sebaliknya- nampaknya ungkapan
ekonom bahwa,
keserakahan yang satu akan dibatasi dengan keserakahan yang lain tidak
berlaku disini.
Halnya dengan pachter, meskipun diuntung dengan perolehan profit dari
pengelolaan pacht, maka yang menjadi orientasi dari pachter adalah bagaimana dia
dapat menghasilkan keuntungan dan membayar hak sewa tersebut kepada
Pemerintah. Jelas bahwa pachter tidak dapat diharapkan dalam upaya konservasi.
Kelompok yang dianggap mampu dan berkompeten untuk upaya konservasi muara,
jelas adalah pemerintah. Hanya pemerintahlah yang berada dalam porsi untuk
melakukan konservasi sumber daya. Akan tetapi nampaknya, di kalangan pejabat
Hindia Belanda di Batavia terdapat anggapan bahwa “achteruitgang” (penurunan)
dari produksi bukan disebabkan oleh overfishing (kelebihan eksploitasi sumber daya
ikan), melainkan oleh kenaikan harga garam.292 Meskipun demikian, teknologi
penangkapan ikan menggunakan jermal dan ambai di Bagansiapiapi, sepertinya telah
terbukti memiliki dampak destruktif terhadap kelangsungan fauna di muara.
Sebagaimana disampaikan van Kampen bahwa jermal yang disaksikannya di tahun
1908, telah menggiring semua jenis ikan ke jermal, membunuhnya bahkan ikan yang
masih muda dan tidak memiliki nilai ekonomis. Meskipun demikian, segala bukti yang
ada itu, belum benar-benar membuktikan bahwa jermal dan ambai telah
menyebabkan overfishing di muara Rokan. Memasuki dasawarsa pertama abad ke-20,
dan pada masa ini, nelayan benar-benar memperoleh berkah dari kondisi kekayaan
alam muara, sehingga nelayan terus membangun jermal menyebabkan alat ini
menjadi sangat banyak dan berdekatan di muara Sungai Rokan (“a few hundred”
altogether in 1908293); alat tangkap ikan jermal benar-benar bersifat “most exlusively”,
menangkap apa saja yang masuk dalam perangkapnya. Selain itu, nelayan juga
melengkapi jermal untuk menangkap prauwn dan belacan, dan membangun ambai
yang secara khusus di desain untuk menangkap ikan ini. Singkatnya, nelayan
membangun alat penangkapan ikan semaksimal mungkin bahkan melebihi kapasitas
dari ketersediaan fauna yang terdapat di muara. Sebagaimana disampaikan bahwa
dalam pengoperasiannyanya, alat jermal menangkap fauna apa saja yang masuk ke
jermal. Ikan kecil, bahkan yang tidak memiliki nilai ekonomi pun dapat tertangkap,
terluka, yang menyebabkan matinya ikan-ikan tersebut. Van Kempen menyebutnya
dengan “murderous way of fishing.” Jumlah jermal sendiri hingga tahun 1930-an
tercatat sejumlah 205 jermal besar (taam Pe) dan jermal sedang (Ta Liau), 47 jermal
kecil (Taam Pe Bang), 461 Bubu, 124 cicih dan 71 Bangpo.294 Investigasi diseberang

292
Butcher, 1996: hal.106.
293 Van Kampen, dalam Butcher, 1996: 105.
294 De Sumatra Post, 28 Oktober 1936, “Ville Lumiere der Donkere Bengkalis-Afdeeling:Wereld’s

Grootste Plaats: De Zaken Staan Steeds op Roegi en toch wordt er Verdiend.”


177

pantai timur Sumatra tepatnya disepanjang pantai barat Malaya, seperti di muara -
Kuala Selangor, dilaporkan bahwa jermal tidak hanya menangkap fauna muda,
melainkan juga persediaan makanan bagi kelangsungan fauna ikan. Selanjutnya
dikatakan bahwa nelayan belacan juga telah menghancurkan sejumlah besar makanan
ikan. Begitu pula halnya dengan hasil investigasi atas sejumlah ambai di Tanjung
Piandang di Pantai Perak, dimana ditemukan bahwa ambai telah memusnahkan
sejumlah besar ikan yang tidak dikonsumsi manusia, melainkan sebagai bahan
makanan bagi ikan lainnya. Laporan pada periode yang sama juga menunjukkan
bahwa sejumlah besar ikan yang ditangkap yang berasal dari jermal dan ambai
disepanjang pantai barat Malaya, digunakan untuk pakan ternak, atau untuk
pemupukan tanaman tebu. Oleh sebab itu, nampaknya di Thailand, dihentikan izin
bagi usaha serupa jermal dan ambai disebabkan alat itu diklaim dapat menghancurkan
sejumlah besar larva yang berguna bagi kelangsungan fauna ikan. Keseluruhan data
ini, belum menunjukkan dampak secara langsung dari jermal dan ambai yang
menunjukkan terjadinya overfishing di muara Rokan. Akan tetapi, overfishing atau
tidak – apa pun itu, yang terjadi di muara Rokan, dikatakan oleh Butcher bahwa
nelayan Bagansiapiapi telah mengeksploitasinya hingga mencapai ambang batas. 295
Menjelang runtuhnya Hindia, pendangkalan akibat timbunan lumpur di pelabuhan
Bagansiapiapi, benar-benar mulai mengkhawatirkan. 296 Phenomena perubahan alam
ini, nampaknya direspon dengan sikap pasif dari pemerintah, 297 tidak jelas apa
tindakan yang diambil berkaitan dengan semakin terancamnya fungsi pelabuhan,
selain itu juga alat tangkap ikan telah beroperasi semakin jauh saja dilepas pantai.
Masa pendudukan, Jepang, industri perikanan benar-benar terhenti, dan mulai
kembali beroperasi efektif pasca konflik 1946. Pada saat ini, dipastikan alat-alat
tangkap yang tersebar di lepas pantai muara Rokan, banyak yang mengalami
kerusakan sebagai akibat terhenti dari penggunaan; yang berarti juga tidak adanya
pemeliharaan yang dilakukan pemiliknya semasa perang. Tercatat bahwa dari
sejumlah 600 sero yang ada disana, hanya 60 saja yang masih dapat beroperasi. Selain
itu, kondisi perairan muara semakin dangkal saja. Melihat ini, Belanda, sebagai pihak
yang telah mendorong industri perikanan selama lebih separuh abad, dan ingin
kembali berkuasa disana, melaporkannya dengan rasa pesimis yang teramat besar:
“Bahwa tidak mungkin Bagan Si Api-Api akan dapat mengambil kembali
posisinya dahulu sebagai pelabuhan perikanan terbesar kedua di dunia,
karena meningkatnya timbunan Lumpur di Sungai Rokan sehingga perikanan
disini menjadi kurang berdaya.” 298

295 ANRI MVO; Memorie van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus 1934,
296
Indische Courant, 23 Maret 1940, “Bagan Si Api Api: Verzanding ven den Rivier Mond”;
297 De Sumatra Post, 18 Agustus 1941, “De Haven van Bagan Api Api”.
298
Tweede Kamer, Rijksbegrooting voor het dinstjaar 1949 1000 XIII 13, .Brief van de Minister
Zonder Portefeuille aan de Heer vorzitter van de tweede Kamer der Staten-Generaal, ‘s-
Gravenhage, 14 Juni 1949; Mitz deze heb Ik de eer U Hoogedelgestrenge te doen toekomen het
verslag omtrent de economisch toestand van Indonesie in 1948, hal.9
178

Pasca Perang Dunia II, para pedagang ikan dari Bagansiapiapi saat itu dapat kembali
melakukan kegiatan penjualan secara teratur ke pasar Batavia, sementara itu KPM,
seperti sebelum masa perang telah meminta koneksi langsung dengan Cirebon untuk
pemulihan, sehingga barang tidak lagi – seperti yang sebelumnya dilakukan - dikirim
melalui Singapura. Sementara itu peredaran uang sebahagian hampir normal
disebabkan pembukaan kembali Bank kredit Rakyat di Bagan.299 Sementara itu, arus
lalu lintas di perairan Bagansiapiapi khususnya di Pelabuhan, terganggu dengan
timbunan Lumpur, dan nampaknya perlahan-lahan mengalami pendangkalan.

Pelabuhan Terapung di Bagansiapiapi. Sumber: Java Bode,19 September 1949.

Sekilas terlihat dari dek adalah "Brielle”: Sebuah instalasi Pelabuhan terapung yang
dikonversi di laut akan lebih ringan, dimana penempatannya di Bagansiapiapi adalah
agar kapal menjadi lebih mudah dalam melakukan kegiatan bongkar muat barang. Hal
ini diperlukan sehubungan dengan kenyataan, bahwa pelabuhan nelayan terpenting
ini, secara berangsur-angsur mendangkal akibat penimbunan lumpur. Saat itu,
pelabuhan yang merupakan tempat perikanan terbesar di kepulauan bekas jajahan
Hindia, praktis dianggap tidak lagi dapat digunakan dan dengan demikian dapat

299
Het Nieuwsblad Voor Sumatra, 15 September 1949, “Volkecrdietbanks Open Kantooren.”
179

dikatakan Pelabuhan Bagansiapiapi terancam mengalami kehancuran. Untuk


mencegah kehancuran ini atau paling tidak menundanya, telah disarankan suatu
gagasan untuk sementara menempatkan pelabuhan terapung (“Brielle”). 300 Kapal-
kapal selama terdapat "Brielle" disana, dapat memuat dan membongkar barang-
barang mereka dengan “Brielle” yang ditempatkan pada sungai.301 Meskipun kondisi
pelabuhan yang sudah mulai menjadi “darat’, perekonomian Bagansiapiapi pasca
perang tetap kembali berjalan normal, terutama sektor produksi dan perdagangan
ikan.

Kapal yang terdampar dilumpur muara Rokan tahun 1930-40. Sumber KITLV

300
Dilihat dalam Java Bode, 1949, juga pada Documentatie van de Afdeeling handelsmuseum
van het Indisch instituut, Volume 4, 19 March 1949, Edition 004-1949-0006 — Page 148 “De
haven van Bagan Si Api-Api is verzand”.
301
Het Nieuwsblad voor Sumatra: Drijvende Haven voor Bagansiapiapi, 19 November 1949.
180

Muara Rokan Tahun 1899, muara yang luas; Dutch Colonial Map, name: 08862.
181

Muara Rokan 1918, pasca achteruitgang 1910-1915, pendangkalan yang mulai


meluas, Sumber : Butcher, 1996.
182

Situasi Muara Rokan hasil investigasi Hardenberg, Peta I (atas) dan II(bawah), 1930 dan 1931.
Telah menyatunya Pulau Halang Kecil dengan pantai Kubu, dan mulai tumbuhnya Pulau Barkey
tepat di pintu masuk sungai Rokan.
183

Lautan dipantai Bagan yang telah menjadi daratan dan tertutup oleh
Pulau Barkey; dilihat dengan Google map, 2016.
184

7
Perkembangan Kota
Dari Kampung Nelayan Hingga Metropol

Dalam menulis bahagian ini, kami meyakini bahwa berbeda dengan apa yang terjadi
di Jawa dimana keruangan kota akan mengikuti pertimbangan sosio-tradisional, maka
sejarah kota di luar Jawa, terutama Sumatra bahagian pesisir timur akan merefleksikan
suatu tipe kota perdagangan, dengan demikian kota akan tumbuh secara alami
mengikuti perkembangan perekonomian kota. Sejarah kota, memuat proses
transformasi sosial dan perekonomian yang juga merupakan bahagian dari suatu
perubahan sosial. Bagansiapiapi, sebagai sebuah kota yang dalam perkembangannya
memperoleh sentuhan penataan Belanda, tentu saja, bentukannya menjadi khas kota-
kota kolonial terutama di pantai timur. Meskipun demikian, tidak dapat diabaikan
adanya pengaruh pluratiltas kebudayaan; Perpaduan Eropa, China dan Melayu,
terlihat jelas dalam pembentukan kota, baik dari segi model bangunannya maupun
struktur keruangannya. Kesemuanya ini, merupakan hasil proses perkembangan yang
berlangsung dalam periodisasi yang dimulai dari pra-kolonial, hingga akhirnya Belanda
diusir oleh Jepang, kemudian Republik, bentuk keruangan yang nampaknya telah
menjadi baku hingga saat terakhir. Jepang tidak melakukan perubahan-perubahan,
sementara republik, denyut pemerintahan dan ekonomi masih bersumber dari ruang
lama, sebagaimana halnya pemerintahan pusat dimana Gubernur Jenderal Hindia
memerintah. Meskipun ada upaya untuk melakukan beberapa perubahan, hasilnya,
dominasi kuno itu masih tetap diminati dan cenderung kokoh. Selain itu, berbicara
tentang perkembangan sebuah kota, maka tidak akan dapat pula diingkari
keterkaitannya dengan ekologi yang lebih luas, sebuah sistem jejaring perdagangan
yang menempatkan kota tersebut sebagai titik entrypoint dari sejumlah noktah dalam
perdagangan regional bahkan internasional. Begitupula Bagansiapiapi; Sebagai
sebuah kota di pesisir timur Sumatra, mungkin akan berbeda dengan kebanyakan
kota-kota di pulau Jawa, yang dikenal terutama bukan disebabkan produk kota itu
sendiri, melainkan sebagai peran perdagangan perantara dari pedalaman sebelum
mengirimkannya ke jejaring perdagangan dunia; gejala yang umumnya ditemukan di
pesisir Jawa. Akan tetapi, Bagansiapiapi, dirinya dominan tampil terutama dengan
produk sendiri yang pada periode kejayaan seolah-olah sumber daya ini tidak akan
pernah ada habisnya. Surutnya produksi, lebih dituduhkan kepada faktor non-sumber
daya alam, seperti kebijakan pacht garam dan imbas lesunya perekonomian dunia,
serta terakhir adalah; pendangkalan muara. Perkembangan Bagansiapiapi yang pesat
185

dari sebuah kampung di muara Rokan, yang didirikan tidak jauh dan lebih ke hilir dari
kampung asli Bagan Punak, mungkin saja pada awalnya hanya merupakan upaya
sekelompok nelayan yang mencoba peruntungannya melalui usaha penangkapan ikan
dengan memanfaatkan arus pasang-surut muara, bahkan pada awalnya mereka
berposisi sebagai pengamat dari alat tangkap milik orang Melayu dilepas pantai Kubu
yang terletak diseberang Bagansiapiapi, alat tangkap yang ditanam tidak jauh dari
pantai dan lebih kecil, dan mereka para nelayan China itu berhasil mengembangkan
alat serupa tadi secara lebih maju dan dengan hasil penangkapan yang jauh lebih
besar. Meski mereka dikenal mandiri, campur tangan politik kolonial Belanda telah
membawanya pada salah satu simpul perdagangan terutama di kawasan Selat Melaka.
Bagansiapiapi dibawah Hindia, segera muncul sebagai pusat pelabuhan ikan
terpenting di Hindia, bahkan didunia setelah Bergen. Sebagaimana telah disampaikan
diawal, bahwa proses transformasi Bagansiapiapi dari pola Kampung menuju Kota,
setidaknya dimulai dengan hadirnya pemerintah penjajah disana, proses yang
berlangsung menjelang akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Seperti tercatat dalam
Staatsblad 1894 No.93302 kemudian No. 94, Kontrolir Onderafdeeling Tanah Putih
dipindahkan ke Bagansiapiapi pada tahun 1900 sesuai dengan Staatsblad 1900 Nomor
64.303 Nampaknya, proses pemindahan ini berakhir ditahun 1901/02, dimana Seyne
de Kock telah berkantor sebagai Kontrolir disana, dan dimulai pembangunan sarana
kontrolir seperti pembangunan rumah dan kantor kontrolir. Dapat pula disampaikan
bahwa pertimbangan Pemerintah Kolonial pada saat itu selain untuk mempermudah
pemungutan bea ekspor-impor terutama dengan bentuk pemukiman dan usaha
perikanan yang terletak disepanjang pantai, juga dapat dilihat dari letak Bagansiapiapi
yang berada di lintas pelayaran Selat Melaka, berdekatan dengan Singapura.
Sebagaimana diketahui, saat itu Singapura merupakan pelabuhan terbesar Kapal-
kapal Belanda di luar Eropa, Singapura yang berkembang dan menjadi pusat pelayaran
bagi Hindia Belanda sendiri; Singapura sebagai pelabuhan persinggahan antara
kepulauan dengan jalur-jalur internasional,304 dari ramainya Bandar Singapura
sebagai pelabuhan re-ekspor-impor, termasuk pengiriman produk dari Bagansiapiapi
via Singapura; Kemudian Bagansiapiapi sendiri yang telah mulai berkembang menjadi

302 Chineezen buiten China, 1909 — Bijlage 11. (Zie blz. 322). Belangrijkste mededeelingen,
voorkomende in de Koloniale Verslagen, omtrent de Chineezen in de residentie Oostkust van
Sumatra. [1874—1906].
303
Bertitik tolak dari Staatsblad sebelumnya, yakni No.93 dimana pemberlakuan ketentuan
perubahan masalah pungutan pajak atas hasil laut adalah setelah Kontrolir bertempat di
Bagansiapiapi, maka Staatsblad No.94 ini menegaskan pemindahan Kontrolir tersebut,
sebagaimana tertera sebagai berikut: “Verplaatsing van de standplaats van den countroleur der
Onderafdeeling Tanah Poetih…. In stede van Tanah-Poetih zal zijn Bagan api-api”. Bagaimanapun
juga, pemindahan sebuah pusat administrasi pemerintahan akan memakan waktu, khususnya di
era awal abad ke-20, April 1894 telah dicatat dalam Statblad, namun realisasinya seperti terdapat
dalam Staatsblad 1900 nomor 64 adalah pada tahun 1900.
304 Anthony Reid, dalam “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit:

KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011, hal.251
186

pelabuhan yang ramai disinggahi oleh kapal, baik kapal uap hingga kapal layar dan
motor, yang bahkan juga disinggahi oleh K.P.M. sejak tahun 1890.

Pembukaan Jalan di Bagansiapiapi tahun 1900.305


Rute transportasi via Bagansiapiapi, nampaknya dominan untuk pengangkutan produk
perikanan, disamping sejumlah pengiriman produk lainnya. Adapun nama
Bagansiapiapi, diduga berkaitan dengan kondisi sumber daya alam yang ditumbuhi
pohon Api-Api306., atau nama tersebut diduga berasal dari “klip-klip” (kunang-kunang)
yang bercahaya.307 Kata Bagan sendiri menunjukkan tempat, atau alat menampung
ikan. Kesemua ini mengindikasikan, bahwa penjajah benar-benar berniat
memantapkan cengkramannya di Bagansiapiapi sebagai pusat pemerintahannya
disana yang berperan multiguna. Nampaknya juga, pada era ini Penjajah mulai

305 KITLV, 1901; pembukaan jalan di Bagansiapiapi dengan menggunakan tenaga kerja-paksa.
306 Pohon Api-api adalah nama sekelompok tumbuhan dari marga Avicennia, suku Acanthaceae.
Api-api biasa tumbuh di tepi atau dekat laut sebagai bagian dari komunitas hutan bakau Akar
napas api-api yang padat, rapat dan banyak sangat efektif untuk menangkap dan menahan
lumpur serta pelbagai sampah yang terhanyut di perairan. Selain itu, seperti disampaikan oleh:
J.A.Van Rijn Van Alkemade dalam “Beschrijving Eener Rels Van Bengkalis Langs de Rokan-Rivier
Naar Rantau Binoewang, Tahun 1884 (Deskripsi perjalanan sepanjang sungai Rokan: dari
Bengkalis sampai Rantau Binoewang): Dikatakan sebagai berikut,”Wij waren al zoo te Bagan
ApiApi, zoo genaamd naar het vele Brandhout’ dat hier kan worden verkregen,” (footnote:‘Api
Api is de naam van een Boomsoort); hal. 29. Bahwa penamaan Bagan Api-Api nampaknya lebih
dekat bersumber kepada kawasan yang banyak ditumbuhi pohon Api-Api tersebut.
307 ANRI MVO (Memorie Van Overgave); Memorie van overgave van de onderafdeeling
Bagansiapiapi, 1925.
187

melengkapi fasilitas pemerintahannya, khususnya kantor kontrolir dan sarana


pendukungnya. Ini dapat dilihat pada warta kolonial bahwa tahun 1902,308 bahwa
secara de facto di Bagansiapiapi telah berdiri onderafdeeling, dan pembangunan
sarana pendukung yang salah satunya adalah rumah kontrolir telah dimulai pada
tahun 1903 yang membutuhkan dana hingga f35.548.309 Selain itu, dilakukan
penempatan pasukannya guna menjaga kawasan pergudangan garam, dan mulai
mendirikan bangunan bagi satuan reserse. 310 Pada masa ini juga, pemerintah mulai
melakukan perluasan kawasan Bagansiapiapi arah ke timur yang merupakan wilayah
hulu anak sungai, seperti pembukaan hutan bagi pembuatan jalan dengan
menggunakan tenaga “pekerja-paksa.” Hasil yang besar bagi pemasukan kas Hindia
dari Bagansiapiapi, tidak mengherankan bahwa pemerintah mulai membangun sarana
penunjang bagi kelancaran pengiriman produk laut, seperti pembangunan kantor pos
pembantu dan telegraph; 311 tidak mengherankan pula pesatnya prospek yang berasal
dari sini sebagai “tambang emas kecil” telah mengundang juga hadirnya Hendrikus
Collijn mantan kapten perang Aceh yang diutus langsung oleh Gubernur Jenderal Van
Heuzt guna mendata “Kekayaan-Luar” Hindia;312 inspeksi Residen Bengkalis;313 serta
kunjungan seorang pengawas Perikanan dari Batavia; Van Kempen. Akan tetapi,
penataan Bagansiapiapi menuju benar-benar berpola kota, nampaknya dimulai pasca
kebakaran besar tahun 1908314 dimana Pemerintah melakukan perancangan kembali
Bagansiapiapi sebagai kawasan modern. Hingga pertengahan tahun 1909, wisatawan
yang melancong ke Bagansiapiapi mungkin saja akan terkejut dengan puing sisa-sisa
kebakaran yang nampak belum dibangun kembali, hanya terdapat rumah-rumah yang
dibangun untuk sementara dan dengan kondisi sangat sederhana. Pemerintah Hindia
memutuskan bahwa pembangunan kembali Bagansiapiapi dilakukan dengan
penataan; jalan-jalan lebar yang berciri perkotaan, sederetan rumah-rumah dengan
arsitektur yang teratur, dan bahkan mulai dilengkapi dengan fasilitas listrik dengan
mendatangkan seorang insinyur dari Siemens Brother - Singapura. 315 Tindakan
pemerintah Hindia ini juga dilakukan dengan penataan kembali bagi para pemukim
China, terutama di Sinaboi yang terletak 60km sebelah utara Bagansiapiapi; melalui
Staatblad Nomor 622 Tahun 1908. Periode awal perancangan kota Bagansiapiapi ini,

308 Dilihat dalam De Sumatra Post, “De Controleur van Bagan Si Api-Api, 30 September 1902,
“De nieuw benoemde Controleur kromm zal morgen zijn bestemming naar Bagan Si Api-Api
volgen.”
309
Dilihat dalam De Sumatra Post, Controleurswoning te Bagan Api Api, 24 Agustus 1903. Bahwa
pada tahap awal ini, semua masih sangat sederhana dan terus mengalami peningkatan dan
penyempurnaan di tahun-tahun berikutnya.
310 De sumpost 16 Oktober 1903, “Recherché te Bagan Api Api.”
311
De Sumatra Post, 27 April 1904, “Nieuwe Postkantoren ter Oostkust.”
312 De Sumatra Post, 13 Juni 1905, “De komst van Kapitein Colijn.”
313
De Sumatra Post, 3 Juni 1905, “Inspectiereis van den Resident.”
314 Het Nieuws Van den Dag Voor Nederlandsch Indie, 8 Juli 1908, “Kolonien: Brand ini Indie”;
315 Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 21 Juli 1908 (Uit de Indische Bladen. De

Brand te Bagan Api-Api);


188

memasuki dasawarsa kedua diwarnai dengan masuknya masa “achteruitgang” atau


penurunan produksi perikanan. Kondisi ini, ditandai juga oleh sejumlah besar pekerja
dan pemodal yang eksodus meninggalkan Bagansiapiapi. Bahagian ini tidak turut
memperdebatkan sebagaimana para komentator terlibat aktif dalam upaya mencari
alasan mengapa perikanan Bagansiapiapi “collaps” pada era tersebut dan mengalami
peningkatan kembali, atau bahkan yang benar-benar surut dikurun periode 1940-an,
melainkan melihat dampak peristiwa itu pada perkembangan kota yang berada pada
tahapan awal sejak menjadi ibukota pemerintahan kewedanaan. Meskipun demikian,
nampaknya pada tahun 1912 di Bagansiapiapi dibangun pelabuhan modern 316 meski
dibayang-bayangi krisis ekonomi 1913, akan tetapi ternyata dapat kembali
mendongkrak kenaikan produksi ditahun 1915. Kontrolir Haga yang tiba di
Bagansiapiapi tahun 1915, juga melaporkan bahwa Bagansiapiapi saat itu dicirikan
dengan jalan-jalannya yang lebar; bahwa perencanaan pemerintah penataan kembali
kota pasca kebakaran 1908, nampaknya benar-benar terlaksana. Kebakaran besar
yang menghanguskan hampir seluruh kawasan, berdampak sukarnya untuk melihat
jejak awal keruangan Bagansiapiapi. Koloniaal verslag Tahun 1917317 mencatat telah
terjadinya perubahan status dari yang semula kantor pos pembantu menjadi Kantor
Pos dan Telegraph yang semula didirikan tahun 1904. 318 Sarana komunikasi ini
memudahkan pedagang ikan untuk melakukan pengiriman produk. Penampilan
Bagansiapiapi tidak terbatas hanya pada penghasil ikan saja, melainkan juga
pelabuhannya semakin berkembang sebagai entrypoint perdagangan dari pedalaman.
Pelabuhan Bagansiapiapi sebagai tempat re-ekspor hasil-hasil pedalaman semisal
karet, merupakan hasil bumi dari Boven-Rokan (Pasir Pangaraian) yang dibawa melalui
Tanah Putih, dan kemudian ke Bagansiapiapi sebelum dikirimkan ke tempat tujuannya
di Pantai Timur dan Semenanjung. Hasil perkebunan skala besar ini, lebih kepada
kebun-kebun yang dibuka era 1880-an oleh orang China dan juga Eropa. Hingga tahun
1926, dilaporkan bahwa karet yang dihasilkan dan dikirim melalui Bagansiapiapi
menduduki posisi ketiga dari tiga wilayah afdeeling yang menghasilkan karet;
Bengkalis, Asahan dan Deli-Serdang. 319

316
Koloniaal Verslag Tahun 1912 seperti diberitakan dalam De Sumatra Post: “Haven werker ter
Oostkust,” 16 Januari 1913.
317 Koloniaal Verslag 1917 – I Nederlandsch (Oost) Indie, Bijlage PP., Statistiek : betreffende den

Post- Telegraaf en Telefoondienst in Nederlandsch Indie over 1916, meerendeels in vergelijking


met de cijfers over 1914 en 1915, Handelingen der Staten Generaal, Bijlagen 1917/1918.
318 De Sumatra Post, 25 Mei 1904, dalam pemberitaan berjudul “Postwezen” dilaporkan

pendirian Kantor Pos Pembantu di Bagansiapiapi;


319 Dilihat dalam laporan Departemen Van Landbouw, Nijverheid & Handel, “De Bevolkings

Rubbercultuur in Nederlandsch Indie, VI.Riouw, Oostkust van Sumatra & Riouw en


Onderhoorigheden, 1926.
189

Tongkang di Bagansiapiapi tahun 1930-40. KITLV


Bagansiapiapi, dalam hal itu menjadi kota pelabuhan yang juga berfungsi melakukan
transit produk ataupun pengiriman hasil-hasil pedalaman. Selain itu, perkembangan
perekonomian seiring dengan berdirinya onderafdeelingsbank Bagan Maju, maka
diberitakan bahwa menjelang tahun 1918 sarana pendukung kantor Bank didirikan,
serta kantor Kontrolir yang baru.320 Layaknya sebuah ibukota onderafdeeling yang
sedang berkembang sebagai akibat berlimpahnya hasil industri ikan, maka pada tahun
1930-an Pemerintah Kolonial membentuk perusahaan air (water leiding) melalui
keputusan Gubernur Sumatra Timur dengan controleur sebagai ketua, sedangkan
lembaga daerah dengan komisi pengawasnya yang beranggotakan delapan orang
China dan tiga orang Melayu (Setyawati, 2008). Untuk kehidupan perdagangan,
daerah ini sepenuhnya dibawah pengaruh hubungan perdagangan dengan Singapura,
terutama dikalangan orang-orang China. Seluruh bisnis; baik eceran maupun grosir,
impor dan ekspor ada di tangan mereka.321 Pada Tahun 1928 produksi ikan mencapai
50.700.000 k.g. bernilai f7.044.622. Pada tahun 1929 ekspor ikan dan produk ikan
mencapai 52.160.000 k.g. yang bernilai f7.168.660. Ikan adalah khas Bagan yang dapat
memberikan hasil untuk masyarakat, namun segala sesuatu harus diimpor dari luar,

320
Dilihat dalam De Sumatra Post, 5 Maret 1919, yang membahas laporan tahunan Bank Bagan
Madjoe, diantaranya adalah pendirian gedung Kantor Bank dan Kantor Kontrolir yang baru di
Bagansiapiapi.
321
Vleming, 1926.
190

menyebabkan Bagan menjadi tempat impor utama selain ekspor besar ikan keluar.
Jawa adalah tempat impor garam (Madura), gula, tapioka dan jaring untuk perikanan.
Bertahun-tahun Bagan memberikan kepada Singapura bagian terbesar untuk impor
ini, akan tetapi dengan terjadinya perubahan dalam beberapa tahun terakhir dimana
terdapat dukungan dari kawasan pantai timur Sumatra, terutama Pelabuhan Belawan-
Deli, dan Medan. Pentingnya impor langsung pada Bagansiapi yang terus meningkat,
terlihat jelas dari angka-angka berikut; depot-depot di Bagan untuk berbagai pasar
setara 11.510.000 Kg ikan. Pada tahun 1929, Singapura hanya setara dengan
1.590.000kg., pada tahun 1929 lebih jauh hanya setara dengan 400.000 Kg.
Perdagangan luar memainkan peran penting dimana ada dan jelas bahwa Singapura
sangat menekan dengan mengorbankan Jawa dan Pantai Timur. Dari sudut pandang
komersial, tampaknya wajar saja karena Pantai Timur terletak jauh lebih baik daripada
Singapura, yang akhirnya adalah posisi mana yang dipilih, yang selama bertahun-tahun
benar-benar telah dilakukan, pasar Bagan harus meninggalkannya. Nampaknya, ini
dilakukan demi kepentingan Hindia.

Pengolahan produk di Bagansiapiapi tahun 1930-40. KITLV


Aktifitas pegiriman hasil produksi perikanan yang mencapai 30 juta kg per tahunnya,
maka dapat diasumsikan suatu tingkat kesibukan perekonomian yang tinggi, padat
dan sesaknya aktifitas industri perikanan. Pelabuhan yang ramai dengan kapal-kapal
yang singgah, aktifitas nelayan, hingga perdagangan dalam kota itu sendiri. Sejumlah
kapal uap secara rutin memenuhi panggilan dari Bagan termasuk KPM, yang mulai
mengambil peranannnya diantara kapal-kapal uap China, yang sebelumnya tidak
191

memperoleh rezeki disana. Diantaranya; Sri Pontianak, Esmeralda dan Ban Siong Bee
dan lainnya, sementara juga KPM, dengan kunjungannya dan kapal-kapal yang
melakukan bongkar-muat barang. Akan tetapi, sejumlah besar tonkang tetap
mempertahankan koneksinya dengan Singapura, dengan konsekuensi serius bagi
penyelundupan opium. Terkadang, warga yang tertangkap melakukan penyelundupan
itu, menggantungkan beberapa kilo opium pada hewan yang dibawanya. Betapa
pengiriman produk telah meningkatkan jumlah kapal uap dan berlayar dari Bagan dari
1099 dengan 160.000 ton pada tahun 1923; dan 1096 dengan 195.000 ton pada 1924;
hingga 1201 dengan 248.000 ton pada tahun 1925; termasuk 281 kapal uap dengan
173.000 ton. 322 Berbeda dengan situasi Bagansiapiapi era sebelum tahun 1920 yang
masih dilaporkan sebagai village (desa), H.P.H, seorang administrateur Belanda dalam
lawatannya ke daerah Boven Rokan (Pasir Pangarajan), Sentang, Siarang-arang,
Tanah Poetih, menuliskan Laporannya dalam, ”Swars Door Sumatra” sebagai berikut:
“ …Pukul sebelas Kami tiba dengan selamat di Bagansiapiapi.. Kami bertemu
dengan kontrolir dan Master Pelabuhan yang orang Eropa, dan dari mereka
kami memperoleh banyak keterangan tentang Bagansiapiapi sebagai
Pelabuhan nelayan terpenting ke dua di dunia… Desa ini dibangun diatas
pantai yang merupakan rumah panggung yang tinggi, seperti “desa jalanan”
dengan trotoar yang menyerupai rak panjang dan tinggi, sehingga ketika air
pasang yang tinggi sekalipun rumah dan jalanan desa tetap kering.…. pada
tempat pengeringan ikan (yang mungkin lebih tepatnya kondisi ikan yang
membusuk) berkeliaran hewan-ternak peliharaan.. terlihat wajah riang yang
tak dapat menyembunyikan keceriaan sebagai pertanda dari rasa syukur akan
kelimpahan makanan! Ribuan jermal beroperasi, membuat Bagan menjadi
sibuk dengan perdagangan, terutama yang datang dari luar. Seperti yang
menarik perhatian Kami adalah pengiriman beberapa telegram ke Penang
oleh Touke China. Kami mengetahui karena kebetulan sekali kami berada di
Kantor Pos.. sebahagian pengiriman terkait dengan pengiriman garam.. Tidak
dapat diragukan, bahwa di Bagansiapiapi banyak uang yang dapat diperoleh…
Sepanjang pantai dipenuhi Panglong…..dan para nelayan berlayar dengan
kapal-kapal layar….323

Sementara itu tahun 1926, dalam artikel yang berjudul Het Chineesche Zakenleven in
Nederland Indie, door den Belasting-Accountantsdienst in Nederlandsch-Indië onder
leiding van J.L. Vleming Jr., Bagansiapiapi adalah sebagai berikut:

“….Terletak di Mulut Sungai Rokan dengan tempat utama adalah


Bagansiapiapi dan sekitarnya Panipahan, Kubu, Sinaboi, Sungai Siandam dan
Pulau Halang, tempat dimana penangkapan ikan dan perdagangan
merupakan mata pencaharian penduduk. Jauh ke pedalaman merupakan

322 Het Nieuws Van Den Dag Vor Nederlands Indies, Lang Sumatra’s Oostkust, 2 Agustus 1926.
323
H.J.H., 1923: 121-127.
192

daerah yang masih jarang penduduknya. .Adapun di Hulu Sungai ditemukan


sejumlah penebangan Hutan (Panglong), yang secara keseluruhan nilainya
praktis kecil.. terutama Bagansiapiapi yang merupakan Khas pusat Komunitas
China dimana berkat dari kekayaan ikan dan keahlian khusus mereka.. serta
dibawah kepemimpinan pemerintahan Belanda cepat mengambil psosisi
ekonomi.. Kota hampir seluruhnya dihuni oleh orang China.. Dari sekitar 12 -
13 ribu jiwa penduduk Cina, terdapat 1600 wanita dan 3200 anak-anak..serta
sekitar seratusan “bumiputra” dan sejumlah kecil Timur Asing lainnya.. Para
pemilik toko kebanyakan adalah nelayan terutama berasal dari Hokkian;
sedangkan untuk akuntan dan juru tulis yang dipekerjakan adalah “Tiotjoe”..
Hampir seluruhnya adalah Singkeh dan kebanyakan tidak berbahasa Melayu..
Penduduk bumiputra tempatan melakukan kegiatan penangkapan ikan
terbatas pada skala yang kecil.. Bagansiapiapi sendiri tempatnya tidak besar..
Sejalan dengan Sungai Rokan yang ber-mil panjangnya, terletak papan kayu
dengan model panggung, yang nyata merupakan jalan utama dengan deretan
pertokoan China, Tempat pengolahan Ikan dan Dermaga. Gerakan arus
keluar-masuk adalah nelayan dan pedagang. Sepanjang sisi jalan adalah
toko-toko kecil dan restoraunt yang diupayakan sendiri oleh penduduk
Bagan..“
Aktifitas orang Cina, terutama adalah nelayan, dengan jumlah sekitar 3000 orang yang
terlibat dibidang industri perikanan ini, maka jumlah ini merupakan jumlah nelayan
terbesar di kawasan Pantai Timur Sumatra; selain itu, maka sebenarnya kurang lebih
sama, yakni 3000-an orang laki-laki usia produktif penduduk Bagansiapiapi, bekerja
pada sektor perdagangan, berternak, tukang jahit, tukang kaleng, hingga sektor
produktif lainnya. Jika pemukiman China di Pulau Jawa biasanya adalah suatu
kawasan yang merupakan enclave, maka di luar Jawa, Pemukiman China adalah suatu
kawasan yang mandiri, kompleks dan kental dengan karakter kota. Di Bagansiapiapi,
maka dapat dikatakan pusat Kota adalah kawasan bisnis di Jalan Hai Khao Kue; yang
bertitik tolak dari Pelabuhan dengan latar belakang gedung Pabean yang besar;
sedangkan kearah utara; yakni kawasan sibuk Sungai Garam dan arah selatan adalah
didominasi bangliau-bangliau. Sepanjang bibir pantai dipenuhi oleh perahu nelayan,
Bangliau dan panglong. Sedangkan keluar Pelabuhan, maka ditemui areal pertokoan
yang sekaligus menjadi rumah tinggal (ruko), hingga arah sebelah barat adalah
perkampungan China yang padat. Sementara di kawasan Sungai Garam,
persimpangan Jalan Perniagaan, banyak berdiri gudang-gudang besar tempat
penyimpanan barang dari kapal yang baru berlabuh. Semakin ke arah darat, maka
ditemui Kantor kontrolir Belanda dan kawasan pemukiman Eropa (Belanda), lengkap
dengan bangunan khas gaya Belanda dipadukan dengan model rumah orang Melayu.
Bangunan orang Belanda adalah bangunan yang terbuat dari Kayu, mengadopsi model
rumah panggung yang khas Melayu. Orang Melayu menyebutnya dengan Rumah
Tinggi, mungkin sama seperti orang di Pulau Jawa yang penduduk sering menyebut
rumah orang Belanda dengan omah dhuwur (rumah tinggi). Adapun kebiasaan
Nelayan China, dimana nelayan tidak selalu menghabiskan waktunya dengan melaut,
193

melainkan selama 14 hari didarat, dan 14 hari dilaut, meskipun terdapat juga nelayan
yang berdiam di jermal-jermal yang tersebar di lepas pantai hingga bulanan lamanya.
Di sini, sejumlah besar upah yang dibayarkan per kapita sekitar f40 hingga f50 per
bulan, begitupula penghasilan dari pekerjaan sebagai kuli. Ketika mereka berada
didarat, mereka banyak menghabiskan waktunya dengan berbelanja, menyenangkan
diri hingga menonton wayang yang banyak terdapat di Kota.324 Kondisi ini
diasumsikan, seperti ditempat lainnya dalam lingkup sentra industri yang melibatkan
banyak pekerja, maka tidak terjadi akumulasi modal dikalangan pekerja (nelayan)
disebabkan uang yang diperoleh terpakai untuk kegiatan yang unproductive. Dari
kegiatan penangkapan ikan selama 14 hari sebelum mereka dapat melakukan
pengiriman, dari sini saya memperoleh ide kecil tentang keterlibatan total para
pemodal besar. Variasi harga yang tidak teratur terjadi sebagai akibat dari faktor
spekulatif yang berlaku dalam usaha ini. Dengan demikian, berdiri atau jatuhnya
potongan kredit permintaan pengimpor ke Bagan adalah sebagai berikut: di masa baik
pembeli sering membayar sebelum jatuh tempo, tetapi dalam keadaan pasar yang
buruk, sering terjadi beberapa bulan kredit ekstra terpaksa akan dikucurkan. Tidak
ada salahnya, meskipun biasanya persoalan ini sangat sedikit yang dapat diketahui. Ini
adalah masalah perasaan pribadi dan informasi yang tepat tentang tidak termasuknya
kerjasama dengan calon pembeli. Dimanapun tidak dapat diketahui dan tidak
mencurigakan….. Masalah-masalah moral di sini masih bersumber dari masyarakat
China: kepercayaan dan kredit mudah saja dibuat dan komitmen pun dipenuhi, akan
tetapi tidak selalu tepat waktu. Sebagai contoh adalah adanya dukungan keluarga
terhadap kewajiban besar mereka yang jatuh dalam kesulitan, nampaknya hal ini tidak
jarang terjadi. "kedeh" besar dalam 10 tahun terakhir yang jatuh pailit, terkadang
diakibatkan tidak saja oleh kematian sang pemilik, tetapi juga seringkali diakibatkan
oleh persaingan yang tidak sehat. L.H.C.Horsting325 dalam kunjungannya ke
Bagansiapiapi terkesan dengan bahagian pusat kota Bagansiapiapi, dimana terdapat
sebidang tanah persegi berpotongan dengan paralelnya jalan-jalan. Disini,
dijelaskannya, terdapat sebuah Tapekong China yang terbuat dari batu, dan tidak jauh
terdapat pasar, kedei-kedei, restaurant dan, tukang pangkas. Orang China memangkas
rapi rambut mereka, berbeda beberapa tahun saja sebelum kunjungan Horsting
kesana, dimana mereka masih mengenakan kucir pada rambutnya. Berbeda dengan
China Town yang memang berkarakter kota, maka pemukiman orang Melayu di
Ibukota Bagansiapiapi yang berjumlah sekitar 3000 jiwa, adalah tersebar pada
Kampong-Kampong Melayu. Untuk Bagansiapiapi sendiri, maka contoh bagus adalah
seperti pada arah Timur Kota, biasa warga menyebutnya dengan “arah ke
daek”(darat), tepatnya jalan Siak, Jalan Selamat, Jalan Bahagia - Madrasah sekarang,
dimana pada areal tersebut masih terlihat bangunan-bangunan rumah orang Melayu
yang dari desain arsitekturalnya, menunjukkan pengaruh era kolonial.

324
Vleming, 1926.
325
Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, “Het Leestafel
Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.”
194

Laporan sensus pada tahun 1930 menyebutkan Bagansiapiapi tidak lagi


sebagai village(desa), melainkan sebagai Town(Kota).
Meskipun demikian, Bagansiapiapi sebagai kota pusat Onderafdeeling yang
membawahi tiga sub-distrik, secara umum hingga tahun 1930-an masih termasuk
kedalam wilayah yang jarang penduduknya. Hal ini dapat dipahami dari keluasan
wilayah yang mencapai 9718 km2 dan jumlah penduduk, dengan konsekuensi logis
tingkat kepadatannya yang hanya mencapai 4,5 per km2, dibandingkan dengan kota
lain pada saat itu, Bagansiapiapi termasuk dalam kategori Cijfer van 20 zielen per km2
en minder.326 Akan tetapi Bagansiapiapi secara khusus memiliki kompleksitas
masyarakat yang tinggi, tercermin pada tingkat deferensiasinya yang mencapai 25%.
Begitu pula jika dilihat dari kondisi tenaga kerja. Seluruh deskripsi ini, ingin
menceritakan bagaimana Bagansiapiapi yang telah bertransformasi dari sebuah
“Kampung nelayan menjadi kota nelayan atau bahkan; metropol,” dengan kesibukan
produksi dan pengiriman hasil perikanan dan lintas perdagangan dengan volume yang
tinggi. Kebakaran besar tahun 1920 nyaris menghanguskan seluruh kota yang
terutama terbuat dari kayu. Pasca kebakaran ini, terutama pada tahun 1923,
Bagansiapiapi mencoba bangkit dari puing-puing dan sisa abunya. Sebelumnya,
pemerintah kolonial menetapkan kebijakan untuk membangun kembali pemukiman
dengan sistem blok, sehingga bila terjadi kebakaran maka api diharapkan tidak dengan
mudah menyebar dan merambat ke tempat lainnya. Selain itu, sistem blok ini juga
dilengkapi dengan pompa-pompa kebakaran. Anjuran pemerintah untuk melakukan
pembangunan ulang dengan bahan tahan api, nampaknya tidak sepenuhnya dituruti
oleh warga; warga yang rumah atau tempat usahanya yang terbakar, cenderung untuk
dibangun kembali dengan bahan yang sama seperti sebelumnya; kayu. 327 Kebakaran
besar yang melanda Bagaimanapun juga, bencana kebakaran saat itu menyebabkan
Bagansiapiapi menjadi pusat perhatian media, sebuah kota kecil yang memiliki peran
yang signifikan di Hindia Belanda. Sejumlah warta memberitakan Bagansiapiapi, mula-
mula tentang kebakarannya, akan tetapi juga dengan perannya dalam perekonomian
Hindia Belanda, sebagai pemasok ikan ke Pulau Jawa dan Madura.

326
Inlandsch Verslag, 1941.
327
Dilihat dalam De Sumatra Post, 5 Maret 1919, yang membahas laporan tahunan Bank Bagan
Madjoe, diantaranya adalah pendirian gedung Kantor Bank dan Kantor Kontrolir yang baru di
Bagansiapiapi.
195

Seorang Pejabat Hindia didepan Kantor Kontrolir di Bagansiapiapi tahun 1930-40.


Sumber KITLV

Kondisi kota yang terbuat dari kayu, rapat dan padat, api adalah bahaya yang
sempurna, sebab hanya dalam hitungan jam saja seluruhnya akan berubah menjadi
abu. Rentannya kondisi ini juga dibahas dan ulas dalam beberapa laporan Media,
sekaligus merupakan sarana “promosi’ Bagansiapiapi sendiri, sebab pasca kebakaran
besar tahun 1920 ini, sebagaimana disampaikan, Bagansiapiapi nampaknya telah
memasuki fase modernitas, dengan pembangunan ulang kota yang lebih terencana
dengan sekat-sekat api (brandhuis), yang membagi kota dalam blok-blok untuk
mencegah meluasnya api jika kebakaran terjadi kembali. Besarnya kerugian akibat
kebakaran besar tahun 1920 ini, membuat Gubernur Pantai Timur Sumatra pada saat
itu tergerak untuk melakukan kunjungan ke lokasi bencana kebakaran; Bagansiapiapi,
dimana peristiwa ini dimuat pada halaman depan surat kabar De Sumatra Post selama
2(dua) hari, yakni tanggal 29 – 30 April 1920328. Berikut cuplikan kisahnya:

……….. Di pantai, di mana lantai dermaga yang kering dan panjang


membentang ke sepanjang sungai terlihat kekakacauan..., kami melihat bukti

328De Sumatra Post; edisi tanggal 29 – 30 April 1920, “Naar Bagan Si Api-Api ! Bagan Si Api-Api
total afgebrand! Door Bios.
196

pertama dari kehancuran dan kerusakan… dan beberapa lantai kering di


reruntuhan. Samar-samar ada beberapa gumpalan asap naik dari situ. ……
Orang Eropa, pihak berwenang Cina dan pribumi maju dan ……Kemudian
diikuti oleh “menshenmenigte” (kerumuman orang) yang padat, yang tahu
bahwa kita telah membawa makanan dan bantuan, dimulai di sekitar koridor.
…. Terletak di Bagan-Tengah, sebelah timur desa nelayan-,........ sebuah
tempat terpencil yang reruntuhannya masih membara. …. Seluruhnya
terbakar, tempat yang dulunya begitu hidup, distrik komersial yang sibuk. …..
Bagaimana itu: tiba-tiba di malam hari dari Sabtu ke Minggu alarm kebakaran
yang sedianya akan didengar. Namun warga tidak terjaga …. atau api, di
mana-mana di rumah-rumah kayu dan tanah gambut, api menemukan
mangsanya….. seperti ditunjukkan oleh banyak harta di rumah Letnan China
yang menjadi gunung api. Ia memiliki dua rumah di Bagan. Disebut perabotan
mewah, ukiran mahal, gading dan marmer dipasang….. Rumah, itu yang
paling dekat dengan pusat bisnis yang terletak ditepi laut, terbakar… Hampir
menangis ia mengatakan kepada kami tentang kerusakannya. Kemudian
Kami berbicara sebentar dengan istrinya, memikirkan gagasan tentang apa
yang terjadi…. …adalah sejumlah Ratusan pedagang, hartanya telah
terbakar, tidak meninggalkan apa-apa lagi. Tidak ada rumah tinggal, tidak
ada tempat untuk tidur, tidak ada pakaian untuk melindungi dan melawan
angin malam yang dingin. . Setengah telanjang para pria bergegas di antara
reruntuhan di sekitar gudang ke sungai tempat mereka menghabiskan
malam. Permintaan pertama mereka untuk gubernur itu: pakaian dan selimut.
Ini akan segera dikirim. …. Tercatat bahwa sejumlah besar opium ikut terbakar,
komoditi yang bernilai ribuan gulden perbulannya. Untuk sesaat saja
sepertinya, gedung-gedung pemerintah itu bahkan akan musnah. Bunga api
lebih intens dalam hitungan menit dan sudah mengancam kantor kontrolir,
rumah pejabat eksekutif hingga sebuah kompleks hunian… Nyonya Boejinga329
merasa cemas dan meninggalkan semua perabotannya untuk bergegas
keluar. Akan tetapi untungnya angin tiba-tiba saja berbalik dan bahaya pun
berlalu.. ..Dalam 2,5 jam saja bahaya terbesar telah pergi. Bagan Tengah tidak
lebih, yang tersisa hanyalah desisan dari kepulan asap… Selasa pagi, seluruh
tahanan bekerja, dan kemudian dihitung kebutuhan yang akan segera
dikirimkan ke Bagan, seperti atap ataupun juga sejumlah 800 karung beras.
Orang-orang China menolak untuk menyediakan perahu-perahu mereka,
bahwa mereka terlalu disibukkan dengan pekerjaan mereka sendiri.
S.S.Singkel yang tertunda beberapa jam saja, ini berarti pemerintah sebagai
pihak yang telah menyewanya, tentu saja menderita kerugian. Bahkan orang-
orang China menolak negosiasi tentang itu, akan tetapi ketika mereka
mendapati polisi bersenjata yang diperkuat dari kesatuan Bengkalis telah
terlihat mendekat, mereka pun menambatkan perahu, dan segera saja dikirim

329
Istri dari Mr.Boejinga yang merupakan kontrolir saat itu .
197

keluar. Dan ini, segera cukup bagi S.S.Sinkel Singkel untuk menurunkan
muatannya. Sementara itu, gubernur dan otoritas utama mengadakan rapat
dengan para tauke. Selama berjam-jam berada di gedung afdeelingsbank
mengadakan pertemuan dan membahas banyak persoalan, yang pertama
harus dilakukan untuk mengatasi bencana di Bagan untuk bencana seperti ini
– dan ini bukan yang pertama! Jadi kita berdiri di sini untuk acara yang fatal,
yang akan menunjukkan lagi dan lagi. Gubernur benar-benar bertanya-tanya
tentang kenyataan bahwa terakhir api telah berkobar pada tahun 1908………
Tempat nelayan terbesar kedua di dunia membentang sepanjang sekitar 3 mil
di pantai…… Apapun Bagan, seperti semua lokasi di Hindia, membutuhkan
pemantauan secara teratur dalam pembangunan konstruksi dan kelanjutan
dari lokasi keberadaan pemukiman…. Kontrolir Haga membawa kehormatan
besar dan bekerja menciptakan afdeelingsbank dan ditingkatkan untuk
populasi heterogen, Setengah China dan setengah Melayu. Dan Kontrolir
Boejinga dengan karya besarnya dalam arah yang sama. - tidak ada
ditemukan tempat yang lebih mudah terbakar selain yang terdapat di Pantai
Timur…. Bios.
Berkaitan dengan kebakaran tahun 1920 tersebut, Gubernur meminta agar usulan
tentang rekonstruksi desa benar-benar didasarkan atas pertimbangan teknis dan
keuangan. Lalu pada Tanggal 27 Desember, Gubernur diberitakan berkeberatan
terhadap izin terhadap pembangunan kembali 4 kedei. Sang Gubernur meminta
pertimbangan lainnya kepada Direktur Binnenlandsch Bestuur tentang bantuan
terhadap pembangunan kembali “desa” Bagansiapiapi. Sementara itu, pemilik tanah
yang melihat kegagalan usulan pertama – sebagaimana disampaikan telah
mengakibatkan timbulnya keberanian pada diri mereka lalu membangun kembali
kedei kayu sepertti dahulu, layaknya sebelum terjadi kebakaran. Gubernur
melaporkan kepada Gubernur Jendral di Batavia, bahwa orang China di Bagansiapiapi
tidak menuruti arahan dewan untuk membangun rumah tahan api disebabkan tidak
memiliki modal yang cukup, sementara itu aturan tidak bisa lagi melarang orang untuk
membangun rumah mereka sendiri dari kayu, yang tidak sesuai dengan plot yang ada.
Akhir cerita kesedihan dari pembangunan kembali desa nelayan Bagansiapiapi yang
telah mengalami dua kali kebakaran besar, dan upaya untuk menghidupkan kembali
tempat yang telah menjadi abu ini adalah dengan membangun Bagansiapiapi dengan
kayu seperti era “Tempo Doeloe.” Dilaporkan juga bahwa saat ini penduduk
Bagansiapiapi telah mencapai sekitar 8000 jiwa, dengan 1600 kk. Perkiraan dari para
ahli tentang peristiwa kebakaran tahun 1920, menyebabkan kerugian sampai
f3.000.000. 330

Kemudian pada Tahun 1929, seperti diwartakan oleh De Sumatra Post telah terjadi
kebakaran, yang untungnya, angin yang bertiup kearah laut telah mencegah terjadinya

330
De Sumatra Post; edisi tanggal 9 Januari 1922; “Bagansiapiapi.”
198

kebakaran yang lebih besar. Beberapa gudang, rumah hancur karena kebakaran
tersebut. 331 Kebakaran tidak hanya terjadi di Bagansiapiapi, melainkan juga di Tanah
Putih, seperti berita pada bulan Maret 1919. Selain bencana kebakaran, pada Bulan
Desember 1920, tepatnya tanggal 11 Desember, Koran Het Vaderland memberitakan
pula tentang adanya Bencana yang menimpa Bagansiapiapi, yakni; Badai. Dilaporkan
dalam warta ini sejumlah bangunan, rumah, perahu nelayan mengalami kerusakan.
Meskipun demikian, apapun dan bagaimanapun bencana, terutama bencana
kebakaran, merupakan suatu pukulan bagi suatu sistem perekonomian. Begitu pula
dengan Bagansiapiapi, Dampak yang paling terasa adalah diperlukannya lagi kayu
sebagai bahan dasar untuk membangun, tidak saja rumah warga, melainkan juga
infrastruktur kota; seperti tiang-tiang untuk pelataran, gudang dan bangliau. Kondisi
ini diasumsikan telah menyebabkan pembabatan hutan semakin jauh ke Hulu Sungai
dalam jumlah besar. Kondisi ini memiliki konsekuensi logis berubahnya ekologi, sebab
bagaimanapun juga, Muara tergantung dari kondisi Hulu Sungai. Selain itu, persoalan
yang dilaporkan berkaitan dengan pengiriman kayu dari Hulu sungai adalah tidak
mudahnya transportasi sepanjang sungai. Kondisi arus pasang surut, dan juga; Bono.
Gelombang pasang yang diakibatkan oleh pertemuan arus pasang dengan surut,
seringkali membahayakan. Seorang administrateur Belanda, menuliskan laporannya
tentang Bono dalam lawatannya ke Hulu Sungai sebagai berikut:
Datuk (dari Tanah Putih) menyarankan waktu yang tepat esok hari bagi Kami
agar menghindari air pasang yang disertai Bono yang bisa sangat berbahaya..
berasal dari mulut Sungai Rokan yang semakin dekat semakin kuat.. Banyak
nelayan Cina yang bertemu Bono, seperti menipu kematian.. Kapal yang
terkena Bono akan tertarik ke dasar sungai dan dengan suara yang keras dan
terhempas hancur…. Itu suara yang menakutkan.. Bono datang dengan suara
yang bergulung-gulung dan pohon-pohon disepanjang sisi Sungai terguncang
dengan keras…. Jelas bahwa gelombang pasang ini tidak kondusif untuk
aktifitas pengiriman rutin.332
Hardenberg juga mencatat tentang kejadian “Bono”, berikut ulasannya:
Suatu sore tanggal 4 Oktober, saya berada disebuah perahu motor, di sebuah
selat sempit disepanjang timur pantai (dekat Bagansiapiapi). Terjadi surut
perbani, air pun menjadi sangat dangkal dan menyebabkan perahu motor
terjebak dalam lumpur, sekitar 9 mill laut arah utara Pulau Pedamaran. Tiba-
tiba, Sebentuk barisan terlihat di garis langit dan awak perahu berpikir itu
adalah Bono. Sekitar 5 menit kemudian, terlihat dinding air setinggi 1,25 m
datang mendekat… (1931).
Kembali pada masalah kebakaran, meskipun pemerintah Hindia telah mengupayakan
satuan unit pemadam api ini sejak 1907, akan tetapi seiring perkembangan, maka

331 De Sumatra Post; edisi tanggal 5 Juni 1929


332
H.J.H, 1923.
199

layaknya sebuah perkotaan, kemudian di Bagansiapiapi ditempatkan unit pemadam


kebakaran yang dilengkapi dengan sirene atau alarm tanda bahaya kebakaran yang
sengaja dipasang dengan volume tinggi; diharapkan dapat menjadi alarm penanda
yang efektif sehingga kebakaran yang terjadi dapat ditanggulangi secara dini dan tidak
meluas. Pada prinsipnya, kebakaran hanya dapat dipadamkan oleh petugas khusus
dengan disiplin yang tinggi. Bahwa kemudian pemerintah Hindia mengirimkan
petugasnya, kontrolir A.J.Van Wilgenburg yang nampaknya berangkat dengan segera
kesana, disebabkan Bagansiapiapi harus memiliki seorang petugas yang sensitive akan
api, selain itu, untuk selenggarakannya pelatihan bagi petugas yang ditunjuk. Setelah
peralatan baru tiba, dimulailah pelatihan di lapangan untuk Petugas Kebakaran,
tepatnya berlokasi disebuah lapangan pos polisi, dan sebuah gedung pemadam
kebakaran pun dibangun. Mesin pemadam api ditempatkan diberbagai bagian kota,
sementara keperluan personil juga telah tercukupi. Adapun panel api berada di ruang
tunggu di areal kantor polisi. Mesin air dan saluran air untuk pemadaman api melalui
pipa-pipa sepanjang kurang lebih 2 km, akan dipompa ke kota. Petugas pemadam api
akan diperintahkan untuk siaga di Lapangan pada Bulan Oktober, dimana akan dimulai
latihan sejak Bulan Januarinya. Bahwa Petugas pemadam api juga dibantu oleh Staf
Pemerintah Kota yang cukup terlatih. Diadakan latihan rutin mingguan. Ternyata,
keberadaan petugas pemadam kebakaran ini terbukti meyakinkan dalam beberapa
kebakaran. Bahkan saat itu peralatan pemadam kebakaran di Bagan dianggap telah
mencukupi dan dapat membatasi kobaran api. Bagi pemerintah, hanya petugas
dengan kepemimpinan yang tegas dan berdisiplinlah yang mampu melakukan
pekerjaan ini. Meskipun demikian, ditemui bahwa perusahaan asuransi ternyata
masih enggan terlibat disini.333 Selain persiapan unit pemadam kebakaran,
Bagansiapiapi juga diterapkan aturan untuk meminimalisir dampak kebakaran
menjadi lebih besar, dengan aturan pembuatan bangunan hingga sekat dinding yang
terbuat dari material yang tidak rentan terbakar, melalui regulasi Gubernur Sumatra
Timur Tanggal 14 Mei 1930. Untuk mengurangi resiko kebakaran dengan didasarkan
pada peraturan (didukung regulasi dan disetujui oleh Gubernur pantai timur Sumatera
tertanggal 14 Mei 1930), jalan lebar dibangun, dan bangunan di ruang pertemuan
utama yang lebih rendah…beberapa bagian dari rumah di blok.. dinding disekat dari
material yang tidak mudah terbakar. Nampaknya, di Bagansiapiapi; Persiapan untuk
mencegah dan menanggulangi kebakaran benar-benar telah dipersiapkan mengingat

333
Belajar dari rencana kontrolir Van Wilgenburg sebelum ke daerah kebakaran untuk
membangun juga taman Bermain dan olahraga, dan areal sekitarnya untuk penghijauan.
Pelaksanaan rencana ini tentu akan memberikan kontribusi memperindah kota dan mencegah
untuk meluasnya api.. Dikatakan oleh Pejabat setempat bahwa rencana ini diharapkan dibantu
dan didukung oleh semua pihak… Selain kontrolir Wilgenburg yang lebih dari satu tahun lalu
bertugas di Kisaran, pers menuliskan dengan “ditambahkan juga ucapan terima kasih kepada
Petugas Kota Bagan…. Telah menunjukkan keberanian dan tidak kenal takut, Komandan H.P.O.
Zijstra…juga ditujukan kepada Direktur Pekerjaan Umum Tuan Van Erden, yang telah menjamin
pasokan air yang cukup untuk menanggulangi api… “ Dalam De Sumatra Post, tanggal 30 Mei
1932, SUMATRA: De Brand Te Bagan.
200

beberapa kebakaran besar menjelang tahun 1930. Meskipun telah sedemikian besar
upaya dari pemerintah Hindia, “takdir” Bagansiapiapi saat itu seolah-olah memang
lekat dengan namanya, dan kebakaran besar pun tetap terjadi kembali, sebagaimana
peristiwa ditahun 1934; Sebuah kebakaran besar kembali melanda Bagansiapiapi,
sebanyak 180 rumah, toko, gudang pengolahan ikan habis terbakar. Berita ini juga
menyorot tentang banyaknya penduduk Bagansiapiapi yang kehilangan rumahnya,
dan Pemerintah Kolonial mengambil langkah untuk membantu.334

Situasi Pelabuhan Bagansiapiapi 1930-40. Sumber: KITLV


Api boleh saja berkobar dan membakar kota, akan tetapi perkembangan Bagansiapiapi
terus saja bergulir seiring perubahan waktu, bahwa, memasuki tahun 1930-an, Kota
ini semakin memperkuat kharakter ke-kota-annya dengan diterangi oleh aliran listrik
yang pada tahun 1934 – yang telah dimulai perancangannya sejak pasca kebakaran
1908 - oleh Perusahaan Electriciteit Mastchappij Balik Papan, sebuah perusahaan
Belanda. Kondisi ini ditengarai membuat Bagansiapiapi pada malam hari telah
diterangi oleh lampu-lampu kota, dan mulai dipergunakannya alat-alat modern
lainnya. Adapun untuk sarana air bersih, maka pada kurun tahun 1930-1931
dibangunlah di Bagansiapiapi Waterleiding – yang terus disempurnakan; mengingat

334Het Vaderland: Staats En Letterkundig Nieuwsblad, GROOTE BRAND BAGANSIAPIAPI, tanggal


20 November 1934
201

kondisi tanah dan air asin, maka pada tahun 1937 didatangkan seorang Insinyur dari
Afdeeling Gezondmakingswerken en Volkshuisvesting van den Dienst der
Volksgezondheid (divisi Revitalisasi Pekerjaan dan Perumahan Departemen
Kesehatan) di Batavia; Ir.Bleichrodt,335 dimana pada bahagian tertentu pipa dipasang
diatas tanah, pekerjaan hingga tahun 1939 dengan pemasangan pipa-pipa besi cor
hingga ke segenap kota, dimana sebelumnya menggunakan tabung baja yang telah
mengalami korosi.336 Waterleiding sebagai bahagian dari rencana yang sudah dimulai
tahun 1927 bahwa “MENGOEROES PERDJALANAN AIR AKAN MEMBIKIN SEHAT
NEGRI.”337
Penjaringan air minoem boeat kota Bagan Siapi-api. Dengan penjaringan air
sematjam ini, bisa dapat membeningkan, dari air jang beroepa koening,
merah, (boetak), dan dapat teroes diminoem. Lebih doeloe air itoe
dipompakan kedalam antara satoe dari doea coagulatiebak jang terbikin dari
pada besi, dan tiap-tiap bak mi, isinja 50 M 3, dapat poela dipergantikan
memakenja. Didalam bak mi, ada ditarokan obat, soda dan aluminiumsulfaat
namanja. Sesoedah satoe djam dinenapin (dibeningkan), baroe air itoe
mengalir kedalam tempat saringan (snelfilter), jang terbikin dari pada besi,
jang dapat menjaring air 10 M3 dalam satoe djam. Air jang mengalir dari
snelfilter mi, diatoerkan djalannja lagi oleh seboeah mesin, debietregulateur
namanja, terbikin dari pada logam, dan teroes mengalir kedalam bak
pandjang jang tertoetoep rapat (reinwatergoot), jang soedah ditaroki obat,
caporiet namanja, boeat mengabiskan koetoe-koetoe (bacteriën). Dari
reinwatergoot mi teroes mengalir kedalam bak besar, jang ditoetoep rapat,
sehingga ta bisa masoek koetoe-koetoe (bacteriën), reinwaterkelder namanja,
dan dari sini, mengalir teroes kedalam piggot tank jang isinja 30 M 3. Dari
piggot tank inilah baroe dibagi-bagi pada jang'akan memakenja.
Untuk sarana kesehatan, Pemerintah Kolonial memberikan dukungan untuk
pembangunan Rumah Sakit tidak jauh dari pemukiman Eropa. Rumah Sakit Modern
tempat salah seorang dokter awal yang bertugas, seorang bumiputra berasal dari
pulau Jawa, yakni; dr.RM.Pratomo, yang namanya saat ini diabadikan sebagai nama
pada RSUD Bagansiapiapi, sebagai bentuk penghargaan terhadap jasanya; diberitakan
wafat dalam kecelakaan kapal yang ditumpanginya dipedalaman sungai Rokan. 338
Selama tur-medis dipedalaman, ketika kapal itu dalam perjalanan di Sungai Rokan
dekat Siarang-arang, pada tanggal 8 Februari 1939 dr. Raden Mas Pratomo dari Rumah

335 De Sumatra post, 03-03-1937, Waterleidingskwesties. IN BAGAN-SI-API-API EN BALIGE.


Bevindingen van Ir. F. Bleichrodt.
336
Bataviaasch nieuwsblad, 19-10-1938: WATERLEIDING BAGAN SI API-API;
337 Colonial Collection (KIT) — Leiden University Libraries; Ketranganja soembangan dari Dienst

der volksgezondheid di EHTINI, 1927 — X. ASSAINEERING (MENGOEROES PERDJALANAN AIR,


AKAN MEMBIKIN SEHAT NEGRI).
338 Dilihat dalam “De Sumatra Post”, 13 Februari 1939, juga seperti diberitakan dalam “UTRECHT

NIEUWSBLAD” 14 Februari 1939.


202

Sakit di Bagansiapiapi terjatuh dari kapal yang ditumpanginya, dihempas gelombang


dan tenggelam dipedalaman sungai Rokan. Dokter Raden Mas Pratomo, berasal dari
Paku Alaman Yogyakarta, sudah sejak 1911 di Bagansiapiapi sebagai dokter yang
melakukan pelayanan kesehatan. Ia sekolah di Stovia (Sekolah untuk melatih dokter-
dokter Hindia) di Batavia dan lulus pada tahun 1906. Ia dikenal sebagai dokter pribumi
yang ramah dan mahir berbahasa China, mengingat kota Bagansiapiapi yang dominan
di huni oleh orang China. Rincian kecelakaan yang terjadi pada dokter Pratomo
menurut warta tersebut belum diketahui. 339 Upaya pencaharian yang dilakukan
disepanjang aliran sungai Rokan itu yang juga melibatkan datuk Tanah Putih,
nampaknya tidak membuahkan hasil, dan dr.RM Pratomo pun tidak pernah
diketemukan.340 Sementara itu pihak emerintah Hindia Belanda memandang serius
peristiwa ini, bahkan, Gubernur Pantai Timur dari Medan tiba di Bagansiapiapi
menemui keluarga sang dokter guna mengucapkan bela-sungkawa, 341 lalu dilakukan
serangkaian penyelidikan mengenai peristiwa ini, dan dari hasil pemeriksaan yang
dilakukan, menunjukkan bahwa peristiwa itu memang sebuah kecelakaan. 342

Periode Tahun 1940-an


Sebagaimana telah diutarakan sebelumnya bahwa hingga menjelang tahun 1940-an,
kota Bagansiapiapi telah menjelma menjadi suatu “modern town”, dengan
kelengkapan fasilitas modern seperti listrik, air bersih hingga pemadam kebakaran.
Pembangunan perkantoran yang berjalan menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia
belanda, tercatat adalah pembangunan “kazerne veld politie”(tangsi polisi berlokasi di
persimpangan “Societeit Straat dan Hospitaal Straat,” yang nampaknya perlu segera
dibangun disebabkan kondisi bangunan yang sudah uzur dan rentan rubuh dan bahkan
sebahagian sudah rubuh, sebagaimana diceritakan dalam surat Komandan polisi
Bagansiapiapi, J.C.Kossen tertanggal 2 Februari 1937 perihal “Zeer bouwvallige
toestand der kazarne Veldpolitie.”

339
Dr.RM.PRATOMO, seorang dokter lulusan Stovia Batavia yang bertugas di Bagansiapiapi
semenjak tahun 1910/11, merupakan seorang dari keluarga Mangkunegaran Yogyakarta, ia
datang ke Bagansiapiapi bersama sejumlah orang dan juga seorang tentara berkebangsaan
Jerman.
340
Bahwa pencarian ini sebagaimana diceritakan oleh Syamsoeddin, salah seorang staf dokter
yang turut dalam pelayaran dengan kapal F.II yang membawa dokter Pratomo itu.
341
Berdasarkan catatan dari salah seorang putri RM.Pratomo,
342 Berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan yang dilakukan polisi P.C.Kossen di Bagansiapiapi

terhadap para penumpang kapal; H.J.Eldering (Rubberestrictieambtenar), Nain dan Naroep


(awak kapal), Boeasim (juru-mudi), Sardijo (dokter), dan Samsoeddin (Zieken verpleger).
203

dr.RM.Pratomo (ketiga dari kiri) beserta anak tertua Djajeng Pratomo(kedua dari kiri berjas,
masih hidup dan berdomisili di negeri belanda) dan sejumlah staf Medis Rumah Sakit. Gambar
diambil tahun 1937 menjelang keberangkatan RM Djajeng Pratomo ke negeri Belanda. Sumber:
Ibu Iljunah dan Marjati Pratomo.

Komandan Polisi Afdeeling Bengkalis menyarankan untuk sementara menggunakan


Bangunan lain untuk menghindari terjadinya kecelakaan jika Bangunan itu rubuh.
Pemerintah Batavia mengeluarkan kebijakan untuk membangun kembali, dengan
bangunan yang lebih luas dan kuat, dengan fondasi yang kokoh. Kemudian
pembangunan “opium depot/zouregie” di persimpangan “Wilhemina Straat” dan
“Kerk Straat.” Proses pelaksanaannya sendiri telah dimulai sejak tahun 1938, dimana
tanah lokasinya diserahkan oleh pihak Kerajaan Siak kepada Pemerintah Hindia
Belanda.343 Pembangunan gedung kantor yang terakhir ini, nampaknya berjalan tidak
sesuai rencana disebabkan telah pecahnya Perang Dunia II, yang sedikit banyak telah
mengganggu arus pengiriman material untuk pekerjaan pembangunan tersebut;
seperti kayu merbau yang diimpor via Singapura. Selanjutnya dapat diduga telah
terjadi keterlambatan atau mundurnya waktu penyelesaian pekerjaan tersebut. 344
Dua bangunan itu, nampaknya tidak lagi dapat ditemui di Bagansiapiapi. Fasilitas
ruang publik, berupa lapangan atau “voetbalveld” yang biasa digunakan sebagai

343
Surat penyerahan nomor 193 yang ditandatangani Sultan tanggal 23 Oktober 1938; dan
Asisten Residen Bengkalis tanggal 6 Desember 1938.
344 Pekerjaan yang sedianya selesai pada 20 Desember 1940, nampaknya diperpanjang hingga 20

Februari 1941, surat Injo Tjiok Tjiauw, 30 Oktober 1940.


204

tempat bermain bola kaki, terletak di Wilhemina Straat, tempat yang sekarang
dikembangkan menjadi “Taman Kota Bagansiapiapi.” Pada kawasan rumah sakit,
yakni di “Kerk Straat” sekarang Jalan dokter RM Pratomo, berdiri sebuah bangunan
milik Khatolik yang nampaknya juga berfungsi sebagai “ziekenhuis” (sekarang
digunakan sebagai asrama polisi). Adapun rumah dinas Komandan Polisi tepat
terletak diseberang kazerne veldpolitie yang merupakan persimpangan dengan
“Juliana Straat” dan berdampingan dengan gedung “Inlanders School” (sekolah
Pribumi), Telegraaf dan Postkantoor. Adapun arah ke barat menyeberangi Juliana
Straat, maka terdapat areal BOW (departeman PU). Arah ke timur, maka terdapat
“gevangenis” atau rumah tahanan dan Rumah sakit milik “vereeniging” yang terletak
berseberangan dan sama menghadap ke “Kerk Straat”, selain itu juga tepat
berhadapan dengan sebuah ziekenhuis milik khatolik(sekarang asrama polisi). Arah ke
selatan dari rumah sakit, maka membentang Hospitaal Straat yang sekarang dikenal
dengan Jalan Tugu dan jalan dokter RM Pratomo, dimana terdapat Holland Chineesche
School dan Pastoor Kerk, dan juga Controleurswoning (rumah-Kontrolir)
dipersimpangan Hospitaal Straat dan Societeit Straat. Diantara Pesanggrahan dan
controleurswoning, terdapat Lapangan Tenis yang masih digunakan hingga saat ini.
Yang dapat dicermati adalah bahwa Bagansiapiapi sebagai kota yang rentan terbakar,
saat itu kota telah memiliki sejumlah gang (jalan kecil) yang disebut dengan
“brandhuis” diantara pemukiman yang rapat dan padat, yang dimaksudkan untuk
memudahkan pekerjaan pemadaman api bila terjadi kebakaran, solusi yang diberikan
mengingat beberapa kebakaran besar pernah melanda kota ini. Dan kota sendiri,
dibelah oleh “waterleidings Straat” yang saat ini adalah jalan Siak terus kearah
“Zeestraat” yang sekarang adalah jalan Perdagangan/perniagaan. Waterleiding ini
sendiri sangat penting dan mendesak; dengan pipa-pipa air dipompa keseluruh
penjuru kota guna mengantisipasi bencana kebakaran. Dari sisi pendukung
perekonomian kota sebagai pusat industri ikan, maka gudang-gudang garam terletak
di sumbu teluk “Sei Garam” yang terletak di “Zeestraat”, begitu pula dengan kantor
Serikat Tjin Thong, dan sebuah club terkenal: Soekarame. Dari sini arah utara, maka
terdapat Kantor Pabean yang berdiri di depan Pelabuhan Utama Bagansiapiapi. Disisi
utara kantor tersebut terdapat Pasar, yang terus kearah laut terdapat “visspasser”
(pasar ikan) yang terletak memanjang searah dengan dermaga Pelabuhan. Kota
sendiri memiliki jalan utama, yakni “Emma Straat” dimana berdiri gedung
“Pesanggrahan”, “Magistraat Kantoor” dan “Volkscredietbank”. Tepat diseberang
kantor utama tersebut, terdapat gang yang mengarah ke “Klenteng” yang juga
nampaknya “Brandspuithuis” berdiri dipersimpangannya. Arah ke timur di kerk
straat, terdapat rumah letnan China (Luitenantswoning). Masih di Kerk Straat, tepat
disebelah Volkscredietbank, berdiri Pandhuis atau Kantor Pegadaian. Perkembangan
kota adalah memanjang sepanjang garis pantai dari selatan kearah utara, dengan
pusat pemerintahan dan klenteng diareal tengah. Arah barat, adalah pelabuhan yang
sudah berangsur-angsur mengalami pendangkalan akibat timbunan lumpur. Lurus
arah ke timur, sebelum ditemuinya pemukiman masyarakat Melayu dan areal kebun-
kebun karet, terdapat jalan Haga (sekarang jalan Pahlawan) yang membentang paralel
205

dengan garis pantai dari utara ke selatan, seolah-olah merupakan garis demarkasi kota
berdasarkan etnis. Jalan Haga ini, penampilannya sekarang mungkin berbeda: bahwa
jalan semasa Hindia yang merupakan suatu garis lurus menuju Bagan Punak yang
merupakan rangkaian jalan setapak yang coba dibangun oleh Belanda menuju
pedalaman.345 Kemudian pemukiman China yang padat, seperti Macaustraat (Jalan
Makau) yang dideskripsikan oleh Haga sangat kental dengan Kharakter China.
Siapakah sebenarnya Haga ini? Namanya, cukup sering terdengar dalam peran Hindia
dalam mendorong industri perikanan Bagansiapiapi setelah terkena masa tekanan
pertama; dengan melihat bahwa pada salah satu jalan di Bagansiapiapi menggunakan
namanya, maka dapat dipastikan bahwa sang tokoh cukup berperan pada masanya.
Bauke Jan Haga, adalah seorang kontrolir yang bertugas di Bagan Api Api kurun waktu
1915 – 1919. Haga dilahirkan di Groningen 9 November 1890. terdaftar sebagai
mahasiswa hukum dan sastra di Universitas Leiden tanggal 23 September 1909, pada
tanggal 8 Februari 1913 berangkat dari Amsterdam ke Batavia dengan kapal
Rembrandt, bertugas sebagai Direktur Layanan Sipil di pantai timur Sumatera 7 Juli
1913, tinggal di Bindjei Langkat , kemudian di Siak tahun 1914, Sebagai adspirant-
inspektur Pematang Siantar Tahun 1914, bertugas sebagai Kontrolir Pemerintahan
Sipil Bagan Api-Api (1915-1919), tinggal di Bagan Api-Api, juga pernah menjabat
sebagai Presiden Onderafdeelingsbank Bagan Madjoe (1917), sebagai Presiden-
Bendahara Asosiasi (vereniging) untuk pembangunan dan pemeliharaan sebuah
rumah sakit di Bagan Api-Api (1917), kemudian memperoleh Ph.D. dari Universitas
Leiden pada bulan Desember 1924 dengan disertasi berjudul “Indonesische en
Indische democratie,” buku yang banyak dibaca oleh tokoh pergerakan kemerdekaan
nasional, seperti Dr.M Hatta. Karier terakhirnya adalah sebagai Gubernur Borneo
tahun 1939 hingga masuknya tentara pendudukan Jepang dimana ia dan isterinya
terbunuh disana. Belanda kembali memasuki Bagansiapiapi pada akhir tahun 1948,
kali pertama “berkuasa” kembali setelah Jepang mengusir mereka di tahun 1942.
Seorang jurnalis yang bersama-sama dengan tentara agresi itu melaporkan situasi kota
Bagan sebagai berikut:346 Pelabuhan Bagan ini merupakan pelabuhan perikanan
terbesar kedua di dunia, namun, belum mampu berbuat banyak karena mereka tidak
memiliki sumber daya modern seperti kapal keruk pasir dan lainnya, untuk melakukan
pengerukan itu. Sungai Rokan yang mengalir ke laut, telah berubah kekuatannya
dalam beberapa tahun terakhir, dengan hasil bahwa port tersebut benar-benar
tertimbun lumpur dan macet. Di mulut pelabuhan telah terbentuk ambang sekitar 1
meter. Sebagai tindakan penanggulangannya, diupayakan agar aliran air terus
mengalir ke dermaga. Dengan demikian, terdapat satu-satunya titik di mana "pada

345 Bahwa jejak-jejak jalan ke pedalaman era Hindia, tidak selalu bertepatan dengan jalan yang
sekarang digunakan. Hasil kontak pribadi dengan Nurhidayat,SH, seorang warga mantan Camat
Bangko, 31 Maret 2016.
346
De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, tanggal 8 Januari 1949; Bagan-
siapi-api: „Staat in een Staat” Bevolking voelde niet veel voor republikeinse ideeën Troepen goed
ontvangen.
206

saat pasang maka masih bisa kapal merapat ke kota. .. Mereka memperhatikan
perkembangan terbaru dan kemajuan di berbagai wilayah, terutama pertumbuhan
Negara Soematera Timur; menjadi perhatian khusus mereka… Semua bangunan
publik di Bagan yang rusak mulai digunakan. Pasokan air dan listrik, bagaimanapun,
mengalami stagnasi karena terdapat bagian dari yang tidak lagi digunakan dan tidak
diganti selama bertahun-tahun. Rumah sakit selama bertahun-tahun berada di bawah
kepemimpinan Republik. Pasien tidak ada, tapi terdapat sejumlah tiga belas staf laki-
laki. Bangsal dibagi dan atap diperbaiki dalam bilik-bilik yang nyaman di mana staf
telah bertempat tinggal. Dan juga, gaji yang besar. 'Obat-obatan dan peralatan medis
tidak terdapat di sana, "lanjut dokter Belanda, yang kini telah mengambil alih rumah
sakit itu. Akan tetapi, setelah penyelidikan; dan pengupayaan, pada hari kedua, rumah
sakit telah mengalami metamorfosis secara lengkap. Rumor kehadiran dokter sudah
merambah penduduk. Hasilnya adalah bahwa pada pagi hari ketiga, sejumlah 175
orang pasien telah datang menunggu didepan kliniknya.

Kontrolir B.J.Haga
207

Sketsa Situasi Bagansiapiapi Tahun 1941.


208

Sumber Weekblad voor Indie, 17de Jaargang No.5,


9 Mei 1920; “Een Bloeiend Bedrijf”
209

Pelabuhan Bagansiapiapi 1948. KITLV


210

Sungei garam Riwajatmoe doeloe, 1948. KITLV


211

Sinaboi 1948.KITLV

Panipahan 1948. KITLV


212

Pelantaran di Bagansiapiapi, tahun 1930-40. Sumber KITLV


213
214

8
Konfigurasi Sosial di Bagansiapiapi

Kharakter Pemukim Awal


Pembuatan peta, membutuhkan suatu ketrampilan khusus yang hingga menjelang
akhir abad ke19 dan pertengahan abad ke-20, masih didominasi Eropa sebagai negeri
penjajah. Proyeksi keruangan yang begitu luasnya dalam selembar kertas kerja,
menjadikan lanskap bagai terpegang begitu mudahnya dalam genggaman kolonial.
Pengkajian lanskap yang dilakukan para ahli dari bangsa Eropa, merupakan suatu fase
dalam periodesasi penjajahan yang tentu membutuhkan informasi-informasi, terukur
dalam serangkaian metode dalam alur hukum positif. Informasi yang diperoleh sangat
berguna bagi kelangsungan ataupun prospek kolonisasi, terutama meliputi kondisi-
kondisi fisik lingkungan ekologi. Untuk Bagansiapiapi, nama ini tidak tercantum dalam
peta yang memuat gambar wilayah muara Rokan347 setidaknya hingga menjelang
tahun 1870-an, bahwa saat itu Belanda terfokus pada tiga lanskap kenegerian Tanah
Putih, Bangko dan Kubu, dimana pada wiilayah muara Rokan dituliskan sebagai
Perbabean. Akan tetapi, sebenarnya yang sering tidak tercatat dalam tradisi kolonial
ini adalah para aktor dari lanskap yang dipelajari, terutama bumiputera yang berada
dalam area fokus kajian yang berperan dalam pergulatan ekonomi. Sepanjang abad
ke17 hingga pertengahan petama abad ke-19, dengan situasi perdagangan yang
begitu ketatnya dimonopoli oleh Belanda terutama wilayah sepanjang selat dipantai
timur Sumatra, tentunya bukan situasi yang diminati oleh para migran China yang
biasanya tiba dengan kepentingan berdagang; Sebut saja Kapten Forrest yang
berkunjung ke Aceh pada tahun 1762, 1775 dan 1784, tidak menemukan pemukim
China disana, hanya saja ia menyebutkan pemukim China itu pada masa komodor
Beaulieu di Palembang tahun 1722.348 Informasi keberadaan pemukim China itu,
Marsden menyebutkan terdapatnya pemukim China di Bengkulu. Keberadaan
pemukim China di kawasan Sumatra Selatan, juga Bangka, terkait dengan
pertambangan timah dimana VOC memonopoli perdagangan barang tambang.
Keberadaan pemukim China, terkait dengan keberadaan pertambangan dan bukan

347 Sebagaimana yang ditunjukkan dalam peta Hindia, “Kaart der residentie Riouw met
onderhoorigheden, aangrenzende deel van Sumatra's Westkust en Schiereiland Malakka,”
W.F.Versteeg, 1833 – 1867. Pada peta Muara, hanya terdapat nama: Og Perbabean, Pulau Halang
Besar dan Kecil
348
Voyage to Mergui Archipelago, hal.50; Purcell, hal.425-428.
215

perdagangan; seperti penguasa Palembang yang menyadari keunggulan pekerja China


sebagai pekerja tambang, segera mendatangkan mereka dari Tenggara China melalui
agen untuk bekerja di Bangka.349 Hingga dekade ketiga atau keempat abad ke-19,
kuantitas pemukim China di Sumatra tidaklah signifikan hingga dimulainya masa
perkebunan tembakau di Deli, Langkat dan Serdang dipantai timur. 350 Sesudah tahun
1860-an, dikenal dengan periode tibanya migran China dikawasan pantai timur,
sebagaimana telah disampaikan untuk bekerja di perkebunan tembakau yang
dikatakan mereka memiliki ketrampilan sehingga memiliki hasil panen yang baik.
Pertumbuhan migran China itu, nampaknya juga sejajar dengan yang berlangsung
dikawasan lebih ketimur, tepatnya mengenai kisah pendirian “kampung nelayan”
tepat ditepian muara Rokan oleh para pemukim China yang terlibat dalam kegiatan
penangkapan ikan. Sebagai sebuah kawasan yang tumbuh pesat awal abad ke-20,
terdapat kisah ataupun legenda yang berkaitan dengan pangarungan samudera
menggunakan tongkang oleh sekelompok China, yang dalam kegelapan malam lautan,
tiba-tiba tampak cahaya yang berkedip-kedip dan dijadikan sebagai pemandu dalam
mencapai daratan. Dengan mengikuti kerlap-kerlip cahaya itu, mereka tiba disuatu
daratan di muara sungai Rokan, yang saat itu masih dikenal dalam peta kolonial
sebagai kawasan Perbabean. Para awak Tongkang sejumlah 18 orang yang seluruhnya
bermarga Ang, di antaranya : Ang Nie Kie, Ang Nie Hiok, Ang Se Guan, Ang Se Pun, Ang
Se Teng, Ang Se Shia, Ang Se Puan, Ang Se Tiau, Ang Se Po, Ang Se Nie Tjai, Ang Se Nie
Tjua, Ang Un Guan, Ang Cie Tjua, Ang Bung Ping, Ang Un Siong, Ang Sie In, Ang Se Jian,
Ang Tjie Tui. 351 Kelompok pertama itulah yang selanjutnya dianggap sebagai leluhur
orang Tionghoa Bagansiapiapi. Terdapat juga yang memperkirakan kedatangan itu
tepat pada penanggalan Imlek bulan kelima tanggal 16. Adapun tahun masehi
pendaratan Tongkang itu, terdapat beberapa pendapat, dimulai dari tahun 1825,
1860, atau 1875. Pendapat pertama, 1825, berkaitan dengan masa sebelum
kedatangan di muara Rokan, kelompok ini singgah di Songkla Thailand, akan tetapi,
situasi yang tidak kondusif memaksa mereka untuk melanjutkan perjalanannya
mengarungi lautan hingga akhirnya tiba di pesisir Rokan. Mengingat situasi politik di
pantai timur, terutama yang relatif stabil pasca perang padri di pedalaman sungai
Rokan tepatnya di Dalu-Dalu yang berakhir pada tahun 1838; kemudian
ditandatanganinya perjanjian antara Siak – Belanda tahun 1858, dan Traktat 1871
antara Inggris-Belanda tentang pembagian Sumatra - Malaya, serta booming
perkebunan di Sumatra Timur, maka mengacu pada suatu keberlangsungannya situasi
kondusif bagi sebuah pengembangan pemukim yang berorientasi penangkapan ikan
di kawasan pantai timur, dengan demikian, menjadi logis saja perkiraan kedatangan
para pemukim awal Bagan pada tahun 1860-1875 (Bruin, Vleming, 1926).

349 Davidson, Trade and Travel, hal.87.


350 J.A.Collet, Terres et Peuples de Sumatra, Amsterdam, 1925, p.193; Purcell, hal.427.
351
Sudarno Mahyudin, 2008.
216

Pemeriksaan Kedatangan pekerja China oleh Belanda di kawasan Pantai Timur.


Sumber: Deli in Woord en Beld, Amsterdam, H.H.de Bussy 1905.

Bagansiapiapi, berbeda dengan Melayu yang cenderung mendirikan pemukiman yang


berada di alur anak-anak sungai sebagai kampung yang eksis diera 1860-an itu.
Posisinya berada di garis pantai muara yang rentan dengan hantaman arus pasang
surut; kawasan padat mangrove dan berawa, dan juga setiap saat selalu berada
dibawah ancaman hewan predator; buaya air asin. Meskipun makhluk terakhir ini
tidak menjadi kendala utama bagi industri, terlihat bahwa hingga saat ini tetap
menjadi predator utama yang sungguh-sungguh berbahaya: bahwa seperti
diberitakan dimana sebuah sampan kecil yang ditumpangi seorang laki-laki dan
perempuan yang tengah melintasi sungai Rokan terbalik, dan mereka diserang oleh
buaya yang berukuran cukup besar hingga salah seorang dari mereka telah dimangsa
predator itu.352 Telah disebutkan, kerasnya kehidupan nelayan di industri perikanan
di Bagansiapiapi, diantaranya pula, bahwa pekerja selama periode menunggu jermal,
mereka berada di lepas pantai dengan sejumlah pula tantangannya.353 Selain itu, kita

352
De Locomotief, 10 Juni 1892.
353 Pada saat itu, ratusan jermal yang tersebar di lepas pantai, terdapat tonkang besar
disampingnya sebagai tempat kediaman nelayan dan keluarganya – disamping sampan-sampan
kecil untuk menampung hasil tangkapan. Sang nelayan, biasanya akan ke daratan dalam 2-3
bulan sekali untuk berbelanja kebutuhan harian. Untuk konsumsi rutin, mereka memasak bubur
nasi dan ikan, ataupun sedikit sayuran; rutinitas ini ternyata menimbulkan berbagai macam
217

juga dapat melihat, betapa tanah tempat berdirinya pemukiman merupakan rawa
gambut, yang akan memantul ketika kita melangkahkan kaki disana. Jelas saja,
bangunan batu pada era awal bukan pilihan yang tepat untuk model bangunan disana.
Dipastikan bahwa pada tahapan awal ini, para pemukim akan berhadapan dengan
ganasnya alam pesisir yang begitu hebatnya menguji batas ketahanan phisik manusia,
dan terbukti, para pemukim awal Bagansiapiapi ini berhasil melewati rintangan
ekologis tersebut. Masyarakat Bagansiapiapi terutama nelayan China, berada dalam
kehidupan yang keras. Menjelang akhir abad ke-19, Rijn van Alkemade mencatat
bahwa di Bagansiapiapi ia menyaksikan, seorang pencuri dengan tangan dan kaki
terikat; dilempar ke laut.354 Pembukaan lahan dan pendirian pemukiman tepat digaris
pantai muara, jelas meletakkan fondasi bagi perilaku para pemukimnya. Alam yang
keras membentuk kehidupan keras, dan tentu saja akan membentuk watak tertentu
bagi para pemukimnya. Bahwa tidak mungkin dapat dijalankan industri perikanan
disini tanpa kedisiplinan tinggi para pelakunya dan sikap sebagai pekerja keras. Dalam
kaitan “semangat kerja” itu, L.H.C.Horsting menggambarkan orang China di
Bagansiapiapi, terdapat jaringan seluruh keluarga untuk bergerak dalam usaha
perikanan; laki-laki, perempuan, dan anak-anak, semua sesak dan berteriak dalam
jalinan kerja. Orang Cina di disini (Bagansiapiapi), memang seperti semut, selalu sibuk,
selalu aktif. 355 Lebih jauh lagi, dilaporkan bahwa dalam persinggahannya di
Bagansiapiapi, Rijn van Alkemade juga mencatat bahwa dinegeri ini terdapat sejumlah
1000 jiwa orang China dilengkapi juga dengan senapan yang bermukim disana, dan
kesemuanya itu adalah laki-laki!356 Kondisi menjelang akhir abad ke-19 ini dapat
dipahami dari kharakter budaya masyarakat China itu sendiri; dimana tabu bagi
seorang perempuan terhormat untuk melakukan perjalanan mengarungi lautan. 357
Pada awalnya, Bagansiapiapi terlihat berkharakter sebagai tempat para “pemburu”
ikan yang mencoba peruntungannya disana; mereka tiba secara berkelompok,
bertahap, mulai dari Taiwan, China Daratan hingga Singapura. Pertemuan para pelaku
industri perikanan ini, terutama para “lajang” juga sekaligus memunculkan asumsi
tingginya tingkat migrasi sirkuler. Para pekerja ini, mungkin saja setelah berhasil
mengumpulkan uang, akan kembali ke negeri asal dan segera digantikan dengan
pelaku lainnya. Akan tetapi, situasi ini tidak bertahan lama. Perubahan politik dengan
masuknya penjajah Belanda yang begitu antusias untuk mengembangkan dan

penyakit. Untuk menanggulanginya, maka seorang dokter dari Bagansiapiapiapi –


dr.R.M.Pratomo, setiap pekan mengunjungi mereka di Jermalnya; dilihat dari catatan
RR.Pratomo, putri ketiga dari dr.R.M.Pratomo.
354 Rijn van Alkemade, 1884,
355 Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, Het Leestafel Een

Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.


356 Rinciannya adalah China-Hokkian sejumlah 800 jiwa, yaitu China Tai Zjoe sejumlah 90 jiwa,

untuk dipekerjakan pada pachter, sementara sisanya Haylam dan selusin Keh-China, sehingga
totalnya adalah 1000 jiwa, dan Rijn van Alkemade tidak melihat adanya perempuan disana; lihat
Alkemade, 1884.
357
Lihat “China Pesisir.”
218

meningkatkan produksi ikan tangkap ini, telah mengundang begitu banyaknya para
pekerja; juga dengan berdatangannya kaum perempuan China, membentuk keluarga
atau para pekerja ini membawa sendiri keluarga dari tempat asal. Meskipun demikian,
komposisi kaum perkerja “lajang” nampaknya masih bertahan, seperti tercatat dalam
laporan Kontrolir Haga(1915-1919) bahwa pada era tahun 1916, dari sejumlah 12.012
jiwa penduduk, laki-laki sejumlah 6825 jiwa dengan 4800 jiwa diantaranya adalah
nelayan – sisanya merupakan kaum perempuan(1943jiwa) dan anak-anak (3717 jiwa).
Selain itu, phenomena ini juga sekaligus menunjukkan tentang fluktuasi jumlah
penduduk yang nampaknya sebanding dengan kondisi industri perikanan. Kita tidak
akan merasa heran dengan eksodusnya dua ribu nelayan dari sini ketika terjadi masa
surutnya produksi di tahun 1910. Begitu pula ketika memasuki era stagnan, secara
kuantitas, para pemukim China ini tidak mengalami perubahan yang signifikan. Pria
berkeluarga, mungkin saja memiliki keturunan yang akan menambah jumlah
penduduk, akan tetapi, para pemukim “lajang” yang cukup besar, jika melihat situasi
yang tidak menguntungkan, memilih akan segera berlalu. Sensus 1930 menunjukkan
bahwa penduduk China berjumlah 16.000 jiwa, dan hampir secara eksklusif-adalah
Hokkian-Singkeh (totok), 358 Komposisi demografi ini, dari jumlah 16.000 jiwa yang
berstatus lajang sekitar 8000 jiwa, kemudian sejumlah 2000 jiwa pria menikah
namun tidak terdapat keluarganya disini, dan sejumlah 2000 menikah dilengkapi
dengan anak-anak di Bagan. Kembali pada masa disaat Bagansiapiapi masih dikenal
dengan Kawasan yang disebut sebagai Perbabean ini, pada awalnya tentu didirikan
dengan dukungan hutan mangrove yang memberi pasokan kayu-kayu sebagai bahan
pendirian rumah, pelantaran, hingga alat penangkapan ikan; jermal. Alam telah
meyediakan kelimpahan kayu dari hutan disekitar Bagansiapiapi. Seorang pengamat
Eropa359 akan dengan mudah mendeskripsikan bahwa hutan-hutan disepanjang aliran
sungai yang berdekatan dengan Bagansiapiapi, telah gundul akibat ditebangi.
Kesemua ini menunjukkan upaya kerja keras yang dilakukan secara intensif,
mengingat perkembangannya yang memakan waktu tidak terlalu lama. Kesibukan
awal ini, tentu juga menunjukkan geliat pelayaran perdagangan dari dan ke muara
Rokan. Ramainya kegiatan, tentu bukan hanya penangkapan ikan dengan jermal saja,
melainkan tahapan awal ini telah meliputi pengolahan yang membutuhkan sejumlah
garam, dan aktifitas pengirimannya.

358 Totok adalah orang China yang secara kultural bukanlah peranakan, melainkan terlahir di
daerah dan berakulturasi dengan budaya setempat, dan sebahagian kecil memperoleh
pendidikan Belanda. Dengan demikian, seorang totok bisa jadi terlahir di Indonesia. Biasanya
seorang totok kelahiran daerah setempat lebih berhubungan dekat dengan totok kelahiran
China, secara sosial, linguistik, kultural dan bahkan dalam aktifitas ekonominya dibandingkan
dengan peranakan. Lihat Peck yang, hal.xxi.
359 Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, Het Leestafel

Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.


219

Muara Rokan, Peta. Kaart der residentie Riouw met onderhoorigheden, aangrenzende deel van
Sumatra's Westkust en Schiereiland Malakka, W.F.Versteeg, 1833 – 1867.

Para pemukim ini, sudah tentu bukan pemukim yang berbasis ekonomi subsisten.
Dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di negeri baru, subsisten bukanlah
alasan yang tepat. Pengembaraan di samudera tidak dihentikan hanya dengan suatu
alasan “secukup makan” saja, melainkan prospek pengembangan kemakmuran
sebagai indikasi peningkatan kehidupan yang lebih baik. Fakta ini, dapat juga dilihat
dari watak kegigihan yang dimiliki saudara dari timur asing ini, sehingga pada kurun
tiga dekade menjelang tutup abad ke-19, memenuhi kawasan pantai timur Sumatra
terutama pada sektor perkebunan; dimana keahlian dan keuletannya menjadi salah
satu kunci penunjang keberhasilan perkebunan swasta Eropa yang kualitas panennya,
diakui dunia. Sering disebut-sebut sebagai rentannya pemukiman pesisir dari berbagai
ancaman seberang lautan, perompak yang berkeliaran360 dan para pemburu budak,
atau bahkan sebagai “orang asing” dinegeri baru dalam ekologi dan pertetanggaan
yang bisa saja bersahabat ataupun tidak, akan cenderung menjadikan para pemukim
ini diorganisir dalam kelompok yang terintegrasi kuat dalam menghadapi perubahan
lingkungan yang seringkali ekstrim.

360Hingga memasuki abad ke-20, pemukim Bagansiapiapi ini rentan menghadapi perampokan di
laut, seperti yang terjadi pada tahun 1906 dimana dua sampan nelayan Bagansiapiapi dirampok
oleh empat orang perompak, lihat de Sumatra Post, 29 Juni 1906.
220

Bagansiapiapi, 1930-40, KITLV.


Legenda kedatangan para pemukim ini mengarungi lautan yang menyisakan sejumlah
tiga tongkang saja, mengisyaratkan bahwa para pemukim ini adalah mereka yang
terbukti handal dan mampu menembus pelayaran dari hantaman badai dahsyat
hingga setibanya dengan selamat di tanah tujuan. Akan tetapi bukan faktor ini saja
yang ditengarai menyebabkan para pemukim awal Bagansiapiapi mampu bertahan
dari keganasan alam pesisir. Bahwa ketiadaan kisah Bagansiapiapi sebelumnya, yaitu
pada era sebelum traktat 1871, maka dapat dipastikan situasi politik di pesisir lebih
kondusif disaat sesudah traktat itu, menguatnya kolonialisme Belanda di Sumatra dan
Inggris di Semenanjung, merupakan alasan tersendiri berkurangnya konflik antar
politi-politi Melayu di Selat Melaka. Konflik bergeser pada tema perluasan wilayah
penjajahan Eropa yang menimbulkan perang dengan Melayu, seperti pecahnya
perang Aceh. Begitu pula gejolak pedalaman yang telah dipadamkan di tahun 1838
dengan direbutnya benteng Dalu-Dalu di hulu sungai Rokan, selain perjanjian 1858
tentunya. Meskipun demikian, sebagaimana disampaikan, pemukim awal ini bukan
bertempat dinegeri tak bertuan, bahkan sebagai politi yang dianeksasi Belanda dan
dibakukan melalui perjanjian 1858, memiliki penguasa kesultanan Siak sebagai
tuannya. Struktur kekuasaan sultan, dimana wilayah dependensi dikuasakan kepada
para datuk, maka wilayah muara Rokan ini merupakan bahagian dari kekuasaan Datuk
Bangko dan juga arah ke sungai Panei: lanskap Kubu. Komunikasi antara pemukim
awal dan kesultanan, tentu juga menyangkut kesepakatan yang dilakukan dengan para
Datuk. Pertemuan antara wakil sultan, Datuk dan pemimpin para pemukim awal dari
221

kalangan orang China ini, merupakan pengulangan kisah dari berabad kegiatan
perdagangan di selat Melaka yang telah intensif sejak era Sriwijaya, bahkan hingga
kekuasaan Melayu Melaka; periode yang diingat juga melalui artefak tembikar,
porselen dan barang niaga serta jejak-jejak kultural yang mewarnai perekonomian
nusantara, seperti halnya jejak eksistensi pemukim China dalam kesejarahan Jawa
yang dikisahkan secara rinci oleh Denys Lombard. 361 Bahwa, hubungan dengan
dengan latar pacht di muara Rokan ini antara pemukim baru dengan tatanan
kekuasaan Melayu, persinggungan itu sebenarnya bukanlah peristiwa yang baru-baru
saja dalam sejarah peradaban Melayu sebagaimana ditunjukkan dalam hubungan
antara Sriwijaya, Panei dan Melaka, bukan mendadak saja dalam kepentingan
ekonomi semu dibawah para tauke dan penguasa lokal, melainkan dilihat telah
berakar jauh sebelumnya dalam terma “Perdagangan Selat Melaka”; hanya saja,
hubungan kali ini berlangsung dibawah bayang-bayang sang tuan Belanda. Penjajah
ini, dengan cermat mengikuti segala kesepakatan dan transaksi antara penyewa dan
yang disewa; antara penguasa Rokan dan orang-orang China: Berbagai pendapatan di
Bagan Api-Api (pemasukan dari opium dan arak, (387) permainan dadu dan pajak
ekspor udang dan belacan) yang dikenakan sebesar $600 oleh Sultan disewakan ke
orang China. Saat itu Bagan Api-Api dengan Penipahan (di Kubu) disewakan ke orang
China di Singapura sebesar $2800. Dari sejumlah $2800 tersebut, Sultan berjanji
sejumlah $150 per tahunnya untuk Datuk Bangko. 362 Hak penyewaan, dipegang oleh
para pemukim awal Bagansiapiapi ini. Tidak didengar kisah bahwa Melayu turut serta
dalam kepemilikan hak sewa penangkapan ikan sebagaimana saudara orientalnya.
Ketika Belanda berkuasa disana, mereka tidak mempersoalkan hal ini, melainkan
menyudutkan Melayu yang dianggap lebih memilih bersikap pasif dan enggan, dan
segera penjajah melekatkan stigma seperti terjadi dikebanyakan tempat lain di
nusantara. Betapa minim catatan Eropa tentang kehidupan pribumi di Bagansiapiapi,
entitas yang tidak memiliki peran dominan dalam industri perikanan yang menjadi
tambang emas kecil bagi penjajah. Bahwa, kondisi ini sebagaimana disampaikan
dilihat oleh pengamat Eropa dengan penuh prasangka;
Nampaknya tahun-tahun berlalu dimana hujan emas berjatuhan diatas hiruk-
pikuknya ribuan orang asing…. dan semakin mereka menjauh saja dari pusat
bisnis ini tanpa ada upaya mendekat untuk memperoleh bagian.. 363
Melayu, dilaporkan terfokus hanya pada penyediaan kayu yang menopang industri
perikanan; selain itu juga terlibat dalam pekerjaan menyediakan rotan guna
pembangunan ambai, dan jaring. Orang Eropa mungkin saja menyadari, bahwa,
ketidakterlibatan pribumi dalam industri perikanan secara langsung, bukan hanya
mengenai persoalan konservatifnya mereka, melainkan juga berkaitan dengan model

361
Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Bdaya Bahagian II: jaringan Asia, Bab IV Warisan China,
2005, hal.243-364.
362 Hijman van Anrooij, 1885, hal.386-7
363
Indische Rivieren II; 11 Juni 1924.
222

alat tangkap seperti jermal yang dikembangkan oleh orang China, membutuhkan dana
yang cukup besar; alhasil, pengelolaan ini dikuasai oleh orang-orang China kaya saja.
Dengan demikian, kita dapat untuk sementara mengasumsikan bahwa relasi awal
yang terbentuk antar kelompok di muara Rokan merupakan pertemuan kepentingan
yang dilandasi motif-motif ekonomi. Meskipun demikian, sultan tetap memiliki
kekuasaan nyata atas pemukim terutama mengenai perwakilan otoritasnya disana.
Pada Tahun 1889 Sultan Siak Syarif Hasyim yang dalam lafal Mandarin disebut
Shao Ding, berkunjung ke Bagansiapiapi atas undangan yang dipertuan Raja
Bangko yang dalam manuskrip disebut Raja Bungkuk atau Bongkok. Dalam
kunjungannya Sultan disertai seorang Punggawa bernama Datuk Sontil, orang
Melayu yang fasih berbahasa Tionghoa, yang kemudian ditunjuk sebagai
administrator atau kapiten warga Tionghoa di Bagansiapiapi. Orang Tionghoa
menyapanya Sun Cha; dengan sapaan lengkap Sun Cha (Datuk Sontil) menjadi
Kapiten pertama warga Tionghoa di Komunitas Tionghoa di Bagansiapiapi.
Setelah Datuk Sontil kembali ke Kerajaan Siak Sri indrapura, maka warga
Tionghoa melakukan pemilihan Kapiten baru dan terpilih pengusaha
bermarga Ong.”364
Menjelang berakhirnya abad ke-19 itu, nampaknya Belanda tidak begitu banyak
bercerita tentang Bagansiapiapi, sebagaimana tampak dalam laporan yang terbatas;
bahkan pejabat Hindia yang berperan sebagai “utusan”365 membuat laporan dan
menceritakan perjumpaannya dengan pemukim Bagansiapiapi, dimana pertemuan
itu bukan menempatkan Bagansiapiapi sebagai tujuan utama laporannya, melainkan
disebabkan persinggahannya dalam menjalankan misinya menuju pedalaman sungai
Rokan; Rantau Binuwang. Sepertinya Belanda belum peduli, atau setidaknya hingga
saat mereka dikejutkan oleh kenyataan, bahwa, ternyata di pedalaman di Tanah Putih,
kondisi lahannya tidak memungkinkan untuk dilakukannya penanaman tembakau
yang begitu bernilainya dipasaran dunia. Dan ini berarti, sebagai tuan pengeksploitasi
sumber kekayaan alam, mereka harus melirik potensi lainnya diwilayah jajahan.
Kebetulan pula, potensi ini berada tepat dihilir dari wilayah dimana banyak
perusahaan Eropa pemegang konsesi tembakau memilih hengkang dari sana.
Keberhasilan pemukim awal Bagansiapiapi dalam penangkapan ikan, juga membuat
sang Belanda terkenang-kenang akan salah satu wilayah di negerinya yang memang
juga mengandalkan hasil laut; Ijmuiden. Lihat saja betapa bersemangatnya kontrolir
Haga bercerita tentang kegigihan kaumnya mengarungi laut dengan sejumlah
produksi tangkapannya, dan bahkan menyepadankannya dengan Bagansiapiapi.
Wajar jika Ini menjadi salah satu penyebab menguatnya motivasi Belanda untuk turut
campur meluaskan kekayaannya di tanah Hindia; khususnya di Bagansiapiapi. Jika

364
Dalam “Sejarah Perguruan Wahidin, 11 April 2008; www.iapw.info
365Hingga memasuki abad ke-20, pemukim Bagansiapiapi ini rentan menghadapi perampokan di
laut, seperti yang terjadi pada tahun 1906 dimana dua sampan nelayan Bagansiapiapi dirampok
oleh empat orang perompak, lihat de Sumatra Post, 29 Juni 1906.
223

diwilayah lain di Hindia, Belanda memilih menggunakan orang-orang China sebagai


hasil pengamatan atas sikap kompromistis, ramah dan menyenangkan dalam
pergaulan, ini diluar realita bahwa kedatangan mereka mengisi celah pekerjaan tidak
mengganggu struktur feodal tradisional pribumi,366 maka di Bagansiapiapi, Belanda
menemui hal yang sebaliknya; penolakan orang China terhadap kedatangan Belanda.
Akan tetapi, kontrak telah disepakati, dan bukan menjadi sikap penjajah barat yang
akan mundur begitu saja, dan melalui serangkaian blokade penekanan mereka pun
memenangkan pertarungan singkat. 367 Sembari mengupayakan pememenangan
kepentingannya sendiri dalam sengketa batas-batas wilayah di pedalaman sungai
Rokan, tepatnya saling klaim antara Siak dan Rantau Binuwang mengenai lanskap
Tanah Putih, Belanda mulai mengeser hak-hak tradisional Siak yang berkaitan dengan
bea, dan dengan cara ini pula sang penjajah bercokol di Bagansiapiapi menjelang abad
ke-20. Sebagaimana halnya peluang bisnis, Bagansiapiapi tak ubahnya lokasi lain
dilingkup kekuasaan Hindia, para pemodal akan melakukan investasi disana guna
meraup laba dari kekayaan muara. Orang China, jelas saja sebagai pemain utama yang
juga menghimpun dirinya tidak sebatas tauke, melainkan pada level sindikat. Melihat
tren yang berkembang saat itu, pemain dalam sindikat selat tentu akan melibatkan
kerjasama hingga ke wilayah lain baik di pantai timur maupun semenanjung. Jejaring
China ini, dipastikan tidak melibatkan secara khusus pemain dalam industri perikanan
saja, melainkan juga para investor yang telah biasa bergerak dibidang perkebunan,
perdagangan hingga pelayaran. Kuantitas dan kualitas armada pelayaran yang dimiliki
pedagang Bagansiapiapi saja, jelas tidak memadai bagi pengiriman ribuan ton itu, baik
ikan ataupun garam; belum lagi komoditas perdagangan lainnya. Selain itu, jumlah
pemukim yang terus saja bertambah pesat dalam dua dasawarsa menyebabkan
lonjakan permintaan kebutuhan untuk pemukim itu sendiri. Hubungan perdagangan
yang dominan melibatkan orang-orang China di Bagan, pantai timur dan semenanjung
terutama Singapura, tak pelak merupakan jejaring yang mengakumulasikan begitu
banyak kepentingan, yang biasanya akan meningkatkan kerjasama sekaligus juga
persaingan. Rasa integrasi yang berwujudkan kekompakan sesama pemukim dalam
lingkup jejaring tidak hanya di Bagansiapiapi, yang juga meliputi selat Melaka, itu
tidaklah diragukan lagi. Akan tetapi, sumber daya terbatas yang diperebutkan oleh
para pemain, akan membuahkan konflik yang memang seringkali dapat diatasi sebagai
akibat rasa kuatnya integrasi internal, namun juga terkadang meledak muncul
dipermukaan. Dalam skala terbatas, mungkin perkelahian sesama nelayan akibat
tumpang tindih dan berdekatannya pemasangan alat penangkapan ikan menjadi hal
biasa,368 akan tetapi, pertikaian di level bos besar seringkali akan menjadi begitu

366
Suhartono, China Klontng, Rural Peddler in the Residency of Surakarta 1850-1920, State and
Trade in the Indonesia Archipelago; Ed.G.J.Schutte,(Leiden, KITLV, 1994); dalam Winarni, 2009,
hal.100.
367 Schadee, Geschiedennis van Sumatra’s Oostkust, 1919, hal.82-3. Lihat juga BATAVIASCHE

NIEUWSBLAD 29 Februari 1888; De Politie-Macht Ter Sumatra's Oostkust.


368
Baalbargen, MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, 1931.
224

berbahaya, hingga pada upaya saling membunuh bisnis sang kompetitor, atau bahkan
konflik yang mengarah pada antar politi; riuhnya persaingan, terkadang
memunculkan insiden “pertarungan” antara sindikat, terutama yang berasal dari
Singapura dan yang memiliki hak pengelolaan langsung dari Sultan Siak, seperti
peristiwa di tahun 1886, antara 12 orang Sepoy Inggris yang bertemu dengan 40 orang
dari Sultan di Bagansiapiapi; pertemuan yang hampir berujung dengan pertarungan
mematikan.369
Orang Eropa, yang berlaku sebagai penguasa kolonial tentu akan dengan
cerdik memainkan perannya sebagai “penyalib di tikungan,“ mengambil
keuntungan dari api dendam yang menyala-nyala dikalangan para pelaku
konflik.
Selain juga tentu, Belanda mengincar surplus dari bea, pacht dan jasa pengiriman
seperti ikut sertanya K.P.M. pada jalur pelayaran yang melibatkan Bagansiapiapi.
Mungkin saja orang Eropa pengusaha, ikut serta menanamkan modalnya pada jasa
perdagangan yang seringkali, ternyata tidaklah menggembirakan. Tidak seperti di
Sumatra timur laut dimana penguasaha Eropa larut dalam alunan booming
perkebunan, maka di aliran sungai Rokan mereka terbatas pada penanaman komoditi
tertentu saja, seperti karet di wilayah hulu, di Tanah Putih maupun di hulu sungai
Kubu; Senembah Estate. Kesemuanya ini, dipastikan akan memberikan warna bagi
relasi antar kelompok yang memiliki kepentingan atas tambang dan hujan emas.
Belanda yang telah tersadar akan situasi dan peluang dari “hujan emas” itu, segera
saja memindahkan pusat pemerintahannya ke Bagansiapiapi dan segera saja secara
bertahap Bagansiapiapi di tata menurut versi penjajah, hingga terbentuknya kota
Bagansiapiapi dalam tata-hukum Hindia; kota yang dibangun berdasarkan politik
segregasi.

Kota yang Tersegregasi:


Hubungan ambigu
Sebagai sebuah wadah bagi kehidupan bersama, maka dapat dipastikan pada sebuah
kota akan berlangsung interaksi warga. Interaksi ini, dapat berujung pada suatu
kondisi integrasi. Akan tetapi, integrasi sendiri nampaknya memiliki beberapa
tingkatan; integrasi normative, integrasi fungsional dan integrasi koersif. 370 Dimasa
colonial, maka terjadinya integrasi normative; yaitu terjadinya konsesnsus atas suatu
nilai-nilai dasar, rasanya sulit tercapai. Integrasi fungsional yang memiliki corak
ekonomi dan menyiratkan situasi saling ketergantungan, akan lebih dapat dipahami

369
The Straits Times, 8 Agustus 1886, page 7, Translated for the Straits Times: A war in
miniature.
370 Konsepsi integrasi ini berasal dari “Komisi Ilmu-Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Sosial”

(KIIS-AIPS), dilihat dalam Nurhadiantomo, hal.35-7.


225

dalam konteks ini. Adapun integrasi koersif yang merupakan adanya unsur paksaan
dan biasanya berdimensi politik, merupakan sebuah bahagian dari sejarah kota itu
sendiri. Melalui kebijakan yang ambigu, pemerintah Belanda menerapkan ruang kota
sebagai alat untuk pencapaian integrasi sosial, sebagai contoh ketika berlangsung
event perayaan besar Hindia.371 Pada momen itu, kantor kontrolir di hias dengan
meriah, bahwa diperkirakan Resepsi akan berlangsung tepat disiang hari yang akan
dihadiri oleh para pemuka masyarakat, Pejabat Pemerintahan Pribumi dan Eropa,
serta para Tauke; dimeriahkan dengan nyanyian dari murid sekolah pribumi dan China,
kemudian kontrolir Baalbargen memulai pidato sambutan perayaannya, dilanjutkan
dengan sambutan dari Kepala distrik Pemerintahan setempat dan juga Letnan China.
Dalam suasana upacara yang khidmat itu, Kepada Inyo Beng San dianugrahi Bintang
Emas Kesetiaan oleh Kepala administrasi pemerintahan setempat. Selanutnya adalah
prosesi parade melalui kota yang dihiasi dengan meriahnya bendera, korps musik
China juga Pribumi. Dalam Perayaan malamnya, yang juga diadakan terpusat di
lapangan tenis yang dihiasi dengan meriah dan antusiasme yang tinggi; dimeriahkan
juga oleh Orkes Batak, Band Melayu dan China yang terkenal, bahkan dimeriahkan
juga dengan berbagai atraksi, seperti; Pencak. Pada kesempatan yang sama
dihidangkan Sate kambing dan minuman dingin sebagai pelepas rasa haus. Dikatakan,
“Kesuksesan penyelenggaraan acara ini disebut-sebut sebagai hasil kerja
keras secara bersama-sama dari seluruh anggota komisi perayaan, yang
meliputi; Datuk Comel, Achmad, dan Sujadi yang saat itu mereka duduk
berdampingan dengan Kontrolir Tuan Baalbargen.”
Tentu saja, ketika kita membaca situasi perayaan dimana kolektif kota ikut terlibat
aktif didalamnya, hal ini merupakan situasi kota khas kolonial, pengerahan partisipasi
warga dalam perayaan Hari Ratu. Bahwa pada saat itu, tercipta situasi kerjasama antar
komponen warga dalam perayaan dengan Pejabat pemerintah Hindia dalam hal ini
kontrolir sebagai perwakilan sang Ratu. Realita ini mengindikasikan, penataan
Bagansiapiapi tidak dilakukan oleh para pemukim China atau Eropa-Belanda saja,
melainkan juga melibatkan Pribumi-Melayu. Keteraturan dan keelokkannya,
menjadikan seorang jurnalis Belanda tidak dapat memungkiri kerjasama antar entitas
tersebut.

“Angkat topi untuk kontrolir, tauke dan kepala distrik, tidak mungkin
Bagansiapiapi tampil seperti ini tanpa peran mereka semua!”
Pernyataan Eropa itu, pada dasarnya mengakui bahwa langgengnya struktur
kekuasaan kolonial sebenarnya tergantung dari kemampuan mereka memadukan
berbagai komponen masyarakat majemuk yang terikat secara fungsional, masing-
masing entitas menyuplai kebutuhan keberlangsungan sistem masyarakat kolonial;

371Seperti yang diberitakan dalam De Sumatra Post tanggal 12 September 1928, dalam
pemberitaan berjudul “Koninginne_Dag Te Bagan Api-Api” (Perayaan Hari Ulang Tahun Ratu
Belanda di Bagansiapiapi);
226

konsensus nilai, jelas berada dalam masing-masing sub-sistem; tetap berdiri sendiri,
terpisah, dan integrasi semu yang menjadi kebanggaan Hindia ini dipertahankan
hingga saat-saat terakhir.

Kawasan pertokoan di Bagansiapiapi tahun 1920-an.


Dari apa yang telah dipaparkan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa elit Pribumi,
memiliki kuasa pada hal yang berkaitan dengan kewilayahan, dan juga secara terbatas
pada persoalan adat, hukum dan sosial. Akan tetapi di lapisan massa, tidak ada
jaminan akan terjadi persentuhan intens selain dalam suatu media perayaan kota,
kecuali dalam hubungan-hubungan ekonomi semata. Politik kolonial, memang telah
membelah-masyarakat jajahan sehingga mereka akan terpisah, dan cenderung
berhubungan intens dalam diri entitasnya sendiri, tidak terkecuali Bagansiapiapi.
Pendirian sekolah, organisasi umum yang massive, akan terbatas dan bernuansa etnis,
dan ini juga dipertajam dengan religi yang berbeda. Sebaliknya, hubungan antar
entitas yang memiliki jarak sosial yang teramat lebar, diindikasikan juga memiliki sifat
ambigu. Lapangan bola yang ada di Bagansiapiapi (sekarang Taman Kota), menjadi
saksi bisu bagi berlangsungnya kegiatan olah raga disana, yang juga bermain antara
orang China dan Melayu. Sulit untuk mengatakan bahwa antar entitas benar-benar
berada dalam situasi saling berhadap-hadapan. Dualisme ini, mungkin merupakan ciri
dari interaksi antar entitas yang terjadi. Situasi ini, nampaknya bertahan hingga pasca
revolusi 45, hingga terjadi suatu konflik horizontal yang cukup besar. Meskipun
demikian, jika melihat formasi sosial yang terbentuk dalam periode yang cukup lama,
selama kurang lebih 70 tahun, diduga tidak terdapat cukup potensi internal untuk
227

meledakkan situasi yang memang sebenarnya berada dalam ketegangan, hingga


diperlukan pemicu eksternal; perubahan besar kenegaraan, dari jajahan Hindia
Belanda dan kemudian Jepang, menjadi Republik yang merdeka.

Ruang-Ruang Berbeda
Pada awal abad ke-20, di Bagansiapiapi berdiri kantor kontrolir yang merupakan
representasi dari ibukota Onderafdeeling yang sebelumnya berada di Tanah Putih.
Pada masa ini, sebagaimana disampaikan bahwa Belanda memulai pembangunan
infrastruktur pemerintahannya guna melayani kepentingan pemungutan pajak dan
bea; dan tentu diiringi dengan pembangunan jalan dan juga; pelabuhan. Kota ini,
didirikan diatas tanah bencah berlumpur dimana kuda beban tidak dapat melintas
diatasnya; dengan demikian, pembangunan jalan hanya efektif dilakukan di areal inti
dari perkantoran dan pemukiman Belanda dan juga kawasan pergudangan,
sementara dibahagian lainnya hingga dasawarsa kedua masih berupa bentangan
pelantaran. Sarana transportasi dan pengangkutan dari desa-desa disekitarnya
terutama ke wilayah hulu sungai Rokan, benar-benar dilakukan melalui sungai yang
memiliki arus yang cukup kuat. Bahwa, disepanjang pantai Bagansiapiapi, merupakan
areal tangkahan (pelabuhan) bagi ratusan perahu-perahu nelayan, dan juga tempat
bagi bangliau-bangliau melakukan proses produksinya. Orang-orang China membuka
toko-kedei yang menjadi wilayah dalam lingkaran primer komersil, dimana pada akhir
musim akan dikunjungi oleh ratusan nelayan China termasuk dari luar Bagansiapiapi,
seperti Panipahan dan Sinaboi. Situasi keramaian ini, tidak hanya pembukaan kedei-
kedei, juga memunculkan jenis pekerjaan baru diluar industri perikanan yang
diciptakan sendiri oleh pemukim China Bagan seperti halnya terdapat di sentra-sentra
Pecinan di Hindia, seperti; pertukangan, shinse, tukang jual obat, guru silat, tukang
pangkas rambut, tukang jam, pemilik rumah judi, bahkan yang juga seiring, pelayanan
jasa jago yang memeriahkan keramaian aktifitas perekonomian kota Bagan.
Keramaian kota hingga paruh kedua awal abad ke-20, sebagaimana
digambarkan pengamat, merupakan khas pecinan. Sehingga dapat dikatakan,
bahwa interaksi aktif dan intensif antara Pribumi dan China tidak terjadi disini.
Begitu pula orang Belanda, yang tiba disana bekerja sebagai kelompok
birokrasi penguasa, cenderung akan menjalin kontak intensif dikalangan
kelompok birokrasi itu sendiri.
Seiring dengan periode kolonialisme, hingga periode 1920-an perkembangan
Bagansiapiapi memperlihatkan kharakter khasnya seperti kota-kota kolonial lainnya
di Hindia Belanda. Kharakter khas pusat kota yang biasanya adalah kantor Pemerintah
dan Pasar. Khusus untuk kantor pemerintah, maka lokasinya berdekatan dengan
gereja dan tempat tinggal pegawai Kolonial yang biasanya dihuni oleh lapisan elit
yakni; orang-orang Eropa. Atau dengan kata lain, Pemerintah Kolonial merupakan
suatu komunitas eksklusif dengan pola tata kota yang membatasi interaksi warga,
228

sehingga interaksi intensif hanya terjadi dalam kelompok-kelompok komunitas.


Secara umum, dapat dikatakan bahwa Bagansiapiapi memiliki karakter pemukiman
yang ter-segregasi. Kebijakan Pemerintah Kolonial saat itu mungkin dapat dianggap
sebagai faktor utama terbentuknya segregasi yang menjadi pola saat itu, seperti
dikemukakan oleh Mona Lohanda bahwa Pemerintah Kolonial mengadopsi Kebijakan
Segregasi, dimana stratifikasi sosial dilandasi oleh Ras dan agama,372 atau dengan kata
lainnya, segregasi adalah proyeksi sosio-kultural atas ruang kota. Segregasi dalam
pengertian yang lebih luas tidak terpaku pada “ruang”, tetapi juga akan meliputi
pengertian sosio-ekonomis, politis dan kebudayaan. Selanjutnya segregasi dapat
diukur dengan melihat aspek “keleluasaan tempat tinggal; Tingkat monopoli etnis atas
tempat pemukiman dan pemasukan serta taraf perkawinan, komposisi etnis, serta
tingkat asimilasi etnis.373 Dalam konteks pemerintahan Kolonial, pembagian
golongan warga negara pada tiga golongan, yakni; Golongan Eropa, Golongan China
dan Asia; Golongan Bumiputra, nampaknya benar-benar terealisasi, yang
memungkinkan terbentuknya konsentrasi pemukiman berdasarkan etnis; Seperti yang
terjadi di Bagansiapiapi, atau bahkan Kota-Kota lain di Hindia Belanda. Dalam
perspektif Levi-Strauss,374 maka relatifitas budaya ini, tidaklah sekokoh jika kita
melihatnya lebih pada perspektif ekonomi dan politik, bahwa masalah bermula dari
dari kependudukan rezim kolonial dan berlakunya kategorisasi. Bahkan, secara tegas
nyatakan bahwa kechinaan sebenarnya merupakan konstruksi politik kolonial,
dibuktikan dengan seperangkat hukum dan peraturan yang dikeluarkan pemerintah
kolonial semenjak masa “tanam paksa” (cultuurstelsel, 1830-1870); di Bagansiapiapi
dengan diterbitkannya peraturan tentang pemukiman Orientalis. Kondisi ini,
diasumsikan telah memproduksi batas-batas identitas secara tegas; apakah bangsa
Eropa, pribumi, arab atau China. Pemerintah secara aktif memelihara batas-batas
guna mengingatkan kesadaran seseorang akan identitas ras-nya yang terasosiasi juga
dengan peran ekonomi sosial dan politiknya dalam masyarakat kolonial. batas-batas
itu selain mengatur hak dan kewajiban administratif masyarakat china hingga yang
sifatnya personal. Dalam “Riwayat Semarang” Liem Thian Joe (riwajat semarang, 1933)
mencatat bahwa ada seorang pengusaha cina yang didenda karena membuat
bangunan mirip bangunan pemerintahan kolonial di semarang, yang menandakan
bahwa kategorisasi ‘gaya arsitektur’ berdasarkan etnis/ras juga diterapkan.
Pemerintah kolonial juga mengatur tipologi ruang jalan dan lingkungan kota
berdasarkan ras, sehingga dapat dikenali secara visual yang mana itu pecinan atau
kampung melayu. Meskipun demikian, diyakini bahwa dalam kenyataannya,
kategorisasi tidak selalu ditepati secara kaku pula. Bahwa pengenaan atribut identitas
tidaklah suatu tembok tak tertembus. Terdapat juga sekelompok masyarakat yang

372 Dilihat dalam The Kapitan China of Batavia: 1837-1942, A History of Chinese Establishment in
Colonial Society, oleh Mona Lohanda, Penerbit Djambatan Cetakan ke-2, Tahun 2001, hal.1
373 Dilihat dalam Hans Dieter Evers dalam Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di

Indonesia dan Malaysia, Tahun 1986; Cetakan keempat, Tahun 1996, hal.78
374
Claude Levi-Strauss, Race in History, 1957.
229

berdiri-mengangkang pada dua kategori berbeda, sehingga memunculkan identitas


“hybrid”. Pemerintah kolonial, membentuk selapisan kalangan baik dari pribumi
maupun China yang kebarat-baratan; guna menopang masyarakat rasial-kolonial
Hindia. Dari sini, dapat kita katakan bahwa, Konsentrasi pemukiman di Bagansiapiapi
yang mencirikan kharakter berdasarkan basis identitas China, akan tetapi tidak dapat
dipungkiri bahwa interaksi kebudayaan antar China, Pribumi dan Eropa akan tetap
terjadi, walau dalam taraf minimal sekalipun; dan ini terefleksi pada ruang arbitrer
penampilan kota, dan kehidupan elite yang mendominasi kehidupan sosial; Asumsi ini
didukung oleh gaya bangunan rumah orang China di Bagansiapiapi yang sebagaimana
disampaikan, mengadopsi model rumah panggung orang Melayu. Akan tetapi,
ketatnya segregasi disini, bagaimanapun juga, menempatkan pemukiman pribumi
ditepi garis demarkasi kota: yang nampaknya juga dilandasi pelapisan ekonomi.
Catatan seorang wartawan Eropa pada tahun 1920, secara sederhana dapat
membantu memberikan gambarannya; bahwa situasi kota Bagansiapiapi, maka
pemukiman orang Melayu terletak pada lingkaran ke-3, bersama-sama dengan
pemukim China dari lapisan nelayan dan buruh yang merupakan lingkaran terluar dari
pemukiman China. Baris pertama menunjukkan konsentrasi lokus industri pemukiman
yang terdiri dari sekumpulan Gudang, Bangliau ataupun plantaran yang mengikuti dan
memenuhi garis pantai; sedangkan baris kedua adalah baris komersil. Pemukiman
Melayu jauh terpisah dari pusat industri perikanan, mereka melakukan interaksi pada
perdagangan kecil-kecilan hasil kebun atau pertanian dengan pemukim China;
digambarkan bahwa para pemukim Melayu ini hidup terpisah dari komunitas padat –
industri perikanan, melakukan penangkapan ikan dan bertanam untuk kebutuhan
mereka sendiri – selain dijual dalam skala kecil, terutama disekitar lokasi
pemukimannya. Sebaliknya, untuk lapisan elit; golongan Eropa (Belanda), menempati
pusat kota atau Pemerintahan, dimana terdapat juga sekelompok misionaris.
230

Bagansiapiapi tahun 1920-30.KITLV.


Komunitas China menempati pemukiman daerah tepi laut, atau pantai, kemudian area
perdagangan seperti pada jalan kho kue; Orang Melayu menempati pemukiman arah
ke darat (hulu), sedangkan sekelompok migran Jawa menempati pemukiman arah ke
darat, sebagai suatu Kampung Jawa. Adapun pertokoan, sebagai pusat
perekonomian, juga merupakan pemukiman Cina yang nampaknya tersebar secara
berkelompok mengikuti garis pantai dalam lingkaran kedua, pemukiman yang lebih
baik ketimbang para pemukim yang menghulu. Beberapa catatan kontrolir juga
menunjukkan bahwa kondisi pemukiman di pesisir ditemukan lebih baik. Dapat
diasumsikan kondisi perekonomian yang lebih baik berada di pesisir, sebagai lokus
sentra industri ikan. Lebih jauh lagi, perkembangan era kejayaan produksi ikan,
membawa arah menuju proses peng-kota-an Bagansiapiapi. Pribumi, hingga laporan
tahun 1920-an, dikatakan cenderung bergerak dalam upaya pengelolaan
penangkapan ikan sebagai subsisten, dan bukan komersil. Meskipun demikian, orang-
orang Melayu yang mendiami sekitar muara Rokan seperti di Bagan Punak, Pekaitan
dan Kubu, terlibat dalam upaya perekonomian tradisional seperti perladangan; padi
ladang(dry-culture), kelapa, damar, pinang, nipah dan atap, dan pengumpulan hasil
hutan selain penebangan kayu tentunya. Mereka mendiami pemukiman berpola
kampung, dan biasanya ditepian anak-anak sungai Rokan, hingga ke Tanah Putih di
bahagian hulu. Sebaran penduduk dalam area yang begitu luasnya, akan memudahkan
untuk memahami mengapa pemukim China yang mengelompok secara ketat dan
231

bercorak kota, begitu dominan di wilayah-wilayah yang kaya akan ikan. Orang-orang
China ini, sebahagian besar datang memang dikhususkan sebagai orang-orang yang
terlibat dalam sektor perikanan tangkap, baik sebagai pemodal maupun pekerja.
Kedatangan mereka, tentunya dengan membawa serta teknologi penangkapan ikan
yang terbukti handal ditempat lain, sehingga kombinasi sumber daya alam dan
teknologi memungkin mereka untuk memimpin dalam industri perikanan ini. Selain
itu, orang Melayu, nampaknya lebih terkonsentrasi pada bisnis hasil hutan yang laku
dipasaran, semisal; nipah. Kisah tentang pengupayaan jenis ini, sudah tidak asing
didengar dalam kisah-yang terdapat tentang keberhasilan perdagangan yang
dilakukan orang Melayu, baik ke Pantai Timur Sumatra sendiri, maupun ke
Semenanjung. Segala upaya pribumi, baik perikanan, pertanian, ataupun
perdagangan, terlihat kecil dimata penguasa penjajah; laporan pejabat Hindia
ataupun para pelancong dan jurnalis cenderung untuk mengabaikan kegiatan
perekonomian pribumi, mereka terpaku pada ladang emas kecil yang sangat
menguntungkan politik imperialis Hindia. Selain itu, kebijakan politik ekonomi baik
yang dilakukan melalui hak tradisional maupun kolonial, nampaknya tidak memihak
pribumi. Cerita tentang kegelisahan lanskap Tanah Putih, Kubu dan Bangko, tentu
bukan riwayat yang tidak memliki kausalitas dengan keterpinggiran pribumi dari
perekonomian utama di Muara kedepannya, melainkan, merupakan salah satu
bahagian tahapan dari marginalisasi peran pribumi dalam lingkaran hujan emas
tersebut. Pemegang hak sewa yang semula dikelola secara tradisional dengan
melibatkan peran kedatuan lanskap, tidaklah begitu menggembirakan bagi elite lokal
yang berada dibawah kekuasaan Siak. Kemudian, kedatangan penjajah Belanda
mengebiri kekuasaan tersebut menjadi semacam penerima gaji saja; pemilik hak sewa
digantikan dengan sistem gaji oleh pemerintah Hindia. Peminggiran ini, yang dilakukan
dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad ke-19, benar-benar mapan diparuh
pertama abad ke-20. Pembelahan peranan ekonomi di muara, antara orang-orang
Melayu dan China, menjadi bahan fondasi bagi menguatnya ketimpangan; dan
struktur sosial baru pun segera dimulai, ketidakmerataan yang tidak hanya
berdasarkan ekonomi saja, melainkan juga terlihat sebagai ketidaksamaan ras.
Phenomena yang berlangsung tepat di jantung industri perikanan muara Rokan di
Bagansiapiapi. Meskipun demikian, yang dapat dipahami disini, jika kita menyadari
bahwa eksistensi masyarakat China di seluruh wilayah Hindia Belanda;
Entitas China dibentuk oleh beragam strata sosial, dan masing-masing strata
pun memiliki kepentingannya masing-masing. mereka dari kelas sosial yang
sama dari kelompok etnis yang sama bisa jadi memiliki kepentingan yang
sama; akan tetapi kelas-kelas dalam kelompok etnis seringkali gagal berbagi
kepentingan, kecuali disaat seluruh kelompok etnis menghadapi bahaya. 375
Sebagaimana telah disampaikan bahwa segregasi di Bagansiapiapi, tidak melulu
berbasis etnis, melainkan juga, pelapisan sosial didalam kelompoknya sendiri; Hingga

375
Peck Yang, 157.
232

tahun 1930-an, tercatat sejumlah besar orang China mendirikan "Kongsie", semacam
N.V, atau perusahaan yang mengerahkan dan mempekerjakan ribuan orang. Kongsie
atau firma tersebut dapat dibedakan dalam beberapa kategori sebagai berikut:
Para pemilik sero ataupun jermal; Ini adalah jaringan besar alat penangkap
ikan, semacam perangkap ikan besar yang menangkap ikan dengan
memanfaatkan kondisi pasang-surut dari air, yang di sini sangat berbeda
dalam tinggi - atau rendahnya air. Nilai rata-rata mencapai f15000 per unit.,
untuk yang lebih besar biayanya mencapai f25.000 hingga f30.000, untuk
diketahui terdapat 350 sero. Mereka kadang-kadang berlokasi hingga 16 mil
dilepas pantai di laut;
“Pemilik bangliauw atau "plantaran dengan gudang” di sepanjang pantai
untuk mengeringkan dan mengolah produk ikan;
Kombinasi dari pemilik Sero, bangliauw dan pemilik alat penangkapan ikan
hingga produk jadi yang dimulai atau diproses dan dikerjakan sendiri;
Sejumlah besar anak perusahaan (industri-hulu), langsung terhubung dengan
sektor perikanan seperti sebagai pembuatan kapal, jaring, perangkap kepang,
dan lainnya;
Pemilik toko, yang disebut "Kedeh", yang secara tidak langsung terkait dengan
bisnis perikanan ini; seperti: menjual pakaian untuk buruh, makanan,
minuman, dimana di sini terdapat sangat banyak minuman, bagaimanapun,
banyak perusahaan besar yang memiliki usaha perikanan mereka sendiri,
mengambil barang-barang untuk dijual kepada buruh.
Diluar mereka yang tergabung dalam kongsie dan firma, adalah mereka yang
dikategorikan sebagai lapisan pekerja, bukan pemilik modal. Modal mereka adalah
tenaga dan ketrampilannya, bekerja pada tauke, pedagang, nelayan ataupun pemilik
toko-kedei. Kelompok ini merupakan yang terbesar di Bagansiapiapi, dan
kedudukannya dalam sistem sosial Bagansiapiapi, meski mobile, namun lemah dan
cenderung berada pada lapisan yang terendah. Sebagaimana proletar dalam sebuah
industri, pekerja yang didatangkan dari China Daratan via Singapura ini rentan
menerima ketimpangan perlakuan, berbanding terbalik dengan para tauke, pemilik
modal dalam industri perikanan ataupun panglong. Seorang penjelajah menulis:
Itu tidak diragukan lagi, bahwa ada banyak uang di Bagansiapiapi,
tapi ini hanya bagi taukeh kaya (patron), sementara tidak buat kuli-pekerja;
dan terkadang-dimanfaatkan dengan cara yang mengerikan oleh rekan-rekan
mereka yang kaya itu. Disepanjang pantai ditemui panglong (milik orang
China sebagai tempat pemotongan kayu), yang terkadang, seolah-olah benar-
benar terisolir dari dunia luar; kuli-kuli yang didatangkan dengan kapal,
berlayar dari seberang pantai, biasanya tidak terdapat orang Melayu di
panglong ini, dan mereka itu (para pekerja) berada pada belas kasihan dari
bos mereka, yang memang banyak memberi makan (Ini dihitung dengan
pemotongan gaji), akan tetapi, di luar itu mereka hampir dianggap sebagai
budak… dapat dimengerti bahwa sangat sulit bagi Hindia mengendalikan
233

panglong; beberapa keberadaannya, bahkan tidak diketahui, sampai


ditemukan secara kebetulan. Banyak informasi akan memberitahu anda
melalui jalan dimana kuli direkrut secara gelap di Singapura. 376
Kondisi itu juga berarti membenarkan, bahwa masyarakat China di Bagansiapiapi
dicirikan oleh pelapisan sosial dikalangan mereka sendiri. Struktur Pecinan yang
membagi habis peran dalam “pembagian kerja” serupa ini, sebagaimana disampaikan
tentang corak keruangan kota yang khas Bagansiapiapi, jelas-jelas meminimkan
kontak antar entitas. Kerjasama sebagaimana telah tergambar dalam klasifikasi para
tauke dan pemilik modal, serta kelas pekerja yang terdiri dari hanya orang-orang
China, juga menyebabkan persaingan bahkan yang paling sengit sekalipun dikalangan
mereka sendiri. Selain itu, orang Melayu, sebagaimana disampaikan bermukim
dilingkaran ketiga, dan terutama juga tersebar disepanjang tepian sungai dan anak
sungai, menjadikan interaksi antara dua kategori kultural itu tidaklah intens. Seperti
yang dilaporkan oleh kontrolir bahwa hingga menjelang tahun 1930-an, di
Bagansiapiapi, tidak terjadi interaksi antar etnis yang intensif antara penduduk China
dan Melayu. Kondisi ini dijelaskannya melalui model pengajaran pendidikan
dikalangan penduduk China yang lebih cenderung pada pelajaran tentang ke-China-an
saja, sehingga menjadi wajar, bila dikalangan generasi penerus dari penduduk China
tidak mengetahui dan mengenal Melayu. Berikut catatan Belanda tentang phenomena
ini; kurang intensnya interaksi:377
Orang Melayu awalnya bermukim di tepi sungai-Rokan dengan Tanah Putih
sebagai pusatnya, tempat berdirinya mantan kontrolir Onderafdeeling ini.
Sekitar setengah abad yang lalu, adalah Penduduk China yang pertama
menetap di sini(Bagansiapiapi), yang secara bertahap muncul pemukiman
Sinaboi, Panipahan dan Bagansiapiapi sebagai ibukota saat ini. Pemukiman
ini merupakan kepulauan Datuk China, yang juga berarti bahwa karakter Cina
dipertahankan dan tidak ada pencampuran terjadi dengan penduduk asli.
Mempertahankan kebudayaan sebagai kharakter khas suatu kelompok, ini adalah
lumrah saja terjadi. Akan tetapi, ketika kharakter ini begitu menguatnya, sehingga
tidak mengenal kelompok lain, maka logis untuk dicari penjelasan yang memadai
ketimbang sosialisasi nilai yang hanya melalui pengajaran formal saja. Bagansiapiapi,
yang memiliki pemukim yang sangat mandiri, dimana berbagai status dan peran antar
komponen masyarakatnya benar-benar dipegang sendiri oleh orang-orang China; dan
bahkan situasi yang masih bertahan hingga pasca revolusi.
Para pengamat Eropa, tidak henti-hentinya mengagumi sebidang totalitas
kharakter China di hamparan negeri Melayu itu, bahkan untuk pulau Sumatra,
tidak ada bandingannya!

376 Indië : geïllustreerd weekblad voor Nederland en koloniën, Volume 7, 23 May 1923, Edition
007-1923-0008 — hal. 126.
377
Sumber : Controleur , ANRI – MVO, 1938. Hal 1-2
234

Hiruk-pikuk pekerja dan kuli dipelabuhan dan bangliau-bangliau, nelayan, pedagang,


tauke, dan juga para tukang dan seniman; bahkan, gangster yang sempat “merajalela”
di Bagansiapiapi sebagaimana juga orang-orang yang berasal dari China Daratan.
Untuk lebih memahami kondisi Bagansiapiapi, terutama kharakter kota yang
tersegregasi, maka ada baiknya dicermati paparan Haga atas kondisi Kota
Bagansiapiapi yang diterbitkan dalam jurnal economist 1917:
Bagan Api Api (Pemerintah Gubernemen pantai timur Sumatera, Afdeeling
Bengkalis, Onderafdeeling Bagan Api Api), yang terletak di Muara sungai
Rokan, merupakan pusat industri Perikanan dan pemukiman utama pesisir
terletak Onderafdeeling Bagansiapiapi yang terdiri dari Kubu, Pulau Halang,
Sungai Tengah, Sungai Siandam,Panipahan dan Sinaboi. Tidak seperti yang
sering diduga secara keliru, bahwa seolah-olah bisnis utama penduduk Cina
terdiri dari nelayan keliling yang tidak menetap, ini adalah tempat menetap
Masyarakat yang berdiam disana yang berjumlah 8800 orang China.Populasi
orang China di Onderafdeeling Bagan Api Api sejumlah 12-13000 jiwa,
tersebar….. (diseluruh wilayah onderafdeeling Bagansiapiapi)… Baganapiapi
sendiri adalah sebuah tempat dengan jalan yang lebar, kedei-kedei yang
lengkap dan besar, banyaknya kedei kopi,…. penerangan jalan, Bagansiapiapi
yang dikenal sebagai "de ville lumiere" (Kota Cahaya), terletak dalam
Afdeeling Bengkalis yang gelap (dimalam hari). Sebuah pusat kehidupan orang
Tionghoa di mana didominasi oleh China singkeh, yang menjadi kharakter
Bagan Api Api. Sejalan dengan itu, Hotel-hotel di Bagan dengan kharakter Cina
yang khas dapat terlihat di berbagai penjuru tempat,, …….. dan kebiasaan-
kebiasaan yang ada dalam masyarakat China,, dimana corak kebudayaan
patriarkal yang hadir setiap malam di jalan Makau dengan kerumunan di
sekitarnya, juga dengan lampu-lampu khas di sampingnya, bersanjak,
terdengar cerita dari kitab-kitab kuno…. Para China singkeh, yang disebut
oleh teman-teman dan kerabat, hingga kerabat yang datang dari China,
diminta memainkan musik dengan sebuah alat musik seperti biola yang
berbentuk kotak khusus, juga berfungsi sebagai bantalan, dan kadang-kadang
dengan hanya sehelai celana cadangan, ia memainkan alat tersebut dengan
penghayatan yang membawa hati melayang jauh hingga ke kampung
halaman….. Dalam pergantian dengan kehidupan kasar mereka di laut, para
nelayan sewaktu berada di Bagan, mereka memiliki klubnya sendiri. Kemudian
di Jalan Makau di malam hari lampu menyala di kedai-kedai, bergerak
kerumunan besar para lelaki China dan berbicara, tersenyum, kemudian pergi
ke sana dan berpesta menyantap beberapa makanan lezat Cina,
mendengarkan syair patriarkal, dan akhirnya kemudian di salah satu rumah
kopi yang banyak ditemui untuk menghisap dan tenggelam dalam kenikmatan
pipa candu di klubnya, menghayal, melamun dan merenungkankan
“oentoeng” atau “roegi.” Jadi kita telah melihat bahwa di Bagan Api-Api
adalah suatu bagian dari kehidupan masyarakat China.
235

Selain Haga, nampaknya jurnalis yang berkunjung ke Bagansiapiapi sependapat bahwa


kehidupan di Bagansiapiapi adalah khas karakter China, seperti yang diulas dalam
Nieuwsblad Van Het Noorden di Tahun 1930, sebuah laporan wartawan dari Medan
dengan judul Een China in Nederlandsch-Indie : “Het Visscherijbedrijf te Bagansiapiapi
op Oostkust’s Sumatra,” Berikut petikannya:
Pembaca, Anda akan memiliki gagasan tentang apa itu Bagansiapiapi; sebuah
tempat penting yang terletak di pantai timur Sumatera tepatnya di muara
sungai Rokan. Kombinasi ini tidaklah mengherankan bila kita menganggap
bahwa sebagian besar pantai timur itu sendiri diketahui tidak lebih dari apa
yang berasal dari ikan. Kebetulan, saya pribadi mengunjungi Bagansiapiapi
dan ingin menunjukkan beberapa gambaran tentang tempat ini. Dari Medan
kita akan melakukan perjalanan menuju Tanjung Balei dengan menggunakan
kereta api D.S.M. (Deli Spoor Maatschapij) atau Jawatan Kereta Api Deli, di
mana kemudian dilanjutkan dengan sebuah kapal K.P.M . Keberangkatan dari
sana sangat tergantung pada arus air, dan kali ini keberangkatannya adalah
pada jam 8 jam malam. Dapat dikatakan kapal memiliki ruang yang terbatas.
Makanan laut, jembatan, meja, ruang percakapan, semua bersatu berkumpul
dalam anjungan kapal dimana kapten pada saat yang sama juga nertindak
sebagai navigasi! Kontras dengan pembangunan kapal mewah kali ini. Namun
saya tidak akan mengatakan bahwa perjalanan tersebut dengan tatakan gelas
kecil yang tidak ramah, akan tetapi sebaliknya! Jam 8 pagi Kami tiba di
Labuan Bilik, di Muara Panei yang luas, di selatan Asahan dimana di tempat
ini masih eksis Perkebunan Karet "Foot Wing" yang memasok “Goodyear.”
Sekitar tengah hari setelah berangkat dari Labuan Bilik, kita tiba di
Bagansiapiapi dimana perlu diperhatikan adalah begitu kentalnya aroma ikan
di udara setiap kita menghirup udara memenuhi dada,, betapa Nahkoda dapat
mengetahui jalur Sero dan djermal (Fulk jenis ukuran besar)…..sementara
kami tetap berbaring… dan terdengar sebuah pertengkaran kecil dan sumpah-
serapah, semua dalam bahasa China yang kami tidak mengerti…….
“Selamat Datang" di Bagan!”
Mereka adalah para awak perahu kecil yang datang untuk menyiapkan
transportasi kargo dari kapal Kami ke pantai, dan karena tidak cukup semua
perahu untuk menyelesaikannya, dapat dimengerti pertengkaran ini…… Pada
pagi hari kami pergi ke darat untuk melihat dan mengunjungi bagian khas
China. Semuanya rumah panggung dari kayu, dengan perancak yang tinggi
dan curam di atas kami karena menyesuaikan dengan tinggi rendahnya air
pasang. Tidak seperti bagian lain dari Hindia Belanda, di sini masyarakat
seluruhnya hampir secara eksklusif adalah China, bahkan seperti masyarakat
yang hampir terisolasi…. Bahasa yang umum digunakan adalah bahasa China.
Sedangkan Bahasa Melayu hampir tidak terdengar. Kontak perdagangan
dengan hak langsung dimungkinkan, tetapi hanya melalui agen China yang
bertindak sebagai perantara…. Ikan di sini dikeringkan di bawah sinar
236

matahari dan, seperti yang disebutkan, untuk dikirimkan keluar. Di setiap toko
China terdapat ikan kering, sering dalam bentuk yang paling menakjubkan dan
spesimen aneh, hanya orang China yang dapat mengolahnya. Mereka
digoreng dengan minyak dan dimasak renyah. Kemudian dalam rijstafel diolah
dengan melalui berbagai bumbu. Ini menyangkut semua potongan yang lebih
besar. Dalam sebuah artikel dijelaskan bahwa Ikan yang lebih kecil diolah
menjadi "terasi" di mana setiap penduduk aslinya(orang Melayu)
mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, akan tetapi apa yang paling
orang Eropa benci adalah baunya (terasi) yang mengerikan, namun setiap koki
yang handal selalu mencoba memprosesnya di rijsttafel, untuk disesuaikan
dengan selera. Dan ini berarti segudang kelezatan, namun bahan ini juga
kadang-kadang digunakan orang sebagai pupuk, ini pula yang dianggap
sebagai penyebab kawasan lingkungan yang dihuni orang Eropa ini seperti tak
tertahankan! Udang kering yang diekspor dalam jumlah besar ke China,
dimana digunakan kerabat untuk pemasaran disana. Akhirnya, kita memiliki
apa yang disebut “Ikan Boesoek,” maksudnya adalah ikan boesoek
diterjemahkan secara harfiah dimana penanganannya dilengkapi dengan
perahu khusus yang disebut "Sampit". Produk ini terutama digunakan untuk
pupuk dan pakan ternak. Sama seperti di Belanda di kawasan dataran tinggi
dengan komposisi lebih banyak air, yang disebut “sarang” untuk bebek dan
digunakan untuk pakan ayam. Sepenggal khas Cina di Hindia Belanda Timur
untuk tempat ini memang sebuah nama yang benar. Pakaian, tata krama dan
bangunan, bahasa dan orang tidak lupa semuanya di sini bernafaskan spirit
khas China. Pada malam hari mereka hampir seluruhnya memenuhi jalanan.
Ratusan warung kecil, makanan, dedaunan, udara, Kantor, pengkhotbah, bau
lampu minyak tanah, semua tersedia dan dapat dilihat dari jauh, donat
Belanda serta aroma wafelen dihidung yang menggoda selera. Namun
sebanyak apapun yang kita hirup, selalu terasa aroma Naga China!
Ya, dan memang begitulah adanya.

Birokrasi, Bangsawan dan Tauke


Sang pegawai Belanda, secara tiba-tiba memperoleh kejutan psikologis setibanya di
tanah jajahan bahwa mereka menemukan diri mereka sebagai seorang TUAN yang
begitu dihormatinya(sebenarnya karena rasa takut), kekuasaan yang besar dan
lingkungan masyarakat yang dianggap jauh tertinggal dari bangsanya. Upaya adaptasi
terhadap lingkungan baru, setidaknya berhasil hingga ditemukannya teknologi
transportasi yang memungkin mereka menjadi lebih cepat untuk melakukan gerakan
pergi – pulang antara Belanda dan Hindia; dan ini, membuat mereka mengisolasi diri
sebagai kelompok ekslusif diantara lautan pribumi yang lambat-laun semakin sadar
237

akan posisinya. Budaya Indie pun memudar, sebaliknya pada era abad ke-20, Belanda
semakin menguatkan ke-Eropa-annya, terutama dalam berhadap-hadapan dengan
pribumi. Lihat saja, betapa tidak lagi terdapat gambar-gambar Belanda bersarung dan
batik diabad ke-20, atau menyaksikan pagelaran kesenian tradisional rakyat;
sebaliknya, ekslusivisme Eropa bahkan menghampiri sekelompok lapisan pribumi yang
mengenyam pendidikan Belanda; pengenaan busana tradisional segera saja
menempatkan penggunanya sebagai kolot, tidak modern dan cenderung
terendahkan. Pengalaman Sultan Hamid dari Kalimantan, sang Founding Father Bung
Karno, dan sejumlah tokoh pergerakan nasional merupakan rekaman betapa
hegemonik budaya barat dalam kemasan penjajahan Belanda menistakan budaya
Inlander. Dalam suasana seperti itulah Belanda tiba di Bagansiapiapi, berinteraksi
intensif di muara Rokan. Sementara dikalangan China, rasa untuk “setara” semakin
menguat, terutama secara ekspresif dengan ditinggalkannya potongan rambut kucir
yang menjadi khas tanah leluhur; sebelumnya Belanda menerapkan peraturan yang
melarang orang China memotong kucirnya sehingga mudah ditandai, hingga akhirnya
seorang pengusaha dengan seizin gubernur Jendral Hindia, berhasil memotong
kucirnya tersebut. Belanda, setengah mati berupaya menjaga citra tampilan diri, akan
tetapi, realitanya ia juga berposisi sebagai pemerintah dari negeri yang dijajahnya,
akan dikondisikan untuk memiliki sifat-sifat mendua yang semakin kuat saja; sama
dengan phenomena kekuasaan raja-raja tradisional. Sang Belanda, sebagai kelompok
yang terakomodir dalam kelas B.B. atau Binnenlandschbestuur, berfungsi melakukan
penyelenggaraan pemerintahan; memasuki era kontemporer tentunya dituntut untuk
menyediakan fungsi pelayanan kemasyarakatan. Sementara disisi lain, sebagai
penjajah dengan tujuan utama menghasilkan pemasukan sebesar-besarnya bagi kas
Hindia, akan selalu berada dalam posisi “culas dan serakah” dalam mengeksploitasi
kekaayaan alam negeri, tidak peduli bagaimana pun cara, tempat dan waktunya.
Seluruh laporan pejabat, utusan ataupun pengamat, tidak pernah terlepas dari
laporan dan catatan potensi sumber daya bagi pemasukan kas Hindia; apa yang dapat
dikembangkan, siapa pelakunya, bagaimana caranya, termasuk penilaian perlu
tidaknya didatangkan pekerja-pekerja Jawa ataupun China dalam suatu pekerjaan
eksploitasi. Untuk mencapai tujuan “ideal” penjajah ini, maka tenaga Eropa tentulah
tidak mencukupi, secara umum di Hindia sangatlah minimnya, bahkan, hingga tahun
1930-an saja orang Eropa yang bedomisili di Bagansiapiapi hanya terbatas pada 50-an
orang saja, dimana angka ini juga termasuk keluarga; isteri dan anak pegawai Belanda.
Kondisi ini, menyebabkan bahwa lapisan birokrasi Hindia Belanda, juga meliputi
sekelompok pribumi terdidik yang “tercerahkan” melalui pendidikan yang dibuka oleh
pemerintah Hindia bagi pribumi, seperti dibangunnya sebuah Inlandsch School
(Sekolah bagi Pribumi) di Bagan kurun 1916-1918.378 Tidak terdapat jumlah pasti

378
Bahwa perkembangan pendidikan diabad ke-20 di Hindia Belanda, dapat dibagi atas periode
berikut: 1900 – 1915; percaya akan nilai pendidikan Barat bagi pribumi, walaupun terdapat
sekolah desa yang didirikan Van Heutsz, pendidikan Barat sangat menarik perhatian; 1915-1927;
timbul reaksi yang menghendaki pendidikan yang lebih cocok bagi pribumi, agar mereka tidak
238

berapa sebenarnya pribumi yang bekerja sebagai pegawai pemerintah di


Bagansiapiapi, akan tetapi, pada masa pasca Jepang, ditemui sejumlah 800 orang
(pegawai negeri dengan keluarganya)379 diantara 3000 orang jumlah masyarakat
pribumi pada saat itu; sebenarnya ini bukanlah jumlah yang kecil. Sebagaimana
diketahui pula, pelayanan kesehatan yang ditangani oleh seorang dokter lulusan
Stovia yang tiba di Bagansiapiapi pada tahun 1911,380 kemudian didirikannya Sekolah:
Holland Chineesch School ditahun 1920-an, pembukaan sekolah ini bahkan dihadiri
oleh Sultan Siak; menunjukkan berlangsungnya proses pengkotaan Bagansiapiapi
terutama pada dasawarsa pertama dan semakin meningkat dalam dasawarsa kedua.
Jika yang pertama terutama cenderung pada upaya melengkapi Bagansiapiapi dengan
sarana penunjang industri perikanan, maka yang kedua untuk melengkapi sarana dan
prasarana warga Bagansiapiapi sendiri. Kelompok pegawai pemerintah, pada awalnya
memang berasal dari kelompok yang lebih besar; pemerintah pusat di Batavia sebagai
pengendali langsung disamping struktur dibawahnya; Gubernur Pantai Timur dan
asisten residen Bengkalis; bertugas sebagai ambtenar dalam waktu dan daerah
tertentu; ditengarai akan memiliki orientasi lebih luas ketimbang lokalitas tempat
mereka bertugas. Akan tetapi, seiring dengan semakin terbukanya kesempatan
pendidikan bagi pribumi, maka akan semakin terbuka bursa ketersediaan sumber daya
terdidik untuk mengisi posisi di pemerintahan ini, maka jajaran birokrasi di
Bagansiapiapi juga diisi oleh penduduk lokal terdidik, baik dibidang pemerintahan,
pendidikan ataupun kesehatan. Perluasan dan pengembangan kota selalu diiringi
dengan kebutuhan akan tenaga-tenaga baru terdidik dan terampil. Pada awal
pendirian kantor Telegraph di Bagansiapiapi saja, telah membutuhkan sejumlah
tenaga terampil untuk mengisi posisi beheerder (tenaga administrasi), Radio Monteur
(teknisi radio), klerk(juru tulis), dan mekanik.381 Yang dapat dicermati pula adalah,
bahwa periode Hindia Belanda merupakan spektrum waktu dimana penjajah
memberikan ruang bagi keberlangsungan tatanan tradisional; kerajaan, sehingga
corak kelompok pegawai pemerintah ini tentunya tidak saja hanya berasal dari
bentukan pendidikan barat, akan tetapi juga sangat diwarnai oleh nilai-nilai tradisional
kebangsawanan yang tetap bertahan. Kelompok birokrasi pribumi dan Belanda,
dipastikan menjadi kelompok yang memiliki pengaruh signifikan dalam kehidupan
sosial di Bagansiapiapi dan lingkungan kampung – pedesaan disekitar Bagansiapiapi
dan dalam wilayah yang lebih luas yang meliputi onderafdeeling.

terlepas dari kebudayaan aslinya. 1927-1942; Pemerintah mengakui secara terbuka bahwa
karena kekurangan biaya dan tenaga guru, maka pendidikan harus dibatasi. Lihat IJ Brugmans,
geschiedenis van het Onderwijs in Ned.Indie, Groningen Batavia, 19938, hal.353-354; dalam
H.Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, hal.46.
379
Bertitik jumlah ini didapat dari laporan BA.Mokhtar: Tim perdamaian Bagansiapiapi 1946.
380 Dokter R.M.Pratomo tiba di Bagansiapiapi bersama seorang Jerman dan serombongan pekerja

dari Yogya.
381
Dilihat dalam MVO van Onderafdeeling Bagansiapiapi, Boudwijen van Duuren, tahun 1934.
239

Dokter Pratomo dan keluarga, bersama keluarga Eropa di Bagansiapiapi. 382

Selain kelompok bangsawan kesultanan, di Bagansiapiapi, juga terdapat kelompok


bangsawan dari tiga kenegerian yang eksis dalam menjalankan fungsi pemerintahan
asli (zelf bestuur). Selain kelompok pegawai pemerintah Hindia, juga terdapat
kelompok Eropa perkebunan yang berdiam diwilayah perkebunan itu sendiri, juga
orang-orang China yang mencoba membuka kebunnya sendiri dipedalaman. Dapat
dipastikan, politik segregasi yang diciptakan oleh orang Belanda, maka mereka
terlebih dahulu pula yang akan mengimplementasikannya dengan lebih cenderung
untuk hidup terpisah dalam dunianya sendiri; yang dirasakan lebih nyaman ketimbang
dunia pribumi yang asing dan aneh bagi mereka, dan kontak-kontak yang terjadi akan
lebih berada pada kelompok birokrasi dimana mereka menjadi tuan langsung disana;
pertemanan boleh jadi terbina, dan ini semakin menjauhkan mereka pada masyarakat
yang dijajahnya, terpisah dari dunia yang memberikannya kemakmuran sebagai
“tambang emas kecil.” Ketika komunikasi antar ras ini terhambat, maka terkadang
perkawinan dilihat sebagai sebuah jalan keluar yang paling “baik” dalam suatu
masyarakat multikultural. Akan tetapi, di Bagansiapiapi nampaknya cara ini pun
jarang ditemui; antara pribumi – China, pribumi Eropa, atau Eropa – China. Tokoh Van
Hengst,383 mungkin adalah contoh dari terjadinya perkawinan seorang Eropa dengan

382
Gambar dari Iljunah dan Marjati Pratomo.
383
De Sumatra Post, 9 Agustus 1929, Sluipmoord op de Rokan Rivier; Surabaiasch Handelsblad, 8
Agustus 1929, “De Moord op den heer Van Hengst”;
240

perempuan China, dimana setelah peristiwa pembunuhan yang menimpa diri Eropa
ini, anak-anaknya yang berjumlah enam orang, si bungsu laki-laki diangkat anak oleh
dokter Pratomo, dan yang lainnya para kakak perempuannya pindah mengikuti
keluarga ibunya di Singapura: Sebagaimana diberitakan oleh pers di Hindia Belanda
pada kurun pertengahan tahun 1929, ramai memberitakan terbunuhnya seorang
Eropa; Van Hengst, seorang Gemeente Opzichter di Onderafdeeling Bagansiapiapi.
Kisahnya, sebagaimana dilaporkan oleh berbagai media pada masa tersebut adalah
sebagai berikut: pada tanggal 22-23 Juli 1929, Van Hengst mengadakan tornee ke
pedalaman sungai Rokan yang berjarak selama dua hari perjalanan dengan tim
sejumlah delapan orang Polisi dan 60 orang pekerja-narapidana. Hingga suatu malam,
diketahui seorang polisi - seorang Timoor - bernama Nisunkoebira meninggalkan
posnya tanpa izin dengan membawa senjata dan amunisi, kondisi diluar rencana. Guna
mengantisipasi keadaan yang tidak diniginkan, Komandan pos jaga memerintahkan
untuk melakukan pemadaman lampu di tenda-tenda dan juga telah mengingatkan Van
Hengst akan situasi tersebut bahwa sang disertir tersebut bisa saja berbahaya dan ia
memilih untuk memberikan pengamanan ekstra terhadap pos-pos tersebut. Akan
tetapi, nampaknya Van hengst memiliki pendapat lain dan mengatakan,
“Wie zal mij, ouden man, kwaad doen, ik heb geen vijanden."
Van Hengst, ia merasa tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu dan tetap menyalakan
lampu diluar tenda dimana ia tidur disana. Menjelang jam 5 pagi, sang disertir
kembali, dan dengan senjata ditangan ia membunuh Van Hengst dengan tiga kali
tembakan. Beberapa jam setelah perbuatannya tersebut, sang polisi disertir itu
menyerahkan diri kepada polisi di pos. Dari hasil interograsi dan di persidangan
dimana jaksa menanyakannya, pembunuh tersebut mengatakan bahwa ia “silap.”
Meskipun demikian, Pengadilan di Medan tetap menjatuhinya dengan vonis hukuman
mati. Van Hengst adalah seorang Eropa tertua di Bagansiapiapi, dimana pada saat
wafatnya ia berusia 60 tahun. Selain itu, Van Hengst telah bertempat tinggal di Bagan
sekitar 30 tahun. Ini berarti Van Hengst memasuki Bagansiapiapi pada kurun tahun
1899 – yang menempatkannya sebagai salah satu orang Eropa pertama yang tinggal
disana. Bahwa kurun perjalanannya di Kota-nelayan selama puluhan tahun tersebut
telah menjadikannya seorang pebisnis hingga kebakaran besar telah menghancurkan
usahanya yang tidak dijamin oleh asuransi dan membuatnya harus kembali memulai
segalanya dari awal. Van hengst menikahi seorang wanita China Bagan, dan memiliki
enam orang anak. Anak terakhirnya lahir dua tahun menjelang kematiannya di tahun
1929. Sejatinya, Van hengst adalah seorang pebisnis dan bukan birokrat. Namun
melihat kondisi bisnisnya, Pemerintah mengangkatnya menjadi seorang “Gemeente
Opzichter” sehingga ia dapat memperoleh penghasilan yang lumayan dan dapat
mencukupi keluarga besarnya. Selain itu, Van hengst adalah salah seorang tokoh
Eropa yang ikut andil dalam mewarnai modernisasi Kota Bagansiapiapi; dimana ia
termasuk yang turut mempelopori pendirian “Water Leiding” Bagansiapiapi. Water
241

Leiding terus mengalami penyempurnaan hingga tahun 1938 dimana dilakukan


penggantian pipa-pipa yang mengalirkan air bersih ke segenap kota Bagansiapiapi.
Warga tua Tionghoa Bagan, mungkin saja mengenangnya dengan penuh rasa hormat.
Episode kisah ini, memperlihatkan betapa masyarakat Bagansiapiapi yang
tersegregasi secara kuat, namun terdapat juga benang halus interaksi berupa
asimilasi, peleburan kebudayaan yang mengikat kuat antar kebudayaan yang
jauh berbeda. Integrasi yang terjadi antara Belanda – China kedalam struktur
perkotaan, ada, akan tetapi berlangsung lamban dan terbatas pada ruang-
ruang tertentu.
Berkaitan dengan kelompok birokrasi yang berasal dari pribumi, sebagaimana
dikatakan juga berkaitan dengan negara Hindia yang bersifat sentral, sehingga
memungkinkan penempatan pegawai secara periodik, dan tentu saja penempatan
pegawai pemerintah ini akan membentuk kemajemukan pegawai pribumi yang tidak
saja berlaku di Bagansiapiapi, melainkan juga di seluruh Hindia Belanda. Kedatangan
pegawai pemerintah yang dimutasikan ke Bagansiapiapi, ada juga diiringi dengan
keluarganya, dan bahkan dalam kasus tertentu membawa sekelompok pekerja untuk
turut membantu pelaksanaan tugas-tugas ditempat baru.384 Phenomena ini, telah
memberikan warna bagi perkembangan Bagansiapiapi, bahwa kepala distrik Bangko,
memberikan sebidang lahan yang diperuntukkan bagi bermukimnya para pekerja asal
Yogya tersebut ditepian Bagansiapiapi, tempat yang lambat laun berkembang dengan
semakin riuhnya kota, tempat yang sekarang dikenal sebagai Bagan Jawa. Dinamika
hubungan yang terjadi pada kelompok ini, tidak dapat dipungkiri akan pengaruh
aristokrasi, baik yang dibawa oleh pegawai sendiri dari lingkungan budaya asalnya,
maupun sifat-sifat yang telah menjadi kharakter khas pangreh praja hasil didikan
Belanda, yang sering dikaitkan dengan sifat feodal-kapitalis. Tentu saja, kita tidak
membayangkan atau mengimajinasikan pegawai pemerintah Hindia di Bagansiapiapi
akan menyerupai pegawai pemerintah yang kita temui di era kekinian. Selain lapisan
birokrasi ini, di Bagansiapiapi, dapat pula ditemukan lapisan bangsawan yang
kedudukannya, terutama diangkat oleh Sultan Siak, menempati posisinya yang khas
dalam masyarakat Melayu, seperti Datuk sebagai kepala distrik, maupun datuk
sebagai seorang kepala kampung. Pertambahan penduduk Bagansiapiapi dari
kalangan pribumi-Melayu, tidaklah terlepas dari peranan pejabat asli ini, yang
memiliki kekuasaan kewilayahan yang ditetapkan melalui hak-hak tradisional.

384Seperti dokter R.M.Pratomo yang tiba di Bagansiapiapi pada tahun 1911 dengan membawa
sejumlah 30-an rombongan pekerja yang berasal dari Yogya.
242

Van Hengst beserta keluarganya. 385


Seperti kebijakan Datuk Bangko yang menyediakan sebidang tanah pemukiman bagi
kaum pekerja migran, maka dapat pula didengar kisah serupa terutama yang berkaitan
dengan migrasi pribumi-Melayu masih dari lingkungan di Onderafdeeling
Bagansiapiapi; dalam masa sesudah perang, orang akan dapat mengenang berdirinya
KPL di sebelah selatan kota Bagan sebagai bentuk kemurahan hati sang datuk Bagan
Punak. Bahwa semasa awal terbentuknya pemukiman Bagansiapiapi oleh orang-orang
China, kampung yang dihuni oleh orang-orang Melayu berlokasi disebelah selatan
kota; Bagan Punak. Tidak terdapat informasi tentang jumlah kependudukan disini
pada masa-awal, akan tetapi nampaknya jumlah pemukim dikampung-kampung
Melayu disekitar Bagansiapiapi ini, diketahui berdasar sensus pada tahun 1930-an
berjumlah 3.000 jiwa dari laporan keseluruhan sejumlah 15.000 jiwa di Bagansiapiapi,
sementara sisanya sejumah 9000 jiwa menyebar di kampung-kampung di seluruh
wilayah distrik Bangko. Orang China masih dominan sebagaimana sensus ini, yaitu
sejumlah 13.000 jiwa. Pesatnya pertumbuhan penduduk pribumi ini, yang sebelumnya
luput dari catatan pengamat Eropa, nampaknya berkaitan dengan fungsi masyarakat
China Bagansiapiapi sebagai sumber daya pekerja industri perikanan. Catatan Haga
yang detail tentang industri di tahun 1915-1916, tidak merekam keberadaan jumlah
pribumi. Meskipun lompatan demographi ini sendiri telah menunjukkan bahwa
pribumi, memiliki peran dalam perkembangan Bagansiapiapi, peran unik dalam
kaitannya dengan kampung-kampung tradisional yang tersebar di wilayah yang begitu

385
Gambar milik Ibu Hj.Eva, menantu dari van Hengst.
243

luasnya di lingkungan hilir sungai Rokan. Begitu pula populasi di wilayah


onderafdeeling Bagansiapiapi secara keseluruhan; bahwa statistik tahun 1920 tercatat
sejumlah 27.967 jiwa, dengan jumlah di Bagansiapiapi tercatat 9.000 jiwa, sementara
catatan tahun 1930 menunjukkan bahwa penduduk sejumlah 43.592 jiwa, dengan
sejumlah 13.000 jiwa di Bagansiapiapi. Phenomena ini, menunjukkan bahwa semenjak
“achteruitgang” (penurunan produksi industi perikanan) di tahun 1910, berdampak
pada pertumbuhan penduduk yang mengalami stagnasi, hanya saja, populasi pribumi
mengalami peningkatan, baik secara keseluruhan diwilayah onderafdeeling maupun
secara parsial di Bagansiapiapi. Dari keterangan warga kota, hingga era tahun 1980,
Bagansiapiapi masih dicirikan oleh rapatnya pemukim China di Pecinan, tidak diselingi
oleh pemukim pribumi; kharater sebagaimana digambarkan oleh para pengamat
diparuh pertama abad ke-20. Akan tetapi, tekanan ekonomi sebagai akibat
achteruitgang dan desakan lapisan pribumi yang berada di tepian pemukiman,
menunjukkan bahwa interaksi telah semakin meningkat antara pribumi-Melayu dan
China dalam kegiatan perekonomian kota. Hanya saja, gambar yang diambil dengan
latar pelabuhan, nampaknya terdapat pribumi yang mungkin saja sedang melintas
disana, bepergian, sebagai pelancong, pekerja atau pengusaha(?), sayangnya terlepas
dari sang pengamat. Dalam suatu skenario, kita tentu tidak dapat menolak adanya
kisah tentang seorang tauke China dengan sekelompok pekerja pribumi. Akan tetapi,
seorang tauke dengan seorang pribumi kepercayaan sang tauke, mungkin lebih
menyerupai kisah drama sejarah, atau film nasional dan impor. Peck Yang menuliskan
catatannya tentang kisah ini yang benar-benar nyata, seorang elite China
Bagansiapiapi yang cukup berpengaruh pada masa peralihan; dimana dengan
menggunakan orang kepercayaannya, seorang pribumi; Boerhanuddin, dapat
membeli senjata di Singapura yang bahkan diawali dengan modal orang Singapura itu
berkat negosiasi yang dilakukan Boerhanuddin, senjata yang sedianya digunakan
pejuang republik melawan penjajah yang mencoba kembali berkuasa dalam masa
revolusi phisik.386 Secara skematis, maka interaksi di Bagansiapiapi akan mengikuti
hubungan-hubungan yang berlangsung dalam birokrasi pemerintahan, industri
perikanan, dua hal ini telah dijelaskan, dan terakhir adalah perkebunan dan pasar.
Yang terakhir ini adalah tempat bertemunya tidak saja para pedagang dan pembeli,
atau dikalangan pedagang sendiri, melainkan juga keseluruhan perilaku ekonomi
warga yang biasanya akan memotong batas-batas etnis, ras, dan kelas-kelas sosial di
Bagansiapiapi; phenomena yang umum ditemui.

386
Twang Peck Yang, Elit Bisnis Cina di Indonesia.
244

Pelabuhan Bagansiapiapi tahun 1920-an. Sumber: NGIK

Mungkin saja pengamat Belanda dan Eropa, yang hanya terfokus pada perekonomian
industri perikanan akan “melewatkan” pencermatannya atas perubahan komposisi
demographi dan kaitannya dengan keberlangsungan kota yang memang memiliki
landasan utama; industri perikanan. Akan tetapi, Bagansiapiapi yang sejak awal abad
ke-20 telah mapan sebagai ibukota onderafdeeling yang wilayahnya mencapai lebih
9000km2, dengan sejumlah kampung-kampung yang tersebar ditepian anak-anak
sungai dan terutama, aliran sungai utama; Rokan sebagai sarana “jalan-raya” tempat
menghilirnya segala produk pedalaman, selain itu juga lompatan industri perikanan
dipastikan akan “menyeret” Bagansiapiapi dalam jejaring perdagangan regional,
bahkan internasional; kesemua ini merupakan faktor pendorong bagi urbanisasi
Bagansiapiapi, proses pengkotaan yang secara pasti akan menyingkirkan homogenitas
menjadi heterogenitas dalam batas-batas tertentu. Wajar saja jika proses yang
seharusnya berlangsung diasumsikan sebagai berikut; Urbanisasi diiringi diferensiasi
sosial, sebagaimana keberagaman status dan peran dalam masyarakat perkotaan.
Akan tetapi, realitas sosial disini menunjukkan kokohnya dominasi orang China di
Bagansiapiapi dalam seluruh tatanan dan peranan, terutama dikaitkan dengan
kehadiran mereka disana yang dibutuhkan untuk mendorong peningkatan produksi
ikan; terutama oleh pemerintah Belanda. Keberadaan orang China ini, selain sebagai
investor, pemilik alat tangkap, ataupun buruh-pekerja, mereka juga terlibat dalam
perdagangan hasil tangkapan laut tersebut; Ketika upaya produksi ikan diorganisir
245

untuk memenuhi kebutuhan pasar, maka yang terjadi adalah para nelayan
mengorganisir diri mereka pada Kongsi, yang diketuai oleh seorang Touke Bangliau,
yang menyediakan modal untuk kelangsungan usaha dan keuntungan berupa uang
kontan untuk nelayan. Sebagaimana dikemukakan oleh A.Fitrisia dan Sugianto
Padmo, Kedatangan Orang Belanda dan Cina migran dari Tanwa, Amoi,Teng Hai, Hai
Jib dan Shantung telah mendorong berlimpahnya hasil tangkapan ikan di muara
Rokan ini, 387 sama halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Bruin bahwa orang
Cina merupakan bagian penting dari kelompok komunitas nelayan di onderafdelling
Bagansiapiapi. Asumsi yang dapat diketengahkan, sebagaimana dikemukakan
Boejinga bahwa Masyarakat China di Bagansiapiapi era kolonial adalah masyarakat
yang sangat mandiri.388 Keberlangsungan industri perikanan, yang diiringi proses
pengkotaan Bagansiapiapi, tetap membagi peranan sosial dalam ruang-ruang kota
dominan dikalangan mereka sendiri, begitu pula hingga era revolusi phisik.
Halnya di Bagansiapiapi menunjukkan, bahwa keberagaman peran tetap
dominan berada dikalangan orang-orang China, sebagai entitas sosial awal
yang bermukim di Bagansiapiapi. Peranan yang tidak goyah, hingga pasca
perang, dimana industri perikanan yang mulai mencoba bangkit dari
keterpurukan akibat perang disambut oleh periodesasi menghebatnya
pendangkalan muara, beralihnya para pemegang kebijakan terutama yang
menangani industri perikanan di Bagansiapiapi, dan peranan pemerintahan
yang berada dikalangan republik.
Periode revolusi phisik, seorang Tokoh pendamai konflik sebagai akibat peristiwa
Bagansiapiapi, dalam laporannya menuliskan bahwa masyarakat China Bagansiapiapi
adalah masyarakat yang sangat lengkap, mulai dari nelayan, tukang, tani, cerdik
pandai hingga kuli. Begitu pula dengan kepemilikan alat produksi; serupa Tongkang,
Jermal, bahkan kebun-kebun karet yang luas sebagai milik mereka.389 Lebih jauh,
dalam laporannya, BA.Mokhtar menyadari bahwa Bagansiapiapi, meskipun juga
dihuni oleh orang-orang pribumi yang bermukim terutama dikampung-kampung
disekitar kota, tidaklah merupakan masyarakat yang padu, 3000 jiwa penduduk
pribumi diantara 15000 jiwa total warga kota, bahkan dalam peranan perekonomian
tidak menggambarkan dskripsi suatu jejaring sosial yang mapan, 12000 jiwa orang-
orang China disini tidak hanya dominan dalam perekonomian, melainkan juga dalam
jejaring perekonomian hingga unit yang terkecil; sarana yang sedianya menjadi
jembatan komunikasi antar entitas. Selama periode Hindia, jelas, kemapanan ini
dipelihara oleh politik rasis kolonial yang menempatkan pribumi dalam posisi yang
kurang menguntungkan.

387 Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942, Program Studi Sejarah: Program Pascasarjana
Universitas gadjah Mada, Tahun 2007 hal.497 – 506, dalam SOSIOHUMANIKA, 15, (3), September
2002.
388 Boejinga, 1926.
389
BA Mokhtar, Laporan tim pendamai Bagansiapiapi, 1946.
246

Aangeboden door de N.V.Handelsvereeniging v.h.KEHDING 1930


Masa pendudukan Jepang, sebagaimana disampaikan, menghancurkan tatanan lama
dan bahkan di Bagansiapiapi menyebabkan stagnannya industri yang menjadi dasar
perekonomian kota, menguatnya kedudukan pribumi dan memunculkan lapisan elit
pribumi baru. Ketika Jepang takluk, situasi pun segera berubah. Persoalan kota yang
tidak memiliki frasa keterpaduan ini, tidak menghilang dengan menyingkirnya
247

Belanda, akan tetapi warisan segregasinya lantas memunculkan friksi-friksi dilapisan


massa.

Ang Gio, Bagansiapiapi, 1930-40, Sumber KITLV.

Jejaring Komunitas Rahasia


Halnya sebuah kawasan tempat berlangsungnya industri, maka di Bagansiapiapi
masyarakat pun terstruktur mengikuti kondisi infrastruktur ekonomi,yakni;
terbentuknya pelapisan sosial berdasarkan perannya dalam industri perikanan.
Pembentukan strata ini, berlangsung sejak awal berdirinya desa hingga perubahan
dalam skala makro, yakni masuknya balatentara Jepang ke Bagansiapiapi. Dapat
diidentifikasi bahwa disini masyarakat terbagi atas; Kelompok birokrasi, Tauke,
pedagang, pengrajin, seniman, nelayan, buruh dan pekebun. Akan tetapi, inti dari
Bagansiapiapi adalah industri perikanan; maka, kelompok yang berpengaruh tentunya
adalah para pelaku industri perikanan itu sendiri. Tingginya curah “hujan emas” di
muara sungai Rokan berupa jutaan ikan yang seolah tiada habis-habisnya ini, telah
turut pula mengundang kelompok lain terutama dari China Daratan. Bahwa selain dari
kelompok lapisan masyarakat berdasarkan profesi sebagaimana teah disebutkan,
dapat dilihat juga bermunculannya kelompok-kelompok “informal” di Bagansiapiapi.
Kelompok ini muncul sebagai respon tingginya persaingan dalam memperbutkan
sumber daya, khususnya perikanan. Pada dua dasawarsa 1920-an hingga 1930-an,
248

pers era Kolonial sempat menyebut Bagansiapiapi sebagai “Klein Chicago” (Chicago
Kecil) dalam laporan beritanya. Sebutan ini mengingat bahwa kehidupan komunitas
China di Bagansiapiapi, terindikasikan memiliki kemiripan dengan yang terdapat di
Chicago, Amerika Serikat, yakni; adanya kelompok gangster yang melakukan teror
terhadap masyarakat, Dalam melakukan aksinya, kelompok ini tidak segan-segan
untuk melakukan intimidasi, pemerasan, hingga pembunuhan. Kelompok gangster
melakukan pemungutan uang terhadap para pengusaha /tauke dan pedagang di
Bagansiapiapi. Meskipun terdapat tindakan dari Pemerintah Hindia terhadap
keberadaan gang ini, yaitu dengan ditangkap dan dijatuhi hukuman penjara, laporan
Kontrolir Baalbargen nampaknya mengindikasikan keberlangsungan kejahatan
terorganisir tersebut. 390 Bahwa kelompok organisasi rahasia China ini, tidak segan-
segannya untuk membunuh dan khususnya mereka adalah petarung yang berasal dari
China Daratan.391 Terdapat teror yang cukup dalam terhadap para nelayan, terutama
berasal dari utusan kongsie agresif rahasia. Para tauke, dan tidak ada menyangkut hal
lain, akan tetapi hanya tentang “pembayaran” saja. Tauke mungkin saja melawan, tapi
dalam kenyataannya ia tetap saja membayar karena ia tahu, jika tidak, usahanya akan
segera dihentikan oleh mereka. Intimidasi terutama dilakukan terhadap nelayan dan
kuli, dalam waktu singkat saja telah menandakan kerugian sejumah besar uang.
Mereka kemudian memilih membayar daripada mengambil berisiko. Orang akan
bertanya-tanya mengapa mereka tidak meminta bantuan Dewan Kota untuk segera
diambil tindakan. Jawabannya sederhana saja; Pertama, tidak adanya hubungan
darah dengan Dewan Kota, kedua; juga bukan oleh sulitnya perlindungan oleh polisi
terhadap nelayan dan kuli di laut, tetapi oleh sedemikian luasnya percabangan kongsie
rahasia, bahwa mereka memiliki "agen"- nya di Melaka, Penang dan Singapura, di
tempat-tempat dimana pedagang ikan Bagan berada dan ia cepat atau lambat akan
jatuh sebagai korban balas dendam dari gang jika ia berani melaporkan intimidasi gang
tersebut. Tauke mungkin terhalang, namun akan ada campur tangan polisi, dengan
senyum ramah ia memastikan bahwa ia tidak punya uang untuk membayar, bahkan
hanya sedikit pengetahuan tentang komunitas Rahasia. Kadang-kadang orang
menemukan sejumlah kecil pesan keluar yang dikenal sebagai "tangan hitam” atau
sebagai sebuah kata yang harus ditebak. Kita tidak boleh berpikir bahwa kongsie tidak
melakukan apa-apa sama sekali untuk melindungi apa yang tauke lakukan. Bukan
begitu, mereka memang dilindungi terhadap kelakuan buruk lainnya dari kongsie itu,
khususnya terhadap pembajakan. Pertanyaannya, Siapa sajakah yang terlibat?
Jawabannya, tidak terpikirkan untuk tidak berafiliasi dengan kongsie. Jaring dan alat
penangkap ikan lainnya, sampan, bahkan barang dalam gudang akan menghilang
bagai “udara menguap” yang diakibatkan oleh berbagai pencurian, karena setiap
orang tahu bahwa mereka dapat melakukan apa-pun sebagai balasannya. Hanya

390
De Sumatra Post, De Terreur van Bagan Si Api-Api; 16-12-1925. Bahwa sekitar 200 orang
yang terlibat dengan aksi kejahatan ini telah ditahan, dan dihukum penjara.
391 De Sumatra Post; GANGSTERS OP SUMATRA: Chineesche Geheime Genootschappen te

Bagan Si Api-Api. 9-11-1932,


249

kongsie agresiflah yang dapat melakukan untuk "mendapatkan uang" dan keunggulan
pun diperoleh melalui jumlah keanggotaan yang besar, hal ini diasumsikan telah
menggring nelayan dan tauke pada situasi suram; dan mereka pun menghadapinya
dengan cemas. Kadang-kadang terjadi, bahwa kota tiba-tiba berada dalam
kekacauan, di mana-mana suara gagap ketakutan dan histeris terdengar dari kedei
China dengan suara keras, "Sauve qui peut", ya, selamatkan diri masing-masing, yaitu
seruan untuk warga yang tengah melintas dan berada di jalanan dan segera saja situasi
itu tertutup untuk umum, hingga orang-orang tergesa-gesa mencoba untuk segera
mencapai rumah atau pun “club house,” biasanya kelompok ini kemudian
menghilang dengan meninggalkan lawan di dekat anak tangga dengan beberapa luka
yang bisa saja parah yang diakibatkan oleh pukulan benda tumpul. “Pekerjaan” yang
sebenarnya dilakukan oleh "petarung profesional" yang sering tak terduga dan secara
rahasia tiba dari China Daratan; Orang tidak perlu berpikir bahwa apa pun berita
tentang korban yang terjadi karena dendam dan dalam upaya terus mempertahankan
eksistensi kongsie tersebut. Pembunuhan terakhir dengan cara yang sama terjadi di
akhir bulan Desember 1927. Kongsie Ho Hm yang berada dibawah pengawasan polisi
nampaknya telah bertindak di luar koridor; berikut ini adalah nama bersalah lainnya
seperti; Hok Gie, dan lainnya yang secara substansial memiliki kepentingan "pendirian
Serikat Pedagang Ikan,” dan akhirnya adalah upaya pembersihan pengikut Sara Tiam
Boei pada tahun 1925 yang dilakukan oleh Kontrolir Smith. Para pedagang, dipimpin
klan Oei, merupakan bagian terkecil dari Populasi. Kongsie Rahasia kecil yang
kepentingannya dilindungi setelah “penghinaan” Sara Tiam, juga menjadi sibuk
dengan urusan kongsie tersebut.

“Chicago Kecil”
Banyak tauke kecil, yang sebelumnya berkontribusi pada Sam Tiam (serikat pekerja
“Chin Liong Tong”), berpikir ia telah tiba dengan selamat dibawah pengawasan
Pemerintah. Sam Tiam, bahkan pergi sendiri setelah melakukan intimidasi kecil
terhadap Ho Hm. Sam Tiam (Chin Liong Tong) tidak dapat memenuhi pembayaran
secara bertahap akan kewajiban keuangannya, kemudian petarung dan pemimpin
mereka bertemu untuk penghormatan dan pemulihan reputasi. Pemimpin mereka
Kho Poei Loy semacam imam "terkenal" dan pawang hujan akhirnya memutuskan
untuk melawan intimidasi tersebut. Karena visibilitas polisi menyababkan ia
meninggalkan segalanya termasuk pengembangan bisnisnya di Klang dan Pulau
Ketam. Ketika akhirnya para petarung Ho Hm begitu berani yang disebabkan istri dari
Sam Tiam mengalami penghinaan kasar - saudara perempuan dari salah satu petarung
Sam Tiam, berakibat pada diputuskannya kematian bagi dua orang dari pihak
lawannya terutama yang terlibat dalam penghinaan berat tersebut. Keputusan itu
adalah “menembaknya” dengan menggunakan revolver di Kota didepan umum, yang
juga memiliki fungsi sebagai propaganda balas dendam, uang sangat dibutuhkan
untuk membayar tiga petarung bersenjata sejumlah seribu gulden. Kebiasaan korban
diidentifikasi, kongsie tahu bahwa untuk pembunuhan hanya ditakuti di daerah
250

terpencil dari kota, akan tetapi, siapakah yang merasa cukup aman berada di pusat
kota tersebut? bahwa pada realitanya semua kedei Kopi dan hiburan, terutama
berada di bawah kendali kongsie mereka sendiri. Beberapa kedai kopi tetap dalam
"diatas jam" malam yang diatur oleh “sahabat” yang sering mengunjungi mereka, ini
bagai menjadi “berbagi” dari pemiik kedei kopi sebagai ganti “perlindungan” mereka.
Setiap waktu di akhir Desember, dimasa yang tenang bagi Perikanan, kota penuh
sesak dengan nelayan muda; pada sore harinya di pusat kota di luar restoran, orang
Cina di teater dan banyak lagi kedei kopi, tempat mereka mencari hiburan. Banyak
wajah-wajah yang asing, bahkan juga nelayan muda dari pemukiman tetangga,
sehingga tidak terlihat dan tidak disadari adanya puluhan orang asing tiba disana.
Pada tanggal 23 Desember 1927 di malam hari jam Sembilan, tiba-tiba terjadi suatu
peristiwa yang aneh di saat itu, dipersimpangan paling ramai yang terang benderang,
tepat sebelum teater China. Tiga laki-laki keluar dari kerumunan kemudian pergi dan
mereka berjalan di bawah keremangan yang samar-samar gelap di kaki lima (jalan
wilayah untuk pertokoan) pada arah sudut kedei kopi, terdengar beberapa tembakan
dan terlihat dua korban mati terhempas. Penduduk yang melihat kejadian pun buru-
buru meninggalkan lokasi kejadian dan menghilang. Seorang anggota polisi kota
bergegas menuju ke lokasi. Sementara beberapa orang dari kelompok gang itu
menjalankan “strategi pengalihan perhatian” dengan berteriak kebakaran, dan
dengan demikian menarik perhatian warga di bahagian lain kota. Ini adalah
kebingungan besar karena rumah-rumah kayu yang dibangun di Bagan telah dikenal
dengan ancaman bencana kebakaran yang mengerikan dan "alarm kebakaran" segera
membawa serta seluruh penduduk pada suatu kondisi “ketakutan yang menggila,”
dinyatakan dalam sebuah “home run” sesegera mungkin untuk menutup dan
mengambil segala langkah-langkah yang diperlukan untuk keselamatan keluarga dan
harta benda. Sebelum kita tahu persis apa yang terjadi, para pelaku telah melarikan
diri dengan menggunakan sampan.392 Persaingan dalam memperebutkan sumber
daya yang terbatas, ternyata telah menimbulkan sebuah persoalan sosial dalam
komunitas industri ikan di Bagansiapiapi seperti yang telah ditunjukkan oleh beberapa
warta di era Kolonial. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial adalah dengan
dilakukannya penahanan terhadap sejumlah orang yang dianggap terlibat dalam
keanggotaan “Gangster”.

Riuhnya kekayaan muara Rokan, telah mengundang petualang-petualang


yang datang dari berbagai penjuru, dengan kekuatan sindikasi mencoba
dengan berbagai cara melakukan teror dan intimidasi terhadap tauke,
pedagang dan nelayan di Bagansiapiapi.
Pada era ini juga, riuhnya industri perikanan yang ternyata, dibayang-bayangi oleh
sindikasi gangster dan dimana membawa Bagansiapiapi juga pada maraknya

392Lihat dalam Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad, 29 Mei 1928, “Het Leestafel
Een Chineesch Ijmuiden Sumatra’s Oostkust.”
251

“kehidupan malam.” Prostitusi,393 merupakan salah satu sisi kelam yang seolah
beriringan dengan judi(diantaranya permainan dadu), dan opium. Bisnis primitif ini,
bahkan bukan tidak mungkin berbasis pada sebuah jejaring trafficking sebagaimana
yang berhasil diungkap polisi di tahun 1940.
Tangisan seorang gadis muda di pelabuhan Tanjung Balai yang hendak
bepergian ke Bagansiapiapi, menarik perhatian seorang mantri-polisi yang
kemudian menghampirinya. Interograsi yang dilakukan terhadap gadis itu,
mengarah pada seorang perempuan tua. Kemudian gadis itu dipulangkan ke
Medan, sementara, polisi terus memeriksa sang perempuan tua, yang
mengatakan bahwa ia menebus gadis itu dari orang tuanya senilai f104. Kasus
ini, dibawa sampai ke pengadilan di medan yang diketuai oleh Hymans,
dimana sang perempuan tua mengaku bahwa ia telah berbicara dengan sang
ayah dari gadis, untuk menikah dengan cucunya yang tinggal di Bagan, dan
tentunya sang gadis harus pergi kesana. Akan tetapi, gadis itu sadar bahwa ia
telah dikhianati, sehingga, ia menangis sebagaimana diketemukan oleh
mantri polisi dalam perjalanannya menuju Bagansiapiapi. Menurut
keterangan dari polisi di Bagan, ternyata perempuan tua itu dikenal sebagai
pemilik rumah bordir. Pengadilan lalu menjatuhkan hukuman dua tahun
penjara kepada sang perempuan tua itu. 394
Bahwa permulaan abad ke-20 sebagai awal bermulanya kelompok nasionalis Kuo Min
Tang dan tumbangnya dinasti kerajaan tradisional, selain juga kelompok komunis
dibawah Mao Zedong. Tidak dapat dipungkiri sebaran pengaruh berbagai kelompok
tadi, terutama pada orang-orang China di negeri rantau, tidak terkecuali di Hindia
Belanda, terutama di sentra-sentra pemukiman orang China atau Pecinan.
Bagansiapiapi, jelas saja yang telah menjadi bahagian dari sistem perdagangan dunia
ikut terkena pengaruhnya. Sebagai totok atau singkeh yang masih memiliki
keterikatan yang tinggi terhadap tanah leluhurnya, memungkin pemukim China di
Bagansiapiapi memiliki hubungan yang intens dengan kelompok-kelompok di China
Daratan. Tidak seperti decade kedua abad ke-20 sebagaimana yang dilaporkan
kontrolir Haga bahwa orang China di Bagansiapiapi, persoalan revolusi China: Joen Sie
Kay , mereka menanggapinya dengan cukup dingin dan lebih terfokus ke laut dan
harga ikan di pasar Jawa; Belanda mencatat bahwa hingga tahun 1930-an, telah
berdiri beberapa kelompok diantaranya adalah kelompok pro-Kuo Min Tang yang
memiliki pengaruh kuat dalam tatanan masyarakat yang lebih luas. Pengaruh ini,
ternyata juga memiliki dampak psikologis terutama masa pasca perang dunia II
dimana negeri China terlibat didalamnya dan masuk sebagai kelompok negara
pemenang perang, dengan Jepang sebagai rivalnya.

393
Persoalan prostitusi di Bagan ini, pernah diuangkap oleh kontrolir B.J.Haga; De Sumatra Post,
3 April 1918, “De Verlei Prosititutie.”
394 De Sumatra post, 14-02-1940; “Een Chineesch meisje „verhandeld” De politie kwam er

tusschenbeide.”
252

Periode Pendudukan Jepang


Ketika Jepang menginvasi Hindia Belanda dan kemudian menjadi penguasa militer,
terutama di Sumatra; diawali dengan pendaratan balatentara Jepang di utara dan
timur Sumatra yang segera saja menyebar kearah selatan pulau ini. Diakhir Maret
1942, komandan militer Hindia untuk Sumatra menyerah tanpa syarat, dan Sumatra
ditempatkan dibawah Departemen Pemerintahan Militer Tentara ke-25 di
Singapura(Gunseibu), yang dipindahkan ke Bukit Tinggi pada Mei 1943.395 Afdeeling
Bengkalis, disatukan dengan residensi Riau sebagai RiauShu dengan beribukota di
Pekanbaru, yang berarti dipisahkan dari residensi Sumatra Timur. Sebagaimana
diketahui, bahwa susunan pemerintahan yang semula beralih kedalam susunan
pemerintahan ala Jepang sebagai berikut:

Unit dalam Pemerintahan Pejabat/Kepala


Shu -------------- Residentie Shuchokan -----------Resident
Shi/Ken ----------Regentschap Shico/Kencho -------Walikota
Gun ---------------District Guncho ---------------Wedana
Son ---------------Onderdistrict Suncho ----------------As.Wedana
Struktur Pemerintahan Jepang. 396

Kedatangan tentara Jepang ini, pada awalnya disambut dengan sukacita oleh
masyarakat Indonesia, yang menandai runtuhnya pemerintahan Hindia Belanda;
Jepang menangkapi orang-orang Eropa dan memasukkannya dalam kamp-tahanan;
orang Eropa di Bagansiapiapi sebagaimana juga diwilayah lain di lingkup Afdeeling
Bengkalis, ditempat dalam kamp di Siantar dan Bangkinang. Bagansiapiapi merupakan
salah satu kota yang ikut menderita. Industri perikanan terhenti total, segenap daya
dan upaya benar-benar dikerahkan untuk mendukung kepentingan militer Jepang
dalam memenangkan perang Asia Timur Raya. Kekejaman Jepang, tentu kita tidak
meragukannya lagi, juga berlaku di Bagansiapiapi. Akan tetapi, sifat hubungan yang
ambigu, barangkali telah menyelamatkan banyak warga. Bahwa warga Bagansiapiapi,
ikut menyumbangkan tiga unit pesawat tempur pada balatentara Jepang, 397
merupakan mekanisme penyelamatan diri yang wajar-wajar saja pada masa perang.

395 Lihat dalam “Chronology of events Japan and Japanese Occupied Countries; April 1945;
Procereur Generaal bij het Hooggerechtshaf in Nederlands Indie, No. 181.
396 Aiko Kurasawa 1993, hal.291; Noordjanah, 2004, hal.21.
397
Pesawat tempur dari jepang yang tiba di Pekanbaru ini, adalah berasal dari hasil sumbangan
masyarakat China Bagansiapiapi sejumlah f250.000, penyerahan dilakukan di Pekanbaru pada
tanggal 15 Maret 1945, dengan nama Bagansiapiapi nomor I, II dan III. Dalam “Sinar Baroe,” 29
Maret 1945.
253

Meskipun demikian, menarik apa yang disampaikan oleh Jenderal Yamamoto; salah
seorang panglima militer Jepang, bahwa,
“masyarakat China tampak patuh diluar, tetapi tidak didalam.”398
Pada waktu-waktu berikutnya, sumbangan masyarakat China ini diiringi dengan
penekanan akan ketulusan hati mereka, dan sangat diragukan bahwa pihak militer
Jepang mempercayai akan hal itu. Dampaknya, loyalitas masyarakat China ditanggapi
secara skeptis oleh penguasa Jepang yang cenderung bersikap negative terutama
terhadap kalangan pengusaha China. Sebaliknya, penguasa militer Jepang lebih
kompomistis terhadap pribumi. Meskipun demikian, pada masa ini, perdagangan yang
terjadi antara pantai timur Sumatra dengan Semenanjung, terutama dilakukan oleh
kelompok China dengan menggunakan tonkang mereka. Perdagangan ini
menggunakan nama Jepang, dan orang China lebih hanya kepada penyedia Tonkang,
dan menerima upah pembayaran atas jasanya itu. Hal ini sungguh merupakan
pelayaran perdagangan yang berat, disebabkan aksi blokade oleh pihak sekutu; rute
pelayaran melalui Belawan, Saynon dan akhirnya menuju Semenanjung, menjadi rute
biasa saat itu. Masa pendudukan Jepang, adalah periode dimana rasa kebangsaan
nasional Indonesia Menguat. Segala unsur yang berbau Belanda, dihapuskan, mulai
dari penggunaan bahasa, firma, organisasi, hingga nama-nama jalan. Masa sebelum
perang, jalan di Bagansiapiapi didominasi oleh nama Belanda, seperti; Haga, Kerk,
Wilhemina atau pun Zee-Straat; nama-nama ini tidak lagi ditemui pasca pendudukan
Jepang digantikan dengan nama-nama dalam bahasa Indonesia. Penguatan ke-
Indonesia-an ini, juga secara tidak langsung didukung oleh kelompok pengusaha
China, dimana Jepang mewajibkan mereka memberikan dukungan dana atas
pendirian organisasi-organisasi pribumi, dan sepertinya, proses perubahan ini tidak
mencirikan sistem pergerakan lokal yang terbatas, akan tetapi meliputi suatu jejaring
gerakan kaum nasionalis yang tumbuh subur diseluruh wilayah pendudukan Jepang.
Contohnya Kita dapat melihat pada pembentukan organisasi Ikatan Pemuda Riau399,
Riau Ksoyey kai, dan juga Riau Syu Sangi Kai,400 yang memiliki perwakilan dari
Sembilan daerah di Riau, termasuk Bagansiapiapi. Pada periode ini, kebijakan politik
kewilayahan penjajahan Jepang, mengkondisikan orang Riau dalam upaya penegasan
identitas kebangsaan yang nampaknya parallel dengan identitas kewilayahan. Kondisi
ini, menjadikan peranan elit pribumi pun menguat, begitu pula dengan yang terjadi di
Bagansiapiapi. Dijatuhkannya Bom Atom di Hirosima dan Nagasaki pada Agustus
1945, membuat Jepang takluk, dan kemenangan berada di tangan Sekutu, termasuk

398 KYP 19 Maret 1942, dalam Twam Peck Yang, hal,96.


399 Ikatan Pemuda Riau, didirikan pada 12 Desember 1943 di Pekanbaru. Dalam “Kita Sumatora
SInbun,” 29 Desember 1943.
400 Riau Syangi Kai didirikan pada tanggal 8 Desember 1943, dan memulai persidangannya di

Pekanbaru, dihadiri oleh Sembilan perwakilan dari daerah-daerah di Riau, dimana untuk
Bagansiapiapi, anggota-pilihan diwakili oleh Abdoerrab dan untuk anggota angkatan diwakili oleh
Oei Tek Sek; dalam “Kita-Sumatora-Sinbun”: Surat Kabar Harian, tanggal 18 Desember 1943.
254

negara China sebagai sekutunya. Situasi ini, memberikan efek nyata kepada pemukim
Bagansiapiapi, efek yang berkembang menjadi suatu peristiwa yang menjadi catatan
suram sebagaimana dipaparkan dibahagian selanjutnya.
255

9
256

“Perang Bagan”
Kapitulasi Jepang dan Kemerdekaan Republik
Pada bulan Juli 1945 seorang Inggris mantan pekebun di Sumatra: Kapten Lodge,
bersama sepasukan kecil dengan parasut mendarat disebuah kampung didekat
Bagansiapiapi (sebuah tempat dimana tidak adanya jalan raya), dimana dalam
posisinya itu ia mencoba melihat apakah terdapat peluang guna mengumpulkan
orang-orang untuk menghadapi Jepang di Bagansiapiapi; dikatakan bahwa ia bisa
menyediakan senjata untuk sejumlah 50 orang pasukan. Selain itu, penempatan
pasukan ini sebagai bahagian dari rencana menjalin kontak dan mengorganisir gerakan
bawah tanah untuk menyediakan kekuatan guna membantu pendaratan Sekutu ditiga
titik: Rantau Prapat, Kutaraja dan Bagansiapiapi.401 Akan tetapi, tidak jelas rencana
ini dengan terjadinya kapitulasi Jepang tanggal 15 Agustus 1945;402 Bangsa Indonesia
membuat suatu peristiwa yang sangat penting dan mendasar, diproklamasikannya
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, dan segera sesudahnya pemerintahan
pun dibentuk; Sukarno dan Hatta ditunjuk sebagai Presiden dan wakil presiden.
Sementara itu, Sumatra menjadi sebuah provinsi dengan Medan sebagai ibukota dan
mengutus Mr.Hassan sebagai gubernurnya. Mr.Hassan adalah seorang tokoh yang
terlibat aktif dalam pergerakan ini, sebaliknya, sulitnya akses komunikasi saat itu,
menjadikan peristiwa yang sangat besar dalam sejarah republik seolah-olah teramat
jauhnya bagi khalayak di pantai timur Sumatra. Yang sangat nyata adalah berhentinya
rezim fasis Jepang sebagai pemegang kekuasaan dan beralih menjadi penjaga belaka
dengan sia-sia menanti kedatangan Sekutu sebagai sang pemenang perang.
Pemberlakuan ketat atas informasi, menjadikan hanya sedikit saja orang Indonesia
yang mengetahui khabar proklamasi itu, beberapa hari setelah dilakukannya rapat
panglima Jepang di Singapura yang akhirnya menerima kekalahannya. Melalui siaran
radio, pengumuman peristiwa itu juga sekaligus penetapan Jepang sebagai pihak yang
bertanggungjawab atas keamanan dan ketertiban umum menjelang kedatangan
Sekutu. Belanda, yang mencoba menempatkan kembali pasukannya pada tahun 1946,
nampaknya diiringi dengan meluasnya antagonisme terhadap orang China di eks
Hindia. Belanda berupaya menerapkan kebijakan rekrutmen terhadap orang-orang
China sebagai bahagian dari kekuatannya; suatu posisi yang akan menyebabkan orang
China di Indonesia akan terombang-ambing dalam sebuah gelombang besar

401 Het Koninkrijk Der Nederlanden in De Tweede Wereldoorlog, 1939-1945, Deel IIc, Dr.L.De
Jong, tahun 1986, hal.245, 247, 280.
402 Bahwa diketahui juga, seorang officer Inggris mengunjungi Bagansiapiapi pasca Kapitulasi,

dan mengadakan kontak dengan pemukim China; tidak diketahui apakah orang Inggris itu adalah
orang yang sama yang terdapat dalam catatan Le Jong, 1986. Lihat Wan Saleh Tamin, 1972.
257

perubahan. Tsiang Tiang Chun, seorang konsul jendral China di Batavia yang
mengetahui rencana ini, menulis kepada Letnan Jendral Belanda; van Mook, meminta
agar Belanda membatalkan rencana itu yang akan membahayakan keselamatan orang
China lainnya diseluruh wilayah republik, akan tetapi, ternyata permintaan ini
nampaknya sia-sia saja. Belanda, dalam tahun-tahun revolusi juga melakukan
propaganda termasuk melalui media pers untuk secara ekspresif menyatakan bahwa
masyarakat China di eks Hindia merupakan salah satu unsur dari kekuatannya.
Meskipun, aksi ini nampaknya tidak berhasil menghimpun sejumlah kekuatan yang
sedianya menjadi modal dalam melakukan re-kolonialisme, akan tetapi Belanda telah
berhasil menanamkan politik adu-dombanya yang memposisikan sikap berhadap-
hadapan antara orang Indonesia dan China, seperti yang terjadi di Bagansiapiapi;
bahwa akhirnya Belanda benar-benar kembali ke Bagan dalam suatu aksi militer
ditahun 1948, saat itu, situasi secara umum bahwa Bagansiapiapi tidak dalam posisi
untuk berpihak pada Belanda.403 Bagaimanapun juga, sedari awal sesungguhnya
Belanda tidak pernah benar-benar berniat untuk melepas Bagansiapiapi. Pada bulan
Oktober, konsul Belanda di Singapura, meminta kepada perwakilan China disana
untuk segera mengirimkan bantuan obat-obatan ke Bagansiapiapi menggunakan
kapal perangnya, permintaan yang lagi-lagi ditolak dengan alasan yang memang dapat
dipahami mengingat latar konflik 1946.404 Belanda, akhirnya kembali memainkan
peran lamanya sebagai suatu kekuatan utamanya di perairan selat Melaka; aksi
blokade. Meskipun demikian, nampaknya untuk suatu alasan, Belanda mengizinkan
suatu pelayaran dari Singapura menuju Bagansiapiapi yang bermuatan obat-obatan,
makanan dan pakaian; dan kapal kembali dengan memuat kayu dan ikan menuju
Singapura.405

The Singapore Free Press tanggal 10 Oktober 1946 menulis sejumlah 1500 pengungsi
berasal dari Bagansiapiapi, telah mencapai Pulau Ketam dan sejumlah lainnya
mendarat dipantai Selangor Malaysia, yang terbagi dalam perahu-perahu kecil,
pengungsi yang dikatakan berasal dari konflik rasial.406 Beberapa kelompok yang
terus saja berdatangan ini, separuh dari mereka adalah perempuan dan anak-anak;
dipantai Kuala Selangor mencapai 350 orang, dan sebagaimana diketahui bahwa

403
Serangkaian catatan menunjukkan bahwa Belanda begitu percaya diri, bahwa mereka akan
kembali lagi berkuasa di wilayah eks Hindia, termasuk Bagansiapiapi.
404
Konsul Belanda di Singapura, M.F.Vigeveno, menyampaikan tiga ton obat-obatan kepada
Konsul Jendral Tiongkok di Singapura, dr.Wu Paak Shing, yang dimaksudkan untuk korban konflik
di Bagansiaiapi. Semula obat-obatan telah dimuat dikapal Perang Belanda, akan tetapi segera
dipanggil pulang dan selanjutnya dua orang utusan Tionghoa-indonesa yang akan pergi ke
Bagansiapiapi untuk mencoba mencari suatu solusi damai. Pandji Ra’jat, 11 Oktober 1946.
405
Akan tetapi, sebelum kembali ke Singapura diharuskan untuk diperiksa oleh Belanda terlebih
dahulu, Pelita Ra’jat, 30 September 1947.
406 Berita berjudul “Chinese Evacuate Api Api.” Sementara itu, pemberitaan yang sama dari The

Straits Times, 10 Oktober 1946, Bagan Api Api Fisherfolk To Settle Here.
258

hingga awal Oktober 1946 sejumlah kelompok kecil masih terus saja berdatangan 407
sehingga tercatat telah mencapai angka lebih 2000 jiwa.408 Sementara itu pula,
simpang siur berita tentang konflik anti China yang beredar di Singapura dan
Semenanjung, berita yang umumnya terlihat memojokkan pemerintah republik:
seperti jumlah korban jiwa yang belum melalui penyelidikan resmi, perlakukan
terhadap perempuan dan anak-anak diluar batas, dan tekanan-tekanan terhadap
pemerintah Indonesia atas peristiwa itu; Sebuah sumber di Singapura menuliskan:
“….Mengapa Hitler gagal? Dan mengapa pula imperialisme Jepang
dikalahkan? Setiap orang tahu kisah ini dengan benar. Sejarah memberikan
kita bukti lainnya bahwa negeri yang menjadi tempat imperialisme dan
kekerasan akan menghancurkan dirinya sendiri. Kita telah beberapa kali
mengingatkan pemerintah Indonesia, sebagaimana presiden Chiang telah
berulangkali mengungkapkan melalui korespondensi luan negeri, bangsa
China bersimpati terhadap pergerakan Indonesia…. Permintaan serius agar
pemerintah Indonesia menghentikan adanya tindakan pembantaian terhadap
orang China… darah di Tangerang belumlah mongering, disini muncul pula
insiden lainnya di Bagan, kami tidak dapat menanggungkannya lebih lama
lagi…”409
Tekanan kuat bagi perjuangan republik ini, sebagaimana digambarkan oleh
H.M.Lutfi410 dalam tulisannya sebagai:
“Badai Taufan yang kita tempoeh; Oetang Bidoek Beloem Loenas, Toekang
Dajung Menagih Poela.”
Pasca pertempuran dua hari 18-19 September itu, antara TRI dan orang China di
Bagansiapiapi, Bagan pun telah terputus hubungannya dengan pedalaman yang
berarti tidak terdapat lagi persediaan makanan yang akan datang dari sana, lalu
meminta bantuan ke Medan dan juga Singapura. Terdapat juga berita, bahwa jika
pihak TRI melakukan penyerangan kembali, maka pemukim China Bagan akan
melakukan taktik bumi hangus.411 Tidak cukup disitu, dikatakan dalam editorial Chung
Nan Jih Pao yang ditulis Ta Kung Pao, berencana akan mengirimkan kapal perang “FU
PO” yang sedang bersandar di pelabuhan Singapura menuju Bagansiapiapi untuk

407
“More Api Api refuges reach Malaya.” Singapore Free Press, 11 Oktober 1946.
408
Surat Sekretariat Jendral Inggris di Singapura kepada Konsul Belanda, tanggal 18 Oktober
1946.
409 An Urgent Appeal for the Overses Chinese in the Netherlands East Indies, Ed, Te Kung Pao, 24

Sptember 1946.
410 Sumber Penerangan, 30 September 1946.
411
Soeloeh Ra’jat, 27 September 1946: “Keadaan di Bagan Si Api Api, Tuan Gani akan Bertindak;”
menurut berita surat kabar “Mayung Siang Pao, kalangan Tionghoa di Singapura berpendapat,
orang-orang Tionghoa di Bagansiapiapi itu, akan terpaksa menjalankan politik “Boemi Angoes”
apabila orang-orang Indonesia menyerang kembali.
259

mengevakuasi terutama kaum perempuan dan anak-anak menuju Singapura.412 Salah


satu sumber Belanda bahkan menyebutkan bahwa hasil diskusi perwakilan Chiang Kai
Sek memandang bahwa diperlukan untuk mengirim pasukan untuk mengamankan
kepentingan China disana.413 Akan tetapi, munculnya rumor, ataupun dugaan akan
sikap-sikap itu, nampaknya lebih didasari rasa cemas dan kekuatiran bahwa pihak
Indonesia akan menghimpun bantuan dan melakukan serangan balasan yang lebih
besar dan berdampak meluas ketempat lainnya. 414 Hal itu terlihat dari sikap Konsul
China di Singapura dan Medan yang mendesak untuk segera dilakukannya suatu upaya
penyelesaian konflik di Bagan, dengan mengirimkan delegasi kesana; bahkan, konsul
China di Kuala Lumpur, menurut sebuah sumber korespondensi China disana, telah
meninggalkan Kuala Lumpur menuju Bagansiapiapi, sebelum delegasi konsul China
SIngapura dan Medan, beserta delegasi dari Gubernur Sumatra. 415 Betapa pun juga,
konflik September 1946 itu memunculkan beragam penafsiran diberbagai kalangan,
seperti; Antara, melansir bahwa pertikaian Bagansiapiapi itu merupakan hasil
konspirasi Imperialisme Inggris-Belanda dengan memanfaatkan pihak China Bagan
yang dikatakan kurang berpengetahuan dan juga unsur di pihak Indonesia yang tidak
bertanggungjawab, bahkan dikemukakan bahwa sebelum konflik September, telah
terjadi gesekan dengan skala dan intnsitas yang lebih rendah berkaitan dengan insiden
Bendera pada bulan Maret 1946, kemudian disusul dengan tibanya sepasukan kecil
Belanda di Bagan dan kemudian mereka pun berlalu, yang memunculkan dugaan-
dugaan telah meninggalkan sejumlah senjata disana. 416 Adapun Peristiwa
sebelumnya, Maret 1946 yang dikenal dengan “Insiden Bendera”, Gubernur Sumatra,
Mr.Hassan melihat bahwa pecahnya konflik sebagai akibat adanya upaya pendirian
“negara dalam negara”(Een Staat in Staat).
Berita jang diterima menerangkan, bahwa baroe2 ini telah terjadi insiden
antara bangsa Indonesia dan Tionghoa di Bagan Siapi-api, Soematra Timoer,
karena pendoedoek Tionghoa jang terbesar disana mempoenjai
persendjataan yang lebih banjak dari bangsa Indonesia dan berniat

412 Cosulaat Generaal der Nederlanden te Shanghai, 9 Oktober 1946, Chineesche Pers: “Chinese
Warship Asked To Go To Save the Chinese in Bagan,” Ta Kung Pao. Pemberitaan surat kabar di
Singapura juga terdapat kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak di Bagan.
413
Bahwa perwakilan Kuo Min Tang di Padang; Oeh Kioeh Peng melalui diskusinya, dalam
Lembar Geheim, “Het Incident Bagan Si Api Api (De Onlusten in Bagan Si Api Api in Maart –
September 1946, afgesloten, 20 Oktober 1948, Koleksi ANRI.
414
Soeloeh Ra’jat, 26 September 1946, “Perkelahian Hebat di Bagan Si Api Api: Perkelaihan
chawatir akan meluap ke tempat lain.”
415
Sebagaimana diberitakan oleh The Straits Times, 27 September 1946, Consul For Bagan Api
Api: bahwa Konsul China di Kuala Lumpur, Mr.M.S.Hsu, dengan kapal motor yang disediakan
oleh asosiasi perdagangan di Klang, segera menuju Bagan.
416
Antaria(Pematang Siantar), 5 Oktober 1946, “Bagan Si Api Api.”
260

mendirikan negara dalam negara, serta menaikan bendera Tiongkok, tapi


tidak mengibarkan sang Merah Poetih. 417
Pers republik memandang bahwa kejadian Bagansiapiapi itu terus saja dibesar-
besarkan NICA yang menginginkan perpecahan diantara kelompok-kelompok di
Indonesia. Tentu saja, kekisruhan politik dan keamanan di Bagan dapat dimanfaatkan
bagi Belanda yang ingin kembali berkuasa sebagai Tuan seperti saat sebelum Jepang
tiba. Reaksi pemerintah Indonesia, untuk benar-benar dapat menepis tuduhan-
tuduhan yang sedianya akan merugikan perjuangan repubik; bukanlah mengirimkan
pasukan perang, melainkan diutusnya tim pendamai menuju Bagansiapiapi yang
terdiri dari orang-orang Indonesia dan China pada akhir September 1946. Sementara
tim pendamai masih melakukan pekerjaannya, Gubernur Hassan, dalam
pertemuannya dengan Konsul China, menyatakan bahwa kerusuhan di Bagansiapiapi
juga disebabkan orang-orang China itu tidak mau menyerahkan senjatanya. Dan pada
kesempatan itu juga sang Gubernur menolak permintaan konsul untuk mengirimkan
bantuan dengan menerjunkannya melalui pesawat udara. Sebab dikuatirkan pihak
Indonesia disana akan menyangka merupakan bantuan NICA sehingga konflik serupa
akan terulang kembali.418 Sementara itu hasil amatan tim pendamai Bagansiapiapi
bahwa mereka tidak menemui serdadu NICA yang dikabarkan telah berada di
Bagansiapiapi; kantor pemerintahan tidaklah mengalami kerusakan berat, melainkan
rusaknya pintu-jendela sebagai akibat pengrusakan dan penjarahan; tidak ditemui
jejak tembakan hebat dari senapan mesin atau granat dan semacamnya, bahwa juga
tidak didapati adanya bangunan-bangunan pemerintah maupun penduduk yang
hangus terbakar dan rubuh, bahwa pemandangan menyolok di Bagansiapiapi, seluruh
penduduk Indonesia (pribumi), telah kosong semuanya ditinggalkan sang pemilik,
dimana penghuninya telah mengungsi ke Tanah Putih dan sebahagian ke hutan-hutan
disekitar Bagansiapiapi. Bekas-bekas pertempuran adalah sebagaimana
pemandangan di jalan raya yang menunjukkan masih terdapatnya barikade yang
dijaga oleh orang China bersenjata api. Meskipun dilaporkan situasi telah aman, tidak
dipungkiri kondisi masih tetap dalam keadaan gelisah. 419 Nampaknya, dukungan
persenjataan yang dimiliki oleh pemukim China di Bagansiapiapi, menyebabkan
mereka sebenarnya berada diatas angin pada konflik di Bagan, akan tetapi, tidak
sebagaimana yang terjadi di Panipahan, Kubu, Labuhan Tangga, dan Tanah Putih. Dari
segi phisik, seperti di Panipahan dari sejumlah 328 rumah, telah habis terbakar dan
hanya menyisakan sejumlah 27 rumah saja.420 Konflik antara TRI dan orang-orang
China ini, nampaknya hanya terjadi di lingkup Kewedanaan khususnya kota
Bagansiapiapi, sementara dibanyak diwilayah-wilayah kekuasaan Republik dimasa

417
Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, 28 Maret 1946, koleksi: Nederlands Instituut voor
oorlogsdocumentatie.
418
Soeloeh Ra’jat, 5 Oktober 1946; “Kegadoehan di Bagansiapiapi, Penjelasan Gubernur Hassan.”
419Merdeka: Suara Rakjat Republik, 25 Oktober 1946, “Pemberesan Bagansiapiapi: Keadaan

aman, tetapi masih gelisah.”


420
Nedelandsch Indisch Roode Kruis, Afdeeling Oostkust van Sumatra, 25 Oktober 1946,
261

revolusi phisik, TRI dapat mengontrol situasi. Kasus di Bagansiapiapi, terjadi


perlawanan hebat terhadap TRI yang disebabkan kelengkapan senjata. Twang Peck
Yang berpendapat bahwa pengalaman sebagai pedagang danbang dimasa kekuasaan
Jepang, dan fungsi baru Singapura sebagai sentra penjualan senjata gelap,
menyebabkan dapat dipahami kelengkapan persenjataan pemukim China di
Bagansiapiapi.421 Semenjak iklim anti China merebak, sejumah besar orang China
eksodus ke Singapura dan semenanjung, seperti hingga pertengahan tahun 1946,
tercatat sekitar 5000 orang dari Jawa dan Sumatra menuju Singapura, bahkan, dari
pantai timur mencapai 10.000 jiwa hingga berakhirnya aksi militer I Belanda. 422 Di
Bagansiapiapi, konflik yang pecah terutama pada 18-19 September 1946, telah
menimbulkan serangkaian dampak pengungsian besar-besaran terutama yang berasal
dari Panipahan. Meskipun demikian, merebaknya iklim anti China pada era revolusi
phisik, tidak dapat dilihat sebagai phenomena yang berdiri sendiri, melainkan sebagai
salah satu dampak dari kebijakan rasis khas kolonial yang membelah keberpaduan
masyarakat Indonesia untuk berdiri dalam posisi saling curiga dan penuh prasangka.
Untuk itu, kita akan memulai penjelasan konflik 1946 di Bagan ini dengan menelusuri
keberadaan Orang China di Hindia beserta sikap-sikap politis dan kaitannya dengan
Revolusi Indonesia. Bahwa sebagaimana para ahli sosial terutama multikulturalisme,
persoalan-persoalan pemukim China di Indonesia sebagai akibat latar historisnya.

Konfigurasi Etnis China di Hindia Belanda


Indonesia sebagai negara bangsa, memiliki pemahamannya sendiri dalam memaknai
masyarakat multikulturalisme. Secara konsepsi, negera lebih merujuk pada sifat-sifat
hukum, dan sementara “bangsa” terkait pada tatanan sosiobudaya dan politik; bangsa
adalah komunitas sejarah yang lebih kurang lengkap secara kelembagaan yang
menduduki wilayah tertentu atau tanah air, yang berbagi bahasa dan budaya yang
spesifik. 423 Indonesia sebagai bangsa, muncul sebagai akibat tekanan penjajahan
kolonial Belanda kemudian Jepang, dan bertujuan terutama mengusir para penjajah
itu, dan segera bernaung dalam satu kesatuan negara modern, setara dengan negara
dan bangsa lainnya dalam perdamaian dunia. Sayangnya, pada masa pembentukan
benih-benih nasionalisme kebangsaan itu, tokoh China cenderung tidak terlibat dan
tidak dilibatkan, dan bergerak pada nasionalismenya sendiri, tidak tergabung dalam
pergerakan nasionalis pribumi; meski ada yang bergabung, namun tidak terlalu
berhasil. Alasan situasi itu, dapat ditemukan dalam kesejarahan nasionalisme China

421
Tan Pok, seorang China terkaya di Bagansiapiapi pada masa revolusi, meskipun diduga atas
peran dalam perdagangan penyelundupanlah berasalnya senjata orang China di Bagansiapiapi,
akan tetapi, Tan Pok jugalah yang diakui dari kelompok China bagan, berperan dalam
penyelesaian damai sengketa Maret dan September 1946. Lihat Twang Peck Yang, hal.432.
422 Twang Peck Yang, hal.194.
423
Kymlicka, 1995, hal.11.
262

itu sendiri. Leo Suryadinata, membagi dalam empat golongan besar orang China sejak
era Hindia Belanda hingga pendudukan Jepang; Sin Po, Chung Hwa Hui, Partai
Tionghoa Indonesia, Identitas Ganda di era Jepang. Sin Po, sebagai surat kabar yang
dikelola peranakan didirikan pada tahun 1910 di Jakarta; merupakan pendukung
nasionalis China; mendukung penyatuan peranakan & totok, pemberian status Eropa
bagi China lokal serta pendidikan bagi anak-anak peranakan; dukungan terhadap
gerakan politik di China serta tidak ambil bagian dalam politik lokal. Chung Hua Hui,
didirikan oleh kaum peranakan tahun 1928 yang berbeda dengan Sin Po yang melihat
Negara China sebagai pelindung, melainkan menempatkan sepenuhnya kerangka
kolonial sebagai tempat bernaungnya. Kemudian Partai Tionghoa Indonesia, berbeda
dengan dua sebelumnya, partai ini berdiri tahun 1932 yang benar-benar melihat
Indonesia untuk melakukan pembangunan ekonomi, sosial dan politik, bahwa,
penguatan kaum peranakan pada dasarnya untuk pencapaian tujuannya itu. Terakhir,
seiring masuknya Jepang, maka situasi berubah. Para pemimpin anti-Jepang ditawan,
dan ada yang bekerja sama dengan pihak Jepang, dan juga terdapat didalam
BPUPKI(Badan penyelidik usaha-usaha kemerdekaan Indonesia). 424 Bahwa sebelum
sikap politis China ini mengkristal sedemikian, maka konstruksi sejarah masyarakat
China di Hindia Belanda pada abad ke-19, awalnya mereka belumlah terkondisikan
dominan dalam perekonomian; akan tetapi pada tahun 1854 mereka diperlakukan
tidak sama dengan pribumi dengan berbagai macam alasan. Atas permintaan dari
para pedagang Belanda, orang Timur Asing hak-hak perdagangan Timur asing di Hindia
Belanda sama sebagai halnya orang Eropa. China, yang jatuh di bawah Timur Asing ini,
memiliki hak-hak tertentu yang tidak dimiliki orang Indonesia. Pemerintah kolonial
membuat perbedaan yang jelas antara pribumi dan China di Hindia Belanda. China,
mampu mengambil keuntungan dari posisi mereka yang baru diperoleh, yang ternyata
menjadi keuntungan besar bagi mereka dalam jangka panjang. Di kalangan penduduk
China berpegang pada tradisi untuk mempertahankan budaya dan kembali ke
kampung halaman. Banyak dari imigran China di Hindia Belanda meninggalkan
negerinya sebagai buruh berharap untuk akhirnya, kembali ke tanah air. Namun,
tampak bahwa semakin banyak migran China menetap di periode ini di koloni.
Pemetaan China, semakin jelas, menunjukkan dominasi ekonomi di Jawa berada pada
peranakan, sementara kaum singkeh berada diluar Jawa seperti Sumatra. Perbedaan
umum lainnya menyangkut domisili; perkotaan didominasi peranakan, singkeh
biasanya berada di pedesaan. Meningkatnya jumlah imigran China pada abad ke-19,
ternyata tidak disertai kaum perempuan; hal yang berbeda di abad ke-20.
Sebagaimana yang juga terjadi di Bagansiapiapi, adalah penting, karena lebih banyak
perempuan China di Bagansiapiapi yang tiba, sehingga kaum lelakinya yang sudah tiba
lebih dulu tidak lagi “terpaksa” untuk menikahi perempuan diluar kelompoknya. Hal
ini menyebabkan generasi anak-anak China dibesarkan dengan bahasa, budaya dan
tradisi China sendiri. Selain itu, peningkatan imigran China ini yang menumbuhkan
kekuatan tersendiri dalam lingkup Hindia, bertepatan dengan munculnya gerakan

424
Suryadinata, 2002, hal.28-39.
263

nasionalis China yang mempromosikan ide identitas China secara umum. Kondisi ini,
ditengarai menjadikan
Batas-batas antara orang-orang China dan Indonesia, akhirnya menjadi lebih
tajam dari sebelumnya. 425
Gerakan reformis Khonghucu Kang Youwei dan aliran lainnya dari gerakan Pan China
telah mendorong nasionalisme China baik peranakan maupun totok, penyebaran
besar-besaran sekolah China di tahun 1900 yang dipelopori Tiong Hoa Hwee Koan di
Batavia; bahwa organisasi ini didirikan untuk menyatukan peranakan dan totok di
Hindia Belanda. Penyatuan ini, menjadi kekuatan yang dikuatirkan Belanda, bahwa
mereka akan menjadi lebih sulit untuk dikontrol; realita bahwa Tiong Hoa Hwee Koan
merupakan refleksi dari menghadapi satu lawan bersama: Belanda. Selain itu, tentu
saja keputusan itu telah melahirkan generasi-generasi yang cenderung tidak
koorporatif dengan Belanda. Menghadapi ini, Belanda bergerak untuk melakukan
pemecahan orientasi dari kerangka masyarakat China di Hindia, yang pada dasarnya
terdiri dari berbagai macam kelompok dan aliran, dialek, yang terkutub pada
peranakan dan singkeh. Salah satunya, Belanda mendorong untuk didirikannya
sekolah dasar dan membujuk orang China peranakan untuk menjauhi nasionalisme
China dan menjadi warga Hindia Belanda yang setia.426

Pada saat itu di Hindia Belanda terdapat 75 sekolah China modern, dengan total
sekitar 5500 siswa. Pemerintah kolonial melihat sekolah-sekolah ini semakin hari
sebagai ancaman dan mereka mulai merasa takut akan kehilangan pengaruh pada
populasi ini. Hal yang menyebabkan pada tahun 1908 dengan berdirinya HCS., dimana
dengan pertumbuhan dan reorganisasi sekolah Tionghoa, berarti bahwa semakin
banyak orang Tionghoa berbahasa China di Hindia Belanda dan menyadari asal China
mereka, termasuk budaya dan tradisinya. Tidak hanya dikalangan orang-orang China
saja, akan tetapi juga negara China sendiri memberikan pengaruhnya pada hubungan
sosial antar kelompok etnis di Hindia Belanda. Pengaruh pemerintah China misalnya
muncul dalam memberi dukungan kepada organisasi pendidikan Cina di Hindia
Belanda. Pemerintah China, selain mengirim guru, juga mengirimkan pengawas
sekolah ke Hindia Belanda untuk memastikan tingkat pendidikan. Pada saat yang

425
Hingga periode 1930, diketahui bahwa mayoritas China di Hindia didominasi oleh keturunan
pertama dan kedua yang berasal dari Tiongkok, perolehan pengajaran ke-China-an disekolah-
sekolah, sosialisasi nilai budaya oleh keluarga dimana ayah dan ibunya adalah totok, dan juga
kondisi bangsa Indonesia yang sedang bangkit nasionalismenya, menyebabkan tumbuhnya juga
kesadaraan nasionalisme dikalangan China Hindia, yang berorientasi pada tanah leluhurnya.
Coppel, 1983, hal.34.
426 Aksi Belanda ini, bertujuan memecah-belah masyarakat China Hindia seiring dengan

menguatnya nasionalisme pan China, dan kali itu, Belanda berhasil membentuk kelompok China
berpendidikan Belanda, dan bahkan menjadi warga Negara Belanda-Eropa; kondisi ini tidak saja
menjauhkan kelompok ini pada kelompok China lainnya di Hindia, juga menjauhkannya terhadap
gerakan nasionalisme kebangsaan Indonesia yang sedang tumbuh subur. Lihat Peck Yang
264

sama, digunakan metode pengajaran dan kurikulum yang sama di sekolah-sekolah


China layaknya di China. Tidak terkecuali Bagansiapiapi, kehidupan bidang Pendidikan
mulai bergerak, paling tidak telah dimulai pada tahun 1912, dimulai dari Perpustakaan
Bing Tik (Ya zi bo Xia).427 Lebih jauh diceritakan bahwa tahun 1916 berdiri secara resmi
Sekolah King Jun yang berlokasi di Jalan pelabuhan Hai Khao Kue (sekitar Sungai
Garam). Setelah terjadi kebakaran besar di Bagansiapiapi tahun 1920-an yang
menyebabkan dunia pendidikan Bagansiapiapi terkendala, kembali pada tahun 1923
Sekolah Bingtik diresmikan. Adapun tahun 1930-an, dunia pendidikan di
onderafdeeling Bagansiapiapi berdasarkan catatan kontrolir sebagai berikut:
selama Tahun 1933 ……. Sekolah negeri saat ini di lanskap Labuhan Tangga,
Bantayan, Tanah Putih, Rantau Bais, Sedinginan, Sintong, Bangko, Kubu dan
Pasir. Akan tetapi di Bagansiapiapi terdapat dua Sekolah China modern Keng
Tjoen; sekolah dengan 9 guru dan 250 murid, dan kemudian sekolah dengan 5
guru dan 150 siswa, yakni sekolah Hin Tek; Sejak April 1928 untuk sementara
didirikan Sekolah Belanda-China yang disubsidi di bawah pimpinan misi Katolik
dengan 5 guru dan 120 siswa. Beberapa pribumi terkemuka juga telah
menciptakan kesempatan khusus untuk mengajarkan Bahasa Belanda, salah
satunya guru di HCB di bawah pengawasan distrik negara dan Dewan Jaksa
sebagai direktur. juga tempat sekolah pribumi kelas kedua dengan 5 guru dan
271 murid 428 ….Di sekolah China Partikelir sekarang banyak diajarkan
penulisan karakter China dan juga tentang China..… oleh karena itu dapat
dimengerti bahwa generasi muda, tidak seperti di tempat lain, disini (kaum
muda China) tidak mengerti bahasa Melayu).429
Di Bagansiapiapi, pencapaian pendirian Sekolah Belanda China juga terlibat disana
misi Khatolik. Adapun kehadiran kelompok misionaris ini adalah pada tahun 1928,
dimana sekelompok misionaris kapusin pimpinan Benitius Pijnenburg menetap di
Bagansiapiapi. Kehadirannya diawali dengan pembukaan sekolah “Holland Chineesch
School” sebagaimana tercatat pada tahun 1928, yang acara pembukaannya dihadiri
oleh sejumlah pejabat pemerintahan distrik, mulai dari Kontrolir, Luitenan der
Chineezen, kepala distrik, sampai dengan hadirnya Sultan Siak di Bagansiapiapi. Selain
itu, nampaknya organisasi ini juga membuka sejumlah kursus dan panti jompo, dan
hingga tahun 1941 tercatat sejumelah 375 orang China dan 39 orang Eropa memeluk

427 Sejarah Pendidikandi Bagansiapiapi 1912 – 1953, bersumber dari Buku San Nian Hen Yu (Jejak
3 Tahun), Tahun 1953, sebagaimana diceritakan dalam Bagansiapiapi Online Network;
428 Dilihat dalam ANRI (MVO) Memorie Van Overgave van de Onderafdeeling Bagansiapiapi; 30

agustus 1934 Hal 36. Laporan dari Controleur Boudewijn van duuren.
429
MVO van Bagansiapiapi, 1938. Hal 1-2
265

agama katholik.430 Adapun Kisah Biarawati yang bertugas di Bagansiapiapi 431 hingga
era perang Dunia II, dimana kelompok warga Eropa Bagansiapiapi di internir Jepang
di Kamp Padang, Bangkinang dan Sumatra Timur, dapat menjelaskan situasi orang
Eropa Bagansiapiapi pasca Kapitulasi Belanda kepada Jepang Tanggal 8 Maret 1942.432
Untuk kehidupan keagamaan Orang Melayu, dalam hal ini Agama Islam, sejak
diterbitkannya Baboel Kawaid tahun 1901, Sultan mendorong penerapan Islam
diseluruh kewilayahan Siak, termasuk juga pada sub-sub distrik onderafdeeling
Bagansiapiapi. Hal yang menyolok adalah, kuatnya perkembangan tarekat yang
terkonsentrasi di distrik Bagansiapiapi lebih dari distrik-distrik lainnya dalam wilayah
kesultanan Siak;433 bahwa Bagansiapiapi saat itu sebagaimana terdapat sebuah berita
tentang pendirian Mesjid di Brastagi yang ternyata didukung oleh komunitas Islam
yang berada di Bagansiapiapi.434 Hal ini adalah salah satu realita tentang terjalinnya
suatu jejaring hubungan antara komunitas muslim di kawasan pantai timur Sumatra
termasuk Onderafdeeling Bagansiapiapi; bahwa masa sebelumnya, kelompok Tarekat
yang berkembang menjelang akhir abad ke-19, sejumlah khalifah yang berasal dari
Tanah Putih dan Kubu telah dilantik dari Kelompok Tarekat Naqsabandi yang terletak
di Besilam Langkat.435
Bahwa sekolah China sebagai sekolah China-Belanda, yang didanai oleh pemerintah
kolonial, akan tetapi tidak dapat diakses oleh penduduk pribumi; selain juga
sebagaimana telah disampaikan, model pendidikan membuat banyak generasi muda
China tidak mengerti selain etnisnya sendiri. Selain itu, di Bagansiapiapi menunjukkan
keterlibatan penuh Eropa dalam “kesuksesan” sekolah itu; sesuatu yang tidak
dilakukan terhadap kalangan pribumi. Dan ini, tentu menjadi salah satu penyebab
terjadinya penekanan perbedaan etnis antara China dan Indonesia. Selain itu,

430
End & Weitjens, 2003: 448-449, dilihat dalam Laporan “Penelusuran Arkeologi dan Sejarah
Bagansiapiapi, Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau”, oleh Tim Balai Arkeologi Medan,
Universitas Sumatra Utara dan Akademi Pariwisata Medan: Lucas Partanda Koestoro,
Taufiqqurahman Setiawan, Suprayitno, Fitriaty Harahap, Ratna & Rita Margaretha Setianingsih,
(tanpa tahun).
431
Seperti kisah dalam “Verlag Van Het Eerste Jaar Dat de Zusters op Sumatra werkten, dalam
Sumber Online;
432 Seperti kisah berikut: Zuster Margaretha werkte vanaf 1928 tot aan de oorlog in
Bagansiapiapi in het tegenwordige bisdom Padang,…… Dalam “Abstracts Van Interviews met
Missionarissen”: Pijnappels,C.M, dalam Sumber Online.
433
Amir Luthfi dalam “Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam
dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942,” tahun 1991.
434 Dilihat dalam Daniel Peret, (Terjemahan)Kolonialisme dan Etnisitas, Batak dan Melayu di

Sumatra Timur Laut, Judul asli: La Formation d’un Paysage Ethnique: Batak & malais de
SumatraNord-Est, Paris 1995, Edisi terjemahan Cetakan pertama Tahun 2010, hal.236
435
Dilihat dalam Buku Sejarah “Syekh Abdul Wahab: Tuan Guru Babussalam”, H.Ahmad Fuad
Said, Penerbit Pustaka Babussalam, Cetakan ke-2 Tahun 1976, hal.119-120. Tarekat Naqsabandi
ini benar-benar dikembangkan di wilayah kesultanan Siak pada sekitar tahun 1912, Amir Luthfi,
1991.
266

tumbuh dan berkembangnya keorganisasian Islam di Bagansiapiapi, juga merupakan


tanda penguatan simbol-simbol yang berbeda antara pribumi dan China di sana,
ataupun keberadaan organisasi China di Bagan tidak dapat menjadi katalisator
integrasi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya.436 Dengan demikian,
bahwa kesemua itu menunjukkan tertanamnya benih-benih yang
mempertajam konfigurasi sosial berlatar etnis di Bagan Api Api.
Akan tetapi, sebagaimana telah disampaikan, etnis China sendiri bukanlah kelompok
yang homogen; dimana terdapat perbedaan budaya yang besar dan dialek yang
berbeda, sebagai situasi umum saat tiba di Hindia Belanda. Perbedaan dalam
masyarakat Tionghoa ini, kemudian diperkuat dengan munculnya perbedaan yang
berasal dari totok (imigran Cina di koloni) dan Peranakan (keturunan campuran).
Menjelang keruntuhan dinasti Qing di China Daratan, pemerintahannya meminta
bantuan orang-orang China di Hindia Belanda, dan kemudian Undang-undang yang
disahkan pada tahun 1909 menyatakan bahwa semua etnis China adalah warga China.
Runtuhnya dinasti lama berganti dengan republik ditahun 1911; meraih banyak
dukungan dan simpati dikalangan China di Hindia Belanda, dengan demikian, harapan
pembauran antara kelompok pribumi nasionalis dengan orang-orang China, semakin
menjauh saja. Jika terjadi masuknya seorang dari kelompok etnis China kedalam
organisasi pergerakan nasionalis, maka biasanya akan diterima dengan status yang
tidak penuh, dan ini, nampaknya berkaitan dengan konsep bangsa yang terkait dengan
apa yang disebut Belanda sebagai “Inlanders” atau pribumi.437 Tidak terintegrasinya
orang China dengan pribumi ini, menurut Hatta, pasca pendudukan Jepang, orang
China tetap memiliki posisi ekonomi lebih tinggi daripada orang-orang Indonesia pada
umumnya, salah satu faktor bagi suburnya sentimen anti China pada masa revolusi. 438

436
Bahwa terdapat suatu organisasi China dimana keanggotaannya harus melalui pengucapan
sumpah menurut adat dan kepercayaan China, sehingga dipandang oleh kerapatan di Bagan
telah melanggar adat kesultanan Siak; sebagai suatu ancaman terhadap identitas Melayu, orang
Melayu yang masuk menjadi anggota organisasi ini, dipandang telah melanggar adat, Amir Luthfi,
1991.
437
Anderson, 1991, jelas saja, Belanda menempatkan pribumi dalam strata terendah masyarakat
Hindia Belanda.
438 “Pihak Jepang… telah memanfaatkan warga China sebagai alat. Memang benar bahwa

masyarakat China sendiri telah mengalami banyak kesulitan dalam posisi mereka sebagai alat
Jepang, namun demikian, mereka tetap mampu mempertahankan posisi ekonomi mereka untuk
tetap diatas. Karena alasan inilah masih dijumpai sebentuk perasaan tidak suka terhadap
masyarakat China. Suatu perasaan yang cenderung menguat. Sering kita dengar orang
mengeluh, orang China selalu punya kedudukan yang bagus. Dizaman kolonial Belanda mereka
diatas. Ketika Jepang berkuasa, mereka masih tetap diatas. Jika Jepang menang, mereka akan
dilindungi pemerintah Nanking, jika sekutu yang menang mereka akan dilindungi pemerintah
Chunking, inilah bentuk-bentuk perasaan yang terungkap dari masyarakat Indonesia pada
umumnya. Perasaan ini pula yang seringkali membangkitkan rasa permusuhan yang berujung
kerusuhan antara masyarakat Indonesia dengan China.” Hatta pada dalam Twang Peck Yang,
166-7.
267

Jika pada masa sebelumnya, dominasi ekonomi dikuasai oleh peranakan, maka masa
pendudukan Jepang menunjukkan pertumbuhan kaum totok mengejar posisi
peranakan yang dominan pada masa sebelumnya.439
Akan tetapi, nampaknya hak-hak istimewa ekonomi China bukan satu-satunya
alasan untuk tumbuhnya sentimen anti-China dari orang Indonesia. Politisasi
kelompok-kelompok etnis menyebabkan ketegangan yang meningkat antara
kelompok-kelompok ini.
Pentingnya melihat betapa terhalangnya “pembauran” antara orang China dan
pribumi dalam rentang periode kolonial, bukan sebagai sebuah sikap-kebijakan
Belanda semata, melainkan juga pilihan-pilihan baik sadar ataupun tidak yang
dilakukan oleh orang-orang China, terutama terkait dengan hal-hal politis.440 Seperti
yang terjadi di Jawa, dimana kolonialisme telah menyebabkan surutnya prestise elit
pribumi dan menaikkan kelompok China ke lapisan penting dalam struktur masyarakat
Hindia, sehingga, orang-orang China menjadi tidak tertarik untuk berpihak kepada
pribumi. Sementara itu meluasnya kekuasaan Belanda di wilayah pantai timur
termasuk Siak dimana berlokasinya Bagansiapiapi, dan serangkaian proses
menyebabkan merosotnya prestise penguasa Melayu dan menguatnya posisi China di
Bagansiapiapi; penguasaan pengelolaan sumber daya sebagai daya dorong keatas;
akan mengukuhkan jejaring orang-orang China disepanjang pantai timur dan juga
Semenanjung. Bermula sebagai pemegang pacht(hak sewa), kekuatan ekonomi
menempatkan kemudahan dalam jalinan hubungan tradisional dan orientasi yang
tidak melibatkan pribumi. Pada tahun 1928, Orang China mendirikan sebuah
organisasi sebagai wadah pergerakan, Chung Hua Hui; yang dimana dimotori oleh
kelompok peranakan dan tidak melibatkan totok. Arah dari institusi ini menjadi jelas
dengan digunakannya bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Bahwa satu
dekade setelah pendirian sekolah Belanda China, Belanda kembali menawarkan status
kewargaan (kekawulaan) yang jumlahnya terus meningkat. Disebut-sebut pendirian
Chung Hua Hui telah berhasil memecah masyarakat China yang semula sangat
berorientasi negeri leluhur, sebahagian berpindah kepada Belanda; memisahkan
sekelompok elit dari kelompoknya yang lebih besar. Anti tesa dari kondisi ini adalah
seperti pada tahun 1932, Partai Tionghoa Indonesia didirikan. Jika sebelumnya Chung
Hua Hui merupakan lembaga ekslusif yang semakin melebarkan jurang keterpisahan
dengan pribumi, pendirian Partai oleh peranakan China ini, bertujuan untuk
mereformasi Indonesia secara ekonomi, sosial dan politik di negara di mana setiap
orang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Partai Tionghoa Indonesia yakin bahwa
China harus dimasukkan dalam masyarakat Indonesia, tetapi, populasi ini bisa
sekaligus berpegang pada budayanya sendiri. 441 Meskipun upaya dari pihak China
peranakan untuk memberikan kekuatan etnis bagi perjuangan Indonesia, diyakini saat

439 Hal ini merupakan inti dari tesis Peck Yang.


440 Muaja, The Chinese problem in Indonesia, Jakarta, 1958, dalam Coppel, 1983, hal.37.
441
Suryadinata, indegenous Indonesia, 64, 74-77.
268

itu kalangan Indonesia tidak siap menerima peranakan China sebagai warga negara
penuh Indonesia.442
Sayangnya, politisasi etnis ini, tidak mendorong asimilasi penduduk China
kedalam masyarakat Indonesia, tetapi sebaliknya, semakin memperkuat saja
perbedaan etnis itu.
Batas-batas yang dibangun antara kelompok etnis bisa saja menyebabkan masalah
sosial. Ketika kelompok etnis diletakkan berlawanan satu sama lain, maka dapat
menyebabkan bentrokan. Para penguasa kolonial di Hindia Belanda menggunakan
pluralitas masyarakat untuk mengkonsolidasikan posisi mereka. Sebagaimana telah
disampaikan, kebijakan terhadap timur asing dan penduduk pribumi di bidang-bidang
tertentu seperti hak-hak perdagangan, yurisdiksi, pendidikan, segregasi pemukiman,
menghasilkan kelompok-kelompok yang terpisah muncul terpisah antar satu dengan
lainnya. Perbedaan di bidang ekonomi, dibentuk oleh pemerintah kolonial melalui
kebijakan dua sistemnya. Dua entitas ini sendiri pada dasarnya berbeda, terciptanya
konflik etnis, tercermin dalam setiap pergolakan terhadap kebijakan kolonial oleh
masyarakat Indonesia, maka penduduk Cina sering menjadi korban. Tegangnya
hubungan antara orang Indonesia dan China sebagai kelompok etnis, selama
perjuangan kemerdekaan terefleksi dalam kerusuhan besar; seperti di Tangerang dan
Bagansiapiapi. Orang China, selama era pendudukan Jepang dan transisi ke awal
Revolusi Indonesia, batas kelompok etnis China berubah dari dominasi peranakan
menuju pada dominasi kaum totok, sehingga varian China China dengan posisi yang
berbeda dari sebelumnya. Selain itu, menguatnya nasionalisme China, meningkatnya
aspirasi rakyat Indonesia untuk kemerdekaan, dan masa peralihan pasca perang dunia
II, menjadi alasan dalam hal ini. China di Asia Tenggara dijelaskan oleh banyak ahli
sebagai minoritas perdagangan, minoritas perantara atau borjuasi bisnis. Di daerah
padat penduduk seperti Jawa, China terutama terlibat dalam perdagangan,
sedangkan di daerah dengan kepadatan penduduk rendah, seperti di Sumatera Timur,
mereka berperan sebagai nelayan, petani atau bahkan pekerja tambang.
Akan tetapi, apapun status dan peranannya, orang China sering dilihat oleh
orang Indonesia sebagai penduduk kaya.
Posisi ekonomi China itu adalah akibat langsung dari kebijakan kolonial Belanda
dengan beberapa posisi monopoli dikalangan China. DI Bagansiapiapi, pengelolaan
pacht bagi pengupayaan sumber daya muara perikanan, terbatas pada kalangan China
dan tidak melibatkan Melayu. Selama rentang kekuasaan Belanda, pribumi dipaksa
untuk menjadi penonton pasif dan stigma pun dilekatkan kepada mereka sebagai
justifikasi situasi ini. Dengan diberlakukannya politik etis, telah merubah posisi China
dalam batas tertentu. Monopoli ditarik oleh penguasa kolonial dalam upaya untuk
meningkatkan kesejahteraan penduduk setempat. Memang telah terjadi

442Para ahli cenderung melihat macetnya hubungan antara Indonesia dan China, terutama
dimasa revolusi, yang memiliki akar permasalahan yang panjang.
269

peningkatan persaingan dari pertumbuhan pedagang pribumi Islam seperti di wilayah


kesultanan Siak. Akan tetapi, secara umum tidak merubah pada posisi ekonomi antar
kelompok di Hindia, terutama dikewedanaan Bagansiapiapi. Dalam bulan-bulan
sebelum pecahnya Perang Dunia II, fasilitas ekonomi Belanda dibawa menjauh dari
kota-kota besar ke pedesaan dan kota-kota kecil karena takut invasi dari Jepang.
Banyak orang China mengikuti contoh dari Belanda. Beberapa yang dari pengusaha
China yang dipaksa oleh Belanda untuk eksodus sehingga Belanda mampu
melaksanakan taktik bumi hangus. Disisi lain, warga China melarikan diri karena takut
menjadi korban Jepang, sebab negara China kala itu tengah berperang dengan Jepang.
Ketika Jepang menyerbu Indonesia Maret 1942 pecah kerusuhan besar dan
kekacauan. gudang dan pabrik Belanda dijarah, China menjadi korban penjarahan
yang telah meluas. Baik di kota maupun di pedalaman adalah kekacauan, akan tetapi,
sikap keras Jepang dapat menekan kerusuhan itu dalam relative singkat saja.
Pendudukan Jepang dari tahun 1942 sampai '45 menyebabkan perubahan besar bagi
para pengusaha China. Tujuan Jepang untuk menduduki Indonesia adalah ingin
menjadikan tempat eksploitasi untuk bahan baku dan ekspor produk jadi.
Perekonomian Indonesia pun berubah menjadi perekonomian perang di tangan
tentara Jepang. Situasi Ini dibentuk dengan mengorbankan pengusaha China yang
memiliki posisi ekonomi yang kuat untuk pendudukan. Sebagian besar harta mereka
disita oleh pemerintah Jepang. Banyak China peranakan berpendidikan diberi posisi
di pemerintahan Jepang dan berkolaborasi dengan pasukan pendudukan untuk
memimpin perusahaan-perusahaan Belanda yang ditinggalkan. Sementara China
pemilik perusahaan besar menderita kerugian besar selama pendudukan Jepang,
terutama juga berkaitan dengan taktik bumi hangus Belanda dan aksi-aksi kerusuhan
yang mengambil keuntungan dari suatu situasi chaos. Selama pendudukan, Jepang
ingin meningkatkan hubungan perdagangan antara daerah luar yang berbeda. Ini
mereka ingin mencapai dengan mendirikan kumiami, serikat subjek khusus yang
semua perusahaan, diwajibkan untuk bergabung. Hal ini membuat Jepang bisa dengan
mudah secara bersamaan memberikan pengaruh atas mayoritas perusahaan
Indonesia. Meskipun demikian, era perang nampaknya masih memungkinkan bagi
kapal-kapal untuk berdagang di sekitar Indonesia, yang berdagang menggunakan
perahu kecil dan tumbuh secara eksplosif: perdagangan selundupan pun menjadi
sangat populer. Bentuk baru dari perdagangan yang terdiri dari pedagang independen
dan keliling yang dikenal dengan danbangke, disebutkan bahwa penyelundupan
melayang bebas dan berdagang dalam skala yang sangat kecil. Perdagangan selundup
berlangsung baik di darat dan laut; dan skala kecil sebagai kharakteristik perdagangan,
ini berarti bahwa perdagangan selundup bisa didorong tanpa pengaruh langsung dari
Jepang. Skala kecil perdagangan ini, oleh penjajah tidak dianggap sebagai ancaman
langsung. Dengan demikian, bentuk selundupan tumbuh pesat selama pendudukan
dan penting selama awal revolusi Indonesia.443

443
Twang Peck Yang, hal.111-122.
270

Selama periode revolusi, perdagangan penyelundup memastikan fungsinya


sebagai salah satu pemasok republik, baik orang Indonesia maupun China,
pemuda-pemuda dan kelompok militan lainnya, tetapi bentuk penyelundupan
ini juga telah memberikan kontribusi terhadap sikap independen dari orang-
orang China.
Kelompok etnis ini memiliki peran utama dalam perdagangan penyelundup dan
dengan demikian mendapatkan posisi yang menguntungkan selama pendudukan
Jepang dan revolusi awal. Pengaruh pendudukan Jepang itu tidak hanya di bidang
ekonomi, melainkan juga memberikan pengaruh besar terhadap konfigurasi sosial.
Selama pendudukan Jepang semua partai politik sebelum perang dilarang. Para
pemimpin dipenjara, atau bekerja sama dengan penjajah atau bergerak dibawah
tanah. Bahkan sebelum perang, hanya sebagian kecil dari aktifis politik China sebagai
pendukung gerakan nasionalis Indonesia. Chung Hwa Hui, partai politik terbesar dari
Peranakan, berdiri di samping; dan hanya tertarik pada kepentingan rakyat China.
Beberapa nasionalis China melihat mereka sebagai sesama pejuang melawan
kolonialisme, tapi pada akhirnya, hanya Partai Tionghoa Indonesia yang sepenuhnya
bergabung dengan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Efek akhir dari perang dan
pendudukan adalah bahwa semua etnis Tionghoa menjadi lebih sadar akan identitas
mereka sendiri, sehingga semakin jelas saja perbedaan antara Peranakan dan totok.
Akan tetapi, pada tanggal 15 Oktober 1945, Cong Hoa Tsung Hui (Federasi Asosiasi
Cina) didirikan dengan tujuan untuk menyatukan semua organisasi Tionghoa di bawah
satu organisasi. Dapat dikatakan, organisasi ini adalah wakil dari sikap orang China
dalam revolusi Indonesia awal. Sebagaimana telah disampaikan; menguatnya
nasionalisme China, meningkatnya aspirasi rakyat Indonesia untuk kemerdekaan,
masa peralihan pasca perang dunia II, menjadi alasan bagi terbentuknya sikap netral;
yang bahkan, di Bagansiapiapi sikap ini menjadi salah satu poin yang harus dipatuhi
oleh orang-orang China masa perundingan perdamaian. 444 Dengan demikian, terasa
logis bila tokoh-tokoh China, berada dalam posisi netral selama perjuangan
kemerdekaan; yang sering digambarkan sebagai sikap “Tunggu-dan-lihat.”
Sikap pragmatis dari orang-orang China ini, menyebabkan sentimen anti-
China yang kuat dikalangan republik yang dipandang sebagai salah satu
penyebab pecahnya aksi kekerasan terhadap orang China di tahun 1946.
Sikap pragmatis, dapat juga dipandang sebagai sikap keragu-raguan; dan orang
Indonesia akan memandang sikap keragu-raguan ini sebagai sikap pro Belanda. Bahwa
pada akhir Perang Dunia II, Tiongkok diberikan status sebagai salah satu dari the Big
Five(Lima Besar); lima anggota tetap dewan keamanan PBB. SItuasi ini, tentunya
membangkitkan kebanggaan tertentu terhadap kalangan China Indonesia, terutama
dikalangan pendatang belakangan. Selain itu, kemenangan kaum komunis di
Tiongkok pada tahun 1949 menambah satu lagi dimensi yang memperkukuh tingkat
politisasi dikalangan China Indonesia; terpecah antara yang menyokong Kuo Mintang

444
BA Mukhtar, 1946, poin ke-6.
271

dan RRC.445 Pengakuan dan hubungan diplomatik antara Indonesia dan RRC pada
tahun 1950, tentu menguntungkan kelompok pro RRC dan sekaligus merugikan
kelompok pro Kuo Min Tang; bahwa, orang-orang China di Bagansiapiapi, yang selalu
berada dalam pengawasan Belanda terutama menyangkut dengan dinamika politik di
China daratan, pasca revolusi phisik terpolarisasi dalam dua kutub besar itu. Laporan
tahun 1950, memuat ketegangan dua kelompok China ini di Bagansiapiapi yang
meskipun tidak berujung pada kontak phisik, namun informasi bantuan
“segerombolan orang bersenjata” (sekitar dua puluh orang) dari Bagan menuju “Sei
Bakau” cukup memberikan suasana mencekam dan menegangkan dikalangan aparat
saat itu.446 persoalan ini semakin kompleks ketika pecahnya pemberontakan PRRI
dimana China nasionalis ternyata memberikan dukungan terhadap gerakan ini.
Bagaimanapun juga, organisasi Cong Hoa Tsung Hui ini, terbukti efektif dalam upaya
pendamaian konflik di Bagan, bahwa meredanya aksi-aksi kekerasan orang China
menjelang kedatangan tim pendamai itu, diakui sebagai hasil keterlibatan Cong Hoa
Tsung Hui.

Taktik bumi hangus oleh Belanda menjelang kedatangan balatentara Jepang


di Pantai Timur Sumatra

445 Coppel, 1983, hal.54-55.


446Surat Djaksa Agung kepada Mahkamah Agung Indonesia bertanggal 13 Desember 1950;
koleksi ANRI.
272

Ketegangan dan Konflik di Bagansiapiapi


Sebagaimana diketahui, penghentian mendadak dari pendudukan Jepang pada
tanggal 15 Agustus 1945 menyebabkan banyaknya kerusuhan politik. Proklamasi
dikumandangkan, akan tetapi, Belanda menganggap bahwa menyerahnya Jepang
berarti ini adalah kekosongan kekuasaan yang akan mengembalikan dominasinya
seperti sebelum Jepang tiba. Bulan-bulan pertama setelah Jepang menyerah
merupakan situasi yang sangat keras, terutama disebabkan oleh begitu
bersemangatnya pasukan republik. Akan tetapi, perjuangan Indonesia itu, tidak
hanya dengan tentara resmi, Tentara Rakyat Indonesia (TRI), akan tetapi juga oleh
kelompok-kelompok pemuda yang berbeda, milisi dan pasukan perjuangan yang
memproklamirkan dirinya. Kelompok-kelompok ini sering terlibat dan mengambil
inisiatif dalam perjuangan kemerdekaan dan terfokus secara khusus terhadap China,
terutama oleh orang-orang yang mengaku tidak punya tempat di era republik
Indonesia merdeka. Pada awalnya tampak kekerasan anti-China yang disebabkan oleh
perbedaan ekonomi, dan ini tentu bernuansa kelas. Akan tetapi, fakta yang berlaku
bahwa tidak hanya terhadap kaum totok, melainkan juga meliputi juga peranakan
sebagai kelahiran lokal yang terkena kekerasan. Kekerasan itu tidak hanya didasarkan
pada perbedaan kekayaan, tetapi juga berdimensi ras. Sebagai reaksi terhadap
kekerasan anti-Cina di periode setelah Jepang menyerah, didirikan Komite China untuk
menjaga ketertiban umum pada tanggal 13 Desember 1945. Komite ini dibiayai oleh
swasta dan mempekerjakan penjaga keamanan China atau Indonesia untuk menjamin
ketertiban. Jika dirasa perlu, maka panitia akan membayar “geng lokal” ketika dirasa
terdapat ancaman bagi orang-orang China. Cara organisasi-organisasi keamanan yang
berbeda muncul selama periode ini. Pada bulan-bulan pertama tahun 1946 didirikan
organisasi keamanan pertama di Medan yang disebut Po An Tui. 447 Organisasi ini
didukung oleh Konsul China dan pada bulan Maret 1946 penguasa Inggris
menunjukkan dukungan dengan memberikan senjata kepada pasukan keamanan
China. Para anggota korps keamanan ini layaknya militer terlatih, mengenakan
seragam tentara nasional China dan memiliki senapan, pistol otomatis, revolver,
granat, pisau dan bahkan beberapa senapan mesin. Selama 1946 ada beberapa
bentrokan antara Po An Tui dan pasukan Republik. Takut terjadinya aksi kekerasan
terhadap China, membuat beberapa divisi dari Po An Tui bisa bertahan sampai akhir
tahun 1947. Pada bulan Agustus 1947, komite sentral dari Po An Tui mendirikan
markas di Jakarta; seragam, senjata dan amunisinya disediakan oleh Belanda.
Masyarakat China membayar sendiri untuk barang yang dikirimkan guna menekankan
bahwa mereka independen. Namun, pasokan senjata ke korps keamanan China oleh
Belanda, tidaklah sepenuh hati. Belanda memberikan secukup saja senjata untuk
mempersenjatai sepertiga dari anggota terdaftar dari korps, karena mereka hanya

447 Pao An Tui adalah organisasi perlindungan Cina kohesif. Sebuah Pasukan Keamanan Cina di
Belanda Pendudukan Indonesia, 1945-1948.
273

perlu senjata selama layanan mereka, dan Belanda yakin bahwa hanya sepertiga dari
pasukan keamanan yang bertugas di setiap momen sebagai orang-orang China yang
berkelanjutan untuk jangka waktu yang signifikan. Meskipun beberapa kelompok
telah melakukan beberapa upaya; membentuk sebuah komunitas kohesif dan kuat
dengan bantuan partai politik dan organisasi ekonomi, kelompok keamanan seperti
Pao An Tui, akhirnya dikalahkan di masa Revolusi Indonesia. Bahwa penyelundupan
yang dilakukan orang-orang China, memainkan peran penting dalam perkembangan
setelah perang. Terdapat sekelompok besar China yang mendominasi perdagangan
penyelundupan antara Indonesia dan semenanjung. 448 Selama periode revolusi,
orang-orang China menyelundupkan berbagai produk dari Singapura; dan
Bagansiapiapi dengan cepat membangun pertukaran mata uang setelah perang. Hal
yang mencolok adalah adanya manfaat bagi republik; sejumlah senjata yang telah
dibawa oleh penyelundup begitu besarnya dan bahwa pihak berwenang tidak dapat
melacak asal-usul senjata. Setelah Perang Dunia II, Inggris adalah pihak yang
bertanggung jawab atas ketertiban dan perdamaian di Indonesia. Dalam upaya untuk
mencegah pembentukan kekosongan kekuasaan dan kurangnya tenaga kerja mereka
mengenakan penegakan hukum itu kepada tentara Jepang yang ditempatkan di
Sumatra.449 Akan tetapi, hal ini dilihat sebagai solusi sementara.
Pada bulan-bulan pertama tahun 1946 dimulai dengan penarikan Inggris dan evakuasi
pasukan Jepang dan Inggris dari Indonesia. Tentara republik, yang didirikan pada
bulan Oktober 1945, menyatukan kekuatan Indonesia yang independen dan
membentuk pasukan terorganisir untuk Republik. Beberapa anggota tentara Republik
memiliki pengalaman selama pendudukan Jepang dan juga dari Belanda dilatih untuk
menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL). TRI dikembangkan selama bulan-bulan
pertama tahun 1946 untuk kekuatan sejati di Sumatera. Ada beberapa kamp
pelatihan untuk tentara dan angkatan laut didirikan di Sumatera. Salah satu cabang
dari ALRI, angkatan laut TRI, terletak di Tanjung Balai, sebuah kota pelabuhan sebelah
utara dari Bagansiapiapi. Seperti halnya di Medan dengan Po An Tui, maka di
Bagansiapiapi, korps keamanan China yang serupa pun didirikan, tapi itu tidak berada
di bawah pengawasan dan kebijakan Belanda seperti di Medan. Korps keamanan di
Bagan terutama terdiri dari anggota China dari masyarakat, memiliki senjata sendiri
dari penyelundupan di Singapura untuk membela diri terhadap kekerasan revolusi.
Pada bulan Februari, pasukan Inggris dan Belanda menduduki Bangka, sebuah pulau
timur dari Palembang. Tentu aja ini menciptakan suasana tegang di Palembang. TRI
menduga akan terjadi invasi dan pertahanan kota itu pun diperkuat.450 Di berbagai
tempat di Sumatera dimulai persiapan pasukan TRI untuk mengusir invasi Belanda.
Sementara di Bagansiapiapi, pada bulan Februari 1946 berada dalam penguasaan TRI.
TRI memiliki sekitar 300 orang tentara bersenjata dengan sekitar 100 pucuk senapan

448
Peck Yang menduga, bahwa telah dilakukan penyelundupan senjata dan amunisi yang
sebagaimana dimiliki orang China di Bagan yang tampak dalam insiden September 1946.
449 Reid, 1979.
450
OB III: 556. Ramco, Ramco Raben, hal.23.
274

dan tiga senapan mesin. Mereka memeriksa kapal-kapal yang memasuki pelabuhan
dan menjaga keamanan dan ketertiban di kota Bagan. Akan tetapi, nampaknya
suasana antara pasukan Republik dan penduduk China sangat tegang. Komisaris polisi
Riau di Sumatera, P.A. van der Poel, pada Juni 1946 melaporkan suasana tegang antara
TRI dan China di bulan Februari. Ketengangan ini dipicu kesenjangan yang cukup tinggi
tentang arti proklamasi republik; bahwa penaikan bendera Kuo Min Tang dan tidak
dikibarkannya bendera Indonesia. Peristiwa serupa, sebagai insiden bendera di Hotel
Yamato Surabaya 1945, merupakan contoh betapa persoalan ini merupakan hal
mendasar dalam sebuah revolusi. Akan tetapi, disisi lain, Belanda menganggap bahwa
meningkatnya ketegangan itu disebabkan konflik kepentingan antara keinginan rakyat
China yang memiliki tempat untuk kembalinya Belanda(?).451 digambarkan terjadinya
beberapa bentrokan kecil dalam laporan bulan Februari dari polisi Bagan, beberapa
bentrokan antara orang Indonesia dan China. Situasi ini diperuncing dengan
melintasnya pesawat terbang di atas kota dan melemparkan kertas keluar, Belanda
meyakini bahwa China melihatnya sebagai tanda bahwa pendudukan oleh pasukan
Belanda atau sekutu sudah dekat(?). Hal ini ditandai dengan sikap yang lebih kuat
terhadap tentara Republik. Ketegangan antara China dan pasukan TRI Bagan
memunculkan konflik yang meletus 12 Maret 1946. Selama peringatan Sun Yat-sen,
presiden pertama Republik China, orang-orang China di Bagan menolak perintah dari
TRI untuk menaikkan bendera merah putih disamping bendera China. Ketika TRI
memutuskan untuk menurunkan bendera, orang-orang China pun protes. Situasi ini
berakhir dengan terbunuhnya letnan CHina, Lu Ching Po, ketika ia mencoba untuk
menenangkan situasi sehingga pecah pertempuran sengit.452 Jelas saja,
Sejak insiden bendera 12 Maret 1946, dapat dikatakan bahwa hubungan
antara TRI dan orang-orang China Bagan menjadi semakin menegang saja.
Komite Nasional Indonesia di Bagan meminta TRI di Tanjung Balai untuk memperkuat
dan juga menambah persediaan makanan tambahan, karena mereka untuk yang
terakhir ini masih tergantung pada penduduk China. Sementara orang China di Bagan
adalah mayoritas, dan memiliki akses untuk memiliki berbagai senjata. Menurut
kepala urusan politik di Kantor Gubernur Sumatra, Kepala Komandan-Amacab,453 J.J.
van de Velde, bahwa apa yang telah terjadi di Bagan pada bulan Maret 1946,
sebenarnya telah menciptakan situasi yang menguntungkan bagi pendaratan tentara
Belanda disana. Bahkan lebih jauh, hal ini dapat dipandang mampu mengembalikan
dominasi Belanda atas Sumatra, akan tetapi, kurangnya pasukan menjadikan hal itu
belum mungkin dilaksanakan.454 Bahwa kemudian segalanya ditetapkan oleh kepala
polisi Indonesia dan perjanjian dibuat mengarah ke perdamaian bersenjata.

451
E-Hana, NEFIS dan CMI, 2.10.62, inv 758. DB IV.dalam Ramco Raben, hal.23.
452 Bagaimana pecahnya pertempuran ini, lihat Sudarno Mahyudin,
453
Kepala Komandan-AMACAB menjabat gubernur selama perjuangan kemerdekaan di
Indonesia. CCO AMACAB diadakan tugas militer dan sipil setelah NICA berganti nama akhir
Oktober 1940 Sekutu Militer Urusan Sipil Administrasi Cabang.Lihat Ramco Raben, hal.24.
454
E-Hana, NEFIS dan CMI, 2.10.62, inv 758.Ramco Raben, hal.24.
275

Penolakan China untuk menaikkan bendera merah putih bersama bendera China,
dilihat oleh Belanda sebagai penyebab langsung dari konflik, dan harus disebutkan
sebagai akar penyebab dari hubungan yang tegang dari suasana anti-Republik dan
sikap China. Representasi dari Republik Pekanbaru membuat beberapa konsesi untuk
suatu upaya damai. TRI menarik diri dari kota dan diizinkan untuk masuk lagi. Terjadi
gencatan senjata dan korps keamanan China pun dibekukan. Akan tetapi, jurang
konflik telah muncul dan hidup diantara TRI dan orang China Bagan.455 Selama masa
gencatan senjata ini, di bulan-bulan berikutnya hubungan antara TRI dan China
semakin menegang saja. Terdengar khabar bahwa pihak TRI akan menduduki Bagan
sebagaimana telah dikuasainya Panipahan. 456 Pertempuran di Bagansiapiapi pun
pecah tanggal 18 September 1946 setelah orang-orang China menolak perintah dari
pasukan TRI untuk menyerahkan senjata. Pada hari pertama dari pertempuran,
korban paling banyak berjatuhan di pihak China; gabungan TRI dan polisi di Bagan
dengan ALRI, menyebabkan banyak kerugian pada pihak China. Akan tetapi, segera
orang-orang China mampu untuk berkumpul kembali dan membentuk sebuah front
defensif terhadap serangan dari TRI. Setelah pertempuran sengit yang berlangsung
dua hari, orang-orang republik harus menarik diri dengan kerugian dan jatuhnya
korban tidak saja dari kalangan tentara yang gugur dihari kedua, melainkan juga
penduduk sipil Indonesia.457 Kemudian kota dikuasai oleh China. Takut akan tibanya
aksi pembalasan, dikirim kembali pesan ke markas Sekutu di Batavia di mana mereka
meminta dukungan militer; akan tetapi, satu-satunya aksi sebagai reaksi dari Sekutu
adalah pamflet yang berserakan di sekitar Bagan yang meminta pihak-pihak yang
bertikai dalam konflik itu menahan diri.458 Keterangan yang diperoleh dari pengungsi
China, bahwa pasukan ALRI mundur ke Panipahan setelah terdesak keluar dari Bagan;
sebelumnya, pemukim China di Panipahan itu sudah melarikan diri dari sana. Kota ini
kemudian benar-benar dibakar oleh kaum republik.459 Oleh Residen Riau, ditugaskan
delegasi China-Indonesia menuju Bagan guna menyelidiki peristiwa yang terjadi dan
untuk membawa kesepakatan antara para pihak yang bertikai. Pada tanggal 27
September, delegasi mencapai wilayah ini dan pada tanggal 11 Oktober delegasi
mampu menyimpulkan gencatan senjata. Sebuah komite gabungan dibentuk di Bagan
yang disusun oleh kerjasama dari kedua belah pihak. Penduduk China Bagan yang

455
(OB V: 452, 453).Ramco Raben, hal.25.
456
Oficiele Bescheiden Betreffende de Nederlansch-Indonesische Betrekkingen, van der Wal,
vijfde deel, 16 Juli – 28 Oktober 1946, hal.464-5. Tentara ALRI yang berasal dari Sumatra Utara
itu, dikenal dengan Tentara Janggut atau Jambang.
457 BA Mukhtar, 14 November 1946.
458
E-Hana, Nefis dan CMI, 2.10.62, inv 637. Ramco Raben, hal.26.
459 Sumber Belanda menyebutkan, setelah di Panipahan, pasukan pergi ke Kubu dan ada

mendatangkan pembantaian di kalangan penduduk Cina. semua ini terjadi antara 24 dan 30
September, dengan 280 korban. Akan tetapi, laporan Tim Pendamai BA Mokhtar menyebutkan
bahwa populasi China di Kubu, diamankan oleh pejabat setempat, sehingga tidak terjadi korban
jiwa sebagaimana diberitakan oleh Belanda.
276

telah kehilangan harapan, mereka pun akhirnya menerima suatu pemerintahan


gabungan antara orang Indonesia dan China.

Siapa yang diuntungkan?


Tentu Saja Belanda yang Menunggu ditikungan
Nampaknya, penduduk China Bagan memiliki alasan sendiri untuk mempersenjatai
dirinya. Argumen yang muncul tentu adalah rasa takut orang China ini untuk konflik
dengan TRI, telah memaksa mereka untuk membela diri. Bahwa tidak seperti di
banyak tempat lainnya dimana pemukim China merupakan kantong-kantong
minoritas, di Bagan, situasinya jauh berbeda. Disini mereka mengisi posisi mayoritas,
hidup sekitar 15.000 Cina vs 4.000 Indonesia. Bahwa orang-orang China,
mengharapkan perlindungan dari Republik China pasca Perang Dunia II dengan
kedudukannya sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Akan tetapi, itu terbukti
mengecewakan bagi orang China di Indonesia. Akhirnya, orang China terutama di
Bagansiapiapi melihat pada kekuatan dirinya sendiri sebagai solusi satu-satunya jalan
untuk melindungi diri mereka. Hal ini menyebabkan, seperti di Medan pada bulan
Februari 1946 didirikan Pao An Tui; korps keamanan China. 460 Korps keamanan China
ini bagai militer terlatih dan memiliki sumber daya untuk melindungi orang-orang
China. Akan tetapi juga,
Po An Tui dikatakan sebagai salah satu kelompok yang ikut andil dalam
memburuknya hubungan antar etnis;
Po An Tui Medan, kemudian dibubarkan di bulan Maret 1948, akan tetapi, bukan
disebabkan faktor yang merugikan hubungan antar etnis, melainkan semakin
terkonsolidasikannya kekuatan Belanda disana.461 Di Bagan, korps keamanan China
serupa didirikan untuk melindungi orang-orang China. Pada 12 Maret 1946
menunjukkan bahwa korps keamanan setempat memiliki senjata dan pasukan untuk
memproteksi diri sendiri terhadap aksi kekerasan. Pada tahun 1946, setelah pecahnya
konflik antara China dan republik, Republik China memprotes penganiayaan warga
China selama revolusi Indonesia, Inggris sendiri, juga melihat ke Belanda, akan tetapi,
sikap ini dihentikan oleh Belanda dengan menunjukkan bahwa mereka tidak punya
kendali atas segala kekacauan dan bahwa para korban yang telah jatuh seperti di
Tangerang, bukanlah warga negara China. Berita tentang dukungan dari negara China
seperti rumor pengiriman kapal perang, ternyata tidak pernah terbukti, 462 membuat
hilangnya harapan untuk perlindungan dan dukungan dari negara China itu. Dalam

460 Heidhues, Etnic Chines, 125-128.Ramco Raben, hal.28.


461
Twang Peck Yang, hal.192.
462 Sebagaimana dilansir The Strait Times, 13 Oktober 1946, “FU PO Not To Go To Api Api, bahwa

kapal perang itu tetap bersandar di Singapura dan tidak memperoleh perintah dari Nanking untuk
menuju Bagansiapiapi.
277

konteks seperti ini, sebagaimana telah disampaikan, dapat saja dikatakan bahwa
orang China melihat diri mereka terpaksa untuk mengangkat senjata guna melawan
pasukan Republik yang telah menduduki Bagansiapiapi; juga sebagai hasil sikap
nasionalis China yang berlebihan itu. Ini dapat dijelaskan atas dasar fakta bahwa telah
terbentuknya komunitas totok di Bagan sebagai hasil periode waktu yang panjang.
Komunitas totok yang otonom ini, merasa sedikit mirip dengan penduduk Indonesia;
bahkan, bisa saja dianggap “pribumi” Bagan. Sejak kedatangannya di Bagan pada akhir
abad ke-19, sekelompok masyarakat kecil China ini masuk ke dalam ruang kontak
dengan masyarakat Melayu, terutama dalam hubungan ekonomi yang pada awalnya
diatur dalam kewenangan tradisional. Akan tetapi, selama periode kolonial Belanda,
masing-masing komunitas ini mulai dipisahkan terutama berkaitan dengan penguatan
sistem pemasukan bagi kas Hindia. Belanda terus saja “menyapih” China di Bagan
terpisah dari penduduk asli disekitar Bagan. Hal yang serupa juga berlaku selama
periode pendudukan Jepang. Seperti Belanda, Jepang juga mengakomodir orang-
orang China, menyangkut juga tradisi dan bahasa; disamping memanfaatkan
sekelompok China bagi kepentingan perdagangan Jepang masa itu. Selama
perjuangan kemerdekaan, jelas saja bahwa kaum nasionalis Indonesia mengharapkan
orang-orang China-lah yang akan beradaptasi dengan Republik yang baru merdeka:
Indonesia. Sayangnya, orang China di Bagan menolak, seperti pada insiden bendera
tanggal 12 Maret 1946 bahwa orang-orang China bertepatan dengan peringatan Sun
Yat Sen; mereka mengibarkan bendera China, akan tetapi tanpa adanya bendera
Merah Putih, protes pemuda dan TRI tidak diindahkan, maka pecahnya konflik
bersenjata antara kaum republik dan orang China pun tidak terelakkan.

“De vrije pers: ochtendbulletin,” 6 Januari 1949; pers kolonial yang melaporkan situasi kota
Bagan pada saat aksi militer Belanda kesana.
278

Masyarakat China di Bagan adalah totok yang terdiri dari etnis China yang merasa
lebih kuat terkait dengan asal, budaya dan tradisi China. Dengan diproklamasikannya
kemerdekaan, tentu mereka harus menyesuaikan diri dibawah pemerintahan
republik. Meskipun terdapat peluang bagi Belanda untuk masuk ditengah kalutnya
perang Bagan, akan tetapi, Belanda, bagaimanapun, tidak cukup siap untuk
menaklukkan pantai timur Sumatera yang berada ditangan republik. Bahkan,
kebijakan Belanda sendiri atas Bagansiapiapi tidak begitu jelas. Hasilnya, pada
September 1946, China kembali memilih untuk mengangkat senjata berhadap-
hadapan dengan TRI dan ALRI setelah mereka menolak perintah dari TRI untuk
menyerahkan senjata; dengan alasan senjata itu digunakan saat mereka melaut guna
melindungi diri dari kemungkinan serangan bajak laut. 463 Seiring berlalunya waktu,
nampaknya semakin banyak saja orang China kehilangan harapan dari periode transisi
revolusi; harapan saat Jepang takluk kepada Sekutu. Pasca peristiwa September,
terjadi kekosongan kekuasaan di Bagan, maka melalui gencatan senjata yang
ditandatangani pada 11 Oktober: dimana sebelumnya tanggal 2 Oktober, delegasi
China-Indonesia tiba di Bagan dari Bengkalis, dan juga tanggal 6 Oktober tiba tim
pendamai dari Pematang Siantar; untuk bertindak sebagai mediator antara kedua
belah pihak. China di Bagan yang dituliskan BA Mukhtar sebagai tidak mudah patuh,
akhirnya menyetujui pembentukan sebuah pemerintahan yang dikendalikan oleh
Badan Keamanan yang anggotanya mewakili orang-orang Indonesia dan juga China. 464
Badan keamanan ini, memiliki alat untuk menjaga keamanan dan ketertiban;
kepolisian, dengan proporsi anggota sejumlah 60 : 60 untuk masing-masing orang
Indonesia dan China.
Konflik 18-19 September sebagai sebuah konflik politik, dibantah oleh Tim
Pendamai Bagan. Bahwa ketegangan antara China dan Indonesia yang
meledak pada tahun 1946 di Bagan, lebih bernuansa rasial ketimbang
beradunya kekuatan antar negara Indonesia dan China.
Jelas saja, negara China tidak memiliki kepentingan politik dalam kekalutan rasial di
Bagan, meski pada awalnya, berita yang didengar sepihak, cukup untuk memberikan
dasar bagi sikap pengiriman kapal perang yang ternyata tidak pernah dikirimkannya
itu ke Bagan. Yang jelas, pihak konsulat China, memiliki kepentingan dengan
keselamatan orang-orang China di Indonesia. Konflik yang terjadi, berupaya di block
untuk tidak meluas kesegenap wilayah lainnya di Indonesia dan sesegera mungkin
diselesaikan dalam upaya-upaya damai; sebagai persoalan sendiri sebagaimana
dinyatakan pemimpin China di Bagan dan juga merupakan segenap sikap yang
dikeluarkan oleh pihak konsulat China. Selain itu, ketua tim pendamai, BA Mukhtar,
mengatakan bahwa saat mereka tiba di Bagan, mereka disambut oleh kibaran sang
merah putih dan bendera Tiongkok, yang semakin mempertegas keyakinannya bahwa

463Sin Po, 30 September 1946.


464 BA Mukhtar, Verslag laporan Tim Pendamai Persengkataan Bagansiapiapi, 14 November
1946.
279

konflik ini, bukanlah konflik politik sebagaimana diklaim oleh Belanda; juga, tulisan ini
membantah apa yang diyakini oleh Ramco Raben yang cenderung melihat konflik
“perang Bagan” sebagai suatu wujud keberpihakan orang China kepada Belanda. 465
Jika sebaliknya, tentu saja tawaran Belanda berupa obat-obatan, makanan dan
senjata, tidak akan ditolak oleh pimpinan China Bagansiapiapi. 466 Dituliskan oleh BA
Mukhtar, Ketua Tim Pendamai Bagansiapiapi:
“Persengketaan ini (18-19 September 1946) hanya pergaduhan segolongan
penduduk bangsa Tionghoa dengan golongan penduduk bangsa Indonesia.
Sekali-kali tidak ada bersangkut paut dengan dasar cita-cita Negara Republik
Indonesia dan dasar Republik Tiongkok..”
Dalam laporannya itu, BA Mukhtar memperkuat argumentasinya dimana saat
berlangsungnya perundingan perdamaian, diterima surat dari Consulate Generaal of
the Republic China di Singapura bertanggal 1 Oktober 1946 yang wujudnya
penghargaan atas usaha-usaha rombongan pendamai Bagansiapiapi dan
mengharuskan supaya Indonesia – Tionghoa akan sama-sama menyadari sebagai
bangsa yang sudah lama mempunyai perhubungan rapat untuk bersama-sama
mencari kemakmuran bersama dimasa yang akan datang. Sikap negara Tiongkok ini,
dapat dipahami bahkan pada masa Hindia, ketika orang-orang China merasa tidak
puas dengan undang-undang kekawulaan yang mewajibkan wajib militer bagi orang-
orang China, dilakukan kampanye menentang undang-undang ini, akan tetapi tidak
berhasil, disebabkan negara China menghargai perjanjian konselir tahun 1911 yang
menyatakan bahwa selama orang China yang lahir Hindia Belanda dan masih
bertempat tinggal di Hindia Belanda, mereka wajib tunduk kepada hukum Belanda.467
Ketika Hindia Belanda tamat dan digantikan oleh Republik Indonesia, maka sangat
logis konsulat China di Singapura menuliskan surat semacam itu. Sementara itu
Belanda, sebagaimana era dahulu yang selalu berupaya mengambil keuntungan dari
situasi serupa ini. Ketika agresi militer digelar, segera tampak bentangan kampanye
Belanda sebagai “sang pembebas Bagansiapiapi;” seperti dilansir sebuah surat kabar:
“gerakan militer dimaksudkan untuk membebaskan rakyat yang sedang
menderita.” 468
Bahwa pemberitaan secara gencar dimana daerah yang baru diduduki Belanda,
menderita kelaparan dan kehadiran Belanda dikatakan akan membawa Bagansiapiapi
kembali kepada kehidupan normalnya. Sebuah gambar, masyarakat-pasar, yang
diambil pada tahun 1948 ini, mungkin dapat memberikan sebuah gambaran betapa
sebenarnya kampanye tersebut dilakukan disana. Bahwa gambar berikut dan
sejumlah lainnya menunjukkan betapa masyarakat dapat melakukan kegiatan

465 Raben, De Strijd Rondom Bagan Si Api Api, 2015.


466
Lihat Suara Rakjat Republik Indonesia, 19 Oktober 1946; Bagan Si Api Api diselesaikan;
467 Suryadinata, 2002, hal.29.
468 Pelita Rakjat, 22 Desember 1948, “Hasil Gerakan Pembersihan: Madjoe Teroes dengan tidak

ada perlawanan jang dahsjat.”


280

perekonomian, seperti jual-beli di pasar dengan tenang sebagai dampak


“pembebasan” yang dilakukan oleh “aksi polisionil” Belanda di Bagansiapiapi.

Bevrijding van Bagan Siapi-api (Sumatra). De bevolking kon weer onmiddellijk na aankomst van
de Nederlandse troepen op de pasar de dagelijkse inkopen doen. Tanggal 21 december 1948,
lokasi Bagansiapiapi, Indonesia, koleksi “Nationaal Archief;” 2.24.04.01, 4327.
281

Tentara Belanda di Bagansiapiapi Masa Agresi Militer 1948. Sumber: KITLV


282

Patroli Belanda menangkap salah satu kapal penyelundup diperairan Bagan.


1948, “Nationaal Archief;”
283
284

10
Reorientasi Identitas

Periodesasi Anak Bumi:


Dari Era Candi Sampai Kewedanaan
Melalui rekonstruksi ruang perekonomian, diketahui bahwa keberlangsungan
perdagangan semenjak periode awal terutama digiatkan dengan memanfaatkan arah
angin. Sementara di pantai timur, perdagangan Selat telah menarik berbagai entitas
dalam sebuah paradigma perdagangan yang semula didominasi kerajaan besar,
semisal Sriwijaya, Pagaruyung dan kemudian Melaka. Kompetisi dalam
memperebutkan pengaruh sentral di selat, menyebabkan perang berabad antara
kekuatan Johor-Melaka di Semenanjung dan Aceh diujung barat Sumatra, turut
mempengaruhi dan membentuk keunikan lanskap disepanjang pantai timur, hingga
akhirnya, dominasi semenanjung dipatahkan oleh kemunculan tokoh legendaris: Raja
Kecil sebagai pendiri Siak. Jauh sebelum kemunculan tokoh pendiri Siak ini, telah
muncul sebaran lanskap disepanjang aliran sungai Rokan, mulai dari pedalaman
hingga pesisir. Kejayaan lanskap Rokan, kemudian Pekaitan dimuara Rokan sebagai
Negara Laut Air Tawar, nampaknya beriring dengan kejayaan Melaka, hingga akhirnya
Portugis menghancurkannya, dan menyisakan sebaran politi-politi, yang selalu berada
dalam bayang-bayang kekuatan agresor yang datang dari arah lautan. Periode abad
ke-17 dan awal abad ke-18, merupakan masa hegemoni Johor hingga tibanya Raja
Kecil di pesisir Rokan, menggalang dukungan sebagai salah satu basis kekuatannya
untuk menginvasi Johor. Dominasi nampaknya terus berlanjut hingga masa Said Ali,
yang menaklukkan sejumlah besar lanskap di pantai timur terutama dengan kekuatan
senjata; termasuk juga Tanah Putih, Kubu dan Bangko. Cucunya, Sultan Ismail,
melakukan kesepakatan dengan Belanda, dimana wilayah pesisir Rokan itu dibakukan
menjadi bahagian dependensi Siak di tahun 1858. Dalam konteks seperti itu, Ankie
MM.Hogvelt469 menyoroti maksud kolonialisme barat yang ingin memanfaatkan
struktur kekuasaan tradisional dalam penegakan hukum kolonial, ketertiban,
terutama bagi kelancaran pengumpulan pajak, ternyata telah menimbulkan
deformasi struktur tradisional.470 Bahwa kondisi ini disebabkan terjadinya

469 Ankie MM Hogvielt, hal.184-187.


470
Hijman van Anrooij, hal.389-390.
285

kesalahpemahaman penjajah atas fungsi dan peranan para pemimpin tradisional itu.
Pada lanskap dipesisir sungai Rokan, maka, kita dapat melihat hal serupa sebelum
Belanda benar-benar menerapkan hukum kapitalis-kolonial berdampingan dengan
struktur feodal tradisional. Penempatan kewilayahan kenegerian hanya sebatas
subdistrik, digambarkan sebagai sebuah upaya mereduksi kekuasaan tradisional yang
tersebar merata disegenap kenegerian; suatu bentuk administrasi pemerintahan yang
menguntungkan Belanda, bahwa Hindia dapat dengan mudah mengendalikan
“negeri” melalui kepala distrik, subdistrik, dan para kepala kampung. Masuknya
Belanda dalam upaya pengembangan ekonomi komersil yang dilakukan besar-
besaran, atau upaya pengalihan pengumpulan pajak-bea, akan menempatkan struktur
tradisional bagai antek-antek penjajah saja. Menguatnya barat dalam setiap transaksi
kontrak, menyebabkan semakin tergantungnya tatanan tradisional terhadap
sandarannya itu. Kekuasaan yang berawal mandiri, menjelang berakhirnya Hindia
terlihat semakin tidak memiliki kekuasaan nyata di masyarakat, terutama dengan
dihilang-paksanya kekuasaan para pejabat tradisional dalam pengumpulan hasil
sumber daya. Belanda menyadari ini, bahwa, penduduk asli suatu negeri dibuktikan
dengan kepemilikan komunal atas akses terhadap sumber daya yang berada dibawah
kekuasaan Sultan. Belanda sendiri pula yang menyatakan, bahwa suku negeri yang
tidak memiliki akses sumber daya, sebagai bukan asli, melainkan newcomers yang
datang belakangan. Tentu, keterikatan tradisional antara suku dan penguasaan akses
sumber daya merupakan nafas dan inti dari struktur komunal tradisional di Tanah
Putih, Kubu dan Bangko; yang telah lama beralih dari pemerintahan “Yang dipertuan”
masa pra-Siak. Setelah melalui serangkaian tuduhan pemerasan dengan sewenang-
wenang dan kekacauan lanskap,471 penjajah menghapuskan hak-hak itu secara
bertahap; dimulai dari kontrak 23 Juni 1884, reorganisasi 1915/16, hingga
penghapusan pancung alas tahun 1929. Jika dicermati perjalanan kesejarahan tiga
kenegerian ini, maka, sebenarnya lanskap memiliki beban ganda; berkaitan dengan
kewilayahan tradisional, lainnya kepada Belanda. Beban pertama menyangkut status
negeri yang dikatakan bukan eigenlijk Siak, bukan asli Siak, atau sebagai bukan wilayah
inti, melainkan dependensi. Predikat ini, tentunya bukan tanpa konsekuensi;
sebagaimana telah disampaikan, penetrasi kerajaan induk terhadap dependensi salah
satunya pada level kepala suku. Pengangkatan kepala suku oleh kerajaan induk
menyebabkan komunitas telah kehilangan hak komunal tradisionalnya, berganti
dengan semacam jabatan yang dimiliki oleh privilege raja pusat. Sebagaimana telah
kita lihat, betapa lanskap yang berada dibawah kekuasaan kerajaan induk,
berlangsung beberapa kebijakan yang telah melemahkan kepemimpinan kepala suku;
penggantian yang didahului pemecatan terhadap kepala sebelumnya. Pemecatan ini,
bagaimanapun juga membuat malu kepala suku didepan komunitasnya. Selain itu,
kepala suku yang baru juga akan memiliki ketergantungan besar kepada yang
mengangkatnya, yang tidak pernah dialami oleh para pendahulu sebelum dirinya.

471 Boudewijen van Duuren, 1934, hal.9.


286

Perubahan makna tradisional kepemimpinan kepala suku, berarti melemahkan ikatan


solidaritas pengikutnya. Dalam jangka panjang, jelas saja berpengaruh terhadap
tatanan kekuasaan tradisional dalam skala yang lebih luas. Mengapa terjadi
demikian? Dapat dijelaskan bahwa, sebelum penguasaan wilayah berlangsung dalam
lingkup distrik, atau bahkan regional, maka keberlangsungan solidaritas sosial dari
komunitas, terutama berlangsung dibawah daulat kepala suku yang dipilih oleh
anggota komunitas yang senior atau para tetua, dari garis keturunan yang terpenting
atau yang berkaitan dengan kelompok-kelompok keturunan. Kepala suku yang
terpilih, akan memimpin komunitas untuk sepanjang hidupnya, yang bahkan dapat
diturunkan sepanjang bersesuaian dengan adat pusaka. Selain itu, sebagaimana
Sultan membawahi datuk negeri, dan datuk negeri terhadap tongkat, hinduk dan
kepala suku; sultan, membagi habis seluruh masyarakat negeri dalam suku-suku,
dimana hamba sultan menjadi pertanggungan kepala suku sebagai “anak boewah”
atau anggota suku. Meskipun demikian, terdapat Kewenangan langsung sultan
terhadap hamba, seperti dalam suatu penyelenggaraan persidangan oleh kepala suku
terhadap anak boeah, dan jika sultan mendengar ketidakadilan, ia dapat langsung
memerintahkan persidangan ulang, atau membawanya kepada kerapatan atau
kepada kebijakannya sendiri. Pola ini, benar-benar menempatkan kepala suku tidak
berdaya ketika keadaan berlaku sebaliknya. Apakah kepala suku mampu melindungi
anggotanya dari kesewenang-wenangan sultan? Bahkan, kepala suku tidak mampu
melindungi dirinya sendiri, seperti dari pemecatan sepihak. Beban berikutnya,
penjajahan Belanda. Dengan politik diskriminasi, baik dalam perekonomian maupun
sosial, menempatkan kenegerian yang terbawa dalam euforia pertumbuhan, anak
bumi menjadi pasif dalam lingkungan ambiguitas kolonialisme. Kondisi ini, juga
diperparah dengan stigma ketidakmampuan dan ketidakberdayaan yang dilekatkan
oleh penjajah,472 menambah sisi kelam dalam ekspoitasi suatu bangsa terhadap
bangsa lainnya. Bahwa peralihan tatanan tradisional asli Melayu Rokan kedalam
bentuk-bentuk dibawah kesultanan Siak dan terakhir kolonialisme Belanda, membawa
lanskap pada tingkat ketergantungan yang tinggi pada tatanan induknya; tidak hanya
tatanan politik, bahkan pada tatanan sosiobudaya masyarakat lanskap.
Ketika kemerdekaan diproklamasikan dan kerajaan induk pun melebur
kedalam republik, maka, tatanan tradisional, mulai dari datuk kenegerian dan
segenap orang besar dan kepala suku, termasuk yang turut melebur kedalam
tatanan baru itu.
Perubahan, selalu menjatuhkan beberapa dan menaikkan pula beberapa yang lain.
Yang mampu bertahan, adalah pihak yang dapat dengan segera melakukan tindakan
penyesuaian terhadap situasi-situasi baru; memilih dan menguasai peran dalam
tatanan sosial baru untuk memulai perjuangan baru. Tidak saja berlaku dalam bidang
perekonomian, juga politik. Dalam bidang politik, alam demokrasi pada masa

472 Salah satunya sebagaimana laporan Boudewijen van Duuren, 1934.


287

Republik tidak mendukung pranata feodal itu. Mungkin saja, pranata ini terutama
menyangkut keterkaitannya dengan kekuasaan politik, dapat menghilang sesuai
dengan semangat baru di alam kemerdekaan. Akan tetapi, aktor pelaku sosial, dapat
mempertahankan eksistensinya dalam leburan republik, terutama orde lama yang
masih diwarnai euphoria kemerdekaan. Meskipun demikian, sebagaimana
disampaikan ternyata perubahan iklim politik tidak berarti mengikis habis nilai-nilai
tradisional; sebagaimana pranata suku hingga kini masih dapat ditemui di eks lanskap
kuno Tanah Putih, wujud kukuh terpeliharanya tradisi para tetua di bahagian hulu
sungai Rokan eks kewedanaan. Situasi ini, menunjukkan kemandirian dalam
menghadapi tekanan-tekanan Belanda terutama masa reorganisasi pemerintahan
1915/16. Belanda menyebutkan terdapat lanskap yang bertahan dalam kukuhnya
tradisi, terutama pada wilayah Tanah Putih yang dihuni oleh orang-orang Tambusai
dan disekitarnya itu; bahkan reorganisasi pada awalnya tidak dapat secara signifikan
mengurangi pengaruh Penghulu yang juga masih melampaui wilayah teritorial
mereka, terutama poetjoek Penghoeloe utama yang masih memberlakukan gelar
Datuk. Akan tetapi, tekanan-tekanan dari reorganisasi 1915/16 itu, bagaimanapun
juga, pranata ini akhirnya bertransformasi menjadi kepala kampung dan berada dalam
kerapatan dibawah distrik setelah penyerahan pancong alas tahun 1929.473
Selanjutnya, berkaitan dengan migrasi orang-orang China di Bagansiapiapi,
sebagaimana telah disampaikan meningkat pesat pada gelombang kedua yang
bersamaan dengan perkembangan industri perikanan; perkembangan ini, paralel
dengan kebijakan dualisme ekonomi yang diterapkan penjajah. Pendudukan
balatentara Jepang memang menghentikan diskrimanasi ekonomi dan sosial ini, akan
tetapi, tidak berarti benar-benar telah menghentikannya. Saat ini di Bagansiapiapi,
secara khusus kita dapat menemukan dimensi keruangan kota yang bercorak
segregasi seperti yang lazim terjadi pada masa lampau. Bahwa peralihan dari era
kolonial menuju republik, dimulai dari orde lama, orde baru, dan kemudian reformasi,
tidak merubah tampilan wajah dari kota tua ini. Sebagaimana telah diketahui,
meskipun pemukiman di Bagansiapiapi dahulu didominasi oleh orang-orang China dan
Belanda, akan tetapi sebagai bahagian dari wilayah tradisional Siak, maka dipastikan
bahwa
Bagansiapiapi menjadi ruang pertemuan bagi tiga entitas; Melayu, China dan
Eropa; menjadikan Bagansiapiapi tidak saja tersegmentasikan menurut pola
pelapisan sosial berdasarkan ekonomi, melainkan juga kultural.
Orang China dengan kepemilikan dibidang industri perikanan dan perdagangannya,
sementara pribumi melayu dengan kegiatan tradisional; nelayan, pengumpulan hasil
hutan, perladangan dan juga perdagangan; terutama disokong oleh kebijakan Siak
dalam hak pengelolaan hasil-hasil bumi, terutama dipedalaman. Bagansiapiapi,
memang menjadikan penangkapan ikan sebagai penghasilan utamanya, akan tetapi,
tidak pula dapat dihambat menghulunya orang-orang China dalam upaya panglong

473
Baalbargen, MVO Bagansiapiapi 1931, hal.41.
288

kayu, perkebunan terutama karet, dalam skala yang tidak pernah dimiliki oleh orang
pribumi sebelumnya. Arus kegiatan ekonomi alternative dari perikanan ini,
menempatkan orang-orang China hingga berdampingan dengan pribumi
dipedalaman, menambah riuhnya kegiatan di muara yang masih didominasi orang-
orang China. Anak bumi, nampaknya memposisikan dirinya dalam perekonomian yang
juga ditopang oleh kekayaan alam pesisir; mangrove. Turut sertanya Melayu dalam
penyediaan kayu, rotan hingga atap, menumbuhkan industri atap-nipah hingga dalam
batas-batas tertentu, mengalami kemandegan. Kondisi ini, sebenarnya lebih layak
dilihat pada keterbatasan sumber daya pekerja, dan kondisi kewilayahan hutan
mangrove yang masih dikuasai antar klan secara tradisional, akan tetapi, penjajah
lebih suka untuk melihatnya sebagai suatu kondisi dari ketiadaannya spirit
kewirausahaan anak bumi. Meskipun demikian, situasi gemerlapnya industri ini,
ditengarai telah memicu mulai berdatangannya Melayu menuju kota pesisir ini guna
terlibat dalam jejaring konsumsi kolektif kota.474 Konsumsi kolektif kota dalam
konteks ini, adalah relung yang terkondisikan oleh riuhnya perekonomian industri
perikanan di Bagansiapiapi yang diyakini, memiliki sebaran jejaring ekonomi yang
tidak mampu jika hanya dipegang oleh orang-orang China saja. Meskipun demikian
dipercaya, pokok-pokok, sumbu-sumbu utama, masih terpolarisasi mengikuti
pemukim awal itu. Dengan demikian, pada periode ini, tidak mengherankan bahwa
Bagansiapiapi yang mulai bertransformasi menjadi “metropol,” masih berkharakter
“naga” yang mungkin akan dianggap berlebihan ketika dikatakan bahwa aromanya
tercium bahkan sebelum pengamat Eropa yang berkunjung menjejakkan kakinya
dipelabuhan.
Bahwa persoalan yang mengemuka dalam rentang perkembangan kota hingga empat
dasawarsa diawal abad ke-20, dimana terdapat indikasi yang menunjukkan
ketidakpaduan struktur sosial yang mengisi ruang Bagansiapiapi; terutama yang
dilatari etnis. 475 Akan tetapi, diyakini bahwa persoalan tidaklah hanya kepada hal itu
semata yang dipercaya hanyalah sebagai tampilan puncak gunung es, melainkan hasil
dari perjalanan keruangan perekonomian Hindia yang timpang beriringan dengan
feodalisme Pribumi dan perekonomian tradisionalnya.476 Puncak-puncak interaksi
antar entitas akan berlangsung di relung-relung kota sebagai pusat pemerintahan dan
perekonomian; dan untuk Bagansiapiapi sebagai sebuah kota pesisir, dipastikan akan
lebih dinamis dibandingkan dengan kawasan lain yang bercorak tradisional. Hingga
dasawarsa pertama abad ke-20, Bagansiapiapi dikenal dengan kejayaannya sebagai

474 Melayu, meskipun berupaya dalam tatanan tradisional, akan tetapi secara berkala
mengirimkan surplus ekonominya pada jejaring perdagangan di kota, baik yang akan memenuhi
perdagangan ekspor maupun lokal, seperti pada pasar. Konsep Konsumsi Kolektif Kota ini, untuk
penjelasan lebih mendalam, lihat Hans Dieter Evers, 1986.
475 Kondisi ini terutama dari catatan para pengamat, wisatawan ataupun pejabat Belanda yang

berada di Bagansiapiapi hingga tahun 1940.


476
Kita akan kembali melihat terminologi Boeke, bagaimana dualisme perekonomian kolonial.
289

penghasil ikan terpenting di Hindia Belanda, bahkan di dunia setelah Norwegia. 477
Dengan dukungan ekologi-selain tentunya faktor teknis; sumber daya alam muara
yang kaya akan fish fauna, menyebabkan lompatan besar produksi ekspor ikan ke
Jawa, Malaya, Vietnam, Thailand bahkan China. Bertitik-tolak dari kondisi sumber
daya alam, kebijakan kolonial, modal, sumber daya manusia dan teknologi; maka
dapat dikatakan bahwa Bagansiapiapi saat itu adalah tempat yang sibuk dan makmur,
dan karena itu juga merupakan sumber pendapatan yang penting bagi Pemerintah
Kolonial Belanda. Seperti pendapatan pada tahun 1923 yang mencapai f205.354,- dari
bea masuk, dan pendapatan sebesar f1.264.328,- dari monopoli opium, impor yang
sebagian besar dari Singapura.478 Diimajinasikan bahwa perkembangan
perekonomian yang begitu pesatnya, terwujud dalam meluasnya secara cepat pula
perkembangan institusi pelayanan pemerintah; peningkatan fasilitas perkotaan dan
pertambahan penduduk, yang kesemuanya mencirikan urbanisasi dalam kurun dua
dasawarsa saja. Akan tetapi, kejayaan ini ternyata dibayang-bayangi pula oleh gejala
perubahan alam; pendangkalan muara;
yang juga ditengarai sebagai akibat perilaku penangkapan ikan yang cenderung tidak
terkendali, meskipun pihak pemerintah kolonial mengklaim telah berupaya
melakukan serangkaian kebijakan untuk meredam dan membatasi produksi yang
cenderung tidak ramah lingkungan. Akan tetapi, sang waktu membuktikan bahwa
perubahan ekologi merupakan phenomena yang tidak terelakkan dan terus saja
menggerogoti industri. Penumpukan lumpur diantara ratusan jermal dan ambai di
muara, telah merubah peta wilayah penangkapan ikan menjadi semakin jauh di lepas
pantai, dan ini berarti pendangkalan yang menghebat sebagai konsekuensi
penimbunan lumpur yang terus berlangsung mengiringi arus pasang surut muara.
Pada awalnya, klaim perubahan – pendangkalan sempat kabur dan tidak jelas sebagai
akibat dari penolakan atas phenomena alam ini, bahwa penurunan produksi
tangkapan ikan, lebih dominan dilihat dari kebijakan pacht garam yang berdampak
pada berkurangnya impor garam sebagai bahan utama dalam proses produksi ikan
kering di Bagansiapiapi, meski diakui juga, bahwa kontrolir yang bertugas disana telah
menyampaikan kekuatirannya akan penimbunan lumpur dan pendangkalan yang
menyebabkan jermal, ditinggalkan pemiliknya untuk berpindah ketempat yang lebih
dalam dan ini juga berarti, semakin menjauh saja dari garis pantai. Phenomena
penurunan yang dikenal sebagai “achteruitgang” ini, telah terbukti menyebabkan
pelaku industri; ribuan nelayan dan pedagang China eksodus dari Bagansiapiapi pada
masa penurunan pertama (1910-1915), dan tentunya, kondisi fluktuatif industri akan
selalu diikuti perubahan perilaku dari para pelaku industri tersebut. Gerak sejarah
industri perikanan Bagansiapiapi, diklaim Pemerintah Belanda benar-benar menjadi

477 Dilihat dalam Indische Varslag 1931, Tekst Van Het Verslag Van Bestuur En Staat Van
Nederland-Indie Over Het Jaar 1930: Gedrukt Ter Algemeene Landsdrukkerij – 1931/1932’s :
disebutkan bahwa Bagansiapiapi adalah penghasil ikan terbesar kedua di dunia sesudah
Norwegia;
478
Vleming, 1924.
290

tidak berdaya pada masa pasca perang, dimana pelabuhan terpenting Bagansiapiapi,
tidak lagi menjadi tempat bersandarnya kapal-kapal yang sebelumnya bebas berlabuh,
dan menghilangnya sejumlah bangliau sebagai sentra proses produk. Bahwa
kemerosotan produksi ini, nampaknya benar-benar mengikuti perubahan peta
penangkapan ikan yang didominasi jermal dan ambai. Tidak cukup berhenti disini,
bahwa pukulan depresi ekonomi 1930, telah menyebabkan naiknya harga garam,
tingginya biaya pengiriman, sehingga menyebabkan kenaikan harga ikan dipasaran
Jawa. Pengaruhnya di Jawa, maka penduduk setempat cenderung akan membeli ikan
tangkapan nelayan lokal yang tidak terkena kenaikan biaya pengiriman sehingga
menjadi lebih murah.479 Sementara di sentra produksi ekspor seperti di Bagan,
penurunan produksi menjadi jawaban atas depresi itu. Akan tetapi, seperti telah
disampaikan, Kehadiran nelayan cici, merupakan respon logis situasi ini. Teknologi
penangkapan yang berbeda, akan mengkondisikan situasi perekonomian yang
berbeda pula. Berbeda dengan Jermal yang membutuhkan sejumlah besar biaya untuk
bahan kayu, dan juga upah pembuatannya, buruknya perekonomian tentu akan
memutus koneksi dengan para pemasok kebutuhan bahan baku Jermal beserta
pekerjanya. Jermal yang pembuatannya menghabiskan hingga f5000, berbeda jauh
dengan cici yang hanya f200. Tingginya nilai ekonomi Cici, membuatnya menjadi
pilihan yang tepat dan segera menjarangkan penggunaan Jermal. Bahwa dalam dua
tahun saja setelah awal masa depresi ekonomi 1930, jumlah cici menjadi dua kali lipat
Jermal, dan mampu menaikkan produksi ikan kering. Akan tetapi, statistik telah
menunjukkan bahwa selama dekade depresi(1930-1940), produksi dapat dikatakan
mengalami masa stagnan, bahkan cenderung menurun menuju periode tahun 1940.
480 Dan pada era ini, surat kabar mulai memberitakan betapa lumpur dan

pendangkalan, telah mempengaruhi tidak hanya produksi ikan, melainkan juga


mengganggu jalur pelayaran. Sebelum menuju lebih jauh pada situasi perubahan
ekologi yang dirasakan terlalu cepat lompatannya setelah berlangsung selama kurun
ribuan tahun, ada baiknya mencari penjelasannya pada faktor perilaku aktor, individu
sebagai katalisator perubahan ekologi. Bahwa berbicara tentang perubahan ekologi
yang cepat ini, maka kita akan membahas industri dan sifatnya di era penjajahan
Belanda;
keterpisahan dan ketimpangan masyarakat kolonial Hindia di Bagansiapiapi.
Kita tidak dapat mencari penjelasan ini hanya dengan melihat kelompok yang
termarginalkan saja, sebab upaya ini biasanya akan memunculkan prasangka ataupun
“stigma” sebagaimana telah kita temui dari catatan para pengamat Eropa. Semenjak

479Abdul Wahid, Bertahan ditengah Krisis: Komunitas Tionghoa dan Ekonomi Kota Cirebon, pada
masa depresi ekonomi 1930-1940, tahun 2009.
480 Meski ditengarai tahun 1940 ini perikanan berada dalam kondisi stagnan, akan tetapi

dibandingkan dengan kewilayahan lain di pantai timur, Bagan masih tetap dominan; seperti
tampak pada penggunaan garam hingga 18.000 ton, bandingkan dengan wiayah pantai timur
yang membentang dari Bagan hingga Palembang yang keseluruhan penggunaannya hanya
mencapai 1200 ton saja.
291

masa orientalis, ideologi evolusi dari Eropa yang mengedepankan bahwa bangsa barat
lebih unggul, cenderung menempatkan bangsa timur dalam posisi yang berlawanan,
lemah, dan harus dikuasai untuk “memanusiakannya.” Dalam terminologi barat itu
sendiri, seperti Max Weber yang melihat perkembangan peradaban yang “hebat” itu
hanya ada di dunia barat, bukan di timur. sebaliknya, upaya telaah dilakukan terutama
terhadap diri pemerintahan Kolonial itu sendiri, institusi yang melahirkan kebijakan
perekonomian saat itu. Bagansiapiapi sebagai bahagian dari wilayah yang dipenetrasi
kolonialisme Belanda dengan modal-modal asing dan telah merubah struktur
perekonomian dan sosial kawasan menjadi bersifat ganda secara menyeluruh. Bahwa
keberadaan perkebunan ataupun suatu industri, merupakan suatu kesenjangan yang
cukup tinggi antara perusahaan raksasa dengan sistem perekonomian desa-pribumi.
Penanaman modal asing ataupun investasi kolonial biasanya akan memiliki lokus pada
wilayah yang “kosong,” sehingga segala kebutuhan untuk menopang kegiatan
investasi akan berasal atau didatangkan dari luar; Bagansiapiapi, adalah pemukiman
yang didirikan oleh orang China yang kemudian dibakukan oleh pemerintah, dan
bukan berasal dari pemukim “kampung” pibumi sebagai kampung atau desa terdekat;
dimana seperti di Bagansiapiapi, Bagan Punak sebagai “tetangga-terdekat.” Dualisme
perekonomian ini, logis saja melahirkan segregasi ruang kultural di Bagansiapiapi, garis
demarkasi yang begitu tegasnya menjadi khas kolonial yang juga menyumbat
interaksi. Dengan kondisi seperti ini, bagaimana mungkin terjadi integrasi? Meskipun
demikian, terminologi Boeke ini, mungkin agak berbeda untuk kasus di luar Jawa;
bahwa pengembangan ekonomi hanya terbatas pada tempat-tempat tertentu dan
tidak lagi ditujukan pada bahan rempah-rempah, manisan dan perangsang, melainkan
bahan mentah industri, dan juga kaum petani memainkan peranan yang lebih besar
dalam ekspor.481 Yang menjadi fokus disini, bahwa investasi tidak menyentuh
lingkungan sekitar; hanya saja dalam taraf tertentu memberikan pengaruhnya pada
kehidupan tempatan. Struktur perekonomian kapitalis yang dibangun Hindia, salah
satu kakinya akan bertumpu juga diatas struktur perekonomian pribumi yang
tradisional; hidup berdampingan antara investasi asing dengan pribumi, menyerupai
pemisahan antara riuhnya imperialis-kapitalis dengan kearifan tradisi lokal. Selain itu,
dalam implementasi imperialis-kolonial, pemerintah menggunakan struktur foedal
masyarakat pribumi, memanfaatkan lapisan elit peribumi dalam upaya memapankan
eksistensi investasi modal asing. Belanda mengalihkan hak-hak tradisional elit pribumi
atas pengelolaan sumber daya kedalam bentuk-bentuk kontrak; dan ini berarti, terjadi
rasionalisasi tindakan482 dalam pengelolaan sumber daya. Sayangnya, kondisi ini
menjurus pada apa yang sampaikan Weber sebagai “rasionalitas instrumen.” 483
Kontrak memuat hak penggunaan, pengelolaan dari pemilik modal dalam berinvestasi

481 Geertz, dalam Involusi Pertanian, hal.109-111.


482
Rasionalisasi tindakan diartikan bahwa segala tindakan tidak lagi berdasarkan hal-hal yang
berada diluar rasionalitas, seperti magis ataupun hal-hal supranatural dan menggunakan
kalkulasi rasional, lihat Tiryakian, 1992.
483
Rasionalitas Instrument merupakan kharakter masyarakat industri.
292

disuatu lokasi; pemilik modal mengejar profit, dan pemerintah Hindia menunggu
pembayaran pacht, pajak dan bea diujung lainnya. Elit pribumi, yang berabad-abad
bertumpu pada rasionalitas nilai,484 secara perlahan dipaksa bertransformasi pada
struktur perekonomian kolonial. Posisinya sebagai bangsa yang dijajah, menyebabkan
tidak banyak ruang negosiasi dalam pembuatan suatu keputusan, situasi yang juga
berbanding lurus dengan memudarnya rasionalitas nilai atas hak tradisional
penguasaan sumber daya.
Lemahnya kontrol rasionalitas nilai dari elit pribumi atas “rasionalitas
instrumen” industri perikanan kolonial, telah menyebabkan meluasnya
“perlombaan keserakahan” atas ekploitasi sumber daya; menghebatnya
pendangkalan muara adalah buah pahit akibat esploitasi penebangan
kawasan mangrove dan hulu sungai yang berpengaruh pada kesetimbangan
ekologi, dan pada akhirnya berdampak pada surutnya kejayaan industri
perikanan Bagansiapiapi.
Model perekonomian yang dibangun Hindia, sebagaimana telah disampaikan akan
membawa situasi dimana terjadinya polarisasi sosial; antara yang menguasai aset-aset
ekonomi dengan yang tidak, antara kota dengan desa; yang kesemua ini, terkondisikan
dalam hubungan rumit jejaring pelapisan sosial, bahkan etnik dan ras. Sebagaimana
diketahui, kehadiran suatu industri dengan sifatnya yang mekanis, akan memunculkan
beragam strata yang memungkinkan persaingan sengit didalamnya. Di Bagansiapiapi,
ini berarti pertentangan akan terjadi dikalangan komunitas China sebagai pelaku
sentral industri, intensitas konflik yang tinggi akan berlangsung lebih tajam didalam
kotak-kotak yang keberadaannya terpisah dari lingkungan setempat akibat politik
segregasi kolonial; kompetisi penguasaan pacht, sindikasi hingga perseteruan
gangster menjadi bahagian kelam masyarakat industri. Selain itu, massa proletar yang
terbentuk sebagai anak kandung dari industri perikanan, keberadaannya tidak saja
berhadap-hadapan dengan kelompok pemodal, juga terpisah dari kebersahajaan
masyarakat pedesaan disekitarnya. Akan tetapi, tekanan demographi dipastikan akan
mendesakkan pengaruhnya pada tatanan sosial yang tertutup dari luar ini, terutama
dengan lahirnya elite pribumi tersebab urbanisme Bagansiapiapi itu sendiri, dan
meningkatnya migrasi dari pedesaan sebagai akibat tarikan magnet perekonomian
kota. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa masyarakat majemuk sebagaimana
yang ditemui pada ruang-ruang kota kolonial, merupakan hasil kebijakan penjajahan
Belanda yang memisahkan secara tajam antar kelompok-kelompok masyarakat.
Furnival melihat bahwa antar kelompok ini, masing-masing akan cenderung untuk
mempertahankan identitas dan eksistensi beradasarkan alasan-alasan primordial.
Masyarakat jamak dalam definisi ini, akan melihat tatanan masyarakat yang terbentuk
dari identitas yang berbeda, bersama-sama dalam satu ruang dan berdampingan,
namun tidak terintegrasi. Sementara itu, dalam perspektif berbeda akan tetapi
merupakan area konvergesi dari pemikiran Furnivall, Boeke, yang mengemukakan

484
Rasionalitas nilai dikatakan bukan sebagai tipe masyarakat industri, melainkan tradisional.
293

bahwa perekonomian kolonial ditopang oleh perekonomian ganda, mendua, yang


lebih menekankan pada fokus sistem dari tatanan masyarakat: pola yang bertahan
bahkan setelah Belanda angkat kaki dari sana. Sebagaimana yang telah ditampilkan
antropolog Geertz, bahwa
meski perang sudah usai, masyarakat tetap berada dalam kondisi labil, selalu
mencari-cari bentuknya yang baru untuk meninggalkan situasi lama dibawah
tatanan penjajahan. Kelompok-kelompok lama, sub-sistem sub sistem;
cenderung terikat kepada tatanan kulturalnya sendiri. Situasi kekosongan di
ruang kota yang dikatakannya sebagai “kota hampa.” 485
Hingga tahun 1930-an, orang-orang China terus berdatangan memenuhi ruang-ruang
dalam industri perikanan Bagansiapiapi yang juga didorong oleh pemerintah kolonial
guna memenuhi pundi-pundi kas mereka dari pintu pacht dan bea, orang Belanda
yang sibuk dengan pengawasan dan upaya peningkatan produksi yang juga berarti,
pemasukan dari tambang emas kecil, sementara orang-orang Melayu berada
disebaran pemukiman khas Melayu; kampung-kampung ditepian anak-anak sungai;
maupun yang mendiami kantong-kantong ditepian dan diluar keruangan kota,
semakin menguatkan tipe segregasi khas kolonial. Belanda menyadari ini – jika bukan
merekalah yang mengkondisikannya melalui dualisme perekonomian; sementara itu,
mungkin untuk mengimbanginya, ruang integrasi kota dibuka luas dalam parade
perayaan kejayaan penjajah, juga beberapa hubungan ekonomi berlangsung yang
melibatkan pribumi dan China, akan tetapi, pada masa menjelang perang,
keterpaduan ini semu, dan segera saja dapat diseret kedalam kancah kekacauan pada
masa peralihan, revolusi, yang mengakibatkan kerusakan dan jatuhnya korban. Selain
itu, sebagaimana diketahui bahwa pemerintah penjajah mewariskan segregasi atas
masyarakatnya yang begitu ketat hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia
dengan masuknya balatentara Jepang. Stratifikasi sosial tertutup yang mengikat dan
telah mengklasifikasikan kelompok-kelompok secara terpisah dalam keruangan kota,
ataupun wilayah kewedanaan Bagansiapiapi, memuncak dengan pecahnya konflik
ditahun 1946. Meledaknya kerusuhan berdarah yang merefleksikan polarisasi antar
dua entitas ini, mengindikasikan bahwa elemen-elemen dari struktur sosial yang ada
pada saat itu, tidak pernah terintegrasi utuh dalam keruangan Bagansiapiapi.
Kehadiran orang-orang China dalam kurun tujuh puluh tahun, tidak lantas memupuk
keterpaduan; masyarakat tidak pernah terkondisikan dengan kharakter paguyuban,
melainkan hanyalah patembayan semata.486 Struktur, lebih menyerupai sekumpulan
kotak-kotak yang tidak berkaitan, terasing satu sama lain namun bertempat dalam
suatu wadah yang sama. Beberapa hubungan kerja yang terbentuk, tidak menjadi
pola yang bermakna; Interaksi semu, dominan diseluruh perilaku interaksi antar
entitas. Jika pada era awal kehadiran industri membawa pelakunya dalam jumlah

485Geertz, dalam Mojokuto: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, 1963.


486Kenangan suatu diskusi pribadi yang ramah dengan almarhum Bapak Sudarno Mahyudin,
dirumahnya di Bagansiapiapi pada tahun 2004.
294

dominan di ruang kota yang terbatas, maka memasuki tahun 1930-an, situasi berubah
dalam tatanan yang lebih luas dalam lingkup kewedanaan. Komparasi populasi kota
masih didominasi pemukim awal sebagai pelaku industri, akan tetapi, secara
keseluruhan lingkup kewedanaan, penduduk pribumi mengalami peningkatan jumlah
yang signifikan. Tekanan demographi ini, tidak diimbangi dengan kapasitas ruang
dalam industri perikanan, maupun posisi-posisi strategis perekonomian yang telah
mapan dikuasai orang-orang China. Sementara itu, hadirnya industri yang mendunia
disisi lainnya, telah melahirkan sejumlah tatanan baru yang melakukan fungsi
pelayanan, baik pemerintahan maupun industri itu sendiri yang bermuara pada
kepentingan khas penjajah. Belanda, menciptakan elite birokrasi pribumi yang tidak
pernah benar-benar dipercayainya; diyakini, bahwa situasi masyarakat seperti ini
menyuburkan kecurigaan-kecurigaan, prasangka-prasangka, lebih dari pada
kesamaan visi dan tujuan bersama dalam lingkup kota dan kewedanaan. Selain itu,
dinamika orientasi politik warga dan gerakan nasionalis yang tumbuh subur di tahun
1920-an dan diperkuat dengan masa pendudukan Jepang, membuat orang Indonesia
sudah begitu tidak sabarnya untuk segera menggantikan dominasi Belanda yang
begitu ekslusive-nya berkuasa dan memerintah dan menempatkan anak-anak negeri
sebagai warga kelas tiga; sementara Belanda terlalu percaya diri bahwa bangsa yang
dijajahnya akan membela ketika musuh mereka (Jepang) datang menyerang. Meski
begitu, tidak dapat pula diabaikan situasi yang terjadi dalam skala nasional, bahwa
pada era sezaman, konflik serupa yang dialami Bagansiapiapi di tahun 1946, juga
terjadi didaerah lainnya. Periode perubahan dari alam penjajahan menuju masa
kemerdekaan, merupakan masa transisi singkat yang merubah secara radikal tatanan
lama ke baru, dari masyarakat kolonial menuju masyarakat republik; periode singkat
yang ternyata berisi letupan-letupan dari potensi ketegegangan yang telah
terakumulasi dalam kurunisasi Hindia secara simultan. Dan ini menunjukkan, bahwa,
gelombang revolusi 1945 idealnya dapat memecah kebuntuan dari
masyarakat produk kolonial Hindia; masyarakat majemuk yang terpisah,
penuh ketimpangan, dan tidak terintegrasi; tidak hanya di Bagansiapiapi,
melainkan juga di seluruh wilayah mantan Hindia Belanda.
Pasca perang nampaknya benar-benar paralel dengan surutnya industri perikanan
gelombang kedua yang nampaknya kondisi ini tidak pernah berubah kembali hingga
saat terakhir, dan juga turut merubah komposisi pelaku perekonomian Bagansiapiapi
yang semula cenderung bertumpu pada industri perikanan, secara berangsur-angsur
juga pasca perang, mulai didominasi dengan berbagai kegiatan perdangangan,
terutama menuju Semenanjung. Ketika hutan belum benar-benar habis dan
teralihkan menjadi lahan perkebunan, maka masih terdapat sumber daya yang dapat
dimanfaatkan guna memenuhi kebutuhan pembangunan kota Bagansiapiapi dan
perdagangan kayu serta hasil hutan lainnya didunia selat. Kebun-kebun karet masih
mengeluarkan getahnya yang dalam penanganannya akan melibatkan juga anak bumi
disana. Mulai dari produksi, pengangkutan hingga pengiriman, dipastikan melibatkan
anak bumi dalam proses ekonomi tersebut.
295

Periode ini, akan dikenang sebagai masa hiruk-pikuk anak bumi dalam
aktifitas “hujan emas”, yang melibatkan tidak hanya pemodal pedagang
besar, melainkan juga kelas buruh-pekerja dan mengakibatkan melonjaknya
jumlah anak bumi yang berdatangan terutama dari berbagai penjuru eks
kewedanaan Bagansiapiapi, dan juga yang berasal dari luar.
Bahwa memasuki akhir tahun 1949, situasi berangsur pulih, dan tatanan ekonomi yang
semula berada dalam penguasaan orang-orang China, tidak banyak berubah.
Meskipun Belanda dalam laporannya menyebutkan tidak berdayanya industri
perikanan sebagai akibat pendangkalan muara, betapa pun jua, Bagansiapiapi selama
dekade awal pasca Hindia, tetap mengemuka. Kondisi ini terutama disebabkan sumbu
perekonomian perikanan tangkap yang telah mapan selama masa pemerintahan
Hindia. Pada masa Sumatra tengah (1948-1958), industri hasil muara ini tetap berjalan
meski tertatih, atau, terseret langkahnya mengingat sang induk semang telah
digantikan dengan pemerintah Republik Indonesia yang masih relative baru, berada
dalam masa transisi yang benar-benar berat sehingga perioritas lebih kepada
konsolidasi politik. Pada saat aksi militer Belanda tahun 1948, Belanda pada awal
pendudukannya disana melihat phenomena ini memburuk disebabkan ketiadaan
peralatan modern untuk dilakukannya pengerukan, hal yang tidak mungkin
dilaksanakan pada situasi seperti itu. Pembahagian wilayah dimana Kewedanaan
Bagansiapiapi merupakan bahagian dari Bengkalis-Riau, dimana wilayah ini pun
berada dibawah Provinsi Sumatra Tengah dengan keterbatasan personel aparat
jawatan perikanan. Meskipun demikian, nampaknya pada periode Sumatra Tengah
ini Bagansiapiapi masih dominan menggunakan alat tangkap ikan jermal, bubu dan
ambai, begitu pula dengan armada kapal yang sedianya digunakan untuk kegiatan
penangkapan ikan; Bagansiapiapi dominan dengan sejumlah 50 kapal motor, 516
kapal berukuran besar, 834 kapal berukuran sedang dan 750 kapal berukuran kecil.
Produksi perikanan Bengkalis, yang meliputi Bagansiapiapi, Bengkalis, Selat Panjang
dan Tanjung Medang mencapai sekitar 50 juta Kg pada tahun 1953.487 Selain itu,
beberapa organisasi perikanan masih menunjukkan eksistensinya seperti; Hai Giap
Hwa di Sinaboi, dan Persatuan Djermal (Hwa Kiauw) di Bagansiapiapi yang memiliki 92
anggota. 488

487 Makruf Siregar, hal.17-20.


488
Provinsi Sumatra Tengah, Jawatan Penerangan, 1953.
296

Berita dari “De Nieuwsgier,” tanggal 24 Mei 1956; Suara sember dari pusat ikan terbesar:
Pelabuhan Bagansiapiapi mendangkal.

Akan tetapi, secara phisik, tampilan Bagansiapiapi memang saat itu tidak lagi
meyakinkan sebagai pelabuhan ikan terpenting kedua didunia, setidaknya dimata
orang Eropa yang berkunjung kesana. Sang jurnalis Belanda, membandingkan kondisi
pantai Bagan yang pada sepuluh tahun sebelumnya, masih merupakan pelabuhan
kapal-kapal nelayan dan ekspedisi pengangkutan, saat itu telah berdiri sekolah,
rumah, bahkan lapangan sepak bola. Kapal K.P.M yang diingatnya masih melakukan
pelayaran kesana, saat itu benar-benar menjadi mustahil untuk dilakukan. Surutnya
industri perikanan, juga dikaitkan dengan pelarangan oleh pemerintah tentang
penggunaan areal Pulau Barkey untuk tempat pengolahan ikan.489 Penampilan
Bagansiapiapi yang berhadapan dengan pulau Barkey yang semakin meluas, sehingga
aliran laut diantaranya menjadi semacam sungai saja, menutupi wajah pelabuhan
Bagansiapiapi. Tentu saja, alasan ini merupakan konsekuensi dari perubahan ekstrim
ekologi muara; dan surutnya industri menjadi salah satu pertimbangan untuk
melindungi ekologi muara. Hasil perikanan Bagan pada kurun 1956 ini, seorang
pejabat di distrik, Tuan A.Wahab, menjelaskan kondisi bulanan dari hasil produksi dari
pelabuhan terpenting ke-2 dunia ini setiap bulannya hanya berkisar 600 ton saja; yang
setara dengan 600.000 Kg dan setahun sekitar 7.200.000 Kg. Jumlah ini, tentu jauh
berbeda pada masa Hindia Belanda. Lebih jauh dijelaskannya, bahwa ikan tidak lagi
sebagai “primadona” yang disebabkan tidak mewakili nilai yang tinggi, akan tetapi
lebih kepada perdagangan karet dan hasil hutan.490 Dan Belanda pada saat-saat
terakhirnya, lebih tampak bagai seorang pemuda frustasi yang akan kehilangan gadis
pujaannya. Sebelum benar-benar pergi, Belanda yang sakit hati mendapati pula
kenyataan bahwa mereka tidak mampu menggeser dominasi Singapura atas
perekonomian Selat. Belanda menemui bahwa Oeang Repoeblik tidak berlaku di
Bagan, begitu pula halnya dengan mata uang mereka; Belanda tidak berhasil

489
De Nieuwsgier, 24 Mei 1956, “SEMBERE GELUIDEN UIT GROOTST VISCENTRUM: haven Bagan
Si Api Api Slipt Aan.”
490 Java-bode : nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie 11-07-1956,

Visopbrengst.
297

mengganti dolar Singapura dengan mata uang NICA, yang dirasakan membebani para
pedagang. Dolar Singapura, menjadi tuan dikawasan yang terkena efek langsung
perdagangan Selat, termasuk kewilayah republik yang tentu saja, ini jelas-jelas
merugikan.491 Dominasi yang berlangsung bahkan hingga pasca Sumatra Tengah;
dimana Presiden Republik, Ir.Sukarno, dengan berang mengatakan bahwa separuh
Singapura dibangun dari hasil sumber daya Sumatra; dan dikatakan juga bahwa sistem
perekonomian dollar Singapura dan barter telah merugikan bangsa. Akan tetapi,
nampaknya dominasi dolar itu menemui akhir dengan era konfrontasi; sebagai suatu
periode yang dikenal dengan “Ganyang Malaysia.”492 Bahwa pemutusan hubungan
diplomatik Indonesia – Malaya, berbuntut pada aksi blokade seluruh kegiatan
perdagangan ekspor-impor di Selat; benar-benar dirasakan dampaknya pada
masyarakat yang terutama menggantungkan mata pencahariannya dari ekonomi
selat. 493

491
Sebenarnya Lembaga Deviezen (Deviezeninstituut) bagi Indonesia, dalam surat edarannya
tentang ekspor barang dari pelabuhan Sumatera Timur (dimana tidak ada bank) mengumumkan
bahwa terhitung sejak 1 September 1949 jumlah uang Straitsdollar yang harus disetor ke bank-
bank di Singapura sebelum barang-barang tiba, akan dinaikkan dari 60% menjadi 70% dari total
harga. Dalam surat edaran itu juga diadakan pembedaan antara: (1) Daerah Rupiah, yang
meliputi Tembilahan (afd. Indragiri), Siak, Sri Indapura, Pakan Baru (afd. Bengkalis) dan Bagan
Siapi-api; (2) Daerah Straitsdollar, meliputi Bengkalis dan Selat Panjang. Ekspor yang dimaksud
adalah: ekspor barang-barang yang untuk pengirimannya diterima connossement atau sesuatu
dokumen untuk keperluan pengangkutannya dari Indonesia ke Singapura. Dengan surat-surat
tersebut barang-barang tadi bisa diambil dari pengangkutnya, melalui Konsulat Jenderal Belanda
di Singapura. Berita Antara, 27 Agustus 1949 - LSB. Koleksi ANRI.
492 Bahwa diyakini politik konfrontasi salah satunya adalah untuk menyingkirkan dominasi dollar

Singapura di Selat Melaka, terutama diwilayah Republik, Ganis Harsono, Cakrawala Politik Era
Sukarno, 1985.
493 Dampak aksi blokade masa Ganyang Malaysia ini di kewedanaan Bagansiapiapi, sebagaimana

tampak dalam karya sastra tentang seorang tokoh yang berasal dari Pujud(dipedalaman sungai
Rokan) H.Saleh Djasit, dimana pada masa konfrontasi ayahnya tidak lagi dapat menjual hasil
kebun karet ke Malaysia untuk kebutuhan biaya sekolah. sebagaimana dikisahkan M.Amin dalam
“AYAH KEDUAKU,” cet.II tahun 2014.
298

Kantor Kewedanaan Bagansiapiapi dalam sebuah acara tahun 1950-an.


Sumber: Pemkab.Rokan Hilir

Perdagangan Selat dan Otonomi Daerah


Keadaan industri perikanan pasca perang yang tidak lagi seperti era Hindia Belanda,
nampaknya disambut dengan suatu kegairahan baru yang merupakan bentuk
perekonomian kuno Selat: sebagaimana telah disampaikan bahwa lanskap
disepanjang pantai timur, dari hulu sampai hilir, ditarik dalam suatu pola kosmopolitan
perdagangan selat Melaka. Sebelum dunia Melayu selat dikuasai Eropa, tentu saja,
perdagangan yang menjadi basis perekonomian disesaki oleh berbagai entitas dari
penjuru dunia dimana anak bumi terlibat didalamnya. Akan tetapi, traktat 1824, telah
membelahnya secara administrasi kolonial; tidak secara phisik, melainkan membatasi
dan mereduksinya dalam tatanan birokrasi modern yang jika tidak dilalui, akan
menempatkan pelakunya dalam posisi sulit saat berhadapan dengan para penjaga
perbatasan, dan juga, para pemungut bea. Mapannya dominasi Belanda dan Inggris
dimasing-masing tepian selat, sedikit banyaknya telah mempersulit gerak pedagang
danbangke ini, hingga tibanya masa pendudukan Jepang. Perubahan tatanan secara
drastis dari Belanda ke Jepang, telah menjatuhkan satu pihak dan memakmurkan
299

pihak yang lain. Blokade perairan selat oleh Sekutu disatu sisi, berhadapan dengan
kebutuhan Jepang akan barang-barang disisi lain, telah menumbuhkan pelaku
penyelundup; sementara di Bagan sendiri, kerugian Belanda atas pemasukan dari bea
sering dikaitkan dengan perdagangan ini. Perilaku yang terpola hingga berakhirnya
Jepang, telah menguatkan sekelompok, terutama orang China dalam perdagangan
danbang itu. Dapat dikatakan, tidak hanya periode Jepang, kawasan pantai timur yang
langsung berhadapan dengan Semenanjung, semasa revolusi phisik pun (1945-1949),
telah akrab dengan perdagangan penyelundupan (smokkelhandel). Dimasa
pendudukan Jepang, perdagangan diarahkan untuk kepentingan militer Jepang, maka
pasca Jepang, terutama untuk memenuhi kebutuhan tentara Repubik dalam
persenjataan. Pasca perang, beralih menjadi penyelundupan barang-barang yang
diantaranya termasuk jenis impor dengan bea tinggi hingga dua ratus persen. Belanda
dahulu mengkategorikan perdagangan dari pantai timur ke Semenanjung sebagai
smokkel(selundupan) yang berada diluar wilayah kontrolnya; dan jumlah pada saat
sang Meneer berkuasa tidaklah seramai era republik. Para pemain smokkelhandel
atau juga danbangke di Bagan ini, tidak saja didominasi orang-orang China, melainkan
juga orang-orang Indonesia. Riuhnya perekonomian Bagansiapiapi, tidak lagi semata-
mata hanya bersumber dari penangkapan ikan di muara Rokan, melainkan juga
sebuah perdagangan lintas batas negara yang melibatkan jejaring perdagangan
internasional yang melintas didepan mata. Arbitrasi relung ekonomi menandai
periode yang menjadi kegairahan perekonomian, hingga menjangkau sudut terdalam
dari jejaring anak bumi tidak saja di area pesisir, melainkan hingga jauh ke pedalaman.
Kegiatan perdagangan ini benar-benar bernilai tinggi, tentu juga berdampak pula pada
tingginya kerugian negara dalam hal bea, bahwa dalam setahun nilainya mencapai
hingga empat juta dollar, sementara pada tahun sebelumnya yaitu 1955, pengiriman
barang yang dilakukan secara resmi tercatat hanya bernilai setengah juta dollar saja.
494 Dalam periode dimana diskriminasi warga oleh negara tidak lagi berlaku, maka ini

benar-benar merupakan masa keemasan, setidaknya yang terlibat dalam jejaring


perdagangan Selat. Dalam konteks ini, kita tidak dapat membayangkan bahwa
pelabuhan akan disibukkan, atau tidak lagi didominasi produk perikanan saja,
melainkan juga pengiriman berbagai barang-barang; dari pedalaman ke pelabuhan
Bagan, Bagan ke kawasan lain di pantai timur, Semenanjung Malaysia dan juga
Singapura. Sebaliknya, perdagangan yang meluas dan tidak tercatat ini, adalah
dimana ketika sembari melaut dan menjual hasil ikan, nelayan akan membawa hasil
bumi untuk diperdagangkan barter, atau pun jual-beli yang dibayar dengan dolar.
Kegiatan ini, dimulai dari seluruh jejaring pelabuhan rakyat yang tersebar disepanjang
pantai, sungai dan anak sungai. Komposisi demographi pun berubah drastis, dan tidak
pada periode sebelum perang, dimana struktur sosial cenderung hampir-hampir
statis, periode ini ditandai dengan tatanan baru sebagai juga akibat tekanan
demographi terutama dari kalangan pribumi yang semakin mendesakkan warnanya

494Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie, “Smokkel uit Bagan


Siapi-Api : 4 miljoen dollar schade,” 11 Juli 1956.
300

pada wilayah yang lebih luas; tumbuhnya organisasi dan bahkan politik yang terlepas
dari unsur-unsur lama, merupakan salah satu bentuk nyata suatu kesadaran
kebangsaan; akibatnya, tatanan yang mulai terbentuk mungkin saja masih labil dan
cenderung menimbulkan ketegangan-ketegangan; bertemunya semangat perubahan
dengan kokohnya tembok warisan penjajah, segregasi; juga berpotongan dengan
hiruk-pikuk politik nasional kurun orde lama. Pada masa ini, perubahan mendasar
dapat dilihat diantaranya dengan ditunjukkannya oleh masyarakat secara terbuka atas
ketidaksetujuan terhadap “permainan dadu.” Permainan dadu, mungkin saat itu
usianya sama dengan keberadaan kota Bagansiapiapi sendiri, sebagaimana dicatat
oleh Hijman van Anrooij sebagai salah satu kegiatan yang dikenakan bea. Dimasa
republik, tercatat bahwa permainan dadu telah menghasilkan sejumlah 875.000
rupiah. Aksi demo yang meliputi seluruh organisasi kemasyarakatan termasuk
Masyumi ini, meminta keberadaan permainan dadu dihentikan, dan selain itu sepuluh
teman mereka yang menandatangani deklarasi dan ditangkap, agar dibebaskan. 495
Perlu dipertimbangkan, bahwa hingga awal tahun 1958, kawasan Sumatra Tengah
berada dibawah tekanan rezim Dewan Banteng, yang arah kebijakannya, semakin
menjurus pada persinggungan dengan pemerintah pusat, kemudian masa leburnya
Sumatra Tengah tahun 1957-8 menjadi tiga provinsi dimana Bagansiapiapi menjadi
bahagian Bengkalis-Riau: suatu periode yang berlangsung hingga pergolakan revolusi
1965. Akibatnya, diasumsikan bahwa perubahan yang idealnya berlangsung dengan
deras dibawah pengaruh perubahan ekologi, tekanan demographi dan perubahan
struktur, ternyata tersendat;
bagai sebuah perahu yang terseret arus perubahan menuju lautan dangkal
berlumpur dan terdampar disana, karam-tenggelam tidak, bergerak pun tidak.
Sebelumnya, hantaman keras gelombang revolusi 1945, merubah tatanan ideologi
negara kolonial menuju alam kemerdekaan, yang tidak lagi toleran terhadap
ketimpangan lama. Sebagaimana kapal yang terperangkap ditengah-tengah lumpur;
Struktur sosial yang begitu tajamnya tersegregasi, didobrak oleh kaum republik yang
disikapi pula dengan keras oleh orang-orang China Bagan. Bentuk pemerintahan
campuran yang dibentuk oleh tim pendamai 1946, merupakan solusi temporer hingga
mapannya pemerintahan republik pasca pengakuan kedaulatan 1949. Kekisruhan
politik ditingkat nasional hingga era pasca Sumatra Tengah; Provinsi Riau, direspon
oleh berbagai kalangan di kewedanaan sebagaimana tampak dalam semangat
pembentukan daerah otonom, daerah Swatantra Tingkat II ditahun 1963-4; bahwa
penguatan dan kesadaran akan suatu nasionalisme pesisir Rokan diujung era orde
lama, bahwa perjuangan yang diketuai oleh (Alm) Husin Rambah ini, sayangnya, saat
itu belum berhasil.496 Embrio ini, kemudian memperoleh tekanan politik yang kuat

495
De waarheid, 15-08-1957, Een „fooi”. Permainan dadu ini, ditengarai dipertahankan dengan
jaminan uang tip bagi seorang oknum aparat sebesar 100.000 rupiah.
496 Perjuangan pembentukan daerah otonom: daerah swatantra tingkat II Bagansiapiapi yang

diketuai Husin Rambah, melibatkan unsur-unsur di kewilayahan Kewedanaan Bagansiapiapi yang


301

pasca 1965; peralihan politik dari orde lama ke orde baru. Sentralistik orde baru,
untuk sementara menekan semangat lokal dan menarik elit pada pusat-provinsi dan
nasionalisme ala orde baru. Sementara itu, pewarisan segregasi kemudian ditekan
dengan serangkaian kebijakan asimilasi. Kebijakan yang membekas dibenak warga
adalah seperti pada kebijakan dibidang pendidikan; penempatan silang siswa antar
sekolah yang bercorak etnis; ketat pada awal mulanya, akan tetapi berangsur-angsur
kembali seperti kesetimbangan semula. Bahwa alasan diberlakukannya kebijakan ini
adalah orde baru menginginkan lembaga sekolah dapat berperan sebagai “melting
Pot,” yaitu wadah pembauran dengan harapan kelompok tertentu akan meleburkan
diri dan kelompoknya kepada budaya yang lebih dominan; Pada era itu juga, seorang
nelayan tua berkisah bagaimana di tahun 1970-an, ia melaut bersama kelompok
nelayan China yang menggunakan jaring apung. Alat ini, membutuhkan sejumlah
tujuh orang pekerja untuk mengoperasikannya. Dirinya bersama dua teman
Melayunya, dan empat orang China mengoperasikan alat ini. Dan situasi ini, menjadi
gejala umum disaat itu, bahwa telah terjadi varian pekerja berdasarkan etnis, tidak
seperti periode sebelumnya dimana masih didominasi oleh nelayan China. Penerapan
kebijakan asimilasi dengan memposisikan warga untuk saling berbaur seperti
disekolah, diketahui, tidaklah berhasil mencapai taraf yang diinginkan; masing-masing
kelompok tidak meleburkan identitas mereka, seperti dikemukakan Gazer dan
Moynihan497 atas phenomana di New York dimana belasan kelompok berdasarkan
identitas etnik yang hidup berdampingan dalam rentang waktu yang lama tidak
meleburkan identitasnya; begitupula kebijakan asimilasi sekolah era orde baru,
sehingga Melting Pot nampaknya lebih kepada mitos belaka.498 Jika dicermati,
kebersamaan yang “dipaksakan” rezim Orde Baru pada ruang-ruang pendidikan,
kebersamaan dalam ruang perekonomian, atau yang lebih umum adalah kebersamaan
dalam ruang-ruang kota semenjak masa Hindia, tidak menjadikan masing-masing
entitas meninggalkan identitasnya. Dalam ruang publik dimana interaksi berlangsung
sebagai hasil gerakan “pergi-pulang” masing-masing individu dari rumahnya ke ruang
interaksi; dari rumahnya individu membawa identitas asalnya ketempat dimana
berlangsungnya praktek kebudayaan yang lebih luas; maka yang terjadi, adalah
“pengayaan akan kehidupan bersama yang tidak diiringi penanggalan identitas.”

terdiri dari tokoh cerdik pandei, partai politik, unsur dari Tanah Putih, Bangko dan Kubu, serta
birokrasi.
497
Glazer dan Moynihan, Beyond the Melting Pot, Cambrigde MIT Press, 1963.
498 Usman Pelly, Murid Pri dan Non Pri dalam Sekolah Pembauran: Kebijakan Asimilasi Orde Baru

dibidang Pendidikan dan dampaknya terhadap Masyarakat Multikultural, Antropologi


Indonesia Tahun XXVII Nomor 71, hal.34-45.
302

Husin Rambah, Sumber: Museum Sejarah Rokan Hilir


Bahwa masing-masing individu akan terbawa kepada kehidupan sosial yang bercirikan
plural, dan dengan pengalaman interaksi ini akan membuat individu lebih mudah dan
cenderung memilih gaya dan ekspresi yang lebih cocok bagi kehidupan bersama.
Proses yang baik untuk terwujudnya masyarakat multikulturalisme, akan tetapi ini
semua tentu memerlukan proses yang tidak sebentar, bahkan tidak terelakkan
dukungan kebijakan pada level makro yang kondusif bagi keberlangsungan suatu
masyarakat pluralisme; yang seringkali tidak disadari pengamat atau komentator
ketika berada di Bagansiapiapi; cenderung menyalahkan dan mencari kambing-hitam
atas situasi sosial yang sedang terjadi disini. Perlu juga diketahui, bahwa, pada era
1970-an, Bagansiapiapi sebagai kota dengan ruang terbatas masih didominasi oleh
orang-orang China, setidaknya dengan nominal umum termasuk pribumi mencapai
25.000 jiwa; jumlah yang signifikan dalam menggerakkan perekonomian kota seluas
Bagansiapiapi. Meskipun telah meninggalkan periode keemasan hingga hampir 30
tahun lamanya, industri perikanan Bagansiapiapi saat itu masih tetap dominan,
terutama diwilayah provinsi Riau. Akan tetapi, bukan industri ini yang menarik
perhatian rezim Orde Baru pada dekade awal pemerintahannya, ditahun 1970-an,
melainkan adalah begitu banyaknya tersebar rumah-rumah candu yang jumlahnya
mencapai 63 unit, dan penggunanya mencapai 4500 orang, terbesar di provinsi Riau
303

(daratan-kepulauan).499 Alasan yang berkembang adalah bahwa “herbal” ini


digunakan nelayan untuk keperluan melaut, ketahanan phisik bagi penggunanya
dalam berhadapan dengan kerasnya alam pesisir. Laporan itu menyebutkan, bahwa
penggunaan candu didaerah ini, tidak menimbulkan dampak ataupun ekses dalam
bentuk perbuatan kejahatan, seperti; pembunuhan, dan kriminalitas semacamnya.
Sebagaimana tercatat, penggunaan candu untuk sekitar 4500 orang ini, setiap harinya
setiap orang pecandu akan membutuhkan sekitar 3 bungkus dan bahkan maksimum
yang dapat dikonsumsi hingga 20 bungkus, dimana berat perbungkus adalah 0,9 gr
dengan berat bersih sekitar 0,72 gr. Maka perhitungan kebutuhan konsumsi harian di
wilayah ini adalah: 4500 x 3 x 0,72 g = 9,72 Kg. dalam setahunnya, maka dibutuhkan
sekitar 3504 Kg. angka ini, jika dikalikan dengan perkiraan (black number) maka akan
menghasilkan 7008 Kg atau 7 ton setahunnya. Bahwa persoalan penggunaan candu
ini, telah ada semenjak masa Hindia Belanda yang diatur dalam Opium en Zoutregie,
guna penyaluran candu kepada penggunanya. Semenjak masa Republik, aturan Hindia
Belanda ini tidak lagi berlaku, dimana sesuai dengan konvensi Jenewa, telah
diberlakukan larangan penggunaan candu ataupun narkotika lainnya diluar
kepentingan ilmiah ataupun kedokteran. Kondisi ini, menyebabkan candu yang
semasa penjajahan, sebagai komoditas resmi, akan tetapi sebaliknya di masa republik
dimasukkan secara gelap, guna memasok kebutuhan pengguna yang telah sekian lama
menjadi penggunanya, dan sukar untuk melepaskan diri. Sebagaimana telah dilihat,
bahwa perkiraan kebutuhan candu Bagansiapiapi, mencapai angka tujuh ton
pertahun, yang didatangkan dari seberang-Semenanjung; diangkut dengan kapal
motor ikan ke tepian pantai pulau Halang, Panipahan, Sinaboi dan sejumlah tempat
lainnya. Jika dimasa Hindia, keuntungan yang tidak kecil ini dari pemasukan penjualan
candu jatuh ke pemerintah, sebaliknya, di masa republik, keuntungan ini dinikmati
oleh penyelundup dan pengecernya.500 Realita ini juga menunjukkan bahwa jejaring
“Smokkelhandel” dengan begitu leluasa memasok kebutuhan pengguna disepanjang
pantai timur, berdampingan dengan industri perikanan yang mungkin saja lambat-
lambat surut. Dilepas pantai, masih terdapat nelayan cici dan sejumlah jermal, yang

499
Surat Jaksa Agung, Laporan Khusus Badan Koordinasi Pelaksana INPRES Nomor 6/1971,
Nomor: 11/LAPSUS/BAKOLAK/V/1973, tanggal 23 Mei 1973 tentang Pemakaian Candu dan
Jumlah Addicts di Daerah Bagansiapiapi.
500
Harga pembelian candu di Malaysia saat itu M$200 per 1 Kg, dalam setahun pelaku importir
akan memasukkan candu senilai 3.504 Kg X M$200 = M$ 700.000. Pengecer, membeli dari
importer gelap seharga M$300 per kilonya, naik M$100, maka dalam setahunnya, pengecer
memberli senilai 3.504 X M$300 = M$ 1.051.200,- maka keuntungan pengecer gelap dalam
setahunnya bisa mencapai M$1.051.200 – M$700.000 = 350.400,- dikurskan ke rupiah, maka
bernilai Rp.50.808.000,- Selain itu, pengecer candu di Bagansiapiapi, dan sekitarnya menjual
candu senilai Rp.100,- perbungkusnya, bahwa, 2Kg candu murni setelah diolah akan
menghasilkan 1250 bungkus. Maka keuntungan penjualan 2 Kg nya mencapai: 1250 X Rp.100 =
Rp.125.000 yang setara dengan M$860. Keuntungan per 2 kilonya, M$ 860 – M$300 = M$ 560,
maka, keuntungan pertahun: 3.504Kg/2 X M$560 = M$981.120, yang sama dengan
Rp.142.262.400,-
304

kuantitasnya jelas-jelas jauh berbeda pada masa jayanya dibawah Hindia. Akan tetapi,
pada tahun 1980-an, pemerintah dengan pertimbangan kesetimbangan ekologi,
mengeluarkan peraturan pelarangan penggunaan trawl(pukat harimau) yang
ditengarai mengakibatkan kerusakan berat sumber daya ekologi perairan.
Dampaknya, secara berangsur-angsur sebahagian nelayan China meninggalkan
Bagansiapiapi menuju tempat lain yang masih memungkinkan dilakukannya
penangkapan ikan dalam skala yang memadai, atau juga, beralih kepada pekerjaan
lainnya. Bahwa, mobilitas orang-orang China pelaku industri perikanan ini, juga diikuti
dengan sejumlah pribumi, yang mencoba “mematutkan” dirinya agar terserap
kedalam sektor perekonomian lain masih dalam keruangan Bagansiapiapi. Jejak
peralihan struktur ini, masih terekam jelas dalam ingatan pelaku yang kini menikmati
masa tuanya dalam berbagai varian pekerjaan yang tersedia di relung-relung kota.
Seorang mantan pekerja pembuat kapal, mengenang bagaimana ia dahulu memimpin
tim kerja yang membutuhkan keakuratan tinggi; atau seorang pria tua sembari
menyeruput kopinya, mengingat betapa sibuk dirinya menahkodai kapal menuju
Belawan, Bengkalis, bahkan Malaysia, atau seorang mantan nelayan baru-baru saja ia
kembali dari Melaka di Semenanjung, mengingat bahwa sebelum ia merantau ke
Malaysia, selepas Sekolah ia melaut mencari ikan bersama teman-temannya. Sebut
saja Ud, seorang pemukim ditepian kota yang mengaku berasal dari Panipahan,
mengenangkan kembali saat ayahnya mengajak melaut dalam kegiatan perdagangan
selat; dan bagaimana pula saat sebelum hijrahnya ke Bagansiapiapi, hutan disekitar
tempat bermukimnya begitu memanjakan diri dengan hasil-hasil yang melimpah;
situasi yang tidak lagi ditemui pada milenium ketiga. Untuk menyambung hidup, maka
ia terlibat dalam pengupayaan sawit yang tidak seberapa luas, dan bekerja pada
orang-orang yang membutuhkan tenaganya. Bagi kaum pekebun, peladang, kelompok
ini bukanlah seperti yang digambarkan Geertz sebagai proletariat kota. 501
Kepemilikannya atas sumber daya lahan, lebih didasarkan pilihan diri pada sektor
pencaharian di darat, dan bukan lagi laut semasa pendahulunya dan serentang masa
dimana ia sempat turut andil disana. Sementara sebenar-benarnya proletariat,
terhimpun disekitar kota terutama di sebelah selatan kota dalam pemukiman padat
khas perkotaan. Disini, meski terdapat pasar rakyat yang mewadahi segala aktifitas
perekonomian warga, sejumlah individu masih berkutat dengan jenis pekerjaan yang
mengandalkan tenaga. Terdapat alat transportasi pengangkutan barang, yang spesifik
ditemui disini, gerobak yang ditarik oleh sepeda motor. Alat angkutan serba guna ini,
mengangkut berbagai jenis barang; mulai dari barang harian hingga material, atau
bahkan kayu hasil hutan yang panjangnya mencapai delapan meter. Ketika kita
menyaksikan phenomena ini,
maka mitos “Melayu malas,” tidak menemui pembenarannya;502 itu adalah
stigma yang ditemui dalam catatan penjajah sebagai suatu pembenaran sikap

501 Sebagaimana pengamatan Geertz atas Mojokuto.


502
Suatu diskusi pribadi dengan seorang warga Bagan, Drs.Acil Rustianto,M.Si pada tahun 2004.
305

keengganannya melibatkan anak bumi dalam perekonomian komersil;


dampak kebijakan perekonomian dualisme.
Seorang pemalas tidak akan mampu melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh uwak
sang operator gerobak, bukan pekerjaan ringan yang dapat dilakukan sesiapa saja
sekehendak hati. Tentu saja, untuk mengetahui hal sebenarnya kita harus melihatnya
jauh kebelakang dimana keserakahan kolonialisme barat belum menjamah mereka.
Anak bumi, yang terbiasa menghadapi ganasnya arus pasang surut muara, gelombang
dahsyat selat Melaka, atau rimbunnya pepohonan hutan pedalaman, dinginnya
tatapan nafsu memangsa para predator, dan kejamnya para perompak mengintai
harta benda dan jiwa, menghimpun dirinya dalam kekerabatan yang sadar bahwa
semakin besar luas kekerabatan yang berarti penambahan jumlah anggota, maka akan
semakin memberikan rasa aman. Bahwa tatanan tradisional, memiliki kearifannya
sendiri dalam pengelolaan sumber daya, sementara perekonomian komersil skala
besar, menuntut suatu perilaku yang telah diatur sedemikian rupa guna memenuhi
penghitungan untung-rugi dalam suatu bisnis modern. Modernitas bertemu dengan
dunia tradisional, perusahaan berorientasi profit berhadap-hadapan dengan kearifan
tradisi anak bumi; kesemua ini menimbulkan guncangan bagi pelaku interaksi.
Belanda, cenderung akan bersikukuh sebagai seorang kapitalis tulen yang
memproyeksikan kegiatan perekonomiannya dalam angka-angka semata,
mengemasnya dengan rapi dalam seperangkat kontrak dan konsesi yang cenderung
meminimalkan keterlibatan anak bumi; ketidakterampilan503 dan perbedaan persepsi
antara orang Barat dan Sumatra seperti menyangkut jam kerja,504 akan diterjemahkan
saja secara mudah yang sebenarnya adalah rasa frustasi aparat Eropa; sebagai bentuk-
bentuk sikap malas dari anak bumi. Untuk mengatasi persoalan ini, yaitu
menjembatani pertemuan dua entitas, Belanda menempatan lapisan perantara, yaitu
orang-orang China. Belanda, bukan saja berhasil membentuk lapisan tengah ini, juga
sekaligus membuktikan bahwa dominasi kolonial seperti di Bagansiapiapi benar-benar
bertumpu pada kebijakan yang timpang itu. Kebijakan ini, akhirnya menempatkan
orang China dalam superioritas ekonomi termasuk di Bagansiapiapi. Konstruksi
keberhasilan ekonomi China itu, juga ditopang oleh pemberitaan para pejabat
kolonial, wisatawan atau wartawan yang berkunjung ke Bagan, bahwa kejayaan ini,
sekali lagi akan terkait dengan etos yang dimiliki suatu entitas. Akan tetapi, ada yang
menarik berkaitan dengan pencitraan yang menjadi mitos, laten dalam benak para
pemukim; bahwa keberhasilan dan kejayaan yang dimiliki orang China, tidak terkait
dengan sikap sebagai pekerja keras - membanting tulang, mengetatkan ikat pinggang,
rajin, hemat atau hal semacamnya. Jika hal-hal itu dikaitkan dengan kapitalis, tentu
ribuan atau jutaan orang yang juga menjalani hidup serupa akan menjadi jutawan,

503 Didatangkannya pekerja seringkali dikaitkan dengan ketrampilan yang dimiliki kelompok
pekerja, meskipun ketrampilan itu sendiri sebenarnya dapat dibentuk melalui pelatihan; sesuatu
yang tidak terdapat dalam politik perekonomian dualism.
504 Pengalaman IJzerman saat menelusuri pedalaman Sumatra Tengah merupakan salah satu dari

sejumlah perbedaan pemahaman akan jam kerja. Lihat IJzerman, 1895, hal.
306

sayangnya, itu tidaklah terjadi.505 Sebagaimana telah kita lihat, sang uwak gerobak
tidak kurang kerasnya dalam berkerja atau nelayan yang menyabung hidup dilautan,
dan tidak pula semua orang China itu berhasil meski ia juga telah bekerja keras. Mitos,
telah menjadi alat bagi sekelompok untuk memanfaatkan kelompok yang lainnya, atau
sekurang-kurangnya; digunakan untuk membujuk orang lain agar mau bekerja keras
dan hemat. Keberhasilan mendominasi perekonomian, terkait dengan akses
terhadap sumber daya. Dan penguasaan akses atas sumber daya di Bagansiapiapi,
dimiliki oleh orang-orang China; mulai dari penangkapan, garam, pengiriman dan
jejaring perdagangan. Lantas, sekali lagi dikatakan, tentu ini bukan masalah spirit, etos
ataupun budaya; melainkan persoalan ketimpangan struktur.
Memasuki periode reformasi, maka Bagansiapiapi kembali dikejutkan dengan konflik
sosial yang mengarah pada keadaan chaos. Yang terasa di peristiwa 1998 ini, adalah
sebagai dampak domino guncangnya struktur politik nasional dimana runtuhnya rezim
orde baru, mewarnai permulaan menguatnya daerah-daerah yang selama ini
mengalami perlakuan ketimpangan dari rezim yang sentralistik. Kami disini, tidak
membiarkan diri terbawa pada sikap prasangka dalam upaya memperoleh deskripsi
aktual tentang relasi antar entitas di Bagansiapiapi. Sebaliknya, sebagaimana telah
dijalankan dengan konsisten dari awal, perilaku aktual akan merefleksikan daya
adaptasi terhadap situasi-situasi ekologi yang berubah, atau setidaknya rentan
berubah. Situasi anarkhi dalam suatu kerusuhan rasial, bagaimanapun juga dapat
dipicu juga oleh pra-kondisi sebelumnya. Penelitian sumber daya perikanan
demersal506 di Selat Melaka pada kurun 1969-1975 menunjukkan bahwa kawasan
pantai timur Sumatra saat itu secara umum telah terlihat gejala lebih tangkap.507
Begitu pula sumber daya hutan sebagai penopang industri pembuatan kapal yang
mulai mengalami kesulitan dengan terbitnya UU Nomor 12 tahun 1970 tentang HPH,
dimana masyarakat tradisional yang mengandalkan sumber hasil hutan menjadi
cenderung terpinggirkan, 508 gairah perdagangan selat yang redup, menjadi dasar logis
bagi stagnannya perekonomian Bagansiapiapi. Situasi ini, jelas berimbas pada kondisi
demographi dan meluasnya kesenjangan. Situasi yang sempat direkam oleh
BAPPENAS menjelang runtuhnya Orde Baru menyangkut stagnan-nya Bagan
dibanding kota-kota lain yang berdekatan, seperti pertumbuhan demographi dari
empat kota; Dumai, Bagansiapiapi, Dumai dan Duri. Data tahun 1980-1990

505
Ong Hok Kan, Terbentuknya Kapitalisme dikalangan Peranakan Tionghoa di Jawa, dalam
Sekitar Pembauran Bangsa di Indonesia, Yayasan Kesejahteraan Pemuda 66 Jakarta, Cetakan
Pertama, 1985, hal.27-31.
506 Bahwa diketahui ikan dapat dibedakan jenisnya kedalam demersal dan pelagis; demersal

adalah ikan yang berada didasar, sementara pelagis berada dipermukaan air.
507
Martosubroto,P., T Sujastani &D.Pauly, De Mid 1970s Demersal Resourches in the Indonesian
Side of Melacca Strait, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish Resources of Western
Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto, Tahun 1996.hal. 40-46.
508 Bahwa semakin terbatasnya area hutan yang telah dikuasai pemegang HPH, mengakibatkan

terjadinya kriminalisasi atas masyarakat yang mencari kayu, sumber baku bagi industri
pembuatan kapal di Bagansiapiapi, lihat Kusnadi, Jaminan Sosial Nelayan, tahun 2007, hal.62.
307

menunjukkan bahwa Bagansiapiapi memiliki populasi sejumlah 23.3133 jiwa; kedua


setelah Dumai. Jika Dumai memiliki laju pertumbuhan penduduk tertinggi, sebaliknya
Bagansiapiapi memiliki laju pertumbuhan penduduk terendah diantara empat kota
itu. 509 Pada masa otonomi terlihat kuantitas pemukim China di Bagansiapiapi, telah
jauh mengalami perubahan, menyusut tajam dibandingkan Melayu dan etnis pribumi
lain yang cenderung melonjak tinggi. Meskipun demikian, data kependudukan
Bagansiapiapi di tahun 2010, memberikan sebuah “kejutan” tentang bagaimana para
pemukim awal di kota Bagansiapiapi ini menghadapi tekanan ekologi dan demographi.
Dalam menghadapi perubahan ekologi yang semakin menyempitkan peluang
perekonomian, tidak banyak jenis pekerjaan ataupun usaha yang berperan membuka
lebar kesempatan kerja. Phenomena menyebarnya usaha sarang wallet di
Bagansiapiapi, bukanlah jawaban umum komunitas atas perubahan ekstrim ekologi
terutama dibidang kesempatan kerja khusus pada lapisan bawah. Sektor padat modal
dan minim pekerja ini, hanya menyediakan ruang sangat sedikit bagi kebutuhan
tenaga kerja, satu orang saja dapat mengawasi dan mengelola lebih dari satu lokasi
sarang walet, tidak sebanding dengan pertambahan penduduk dari kalangan orang-
orang China sendiri. Setiap tahunnya, lembaga sekolah menengah setingkat SLTA
melepas ratusan lulusannya; sebagai tenaga usia produktif. Kemanakah mereka pergi
setelah itu? Keadaan perguruan tinggi di Bagansiapiapi jelas bukan jawabannya, atau
peluang kerja formal seperti di pemerintahan. Kali ini, kita akan mendengar apa yang
dikatakan dan dilakukan seorang warga keturunan Tionghoa di Bagansiapiapi, 510
berkaitan dengan arah yang dituju oleh anak-anaknya.
“Dn, kalau lulus sekolah SMA, dia ikut kakaknya yang di Pekanbaru. Kakaknya
itu sudah tiga tahun disana, ikut kerja orang Bagan juga.”
Dn tidak sendiri di Bagan, ia bersama ratusan temannya bagai ritual tahunan akan
segera “berlayar” untuk mengisi peluang kerja atau usaha yang terdapat di kota-kota
besar. Pekanbaru, mungkin saja yang terdekat, Medan, Jakarta, Bali, atau bahkan
keluar negeri. Kuatnya jejaring “ke-Bagansiapiapi-an” merupakan katup penolong bagi
mereka yang tidak tertampung dalam relung-relung sumber daya di tanah
kelahirannya. Dan perilaku aktual ini, juga membantu mengatasi tekanan demographi
dikalangan mereka sendiri, para pemukim China di Bagansiapiapi. Dengan demikian,
grafik kependudukan tidak mengalami peningkatan berarti yang dapat memberatkan
kapasitas ruang struktur, 511 melainkan sebaliknya. Secara kasat mata, tampak pada

509
Profil Perkotaan 111 kawasan andalan di Indonesia, BAPPENAS Deputi Bid.Regional dan
Daerah, 1997, hal1489-1491.
510 Terakhir, sang informan memutuskan mengirimkan anaknya ke Jakarta, dan ia pun beserta

seluruh keluarganya akhirnya pindah juga kesana.


511 Konsepsi kapasitas ruang struktur ini, semula berasal dari daya dukung atau carrying

capacity(Sumarwoto, 1995), mengacu juga pada konsepsi daya tampung sosial yang
dikembangkan oleh Faturochman dan Widaningrum(1993), atau secara mudah, sebagaimana
disampaikan Edi Susilo sebagai “kondisi sumpeg yang dirasakan oleh anggota komunitas:
kapasitas ruang struktur sosial adalah kemampuan struktur social untuk mendukung atau
308

tampilan pecinan yang dikatakan seorang warga, areal tepian dari sentral pecinan
akan terlihat “bolong-bolong,” bahwa dahulu, pemukim China merupakan barisan
rapat tanpa kehadiran pemukim diluar kelompoknya.512 Akan tetapi, nampaknya
perubahan merupakan penguasa sesungguhnya dalam kehidupan sosial. Suatu ketika,
masih di pecinan, seorang ibu tua yang kesehariannya bekerja memperbaiki jaring ikan
yang rusak berkata,
“Sekarang ini Melayu senanglah hidupnya, kerja banyak, proyek banyak, tak
macam kami inilah.”
Mungkin ucapan itu ada benarnya, atau bagai sebuah ungkapan putus asa saja
mengenang kejayaan yang dulu pernah ada. Bahwa ia, seorang janda tua, yang
kesehariannya duduk berkutat dengan perbaikan jaring dari pagi hingga petang,
dengan bayang-bayang tanggungan cucunya yang masih kecil sebab orangtuanya
telah tiada. Di pemukim oriental seperti Bagansiapiapi, Panipahan dan Sinaboi,
terdapat kantong-kantong tempat lapisan “proletar kota” yang tidak memiliki akses
sumber daya. Ibu tua di pecinan ini, orang tua mantan pembuat kapal, mantan
nahkoda, atau bahkan mantan nelayan, memiliki kenangan yang sama tentang
kejayaan Bagansiapiapi; terutama dalam rentang keemasan perikanan dan
perdagangan yang telah membuka selebar-lebarnya relung sumber daya disana;
meskipun dengan konsekuensi resiko yang tinggi pula. Bahwa, era keemasan
Bagansiapiapi itu, melibatkan hampir seluruh sumber daya, sehingga tingginya resiko
dalam berhadap-hadapan dengan negara berbanding lurus dengan keuntungan yang
diperoleh.513 Seorang lulusan strata dua mengenangkan sang uwak-nya, yang dengan
penghasilan dari perdagangan di jalur Selat itulah untuk membiayai sekolah anak, adik
dan keponakannya. Anak bumi yang memperoleh kesempatan bersekolah tinggi di
kota, sebahagian ada yang terserap oleh pekerjaan dan relung sumber daya disana,
dan terdapat juga yang kembali untuk mengisi peluang pekerjaan yang terbuka
semenjak era otonomi; pekerjaan di pemerintahan, ataupun pembukaan lahan-lahan
baru, perdagangan yang mencukupi Bagansiapiapi ataupun disebaran sentra-sentra
ekonomi baru. Halnya dengan anak bumi yang banyak terserap dalam relung sumber
daya seiring bergulirnya otonomi daerah; begitupula yang tidak, mungkin saja
jumlahnya melebihi mereka yang beruntung. Tidak semua pekerjaan di era otonomi
ini membutuhkan pendidikan tinggi, atau, ketiadaan sumber daya akan menyebabkan
generasi penerus cenderung bertahan dalam kultur nelayan, ataupun perladangan

menampung pertukaran sosial yang terjadi dalam struktur internal atau ketika struktur
berinteraksi dengan elemen suatu suatu struktur lokal atau struktur diluar lingkungan luar
komunitas; suatu konsepsi yang benar-benar elastis. Lihat Edi Susilo, 2010, hal.72.
512
Diskusi pribadi dengan seorang warga Bagan, Nurhidayat,SH, tahun 2010.
513 Bahwa Smokkelhandel yang berkonotasi tanpa pengenaan bea, jelas melanggar hokum formal

yang memiliki resiko-resiko. Akan tetapi, begitu besarnya keuntungan dari sekali perdagangan
saja, dikatakan akan menutupi kerugian akibat tertangkap petugas. Seorang informan
mengatakan bahwa kerugian dari tiga kali tertangkap dapat tertutupi dari satu kali keuntungan
perdagangan saja.
309

dalam cara-cara tradisional yang sama digunakan pendahulunya. Pendidikan,


ketrampilan, menyelamatkan individu dari menyempitnya relung sumber daya
terbatas pada hal-hal menyangkut kompetensi, sisanya, akan menempuh pekerjaan
sebagaimana para pendahulu dari masa pra-kolonial. Mungkin saja, ada benarnya
pernyataan bahwa masyarakat seringkali berada dalam situasi yang sebenarnya tak
disukai dan terpaksa untuk menjalaninya. Akan tetapi, ini merupakan sebuah
konsekuensi logis dari perubahan-perubahan sebagai akibat beralihnya situasi ekologi,
ataupun ekonomi; tingginya persentase “massa apung” di kota Bagansiapiapi, 514
lapisan sosial yang terlepas dari kepemilikan dan akses atas sumber daya, berjuang
dalam kehidupan perekonomian dengan mengandalkan tenaga fisiknya.
Otonomi Daerah, merupakan berkah bagi penguatan identitas lokal, reorientasi yang
menapak pada eksistensi dan kejayaan silam yang pernah ada, juga sebagai arena elit
dalam mengekspresikan segala potensi dan sumber daya sekaligus peragaan
kemahiran politik yang setelah sekian waktu ditekan dibawah rezim represif orde
baru. Sebagaimana diketahui, Belanda telah menarik pusat dunia anak bumi lebih
seabad yang lalu, dari Tanah Putih ke Bagansiapiapi; dari pusat dunia Melayu
tradisional menuju dunia metropol. Tanah Putih saat itu, merupakan representasi
kekuasaan kesultanan, tereduksi melalui pendirian pusat pemerintahan Hindia tahun
1900 di Bagansiapiapi, reorganisasi pemerintahan tahun 1915/16, hingga leburnya
identitas tradisional kedalam Republik. Pukulan perubahan terhadap tatanan lama,
bukan berarti benar-benar membawanya dalam kematian sebagaimana tampak dari
kukuhnya penjagaan dan pemeliharaan tradisi pranata suku di sebahagian eks lanskap,
adaptasi dan penyesuaian yang semasa orde lama tampak berupaya bangkit dalam
kerangka eks kewedanaan, hingga akhirnya otonomi mengantar wilayah ini sebagai
suatu kabupaten yang mandiri, terlepas dari kabupaten induk: Bengkalis. Ketika iklim
politik dirasakan kondusif bagi penguatan identitas, maka, jejak tiga kenegerian dapat
menjadi sumber penggalian kebudayaan yang idealnya mendukung penguatan
identitas ke-ROKAN HILIR-an; proses ini diyakini “berlangsung dinamis” dalam
menumbuhkan imagined community sebagai “bangsa Rokan Hilir,” wujud
kesinambungan rasa kebersamaan para pendahulu yang secara sadar
mengekspresikannya ditahun 1963 dan 1999.

Saat ini, otonomi daerah, dapat menjadi wahana aspirasi elit dan massa tentang jati
diri anak bumi yang semakin mengkristal sebagai bangsa Melayu: entitas yang terkait
dengan pesisir, sungai dan anak-anak sungai. Wajar, ketika upaya menggali potensi
akan bertemu dengan realita, bahwa Bagansiapiapi Tempo Doeloe adalah sebuah kota
dalam jejaring perdagangan dunia; suatu hal yang hilang diera Jalan Raya Daratan.
Rancangan pembangunan lintas pesisir, merupakan jawaban atas dominasi daratan
yang seolah-olah hendak menjauh saja dari dunia maritim yang menjadi kharakter
negara kepulauan. Sementara itu, dibalik otonomi daerah sebagai buah kebebasan

514“Massa apung,” konsep ini mengacu pada apa yang disampaikan oleh Evers(1986). Bahwa
pekerja buruh lepas, adalah kelompok terbesar di Bagansiapiapi.
310

berdemokrasi, tersurat dan tersirat tugas mulia bagi para aparat, birokrat, dan
teknokrat untuk berupaya bagi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat, terutama
di wilayah eks kewedanaan Bagansiapiapi yang sekarang dikenal dengan Kabupaten
Rokan Hilir: mengingat betapa BELANTARA JERMAL yang dahulu merupakan
kharakter khas disini, tidak lagi terlihat, menghilang seiring masa dalam situasi ekologi
yang berubah.
311

Daftar Pustaka
312

Ahmad, Zuarman & Yoserizal Zen, KOBA HITAM MANIH, Titu Nai: Tradisi(Sastra) Lisan
Orang Bonai, Editor Alang Rizal, Penutur Norma, Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata Provinsi Riau, 2013.
Amin, Mohd, AYAH KEDUAKU, Penerbit Pustaka pelajar Yogyakarta, Cet.II. tahun 2014.
Andaya, Barbara Watson, To Live as Brothers, University of Hawai Press, Honolulu,
1993.
Andaya, leonard Y, Leaves of the Same Tree: Trade and Etnicithy in Mellaca Strait,
University of Honolulu, Hawai’i, 2008.
Anderson, Benedict, Imagined Communities: Komunitas-komunitas terbayang,
Pustaka Pelajar, Cetakan ke-3, tahun 2008; judul asli: Imagined
Communities: Reflection on the Origin and Spread of Nationalism.
Ankie, MM.Hoogvelt, Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang, Penyadur
Alimandan, cetakan pertama tahun 1986.
Basyarsyah, T.Lukman Sinar, dalam Makalah “Sejarah Kesultanan Melayu di Sumatra
Timur: Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau
dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau,
Indonesia, pada tanggal 17 – 21 Juli 1985.
————, 1986: 154; Tim Penulisan Sejarah Pemda sumatra Utara, 1990: 3-6, dalam
Historisisme, Edisi 21 Tahun X Agustus 2005.
Benda, Harry J., BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT: Islam Indonesia pada Masa
Pendudukan Jepang, Pustaka Jaya, cetakan kedua, 1985, judul asli: The
Cresent and The Rising Sun: Indonesian Islam Under Japanese Occupation
1942-1945, Copyrigt 1958 pada N.V.Uitgeverij W.van Hoeve, Den Haag.
Boejinga, De Vischerij van Bagan Api-Api, Koloniaal tijdschrift / Vereeniging van
ambtenaren bij het binnenlandsch bestuur in Nederlandsch-Indië, de
economist, Volume 15, Number 1, 1 January 1926;
Boeke. Julius H., Economics and Economics Policy of Dual Soceities as Exemplified by
Indonesia, New York: Instituute of Pasific Relation, 1953.
Bottemane, C.J., Verslag over de Visscherij en de Vischhandel Van Bagan Si Api-Api,
Publisher Batavia: Instituur Voor Zeevisscherij, 37p., Tahun 1941.
Brown, C. C. “Sejarah Melayu or Malay Annals,” JMBRAS 25, 2 and 3 (October 1952).
Bronson, Bennett. “Exchange at the Upstream and Downstream Ends: Notes toward a
Functional Model of the Coastal State in Southeast Asia.” In Economic
Exchange and Social Interaction in Southeast Asia: Perspectives from
Prehistory, History, and Ethnography, edited by Karl L. Hutterer. Ann
Arbor: University of Michigan Center for South and Southeast Asian
Studies, 1977.
Bruin, A.G., “De Chineezen Teer Oostkust Van Sumatra, Mededeeling No.1, Uitgave
Van het Oostkust Van Sumatra Intitute, Leiden 1918.
Budiman, Hikmat (editor), KOTA-KOTA DI SUMATRA; Enam Kisah Kewarganegaraan
dan Demokrasi, The Interseksi Foundation, Jakarta tahun 2012: M.Subhi
Azhari: Proyek Identitas dan Ketimpangan Representasi: Dinamik Relasi
antar Kelompok Etnis China dan Melayu di Kota Bagansiapiapi, hal.261-
313

348. Hikmat Budiman, Mendiskusikan Kembali Furnivall: Satu Cerita Lagi


dari Bagansiapiapi, hal.459-508.
Buiskool, Dirk A., The Chinese Comercial of Medan, 1890-1942:The Penang Connection,
oleh Dirk A.Buiskool, JMBRAS Vol.82 Part 2, 2009, p.113-129.
Butcher, Jhon G., The Salt Farm and The Fishing Industry in Bagan Siapi-api, Artikel
yang dimuat dalam jurnal Southseast Asian Program, Publications at
Cornell University, Volume 62, Oct, 1996;
———., The Marine Fisheries of Western Archipelago: Towards an Economic History,
1850 to the 1960s, The Balinese Studies of Biodiversity: The Fish
Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and P.Martosubroto,
Tahun 1996, hal.24-39.
Buusy, JH De., Deli in Woord en Beeld,, Amsterdam, Tahun 1905;
Casparis, J. G. de. Indonesian Palaeography: A History of Writing in Indonesia from the
Beginnings to c. AD 1500. Leiden: E. J. Brill, 1975.
———. “Kerajaan Malayu dan Adityawarman.” Seminar Sejarah Malayu Kuno, Jambi,
7–8 December 1992.
Christie, Jan Wisseman, “Trade and State Formation in the Malay Peninsula and
Sumatra, 300 B.C. – A.D. 700.” In The Southeast Asian Port and Polity: Rise
and Demise, edited by J. Kathirithamby- Wells and John Villiers. Singapore:
Singapore University Press, 1990.
Coppel, Charles A., Tiong Hoa Indonesia dalam Krisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
Tahun 1994, Judul asli: Indonesian Chinese in Crisis, Oxford University
Press, 1984.
Coedes, G. Indianized States of Southeast Asia. Honolulu: East-West Center Press,
1968.
Coedes, G., Damais, Kulke & Manguin, “KEDATUAN SRIWIJAYA: Kajian Sumber Prasasti
dan Arkeologi, kumpulan artikel pilihan, Komunitas Bambu- Ecole Francais
d’Extreme –Orient dan Pusat Arkelogi Nasional, Edisi kedua 2014.
Cortesao, Armando, ed. The Suma Oriental of Tomé Pires. London: Hakluyt Society, 2
vols., 1944.
Creutzberg, Pieter dan J.T.M.Van Laaren, Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia,
Penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Darmawan, Salman, Jagad Maritim: Dialektika modernitas dan Artikulasi
Kapitalismepada komunitas Konjo di Sulawesi Selatan, penerbit
Ininnawa, tahun 2006.
Delsman,H.C., Fishing and Fish Culture in The Netherlands Indie, 1939.
Dobbin, Christine. Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central
Sumatra, 1784–1847. London/Malmo: Curzon Press, 1983.
Donkin, R. A. Dragon’s Brain Perfume: A Historical Geography of Camphor. Leiden: E.
J. Brill, 1999.
Drakard, Jane. A Kingdom of Words: Language and Power in Sumatra. Kuala Lumpur:
Oxford University Press, 1999.
314

Edwards McKinnon, E. “Kota Cina: Its Context and Meaning in the Trade of Southeast
Asia in the Twelfth to Fourteenth Centuries.” 2 vols. Ph.D. dissertation,
Cornell University, 1984.
Evers, Hans Dieter, Sosiologi Perkotaan: Urbanisasi dan Sengketa Tanah di Indonesia
dan Malaysia, Tahun 1986; Cetakan keempat, Tahun 1996.
————, Rudiger Korff, URBANISME DI ASIA TENGGARA: Makna dan Kekuasaan
dalam Ruang-Ruang Sosial, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2002.
Fitrisia, Azmi, Perikanan Bagansiapiapi (1871-1942), Tesis, Universitas Gajah Mada,
Tahun 2002;
Fitrisia, Azmi dan Soegijanto Padmo, Sejarah Perikanan Bagansiapiapi: 1871-1942,
Program Studi Sejarah: Program Pascasarjana Universitas gadjah Mada,
Tahun 2007 hal.497 – 506, dalam SOSIOHUMANIKA, 15, (3), September
2002.
Fox, James J., PANEN LONTAR: Perubahan Ekologi dalam Kehidupan Masyarakat Pulau
Rote dan Sawu, Pustaka Sinar Harapan, 1996.
Furnivall, J.S., Netherlands India: A Study of Plural Economy, Cambrigde, 1967.
Geertz, Clifford, MOJOKUTO: Dinamika Sosial Sebuah Kota di Jawa, Pustaka
Grafitipers, Cetakan pertama 1986, judul asli: The Social History of
Indonesian Town, The Massachussets Institute of Technology, Cambrigde,
1963.
————, INVOLUSI PERTANIAN: Proses Perubahan Ekologi di Indonesia,
diterjemahkan oleh S.Supomo, Kata Pengantar Prof.Ir.Sajogjo, diterbitkan
untuk Lembaga Pendidikan Sosiologi Pedesaan Intitut Pertanian Bogor,
Yayasan Obor, Bhatara Karya Aksara, Jakarta, 1983.
Gobee, E., De Oorzaken van de achteruitgang van de vischindustrie te Bagan Siapi-
api. Mededeelingen van het Visscherijstation VII, 1912.
Groeneveldt, W.P., Nusantara dalam Catatan Tionghia, Komunitas Bambu, cetakan
pertama 2009, judul asli: Notes on the Malay Archipelago and Mallaca
Compiled from Chinese Sources: Verhandelingen van het Bataviaasch
Genootschaap van Kunsten en Wetenschappen, Jil XXXIX, 1880.
Guillot, Claude (Penyunting), Lobu Tua Sejarah Awal Barus, Seri Terjemahan Arkeologi
No.12, Yayasan Obor Indonesia dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient,
Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta, 2014.
Haga, B.J., De Beteekenis Der Visscherij Industrie van Bagan Api-Api En hare Toekomst
dalam De Economist Tahun 1917 Volume ; 66, Number1, P.237-262
————, Economische Nalezingen en Berichten dalam De Economist tahun 1918
Volume 67 Number 1 hal 75-76
Hardenberg, J.D.F., “The Fish Fauna of Rokan Mouth,” TREUBIA, Institut Scientifiques
De Buitenzorgs Lands Pantentuin, Volume XIII, 1931.
Harsono, Ganis, Cakrawala Politik Era Sukarno, Inti Idayu Press, 1985.
Hefner, Robert W., GEGER TENGGER: Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, LKIS,
Cetakan pertama 1999, judul asli: The Political Economy of Mountain
Java: An Interpretative History, University of California Press, 1990.
315

Hendraparya, Tressi A., ONDERAFDEELING BAGANSIAPIAPI: Negeri Penghasil Ikan


Terbesar di Dunia, Soreram Media, Cetakan I, Pekanbaru, tahun 2011.
—————, RIAU DARATAN: Dari Darat Sampai Pesisir, Soreram Media, Cetakan I,
Pekanbaru tahun 2015.
Horsting, L.H.C., Bagansiapiapi, The largest and the Most importand Fishing Centre of
Netherland Indie, Published in: Inter-Ocean.A Dutch East Indian Magazine
covering Malaysia and Australasia, Vol. 4, Number 9, September 1923.
Hourani, George F. Arab Seafaring in the Indian Ocean in Ancient and Early Medieval
Times. Princeton, N.J.: Princeton University Press, 1995.
Jahja, Juni Sjafrien, Perang Tuanku Tambusai Sang Harimau Rokan Melawan
Penjajahan Belanda: Dalam Perspektif Kebangsaan Indonesia, Visimedia,
Cetakan pertama, tahun 2015.
Jhonson, Doyle paul, Sosiologi Klasik dan Modern, Gramedia Jakarta, 1994.
Jordaan, P.H., Het Zoutverbruik bij de Visscherij Van Bagan Si Api-Api, dipublikasikan
oleh Batavia Instituut voor de Zeevisscherij, Tahun 1941.
Jufrida, “Masuknya Bangsa China ke Pantai Timur Sumatra,” Balai Arkeologi Medan,
Historisme, Edisi No.23/ Tahun XI/2007;
Kahin, Audrey, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia
1926-1998, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta tahun 2008.
Kartodirdjo, Sartono, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, Gramedia
Pustaka Utama, 1992.
Kern, Hendrik. Verspreide Geschriften. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1936.
Krom, N. J. Hindoe-Javaansche Geschiedenis. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1931.
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Tiara wacana Yogyakarta, Tahun 2003.
Kusnadi, Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumber Daya Perikanan,
LKIS, Cetakan I, 2002.
Kusnadi, Jaminan Sosial Nelayan, Editor: Ainur Rahim, Penerbit LKIS Yogyakarta, Tahun
2007.
Kymlicka, Will, Kewargaan Multikultural: Teori Liberal mengenai Hak-Hak Minoritas,
Jakarta, LP3ES, 2002.
Lombard, Denys, Nusa Jawa Silang Budaya: Kajian Sejarah Terpadu, Buku 2, Jakarta
Tahun 2005, Judul asli: LE CARREFOUR JAVANAIS; Essai d’Histoire Globale,
1990.
Lohanda, Mona, “The Kapitan China of Batavia: 1837-1942, A History of Chinese
Establishment in Colonial Society”, Penerbit Djambatan Cetakan ke-2,
Tahun 2001.
Lubeigt, Guy. “Ancient Trans-peninsular Trade Roads and Rivalries over the Tenasserim
Coasts.” In Trade and Navigation in Southeast Asia (14th–19th centuries),
edited by Nguyen The Anh and Yoshiaki Ishizawa. Paris: L’Harmattan,
1999.
Luthfi, Amir, “Hukum dan perubahan struktur kekuasaan: pelaksanaan hukum Islam
dalam Kesultanan Melayu Siak, 1901-1942,” tahun 1991.
316

Mahyudin, Sudarno, Gema Proklamasi RI dalam Peristiwa Bagansiapiapi, penerbit


Adicita Yogyakarta, Tahun 2006;
————, Sejarah Perguruan Wahidin, dalam www.iapw.info., 11 April 2008.
Manguin, Pierre-Yves. “The Archaeology of Early Maritime Polities of Southeast Asia.”
In Southeast Asia: From Prehistory to History, edited by Ian Glover and
Peter Bellwood. London/New York: RoutledgeCurzon, 2004.
Markus, B., Visscherij-Methoden en Vischproducten Van Bagan Si Api-Api, Pubisher:
Batavia:Instituut Voor Zeevisscherij, 35p., Tahun 1941.
Marsden, William, Sejarah Sumatra, diterjemahkan dari History of Sumatra, the third
edition, 1966, Oxford University Kualalumpur, Cetakan pertama
Komunitas Bambu, Juni 2008.
Martosubroto,P., T Sujastani &D.Pauly, De Mid 1970s Demersal Resourches in the
Indonesian Side of Melacca Strait, The Balinese Studies of Biodiversity:
The Fish Resources of Western Indonesia Edited by D.Pauly and
P.Martosubroto, Tahun 1996.hal. 40-46.
Mashyuri: Usaha Penangkapan ikan dan masyarakat Nelayan di Indonesia 1880-1940;
LIPI, Tahun XX, No.1, Tahun 1993, hal.26
Meuraka, Dada, Keradjaan Melaju Purba (Sekitar suku-suku di Sumatera), Penerbit
“Kalidasa” Medan, 1971.
Miksic, John. “Archaeology, Ceramics, and Coins.” JESHO 39, 3 (1996): 287–97.
———. “Archaeology, Trade and Society in Northeast Sumatra.” Ph.D. dissertation,
Cornell University, 1979.
———. “Classical Archaeology in Sumatra.” Indonesia 30 (October 1980).
———. “The Cola Attacks.” The Encyclopedia of Malaysia. Early History. Vol. 4.
Singapore: Didier Millet, 1998, 120–1.
Nas, P.J.M., Kota di Dunia Ketiga, Pengantar Sosiologi Kota dalam Tiga Bagian, Fakultas
Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Indonesia, Insitut Antropologi Kebudayaan
Universitas Leiden, Penerbit B.H.Ratara Karya Aksara, 1979.
Netscher, E. De Nederlanders in Djohor en Siak, 1602–1865. Verhandelingen Van Het
Bataviaasch Genootschap Van Kunsten en Wetenschappen, Deel XXXV,
Batavia: Bruining & Wijt, 1870.
Nilakanta Sastri, K. A. South India and South-East Asia: Studies in Their History and
Culture. Mysore: Geetha Book House, 1978.
———. “Takuapa and Its Tamil Inscription.” JMBRAS 22 (1949): 25–30.
Noordjanah, Andjarwati, Komunitas Tiong Hoa di Surabaya (1910-1946), Penerbit
Messias, Cetakan pertama tahun 2004.
Nurhadiantomo, HUKUM REINTEGRASI SOSIAL: Konflik-konflik Sosial Pri-Non Pri dan
Hukum Keadilan Sosial, Muhammadyah University Press, Surakarta, 2004.
Parkin, Harry. Batak Fruit of Hindu Thought. Madras: 1978.
Patilima, Hamid, Metode Penelitian Kualitatif, Penerbit Alfabeta Bandung, Tahun
2005.
Peret, Daniel, Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut,
KPG(Kepustakaan Popular Gramedia) Tahun 2010; Judul Asli, La
317

Formation d’un Paysage Ethique: Batak & Malaise de Sumatra Nord Est,
Ecole Francaise d-Extreme Orient, 1995.
Profil Perkotaan pada kawasan Andalan di Indonesia, Deputi Bidang Regional dan
Daerah BAPPENAS, 1997.
Prosiding Seminar VI Ekosistem Mangrove, Pekanbaru 15-18 September 1998, MAB
Indonesia LIPI,
Purcell, Victor, The Chinese in Souteast Asia, Oxford Uinversity Press, first published in
1951, Reprinted 1981.
Reichle, Natasha Ann. “Violence and Serenity: Late Buddhist Sculpture in Indonesia.”
University of California at Berkeley, 2002.
Reid, Anthony. “Menuju Sejarah SUMATRA: Antara Indonesia dan Dunia, Penerbit:
KITLV Jakarta dan Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, Tahun 2011.
—————, Sumatra: Revolusi dan Elit Tradisional, terjemahan Komunitas Bambu,
tahun 2011, judul asli, The Blood of the People: Revolution and the End of
tradisional Rule in Northern Sumatra, Oxford University Press, 1979.
Ricklefs, M.C., Sejarah Indonesia Modern (1200-2008), terjemahan, Cetakan I,
November 2008, Judul Asli: A History of Modern Indonesia since c,1200,
Polgrave, 2008.
—————, SEJARAH ASIA TENGGARA: Dari Masa Prasejarah Sampai Kontemporer,
Komunitas Bambu, tahun 2013.
Ritzer, George, Sociology: A Multiple Paradigm Science(Boston, Allyn and Bacon
Inc.,1980.
Rochwulaningsih, Yety,: Petani Garam Dalam Jeratan Kapitalisme: Analisis Kasus
Petani Garam di Rembang Jawa Tengah, Jurusan Sejarah Fakultas Sastra
Universitas Diponegoro Semarang..
Setyawati, Santi, Pasang Surut Perikanan Bagansiapiapi (1896 -1936), Tesis, oleh Santi
Setyawati, pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Tahun 2008.
Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro: Sebuah pendekatan terhadap Realitas Sosial,
Penerbit Rajawali Press, Jakarta, Cetakan Pertama, Tahun 1993, Judul asli:
Macrosociology, Tahun 1991.
Satyawati Suleiman. “The Archaeology and History of West Sumatra.” Bulletin of the
Research Center of Archaeology of Indonesia 12 (1977): 1–25.
Scott, James C., MORAL EKONOMI PETANI: Pergolakan dan Subsistensi di Asia
Tenggara, LPP3ES, diterjemahkan oleh Hasan Basri, Cetakan keempat
1994. Judul asli: The Moral Economy of Peasant, Rebellion and Subsistence
in Southeast Asia, Yale University Press L.t.d., 1976.
Siregar, Makruf, 127 Tahun Jejak Perikanan Riau: 1866-2013, Lahir Terperangkap
Hutang Matipun Meninggalkan Hutang, Zanafa Publishing, Pekanbaru,
Mei 2014.
Soemardjan, Selo, Perubahan Sosial di Yogyakarta, Cetakan ke-2, Komunitas Bambu
tahun 2009, judul asli: Social Changes in Yogyakarta, 1962, Cornell
University Press.
318

Soemardjan, Selo (Kata Pengantar), Stereotip Etnik, Asimilasi, Integrasi Sosial, Yayasan
Ilmu-iImu Sosial, Pustaka Grafika Kita, 1988.
Strauss, Amselm & Juliet Corbin, Dasar-sadar Penelitian Kualitatif: tatalangkah dan
teorisasi data, Pustaka Pelajar, tahun 2003.
Sumarno, Edi, “Mundurnya Kota Pelabuhan Tradisional di Sumatra Timur pada Priode
Kolonial, dalam Buletin Historisisme; Edisi No.22/Tahun XI/Agustus 2006.
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Cetakan Pertama, Bulan Februari
Tahun 1985.
Suryadinata, Leo, Etnis Tiong Hoa dan Pembangunan Bangsa, Pustaka LP3ES, Jakarta
Tahun 1999.
Suryadinata, Leo, Negara dan Etnis Tiong Hoa: Kasus Indonesia, LP2ES, Jakarta Tahun
2002.
Susilo, Edi, Dinamika Struktur Sosial dalam Ekosistem Pesisir, Pengantar
Prof.Dr.Ir.Keppi Sukesi, UB Press, 2010.
Sutjiatingingsih, Sri, Gatot Winoto, Kepulau Riau pada Masa Dollar, Proyek
Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional dan Nilai Tradisional
Direktorat Jenderal dan kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, 1999.
Syafri, Yulizar, Kontekstualisasi Kesukubangsaan di Perkotaan, Institut Antropologi
Indonesia, Cetakan I tahun 2010.
Tabrani, Sejarah Kabupaten Rokan Hilir, Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir Tahun
2008.
Tamin, Wan Saleh, Lintasan Sejarah Rokan, Badan Pembina Kesenian Riau, Januari
1972.
Tideman, Land en Volk Bengkalis, Mededeeling No.9, Van Het Encyclopedisch Bureau
Van De Koninklijke Vereeniging Koloniaal Intitute, Opgenomen In Het
Tijdschrift Koninklijke Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap,
November Tahun 1935;
Van Gorsel, J.T., Bibliography of the Geologi of Indonesia and Surrounding areas, 3rd
Edition, April 2011, II Sundaland.
Vermeulen, Johanes Theodorius, Tiong Hoa di Batavia dan Huru-Hara 1740, Komunitas
Bambu Jakarta 2010, judul asli: De Chineezen te Batavia en de Troebelen
van 1740, Universiteit Leiden, 1938.
Vickers, Adrian, Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara, Kata
Pengantar Bambang Puwanto, Pustaka Larasan, Udayana University
Press, 2009.
Vleming Jr, De Chineesche Zakenleven In Nederland Indie, Tahun 1923;
Wade, Geoffrey. “The Ming Shi-lu (Veritable Records of the Ming Dynasty) as a Source
for Southeast Asian History: Fourteenth to Seventeenth Centuries.” Ph.D.
dissertation, Hong Kong University, April 1994.
Wahid, Abdul, Bertahan ditengah Krisis: Komunitas Tiong Hoa dan Ekonomi Kota
Cirebon pada masa Depresi Ekonomi 1930-1940, Penerbit Ombak tahun
2009.
319

Wang Gungwu. The Nanhai Trade: The Early History of Chinese Trade in the South
China Sea. Kuala Lumpur: Malayan Branch of the Royal Asiatic Society,
1958.
———. “The Opening of Relations between China and Malacca, 1403–5.” In Malayan
and Indonesian Studies, edited by John Bastin and R. Roolvink. Oxford:
Clarendon Press, 1964, 87–104.
Weber, Max, The Protestan Ethic and The Spirit of Capitalism, Routledge, London and
New York, 1992.
Wertheim, W.F., Masyarakat Indonesia dalam Transisi: Studi Perubahan Sosial, Tiara
Wacana Yogya, Cetakan pertama 1999.
Wheatley, Paul. The Golden Khersonese. Kuala Lumpur: Pustaka Ilmu, 1966.
Winarni, Retno, Cina Pesisir: Jaringan Bisnis Orang-orang Cina di Pesisir Utara Jawa
Timur Sekitar Abad XVIII, Pustaka Lrasan, 2009.
Wirawan, Verry, Sejarah Masyarakat Tiong Hoa Makassar: dari abad ke-17 hingga ke-
20, Pustaka Hikmah Disertasi(PhD), KPG(Kepustakaan Popular Gramedia)
bekerjasama dengan Ecole Francaise d’Extreme-Orient(EFEO), KITLV
Jakarta, Cetakan pertama Desember 2013.
Wolters, O. W. Early Indonesian Commerce: A Study of the Origins of Sri Vijaya. Ithaca,
N.Y.: Cornell University Press, 1967.
Yang, Twam Peck Yang, Elite Bisnis China di Indonesia: dan masa transisi kemerdekaan
1940-1950, Penerbit Niagara, tahun 1998.
Yayasan Kesejahteraan Keluarga Pemuda “66”: SEKITAR PEMBAURAN BANGSA DI
INDONESIA, Cetakan pertama 1985.
Yunus, Hadi Sabari, Klasifikasi Kota, Pustaka Pelajar, Mei 2005.
Zuhdi, Susanto, CILACAP (1830-1942): Bangkit dan Runtuhnya Suatu Pelabuhan di
Jawa, KPG(Kepustakaan Popular gramedia), 2002.

Artikel, Arsip dan Surat-surat Era Kolonial dan Revolusi Phisik:


1. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde Vol 32, No 1 (1884)
Beschrijving eener Reis van Bengkalis langs de Rokan-Rivier naar Rantau
Binoewang, A. van Rijn van Alkemade (KITLV);
2. Handelingen der Staten-Generaal, Bijlagen, 1885-1886, (110.1.) Geleidende
brief, aan de Heer Voorzitter van de Tweede Kamer der Staten Generaal, ‘S
Gravenhage, den10den December, 1885
3. Bijdragen tot de Taal-, Land – en Volkenkunde, Vol. 37, No.1, 1888, De
Verbreiding Van Het Matriarchaat Op Sumatra door DR.G.A.Wilken;
4. ENCYCLOPEDIE Nederlandsch-Indie: Met Medewerking van Verschillende,
Ambtenaren, Geleerden en Officieren, Samengesteld door P.A.Van Der Lith
en Joh.F.Snelleman, Deerde Deel, “S-Gravenhage-Leiden, Martinus Nijhoff –
E.J.Brill, 1896, Centrale Boekerij Kon.Ins.&Tropen Amsterdam;
320

5. ZEEMANSGIDS voor den Oost-Indieschen Archipel. Deel II, Noord en


Oostkust Atjeh: Straat Malaka; Straat Singapoera; Riouw en Lingga-Arcipel;
Straat Banka; Oost en zuidoostkust Sumatra tot hoek Kangalan en Duizend
Eilanden: Ministerie van Marine, Afdeeling HYDROGRAPHIE, ‘S Gravenhage,
Mouton & Co., 1900, hal.174-176;
6. Koloniaal Verslag 1901, Nederlandsch (oost) Indie, Bijlage F.J.;
7. Tijdschrift voor het Binnenlandsch Bestuur; Negen-en-dertigste deel,
Batavia, G.Kolff & Co, 1910: Baboe’lkawaid Almoestachaza billah, tertjap
ditjetakan, Kerajaan Siak Seri Inderapoera, 1901, Koninklijk Instituut voor de
Troepen Museum;
8. CHINEEZEN BUITEN CHINA – Hunne Beteekenis voor de ontwikkeling van
zuid-oost-azie, Spesiaal van Nederlandsch-Indie door L.H.Van Sandick,
Controleur bij het Binnenlandsch Bestuur op de Bezittingen buiten Jawa en
Madoera, ‘S gravenhage M.Van der Beek’s Hofboekhandel, 1909, hal.337-
338;
9. Tijdscrift voor Het Binnenlandsch Bestuur, Drie en veertigste deel, Batavia,
G.Kolff & Co, 1912.hal 215-221; Het De Vischerij Industrie Te Bagan Si Api-
Api door A.G.Van Der Land, Weltevreden, 6 Agustus 1912
10. Tijdscrift voor Het Binnenlandsch Bestuur, Vier en veertigste deel, Batavia,
G.Kolff & Co, 1913, p.44-62, “Nog een de vischindustrie te Bagan Si Api Api”
door Dr.A.L.J.Sunier, Batavia, 10 januari 1913
11. Koloniale studiën : tijdschrift van de Vereeniging voor studie van koloniaal-
maatschappelijke vraagstukken, Volume 1, Number 2, 21 July 1917 —
Persoverzicht;
12. Koloniaal Verslag 1917, - Nederlandsch (Oost) Indie, Bijlage PP., Statistiek:
betreffende den POST, TELEGRAAF, en TELEFOONDIENST in Nederlandsch-
Indie over 1916, meerendeels in vergelijking met de cijfers over 1914 en
1915, Handelingen der Staten Generaal. Bijlagen 1917/1918;
13. KOLONIALE STUDIEN – Tijdschrift van de Vereeniging voor Studie van
Koloniaal Maatschapelijke vraagstukken, Deerde Jaargang Eerste deel,
Albrecht & Co.- Weltevreden 1919; “De Garnalenvisscherij van Bagan Api-
Api” door B.J.Haga, Bagansiapiapi Juni 1918, hal.151-159;
14. Geschiedenis van Sumatra's Oostkust. DEEL II. De Oostkust als zelfstandig
gewest van 1873 tot 1900. OOSTKUST VAN SUMATRA- INSTITUUT,
Mededeeling N9. 2. DOOR W. H. M. SCHADEE. AMSTERDAM 1919.
15. WEEKBLAD voor INDIE: Onafhankelijk Indisch Weekblad Onder
Hoofdredactie van J.Verboom, 17 de jaargang No.5, 9 Mei 1920: De Kerk en
de Vrijmetselarij;
16. Mededeeling / Afdeeling tropische hygiene, Koloniaal instituut te
Amsterdam, 1 January 1920, Edition 000-1920-0008 — HOOFDSTUK II
MALARIA. “De Inl.arts Pratomo te Bagansiapiapi (S.O.K) vond eenmaal de
larven van M.Leucosphyra in de holle stomp van en Nipapalm (Snijders).”
321

17. INDIE Geilustreerd Weekblad Voor Nederland en Kolonien, Onder Redactie


van prof Dr.A.W.Nieuwenhuis; Prof.Dr.PB Dejosselin De Jong; M.Joustra en
C.Clekkerker. Redactrice in Indie Mevrouw Mereitsma-Brutel De La Riviere;
Jaargang No.6, 11 Juni 1924, “Indische Rivieren” door L.TIP, hal 92-96.
18. INDIE Geilustreerd Weekblad Voor Nederland en Kolonien, Onder Redactie
van prof Dr.A.W.Nieuwenhuis; Prof.Dr.PB Dejosselin De Jong; M.Joustra en
C.Clekkerker. Redactrice in Indie Mevrouw Mereitsma-Brutel De La Riviere;
HPH dalam artikel “Swars Door Sumatra”: Jaargang No.8 Tanggal 23 Mei
1923, Nederlandsch Oost indie: Administratie en redactie : bandoeng-Nieuw
Merdika 17; Kemudian Artikel “Het Chineesche Visscherij te Bagansiapiapi,”
jaargang No.17 Tanggal 12 November 1924 Hal.260-271: Serta Artikel
berjudul “Het Chineesche Visscherijf Bedrijf Te Bagansiapiapi,” Jaargang
No,19 Tanggal 10 Desember 1924 hal.300-308.
19. Memorie Van Antwoord (Ingezonden bij brief van 1 December 1925),
Bijlagen Tweede Kamer 1184.6, Machtiging aangaan overeenkomst met de
N.V. Koninklijke Paketvaart Maatschappij, gevistigd te Amsterdam;
20. “DE BEVOLKINGSRUBBERCULTUUR IN NEDERLANDSCH-INDIE”: Riouw En
Onderhoorigheden, Oostkust Van Sumatra en Atjeh en Onderhoorigheden:
Rapporten van Verschillende Commissies, Samengevat door den her
C.G.Slotmaker en nadir Uitgewerkt door de Afdeeling Landbouweconomie
Van het Departemen Van Lanbouw, Nijverheid en handel: Weltevreden
1926;
21. In en om de Chineesche Kamp: Moerman,J.Hardeman,J., Landsdrukkerij,
1929. – Chapter: 6.Immigratie;
22. Treubia: reeueil de travax zoologiques, hydrobiologiques et
oceanographiques / ‘s Lands plantentuin = Jardin Botanique de Buitenzorg,
Jaargaang 13, Aflevering 1, 1 Januari 1931; The Fishfauna of The Rokan Moth
by Dr.J.D.F.Hardenberg (Laboratorium voor het Onderzoek der Zee,
Batavia),;
23. Treubia: reeueil de travax zoologiques, hydrobiologiques et
oceanographiques / ‘s Lands plantentuin = Jardin Botanique de Buitenzorg,
Jaargaang 14, Aflevering 1, 1 Januari 1932; The Fishfauna of The Rokan Moth
by Dr.J.D.F.Hardenberg (Laboratorium voor het Onderzoek der Zee,
Batavia),
24. Koninklijke Vereeniging Koloniaal Instituut Amsterdam, Mededeeling No:
XXXIII Afdeeling Handelsmuseum No.13, Inlichtingen en Onderzoekingen
van de Afdeeling Handelsmuseum in 1932, Uitgave van het Instituut. Druk
De Bussy, Amsterdam, 1932;
25. Koniklijke Vereeniging Koloniaal Instituut Amsterdam, Mededeeling
No.XXXIII, Afdeeling Handelsmuseum No.13, Inlichting en Onderzoeken van
de Afdeeling Handelsmuseum in 1932, Druk de Bussy, Amsterdam, 1933;
26. VOLKSTELLING 1930, Deel IV Inheemsche Bevolking van Sumatra,
Departemen Van Economische Zaken, 1935 Batavia;
322

27. INDISCHE VERSLAG 1931: Tekst Van Het Verslag Van Bestuur En Staat Van
Nederlandsch-Indie Over Het Jaar 1930, Gedrukt Ter Algemeene
Landsrukkerij – 1931/1932.
28. Mededeeling / Afdeeling handelsmuseum, Koloniaal instituut te
Amsterdam, Volume 0, 1 January 1934, Edition 000-1934-0014.
29. INDISCH VERSLAG 1941: II.Statistisch Jaaroverzicht Van Nederlandsch-Indie
over het jaar 1940, III.Netherlands Indian Report 1941, Landsdrukkerij –
1941 – Batavia.
30. Officiele Bescheiden Betreffende de Nederlands-Indonesische Betrekkingen
1945-1949, uitgegeven door Dr.S.L.van der Wal, Vijf deel, 16 Juli – 28
Oktober 1946.
31. Documentatie van de Afdeeling handelsmuseum van het Indisch instituut,
Volume 4, 19 March 1949, Edition 004-1949-0006 — Page 148; Verkeer, De
haven van Bagan Si Api-Api is verzand.
32. B.A.Mukhtar, Laporan Tim Pendamai Bagansiapiapi, tanggal 14 November
1946.

Koleksi ANRI :
1. Staatsblad 1894 No.93 & 94, 21 April 1894.
2. Nota: Adviseur voor Chineesche Zaken te Batavia, Mouw, 16 Januari 1916.
3. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 5 Januari
1925 (Controleur A.Te Velde);
4. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 14 Mei
1931 (Controleur C.Baalbergen);
5. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 30 Agustus
1934 (Controleur Boudewijn Van Duuren);
6. Memorie Van Overgave Van de Onderafdeeling Bagansiapiapi, 1934 – 1936
(Controleur J.C.C.Haar);
7. Vervolg Memorie Van Overgave Van Dr.H.D.Von Meyenfeldt, 6 Maret 1937
– 27 Oktober 1938;
8. Keterangan/Verklaring No.193, tanggal 29 Oktober 1938, 6den December
1938. Sultan Siak Sri Indrapura en de Assistant Resident van Bengkalis.
9. Hoofder Opium en Zoutregie, aan den Directeur van Verkeer en Waterstaat,
16 December 1938 No.9895, Onderwerp: Nieuwbouwen regiebouwen te
Bengkalis Bagansiapiapi.
10. Afschrift, de Veld Politie te Bagansiapiapi, 2 Februari 1937, No.180/8,
onderwerp: Zeerbouwvallige toestand der kazerne Veld Politie te
Bagansiapiapi.
11. Afschrift, De Afdeeling Veld Politie ter oostkust van Sumatra, Bengkalis,
6den Februari 1937, No.3884/4, Onderwerp: Zeerbouwvallige toestand der
kazerne Veld Politie te Bagansiapiapi.
323

12. Situatie Bagan Si Api Api, 0.29 No.45-39, schaal 1:2000,1941.


13. Telegrammen van Medan, verzonden 23 September 1946, 1852/3.
14. Afshcrift: Algemeene Politie Riouw: K.P.M.Building Singapore, Singapore 23
September 1946. Geheim Eighandig, No.183.
15. An Urgent Appeal For The Overseas Chinese in The Netherlands East Indies
(Editorial, Ta Kung Pao, 24 September 1946).
16. Afschrift: Rapport van den Politiken Inlichtingen dienst van de Residentie
Riouw, Singapore 24 September 1946, Geheim Eighandig No.184.
17. Afschrift: Rapport van den Politiken Inlichtingen dienst van de Residentie
Riouw, Singapore 24 September 1946, Geheim Eighandig No.185.
18. Afschrift: Rapport van den Politiken Inlichtingen dienst van de Residentie
Riouw, Singapore 25 September 1946, Geheim Eighandig No.186.
19. Codetelegram van Singapore: Verzonden 16-9-1946, Most Immediate, 1797,
date 26 Sept.1946.
20. Note Verbal 0 35 No.9120, Nanking, 5 October 1946.
21. To Inquire the Overseas Chinese in The Netherlands East Indies (Editorial
Shen Pao, 7 Oktober 1946).
22. Consulaat Generaal The Nederlanden te Shanghai, Chineesche Pers, 9
October 1946, Chinese Warship Asked To Go To Save The Chineese in Bagan.
Singapore October 8th ( Ta Kung Po special correspondent).
23. Aanvullend Verslag van de Reis naar Kuala Lumpur van 12 tot 13 October
1946 voor den bezoek aan de Chineesche refuge’s uit Bagansiapiapi en
omgeving, Singapore, 16 October 1946.
24. Geheim, Nanking, 17 October 1946, No.J-20/III/5385/387, Onderwerp:
Incident te Bagansiapiapi.
25. Nedelandsch Indische Roode Kruis Afdeeling Oostkust van Sumatra, Medan
25 October 1946, No.1060/K/B, Onderwerp: Steunverleening aan
Bagansiapiapi.
26. Dienst der Volksgezondheid, Batavia, 28 November 1946, No.8469/xxx-R
Geheim, Onderwerp: Koepokstof en Typhus-Cholera-Vaccin voor de
Bevolking van Bagansiapiapi.
27. Verslag van de derde dienstrreis naar Kuala Lumpur van 1 – 4 December
1946.
28. Afschrift 12157, Geheim, 4 December 1946.
29. Consulaat Generaal Der Nederlanden, Geheim, Singapore, 4 December
1946.
30. Departement van Binnenlandsch Bestuur, Batavia, 5 December 1946,
Nomor B.Z.17/2/35, Onderwerp: Verzorging van Chineesche Vluchtelingen
uit Panih Pahan.
31. Dpartement van Economisch Zaken, Batavia 21 December 1946,
No.49.E.S.Geheim, Onderwerp: Verzorging van Chineesche Vluchtelingen
van panih Pahan.
324

32. Departement van Binnenlandsch Bestuur, Batavia 17 Januari 1947,


No.B.Z.17/1/1, Onderwerp: Verzorging Vluchtelingen uit Panih Pahan.
33. Departement van Binnenlandsch Bestuur, Batavia 14 Maart 1947,
No.E.V.7/1/5, Onderwerp: Evacuatie van Chineesche Vluchtelingen uit Panih
Pahan.
34. British Consulate Generaal, Batavia, 12 Juni 1947, No.16/27/47.
35. Geheim, 20 October 1948, Het “Incident Bagansiapiapi”: De Onlusten in
Bagansiapiapi in Maart-September 1946.
36. Surat Djaksa Agung kepada Mahkamah Agung Jawatan Resersi Pusat,
tanggal 13 Desember 1950 Nomor: Pol./C.4/2192/816 Perihal Ketegangan
antara R.R.T. dan Kuo Min Tang di Bagan Si Api-Api;
37. Laporan Khusus Badan Koordinasi Pelaksana INPRES Nomor 6/1971, Nomor:
11/LAPSUS/BAKOLAK/V/1973, tanggal 23 Mei 1973 tentang Pemakaian
Candu dan Jumlah Addicts di Daerah Bagansiapiapi.

Surat Kabar:
1. De Locomotief: Samarangsch handles en advertentie-blad, 22 April 1884,
“Werkundige Waarnemingen”;
2. ALGEMEEN HANDELSBLAD: 18 Januari 1886, Binnenland: Tweede Kamer;
3. JAVA BODE, 21 Juli 1886, “Siak II”;
4. Bataviaasch Niewsblad, 28 Februari 1888, “De Politie Match ter Sumatra’s
Oostkust”;
5. JAVA BODE, 28 November 1888;
6. De Locomotief: Samarangsch handles en advertentia – blad, 30 November
1888, “Uit de Indische Bladen”;
7. Nieuwe Amsterdamsche Courant: Algemen Handelsblad : 2 Juni 1889
(Siak);
8. Rotterdamsch Nieuwsblad, 1 Maret 1894, “Kolonien”;
9. Utrechts Nieuwsblad, 30 April 1897, “Kolonien”;
10. De Sumatra Post, 31 Januari 1899, “De Sultan Van Siak.”
11. Algemeen Handelsblad, 30 Mei 1894, “Nederlandsch Kolonien: Engelsche
Mail”;
12. De Sumatra Post, 8 November 1900, “Telegrammen”;
13. De Sumatra Post, 14 Maret 1902, “Vertrokken”;
14. De Sumatra Post, 30 September 1902, “De controleur van Bagan Si Api
Api”;
15. De Sumatra Post, 6 Oktober 1902, “Een oude bekende ter Oostkust”;
16. De Sumatra Post, 6 Maret 1903; “de invoer van droge visch uit
Bagansiapiapi…”
17. De Sumatra Post, 24 Agustus 1903, “Controleurswoning te Bagan Api Api”;
18. De Sumatra Post, 18 Desember 1903, “De Droge Visch”;
325

19. De Sumatra Post, 27 April 1904, “Nieuwe Postkantoren ter Oostkust”;


20. De Sumatra Post, 25 Mei 1904, “Postwezen”;
21. De Sumatra Post, 14 Januari 1905, “Verpachting”;
22. De Sumatra Post, 3 Juni 1905, “Inspectiereis van den Resident”;
23. De Sumatra Post, 13 Juni 1905, “De komst van Kapitein Colijn”;
24. De Sumatra Post, 8 Agustus 1905, “Visch-Industrie.”
25. Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 12 September 1905,
“Derde Blad: Bestuurs-Reorganisatie ter Oostkust van Sumatra”;
26. Ons Dagelijksch Nieuws, 5 Oktober 1905, “De Malaya”. Sumatra’s
Oostkust.
27. De Sumatra Post, 12 Oktober 1905, “Zoutpacht.”
28. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 12 Desember 1905,
“Zouthpacht”;
29. De Sumatra Post, 15 Desember 1906, “Brandweer ter Oostkust”;
30. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 15 April 1907,
“Chineezen-oploop te Bagan Api Api”;
31. Algemeen Handelsblad, 11 Mei 1907, “Ontevredenheid”;
32. De Sumatra Post, 1 Juni 1906;
33. De Sumatra Post, 27 September 1906;
34. De Sumatra Post, 12 April 1907, “De strijd met den dollar”;
35. Het Nieuws Van den Dag Voor Nederlandsch Indie, 8 Juli 1908, “Kolonien:
Brand ini Indie”;
36. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 21 Juli 1908 (Uit de
Indische Bladen. De Brand te Bagan Api-Api);
37. De Sumatra Post, 30 Juni 1909, “Bagansiapiapi”;
38. Nieuw Rotteramsche Courant, 4 Mei 1910;
39. Algemeen Handelsblad, 7 Juni 1910, “De Ned-Ind.Telegraaf-Commissie”;
40. De Sumatra Post, 28 Juni 1912, “Bestuursindeeling van Bengkalis”;
41. Nieuws Rotterdamsche Courant, 6 Agustus 1912, “De Visschindustrie te
Bagansiapiapi”;
42. De Sumatra Post, 16 Januari 1913, “Haven werker ter Oostkust”;
43. De Sumatra Post, 5 Maret 1915, “Bagan Si Api-Api”;
44. De Sumatra Post, 17 Maret 1915, “De heer Lovink”;
45. De Sumatra Post, 4 November 1915, “Het vischbedrijf te Bagan Api Api”;
46. De Sumatra Post, 18 November 1915, Bagan Si Api-Api II (slot)”;
47. De Sumatra Post, 4 Januari 1916, “Een ziekenhuis voor Bagan Api Api”;
48. De Sumatra Post, 6 April 1916, “Een Inlandsche School”;
49. De Sumatra Post, 19 April 1916, “VELERLEI: Uit tempo doeloe (Nieuwe
Serie) IV”;
50. De Sumatra Post, 8 Mei 1916, “Een groote vischbedrijf in Indie”;
51. De Sumatra Post, 28 Juni 1916, “Telegraafkabels”;
52. De Sumatra Post, 7 Oktober 1916, “Raad van Justitie;”
53. De Sumatra Post, 27 Maret 1917, “Koloniale Studien”;
326

54. De Sumatra Post, 16 Juli 1917, “De beteenis van Bagan Api Api”;
55. De Sumatra Post, 27 Februari 1918, “Bagan Si Api Api: I”;
56. De Sumatra Post, 27 Februari 1918, “Bagan Si Api- Api: II”;
57. De Sumatra Post, 30 Maret 1918, “Ziekenverpleging.”
58. De Sumatra Post, 9 April 1918, “De 3.G.D. ter Oostkust”;
59. De Sumatra Post, 12 April 1918, “De telegraaf”;
60. De Sumatra Post, 18 Mei 1918, “De Chineesche Prostitutie”;
61. The Strait Times, Singapura 20 April 1920 (Sumatra Village Destroyed);
62. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie : 27 April 1920, Aneta
Dienst, “De Groote Brand.”
63. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 1 Mei 1920,
“Bagansiapiapi”;
64. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederland Indie, 14 Juni 1920 (Bagan Si-
Api-APi, 14 Juni 1920. Rampspoedige plaats);
65. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederland Indie, Dendendarg 5 Agustus
1920;
66. Voorwaarts:Sociaal-Democratisch Dagblad, 8 Desember 1920,
“Gemengde berichten, Groote Storm in Indie: vermoedelijk 9 visschers
verdronken”;
67. De Sumatra Post, 9 Desember 1920, “Volkscrediet: Sumatra’s Oostkust”;
68. Het Vaderland: Staat Letterkundig Nieuwsblad, 11 Desember 1920;
69. Het Vaderland: Staat en Letterkundig Nieuwsblad, 2 Agustus 1921,
“Gemengde Berichten: Een complot ontdekt”;
70. De Sumatra Post, 28 Januari 1922, “Bagan Si Api-Api”;
71. De Sumatra Post, 9 Januari 1922 (Bagan Siapi-api);
72. De Sumatra Post, 24 Februari 1922, “Kabel-Storing”;
73. De Sumatra Post, 5 April 1922, “Visscherij-Onderzoek”;
74. De Sumatra Post, 4 Oktober 1923, “Medansche volkbank”;
75. De Sumatra Post, 18 Agustus 1924, “De medische verzorging van Bagan Si
Api Api”;
76. De Sumatra Post, Medan 15 Agustus 1923 (Besluiten en Benoemingen);
77. De Sumatra Post, 25 Februari 1924, “Iets over de Rokan Landen”;
78. De Sumatra Post, 25 juli 1924, “Een vreemde beschikking van den
Inspecteur de B.G.D.”;
79. De Sumatra Post, 26 Juli 1924, “De dokter van Bagan Si Api Api”;
80. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 2 Agustus 1926, “Langs
Sumatra’s Oostkust”;
81. De Indisch Courant, 5 Agustus 1924, “Een vreemde Beschikking”;
82. De Sumatra Post, 2 Desember 1925, “De afdeelingsbank van Bagan Si Api
Api”;
83. Het Nieuws van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 2 Agustus 1926, “Langs
Sumatra’s Oostkust”;
84. De Sumatra Post, 4 Maret 1927, “Raad van Justitie”;
327

85. De Sumatra Post, 30 September 1927, “Financien en Handel: Het


Volkscredietwezen”;
86. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 30 November 1927,
“Radio-Station Bagan Si Api-api.”
87. De Sumatra Post, 13 januari 1928 “Rechten en accijnzen te Bagan Si Api-
Api”;
88. De Sumatra Post, 7 Maret 1928; Uitvoer en invoer;
89. De Sumatra Post, 12 Maret 1928, “Een Holl.Chineesche School”;
90. Utrechts Nieuwsblad, 5 April 1928, “Kolonien: De tweede vischstad van
de wereld”;
91. Het Vaderland: Staat en Latterkundig Nieuwsblad,29 Mei 1928, “Van de
Leestafel Chineesche Ijmuiden Sumatra’s Oostkust”;
92. De Sumatra Post, 12 September 1928, “Koninginne-dag te Bagan Si Api-
api”;
93. Nieuwe Rotterdamsche Courant, 19 Februari 1929, “De Economisch Kant
van de Visscherij.”
94. De Sumatra Post, Medan, 5 Juni 1929, “Bagan Madjoe”; ”De Visscherij van
Bagansiapiapi”;
95. De Sumatra Post, 4 Juli 1929, “Uit Bagansiapiapi Gezef”;
96. Nieuwe Rotterdamsche Courant, 26 Juli 1929, “Bagan en de visscherij”;
97. De Sumatra Post: 15 Agustus 1929, “Het B.B.op Sumatra”;
98. De Sumatra Post, 27 Januari 1930, “Gebrek Aan Contanten in
Bagansiapiapi”;
99. Het Nieuwsblad voor Noorden, 31 Oktober 1930, Een China in
Nederlandsch Indie: Het Vischerijbedrijf Bagansiapiapi op Oostkust’s
Sumatra;
100. De Sumatra Post, 11 November 1930, “Valsche Aanklacht”;
101. Indische Courant van Woensdag, 19 November 1930, “de Kuo Min Tang
ter Oostkust”;
102. Het Nieuws Van Den Dag, 7 Agustus 1931, “Pandelingschap op Sumatra:
Slavinnen-handel te Bagan Si Api Api: Valsche Geboorte aangiften om
kinderen te kunnen Verkoopen;”
103. De Sumatra Post, 3 September 1931, “Een Chineesche Kolonie
Bagansiapiapi”;
104. De Sumatra Post, 2 April 1932, “De Visscherij te Bagansiapiapi:Dreigt Zij te
Verloopen?”;
105. Het Nieuws Van den dag voor Nederlandsch Indie, 6 April 1932, “De
Afdeeling Bengkalis”;
106. De Sumatra Post, 9 April 1932, “Het Bestuur Over Bengkalis: Nieuw
indeeling op 1 Mei”;
107. De Sumatra Post, Medan 30 Mei 1932, “De Brand Te Bagan”;
108. De Sumatra Post, 9 November 1932, “GANSTER OP SUMATRA: Chineesche
Geheime Genootschappen te Bagan Si Api Api’;
328

109. De Sumatra Post, 9 November 1932, “Belangstellin Van de Politie”;


110. De Sumatra Post, 14 Maret 1934, “Watervliegtuigen: Op weg naar Bagan”;
111. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 16 Mei 1934, “ ‘s
Werelds tweede visschershaven”;
112. Het Vaderland: Staat Letterkundig Nieuwsblad: 20 November 1934,
“Groote Brand Te Bagansiapiapi”;
113. Het Nieuws Van den Dag voor Nederlandsch Indie, 21 November 1934,
“Brand te Bagan Si Api-Api: officieele Mededeeling”;
114. Het Nieuws Van Den Dag, 3 Desember 1934, “De Brand in Bagan Si Api
APi.”;
115. De Sumatra Post, 5 November 1935, “Somkkelhandel”;
116. De Sumatra Post, 6 Mei 1936, “Ijsfabriek te Bagan Si Api Api”;
117. De Sumatra Post, 23 Maret 1936, “Chineesche Consul te Bagan Si Api Api”;
118. De Sumatra Post, 3 Maret 1937, “Waterleidingskwesties: In Bagan-Si-Api-
Api en Balige”;
119. De Sumatra Post, 3 Agustus 1937, “De Pater-Provinciaal der Capucijnen ter
oostkust: Een Onderhoud met Dr.A.Snijders.”
120. De Sumatra Post, 18 Juni 1938, “Nieuw Waterleidingnet te Bagan Si Api –
Api”;
121. De Sumatra Post, 11 Juli 1938, Voor den Politierechter: Ex-beheerder
lichnet Bagan Si Api Api staat terecht”;
122. De Sumatra Post, 23 September 1939, “Oostkust van Sumatra”;
123. Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie, 17 Februari 1939,
“Dr.RM.Pratomo verdronken”;
124. De Sumatra Post, 16 Mei 1939, “D.V.G.Arts te Bagan Si Api Api”;
125. De Sumatra Post, 2 Juni 1939, “Fraude in Bagan si Api Api: Bij
Electriciteitmaatschappij”;
126. De Sumatra Post, 5 Desember 1939, “Politie Patrolie Op Zoekk Naar Een
Tijger: En Teruggekeerd met twee gewonden”;
127. Algemeen Handelsblad Voor Nederlandsch Indie, 2 Mei 1940, Van Visscherij
en Visschen”;
128. Indische Courant, 23 Maret 1940, “Bagansiapiapi: Verzanding van den Rivier
Mond”;
129. Sin Po editie, tanggal 25 Mei 1940, “Saingan Bagan Si Api-Api”;
130. Bataviaaschnieuwsblad, 20 Juni 1941, “Geen Goed Bebakening”;
131. Indische Courant, 23 Juni 1941, “De Haven te Bagan Api Api: Verbetering
Noodzakelijk”;
132. De Sumatra Post, 18 Agustus 1941, “De Haven van Bagansiapiapi”;
133. Sumatra Sinbun, tanggal 13 Maret 1943, “Pulau Andalas dan Lingkoengan
Kemakmuran Bersama: Bersatoe di Djawa, Bersatoe di Soematra dan
Malai”;
134. Kita-Sumatra Sinbun, tanggal 18 Desember 1943, “Riau Syu Sangi Kai”;
329

135. Sinar Baroe, tanggal 29 Maret 1945, “Penduduk Daerah Bagan Si Api-Api:
Menyumbangkan 3 Pesawat Penempur”;
136. Sin Po, tanggal 25 September 1946, “Bentrokan Tionghoa-Indonesia di
Bagan Si Api-Api”;
137. Het Dagblad, 23 Juli 1946, “Sero’s te Bagansiapiapi”;
138. Sin Po, tanggal 25 September 1946, “Bentrokan Tionghoa-Indonesia di
Bagan Si Api-Api”;
139. Soeloeh Ra’jat, tanggal 25 September 1946, “Kesoelitan2 orang2 Tionghoa
di Andalas”;
140. Soeloeh Ra’jat, tanggal 26 September 1946, “Perkelahian Hebat di Bagan Si
Api-Api: Perkelahian chawatir akan Meloeap ketempat-tempat lain”;
141. Het Dagblad uitgave voor de Nederlandsch: dagblad post te Bataviasch, 26
September 1946, “Bagansiapiapi in Noorr: Indonesier Overvallen
Chineezen; Twee Dagen Zware Gevachten”;
142. Mimbar Merdeka, tanggal 26 September 1946, “200 orang Tionghoa
Binasa”;
143. Merdeka; Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 26 September 1946,
“Peristiwa Bagansiapiapi”;
144. Soeloeh Ra’jat, tanggal 27 September 1946, “Keadaan di Bagan Siapi-api:
Toean Dr.Gani akan bertindak”;
145. Sin Po, tanggal 28 September 1946, “Bentrokan di Bagan Si Api-Api”;
146. Soeloeh Ra’jat, tanggal 30 September 1946, “Peristiwa2 di Bagan Siapi-api:
Penjelasan Badan Penerangan Tentara”;
147. Sin Po, tanggal 30 September 1946, “Serangan pada Bagan Si Api-Api”;
148. Soember Penerangan, tanggal 30 September 1946, “Badai Taufan Jang Kita
Tempoeh: Oetang bidoek belum lunas, toekang dadjoeng menagih pula”;
149. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 2 Oktober 1946,
“Delegasi Pemberesan Bagan Siapi-api”;
150. Soeloeh Ra’jat, tanggal 5 Oktober 1946, “Kegadoehan di Bagan Siapi-api:
Pendjelasan Gubernur Hassan”;
151. Merdeka; Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 7 Oktober
1946,”Bagansiapiapi”;
152. Soeloeh Ra’jat, tanggal 8 Oktober 1946, Obat2 an oentoek Bagan Siapi-
api”;
153. Panji Ra’jat, tanggal 11 Oktober 1946, “Pengiriman Obat-obatan bagi
Bagan Si Api-Api”
154. Pewarta, tanggal 12 Oktober 1946,”Orang Tionghoa pelarian dari Bagan Si
Api Api”;
155. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 19 Oktober 1946,
“Bagan Siapi-api diselesaikan”;
156. Merdeka; Suara Rakjat Repubik Indonesia, tanggal 25 Oktober
1946,”Pemberesan Bagan Siapi api: keadaan aman, tetapi masih gelisah”;
330

157. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 30 Oktober 1946,


“Bagan Siapi api: Soesana Damai Soedah Kembali”;
158. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 1 November
1946,”Wakil konsulat Tiongkok di Bagan Siapiapi”;
159. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 6 November
1946,”Kesan-Kesan tentang Pemerintah Indonesia di Sumatra: Tulisan
seorang koresponden “The Straits Times 4 November”;
160. Merdeka: Suara Rakjat Republik Indonesia, tanggal 8 November
1946,”Kesengsaraan dan Kemelaratan di Bagan Siapi api”;
161. Soeloeh Ra’jat, tanggal 13 Maret 1947, “Pendjelasan Verslag: Kongres
Chung Hua Chung Hui”;
162. Saudara Seperdjoeangan, tanggal 1 September 1947, “Perikanan Laoet
Indonesia”;
163. Het Nieuwsblad Voor Sumatra, 19 Juli 1948, “Aanvallen op Bagansiapiapi”;
164. Pelita Rakjat, 22 Desember 1948, “Hasil Gerakan Pembersihan: Madjoe
terus dengan tidak ada perlawanan jang dahsjat”;
165. De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad 08-01-1949
Bagan-siapi-api: “Staat in een Staat” Bevolking voelde niet veel voor
republikeinse ideeën Troepen goed ontvangen;
166. Pelita Rakjat, 22 Februari 1949, “Perekonomian dalam Negeri”;
167. De Nieuwsgier, 24 Mei 1956, “SEMBERE GELUIDEN UIT GROOTST
VISCENTRUM: Haven Bagan Si Api Api Slipt Aan.”
168. Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,
11 Juli 1956, Visopbrengst.

Koleksi KIT Library dan KITLV:


Royal Tropical Institute: Dutch Colonial Maps: Tahun 1896 (name: 09055),
1916(name: 08981), 1920 (name:09086), 1932(name: 08830) dan 1944 (name:
05377-16). Tropen Museum: Berbagai photo Bagansiapiapi dan Peta Tempo
doeloe.
331

Kronik Bagansiapiapi

TAHUN PERISTIWA

Abad ke-12, Perkiraan Pendirian Candi Sintong dan Sedinginan.


dan ke-13

Abad ke-14 Eksisnya Kerajaan Rokan di Kota Lama di aliran sungai Rokan Kiri.

Abad Ke-15 Dimuara sungai Rokan, terdapat “Negara Laut Air Tawar,” yang diyakini
juga sebagai Rokan –Pekaitan

Abad ke-16 Setelah menaklukkan Melaka tahun 1511, Portugis mengInvasi negeri-
negeri dialiran Sungai Rokan sekitar tahun 1513 dalam upaya memburu
pelarian Melaka dan menguasai Bandar-bandar di sungai itu. Rokan
Pekaitan merupakan salah satu kerajaan yang diduduki Portugis.

Pasca penyerbuan Portugis ke sungai Rokan, diyakini sebagai fase


tumbuhnya kenegerian Kubu, Tanah Putih dan Bangko.
332

Abad ke-17 Diusirnya Portugis dari Melaka oleh aliansi VOC dan Johor ditahun 1641;
menandai juga dominasi Melaka-Johor dengan penempatan sahbandar
Johor di sungai Rokan.

Awal Abad Raja kecil, sebelum penaklukkannya atas Johor tahun 1718, menjadikan
ke-18 negeri Kubu dimuara Rokan sebagai salah satu basis kekuatan
militernya.

1791-4 Tengku Said Ali, menjadikan kenegerian Tanah Putih, Bangko dan Kubu
sebagai bahagian Siak.

1857 Terjadi konflik antara Sultan Siak dan rajamuda, konflik yang melibatkan
petualang Inggris: Wilson, dapat diakhiri dengan campur tangan
Belanda dalam suatu kesepakatan.

1858 Melalui Traktat 1858 antara Siak dan Belanda, tiga kenegerian dipesisir
Rokan, yang meliputi Tanah Putih, Bangko dan Kubu, dibakukan
sebagai bahagian kewilayahan Siak, dan sekaligus merupakan titik awal
kolonialisme Belanda di hilir sungai Rokan.

Melalui Staatsblad 1858 No.132, Siak dan negeri dependensinya


sebagai sebuah afdeeling dari keresidenan Riau dan Negeri Takluknya;
Siak berada dibawah pengawasan seorang Asisten Residen dan juga
kontrolir.

1860 Prediksi awal tibanya orang China di Bagansiapiapi. Saat itu, kawasan
Bagansiapiapi didalam peta kolonial masih dikenal dengan nama
“Perbabean.”

Pada tahun ini juga, Belanda melaporkan kembali terjadi konflik antara
Sultan dan Rajamuda. Nampaknya, Tengku Putra sebagai rajamuda
berhasil dikalahkan. Kekalahannya itu, diiringi dengan dihapuskannya
jabatan “rajamuda.” Sebagai gantinya, diangkat Tengkoe Sjarief
Kesoema sebagai “Rijkbestuurder.”

1863 Perjanjian tanggal 28 Maret 1863 antara Siak – Belanda, yang


berdasarkan Traktat 1858, menguatkan kewilayahan Tanah Putih, Kubu
dan Bangko sebagai bahagian dari Siak.

1864 Perluasan staf administrasi Hindia, melalui Staatsblad 1864 No.64,


dilakukan penambahan kontrolir pada kewilayahan Siak, Panei, Asahan,
Batu Bara dan Labuhan Deli.
333

Sultan Ismail yang diberitakan mengalami “sakit,” digantikan oleh


Tengkoe Sjarief Kesoema.

1865 Seorang utusan pemerintah Hindia, Boerhanuddin, mengunjungi


lanskap dihilir sungai Rokan; Tanah Putih, Kubu dan Bangko, untuk
pengumpulan informasi, kebiasaan yang dilakukan oleh Hindia sebagai
bahagian politik aneksasi.

1868 Tengku Putra, mantan Rajamuda (onderkoning) Siak, diangkat menjadi


Pangeran Mangkubumi.

1871 TRAKTAT 1871: antara Inggris – Belanda, yang membagi kewilayahan


Semenanjung untuk Inggris, dan pulau Sumatra untuk Belanda.

1873 Melalui Staatsblad 1873 No. 81, maka kewilayahan Siak yang semula
berada dibawah Riouw en Onderhoorigheden, berganti, dengan
dibentuknya Residensi Sumatra Timur yang beribukota di Bengkalis.
Afdeeling Bengkalis, membawahi Onderafdeeling Siak, Bengkalis,
Labuhan Batu dan Asahan. Berdasar surat tanggal 15 Mei 1873,
kewilayahan Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batubara, Asahan, Panai
dan Bilah dijadikan menjadi satu wilayah Residensi Sumatera Timur
yang ibukotanya di Bengkalis (Riau).

Pulau Bengkalis berada secara penuh dibawah pemerintah Hindia


Belanda.

Keberhasilan pengembangan perkebunan tembakau di Sumatra timur,


mengakibatkan “ledakan migrasi” menuju areal perkebunan komersil;
bahwa kawasan pantai timur ramai didatangi oleh pekerja dari Jawa,
China, Keling, juga kaum pedagang.

1881 Sultan Siak mengklaim perbatasan wilayah Tambusai yang berbatasan


dengan pagaran Itik – Tanah Putih.

1882 Belanda mencatat tejadi pemungutan bea dengan nilai yang sewenang-
wenang di Tanah Putih; sehingga, kapal yang sedianya akan melalui
daerah itu menuju pedalaman, mengalihkannya ke tempat lain, tidak
jelas besaran nilai “sewenang-wenang” sebagaimana yang dilaporkan
itu.

1885 Penduduk Bagansiapiapi saat itu, dengan dihitung secara cepat


berjumlah sekitar 1000 jiwa, yang seluruhnya terdiri dari laki-laki China,
jumlah ini diluar yang mendiami Panipahan dan wilayah hulu Sungai.
334

Penduduk Labuhan Tangga saat itu berjumlah 150 jiwa orang Melayu
yang berasal dari Kubu, Dilaporkan juga bahwa orang China tidak hanya
bermata pencaharian menangkap ikan, juga melakukan kegiatan di hulu
Sungai Rokan (Berkebun dan panglong); Laporan Rijn van Alkemade
dan Hijman van Anrooij bahwa penduduk pribumi di kenegerian Bangko
sejumlah 1000 jiwa, Tanah Putih 1500 jiwa dan Kubu sejumlah 1200
jiwa. Bahwa lanskap Kubu beberapa waktu sebelumnya mengalami
wabah kolera yang menyebabkan banyaknya jatuh korban jiwa.

Menetapnya Masyarakat China di Muara Rokan, juga diatur oleh


Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatsblad 1884 No.61 yang
merupakan pengaturan lingkungan pemukiman untuk para pemukim
oriental di Pantai Timur Sumatra, dimana wilayah Afdeeling Bengkalis
ditetapkan wilayah; Bukit Batu, Tebing Tinggi, Merbou, Rupat, Bagan
Api-Api, Tanah Putih dan Penipahan sebagai lingkungan pemukiman
Oriental.

Mengacu pada traktat 1858 antara Siak dan Belanda, maka wilayah
Tanah Putih, Bangko dan Kubu adalah bahagian dari Kerajaan Siak.
Kemudian tanggal 23 Juni tahun 1884, ditandatangani pula kontrak
tentang pungutan Pajak di wilayah Tanah Putih antara Belanda dan para
penguasa Pribumi: Sultan Siak Yang Di Pertuan Besar Syarief Kasim
Abdul Jalili Sarief Oedin, Mangkubumi Tengku Putra, dan para Datuk di
Tanah Putih antara lain Datuk Suku Melayu Besar, Melayu Tengah,
Mesah dan Batu Hampar. Bahwa Tanah Putih telah menjadi pusat
pengiriman hasil bumi dari pedalaman sungai Rokan.

1885 Bahwasanya di Tanah Putih pemerintah penjajah tidak hanya


menempatkan petugas pengumpul bea, meainkan sekaligus
penempatan pejabat pemerintahan: seorang kontrolir, yang juga
disertai sejumlah 4 orang petugas polisi, 1 orang joeroe moedi dan 6
orang awak kapal, dan sebagaimana umumnya tipe pemerintahan
kolonial diluar Jawa dan Madura- maka Tanah Putih masuk dalam
kategori Kelas 2a.

1886 Telah ditetapkannya pungutan pajak atas wilayah pantai, khususnya di


Bagansiapiapi, dan berdasarkan pasal 4 perjanjian 23 Juni 1884,
ditetapkan waktu pelaksanaanya adalah 1 Januari 1886, maka kontrolir
Tanah Putih datang berkunjung ke Bagansiapiapi untuk memungut
pajak, akan tetapi. orang China menolak dan melakukan perbuatan
yang dikatakan pemerintah sebagai tidak sopan terhadap pejabat
Kontrolir. Sang kontrolir pun kembali ke Tanah Putih. Sebagai balasan,
kemudian Belanda melakukan blokade atas Bagansiapiapi dengan
335

menggunakan kapal perang MS Djambi, dan dalam tempo 2 x 24 jam,


orang China di Bagansiapiapi mengalah, dan memilih sikap untuk
membayar pajak. Pemerintah Hindia mengatakan bahwa mereka
mengalahkan Komunitas China di Bagansiapiapi dengan menggunakan
kelemahan mereka sendiri, dan untuk peristiwa ini, Belanda
menetapkan denda sebesar 1500 dolar. Satuan polisi ditempatkan di
Bagansiapiapi untuk meninjau kampong dan melakukan sensus.

Hampir terjadinya konflik mematikan di Bagansiapiapi antara 12 Sepoy


dari Singapura dengan 40 orang pasukan Sultan Siak.

1887 Pada tahun 1887 kembali terjadi reorganisasi pemerintahan, bahwa


melalui Staatsblad 1887 Nomor 21 dibentuklah beberapa Afdeeling
yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen; yang mana diantaranya
adalah Afdeeling Bengkalis yang membawahi Onderafdeeling
Bengkalis, Siak dan Tanah Putih. Mengingat perkembangan yang pesat
di pantai timur, ibukota residensi dipindahkan dari Bengkalis ke Medan.
Saat itu Residensi Sumatera Timur dibagi dalam lima afdeeling, yaitu;
Asahan, Labuhan Batu, Bengkalis, Deli dan Batubara.

1888 Pada bulan Februari dilaporkan bahwa Pemerintah bermaksud untuk


menambah jumlah polisi yang saat itu hanya sebesar 18 orang yang
bertugas di Tanah Putih – dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi
gejolak di Bagansiapiapi.

Dilaporkan bahwa penduduk China saat itu sudah berjumlah 4000 jiwa,
2500 di Bagansiapiapi dan 1500 jiwa di Panipahan. Pemerintah Hindia
Belanda mendorong seluruh sumber daya penduduk China ini untuk
melakukan penangkapan ikan.

1891-2 Belanda melakukan uji coba penanaman tembakau di wilayah Tanah


Putih, ternyata, hasilnya tidak seperti yang diharapkan sehingga
perusahaan yang telah berdiri disana, memilih untuk menutup
perusahaannya itu.

1893 Kontrolir Tanah Putih C.E.P.van Kerekhoff, digantikan dengan kontrolir


K.W.Gisolf.

1894 Aspirant Kontrolir Tanah Putih adalah G.M.G.Ingenwijf. Sedangkan


Kapiten China atau dalam istilah Chineesche Bestuur adalah Luitenant
der Chineezen te Bagansiapiapi tercatat bernama Ang Koen Djoe
336

Pemerintah Hindia Belanda melalui Staatblad 1894 No.93 menetapkan


perubahan atas pungutan di wilayah lanskap Bangko dan Kubu yang
berlaku jika Kontrolir sudah bertempat di Bagansiapiapi; Dengan dasar
ini, maka ditetapkanlah Staatsblad berikutnya masih ditahun 1894,
yakni Nomor .94 yang memindahkan Kontrolir dari Tanah Putih menuju
Bagansiapiapi. Alasannya seperti telah dikemukakan adalah untuk
memudahkan pemungutan pajak. Waktu penetapan Staatsblad adalah
tanggal 21 April.

1895 Hingga tahun 1895, tercatat sejumlah perusahaan Eropa yang


memperoleh konsesi di wilayah Onderafdeeling Tanah Putih terutama
yang bergerak pada penanaman karet.

1897 Dilaporkan bahwa Zainal Abidin dari Rantau Kasei telah kembali, dan
Belanda menganggap bahwa ia berkemungkinan berniat melakukan
permusuhan terhadap Siak dan khususnya Tanah Putih, dimana
penduduk segera berada dalam keresahan :Zainal Abidin adalah
mantan kepala Tamboesie-Streek dan dianggap Belanda sebagai
ancaman akan menyebabkan terjadinya gejolak di Tanah Putih yang
berada di bawah kekuasaan Siak, setelah ia pernah dilarang kembali
ke lanskap itu. Asisten Residen Bengkalis pun meminta kepada
Garnizun pendudukan untuk melakukan perlindungan sementara, yang
ditandai dengan hadirnya sebuah kapal. Residen wilayah ini pergi ke
sana pada tanggal 27 Februari, menyelidiki masalah itu dan
menemukan bahwa rasa takut terlalu dibesar-besarkan; dikatakannya
tidak ada bahaya permusuhan pada bagian dari negeri “Rokan” atau
Zainal Abidin. Bagaimanapun juga, kepada Asisten Residen
diperintahkan agar beberapa hari tinggal di Bagan Api Api untuk
menenangkan penduduk, lalu pergi mengunjungi Tanah Putih.
Kemudian ia menerima Kontrolir Tanah Putih yang membawa serta
surat sopan dari Zainal Abidin, berisi pemberitahuan pada waktu
kedatangannya yang membesarkan ungkapan damai perasaannya.
Asisten residen pun menjawab bahwa Zainal Abidin bebas untuk
bergerak di mana saja, namun harus tetap berada di luar Tanah Putih.

1900 Terbitnya Staatsblad 1900 Nomor 64, kantor kontrolir dipindahkan dari
Tanah Putih ke Bagansiapiapi.

Kontrolir Tanah Putih (Bagan Api-Api), tercatat bernama


H.H.F.J.Nusselein

Pembukaan jalan di Bagansiapiapi dengan mengerahkan para tahanan


kerja-paksa.
337

Kapitan China Bagansiapiapi saat itu adalah ANG HOEN DJOE

1902 Diberitakan bahwa proses pemindahan kantor Kontrolir telah selesai,


dan di Bagansiapiapi telah bertempat kontrolir tersebut. Kontrolir
Bagansiapiapi pada saat itu bernama Seyne de Kock, yang tahun itu juga
direncanakan akan digantikan oleh Kontrolir Kromm.

Sebuah kapal S.S.Reynst, yang biasa berlayar dari pulau Jawa menuju
Belawan, akan tetapi untuk kali pertama tidak menyinggahi Singapura
sebagaimana biasanya, melainkan secara khusus merapat di pelabuhan
Bagansiapiapi sebelum melanjutkan pelayaran menuju Belawan.

1903 Dilaporkan adanya penempatan satuan Reserse untuk menjaga


pergudangan garam yang berada di Bagansiapiapi.

Diberitakan bahwa telah dikeluarkannya izin oleh pemerintah Hindia


guna pembangunan Perumahan kontrolir dengan total biaya sebesar
f35.548; dan juga bagi pembangunan gedung Reserse.

Pembangunan penjara dengan kapasitas 25 orang.

Dilaporkan peningkatan pengiriman ikan kering ke Semarang semenjak


Perusahaan Pelayaran Belanda K.P.M. memasukkan Bagansiapiapi
kedalam rute pelayarannya.

1904 Sebagai tahun puncak produksi Ikan Kering yang mencapai 26 Juta Kg
(jumlah ini diluar trassi dan produk lainnya).

Pendirian Kantor Pos Pembantu di Bagansiapiapi.

Kontrolir pada saat itu bernama van Roest.

1905 Hendrikus Colijn, mantan Kapten perang Aceh melakukan kunjungan ke


Bagansiapiapi. Kedatangannya ini diutus oleh Gubernur Jenderal Hindia
Belanda; Van Heuszt, untuk mendata “kekayaan luar” yang berada di
Hindia Belanda, termasuk di Bagansiapiapi.

Diberitakan juga adanya inspeksi dari Residen Bengkalis.

Van Kempen seorang pengawas perikanan dari Batavia, berkunjung ke


Bagansiapiapi; saat itu ia mengatakan Bagansiapiapi sebagai “Tambang
Emas kecil.”
338

Diterbitkannya Staatblads 1905 No.622 tentang Pemukiman China di


Sineboei.

1907 Sehubungan dengan kebijakan konversi mata uang koin tembaga, di


Bagansiapiapi telah mengakibatkan keresahan dan aksi sejumlah 300-
400 nelayan yang menyebabkan kerusuhan di Bagansiapiapi. Untuk
mengantisipasinya, pemerintah Belanda mengirim sejumlah 25-40
orang mantri polisi dengan kapal uap “Ceram” berangkat dari Medan
ke Bagan; sepasukan barisan polisi dengan gendering ditabuh,
mendatangi kedei-kedei dan memaksa untuk melakukan pertukaran
mata uang disana.

1908 Terjadi kebakaran besar di Bagansiapiapi.

1909 Pasca Kebakaran, Pemerintah Kolonial mulai merancang tata kota


modern dengan jalan yang lebar dan rumah yang teratur, bahkan, telah
mulai merancang kelistrikan kota dengan mendatangkan salah satu
insinyur dari perusahaan Siemens Brother di Singapura ke
Bagansiapiapi; dengan target sejumlah seribu lampu dengan biaya per
unit sebesar 1 dollar per bulannya.

1910 Industri perikanan mengalami masa “achteruitgang” (penurunan), yang


berdampak pada eksodusnya sekitar 1500 nelayan dari komunitas
China eksodus keluar dari Bagansiapiapi.

Sejumlah 250 Jermal ditinggalkan pemiliknya disebabkan pendangkalan


muara.

Pada 19 September 1910, terjadi kebakaran di Sinaboi selama kurang


lebih empat jam yang menghanguskan sejumlah besar bangunan.
Kerugian ditaksir mencapai f40.000,-

Perpanjangan kontrak Siak(1 Januari 1910), dimana ditetapkannya


wilayah Tanah Putih, Kubu dan Bangko sebagai Onderdistrick (sub-
distrik).

1911 Dokter RM.Pratomo tiba di Bagansiapiapi bersama seorang Jerman dan


serombongan pekerja dari Yogya.

Bertugas “Kapiten China” di Bagansiapiapi, Luitenant der Chineezen;


Oei I Tam menggantikan Ang Tjeng Hoe yang berhenti atas
permintaannya sendiri.
339

1912 Diberitakan pembangunan Dermaga Modern di Bagansiapiapi.

1913 Produksi Trassi diberitakan meningkat, akan tetapi secara kualitas jatuh
disebabkan nelayan mencampurnya dengan bahan lain.

Dari sejumlah 50 pedagang besar di Bagansiapiapi, 23 diantaranya jatuh


bangkrut. Kondisi ini ditengarai juga akibat melonjak tajamnya pajak.

1914 Terdapat suatu Petisi terhadap Pemerintah mengangkut permintaan


penurunan harga garam.

1915 Bertugas Seorang Kontrolir bernama B.J.Haga, mulai tahun 1915 hingga
1919.

Pemerintah Hindia melakukan pengujian terhadap hukum tradisional


menyangkut kepemerintahan; apakah bertolak belakang dengan
hukum pemerintahan Hindia Belanda(?), dan hasilnya, dihapuskan hak
pemungutan hasil-hasil bea, pajak dan denda oleh “orang besar”
kenegerian.

Terjadi reorganisasi pemerintahan; melalui Besluit Gubernur 6 Juli


1915, status Residensi Sumatra dinaikkan menjadi Gouvernement
(provinsi) yang berkedudukan di Medan, dan secara administrasi
wilayah Sumatra Timur dibagi menjadi lima afdeeling, dimana
Onderafdeeling Bagansiapiapi masuk dalam Afdeeling Bengkalis.
Reorganisasi yang mereduksi kewilayahan tradisional Siak; penetapan
asisten residen (afdeeling) Bengkalis dengan lima kewilayahan:
Onderafdeeling Bengkalis yang meliputi pulau Bengkalis dan
sebahagian wilayah Siak serta Pelalawan dengan ibukota di Bengkalis;
Onderafdeeling Siak dengan kewilayahan Siak dan pulau Merbau dan
Padang dengan ibukota di Siak, Bagansiapiapi meliputi Tanah Putih,
Kubu dan Bangko dengan ibukota di Bagansiapiapi; Onderafdeeling
Rokan meliputi IV Kota diilir, Kunto Darelsalam, Kepenuhan, Rambah
dan Tambusai dengan ibukota di Pasir Pangaraian; dan Kampar Kiri
meliputi Gunung Sahilan, Sibayak, Singingi dan Logas dengan ibukota di
Gunung Sahilan.

Berkunjung seorang pejabat Hindia urusan Tiong Hoa dari Batavia:


Mouw. Pejabat urusan masyarakat timur ini, melakukan investigasi
mencari sebab-sebab menurunnya produksi perikanan. Hasilnya, suatu
rekomendasi untuk bantuan penyaluran kredit bagi nelayan dan
pedagang Bagan.
340

1916-1918 Pendirian Vereeniging yang beranggotakan Kontrolir, dan sejumlah


anggota terdiri dari orang Melayu dan China; B.J.Haga (Kontrolir
sebagai ketua); Mohamad Arsad (sebagai vice president); Lim Tek Soei
(sekretaris); J.Koppelle; dokter R.M.Pratomo,; Oei I Tam (Luitenant
Chineezen); Sim Tjeng Song(wijkmeester der Chineezen); Ang Boen Koa,
Oei Tong Kim; Li Tek Goan, Ban Hong Hin(Pedagang) semuanya berasal
dari Bagansiapiapi, salah satu kegiatannya adalah membantu pendirian
rumah sakit partikelir yang saat itu dikelola oleh dokter RM.Pratomo.

Vereeniging juga menfasilitasi pendirian Onderafdeelings Bank Bagan


Madjoe; sebuah Bank yang didirikan untuk membantu penyediaan
kredit bagi pedagang, nelayan dan petani kecil.

Rencana Pembangunan Kantor Bank Bagan Madjoe dan Kantor


Kontrolir yang baru.

pemerintah Hindia mengeluarkan aturan tentang jermal bertanggal 21


Januari 1916; “Keur op de oprichting, de registratie en de opruiming van
djermals en op de zoogenaamde bangliau's in de Afdeeling Bengkalis.”
Peraturan yang biasa disebut “Viscerijkeur” ini, terutama mengatur
pembangunan jermal hingga pembersihan jermal yang telah
ditinggalkan pemiliknya disebabkan timbulnya keluhan tentang
gangguan pelayaran yang berasal dari jermal-jermal yang sudah tidak
berfungsi lagi. Selain itu, Visscherijkeur juga mengeluarkan aturan
tentang izin pembangunan jermal, pendaftaran dan penomoran, hingga
pencahayaan jermal yang dimulai dari terbenam hingga terbitnya
matahari; poin yang dirasakan berat mengingat biaya yang cukup
mahal. Akan tetapi, pelanggaran atas aturan ini, dikenakan sanksi
denda hingga f100, dan hukuman kurungan yang mencapai tiga bulan.
Hasilnya, jermal di muara Rokan, terlihat di gelapnya malam bagaikan
sekumpulan kunang-kunang bercahaya; dan pers Belanda
menyebutnya “De Ville Lumiere in het donkere Afdeeling van Bengkalis”
(Kota Cahaya dikegelapan malam Afdeeling Bengkalis).

Pada April 1916 diberitakan bahwa “Inlandsch School der 2de klasse”
atau Sekolah Bumiputera akan segera dibangun di Bagan oleh B.O.W..

Pada tahun 1917, terjadi wabah disentri yang cukup serius di Tanah
Putih.

Pendirian kantor Telegraph di Bagansiapiapi(1918).


341

1919 Terjadi kebakaran di Tanah Putih.

Pembangunan Kantor Bank Bagan Madjoe.

Peningkatan status Kantor Pos pembantu menjadi Kantor Pos (1919)

1920 Terjadi kebakaran besar di Bagansiapiapi; Gubernur Pantai Timur


Sumatra beserta serombongan pers, dengan kapal S.S.Singkel bertolak
dari Tanjung Balai meninjau lokasi kebakaran dan memberi bantuan
bagi korban. Kerugian mencapai f3.000.000. Untuk mengantisipasi
kebakaran serupa, pemerintah merancang sistem blok pada
pembangunan kembali kota, termasuk dengan menggunakan bahan
tahan api.

Sistem “Pacht”, terutama pacht-garam di Bagansiapiapi dihapuskan.


Semenjak tahun 1920 ini, fungsi yang semula dipegang oleh pachter,
beralih kepada Bank Bagan Madjoe yang menyalurkan kredit kepada
nelayan dan juga pedagang. Garam, sebagai komoditi penting dalam
industri perikanan Bagan, sebelum tahun 1920 dilakukan dengan sistem
tender. Adapun pasca tahun 1920, menggunakan sistem monopoli.
Pemerintah Belanda menghendaki pemasukan pajak dari
diberlakukannya sistem monopoli ini. Akibatnya, berbeda situasi
dengan sebelumnya, dimana begitu tingginya kompetisi dalam
memperebutkan tender garam, yang sering berakibat konflik. Masa
monopoli, juga memberlakukan tender, yang nampaknya tidak lagi
dilakukan secara individual. Menghadapi situasi ini, orang-orang Tiong
Hoa Bagan, mempersatukan dirinya dalam suatu persekutuan: Serikat
Chin Thong.

Kontrolir yang bertugas saat itu bernama K.Boejinga, sementara


Kapitan Tiong Hoa saat itu, Luitenant der Chineezen;
Inyo Beng San.

Telah selesainya pembangunan gedung Bank Bagan Madjoe yang


dikatakan sebagai bangunan yang indah dan “SEDAP DIPANDANG.”

Terjadi badai besar, dimana Sembilan orang nelayan tewas tenggelam,


sejumlah 250 kapal nelayan, 163 jermal dan 7 rumah mengalami
kerusakan. Selain itu, 170 jermal tidak dapat digunakan sebagai akibat
pendangkalan.

Dimulainya pembukaan perkebunan karet di hulu sungai Kubu yang


sekarang dikenal dengan Bagan Sinembah;
342

1922 Bertugas seorang Kontrolir yang sebelumnya bertugas di Siak;


O.Treffers.

Kongsi Tiong Hoa yang dominan pada periode 1922-1926, adalah kongsi
Bantong yang memiliki hingga 14 buah galangan sampan.

Besluit Gubernur Sumatra Oostkust tanggal 13 october 1922 no.1418


menyebutkan pentingnya jaringan air bersih dan kelitrikan bagi kota,
seperti di Bagan.

1923 Terjadi kasus pembunuhan yang menarik perhatian media, yang


dilakukan oleh seorang tahanan di Sungai Sialang.

Terjadi penangkapan oleh polisi terhadap dua orang China di


Bagansiapiapi yang terlibat dalam pemalsuan uang koin.

1924 Penganugerahan Bintang “Groote zilveren ster” dari Pemerintah


Hindia terhadap Kepala Distrik Bagansiapiapi, Datuk Abdullah gelar
Maharaja Isi Asmara.

Dokter Pratomo mengadakan tournee ke negeri Rokan dipedalaman;

Menurun secara tajamnya pemasukan pemerintah Hindia dari opium,


sehingga segera dilakukan investigasi oleh kepala reserse van Der Spek,
terhadap perdagangan opium di Selat, dengan hasil, sejumlah 8
pelanggaran dinegeri Simalungun dan Karo, 15 pelanggaran di Deli dan
Serdang, 27 pelanggaran di Asahan, 17 pelanggaran di Langkat dan 35
pelanggaran di Bengkalis –termasuk Bagansiapiapi.

1925 Mengakhiri masa tugasnya di Bagansiapiapi sebagai seorang Kontrolir,


A. Te Velde.

Upaya pembersihan kota Bagansiapiapi oleh pemerintah Hindia dari


para “GANGSTER.” Sejumlah 80 orang China dan 30 pribumi ditangkap
polisi dan dikirim ke Bengkalis untuk proses lebih lanjut.

1926 “Bagan Rubber en Produce Estates” melaporkan produksi karet yang


terjual 1.709.335 K.G, dan pada tahun berikutnya, dari panen di tahun
1927 diperkirakan mencapai hasil yang lebih besar.
343

Diberitakan bahwa telegraph di Bagansiapiapi mengalami kerusakan,


dan komunikasi ini, untuk sementara di lakukan melalui Tanjung Balai
dan Medan.

1927 Direncanakan pembangunan Waterleiding yang dikatakan akan


“MEMBIKIN SEHAT NEGRI.”

Diberitakan pendirian “Radio-Station” di Bagansiapiapi.

1928 Di Bagansiapiapi, diadakan perayaan dan parade berkenaan dengan


“Koninginnedag” (Hari Ratu); selain itu, juga disematkan penghargaan
terhadap sejumlah tokoh.

Diberitakan kegiatan Ritual “Bakar Tongkang” yang telah berjalan


semenjak kedatangan orang China di Muara Rokan, mulai dipusatkan
disalah satu Klenteng di Bagansiapiapi.

Kelompok Misionaris Katholik dibawah pimpinan Pijnenburg tiba di


Bagansiapiapi.

Diresmikannya Sekolah China Belanda, dihadiri juga oleh Sultan Siak.

Department van Landbouw di Batavia mengirimkan petugasnya ke


Bagansiapiapi untuk mempelajari industri perikanan.

1929 Terjadi pembunuhan seorang Eropa yang cukup menggemparkan saat


itu; van Hengst, ia dibunuh oleh seorang polisi bernama Nisoenkoebira
dalam tugas tournee nya dipedalaman. Meski sang pembunuh
menyatakan bahwa ia “silap” di pengadilan Medan, hakim tetap
menvonisnya hukuman mati. Van Hengst merupakan seorang Belanda
tertua dan termasuk kelompok Eropa pertama yang tiba di
Bagansiapiapi.

Pemerintah Hindia Belanda mencabut hak tradisional “Pancung Alas.”

Hardenberg, seorang ahli perikanan dan kelautan, tiba di Bagansiapiapi


dan melakukan penelitian dimuara Rokan pada rentang Januari-
Februari.

Dala laporannya yang diterbitkan tahun 1929, Bottemane dari Instituut


voor de Zeevisscherij di Batavia memperkirakan bahwa Jermal yang
344

ditinggalkan akibat pendangkalan di muara Rokan mencapai kisaran


400-500 jermal.

1930 Hasil sensus penduduk di kota Bagansiapiapi, orang China berjumlah


sekitar 15.000 jiwa, pribumi berjumlah sekitar 3000 jiwa. Adapun
penduduk Onderafdeeling Bagansiapiapi secara keseluruhan telah
mencapai lebih 40.000 jiwa.

Total Produksi: Ikan Kering, Trassi, Udang Kering, Cincalok, Isi Perut dan
Kulit Ikan, mencapai 59,4 Juta kg.

Dimulainya Masa

RESESI EKONOMI

Harga Garam meningkat, semula dari f3 menjadi f4 per pikulnya.

Dampak Resesi, bermunculannya Nelayan Cici, alat tangkap serupa


jermal yang lebih ekonomis dan dapat dipindah-pindahkan; Jumlah Cici
meningkat pesat menjadi dua kali jumlah jermal.

Besluit tanggal 30 Juni 1930, kepada Tuan H.E.Ch.Poortman untuk


menyelenggarakan kelistrikan diibukota Onderafdeeling Bagansiapiapi;
N.V.Electriciteit Maatschappij Balikpapan. Perusahaan Belanda ini, di-
nasionalisasi pada tahun 1956.

Pada tahun ini di Tanah Putih, didirikan “rumah perawatan anak” oleh

1931 Laporan Hardenberg atas penelitiannya mengenai ekologi Muara Rokan


diterbitkan.

Baalbergen mengakhiri masa tugasnya sebagai Kontrolir Bagansiapiapi,


digantikan oleh Boudewijn Van Duuren hingga Tahun 1934.

Telah dibangunnya Waterleiding yang dimulai tahun 1930 yang


biayanya ditanggung oleh pemerintah, dan dilakukan pemungutan
retribusi dari pengguna setempat. Bahwa waterleiding menggunakan
air laut sebagai bahan dasarnya.

1932 Hardenberg menambahkan catatan mengenai hasil penelitiannya di


Muara Rokan, termasuk laporan bahwa didapati semakin terbentuknya
“New Island” (Pulau baru) yang disebut Pulau Barkey.
345

Bagansiapiapi diperlengkapi dengan satuan khusus pemadam


kebakaran yang diberitakan diharapkan lebih siap guna mengantisipasi
kebakaran yang menjadi gejala umum kota. Meskipun demikian, api
tetap saja berkobar ditahun ini, menghanguskan empat blok dijalan
Makau.

Kepala distrik Bagansiapiapi saat itu adalah Datoek Tjomel Gelar


Maharadja Lela Moeda.

1934 Dibangunnya jaringan pompa air yang terletak antar blok untuk
mencegah kebakaran

Pendirian Balikpapan Maatschappij Electriciteit (Perusahaan Listrik) di


Bagansiapiapi.

Terjadi kebakaran besar yang merusak 180 rumah dan kedei, dan
kerugian mencapai f250.000. kebakaran ini dikatakan bagai
menghanguskan separuh Bagansiapiapi. DIberitakan, bahwa kebakaran
ini disebabkan kecerobohan dari sebuah kedai kopi, yang kemudian api
dengan cepat membesar yang disebabkan juga kuatnya hembusan
angin.

Tercatat bertugas seorang Kontrolir bernama J.C.C.Haar, hingga tahun


1936

Penetapan aturan pembangunan dan wilayah alat tangkap ikan: Jermal,


bubu, cici dan takliauw di muara Rokan.

Federasi pedagang China “Shiang Hwee” didirikan di Bagansiapiapi,


bersama sejumlah tempat lainnya di pantai timur.

1936 Angin Putting Beliung melanda wilayah sub-distrik Kubu di


onderafdeeling Bagansiapiapi menyebabkan jatuhnya korban jiwa dua
orang anak-anak, dan rusaknya sejumlah 34 bangunan rumah dan toko.

Perusahaan listrik Maatschapij Balik Papan, dibawah direksi van Swaay,


meluaskan jaringannya di Bagansiapiapi dan berharap dalam sesegera
mungkin dapat terlaksana.

1937 Komandan Polisi Bagansiapiapi, P.C.Kossen mengirimkan surat


mengenai situasi bangunan kantor polisi lama yang berada dalam
kondisi memprihatinkan tersebab dimakan usia. Komandan polisi di
346

Bengkalis, menyarankan untuk sementara menggunakan bangunan lain


guna menghindari bahaya kecelakaan; Pemerintah Hindia sendiri
memutuskan akan segera membangun kantor polisi yang baru di
Bagansiapiapi.

Diberitakan terdapat suatu permasalahan dengan Waterliding, bahwa


kondisi air laut yang asin, nampaknya menjadi persoalan bagi jaringan
pipa air bersih itu; dan pemerintah mengugaskan Ir.Bleichrodt dari
afdeeling Gezondmakingswerken en Volkshuisvesting van den Dienst
der Volksgezondheid (divisi Revitalisasi Pekerjaan dan Perumahan
Departemen Kesehatan) di Batavia untuk menyelesaikan persoalan
yang terkait dengan sarana air bersih itu dengan pemasangan pipa besi
cor, yang jika perlu, dibahagian tertentu menerapkan jaringan pipa
diatas tanah.

Kembali terjadi tindakan pembunuhan di sebuah kampung di


Bagansiapiapi, mirip dengan kasus yang terjadi di Sungai Sialang di
tahun 1923. Perkara pembunuhan, terutama berkaitan dengan kisah
cinta segitiga, selalu menyedot perhatian media masa kolonial. De
Sumatra Post memberitakannya dengan judul: Moord bij Bagan Si Api
Api: Een Vrouw perkara. Bahwa Sidin dan Sino, dua orang pribumi yang
bekerja untuk China Bagan; Sidin yang suatu malam pulang dan
menemui rumahnya terkunci, mendobrak, dan menemui sang nyonya
rumah bersama Sino. Dalam kegelapan malam, Sidin menebaskan
parang yang dibawanya ketubuh Sino. Meskipun Sino mampu
meloloskan diri, luka yang dideritanya cukup parah, dan iapun tewas.
Sementara SIdin, kemudian ditangkap oleh polisi.

1938 Penyempurnaan Pembangunan Waterleiding dengan jaringan pipa


baru.

Penyerahan sebidang tanah dipersimpangan Wilhemina Straat dan


Kerk Straat dari Sultan Siak kepada Pemerintah Hindia, dan oleh
Belanda tanah itu dilakukan pembangunan Opium Depot/Zoutregie.

Bertugas Van Der Linden sebagai Kontrolir Bagansiapiapi.

Suster Van Schijndel dari misi Katolik berencana akan membuka sebuah
rumah sakit di Bagansiapiapi.

Pembangunan sebuah panti asuhan untuk anak-anak China, “Armen


Huis; dimana pihak perkebunan karet menyumbangkan sejumlah
f16.000,-
347

1939 Pada Bulan Februari Dokter R.M.Pratomo diberitakan tenggelam saat


bertugas ke wilayah pedalaman di hulu Sungai Rokan dekat Si Arang-
Arang. Peristiwa ini memperoleh perhatian khusus dari Pemerintah
Hindia Belanda, dimana gubernur Pantai Timur mengunjungi keluarga
dokter RM Pratomo di Bagansiapiapi untuk menyampaikan
belasungkawa. Hasil pemeriksaan komandan polisi Bagan; P.C.Kossen
terhadap para penumpang kapal F-II; H.J.Eldering
(Rubberestrictieambtenar), Nain dan Naroep (awak kapal), Boeasim
(juru-mudi), Sardijo (dokter), dan Samsoeddin (Zieken verpleger),
menyimpulkan bahwa hal itu memang suatu kecelakaan.

Pada 13 Maret 1939, bertugas G.M.Roemers di rumah sakit


Bagansiapiapi.

Kontrolir pada saat itu bernama Van Der Linden. Pada Bulan April 1939
yang bersangkutan dimutasikan ke Jambi.

Tahun ini Bagansiapiapi benar-benar dapat memperoleh manfaat dari


jaringan pipa waterleiding yang baru.

1940-41 Pendangkalan Muara Rokan, telah berada dalam situasi


memprihatinkan, sehingga tidak saja berpengaruh terhadap hasil
tangkapan ikan, juga mengganggu pelayaran.

Pembangunan Opium Depot/zoutregie di Bagansiapiapi.

Pembangunan kembali tangsi Polisi di Bagansiapiapi.

1942 Jepang memasuki Bagansiapiapi, seluruh orang eropa di Bagansiapiapi


di internir

1945 Diberitakan bahwa penduduk Bagansiapiapi menyumbangkan uang


sejumlah f250.000 untuk pembelian pesawat yang bernama
Bagansiapiapi No I, II dan III. Pesawat tersebut tiba di pekanbaru dari
Jepang di Bulan Maret.

Bulan Juli 1945, seorang Inggris: Kapten Lodjie dan pasukan kecilnya
dengan parasut mendarat didekat Bagansiapiapi.

1946 Terjadinya “peristiwa” Bagansiapiapi pada bulan Maret dan September.


348

Sultan Siak menyerahkan tahta kerajaan kepada Republik; era yang


menandai berakhirnya tatanan tradisional di kewedanaan
Bagansiapiapi. Kepala negeri (subdistrik) yang terakhir; Kubu adalah
Datuk Comel, Bangko adalah Datuk Abdurauf, Tanah Putih adalah Datuk
Harunsyah.

1947 Pasca konflik 1946, dilaporkan penduduk Bagansiapiapi dilanda


kekurangan obat-obatan dan bahan makanan.

1948 Tanggal 15 April diberlakukan UU Nomor 10 Tahun 1948 tentang


Pembagian Sumatra dalam Tiga Provinsi. Kewedanaan Bagansiapiapi
yang termasuk dalam keresidenan Riau bersama dengan keresidenan
Sumatra Barat dan Jambi membentuk Provinsi Sumatra Tengah.

Tanggal 25 Juni; di Laut Panipahan, 20 sampan Indonesia yang datang


dari pantai Labuhan Bilik bermuatan barang-barang perniagaan diseret
oleh Belanda ke Belawan;
Tanggal 26 Juni malam hari, di Sinaboi, sebuah kapal motor merek SLO
No.1322 bermuatan garam dari Singapura, diseret Belanda pula ke
Belawan.
Tanggal 27 Juni; wakil konsul Tiongkok di Bagansiapiapi; Lim Beng Phie
bersama Tan Tjan Pok berangkat ke Medan.
Tanggal 28 Juni; bahwa blokade Belanda semakin diperketat, sebuah
kapal perang Belanda berlabuh di perairan Panipahan dan juga di
perairan Sinaboi, dengan dibantu sebuah kapal motor memeriksa kapal
dan sampan;
Adanya telegram dari Kementerian Pertahanan tanggal 30 November
1948 yang menyatakan bahwa pihak Belanda melakukan blokade di
perairan Bagansiapiapi, merampas kapal yang berakibat pelayaran
terganggu dan aktifitas perekonomian terhenti.

Tentara Belanda memasuki Bagansiapiapi.

bangunan baru bagi rumah perawatan anak di Tanah Putih; Ny.dokter


Tiong Thee Tiong dari “Vereeniging tehuis voor Chinese kinderen,”
menjelaskan bahwa pada awalnya ditahun 1930, hanya terdapat lima
orang anak yang diasuh, dan pada tahun 1940, tercatat sejumlah 45
orang anak yang diasuh disini.

1949 Selama pendudukan tentara Belanda, dilaporkan hal-hal berikut: Lintas


pelayaran disekitar muara di Bagansiapiapi terganggu akibat timbunan
Lumpur; selain itu, pemerintah Belanda juga menyatakan bahwa sulit
bagi Bagansiapiapi mengembalikan kejayaannya sebagai penghasil ikan
349

terbesar II di dunia diakibatkan penimbunan lumpur (pendangkalan).


Oleh sebab itu, di pelabuhan ditempatkan pelabuhan apung yang
disebut “Brielle” yang dimaksudkan untuk membantu kapal melakukan
aktifitas bongkar-muat barang. Dilaporkan juga bahwa aktifitas
perekonomian pasca perang berangsur-angsur kembali noirmal, dan
Bank Perkreditan Rakyat juga kembali berjalan.

Seorang insinyur Belanda; Reuter, dari Departement van Economische


Zaken en Landbouw & Visserij yang berkunjung pada awal tahun,
mencatat sebagai berikut: bahwa pelantaran Bagansiapiapi nampak
telah berjamur dan terlantar, penurunan produksi ikan asin dan trassi
dari 3000 ton perbulan, menjadi tidak lebih dari 1000 ton saja;
peredaran opium tercatat dilevel dealer (Chineesche opkoper verkocht)
bernilai 700 dolar/ kg; dan 1 dollar per gramnya; situasi bagi aparat
pemerintahan militer Belanda sendiri cukup sulit; mengingat kenyataan
bahwa segala keuangan dan transaksi menggunakan mata uang gulden,
sementara perdagangan gelap (black market) yang marak saat itu
menggunakan mata uang dolar. Sementara upah seorang pekerja/kuli
saat itu adalah sebesar 100 dolar perbulan, ditambah dengan bebas
biaya makan yang diperkirakan sebesar 50-60 dolar perbulannya.

Bertugas di rumah sakit Bagansiapiapi; dokter Maats.

Pada bulan November, Belanda mendatangkan pelabuhan apung


“Brielle” agar aktifitas pelabuhan dapat berjalan normal mengingat
pendangkalan yang menyulitkan aktifitas bongkar-muat barang di
Bagansiapiapi.

1950 Pada Bulan Oktober, terjadi ketegangan antara pendukung Kuo Min
Tang dan RRC di Bagansiapiapi.

1952 Di Bagansiapiapi dibentuk “Badan Penjantun Pendidikan;” yang


tujuannya untuk membantu meringankan beban hidup
pendidik/pengajar yang dirasakan telah memberatkan.

1956 Diberitakan penurunan drastis dalam produksi perikanan, selain


pendangkalan yang sudah sedemikian hebat hingga kapal harus
berlabuh hingga jarak mencapai kiloan meter dari pantai, juga adanya
pelarangan kegiatan aktifitas industri di Pulau Barkey, masa ini oleh
pers barat sebagai era benar-benar mulai pudarnyanya kejayaan
industri perikanan Bagansiapiapi. Saat itu, situasi Bagansiapiapi
berbeda dengan sebelumnya, wilayah pantai tidak lagi digenangi air
laut, melainkan telah terdapat bangunan sekolah, pemukiman dan
350

lapangan olah raga. Selain itu, pada malam hari dilaporkan situasi kota
yang sunyi, dan tidak lagi ditemui keramaian.

Meskipun demikian, dilaporkan juga bahwa dilakukan perluasan kota


Bagan; pemerintah setempat bersama-sama masyarakat membangun
jalan sepanjang 4km kearah barat kota. Untuk melaksanakan “proyek”
ini, pemerintah setempat telah memiliki dana sejumlah Rp.240.000,-
selain itu, pemerintah dan masyarakat melakukan tuntutan kepada
pemerintah Kabupaten dan Provinsi untuk menaikkan status
kewilayahan sebagai sebuah “Kota Ketjil.”

Juli 1956 Smokkel Handel dikawasan Selat, pelabuhan Bagansiapiapi


mengumumkan nilai perdagangan gelap itu telah mencapai empat juta
dolar dalam setahun.

Agustus Ditetapkannya UU darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang


1957 Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tk.I Sumatra Barat, Jambi dan
Riau, tanggal 9 Agustus 1957.

Unjuk rasa organisasi kemasyarakatan menentang “permainan dadu”


di Bagansiapiapi.

Maret Diberitakan bahwa pasukan pemerintah telah berhasil menduduki


1958 Bagansiapiapi yang semula dikuasai pasukan PRRI.

1963-4 Terdapat rencana pembentukan daerah otonom: daerah Swatantra


Tingkat II Bagansiapiapi dengan mengacu pada kewilayahan
kewedanaan Bagansiapiapi yang diketuai oleh Husin Rambah.

1970-an Suatu Laporan pemerintah menunjukkan peredaran candu yang cukup


besar di Bagansiapiapi, terbesar di wilayah provinsi Riau (Daratan dan
Kepulauan).

1998 Terjadi kerusuhan bernuansa Etnis di Bagansiapiapi.

1999 Pembentukan Kabupaten Rokan Hilir, yang kewilayahannya merupakan


kewilayahan eks kewedanaan Bagansiapiapi.

Sebagai Plt.Bupati Rokan Hilir: H.Wan Syamsir Yus.

2002 Terpilih Bupati dan Wakil Bupati Rokan Hilir: H.Thamrin Hasyim dan
H.Ilyas RB untuk periode 2011-2016.
351

Terjadinya kerusuhan bernuansa etnis di Bagansiapiapi.

2004 Terjadinya aksi massa memblokade jalan Bagansiapiapi – Ujung Tanjung


di Simpang Poros.

2006 Terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Annas Maamun
dan H.Suyatno untuk periode 2006-2011.

Periode ini, sebagai dimulainya pembentukan visi “Negeri Seribu


Kubah” dan pencanangan pembukaan Jalur transportasi darat pesisir
dengan dibangunnya jembatan Pedamaran.

2011 Terpilih kembali Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Annas Maamun
dan H.Suyatno.

2016 Terpilih sebagai Bupati dan wakil Bupati Rokan Hilir; H.Suyatno dan
H.Jamiludin periode 2016-2021.
352
353

WARTA PEMERINTAHAN HINDIA BELANDA


PADA ONDERAFDEELING TANAH PUTIH DAN BAGAN SI API-API
AFDEELING BENGKALIS OOSTKUST VAN SUMATRA
(1897 – 1939)

Het Nieuws Van Den Dag Ingetrokken: op verzoek, het aan den gewezen
17-11-1897 ontvager te Bagan Api-Api (Oostkust van Sumatra)
Ned.Oost-Indie H.W.Bangert , wegens langdurigen dienst,
verleende een jaar verlof naar Europa.
Het Nieuws Van Den Dag De controleur J.SEIJNE KOK, met het bestuur over de
09-10-1900 onderafdeeling Tanah Poetih afdeeling Bengkalis
Binnenlandsch Bestuur
Het Nieuws Van Den Dag Overgeplaatst: van Bagan Api-Api (Oostkust van
30-08-1901 Sumatra) naar Batavia de verifl. Van Hengst, van
Batavia naar Bagan Api Api , de ontvanger van
Rijgersma.

Het Nieuws Van Den Dag Op f 200, J.A.RIJGERSMA, geplaatst te Bagansiapiapi


30-03-1903
Besluiten en Benoemingen
De Sumatra Post Om den nieuw benoemden controleur Roest als
16-07-1904 standplaats Bagan Api Api aan te wijzen.
Binnenlandsch Bestuur
Het Neuws Van Den Dag: Overgeplaatst: naar Bagan Api Api (Oostkust van
Kleine Courant Sumatra), de ontvanger C.L.W.B.Von lienbenstein,
06-04-1905 …..
354

Ned.Oost Indie

De Sumatra Post Wegens intrekking zijner betrekking eervol ontslagen


09-01-1906 de Instructeur van het koops gewapende
Personalia politiedienaren te Bagan Api-api. E.Van der Velden.

De Sumatra Post Tijdelijk belast met de function van tijd.civiel


21-10-1907 Gezaghebber te Bagan Api-Api de Controleur W.C.
Personalia van Gelder.
…………………………………..
Benoemd tot tijd. Chineeschen tolk bij den Civiel
Gezaghebber te Bagan Api-Api Kap Soen Tek.

Het Nieuws Van Den Dag De verificateur bij de in-en uitvoereechten en


03-02-1909 accijnzen te Belawan H.J.Fliers, is werkzaamgesteld
Personalia als ontvanger te Bagan Api Api
Het Niews Van Den Dag De ontvanger bij de in-en uitvoerrechten en accijnzen
04-02-1909 te Bagan Api-Api H.G.J.Coers, is werkzaamgesteld als
Personalia verificateur en geplaatst te Batavia.
De Sumatra Post Idem van Bagansiapiapi de ontvanger der tolrechten
24-09-1909 H.G.J.COERS, die vervangen wordt door H.J.FLIERS,
Mutaties thans te Belawan.
De Sumatra Post Aan den Civ.Gezaghebber te Bagan Api-Api
18-03-1910 F.A.Bedier de Praririe is wegens familie
Mutaties aangelegenheden een maand binnenl. Verlof
verleend naar Batavia en Padang.

Het Nieuws Van Den Dag Aan de Luitenant der Chineezen te Bagan Api Api, Ang
11-04-1911 Tjeng Ho, is drie maanden verlof verleend naar
Personalia Singapore.
De Sumatra Post Op verzoek is ontslagen de luitenant der Chineezen te
26-05-1911 Bagan Api-Api in Bengkalis Ang Tjeng-Ho.
Mutatie
Het Nieuws Van Den Dag De ontvanger bij de in en uitvoerrechten en accijnzen
10-07-1911 te Bagan Api-Api H.J.FLIERS is werkzaamgesteld als
Personalia verificateur en geplaatst te Bagan Api Api.
De verificateur bij de in en uitvoerrechten en
accijnzen te Belawan F.J.SEILEGER is
werkzaamgesteld als ontvanger en geplaatst te
Bagan Api Api.
355

Het Nieuws Van Den Dag WERKZAAM Gesteld: de ontvanger der accijnzen te
07-08-1911 Bagan Api Api H.J.Fliers als verificateur en geplaatst
te Belawan; de verificateur der accijnzen te Belawan
P.J.Seileger als ontvanger en geplaatst te Bagan Api
Api.

Nieuws Rotterdamsche Crt De ontvanger der accijnzen te Bagan Api-Api


07-08-1911 H.J.Fliers als verificateur en geplaatst te Belawan; de
Personalia verificateur der accijnzen te Belawan P.J.Seileger als
ontvanger en geplaatst te Bagan Api Api.

De Sumatra Post Benoemd is tot luitenant der Chineezen te


09-08-1911 Bagansiapiapi en Bengkalis, Oei Hi Tam, thans
Mutaties wijkmeester aldaar.
Het Nieuws Van Den Dag De opziener bij de in –en uitvoerrechten en accijnzen
26-02-1912 E.Ch.de Bruin is van Semarang naar Bagan Api-Api
Personalia overgeplaatst en zulke met intrekking van zijne
overplaatsing naar Langsa.

Het Nieuws Van Den Dag De ontvanger bij de in – en uitvoerrechten en


11-03-1912 accijnzen te Bagan Api Api F.J.Seilberger is
Personalia werkznamgesteld als verificateur en geplaatst te
Soerabaja.
De Sumatra Post Bij het magistraatsgereecht te Bagan Api-Api, de
21-01-1913 tijdelijk djaksa bij dat magistraatsgerecht, Arip.
Mutaties
Het Nieuws Van Den Dag De civiel gezaghebber van Bagan Api Api T.A.BEDIER
13-03-1913 DE PRAIRIE heeft eervol ontslag uit zijne betrekkking
Personalia gevraagd.
Het Nieuws Van Den Dag De civiel gezaghebber J.G.Koene is belast met het
24-05-1913 bestuur over de afdeeling Bagan Api Api.
Personalia
Algemeen Handelsblad De civ.gezag. van Bagan Api Api, T.A.Bedier de Prairie,
08-04-1913 heeft eervol ontslag uit zijne betr.gevraagd.
Personalia
De Sumatra Post Tot lid bij den landraad te Bengkalis J.G.Koene, civiel
14-08-1913 gezaghebber te Bagan Api Api
De Ambtelijke Mutatie
356

Het Nieuws Van Den Dag Als verificateur en overgeplaatst van Bagansiapiapi
05-11-1913 naar Batavia H.G.KEYNER, ontvanger;
Civiel Departement Als ontvanger en overgeplaatst van Pladjoe naar
Bagansiapiapi G.BEER, verificateur;

Algemeen Handelsblad H.J.Bernelot Moens over de onderafd.Bagan Si Api


19-01-1914 Api;
Personalia
Het Nieuws Van Den Dag Benoemd:
10-06-1914 Tot lid, bij den Landraad te Bengkalis (Oostkust van
Besluiten en Benoemingen Sumatra), L.Th.van Heudsden, civiel gezaghebber te
Bagan Api Api.
De Sumatra Post Mein seint uit Batavia:
26-02-1915 De heer Lovink, Directeur van Landbouw, vertrok
Het bezoek van den heer gisteren per Ophir naar Padang. Hij zal vandaar naar
Lovink Atjeh en Medan vertrekken. Vervolgens gaat hij over
Bagan Api Api

De Sumatra Post In het Gouvernement Oostkust van Sumatra :


27-12-1915 Tot Inlandsch officier van justitie met den title van
Mutaties djaksa bij het magistraatsgerecht te Api Api , Achmad
en te Bagan Api Api, de mantra voor den opium
verkoop te Toentoengan, Mohamad Arsad.

Het Nieuws Van Den Dag De gezaghebber B.Filet is belast met het bestuur over
15-06-1916 afdeeling, Bagan Api Api.
Personalia
Het Nieuws Van Den Dag Aan den controleur van Bagan Api Api B.J.Haga is
16-06-1916 wegens gewichtige redenen een maand verlof is
Personalia verleend naar Java.
De Sumatra Post Verleend wegens gewishtige redenen een maand
27-08-1917 verlof naar Pasoeroean aan den ontvanger der I.U.A.
Mutatie te Bagan Si Api Api, G.A.Neyndorff, en belast met de
waarneming van dienst function de assistant
E.C.A.Hubat.

Het Nieuws Van Den dag Overgeplaatst:


16-11-1917 Van Batavia naar Bagan Si Api-Api J.J.B.Bruinendal,
Besluiten en Benoemingen assistant.
357

De Sumatra Post Verleend wegens ziekte 2 maanden verlof naar


05-10-1918 Garoet aand den Controleur van Bagan Api-Api
Mutaties B.J.Haga. Belast met bestuur over de onderafdeeling
Bagan Api-Api de gezag hebber te Bengkalis F.DE
RIDDER
De Sumatra Post Belast met het bestuur over de afdeeling: Bagan Api
16-10-1918 Api, de gezaghebber F.de Ridder,
Mutaties
Nieuwe Rotterdamsche Crt Het vonnis van den Raad van justitie te Medan,
03-12-1918 waarbij controleur van Bagan Si Api Api, Haga,
Sumatra en Omgeving wegens het als openbaar ambtenaar plegen van een
dand van willekeur, waardoor inbrenk werd gemaakt
op de persoonlijke vrijheid, verooploeld werd tot 14
dagen gevangenis, is in appel door het hof vernietigd
en beklangde vrijgesproken van het hemten laste
gelegde (Locomotief).

Het Nieuws van Den Dag Benoemd tot commies op het kantoor van den
26-03-1919 controleur te Bagan Si Api Api A.A.Hillebrandt,
Personalia laatstelijk commies te Pontianak van buitenlandsch
verlof teruggekeerd.
Het Nieuws Van Den Dag De commies der derde klasse bij den post en
12-08-1919 telegraafdienst, M.Van Houten, is van Djombang
Personalia naar Bagan Si Api Api overgeplaastst.
De Sumatra Post Benoemd tot buitengewoon deurwaarder bij den
23-08-1919 Raad van justitie te Medan met woonplaatst Bagan
Mutatie Api-Api en Selat Pandjang, respectievelijk
A.A.Hillebrandt en H.A.de Lizer.

De Sumatra Post Verleend wegens gewichtige redenen 14 dagen


10-12-1919 verlof, door te brengen te Poelau Djemoer , aan
Mutaties A.A.Hillebrandt , commies op het kantooer van den
controleur van Bagan Api Api.

De Sumatra Post Tijdelijk belast met de waarneming van de betrekking


12-03-1920 van commies 1e klasse kantoordienst bij den Post
Besluiten en Benoemingen telegraaf en Telefoondienst Raden Abdoelradjab,
thans commies bij genoemden dienst te Bagan Si Api
Api.
358

Algemeen Handelsblad Overgeplaatst n. .Bagan Si Api Api de zoutpakhuismr.


24-06-1920 1e kl. A.H.Bloem;
Mutatie
De Sumatra Post Benoemd:
30-09-1920 Tot eersten commies op het plaatseliijk kantoor te
Besluiten en Benoemingen Bagan Si Api Api A.A.Hillebrandt, thans commies op
dat kantoor;
De Sumatra Post Gedetacheerd te Bagan Si Api Api voor den tijd van 2
23-11-1920 maanden, dan wel voor zooveel korter of langer als
Besluiten en Benoemingen in het belang van den dienst der algemeene politie
noodig mocht blijken, de politie-opzieners H.Haas en
A.von Grappendonff en de hoofdagenten B.Benz,
E.Bagusa, J.Schonberger, F.Budde en R.Burghart,
allen van de politieschool te Weltevreden.

De Sumatra Post Bij gouvernementsbesluit is bepaald , dat gerekend


10-01-1921 van 1 juni 1920 af bijwijze van tijdelijken maatregel
Besluiten en Benoemingen tenbehoeve van het kantoor van den controleur van
Bagan Si Api-Api nog een Chineesche tolk op een
bezodiging van f75 ‘s maands in dienst wordt gesteld.

De Sumatra Post Ter Beschikking gesteld van den leider


24-02-1921 Goudontginning in Bengkoelen, A.HILLEBRANDT,
Besluiten en benoemingen thans commies op het controleurs kantoor te Bagan
Si Api Api.
De Sumatra Post Tijdelijk geplaatst te Bagan Api-Api voor het
30-01-1922 uitoefenen van toezicht op, en de herstelling van de
Besluiten en Benoemingen gewestelijke vaartuigen aldaar, de 2e
werktuigkundige bij de gouvernements marine
F.Arnold Bik.

De Sumatra Post Benoemd tot secretaries der residentie Bengkoelen


04-02-1922 J.Oberman, controleur van Bagan Si Api Api
Besluiten en Benoemingen
De Sumatra Post Overgeplaatst van Siak naar Bagan Api-Api, de
07-02-1922 controleur bij het (B.B.) O.Treffers.
Besluiten en Benoemingen
De Sumatra Post Tot leden van den Landraad te Bengkalis zijn
11-07-1922 benoemd Riaw, onderdistrict Koeboe, en Oei Tek She,
Besluiten en Benoemingen particulier te Bagan Si Api-Api.
359

De Sumatra Post Herbenoemd tot commies bij de Post Telegraaf en


11-01-1923 Telefoon dienst en geplaats te Bagan Api-Api
Besluiten en Benoemingen G.A.Tielman, ambt.van Buitenl. Verlof terug
verwacht.
Overgeplaatst van Bagan Api-Api naar Medan, de
postcommies Alatoen.

De Sumatra Post Overgeplaatst van de politic-school te Buitenzorg


17-01-1923 naar het Gouvernement Oostk.van Sumatra de
Besluiten en Benoemingen waarnemend politie-opzieners 2c klas H. Hoss en
A.van Grappendorf, thans reeds te Bagan Api Api
gedetacheerd.

De Sumatra Post Tot commies op het belastingkantoor te Medan is


31-07-1923 benoemd Mohamad Djoezat, thans commies te
Besluiten en Benoemingen Bagan Si Api Api.
Het Nieuws Van den Dag Belast:
18-08-1923 Met de waarneming der betrekking van commies op
Besluiten en Benoemingen het controleurskantoor te Bagan Si Api Api
G.Scheepmaker, thans wd.com,oh.ass.res.kantoor te
Bengkalis.
De Sumatra Post Tot buitengewon deurwaarder bij den Raad van
11-09-1923 Justitie te Medan met woonplaats te Bagan Api Api is
Besluiten en Benoemingen benoemd Mohamad Joenoes gelar Soetan
Parashoem.
De Sumatra Post Als dienst doende havenmeester te Bagan Si Api Api
11-10-1923 is aangewezen de controleur aldaar.
Besluiten en Benoemingen
De Sumatra Post Benoemd tot buitengewoon deurwaarder bij den
20-10-1923 raad van justice met Standplaats Bagan Api Api
Besluiten en benoemingen Mohamad Sjarif Gelar Baginda Srimoelia
De Sumatra Post Tot administrateur van de onderafdeelings bank te
20-10-1923 Bagansiapiapi is benoemd de heer SCHIPPER thans,
Afdeelingsbank van Bagan chef bij Bernett Berg en Co.
Si Api-Api
De Sumatra Post Overgeplaatst van Bagan Si Api Api naar Medan en
14-12-1923 van Medan naar Bagan Si Api Api respectievelijk de
Besluiten en Benoemingen hoofdagenten 2e kl. Der algemeene politie F.Raguse
en P.J.Wagner.
360

De Sumatra Post Overgeplaatst van Bagan Api2 naar Batavia de


03-03-1924 pol.opziener 2e kl. A.van Grappendorf en van de
Besluiten en Benoemingen resident Batavian naar het gewest Oostk.Sum: den
idem S.Drievoet.
De Sumatra Post Buiten bezwaar van den Lande toegevoegd als
29-04-1924 adjunct van den djaksa bij den Landraad te Bengkalis
Besluiten en Benoemingen Asan Siregar gelar Soetan, Mantri Politie te Bagan Si
Api-Api.

De Sumatra Post Wegens gewichtige redenen is een binnenlandsch


13-05-1924 verlof van 3 weken verleend aan den controleur van
Besluiten en Benoemingen Bagan Si Api Api A.te Velde. Gedurende zijn
afwezingheid neemt de aspirant –controleur te
Bengkalis G.Tichelman zijne function waar.

De Smatra Post Overgeplaatst van Medan naar Bagan Api Api de


23-05-1924 politie-opziener 2e kl. F.van der Geugten.
Besluiten en Benoemingen
Het Nieuws Van Den Dag Overgeplaatst:
13-11-1924 Van Bagan Api APi, gouv.Oostk.van Sumatra , naar de
Besluiten en Benoemingen stadspol. Te Bandoeng, de opziener der 2e kl.
L.A.Bertram.
De Sumatra Post Benoemd tot hoofdagent van politie 1e.kl. te Bagan
18-09-1925 Si Api-Api , G.W.Heidenis, thans waarnemend.
Besluiten en Benoemingen
De Sumatra Post Naar wij vernemen is tot administrateur der
02-12-1925 afdeelingsbank van Bagan Si Api Api benoemd de heer
De Afdeelingsbank van RAESVELD
Bagan Si Api Api
De Sumatra Post Bij den kantoordienst van het Binnenlandsch bestuur
08-12-1925 over te plaatsen van Bagan Si Api Api naar
Besluite en Benoemingen Tandj.Balei, de commies Radan Achmad Soleman.
Algemeen Handelsblad Overgeplaatst n.Bagan Api Api als ontv.
29-03-1926 P.R.Hazenberg ;
Mutatie
Algemeen Handelsblad Werkz.gesteld b.d.uitvoer . en acc.als verificateur en
29-03-1926 overgepl.n.Soerbaja N.A.SCHUHERR, overgeplaatst
Mutatien (officieel) n. Bagansiapiapi als.ont. P.R.HAZENBERG;
De Sumatra Post Wegens Ziekte een maand binnenlandsch verlof van
31-05-1926 den controleur van Bagan Api-Api belast met de
Besluiten en Benoemingen
361

waarneming van diens function W.A.G.PERKS ,


Controleur te Bangoen Poerba.

De Sumatra Post Belast met het bestuur over de onderafdeeling Bagan


10-06-1926 Api-Api de td.controleur C.S.O.Schijf, thans
Besluiten en Benoemingen toegevoegd aan den assistant-Resident van
Bengkalis.
De Sumatra Post Bij de post teegraaf en telefoondienst, overgeplaatst
03-11-1926 van Medan naar Bagan Api Api de commies Abdul
Besluiten en Benoemingen Gani;
Idem van Bagan Api Api naar Medan de commies
J.SILOOY.
De Sumatra Post Gedetacheerd te Bagan Si Api-Api de verificateur der
23-11-1926 in – en uitvoerrechten en accijnzen te Belawan,
Besluiten en Benoemingen M.G.Plaatsman.
De Sumatra Post Bij den Post-Telegraaf en Telefoondienst is
27-12-1926 overgeplaatst van Bagan Si Api Api naar Tandjong
Besluiten en Benoemingen Priok de commies J.SILOOY;
Idem van Tandjong Priok naar Bagan Si Api Api de
tijdelijk waarnemend commies 1ste klasse
R.A.N.RIJKSHROEF, met bepaling dat hij wordt belast
met het beheer over het post en telegraaf kantoor
der 5e.klasse aldaar.
De Sumatra Post De gewezen hoofdagent van politie der 1e klasse
18-08-1927 G.W.Heidenis te Bagan Api-Api is uit’s Lands dienst
Besluiten en Benoemingen ontslagen.
De Sumatra Post Overgeplaatst van de Radiobedrijfs centrale te
26-04-1928 Bandoeng naar Bagan Si Api Api de ajunct-Commis
Besluiten en Benoemingen Djalioe.
De Sumatra Post Belast met de werkzaamaeden in het resort Bagan Si
10-05-1928 Api Api, de Hoofdopziener bij het boschwezen
Besluiten en Benoemingen M.Risa.
De Sumatra Post Belast met de waarneming van de betrekking van
29-05-1928 commies 1e klasse bij den Post Telegraaf en
Besluiten en Benoemingen Telefoondienst en geplaatst te Bagan Siapi-api
L.J.Perk, ambtenaar van buitenlandsch verlof
terugverwacht, laatselijk die betrekking bekleed
hebbende.
362

De Sumatra Post Met ingang van 1 April 1929 , belast met de


08-04-1929 werkzaamheden in het resort Bagan Si Api Api, de
Besluiten en Benoemingen hoofd opziener bij het Boschwezen M.Riza, onder
aanteekening dat hij geplaatst blijft te Bagan Siapi-
api.

De Sumatra Post Benoemd tot commies op het plaatselijk kantoor te


05-08-1929 Bagansiapiapi (Oostkust van Sumatra)
Personalia A.A.HILLEBRANDT.
De Sumatra Post Aan raden Mas Pratomo particulier Indisch Arts te
29-03-1930 Bagan Api-Api tevens belast met de waarneming van
Besluiten en Benoemingen den dienst der volksgezondheid aldaar wegens
gewichtige redenen een binnenlandsch verlof
verleend voor den tijd van twee maanden door te
brengen op Java en ingaande op den 29sten Maart
1930.

De Sumatra Post Toegevoegd aan de Hoofdopzichter bij den


04-12-1930 waterstaat en’s Lands burgerlijke Openbare werken
te Tandjong Balei met standplaats Rantau Prapat, de
tijdelijk waarnemend adspirant opzichter bij den
waterstaat en’s Lands Burgelijke Openbare werken te
Bagan Si Api Api en geplaatst te Pasir Pangarajan.

De Sumatra Post Belast met de waarneming der betreking van Mantri


08-04-1932 Politie bij de Veld Politie te Bagansiapiapi, Seke
Personalia Israel, Posthuis Commandant 1ste klasse bij de
Veldpolitie te Bengkalis.

De Sumatra Post 3. Controleur van Laboehan Batoe , na beeindiging


24-05-1932 van zijne detachering te Bagansiapiapi,
Personalia
De Sumatra Post M.ZIJLSTRA, Hoofdpolitie opziener bij de algemeene
02-07-1932 politie te Bagansiapiapi, op verzoek met ingang van
Benoemingen 31 December 1931. eervol en met recht op pensioen
uit’s Lands dienst ontslagen.

De Sumatra Post TJOMEL gelar Datoek Marahadja Lela Moeda,


02-09-1932 Districthoofd te Bagan Si Api-Api.
Onderscheidingen
363

De Sumatra Post Overgeplaatst van het kantoor van den controleur


16-09-1932 van Beneden Deli naar het controleurskantoor te
Besluiten en Benoemingen Bagansiapiapi, de Klerk Adnan. Overgeplaatst van het
controleurskantoor te Bagansiapiapi naar het kantoor
van den controleur van Beneden Deli, De Klerk Raden
Kadarisman;

De Sumatra Post Met ingang van ultimo October 1932 eervol onhoven
22-10-1932 vn de fuctie van Agent der Weerskamer te Medan
Reorganisatie voor:
Weeskamerdienst ……………….
Onderafdeeling Bagansiapiapi, Tengkoe Hasanoedin
Commies o/h Plaatselijkkantoor aldaar.

De Sumatra post G.J.E.TAPIHEROE , ambtenaar 4e Klasse bij den Dienst


20-07-1935 der In – en Uitvoerrechten en accijnzen te te
Besluiten en benoemingen Bagansiapiapi, wegens achtjarigen dienst tien
maanden verlof naar Europa verleend, met bepaling
dat hij zijn betrekking zal nederleggen op 16
december 1935.

Het Nieuws Van Den Dag Verleend: Wegens langdurigen dienst een jaar verlof
25-11-1935 naar Europa aan H.J.M.Vodegel, Beheerder bij de
Mutatie Opium- Zoutregie te Bagan Si Api Api, met bepaling,
dat hij zijne betrekking zal nederleggen op een door
het Hoofd der Opium – en Zoutregie nader te bepalen
datum in April 1936.

De Sumatra Post Overgeplaatst van het post en telegraaf kantoor


25-02-1936 Bagan Si Api Api naar het Radio zendstation
Besluiten en Benoemingen Djajeuhkolot met standplaats Bandoeng de tijdelijk
waarnemend monteur Soleman.
De Sumatra Post Benoemd tot beheerder bij de Opium en Zoutregie,
19-03-1936 en belast met het Opium en Zoutbeheer te Bagan Si
Besluiten en Benoemingen Api Api , Ch.A.Tromp, ambtenaar met het m.s.
“Johan van Olnenbarneveldt” van verlof naar Europa
terugverwacht, laatstelijk beheerder bij de Opium en
Zoutregie.

De Sumatra Post Op verzoek, wegens volbrachten diensttijd met


25-03-1936 ingang van 17 april 1936, eervol en met recht op
Besluiten en Benoemingen pensioen, uit’s lands dienst ontslagen, L.H.Van
364

Asperen, Ambtenaar 8e klasse bij den dienst der in


– en Uitvoerrechten en accijnzen te Bagan Si Api Api.

De Sumatra Post Overgeplaatst van Belawan naar Laboehan Bilik als


07-04-1936 ontvanger, C.Rancurer, Ambtenaar 4de klasse bij
Besluiten en benoemingen den Dienst deer in –en uitvoerrechten en accijnzen.
De Sumatra Post Aan J.C.C.Haar Controleur bij het Binnenlandsch
03-06-1936 Bestuur te Bagan Si Api APi, wegens zesjarigen dienst
Besluiten en Benoemingen acht maanden verlof naar Europa verleend, met
bepaling dat hij zijne betrekking zal nederleggen op
een door den Resident belast met het bestuur over
het Gouvernement Oost kust van Sumatra nader te
bepalen datum in de 2de helft van de maand October
1936 of in de 1e helft van de maand November d.a.v.

De Sumatra Post Raden Mas Pratomo, Indische Arts bij de Vereeniging


01-09-1936 ter oprichting en instandhouding van een ziekenhuis
Kleine Goulden Sterren te Bagan Si Api-Api, tevens belast met den dienst der
aan: volksgezondheid te Bagan Si Api-Api

De Sumatra Post Bepaald dat J.C.C.Haar, Controleur bij het


28-09-1936 Binnenlandsch bestuur te Bagan Si Api Api, in
B.B.Mutatie verband met het hem verleend verlof naar Europa
voor den tijd van acht maand, zijne betrekking zal
nederleggen op den 2den November 1936.

De Sumatra Post Overgeplaatst van:


22-10-1936 1. de Veldpolitie te Bagansiapiapi naar dat te
Besluiten en Benoemingen Loeboek Pakam den Inspecteur van Politie
P.VAN DER PLANK.
2. de opiumrecherche te Selatpanjang naar
het detachement Veldpolitie te
Bagansiapiapi, den Inspecteur van Politie
der 1e kl. P.C.KOSSEN.
Het Nieuws Van Den Dag Geplaatst te Koedoes H.P.W.Pels, commies voor de
06-01-1937 belastingen te Bagan Si Api Api, ……
Mutaties.Dept van
Financien
De Sumatra Post Overgeplaatst van de Veldpolitie:
19-03-1937 1. te Bagan Si Api Api naar die te Laboehan
Besluiten en Benoemingen Deli den Mantripolitie, Raden Djojooepojo
365

2. te Laboehan Deli naar die te Bagan Si Api


Api, den Mantripolitie 1e klasse, Bodjit.
3.
De Sumatra Post 1. ……………….
10-07-1937 2. het Controleurskantoor te Bagan Si Api Api naar
Besluiten en Benoemingen dat te Pakan Baroe , de klerk Adnan.
Het Nieuws Van Den dag Idem van Bandoeng naar Bagan Si Api-Api de tijdelijk
24-07-1937 waarnemend monteur Mas Kasmiri Soemamihardja.
Telegraaf –en
Telefoondienst
De Sumatra Post Benoemd:
19-08-1938 Tot mantri bij de dienst der I.U.A. te Meulaboh,
Mutaties Sahari, hoofddouane oppasser te Bagan Si Api-Api.

De Sumatra Post Wegen ziekte is een binnenlandsch verlof van twee


08-10-1938 manden, door te brengen te Brastagi, verleend aan
Controleur Bagan Si Api- den heer F.J.M.VAN DER LINDEN, fd.Controleur bij
Api het B.B. te Bagan Si Api-Api

De Sumatra Post Wegens ziekte een binnenlandsch verlof verleend


02-11-1938 voor den tijd van 2 maanden door te brengen te
Besluiten en Benoemingen P.Siantar , ingaande op 4 November 1939 aan
Sjamsoeddin gelar Toeongkoe Mangaradja
Baroemoen Moeda, Commies op het
plaatselijkkantoor te Bagan Si Api Api.

De Sumatra Post Wegen vertrek eervol ontslagen als


29-11-1938 brandspuitmeester bij den brandweer te Bagan Si
Besluiten en Benoemingen Api Api , H.A.Pandelaki, W.H.Kelderman en
Sjamsoeddin gelar Toengkoe Mangaradja
Baroemoen Moeda, onder dankbetuiging voor de als
zoodanig gepresteerde diensten.
Benoemd tot brandspuitmeester aldaar
V.F.L.Rummens, A.J.Koudstaal, en H.J.Eldering,
resp.ambtenaar 4e kl. Bij den dienst der I.U. en A.,
Beheerder van het electriciteits bedrijf en ambtenaar
bij de Rubberrestrictie te Bagan Si Api Api.

De Sumatra post Overgeplaatst van het detachement veld politie te


20-03-1939 Bagansiapiapi naar het detachement veldpolitie te
Mutaties bij de Veldpolities Pematang Siantar de Inspecteur van politie 1e klasse
P.C.Kossen.
366

Overgeplaats van het detachement veldpolitie te


Pematang Siantar naar het detachement Veldpolitie
te Bagansiapiapi, de inspecteur van Politie 1e klasse
A.C.J.Janssen

De Sumatra Post Met ingang van den dag van overgave en overname:
11-04-1939 a. eervol ontheven van het bestuur van de
Bestuur Bagan Si Api-Api onderafd.Bagan Si Api Api, de afd. Controleur
bij het Binnenlandsch bestuur, J.F.M.VAN DER
LINDEN.
b. Belast met het bestuur van de onderafd.Bagan
Si Api Api, de gediplomeerd gezaghebber bij het
Binnenlandsch Bestuur J.DE VISSER

De Sumatra Post Gerekend van 13 Maart 1939, belast met de


16-05-1939 waarneming van den dienst der volksgezondheid in
D.V.G. Arts te Bagan Si Api- het resort Bagan Si Api Api, G.M.ROEMERS arts in vrij
Api beroep, in dienst van de gesubsidieerde Vereeniging
ter oprichting en instandhouding van het ziekenhuis
te Bagan Si Api Api.

Het Nieuws Van den Dag Geplaatst te Bagansiapiapi W.A.Ch.PAEHLIG, terrain


12-06-1939 ambtenaar 1e kl. Te Bengkalis
Belastingen
367

Nama-nama Ikan di Muara Rokan


368
369

Sumber: Hardenberg, 1931


370

23 Juni 1884: 515


CONTRACT
betreffende de overneming
van belastingen in TANAH-POETIH.

Aangezien het Nederlandsch-Indisch Gouvernement, krachtens artikel 26 van


het op den 1sten Februari 1858 met den Sultan en de rijksgrooten van Siak Sri
Indrapoera en onderhoorigheden gesloten contract, de bevoegdheid bezit om
de heffing van alle in dat gebied bestaande belastingen tegen de uitkeering
van eene billijke schadeloosstelling aan de betrokken vorsten en hoofden, in
overleg 21rekening te exploiteeren en de tarieven daarvan te wijzigen, het zij
die af te schaffen of door andere te vervangen;
Aangezien het wenschelijk is gebleken om van de voormelde bevoegdheid
gebruik te maken, ten einde in Tanah Poetih, evenals in de overige
landschappen ter Oostkust van Sumatra, in het belang van den algemeenen
handel een meer gelijkmatig werkend belastingstelsel in het leven te roepen:
Zoo is op heden den 23sten Juni 1884 door mij RENSE CHRISTIAAN KROESEN,
ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, resident van de Oostkust van
Sumatra, handelende uit naam van het Nederlandsch-Indisch Gouvernement
en daartoe behoorlijk gemachtigd door Zijne Ex-cellentie den Gouverneur
Generaal van Nederlandsch-Indie; ridder der orde van den Nederlandschen
Leeuw, met Zijne Hoogheid den Jang di Pertoean Besar SJARIF KASIM ABDOEL
DJALIL SAIFOEDIN, Sultan van Siak Sri Indrapoera en onderhoorigheden,
ridder der orde van den Nederlandschen Leeuw, den mangkoeboemi Tongkoe
POETRA, benevens de datoehs, rijksgrooten van het landschap Tanah Poetih,
hoofden der soekoe's Melajoe besar, Melajoe Tengah, Mesah en Batoe
Hampar, te zamen voerende het bestuur over het landschap-TanahPoetih,
onder nadere goedkeuring van Zijne Excellentie den Gouverneur-Generaal, de
volgende overeenkomst gesloten:
Art.1
Zijne Hoogheid de Sultan en de mangkoe boemi van Siak en de landsgrooten
van Tanah Poetih, staan over het geheele gebied van laatstgemeld landschap
aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement af het uitsluitend recht tot het
heffen van inkomende en uitgaande rechten, en zulks tegen eenejaarlijksche
schadeloosstelling van f7500 (zeven duizend vijfhonderd gulden), te
verdeelen als volgt:

515
Handelingen der Staten-Generaal. Bijlagen. 1885-1886. Bijlagen. [110. 13-14.] Tweede Kamer,
17, Overeenkomsten met inlandsche vorsten in den Oost-Iudischen Archipel.
371

aan Zijne Hoogheid den Sultan, ter uitkeering aan Toengkoe Poetra, f5625 (vijf
duizend zeshonderd vijf en twintig gulden); aan het hoofd der soekoe Melajoe
besar f 750 (zevenhonderd vijftig gulden); aan de hoofden der soekoe's
Melajoe Tengah, Mesah en Batoe Hampar, ieder f 375 (drie honderd vijf en
zeventig gulden) 'sjaars.
Art.2
Aan het Nederlandsch-Indisch Gouvernement blijft het recht voorbehouden
om de aan zich getrokken belasting in het gebied van Tanah Poetih te wijzigen,
dan wel nieuwe daarvoor in de plaats te stellen.
Art.3
Zijne Hoogheid de Sultan en de hoofden van Tanah Poetih verbinden zich om
het Nederlandsch-Indisch Gouvernement alle noodige hulp te verleenen ter
verzekering van zijne rechten op de heffing der in-en uitgaande rechten in het
landschap-Tanah Poetih, terwijl het Nederlandsch-Indisch Gouvernement zich
het recht voorbehoudt alle zoodanige maatregelen te nemen, als ter
verzekering eener richtige heffing noodzakelijk zullen worden geacht.
Art.4
Het tijdstip van inwerkingtreding dezer overeenkomst wordt bepaald op 1
Januari 1886.

Aldus ten dage voorschreven overeengekomen te SiakSriIndrapoera,


waarna dit contract door ons is onder-teekend en bezegeld.
De Resident der Oostkust van Sumatra,
(get.) KROESEN.

Stempels en handteekeningen in
Arabische karakters.
Dit contract is goedgekeurd en bekrachtigd op heden den 7den Juli 1885.
372

Staatsblad Nomr 94 Tahun 1894; Koleksi ANRI


373
374

Kepala Suku dan Hinduk


Bab jang ketoedjoeh, Baboe’lkawaid sebagai berikut 516:

Fasal 7.Bahagian provincie Bangka.


No.1 Dewa Pahlawan kepala soekoe Toedjoeh hindoek.
2. Perkasa Radja kepala soekoe babajah
3. Bebas kepala soekoe Merah pandita.
4. Bebas kepala soekoe Haroe.
5. Bebas kepala soekoe Rambah
6. Bebas kepala soekoe Merah Djaman.

Fasal 8. Jang dinamakan hindoek bahagian provincie negri Bangka.


No.1 Bebas hindoek Toekamat.
2.Bebas hindoek Toekamat Siak.
3.Bebas hindoek Magaen.
4.Bebas hindoek Kepanoehan.
5.Bebas hindoek Loedin.
6.Bebas hindoek Basir
7.Bebas hindoek Djelas.
8.Orang Kaja Djalil hindoek orang koeboe di Laboehan Tangga.

Fasal 9. Bahagian provincie Tanah Poetih.


No.1 Setia Maharadja kepala soekoe Melajoe Besar.
2.Radja Lela Moeda kepala soekoe Melajoe Tengah
3.Padoeka Meradja Lela kepala soekoe Mesah.
4.Soera diradja kepala soekoe Batoe Hampar

Fasal 10. Jang dinamakan hindoek bahagian provincie negeri Tanah Poetih.
No.1.Lela Radja hindoek Lela Radja Melajoe Besar.
2.Mentara hindoek Mentara Melajoe Besar.
3.Rimau Soetan hindoek Rimau Soetan Melajoe Besar
4.Rebas hindoek djaoeh Rimau Soetan Melajoe Besar.
5.Simapahlawan hindoek Simapahlawan Melajoe Besar.

Fasal 11. Bahagian provincie Koeboe.


No.1.Djaja Perkasa kepala soekoe Rawa.
2.Indera Setia kepala soekoe Hamba Radja.

516BABOE’LKAWAID: Almoestachaza billah, Keradjaan Siak Seri Indrapoera, 1901, dilihat dalam
Tijdshrift voor het Binnenland Bestuur Negen-en-Derstigste Deel, Batavia, G.Kolf & Co, 1910,
hal.103-104.
375

3.Padoeka simaradja kepala soekoe Haroe.


4.Indera boengsoe kepala soekoe Bebas.

Fasal 12. Jang dinamakan hindoek bahagian prov.Koeboe.


No.1.Panglima Moeda Setia Radja hindoek Bebas Panglima Moeda.
2.Pengoeloe Hamba Radja hindoek Hamba Radja soengai dahoen Koeboe.
3.Maradja Besar hindoek Rawa Meradja besar.
4.Bebas hindoek Hamba Radja Noehada penawar.
5.Bebas hindoek Rawa orang kaja Edar.
6.Bebas hindoek Hamba Radja Noehada imbab.
7.Penghoeloe Haroe hindoek haroe Pengoeloe Haroe.
8.Bebas hindoek Hamba Radja Oenik.
9.Bebas hindoek Boegis jang laki2.
10.Bebas hindoek Hamba radja Hadji Sema’il.
11.Bebas hindoek Haroe Besir.

Anda mungkin juga menyukai