Saat ditawan, Tun Sri Lanang sedang menjabat sebagai Bendahara kepada Paduka Raja Tun
Muhammad Orang Kaya Kerajaan Johor Lama di Batu Sawar, Pewaris Kerajaan Kesultanan
Melaka, 1557 - 1613 M. Tun Sri Lanang, selain seorang Bendaharawan, juga adalah seorang
penulis. Ketika ditawan dan dibawa ke Aceh pada 1613 M, Tun Sri Lanang telah menuliskan
sebagian dari naskah Sulalatus Sulatin yang kemudian dirampungkannya di Aceh.
Pada 1613 M, beliau kemudian diangkat oleh Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam menjadi
Raja Perdana Ulee Balang Pertama VI Mukim Negeri Samalanga Aceh Darussalam dengan
gelaran Datuk Bendahara Tun Muhammad Seri Lanang, setelah untuk beberapa lama
menjabat sebagai Penasihat Sultan dengan gelar Orang Kaya Datuk Bendahara Sri Paduka
Tun Sebrang, dan Sulthan Iskandar Muda memberikan wilayah kekuasaannya di Samalanga
yang dibatasi dengan Krueng Ulim dan Krueng Jempa (AK Yakobi: 1997: 40 48).
Tun Sri Lanang adalah orang yang membangun Mesjid Raya Samalanga pada abad XVII.
Peletakan batu pertama untuk Mesjid tersebut dilakukan oleh Sultan Aceh Darussalam ke-22,
Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Mesjid raya ini sekarang dikembangkan oleh lembaga
MUDI MESRA (Ma'had 'Ulumul Diniyah Mesjid Raya) Pimpinan Tgk. Hasan Noel yang
pada saat ini memiliki sekitar 3.000 santri.
Rumah bekas kediaman Raja Samalanga pertama ini, dikenal sebagai Rumoh Krueng, telah
dipugar meskipun beberapa bagian masih menggunakan kayu dasarnya dan sudah terlihat
keropos dimakan rayap. Di sebelah kirinya, berjarak sekitar 50 meter, disemayamkan jasad
Tun Sri Lanang dan orang-orang dekatnya, pada satu kompleks pekuburan yang sederhana.
Tun Sri Lanang, sang pengarang kitab Sulalatus Salatin, bacaan wajib di sekolah-sekolah
Melayu, dikenang juga dengan gelaran tidak resmi "Gajah Mada Dunia Melayu". Di antara
kesamaan Tun Sri Lanang dengan Gadjah Mada (sepertinya nama sebenarnya) adalah, 1)
penyatuan, Gajah Mada menyatukan pulau-pulau di Nusantara, sementara Tun Sri
"menyatukan" Melayu karena menurunkan garis keturunan bangsawan di Malaysia dan di
Aceh. Di Malaysia, garis keturunannya di antaranya adalah Sultan-sultan Pahang, Johor, dan
Selangor. Sedangkan di Aceh, telah ada keturunan ke 8 Beliau yang saat ini juga Ketua
Yayasan Tun Sri Lanang, Pocut Haslinda Syahrul; dan 2) ajal: sama-sama meninggal di
Aceh, Tun Sri meninggal di Samalanga pada 1659 M, sementara Gadjah Mada di Manyak
Payet, Tualang Cut, Kuala Simpang.
Poto-poto Istana Tun Seri Lanang yang juga dikenal sebagai Rumoh Krueng (Rumah Sungai)
dan sekitarannya.
BPCB Aceh :Tun Sri Lanang Raja Samalanga berasal dari negeri seberang Malaysia . Pada tahun
1613 Datok Bendahara Negeri Johor ini di bawa ke Aceh setelah Johor ditakluki oleh Sultan Iskandar
Muda (1607-1636) bersama 22 ribu penduduk semenanjung lainnya, hampir semua penduduk di
negeri ini beserta petinggi lainya bermigrasi ke Aceh, diantaranya adalah Raja Husein (Iskandar
Thani), Putri Pahang atau nama aslinya Putri Kamaliah (Putroe Phang orang Aceh menyebutnya),
dan Datok Bendahara (Perdana Menteri) Tun Muhammad. Tun Sri lanang lahir di Selayut
Batu Sawar Johor lama pada tahun 1565, nama asli Tun Sri Lanang adalah Tun Muhammad yang
bergelar Datok Bendahara Tun Muhammad dan orang kaya sri paduka Tun Seberang mempunyai
sambungan silsilah sampai ke Mani Purindan sebagai berikut:
Tun Sri Lanang bin Tun Genggang bin Tun Jenal bin Tun Mad Ali bin Tun Hasan bin Tun Mutahir
bin Tun Ali Sari Nara Bin Mani Purindan 30
Tun Sri Lanang menikah dengan Tun Aminah binti Tun Kadut bin Seri Amar Bangsa Tun
Ping bin Tun Hasan bin Tun Biajid Rupat bin Bendahara Seri Maharaja. Dari pernikahan dengan Tun
Aminah mempunyai empat anak yaitu tiga orang laki-laki dan satu perempuan. Yang laki-laki
bernama :
4. Tun Gembuk 31
Di Aceh Pernikahan Tun Sri Lanang dengan isteri keduanya mempunyai seorang anak
bernama Tun Rembau bergelar Teuku Tjik Di Blang Panglima Perkasa32 Dalam sejarah
melayu anak cucu Tun Seri Lanang kemudian menjadi para bangsawan, Bendahara, dan
Sultan di Tringganu, Johor, Pahang dan Selangor.
Pada than 1613 Tn Sri Lanang setelah peristiwa Batu Sawar hijrah ke Aceh Darussalam
bersama keluarga Sultan Alauddin termasuk adiknya Raja Bungsu bersama mareka ada dua
ribu penduduk Johor yang dibawa ke Aceh dan kemudian di mukimkan di Samalanga.
Secara tradisional Jabatan penting dalam Kesultanan Melayu merupakan jabatan warisan
turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Menurut satu riwayat setelah Tun Sri Lanang pindah ke Aceh putra tertua Tun Sri
Lanang yang bernama Tun Anum diangkat menjadi Bendahara Johor berikutnya. Diduga
Tun Anum meninggal dunia bersama pembesar Johor lainnya akibat wabah penyakit
pada tahun 1642 dan di makamkan di Makam Tauhid ( Makam Sayed)35. Setelah Tun Anum
mangkat adiknya yang bernama Tun Jenal diangkat menjadi Bendahara dengan gelar Paduka
Raja atau Bendahara Sekudai. Tun Jenal merupakan bendahara Johor yang berjasa
melepaskan Malaka dari penjajah Portugis tahun 1941 Masehi. Peristiwa pelepasan malaka
dari Portugis tercatat dalam hikayat Hang Tuah.
Keturunan Tun Jainal bergelar Bendahara Paduka Raja (BPR) alias Datuk Sekudai
ini mempunyai seorang anak perempuan yang menikah dengan Said Zainal Abidin dari Aceh
yang mempunyai seorang anak perempuan bernama Dato Maharaja Diraja. Dato Maharaja
Diraja mempunyai dua orang putra yang bernama Sayid Jakfar alias Datuk Pasir Raja dan
Habid Abdullah BSM. Dalam bukunya : Hj. Pocut Haslinda Muda Dalam Azwar Waris ke
8 Tun Sri Lanang.
Dayah ini telah didirikan seiring dengan pembangunan Mesjid Raya pada masa Sultan
Iskandar Muda. Pimpinan dayah yang pertama dikenal dengan nama Faqeh Abdul
Ghani. Namun yang sangat disayangkan khazanah ini tidak dicatat oleh sejarah sampai tahun
berapa beliau memimpin lembaga pendidikan Islam ini dan siapa penggantinya
kemudian.Barulah pada tahun 1927, dijumpai secara jelas catatan sejarah yang meriwayatkan
perjalanan para pimpinan dayah ini.
Dari tahun ini dayah dipimpin oleh Al-Mukarram Tgk H. Syihabuddin Bin Idris
dengan para santri pada masa itu berjumlah 100 orang putera dan 50 orang puteri.
Mereka diasuh oleh 5 orang tenaga penganjar lelaki dan 2 orang guru putreri.
(Note:Tgk. H. Hanafiah Bin Abbas)
Sesuai dengan kondisi zaman pada masa itu bangunan asrama tempat menampung
para santri merupakan dari barak-barak darurat yang dibangun dari batang bambu
dan rumbia. Setelah Tgk. H. Syihabuddin Bin Idris wafat (1935) sepeninggalnya
beliau Dayah dipimpin oleh adik ipar beliau yaitu Al-Mukarram Tgk. H. Hanafiah
Bin Abbas atau lebih dikenal dengan gelar Tgk Abi. Jumlah pelajar pada masa
kepemimpinan beliau sedikit meningkat menjadi 150 orang putera dan 50 orang puteri.
Kondisi pisik bangunan asrama dan balai pengajian tidak berbeda dengan yang ada pada
masa kepemimpinan Allah yarham Tgk. H. Syihabuddin Bin Idris.
Di mana pada masa itu bangunan asrama masih berbentuk barak-barak darurat.
Dalam masa kepemimpinan beliau, pimpinan Dayah pernah diperbantukan kepada
Tgk. M. Shaleh selama 2 tahun ketika beliau berangkat ke Makkah untuk
menjalankan ibadah haji dan menambah ilmu pengetahuannya.