Anda di halaman 1dari 14

KERAJAAN SAMUDERA PASAI

Sejarah Berdirinya Kerajaan Samudera Pasai


Samudera Pasai didirikan oleh Nazimudin Al-Kamil pada tahun 1267.
Nazimudin Al-Kamil adalah seorang laksmana angkatan laut dari Mesir sewaktu
dinasti Fatimiyah berkuasa. Ia ditugaskan untuk merebut pelabuhan Kambayat di
Gujarat pada tahun 1238 M.
Setelah itu, ia mendirikan kerajaan Pasai untuk menguasai perdagangan Lada
Dinasti Fatimiyah merupakan dinasti yang beraliran paham Syiah, maka bisa
dianggap bahwa pada waktu itu Kerajaan Pasai juga berpaham Syiah. Akan
tetapi, pada saat ada ekspansi ke daerah Sampar Kanan dan Sampar Kiri sang
laksamana Nazimudin Al-Kamil gugur.
Setelah keruntuhan dinasti Fatimiyah yang beraliran Syiah pada tahun 1284,
dinasti Mamuluk yang bermadzhab SyafiI berinisiatif mengambil alih
kekuasaan Kerajaan Pasai.
Selain untuk menghilangkan pengaruh Syiah, penaklukan ini juga bertujuan
untuk menguasai pasar rempah-rempah dan lada dan pelabuhan Pasai. Maka,
Syekh Ismail bersama Fakir Muhammad menunaikan tugas tersebut.
Mereka akhirnya dapat merebut Pasai. Selanjutnya dinobatkanlah Marah Silu
sebagai raja Samudera Pasai yang pertama oleh Syekh Ismail.
Setelah Meurah Silu memeluk Islam dan dinobatkan menjadi raja, dia diberi
gelar Malik al Saleh pada tahun 1285. Nama ini adalah gelar yang dipakai oleh
pembangunan kerajaan Mamuluk yang pertama di Mesir yaitu Al Malikus
Shaleh Ayub.

Kerajaan Samudera Pasai


Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh, dan merupakan kerajaan Islam
pertama di Indonesia.
Kerajaan ini didirikan oleh Meurah Silu pada tahun 1267 M.
Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini adalah ditemukannya makam
raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara.
Makam ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di
desa Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur
Lhokseumawe.
Di antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja
Pasai pertama. Malik al-Saleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk
Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia.
Berkuasa lebih kurang 29 tahun (1297-1326 M).
Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari Kerajaan Pase dan Peurlak,
dengan raja pertama Malik al-Saleh

Raja-raja yang memerintah di Samudera Pasai


1. Sultan Malik al Saleh
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir
3. Sultan Malikul Mahmud
4. Sultan Malikul Mansyur
5. Sultan Ahmad Malik Az-Zahir
6. Sultanah Nahrisyah

Sultan Malik al Saleh


Sebelum memeluk agama Islam, nama asli Malik Al Shaleh adalah Meurah Silu
atau Meurah Silo.
Meurah adalah panggilan kehormatan untuk orang yang ditinggikan
derajatnya, sementara Silo dapat dimaknai sebagai silau atau gemerlap.
Dalam Hikayat Raja Pasai diceritakan bahwa Marah Silu putra dari pasangan
Marah Gadjah dan Putri Betung.
Nama Malik Al Saleh setelah masuk islam ada beberapa versi yaitu Malik ul
Salih, Malik Al Saleh, Malikussaleh, Malik as Salih atau Malik ul Saleh.
Ia mendirikan kerajaan Islam pertama di nusantara, yaitu Samudera Pasai pada
tahun 1267.
Di bawah kepemimpinan Malik al-Saleh, Samudera Pasai mulai berkembang
Selain dikenal sebagai pendiri dan raja pertama dari Kesultanan Samudera Pasai,
Malik al-Saleh juga merupakan tokoh penyebar agama Islam di wilayah
nusantara dan Asia Tenggara pada abad ke-13 M. Karena pengaruh kekuasaan
yang dimiliki Sultan Malik al-Saleh, Islam bisa berkembang luas di wilayah
nusantara hingga ke negeri-negeri lainnya di kawasan Asia Tenggara
Pada masa pemerintahan Malik al-Saleh, Samudera Pasai memiliki kontribusi
yang besar dalam pengembangan dan penyebaran Islam di Tanah Air.
Sultan Muhammad Malikul Zahir (Sultan Malik Al Tahir)
Dia merupakan putra dari Sultan Malik Al Saleh
Di bawah pimpinan Sultan Muhammad Malikul Zahir, Kerajaan Pasai
mengalami masa kejayaan.
Masa kejayaan Sultan Muhammad Malikul Zahir dikuatkan dengan bukti catatan
Ibnu Batutah.
Ibnu Batutah mencatat bahwa tanah-tanah di wilayah Kerajaan Pasai begitu
subur, aktivitas perdagangan dan bisnis di kerajaan itu sudah cukup maju,
dibuktikan dengan sudah digunakannya mata uang (mata uang dari Emas).
Masih menurut catatan Ibnu Batutah, Sultan Muhammad Malikul Zahir
merupakan sosok pemimpin yang memiliki semangat belajar yang tinggi dalam
menuntut ilmu-ilmu Islam.
Ibnu Batutah bahkan memasukkan nama Sultan Muhammad Malikul Zahir
sebagai salah satu dari tujuh raja di dunia yang memiliki kelebihan luar biasa.
Sebagai raja, Sultan Muhammad Malikul Zahir merupakan orang yang sangat
saleh, pemurah, rendah hati, dan mempunyai perhatian terhadap fakir miskin.
Meskipun ia telah menaklukkan banyak kerajaan, Sultan Muhammad Malikul
Zahir tidak pernah bersikap jumawa.
Di masa keemasannya, Kerajaan Pasai dan Kerajaan Samudera menjelma
menjadi pusat perdagangan internasional. Kerajaan pelabuhan Islam itu begitu
ramai dikunjungi para pedagang dan saudagar dari berbagai benua seperti, Asia,
Afrika, Cina, dan Eropa.
Di samping sebagai pusat perdagangan, Kesultanan Samudera Pasai juga
merupakan pusat perkembangan agama Islam dan muncul sebagai pemerintahan
pertama di Nusantara yang menganut ajaran Islam.
Sultan Muhammad Malikul Zahir mempunyai dua orang putra, yaitu Malikul
Mahmud dan Malikul Mansur.
Ketika Sultan Muhammad Malikul Zahir pada akhirnya meninggal dunia karena
sakit, tahta kepemimpinan Kerajaan Pasai untuk sementara diserahkan Sultan
Malik Al Saleh (bapaknya), yang juga memimpin Kerajaan Samudera, karena
kedua putra Sultan Muhammad Malikul Zahir masih berusia sangat belia.
Ketika kedua pangeran ini beranjak dewasa dan dirasa sudah siap memimpin
pemerintahan, maka Sultan Malik Al Salih pun mengundurkan diri dari
singgasananya yang meliputi dua kerajaan, yakni Kerajaan Samudera dan
Kerajaan Pasai.
Sebagai gantinya, sesuai dengan kesepakatan Orang-Orang Besar, diangkatlah
Malikul Mahmud menjadi Sultan Kerajaan Pasai, sementara Malikul Mansur
sebagai Sultan Kerajaan Samudera.
Namun, keharmonisan kedua sultan kakak-beradik ini tidak berlangsung lama
karena terjadi perseteruan di antara mereka.
Penyebabnya adalah ulah Sultan Mansur yang ternyata menggilai salah seorang
istri Sultan Mahmud yang tidak lain adalah abang kandungnya sendiri.
Pada akhirnya, Sultan Mansur ditangkap dan diusir dari kerajaannya hingga
kemudian meninggal dunia dalam perjalanan. Jadilah Sultan Malikul Mahmud
menguasai singgasana Kerajaan Samudera dan Kerajaan Pasai hingga
digabungkanlah kedua kerajaan itu menjadi Kesultanan Samudera Pasai.

Sultan Ahmad Malik Az-Zahir


Anak dari Malikul Mahmud
Ahmad Permadala Permala Setelah dinobatkan sebagai penguasa Kesultanan
Samudera Pasai, ia kemudian dianugerahi gelar kehormatan dengan nama Sultan
Ahmad Malik Az-Zahir
Sempat terjadi hal yang sungguh memalukan dalam perjalanan kepemimpinan
Sultan Ahmad Malik Az-Zahir yang pada akhirnya memang lekat dengan citra
sebagai pemimpin yang buruk.
Menurut Hikayat Raja Pasai, Sang Sultan ternyata menaruh berahi terhadap
kedua anak perempuannya sendiri, yaitu Tun Medan Peria dan Tun Takiah Dara.
Sikap yang keterlaluan dari Sultan Ahmad Malik Az-Zahir menimbulkan
kemurkaan dari banyak pihak, termasuk Tun Beraim Bapa yang tidak lain adalah
putra sulung Sultan Ahmad Malik Az-Zahir.

Sultanah Nahrasiyah
Sultanah Nahrasiyah memiliki penasehat bernama Ariya Bakooy dengan gelar
Maharaja Bakooy Ahmad Permala
Ariya Bakooy sebenarnya merupakan sosok kontroversial. Ia pernah
diperingatkan kaum ulama agar tidak mengawini puterinya sendiri namun
peringatan itu ditentangnya. Bahkan, Ariya Bakooy kemudian malah membunuh
40 ulama
Sultanah Nahrasiyah merupakan seorang perempuan muslimah yang berjiwa
besar. Hal ini dibuktikan dengan hiasan makamnya yang sangat istimewa
Pada nisannya, tertulis nukilan huruf Arab terjemahannya berbunyi: Inilah
kubur wanita yang bercahaya yang suci ratu yang terhormat, almarhum yang
diampunkan dosanya, Nahrasiyah, putri Sultan Zainal Abidin, putra Sultan
Ahmad, putra Sultan Muhammad, putra Sultan Mailkus Salih. Kepada mereka
itu dicurahkan rahmat dan diampunkan dosanya. Mangkat dengan rahmat Allah
pada hari Senin, 17 Zulhijjah 832

Kehidupan Sosial Budaya


Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Samudera Pasai diatur menurut aturan
dan hukum Islam. Dalam pelaksanaannya banyak terdapat persamaan dengan
kehidupan sosial masyarakat di negeri Mesir maupun di Arab. Karena persamaan
inilah sehingga daerah Aceh mendapat julukan Daerah Serambi Mekkah
Kerajaan Samudera Pasai berkembang sebagai penghasil karya tulis yang baik.
Beberapa orang berhasil memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama
Islam untuk menulis karya mereka dalam bahasa Melayu, yang kemudian
disebut dengan bahasa Jawi dan hurufnya disebut Arab Jawi.
Selain itu juga berkembang ilmu tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Melayu

Kehidupan Ekonomi
Karena letak geografisnya yang strategis, ini mendukung kreativitas
mayarakat untuk terjun langsung ke dunia maritim. Samudera pasai juga
mempersiapkan bandar-bandar yang digunakan untuk :
1. Menambah perbekalan untuk pelayaran
2. Mengurus masalah perkapalan
3. Mengumpulkan barang dagangan yang akan dikirim ke luar negeri
4. Menyimpan barang dagangan sebelum diantar ke beberapa daerah di
Indonesia

Kehidupan Agama
Sesuai dengan berita dari Ibnu Battutah tentang kehadiran ahli-ahli agama dari
Timur Tengah, telah berperan penting dalam proses perkembangan Islam di
Nusantara.
Berdasarkan hal itu, Sultan Samudera Pasai begitu taat dalam menjalankan
agama Islam sesuai dengan Mahzab Syafi'I dan ia selalu di kelilingi oleh ahli-
ahli teologi Islam.
Dengan raja yang telah beragama Islam, maka rakyat pun memeluk Islam untuk
menunjukan kesetiaan dan kepatuhannya kepada sang raja.
Karena wilayah kekuasaan Samudra Pasai yang cukup luas, sehingga
penyebaran agama Islam di wilayah Asia Tenggara menjadi luas

Keruntuhan Kerajaan Samudera Pasai


Tidak Ada Pengganti yang mampu memimpin Kerajaan Samedera Pasai dengan
baik Setelah Sultan Malikul Zahir
Terjadi Perebutan kekuasaan
Serangan dari Majapahit Tahun 1339
Berdirinya Bandar Malaka yang Letaknya Lebih Strategis
Serangan Portugis
AWAL MULA BERDIRINYA KERAJAAN ACEH

2.1 Awal Mula Berdirinya Kerajaan Aceh


Ketika awal kedatangan Bangsa Portugis di Indonesia, tepatnya di Pulau
Sumatra, terdapat dua pelabuhan dagang yang besar sebagai tempat transit para
saudagar luar negeri, yakni Pasai dan Pedir. Pasai dan Pedir mulai berkembang pesat
ketika kedatangan bangsa Portugis serta negara-negara Islam. Namun disamping
pelabuhan Pasai dan Pedir, Tome Pires menyebutkan adanya kekuatan ketiga, masih
muda, yaitu Regno dachei (Kerajaan Aceh).
Aceh berdiri sekitar abad ke-16, dimana saat itu jalur perdagangan lada yang
semula melalui Laut Merah, Kairo, dan Laut Tengah diganti menjadi melewati
sebuah Tanjung Harapan dan Sumatra. Hal ini membawa perubahan besar bagi
perdagangan Samudra Hindia, khususnya Kerajaan Aceh. Para pedagang yang rata-
rata merupakan pemeluk agama Islam kini lebih suka berlayar melewati utara
Sumatra dan Malaka. Selain pertumbuhan ladanya yang subur, disini para pedagang
mampu menjual hasil dagangannya dengan harga yang tinggi, terutama pada para
saudagar dari Cina. Namun hal itu justru dimanfaatkan bangsa Portugis untuk
menguasai Malaka dan sekitarnya. Dari situlah pemberontakan rakyat pribumi mulai
terjadi, khususnya wilayah Aceh (Denys Lombard: 2006, 61-63)
Pada saat itu Kerajaan Aceh yang dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat Syah
atau Sultan Ibrahim, berhasil melepaskan diri dari kekuasaan Kerajaan Pedir pada
tahun 1520. Dan pada tahun itu pula Kerajaan Aceh berhasil menguasai daerah Daya
hingga berada dalam kekuasaannya. Dari situlah Kerajaan Aceh mulai melakukan
peperangan dan penaklukan untuk memperluas wilayahnya serta berusaha
melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa Portugis. Sekitar tahun 1524,
Kerajaan Aceh bersama pimpinanya Sultan Ali Mughayat Syah berhasil menaklukan
Pedir dan Samudra Pasai. Kerajaan Aceh dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat
Syah tersebut juga mampu mengalahkan kapal Portugis yang dipimpin oleh Simao de
Souza Galvao di Bandar Aceh (Poesponegoro: 2010, 28)
Setelah memiliki kapal ini, Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim
bersiap-siap untuk menyerang Malaka yang dikuasai oleh Bangsa Portugis. Namun
rencana itu gagal. Ketika perjalanan menuju Malaka, awak kapal dari armada
Kerajaan Aceh tersebut justru berhenti sejenak di sebuah kota. Disana mereka dijamu
dan dihibur oleh rakyat sekitar, sehingga secara tak sengaja sang awak kapal
membeberkan rencananya untuk menyerang Malaka yang dikuasai Portugis. Hal
tersebut didengar oleh rakyat Portugis yang bermukim disana, sehingga ia pun
melaporkan rencana tersebut kepada Gubernur daerah Portugis (William Marsden,
2008: 387)
Selain itu sejarah juga mencatat, usaha Sultan Ali Mughayat Syah atau
Sultan Ibrahim untuk terus-menerus memperluas dan mengusir penjajahan Portugis
di Indonesia. Mereka terus berusaha menaklukan kerajaan-kerajaan kecil yang ada di
sekitar Aceh, dimana kerajaan-kerajaan tersebut merupakan kekuasaan Portugis,
termasuk daerah Pasai. Dari perlawanan tersebut akhirnya Kerajaan Aceh berhasil
merebut benteng yang terletak di Pasai.
Hingga akhirnya Sultan Ibrahim meninggal pada tahun 1528 karena diracun
oleh salah seorang istrinya. Sang istri membalas perlakuan Sultan Ibrahim terhadap
saudara laki-lakinya, Raja Daya. Dan ia pun digantikan oleh Sultan Alauddin Syah
(William Marsden, 2008: 387-388)
Sultan Alauddin Syah atau disebut Salad ad-Din merupakan anak sulung
dari Sultan Ibrahim. Ia menyerang Malaka pada tahun 1537, namun itu tidak berhasil.
Ia mencoba menyerang Malaka hingga dua kali, yaitu tahun 1547 dan 1568, dan
berhasil menaklukan Aru pada tahun 1564. Hingga akhirnya ia wafat 28 September
1571. Sultan Ali Riayat Syah atau Ali Riayat Syah, yang merupakan anak bungsu
dari Sultan Ibrahim menggantikan kedudukan Salad ad-Din. Ia mencoba merebut
Malaka sebanyak dua kali, sama seperti kakaknya, yaitu sekitar tahun 1573 dan 1575.
Hingga akhirnya ia tewas 1579 (Denys Lombard: 2006, 65-66)
Sejarah juga mencatat ketika masa pemerintahan Salad ad-Din, Aceh juga
berusaha mengambangkan kekuatan angkatan perang, mengembangkan perdagangan,
mengadakan hubungan internasional dengan kerajaan-kerajaan Islam di Timur
Tengah, seperti Turki, Abysinia, dan Mesir. Bahkan sekitar tahun 1563, ia
mengirimkan utusannya ke Konstantinopel untuk meminta bantuannya kepada Turki
dalam melakukan penyerangan terhadap Portugis yang menguasai wilayah Aceh dan
sekitarnya. Mereka berhasil menguasai Batak, Aru dan Baros, dan menempatkan
sanak saudaranya untuk memimpin daerah-daerah tersebut. Penyerangan yang
dilakukan oleh Kerajaan Aceh ini tak luput dari bantuan tentara Turki.
Mansyur Syah atau Sultan Alauddin Mansyur Syah dari Kerajaan Perak di
Semenanjung adalah orang berikutnya yang naik tahta. Ia merupakan menantu Sultan
Ali Riayat Syah. Menurut Hikayat Bustan as-Salatin, ia adalah seorang yang sangat
baik, jujur dan mencintai para ulama. Karena itulah banyak para ulama baik dari
nusantara maupun luar negeri yang datang ke Kerajaan Aceh. Hingga akhirnya ia
wafat pada tahun 1585 dan digantikan oleh Sultan Alauddin Riayat Syah ibn Sultan
Munawar Syah yang memerintah hingga tahun 1588. Sejak tahun1588, Kerajaan
Aceh dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah ibn Firman Syah atau Sultan
Muda hingga tahun 1607 (Poesponegoro: 2010, 30-31)

2.2 Masa Kejayaan Kerajaan Aceh


Kerajaan Aceh mulai mengalami masa keemasan atau puncak kekuasaan di
bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda, yaitu sekitar tahun 1607 sampai tahun 1636.
Pada masa Sultan Iskandar Muda, Kerajaan Aceh mengalami peningkatan dalam
berbagai bidang, yakni dalam bidang politik, ekonomi-perdagangan, hubungan
internasional, memperkuat armada perangnya, serta mampu mengembangakan dan
memperkuat kehidupan Islam. Bahkan kedudukan Bangsa Portugis di Malaka pun
semakin terdesak akibat perkembangan yang sangat pesat dari Kerajaan Aceh di
bawah pimpinan Sultan Iskandar Muda (Poesponegoro: 2010, 31)
Sultan Iskandar Muda memperluas wilayah teritorialnya dan terus
meningkatkan perdagangan rempah-rempah menjadi suatu komoditi ekspor yang
berpotensial bagi kemakmuran masyarakat Aceh. Ia mampu menguasai Pahang tahun
1618, daerah Kedah tahun 1619, serta Perak pada tahun 1620, dimana daerah tersebut
merupakan daerah penghasil timah. Bahkan dimasa kepemimpinannya Kerajaan
Aceh mampu menyerang Johor dan Melayu hingga Singapura sekitar tahun 1613 dan
1615. Ia pun diberi gelar Iskandar Agung dari Timur.
Kemajuan dibidang politik luar negeri pada era Sultan Iskandar Muda, salah
satunya yaitu Aceh yang bergaul dengan Turki, Inggris, Belanda dan Perancis. Ia
pernah mengirimkan utusannya ke Turki dengan memberikan sebuah hadiah lada
sicupak atau lada sekarung, lalu dibalas dengan kesultanan Turki dengan memberikan
sebuah meriam perang dan bala tentara, untuk membantu Kerajaan Aceh dalam
peperangan. Bahkan pemimpin Turki mengirimkan sebuah bintang jasa pada sultan
Aceh (Harry Kawilarang, 2008: 21-22)
Dalam lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah
melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama
dalam bidang masing-masing, seperti Hamzah Fansuri dalam bukunya Tabyan Fi
Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin
al-Iman, Nuruddin Al-Raniri dalam bukunya Sirat al-Mustaqim, dan Syekh Abdul
Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil
(http://ridwanaz.com/umum/sejarah/sejarah-kerajaan-aceh-pada-masa-kejayaan-dan-
keruntuhannya/)
Dalam hubungan ekonomi-perdagangan dengan Mesir, Turki, Arab, juga
dengan Perancis, Inggris, Afrika, India, Cina, dan Jepang. Komoditas-komoditas
yang diimpor antara lain: beras, guci, gula (sakar), sakar lumat, anggur, kurma, timah
putih dan hitam, besi, tekstil dari katun, kain batik mori, pinggan dan mangkuk,
kipas, kertas, opium, air mawar, dan lain-lain yang disebut-sebut dalam Kitab Adat
Aceh. Komoditas yang diekspor dari Aceh sendiri antara lain kayu cendana, saapan,
gandarukem (resin), damar, getah perca, obat-obatan (Poesponegoro: 2010, 31)
Di bawah kekuasannya kendali kerajaan berjalan dengan aman, tentram dan
lancar. Terutama daerah-daerah pelabuhan yang menjadi titik utama perekonomian
Kerajaan Aceh, dimulai dari pantai barat Sumatra hingga ke Timur, hingga Asahan
yang terletak di sebelah selatan. Hal inilah yang menjadikan kerajaan ini menjadi
kaya raya, rakyat makmur sejahtera, dan sebagai pusat pengetahuan yang menonjol
di Asia Tenggara (Harry Kawilarang, 2008: 24)
Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh
Rita Elfianis No Comments on Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh

Kerajaan Aceh merupakan salah satu kerajaan terkuat di Indonesia yang memiliki
kegigihan untuk mengusir para penjajah, termasuk Portugis dan juga Belanda.
Kerajan Aceh secara resmi dikenal sebagai Kerajaan Aceh Darussalam yang berdiri
tahun 1496 hingga 1903.

Berakhirnya Kerajaan Aceh memimpin tanah Rencong karena berhasil dikalahkan


oleh Belanda. Meski begitu perjuangan Kerajaan Aceh melawan Belanda membuat
bangsa tersebut sempat kewalahan dan mengganti beberapa komandan perang dari
Belanda dan didatangkan ke Aceh.
Kerajaan Aceh memiliki pusat pemerintahan dan sekaligus sebagai Ibukota di
Kutaraja, yang saat ini lebih dikenal sebagai Banda Aceh. Sebelum Kerajaan Aceh
berkembang dengan pesat, sebelumnya menjadi daerah di bawah kekuasaan Kerajaan
Pedir.

Hingga pada tahun 1511, Selat Malaka yang merupakan daerah berdagang yang
strategis berhasil dikuasai oleh Portugis. Kondisi ini kemudian memaksa semua
saudagar Islam untuk mencari daerah berdagang baru yang sama atau mendekati
strategis.

Hingga kemudian berhasil menemukan bandar laut Banda Aceh dan menjadikan
daerah ini berkembang dengan pesat. Perkembangan daerah Aceh yang semakin
pesat ini kemudian menjadikan Kerajaan Aceh berhasil merdeka dan keluar dari
kekuasaan Kerajaan Pedir.

Sejarah Berdirinya Kerajaan Aceh


Kerajaan Aceh mulai berdiri pada abad ke-16, dimana pada masa tersebut
perdagangan rempah dari jenis lada masih sangat diminati. Awal abad ke-16 jalur
perdagangan untuk rempah lada semestinya adalah melewati Laut Merah, Kairo, dan
kemudian berakhir di Laut Tengah.

Namun karena ada jalur yang kemudian dikuasai oleh Portugis menjadikan pedagang
yang mayoritas beragam Islam tersebut memindahkan jalur perdagangan. Kemudian
melalui Tanjung Harapan dan juga Sumatra, dan perpindahan jalur ini memberikan
keuntungan tersendiri bagi Pulau Sumatra.

Para pedagang juga mendapat keuntungan dari perpindahan jalur baru tersebut, sebab
di daerah Malaka maupun Sumatra. Memiliki produksi lada yang berlimpah, selain
mudah mendapatkan bahan baku harga jualnya pun menjadi lebih tinggi. Sebab lada
yang berhasil didapatkan merupakan lada yang berkualitas terbaik, dan dibutuhkan
oleh para pembeli di China.

Kondisi ini kemudian dilirik oleh Portugis, dan memiliki niatan untuk menguasai
perdagangan lada. Artinya ingin menguasai Malaka dan juga Sumatra sekaligus
untuk memonopoli hasil perkebunan lada.

Kerajaan Aceh pada masa masukkan Portugis dipimpin oleh Sultan Ali Mughayat
Syah atau yang dikenal juga sebagai Sultan Ibrahim. Di bawah kepemimpinannya
Kerajaan Aceh berhasil merdeka dari kekuasaan Kerajaan Pedir dan memperluas
daerah kekuasaan. Kerajaan Aceh pada tahun 1524 berusaha untuk menguasai
Malaka dari tangan Portugis namun pada akhirnya gagal. Kepemimpinannya
kemudian digantikan oleh sang istri karena wafat pada tahun 1528 karena diracuni.
Perebutan kekuasaan terjadi, hingga pada akhirnya Kerajaan Aceh dipimpin oleh
Sultan Iskandar Muda pada tahun 1607. Kepemimpinannya membawa Kerajaan
Aceh kepada masa keemasan, dan mampu mendesak posisi Portugis di Malaka.

Anda mungkin juga menyukai