Anda di halaman 1dari 16

Sultan Ageng Tirtayasa

Beliau diketahui lahir di Banten pada tahun 1631. Sejak kecil beliau memiliki banyak
nama namun nama kecil Sultan Ageng Tirtayasa adalah Abdul Fatah atau Abu al-Fath
Abdulfattah. Ayahnya bernama Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad yang merupakan sultan Banten
dan ibunya bernama Ratu Martakusuma.

Sultan Ageng Tirtayasa masih memiliki darah keturunan Sunan Gunung Jati dari
Cirebon melalui anaknya Sultan Maulana Hasanuddin. Diketahi bahwa Sunan Gunung Jati
merupakan pendiri dari Kesultanan Banten. Sejak kecil sebelum diberi gelar Sultan Ageng
Tirtayasa, Abdul Fatah diberi gelar Pangeran Surya. Beliau diangkat sebagai Sultan Muda
dengan gelar Pangeran Dipati ketika ayahnya Sultan Abu al-Ma’ali Ahmad wafat. Abdul Fatah
atau pangeran Dipati merupakan pewaris tahta kesultanan Banten. Namun saat ayahnya wafat
belum belum menjadi sultan sebab kesultanan Banten ketika itu kembali dipimpin oleh
kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir.

Sultan Ageng Tirtayasa dan Kejayaan Kesultanan Banten

Ketika kakeknya Sultan Abul Mufakhir Mahmud Abdul Qadir wafat di tahun 1651, Abdul
Fatah atau pangeran Dipati kemudian naik tahta sebagai Sultan Banten ke 6 dengan nama
Sultan Abul Fath Abdul Fattah atau Sultan Ageng Tirtayasa. Sewaktu naik tahta menjadi Sultan
Banten, beliau masih sangat muda. Beliau dikenal sangat menaruh perhatian terhadap
perkembangan agama Islam di daerahnya. Ia mendatangkan banyak guru agama dari Arab,
Aceh dan daerah lain untuk membina mental para pasukan Kesultanan Banten. Sultan Ageng
Tirtayasa juga dikenal sebagai ahli strategi dalam perang.

Di bawah kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa pula kesultanan Banten mencapai puncak
kejayaan dan kemegahannya. Ia membuat memajukan sistem pertanian dan irigasi baik dan
juga berhasil menyusun armada perangnya. Satu hal yang penting mengapa Kesultanan Banten
ketika itu mencapai puncak kejayaannya adalah hubungan diplomatik yang kuat antara
kesultanan Banten dengan kerajaan lainnya di Indonesia seperti Makassar, Cirebon, Indrapura
dan Bangka.

Disamping itu Sultan Ageng Tirtayasa juga menjalin hubungan baik dibidang perdagangan dan
pelayaran serta diplomatik dengan negara-negara Eropa seperti Inggris, Turki, Denmark serta
Perancis. Hubungan inilah yang membuat pelabuhan Banten sangat ramai dikunjungi oleh para
pedagang-pedagang dari luar seperti Persia, Arab, India, china, melayu serta philipina.

Sultan Ageng Tirtayasa juga sempat membantu Trunojoyo dalam pemberontakan di Mataram.
Beliau bahkan membebaskan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya yang ketika itu
ditahan di Mataram sebab hubungan baiknya dengan Cirebon.

Di masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Konflik antara Kesultanan Banten dan Belanda
semakin meruncing. Persoalannya adalah ikut campurnya Belanda dalam internal kesultanan
Banten yang saat itu sedang melakukan pemisahan pemerintahan. Belanda melalui politik adu
dombanya (Devide et Impera) menghasut Sultan Haji (Abu Nasr Abdul Kahar) melawan
Pangeran Arya Purbaya yang merupakan saudaranya sendiri.

Sultan Haji mengira bahwa pembagian tugas pemerintahan oleh Sultan Ageng Tirtayasa
kepada ia dan saudaranya merupakan upaya menyingkirkan dirinya dari pewaris tahta
kesultanan Banten dan diberikan kepada adiknya, Pangeran Arya Purbaya. Sultan Haji yang
didukung oleh VOC Belanda kemudian berusaha menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa.

Perang keluarga pun pecah. Pasukan Sultan Ageng Tirtayasa ketika itu mengepung pasukan
Sultan Haji di daerah Sorosowan (Banten). Namun pasukan pimpinan Kapten Tack dan Saint-
Martin yang dikirim oleh Belanda datang membantu Sultan Haji.

Sultan Ageng Tirtayasa Tertangkap dan Wafat

Perang antar keluarga yang berlarut-larut membuat Kesultanan Banten melemah. Akhirnya di
tahun 1683, Sultan Ageng Tirtayasa ditangkap dan kemudian dibawa ke Batavia dan dipenjara
disana. Di tahun 1692, Sultan Ageng Tirtayasa akhirnya wafat. Beliau kemudian dimakamkan
di Kompleks Pemakaman raja-raja Banten di Provinsi Banten.

Pemerintah Indonesia kemudian memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Ageng
Tirtayasa pada tanggal 1 agustus 1970 melalui SK Presiden Republik Indonesia No.
045/TK/Tahun 1970. Nama Sultan Ageng Tirtayasa juga diabadikan sebagai nama salah satu
universitas di Banten bernama Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
Sultan Hasanuddin

Nama : Sultan Hasanuddin


Nama Lain : I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangepe
Julukan : Ayam Jantan Dari Timur
Lahir : Makassar, 12 Januari 1631
Wafat : Makassar, 12 Juni 1670
Orang Tua : Sultan Malikussaid (ayah), I Sabbe To’mo Lakuntu (ibu)
Saudara : Patimang Daeng Nisaking Karaeng Bonto Je’ne, Karaeng Bonto Majanang,
Karaeng Tololo
Istri : I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo
Tobo
Anak : Karaeng Galesong, Sultan Amir Hamzah, Sultan Muhammad Ali.

Beliau lahir di Makassar, Sulawesi Selatan, 12 Januari 1631 dan meninggal di Makassar,
Sulawesi Selatan, 12 Juni 1670 pada umur 39 tahun, adalah Raja Gowa ke-16 dan pahlawan
nasional Indonesia yang terlahir dengan nama I Mallombasi Muhammad Bakir Daeng
Mattawang Karaeng Bonto Mangepe.

Setelah memeluk agama Islam, ia mendapat tambahan gelar Sultan Hasanuddin Tumenanga
Ri Balla Pangkana, hanya saja lebih dikenal dengan Sultan Hasanuddin saja. Oleh Belanda ia
di juluki sebagai Ayam Jantan Dari Timur atau dalam bahasa Belanda disebut de Haav van
de Oesten karena keberaniannya melawan penjajah Belanda. Beliau diangkat menjadi Sultan
ke 6 Kerajaan Gowa dalam usia 24 tahun (tahun 1655). Menggantikan ayahnya Sultan
Malikussaid yang wafat.

Selain bimbingan dari ayahnya, Sultan Hasanuddin mendapat bimbingan mengenai


pemerintahan melalui Karaeng Pattingaloang, seorang Mangkubumi kerajaan Gowa. Beliau
juga merupakan guru dari Arung Palakka, yang merupakan raja Bone.

Perjuangan Sultan Hasanuddin

Dibawah kepemimpinan Sultan Hasanuddin, kerajaan Gowa mencapai puncak kejayaannya.


Beliau merupakan putera kedua dari Sultan Malikussaid, Raja Gowa ke-15. Sultan
Hasanuddin memerintah Kerajaan Gowa, ketika Belanda yang diwakili VOC sedang
berusaha menguasai perdagangan rempah-rempah.
Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, VOC Belanda sedang berusahan melakukan monopoli
perdagangan rempah-rempah melihat Sultan Hasanuddin dan kerajaan Gowa sebagai
penghalang mereka. Orang Makassar dapat dengan leluasa ke Maluku untuk membeli
rempah-rempah. Hal inilah yang menyebabkan Belanda tidak suka.

Sejak pemerintahan Sultan Alauddin hingga Sultan Hasanuddin, Kerajaaan Gowa tetap
berpendirian sama, menolak keras monopoli perdagangan yang dilakukan oleh VOC Belanda.
Saat itu Gowa merupakan kerajaan besar di wilayah timur Indonesia yang menguasai jalur
perdagangan.

Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, Kompeni berusaha
menundukkan kerajaan-kerajaan kecil, tetapi belum berhasil menundukkan Gowa yang
dikenal memiliki armada laut yang tangguh. dan juga pertahanan yang kuat melalui benteng
Somba Opu.

Tak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh Belanda selain menghancurkan kerajaan Gowa
yang dianggap mengganggu mereka. Di lain pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik takhta, ia
berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk
melawan Kompeni Belanda. Peperangan antara VOC dan Kerajaan Gowa (Sultan
Hasanuddin) dimulai pada tahun 1660.

Sejarah Sultan Hasanuddin dan Arung Palakka

Saat itu Belanda dibantu oleh Kerajaan Bone dibawah pimpinan Arung Palakka yang
merupakan kerajaan taklukan dari Kerajaan Gowa. Namun armada kerajaan Gowa yang
masih sangat kuat membuat Kerajaan Gowa tidak dapat ditaklukkan.

Pada peperangan tersebut, Panglima Bone, Tobala akhirnya tewas tetapi Arung Palakka
berhasil meloloskan diri bahkan kerajaan Gowa mencarinya hingga ke Buton. Perang tersebut
berakhir dengan perdamaian. Berbagai peperangan kemudian perdamaian dilakukan.

Akan tetapi, perjanjian damai tersebut tidak berlangsung lama karena Sultan Hasanuddin
yang merasa dirugikan kemudian menyerang dan merompak dua kapal Belanda , yaitu de
Walvis dan Leeuwin. Belanda pun marah besar.

Arung Palakka yang dari tahun 1663 berlayar dan menetap di Batavia menghindari kejaran
kerajaan Gowa kemudian membantu VOC dalam mengalahkan kerajaaan Gowa yang ketika
itu dipimpin oleh Sang Ayam Jantan dari Timur, Sultan Hasanuddin.
VOC Belanda mengirimkan armada perangnya yang besar yang dipimpin oleh Cornelis
Speelman. Ia dibantu oleh Kapiten Jonker dan pasukan bersenjatanya dari Maluku serta
Arung Palakka, penguasa Kerajaan Bone yang ketika itu mengirimkan 400 orang sehingga
total pasukan berjumlah 1000 orang yang diangkut 21 kapal perang bertolak dari Batavia
menuju kerajaan Gowa pada bulan November 1966.

Pecahnya Perang Makassar

Dalam Biografi Sultan Hasanuddin, Perang besar kemudian terjadi antara Kerajaan Gowa
melawan Belanda yang dibantu oleh Arung Palakka dari Bone yang kemudian dikenal
dengan Perang Makassar. Sultan Hasanuddin akhirnya terdesak dan akhirnya sepakat untuk
menandatangani perjanjian paling terkenal yaitu Perjanjian Bongaya pada tanggal 18
November 1667.

Pada tanggal 12 April 1668, Sultan Hasanuddin kembali melakukan serangan terhadap
Belanda. Namun karena Belanda sudah kuat maka Benteng Sombaopu yang merupakan
pertahanan terakhir Kerajaan Gowa berhasil dikuasai Belanda. Yang akhirnya membuat
Sultan Hasanuddin mengakui kekuasaan Belanda.

Sultan Hasanuddin Wafat

Walaupun begitu, Hingga akhir hidupnya, Sultan Hasanuddin tetap tidak mau bekerjasama
dengan Belanda. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari takhta kerajaan Gowa
dan wafat pada tanggal 12 Juni 1670. Dan dimakamkan di kompleks pemakaman raja-raja
Gowa di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan.

I Bate Daeng Tommi, I Mami Daeng Sangnging, I Daeng Talele dan I Hatijah I Lo’mo Tobo
merupakan nama-nama dari Istri Sultan Hasanuddin. Ketika beliau wafat, beliau digantikan
oleh I Mappasomba Daeng Nguraga atau dikenal dengan Sultan Amir Hamzah yang
merupakan anak dari Sultan Hasanuddin, selain anak bernama Sultan Muhammad Ali dan
karaeng Galesong.

Perjuangan melawan Belanda selanjutnya dilaukan oleh Karaeng Galesong yang berlayar
hingga ke Jawa membantu perlawanan dari Trunojoyo dan Sultan Ageng Tirtayasa di Banten
melawan Belanda.
Untuk Menghormati jasa-jasanya, Pemerintah Indonesia kemudian menganugerahkan gelar
Pahlawan Nasional kepada Sultan Hasanuddin dengan SK Presiden Ri No 087/TK/1973.

Nama Sultan Hasanuddin juga diabadikan sebagai nama Bandar Udara di Makassar yakni
Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin, selain itu namanya juga dipakai sebagai
nama Universitas Negeri di Makassar yakni Universitas Hasanuddin dan menjadi nama jalan
di berbagai daerah.
Tuanku Imam Bonjol

Tuanku Imam Bonjol adalah salah satu pemimpin dan pejuang yang berjuang melawan
Belanda dalam peperangan yang dikenal dengan nama Perang Padri. Perang ini merupakan
peperangan yang terjadi akibat pertentangan dalam masalah agama sebelum berubah menjadi
peperangan melawan penjajahan.
Selain menjadi seorang pejuang, Imam Bonjol juga merupakan seorang ulama yang memiliki
cita-cita untuk membersihkan praktek Islam dan mencerdaskan rakyat nusantara dalam
wawasan Islam. Ia menuntut ilmu agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia mendapat gelar
Malin basa.

Biodata Tuanku Imam Bonjol

1. Nama : Muhamad Shahab


2. Tanggal Lahir : 1772, Bonjol, Sumatera Barat, Indonesia
3. Meninggal : 6 November 1864, Minahasa
4. Kebangsaan : Minangkabau
5. Agama : Islam
6. Orang tua : Bayanuddin (ayah), Hamatun (ibu)

Biografi Tuanku Imam Bonjol


Tuanku Imam Bonjol lahir di Bonjol pada tahun 1772, nama aslinya adalah Muhammad
Shahab. Ia lahir dari pasangan Bayanuddin dan Hamatun. Ayahnya adalah seorang alim ulama
dari Sungai Rimbang, Suliki. Imam Bonjol belajar agama di Aceh pada tahun 1800-1802, dia
mendapat gelar Malin Basa.
Sebagai ulama dan pemimpin masyarakat setempat, Tuanku Imam Bonjol memperoleh
beberapa gelar, antara lain yaitu Peto Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan
Renceh dari Kamang, Agam sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia sendiri akhirnya lebih
dikenal masyarakat dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.

Perjuangan

Pertentangan kaum Adat dengan kaum Paderi atau kaum agama turut melibatkan Tuanku Imam
Bonjol. Kaum paderi berusaha membersihkan ajaran agama islam yang telah banyak
diselewengkan agar dikembalikan kepada ajaran agama islam yang murni.

Pada awalnya timbulnya peperangan ini didasari keinginan dikalangan pemimpin ulama di
kerajaan Pagaruyung untuk menerapkan dan menjalankan syariat Islam sesuai dengan Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang berpegang teguh pada Al-Qur'an dan sunnah-sunnah Rasullullah
shalallahu 'alaihi wasallam. Kemudian pemimpin ulama yang tergabung dalam Harimau nan
Salapan meminta Tuanku Lintau untuk mengajak Yang Dipertuan Pagaruyung beserta Kaum
Adat untuk meninggalkan beberapa kebiasaan yang tidak sesuai dengan Islam.
Dalam beberapa perundingan tidak ada kata sepakat antara Kaum Padri dengan Kaum Adat.
Seiring itu dibeberapa nagari dalam kerajaan Pagaruyung bergejolak, dan sampai akhirnya
Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815, dan
pecah pertempuran di Koto Tangah dekat Batu Sangkar. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa
melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Pada 21 Februari 1821, kaum Adat secara resmi bekerja sama dengan pemerintah Hindia-
Belanda berperang melawan kaum Padri dalam perjanjian yang ditandatangani di Padang,
sebagai kompensasi Belanda mendapat hak akses dan penguasaan atas wilayah darek
(pedalaman Minangkabau). Perjanjian itu dihadiri juga oleh sisa keluarga dinasti kerajaan
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Tangkal Alam Bagagar yang sudah berada di Padang
waktu itu.
Perlawanan yang dilakukan oleh pasukan padri cukup tangguh sehingga sangat menyulitkan
Belanda untuk mengalahkannya. Oleh sebab itu Belanda melalui Gubernur Jendral Johannes
van den Bosch mengajak pemimpin Kaum Padri yang waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku
Imam Bonjol untuk berdamai dengan maklumat Perjanjian Masang pada tahun 1824. Tetapi
kemudian perjanjian ini dilanggar sendiri oleh Belanda dengan menyerang nagari Pandai
Sikek.
Pada tahun 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Paderi melawan
Belanda, kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda, Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Diujung penyesalan muncul kesadaran,
mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan masyarakat Minangkabau itu
sendiri.
Bersatunya kaum Adat dan kaum Padri ini dimulai dengan adanya kompromi yang dikenal
dengan nama Plakat Puncak Pato di Tabek Patah yang mewujudkan konsensus Adat basandi
Syarak (Adat berdasarkan agama).Penyerangan dan pengepungan benteng kaum Padri di
Bonjol oleh Belanda dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus
1837) yang dipimpin oleh jenderal dan para perwira Belanda, tetapi dengan tentara yang
sebagian besar adalah bangsa pribumi yang terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura,
Bugis, dan Ambon.
3 kali Belanda mengganti komandan perangnya untuk merebut Bonjol, yaitu sebuah negeri
kecil dengan benteng dari tanah liat yang di sekitarnya dikelilingi oleh parit-parit. Barulah pada
tanggal 16 Agustus 1837, Benteng Bonjol dapat dikuasai setelah sekian lama dikepung.
Pada bulan Oktober 1837, Tuanku Imam Bonjol diundang ke Palupuh untuk berunding. Tiba
di tempat tersebut dia langsung ditangkap dan dibuang ke Cianjur, Jawa Barat. Kemudian
dipindahkan ke Ambon dan akhirnya ke Lotak, Minahasa, dekat Manado. Di tempat terakhir
itu ia meninggal dunia pada tanggal 8 November 1864. Tuanku Imam Bonjol dimakamkan di
tempat tersebut.
Penghargaan
Perjuangan yang telah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol dapat menjadi apresiasi akan
kepahlawanannya dalam menentang penjajahan, sebagai penghargaan dari pemerintah
Indonesia, Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia sejak tanggal
6 November 1973.
Pangeran Diponegoro

.
Beliau dilahirkan di Yogyakarta, 11 November 1785. Ia meninggal pengasingannya di
Makassar, Sulawesi Selatan pada tanggal 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun. Beliau adalah
salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia. Makamnya berada di Makassar.
Diponegoro adalah putra sulung Hamengkubuwana III, seorang raja Mataram di Yogyakarta.
Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dari seorang garwa ampeyan (selir)
bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non permaisuri) yang berasal
dari Pacitan. Pangeran Diponegoro bernama kecil Bendoro Raden Mas Ontowiryo.

Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan


ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara
Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.

Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka
tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak
kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota
perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan
pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara
perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.

Riwayat perjuangan
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro
di desa Tegalrejo. Saat itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan
pajak.

Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan
rakyat. Atas saran Pangeran Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo,
dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu, Diponegoro
menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir.
Semangat "perang sabil" yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke
wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung
dengan pasukan Diponegoro di Goa Selarong.

Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara
pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Diponegoro. Sampai akhirnya Diponegoro ditangkap pada 1830.

Penangkapan dan pengasingan


16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal,
Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo). Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran
dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur
Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang. De Kock
memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang.
Permintaan itu ditolak Diponegoro. Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan
teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke
Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5
April.
Tanggal 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung
Museum Fatahillah). Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van
den Bosch. 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu
Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti
Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado. tanggal 3 Mei
1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan
di benteng Amsterdam.
1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan. pada tanggal
8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar. Dalam
perjuangannya, Pangeran Diponegoro dibantu oleh puteranya bernama Bagus Singlon atau Ki
Sodewo. Ki Sodewo melakukan peperangan di wilayah Kulon Progo dan Bagelen.

Bagus Singlon atau Ki Sodewo adalah Putera Pangeran Diponegoro dengan Raden Ayu
Citrowati Puteri Bupati Madiun Raden Ronggo. Raden Ayu Citrowati adalah saudara satu ayah
lain ibu dengan Sentot Prawiro Dirjo. Nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon atau Ki
Sodewo snediri telah masuk dalam daftar silsilah yang dikeluarkan oleh Tepas Darah Dalem
Keraton
Yogyakarta.

Perjuangan Ki Sodewo untuk mendampingi ayahnya dilandasi rasa dendam pada kematian
eyangnya (Ronggo) dan ibundanya ketika Raden Ronggo dipaksa menyerah karena
memberontak kepada Belanda. Melalui tangan-tangan pangeran Mataram yang sudah
dikendalikan oleh Patih Danurejo, maka Raden Ronggo dapat ditaklukkan. Ki Sodewo kecil
dan Sentot bersama keluarga bupati Madiun lalu diserahkan ke Keraton sebagai barang bukti
suksesnya penyerbuan.
Ki Sodewo yang masih bayi lalu diambil oleh Pangeran Diponegoro lalu dititipkan pada
sahabatnya bernama Ki Tembi. Ki Tembi lalu membawanya pergi dan selalu berpindah-pindah
tempat agar keberadaannya tidak tercium oleh Belanda. Belanda sendiri pada saat itu sangat
membenci anak turun Raden Ronggo yang sejak dulu terkenal sebagai penentang Belanda.
Atas kehendak Pangeran Diponegoro, bayi tersebut diberi nama Singlon yang artinya
penyamaran.
Keturunan Ki Sodewo saat ini banyak tinggal di bekas kantung-kantung perjuangan Ki Sodewo
pada saat itu dengan bermacam macam profesi. Dengan restu para sesepuh dan dimotori oleh
keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro yang bernama Raden Roni Muryanto, Keturunan Ki
Sodewo membentuk sebuah paguyuban dengan nama Paguyuban Trah Sodewo. Setidaknya
Pangeran Diponegoro mempunyai 17 putra dan 5 orang putri, yang semuanya kini hidup
tersebar di seluruh Indonesia, termasuk Jawa, Sulawesi & Maluku.

Latar Belakang Perang Diponegoro


Perang Diponegoro (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog), adalah perang besar dan
menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda
(sekarang Indonesia), antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock[1]
melawan penduduk pribumi yang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran
Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta
maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa
sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban
tewas berjumlah 8.000.
Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh
Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka
disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa. Setelah kekalahannya dalam Perang Napoleon di
Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan ekonomi berusaha menutup
kekosongan kas mereka dengan memberlakukan berbagai pajak di wilayah jajahannya,
termasuk di Hindia Belanda. Selain itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan
perdagangan untuk memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut
amat mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.

Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan perekonomiannya, Belanda mulai berusaha


menguasai kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah Kerajaan
Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya, Sultan Hamengku
Buwono V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada
prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang yang mudah
dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda dianggap mengangkat seseorang yang tidak
sesuai dengan pilihan/adat keraton.

Pada pertengahan bulan Mei 1825, pemerintah Belanda yang awalnya memerintahkan
pembangunan jalan dari Yogyakarta ke Magelang lewat Muntilan, mengubah rencananya dan
membelokan jalan itu melewati Tegalrejo. Rupanya di salah satu sektor, Belanda tepat
melintasi makam dari leluhur Pangeran Diponegoro. Hal inilah yang membuat Pangeran
Diponegoro tersinggung dan memutuskan untuk mengangkat senjata melawan Belanda. Beliau
kemudian memerintahkan bawahannya untuk mencabut patok-patok yang melewati makam
tersebut.

Belanda yang mempunyai alasan untuk menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah
memberontak, pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta
keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa Dekso di Kabupaten
Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga tiba di Goa Selarong yang terletak lima
kilometer arah barat dari Kota Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil
menangkap Pangeran Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun
Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah
Barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau. Sedangkan Raden
Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan
pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Setelah penyerangan itu, dimulailah sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun
lamanya. Di bawah kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat
“Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai
mati. Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Perjuangan
Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan.
Kapitan pattimura

Biografi Kapitan Pattimura - Pahlawan Nasional dari Maluku


Nama Lengkap : Kapitan Pattimura

Nama Asli: Thomas Matulessy

Tanggal Lahir: Negeri Haria, Pulau Saparua-Maluku, tahun 1783

Meninggal:
Benteng Victoria, Ambon, 16 Desember 1817

Karir Militer:
Mantan Sersan Militer Inggris

Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy, ini lahir di Negeri Haria, Saparua, Maluku tahun
1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama
tiga bulan setelah sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya
tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi yang dilakukan pada
tanggal 16 Desember 1817 akhirnya merenggut jiwanya.
Perlawanan sejati ditunjukkan oleh pahlawan ini dengan keteguhannya yang tidak mau kompromi dengan
Belanda. Beberapa kali bujukan pemerintah Belanda agar beliau bersedia bekerjasama sebagai syarat untuk
melepaskannya dari hukuman gantung tidak pernah menggodanya. Beliau memilih gugur di tiang gantung sebagai Putra
Kesuma Bangsa daripada hidup bebas sebagai penghianat yang sepanjang hayat akan disesali rahim ibu yang
melahirkannya.
Dalam sejarah pendudukan bangsa-bangsa eropa di Nusantara, banyak wilayah Indonesia yang pernah
dikuasai oleh dua negara kolonial secara bergantian. Terkadang perpindahtanganan penguasaan dari satu negara ke
negara lainnya itu malah kadang secara resmi dilakukan, tanpa perebutan. Demikianlah wilayah Maluku, daerah ini
pernah dikuasai oleh bangsa Belanda kemudian berganti dikuasai oleh bangsa Inggris dan kembali lagi oleh Belanda.
Thomas Matulessy sendiri pernah mengalami pergantian penguasaan itu. Pada tahun 1798, wilayah Maluku
yang sebelumnya dikuasai oleh Belanda berganti dikuasai oleh pasukan Inggris. Ketika pemerintahan Inggris
berlangsung, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.
Namun setelah 18 tahun pemerintahan Inggris di Maluku, tepatnya pada tahun 1816, Belanda kembali lagi
berkuasa. Begitu pemerintahan Belanda kembali berkuasa, rakyat Maluku langsung mengalami penderitaan. Berbagai
bentuk tekanan sering terjadi, seperti bekerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan lain sebagainya. Tidak
tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat pun sepakat untuk mengadakan perlawanan untuk
membebaskan diri. Perlawanan yang awalnya terjadi di Saparua itu kemudian dengan cepat merembet ke daerah lainnya
diseluruh Maluku.
Di Saparua, Thomas Matulessy dipilih oleh rakyat untuk memimpin perlawanan. Untuk itu, ia pun dinobatkan
bergelar Kapitan Pattimura. Pada tanggal 16 mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa tdrjadi. Rakyat Saparua di
bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura tersebut berhasil merebut benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam
benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.
Pasukan Belanda yang dikirim kemudian untuk merebut kembali benteng itu juga dihancurkan pasukan
Kapitan Pattimura. Alhasil, selama tiga bulan benteng tersebut berhasil dikuasai pasukan Kapitan Patimura. Namun,
Belanda tidak mau menyerahkan begitu saja benteng itu. Belanda kemudian melakukan operasi besar-besaran dengan
mengerahkan pasukan yang lebih banyak dilengkapi dengan persenjataan yang lebih modern. Pasukan Pattimura
akhirnya kewalahan dan terpukul mundur.
Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa
anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan
pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.
Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun dijatuhkan kepadanya.
Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan
Belanda. Satu hari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura
menunjukkan kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria, Ambon pada
tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.

Kapitan Pattimura gugur sebagai Pahlawan Nasional. Dari perjuangannya dia meninggalkan pesan tersirat
kepada pewaris bangsa ini agar sekali-kali jangan pernah menjual kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan
negara ini.
Ketika penulis hendak menulis tentang sejarah Pattimura, penulis mengalami perasaan
dilematis karena kontroversi dari Sejarah Pattimura ini sendiri. berkali-kali seminar yang di
adakan untuk membahas sejarah Pattimura tetapi belum mendapatkan titik temu yang benar
untuk mengukuhkan keabsahan sejarah ini, tentunya diperlukan Penelusuran terhadap sumber-
sumber yang dapat di pertanggungjawabkan secara baik untuk menjelaskan asal-usul
Pattimura. Karena kita tidak bisa menerima begitu saja ketika asal-usul Pattimura ini di usung
hanya demi kepentingan salah satu Golongan agama tertentu. berikut ini adalah 2 versi Sejarah
Patimura yang menjadi kontroversi tersebut Asal Usul Pattimura Yang Selalu Menjadi Bahan
Perdebatan (Kontroversi). Asal-usul Pattimura menurut versi pemerintah yang di tulis oleh M
Sapija memaparkan bahwa Kapitan Pattimura Memiliki nama asli Thomas Matulessy, ini lahir
di Negeri Haria, Saparua, Maluku tahun 1783. Perlawanannya terhadap penjajahan Belanda
pada tahun 1817 sempat merebut benteng Belanda di Saparua selama tiga bulan setelah
sebelumnya melumpuhkan semua tentara Belanda di benteng tersebut. Namun beliau akhirnya
tertangkap. Pengadilan kolonial Belanda menjatuhkan hukuman gantung padanya. Eksekusi
yang dilakukan pada tanggal 16 Mei 1817 akhirnya merenggut jiwanya.
Sementara itu menurut sejarawan Ahmad Mansyur Suryanegara, mengatakan bahwa
Patimura memiliki nama asli Ahmad Lussy atau dalam bahasa Maluku disebut Mat Lussy,
lahir di Hualoy, Seram Selatan (bukan Saparua seperti yang dikenal dalam sejarah versi
pemerintah). Ia bangsawan dari kerajaan Islam Sahulau, yang saat itu diperintah Sultan
Abdurrahman. Raja ini dikenal pula dengan sebutan Sultan Kasimillah (Kazim Allah/Asisten
Allah). Dalam bahasa Maluku disebut Kasimiliali.

Perjuangan Pattimura
Pada tahun 1816 pihak Inggris menyerahkan kekuasaannya kepada pihak Belanda dan
kemudian Belanda menetapkan kebijakan politik monopoli, pajak atas tanah (landrente),
pemindahan penduduk serta pelayaran Hongi (Hongi Tochten), serta mengabaikan Traktat
London I antara lain dalam pasal 11 memuat ketentuan bahwa Residen Inggris di Ambon harus
merundingkan dahulu pemindahan koprs Ambon dengan Gubenur dan dalam perjanjian
tersebut juga dicantumkan dengan jelas bahwa jika pemerintahan Inggris berakhir di Maluku
maka para serdadu-serdadu Ambon harus dibebaskan dalam artian berhak untuk memilih untuk
memasuki dinas militer pemerintah baru atau keluar dari dinas militer, akan tetapi dalam
pratiknya pemindahan dinas militer ini dipaksakan. Kedatangan kembali kolonial Belanda pada
tahun 1817 mendapat tantangan keras dari rakyat. Hal ini disebabkan karena kondisi politik,
ekonomi, dan hubungan kemasyarakatan yang buruk selama dua abad.
Rakyat Maluku akhirnya bangkit mengangkat senjata di bawah pimpinan Kapitan Pattimura.
Maka pada waktu pecah perang melawan penjajah Belanda tahun 1817, Raja-raja Patih, Para
Kapitan, Tua-tua Adat dan rakyat mengangkatnya sebagai pemimpin dan panglima perang
karena berpengalaman dan memiliki sifat-sfat kesatria (kabaressi). Sebagai panglima perang,
Kapitan Pattimura mengatur strategi perang bersama pembantunya. Sebagai pemimpin dia
berhasil mengkoordinir Raja-raja Patih dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan,
memimpin rakyat, mengatur pendidikan, menyediakan pangan dan membangun benteng-
benteng pertahanan.
Kewibawaannya dalam kepemimpinan diakui luas oleh para Raja Patih maupun rakyat biasa.
Dalam perjuangan menentang Belanda ia juga menggalang persatuan dengan kerajaan Ternate
dan Tidore, raja-raja di Bali, Sulawesi dan Jawa. Perang Pattimura yang berskala nasional itu
dihadapi Belanda dengan kekuatan militer yang besar dan kuat dengan mengirimkan sendiri
Laksamana Buykes, salah seorang Komisaris Jenderal untuk menghadapi Pattimura.
Pertempuran-pertempuran yang hebat melawan angkatan perang Belanda di darat dan
di laut dikoordinir Kapitan Pattimura yang dibantu oleh para penglimanya antara lain Melchior
Kesaulya,Anthoni Rebhok, Philip Latumahina dan Ulupaha. Pertempuran yang
menghancurkan pasukan Belanda tercatat seperti perebutan benteng Belanda Duurstede,
pertempuran di pantai Waisisil dan jasirah Hatawano, Ouw- Ullath, Jasirah Hitu di Pulau
Ambon dan Seram Selatan.

Akhir Perjuangan Pattimura

Di sebuah rumah di Siri Sori, Kapitan Pattimura berhasil ditangkap pasukan Belanda.
Bersama beberapa anggota pasukannya, dia dibawa ke Ambon. Di sana beberapa kali dia
dibujuk agar bersedia bekerjasama dengan pemerintah Belanda namun selalu ditolaknya.

Akhirnya dia diadili di Pengadilan kolonial Belanda dan hukuman gantung pun
dijatuhkan kepadanya. Walaupun begitu, Belanda masih berharap Pattimura masih mau
berobah sikap dengan bersedia bekerjasama dengan Belanda. Satu hari sebelum eksekusi
hukuman gantung dilaksanakan, Pattimura masih terus dibujuk. Tapi Pattimura menunjukkan
kesejatian perjuangannya dengan tetap menolak bujukan itu. Di depan benteng Victoria,
Ambon pada tanggal 16 Mei 1817, eksekusi pun dilakukan.

Memang benar bahwa perlu sebuah kepastian tentang asal usul Pattimura dan untuk
hal ini perlu adanya tindakan pelurusan sejarah yang didukung dengan penelitian sumber-
sumber yang otentik dan faktual. Penuturan sejarah heroik Kapitan Pattimura adalah penuturan
secara lisan yang di sampaikan secara turun temurun bagi anak cucu. gambaran wajah sang
Pattimura itu pun hanya hasil imajinasi pelukis sesuai karakteristik dan tipe wajah orang
Maluku atau mungkin ada yang bisa memberikan bukti foto dari Thomas Matulessy atau
Ahmad Lussy itu sendiri.

Sebagai Anak Pribumi Maluku penulis hanya ingin memaparkan 2 versi asal usul
Pattimura ini berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap sejarah Pattimura yang penulis
temukan dari beberapa Blog yang beberapa diantaranya bukanlah blog yang bersifat
independen melainkan bertendensi pada pencintraan suatu golongan Agama.

Pattimura adalah milik Maluku tidak hanya menjadi milik orang Hualoy (seram) atau
Orang Haria (Saparua). Perjuangan Pattimura adalah untuk membebaskan Tanah Maluku
Negeri raja-raja dari tangan penjajah dan perjuangan itu tanpa tendensi agama atau golongan.

Sebagai Anak Pribumi Maluku penulis hanya ingin memaparkan 2 versi asal usul Pattimura
ini berdasarkan hasil penelusuran penulis terhadap sejarah Pattimura yang penulis temukan dari
beberapa Blog yang beberapa diantaranya bukanlah blog yang bersifat independen melainkan
Blog bertendensi pada pencintraan suatu golongan Agama yang kemudian tidak bisa diterima
sebagai kebenaran yang mutlak tentang sejarah Pattimura
I Gusti katut Jelantik

I Gusti Ketut Jelantik adalah seorang pahlawan nasional yang berasal dari Bali. Seorang patih
agung dari kerajaan Buleleng yang merupakan putera dari I Gusti Nyoman Jelantik Raya.
Beliau diangkat sebagai patih di kerajaan Bulelemg pada tahun 1828 dan meninggal pada tahun
1849.
I Gusti Ketut Jelantik dinobatkan sebagai salah satu pahlawan nasional karena keberaniannya
dalam melawan penjajah Belanda pada saat itu. Sikap dan tindakanya dinilai berani karena
menolak tuntutan Belanda dalam sebuah perundingan yang menuntut agar kerajaan buleleng
mengganti kerugian kapal yang dirusak dan mengakui kedaulatan pemerintah Hindia Belanda.
Pada saat perundingan iitu pihak belanda diwakili oleh JPT Mayor Komisaris Hindia Belanda,
sedangkan Kerajaan Buleleng diwakili oleh raja Buleleng I Gusti Ngurah Mada Karangasem
dan Patih Agung I Gusti Ketut Jelantik.

"Tidak bisa menguasai negeri orang lain hanya dengan sehelai kertas saja tapi harus
diselesaikan diatas ujung keris. Selama saya hidup kerajaan ini tidak akan pernah mengakui
kedaulatan Belanda". Seperti itulah kutipan perkataan I Gusti Ketut Jelantik yang marah besar
dengan tuntutan pihak Belanda.

Tak habis akal, pihak Belanda terus mencoba mencari cela untuk melawan I Gusti Ketut
Jelantik, salah satunya dengan memanfaatkan Raja Klungkung. Dalam pertemuan yang
berlangsung pada tanggal 12 Mei 1845 ini Belanda menuntut agar Buleleng mengganti rugi
kapal dan menghapuskan hak "tawan karang" yakni merampas perahu yang terdampar di
kawasan Buleleng. I Gusti Ketut Jelantik pun naik pitam, bahkan beliau menghunuskan sebilah
keris pada kertas perjanjian. Beliau menantang Belanda untuk menyerang den Bukit atau Bali
Utara.

Pada tanggal 27 Juni 1846 Belanda benar-benar melakukan serangan ke kerajaan Buleleng.
Namun akhirnya kerajaan Buleleng jatuh ke tangan Belanda pada tanggal 29 Juni 1846.
Kemudian raja buleleng dan patih I Gusti Ketut Jelantik mundur ke desa Jagaraga untuk
menyusun kekuatan.
Patih I Gusti Ketut Jelantik adalah seseorang yang ahli strategi perang dan menjadi sosok yang
disegani oleh raja-raja lain karena sikapnya yang teguh pendirian. Hal ini ditunjukkan ketika
mempertahankan desa Jagaraga patih I Gusti Ketut Jelantik terus memperkuat pasukannya dan
mendapat bantuan dari kerajaan lain seeperti klungkung, Karang Asem, Badung dan Mengwi.

Pada tanggal 6 sampai 8 Juni 1848 pihak Belanda melakukan serangan kedua dengan
mendaratkan pasukanya di sangsit. Pihak Bali dipimpin oleh I Gusti Ketut Jelantik dengan
mengerahkan pasukan benteng Jagaraga yang merupakan benteng terkuat dibandingkan
dengan 4 benteng lainnya. Sedangkan pihak belanda dipimpin oleh Jendral Van Der Wijck.
Tetapi pihak Belanda gagal menembus benteng yang dipimpin oleh I gusti Ketut Jelantik dan
hanya mampu merebut satu benteng saja yakni benteng sebelah timur sansit yang berada dekat
Bungkulan.

Dengan adanya kekalahan ini semakin mengangkat semangat raja-raja lainnya untuk semakin
mengerahkan kekuatan dalam melawan Belanda. Namun pasukan patih jelantik ini
menggegerkan parlemen Belanda yang kemudian melancarkan serangan besar-besaran yang
dipimpin oleh Jendral Michiels pada tanggal 31 Maret 1849. Belanda menyerang Bali dengan
menembakan meriam-meriamnya. Pada tanggal 7 April 1849 raja buleleng dan patih jelantik
bersama 12 ribu prajurit berhadapan dengan jendral michiels. Namun karena kalah
persenjataan bali terdesak dan mundur sampai pegunungan Batur Kintamani. Jagaraga pun
jatuh ke tangan Belanda pada 16 April 1849. Akhirnya patih jelantik gugur pada serangan
karangasem oleh Belanda yang didatangkan dari Lommbok dan menyerang hingga
kepegunungan Bale Punduk.

Atas keberanian sikap dan mental perjuangan yang ditunjukkan oleh I gusti Ketut Jelantik tentu
tidak ada kata ragu untuk kita memberikan gelar Pahlawan Nasional. Pada tanggal 19 Agustus
1993 Pemerintah RI memberikan Gelar Pahlawan nasional pada Patih Jelantik berdasarkan SK
Presiden RI No. 077/TK/Tahun 1993.

Anda mungkin juga menyukai