Anda di halaman 1dari 12

Makalah Benteng Surosowan

Nama : Ratu Natasya


Kelas : X IPS 4
PENDAHULUAN

A. Pengertian

Keraton merupakan kumpulan bangunan tempat tinggal raja dan keluarganya. Keraton pada
umumnya juga dijadikan pusat kerajaan dan merupakan pusat dari segala kegiatan politik, ekonomi,
sosial, serta budaya. Para pejabat kerajaan, bangsawan dan keluarga raja biasanya juga tinggal di
sekitar Istana (chaerosti, 1990 : 21). Selain itu, sesuai dengan pandangan kosmologis dan relegio-
magis yang bersumber pada tradisi bangsa Indonesia, keratin merupakan pusat kekuatan gaib yang
berpengaruh pada seluruh kehidupan masyarakat.

Keraton yang disebut dengan nama Keraton Surosowan berasal dari dua kata Suro dan Sowan.
Suro berarti berani Sowan berarti menghadapi kedzoliman jadi Surosowan yaitu Berani menghadapi
kedzoliman, Keraton Surosowan diperkirakan berdiri pada aba ke-17, keraton ini bukalah tempat
tinggal Sultan yang pertama didirikan di Banten. Tempat tinggal Sultan Banten yang pertama, di duga
didirikan didekat Karangantu. Keraton Surosowan di bangun antara tahun 1552 sampai 1570 dalam
beberapa tahap dan sedikitnya melalui empat fase, menurut keterangan sumber sejarah disebutkan
bahwa dinding Surosowan tingginya sekitar 2 meter, tebal 7,25 meter dan lebar 5 meter, panjang
pada sisi Timur dan Barat adalah sekitar 300 meter. Sedangkan pada bagian Utara dan Selatan
adalah 100 meter, luar keseluruhan yang di Bentengi adalah sekitar 3 hektar. Pada setiap sudut
benteng terdapat Bastion yang berbentuk intan, dan di tengah dinding Utara dan Selatan berbentuk
setengah lingkaran.

Pada mulanya Benteng Surosowan memiliki tiga pintu gerbang, yaitu pintu Utara, Timur dan
Selatan. Gerbang Timur dan Utara dibuat dalam bentuk lengkung, di maksudkan untuk mencegah
tembakan langsung bila pintu gerbang di buka, kedua dibuat dengan atap setengah silinder. Di luar
benteng dibuat kanal yang dengan Sungai Cibanten, sehingga mengelilingi Keraton Surosowan.

Keraton Surosowan mengalami beberapa kali penghancuran, kehancuran yang pertama kali
terjadi pada tahun 1680. Kehancuran yang kedua dan ini yang terparah adalah tahun 1813, ketika
Gubernur Jendral Belanda yang bernama Herman Daendels memerintahkan kehancuran Keraton.

1. Keraton

Keraton berasal dari kata ka-ratu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi ratu. Disamping
keraton, istilah kadaton sering juga digunakan untuk menyebut pengertian yang sama. Istilah
kadaton berasal dari kata ka-dhatu-an, maksudnya adalah tempat bersemayam bagi para
Sansekerta, kratu yang berarti kebijaksanaan. Dengan demikian, arti keratin di samping sebagia
tempat bersemayam para ratu/raja juga diartikan sebagai sumber/tempat kebijaksanaan. Sumber
yang dimaksud adalah raja. Oleh karena itu, pula keratin pada zaman dulu diakui sebagai tempat
tinggal ratu dan memiliki fungsi sebagai pusat pemerintahan dan kebudayaan.

Sama seperti rumah, keraton atau istana terdiri dari beberapa bagian bagunan atau tempat yang
mempunyai fungsi berbeda-beda. Disamping itu, ditinjau dari keseluruhan bangunan/tempat di
dalam keraton, semuanya mengandung arti kefilsafatan, kebudayaan dan keagamaan. Istilah keratin
sering pula diidentikkan dengan pengertian Negara. Ada juga yang mengartikan bahwa keratin
adalah bangunan yang berpagar dan berparit keliling sebagai pusat kerajaan, tempat bersemayam
raja-raja dengan kerabat/keluarganya.
1.2 Fungsi dan Peran Keraton

Keraton merupakan bangunan yang berperan amat penting. Seperti halnya keraton pada umumnya
di Jawa, Keraton juga disamping itu dijadikan sebagai tempat untuk mempermudah rakyat untuk
bertemu dengan raja, serta tempat para pejabat kerajaan dan sebagai alat pengintaian musuh dan
pertahanan dari serangan musuh yang hendak melawan.

Dan keraton juga berfungsi untuk mempermudah hubungan kerjasama dengan kerajaan-kerajaan
lain, dalam segi perekonomian, politik serta perdagangan dan untuk memperluas wilayah kekuasaan,
namun keraton juga mengandung kefilsafatan, kebudayaan dan keagamaan yang beragam.

PERANAN DAN PERKEMBANGAN


KERATON SUROSOWAN

A. Asal Mula Berdirinya Keraton Surosowan

Keraton merupakan bangunan yang memegang peranan sangat penting bagi sebuah kerajaan.
Seperti halnya keraton pada umumnya di Jawa, Keraton Surosowan juga memiliki makna ganda,
yakni sebagai bangunan tempat tinggal Sultan dan keluarganya serta perangkat kerajaan lainnya dan
sebagai pusat kerajaan dalam hal ini Kerajaan Banten.

Keraton Surosowan adalah sebuah Keraton di Banten, keraton ini di bangun sekitar tahun 1522-1526
pada masa Pemerintahan Sultan pertama Banten, Sultan Maulana Hasanuddin dan konon juga
melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek
berkebangsaan Belanda yang memeluk islam yang bergelar Pangerang Wiraguna. Dinding pembatas
setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektar, Surosowan mirip sebuah
benteng Belanda yang kokoh dengan Bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut
bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh, hanya menyisahkan
dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.

Hasanuddin raja pertama di Banten yang di Penambahan Surososwan 1525 diberi gelar Maulana
Hasanuddin waktu itu lebih senang menyebut rajanya dengan sebutkan "Pangerang Saba Kingking",
yang artiniya rindu akan kebijaksanaan.

Raja yang memerintah dari tahun 1525 hingga 1570 ini wilayah kekuasaannya meliputi daerah di
antaranya sekarang masuk Provinsi Banten, kota Banten Lama di masa pemerintahannya meliputi
area seluas 1.2000.000 m2. Sebelah Utara dekat pantai di bangun menara jaga terbuat dari kayu
yang dilengkapi dengan persenjataan meriam, raja pertama yang membangun keraton dan benteng
Surosowan serta Masjid Agung Banten, wafat tahun 1570 dan di makamkan di halaman Masjid
Agung bagian Utara.

Sultan Sapuh itu digantikan putranya Maulana Yusuf Penembahan pekalangan gede yang
memerintah dari tahun 1570 hingga 1580. Program kerjanya yang berhasil masa itu memperkuat
perekonomian Negara dengan langkah kebijaksanaan memperluas areal pertanian, membangun
irigasi membuat kanal-kanal dan mengatur penyebaran penduduk dengan membangun kampung-
kampung baru yang kemudian berkembang menjadi kota.

Di samping itu memperkuat angkatan perang dan perbentengan disekitar Keraton dan kota Banten
Lama dengan bata dan batu karang. Semboyannya yang terkenal masa itu "Gawe Kuta Galuwati Bata
Kalawan Kawis" artinya pembangunan perbentengan dengan bata dan batu karang.

Ramainya suasana Kota Banten Lama masa itu banyak dilukiskan saudagar-saudagar manca Negara
yang kapalnya berlabuh di Bandara Banten karena jasanya dalam bidang pertanian. Maulana Yusuf
di makamkan di tengah sawah, 4 kilometer dari Keraton Surosowan, sekarang lokasinya tak jauh dari
jalan raja dan rela kereta api Serang-Banten, hampir setiap hari makam itu banyak di ziarahi orang
yang datang dari berbagai pelosok tanah air (FB. 04.2002).

B. Perkembangan Keraton Surosowan

Keraton Surosowan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan peta-peta kuno
diketahui bahwa pada peta tertua (1596), Keraton Surosowan di gambarkan masih sangat sederhana
berupa satu bangunan rumah di kelilingi pagar dan beberapa bangunan yang terletak di Selatan
alun-alun, peta-peta 1624. Keraton Surosowan sudah digambarkan berupa bangunan berundak-
undak dan bertingkat serta di kelilingi rumah-rumah, gambaran yang hampir sama masih di jumpai
pada peta 1726, di mana terlihat bangunan inti keraton memiliki bagian bawah bangunan yang
berundak-undak dan atap yang semakin ke atas makin kecil meruncing, hanya ukuran keraton
semakin besar

Berdasarkan penelitian, di duga terdapat beberapa tahap pada bangunan Keraton Surosowan. Pada
fase pembangunan awal, dinding yang disekeliling istana lebarnya antara 100 meter sampai 125
meter, dinding tersebut dibuat Bastion dan dibangun dari susunan atau berkuran besar yang di
campur dengan tanah liat (lempung). Fase pembangunan pertama mungkin terjadi pada masa
pemerintahan Maulana Hanauddin (1552-1570), pada masa pembangunan fase didirikan dinding
bagian dalam dan Bastion. Dinding bagian dalam berfungsi sebagai penahan tembakan, jadi antara
fase pertama dan kedua telah terjadi perubahan fungsi dinding, yaitu dari yang funsi sebagai tembok
keliling kemudian menjadi tembok pertahanan dengan unsur-unsur Eropa (Nurhadi 1982).
Perubahan ini mungkin terjadi pada tahun 1680 dengan bantuan artistek Hendrik Lucas zoon Cardel
(Ambary dkk. 1988:85), Michrob 1993:311). Sesudah masa ini, Surosowan disebut sebagai Fort
Diamant (Fort : Benteng, Diamant : Intan) oleh pihak Belanda pembangunan fase ke tiga adalah
tahap pendirian kamar-kamar disepanjang dinding Utara, penambahan lantai untuk mencapai
dinding penahanan tembakan (Parapet). Pada pembangunan fase ke empat, di lakukan perubahan
pada gerbang Utara dan mungkin juga pada gerbang Timur, pada lapisan luar dinding keraton,
susunan bata di lapis secara merata dengan menggunakan batu karang, pada fase pembangunan
yang terakhir terjadi penambahan banyak kamar di bagian dalam dan penyempurnaan isian dinding.

Keraton Surosowan mengalami beberapa kali penghancuran, antara lain ketika terjadi peperangan
antara Sultan Ageng Tirtayasa dan anaknya sendiri Sultan Haji yang bekerjasama dengan penjajah
Belanda. Meski kemudian diperbaiki lagi. Perlawanan dari rakyat terhadap Sultan Haji terus
berlangsung dan membuat Keraton rusak lagi. Akan tetapi, kerusakan yang paling parah terjadi pada
masa Sultan Aliudin II (1803-1808) ketika Herman Willem Daendels meminta sultan agar
mengirimkan seribu pekerja rodi untuk membangun jalur jalan Anyer-Penarukan. Selain itu, juga
meminta agar Patih Mangkubumi wargadiraja diserahkan dan ibu kota kesultanan dipindahkan ke
Anyer karena disekitar Surosoan akan dibangun benteng Belanda, tentu saja permintaan tersebut
ditolak mentah-mentah. Terjadilah peperangan hebat yang berakhir dengan penaklukan Surosowan
dan penangkapan Sultan Aliudin II lalu dibuang ke Ambo. Sementara Patih Mangkubumi Wargadiraja
dihukum pancung, perlawanan rakyat Belanda tidak berhenti. Pada 1809, Daendels menghancurkan
dan membakar Surosowan puncak kerusakan Keraton tersebut terjadi pada tahun 1813. Hampir
semua bangunan Keraton Surosowan boleh dikatakan hancur semua, bahkan terkesan tidak terawat.
Sayang sekali, bangunan yang memiliki nilai sejarah yang sangat tinggi ini dibiarkan terbengkalai
dimakan oleh waktu, mudah-mudahan pihak-pihak terkait dapat menjaga salah satu warisan Bangsa
Indonesia yang sangat berharga ini.

C. Kajian Arkeologi Keraton Surosowan

Sampai hari ini arekeolog belum dapat mengungkap tabir dibalik reruntuhan Keraton Surosowan
yang di ancurkan oleh Kolonial Belanda tahun 1813, padahal penelitian sudah berlangsung sudah
lama yaitu sekitar 30 tahun silam. Penelitian itu, antara lain pernah dilakukan arkeolog dan
mahasiswa Universitas Indonesia (UI), kemudian pulsitarkenas (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional)
dan Ditbinjarah (Derektorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan purbakal).
Seperti di akui Kasi TU Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang (BP3S), Drs. Zakaria Keasimin,
memang tak mudah mengungkap Keraton Surosowan yang tinggal pondasinya saja dan puing-puing
berserakan. Dari luas arela benteng dan keratin 1,6 hektar kurang 4,5 hektar, misal belum ditemukan
di mana lokasi Singgasana Sultan Banten dan di mana pula kamar sang putri.

Dari hasil penelitian baru di ketahui, Roro Denok dan pancuran mas adalah kolam pemandian
keluarga Sultan Banten tetapi Zakaria belum bisa memastikan apakah bangunan yang berada di
tengah-tengah kolam Roro Denok tempat Sultan menyimpan harta pusaka. Demikian pula tentang
pancuran mas yang di sebut-sebut sebagai keran air yang teruat dari lapisan emas, Zakaria mengakui
Kesultanan Banten yang memerintah dari tahun 1525-1813 termasuk kerajaan yang kaya raya.
Sehingga dugaan keran air terbuat dari emas besar kemungkinan besar, "Tetapi hal ini belum bisa
dibuktikan, karena belum ditemukan catatan sejarah mengenai hal itu", katanya.

Sementara itu, ada pendapat yang mengatakan, boleh jadi yang disebut-sebut sebagai pancuran
masa adalah air bersih yang jernih seperti keristal hasil dari pengolahan air bersih. Seperti diketahui,
air bersih itu dialirkan kedalam keraton melalui pipa terekota (tanah liat) dari waduk penampungan
di Tasikardi "Sebelum masuk kedalam istana air itu terlebih dahulu diproses melalui beberapa filter
yang disebut dengan pengindelan abang dan pengindelan putih", ujar Zakaria.

Berdasarkan hasil penelitian. Sementara, pintu utama keraton berada di sebelah Utara menghadap
alun-alun, salah satu yang memperkuat dugaan ini. Karena bangunan keraton dibagian sebelah Utara
terdapat bangunan tangga yang berundak-undak.

"Bisa jadi di tempat ini menjadi ruang utama keluarga Istana menerima tamu kehormatan", katanya.
Sayangnya, menurut Zakaria, Kesultanan Banten tidak meninggalkan catatan sejarah yang bisa
menjadi acuan arkeolog melakukan penelitian di sana, ekskavasi dan penelitian yang dilakukan ini
seperti mengungkap tabir rahasia masa lampau.

Menurut Babad Banten di sekitar jembatan Ranto terdapat nama Penjaringan, tercatat adanya pasar
di lokasi tersebut. Disamping pasar permanen di Pacinaan, Karangantu dan alun-alun (lihat buku
Willem Lodewijk). Penggalian ini di dasari atas berita tentang pasar yang ingin di buktikan
kebenarannya, namun tim ekskavasi belum berhasil meyakinkan data temuan yang identik dengan
pasar tetap di temukan alat pengecoran logam dari ukuran diameter 2 cm sampai 15 cm yang
sempat mengejutkan tim penggalian.

Disamping itu sumur dan Keraton Surosowan bagian berat dalam sektor 11 dikuras dan ternyata
ditemukan ternyata tulang-tulang binatang, pecahan keramik asing dan mata uang VOC. Dasar
sumur diberi landasan tegel merah, sumber air diambil dari samping, karena sumber air bawah
tanah asin. Hal ini merupakan teknologi baru ketika itu cara membuat sumur dengan kedalaman 4
m.

Hasil tim ekskavasi di dalam komplek Keraton Surosowan seluas 3,5 hektar pekerjaan mencari
pondasi luar dan dalam Benteng Keraton sudah selesai 60%. Pemasangan-pemasangan batu bata
sebagai kelanjutan dinding benteng bagian atas baru percobaan, permasangan batu karang pada
dinding benteng baru mencapai 15%.

Mengikuti pola umum tata kota kerajaan Islam di Indonesia, Keraton Surosowan juga merupakan
pusat kota Banten. Demikian pula, alun-alun terletak disebelah Utara, Masjid Agung Banten di
sebelah Barat Keraton, pasar Karangantu di sebelah Timur dan pelabuhan berada di sebelah Utara.

Keraton Surosowan ini memiliki dua gerbang masuk, masing-masing terletak di sisi Utara, Timur dan
Selatan. Namun, pintu Selatan telah ditutup dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya, pada
bagian tengah keraton terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi
oleh ganggang dan lumut. Di dalam keraton ini juga banyak ruang yang didalam keraton yang
berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan), salah satu yang terkenal adalah bekas kolam
taman bernama Bale Kambang Roro Denok, adapula pancuran pemandian yang disebut "Pancuran
Mas".

1) Pancuran Mas

Dalam areal benteng bekas Keraton Surosowan yang luasnya 4,3 hektar terdapat situs Pancuran
Mas, konon dahulu kala di lokasi itu terdapat pemandian keluarga Sultan Banten yang mewah.
Antara lain pancuran air yang terdapat di tempat pemandian itu seluruhnya dilapisi emas murni,
tempat pemandian yang terletak di Selatan komplek Selatan sampai saat ini masih bisa disaksikan,
setiap wisatawan dapat menuruni anak tangga yang terbuat dari batu bata menuju tempat
pemandian yang dibuat berkotak-kotak terbuka.

Air bersih yang mengucur di pancuran itu berasal dari danau Tasikardi yang terletak 3 km dari
keraton. Airnya di Saluran melalui pipa terekota yang terbuat dari tanah liat, sebelum masuk
kekomplek keraton, air itu terlebih dahulu di saring melalui unit pengolah air kotor yang disebuta
pengindelan abang, kemudian air itu di saring di filter yang kedua disebut pengindelan putih.
Jaraknya sekitar 300 meter dari filter pertama, setelah air itu bersih dan layak di Konsumsi sebagai
air minum, pipa air masuk kedalam komplek keraton, situs ini menjadi bukti bahwa pada zaman
Kesultanan Banten Abad XVI sudah mengenal teknologi maju dalam memproses air bersih yang kini
disebut PDAM.

Ketika para arkelogi melakukan ekskavasi di lokasi perkampungan penduduk di sekitar Banten lama.
Benda yang terbuat dari tanah liat itu ternyata tidak diletakan di atas permukiman tanah, tetapi
sejajar digali dalam tanah, maksudnya agar air minum itu terasa dingin seperti air es, penemuan itu
menunjukkan satu bukti lagi bahwa nenek moyang kita sudah mengenal lemari es di abad XVI.

2) Bale Kambang Roro Denok


Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter. Serta
kedalaman kolam 4,5 meter, ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan danau Tasikardi yang
terletak dua kilometer dari Surosowan

3) Kisah Tentang Watu Gilang dan Watu Singayaksa

Banten lama yang dikenal sebagai kawasan peninggalan Kesultanan Banten Abad XVI-XIX, sejak lama
menjadi tujuan wisata. Hampir tiap hari kawasan tersebut dikunjungi wisatawan dari pelosok tanah
air yang sengaja datang berziarah ke makam raja-raja Banten, kawasan tersebut sering di kunjungi
rombongan anak sekolah yang datang dengan kendaraan bis. Biasanya rombongan setelah ziarah
kemakam raja-raja yang terdapat di Serambi Masjid Agung Banten, mereka melihat-lihat benda-
benda purbakala yang di simpan dalam museum.

Di dalam museum dapat banyak yang bisa disaksikan, antara lain peta kuno yang menunjukkan posisi
Bandar Banten sebagai pelabuhan yang teramai di Asia Tenggara. Di dalam fitrin kaca, wisatawan
juga dapat melihat-libat betapah kaya dan megah Kesultanan Banten yang memiliki Keraton
Surosowan dan Keraton Kaibon yang luas dan dari hasil ekskavasi para arkeolog ditemukan banyak
pecahan keramik asing dan lokal yang indah serta bermacam-macam uang logam kuno. Termasuk
uang logam Banten yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah pada masa itu, di sana juga
dapat di temukan kitab-kitab kuno yang ditulis oleh Syekh Nawawi Al Bantani.

Menyaksikan reruntuhan Keraton Surosowan yang lokasinya tak jauh dari Masjid Agung Banten juga
termasuk yang banyak di kunjungi wisatawan. Sayangnya di lokasi objek wisata itu tidak terdapat
para pemandu wisata, sehingga wisatawan kurang mendapatkan informasi yang lengkap tentang
keberadaan peninggalan purbakala yang di lihatnya.

Salah satu contoh, keberadaan dua buah batu besar di halaman Masjid Agung Banten mengetahui
asal usul dan sejarahnya, pada hal keberadaan batu besar tersebut sangat penting sebagai lambang
kejayaan kerajaan Islam pada masa itu.

Menurut catatan sejarah yang ditulis arkeolog dan sejarawan, batu tersebut adalah batu berwarna
hitam terbentuk segi empat dengan permukaan datar terbuat dari jenis batu andesit. Batu yang
sekarang terletak di bagian muka benteng dan Keraton Surosowan bagian Utara dahulu digunakan
sebagai tempat bertapa dan pengambilan sumpah (penobatan) para Sultan.

Namun dalam buku sejarah Banten yang ditulis Drs. Yoseph Iskandar dkk, batu tersebut bekas
sajadah yang digunakan Hasanuddin ketika sholat di permukaan laut. Konon menurut cerita, batu
yang permukaannya kasar menjadi licin berkat do'a Hasanuddin. Batu tersebut menurut keterangan
yang ditulis dalam "Surat Banten" berasal dari Kerajaan Pajajaran yang berpusat di Bogor. Watu
Gilang Sriman Seriwicana dai pindahkan ke Banten Lama oleh penambahan Yusuf atas perintah
ayahnya Hasanuddin dalam catatan sejarah.

Kerajaan di taklukan Banten pada tahun 1579

Dengan diboyongnya batu alam tersebut maka di Pakuan tak mungkin lagi dinobatkan raja baru.
Batu tersebut menjadi lambang keabsahan penambahan Yusuf sebagai ahli waris dan penerus
kekuasaan raja-raja Pajajaran, Batu Hitang yang bersejarah itu berukuran 200 x 160 x 20 cm.
Kini Watu Gilang tanda keabsahan penambahan Yusuf sebagai penerus tahta Kerajaan Sunda
Pajajaran tergeletak terlantar di halaman benteng dan Keraton Surosowan. Padahal batu tersebut
memiliki nilai spiritual yang dhulu digunakan untuik upacara penobatan Raja Sunda dan Banten.

Sedangkan Watu Singayaksa yang bentuk dan jenisnya sama seperti Watu Gilang terletak di alun-
alun pojok sebelah Utara. Di masa pemerintahan Kesultanan Banten batu tersebut digunakan untuk
mengumumkan semua titah atau peraturan raja oleh seorang ulama. Dalam Babad Banten ditulis
batu tersebut pernah berfungsi sebagai tempat bertapa Batara Guru Jampang, karena lamanya
orang tua itu bertapa hingga burung membuat sarang di atas kepalanya, watu ini juga bernasib
serupa dengan Waktu Gilang, tidak terawat dan dibiarkan merana di tengah-tengah keramaian
wisatawan yang berkunjung di Banten Lama.

4) Pusaka Kesultanan dan Jejak Pemukiman Kota Ki Amuk dari Karangantu ke Surosowan

Setiap benda peninggalan Kesultanan Banten yang berserakan di halaman museum, Masjid Agung
Keraton memiliki catatan sejarah panjang dan unik, contohnya meriam Ki Jimat, yang lebih popular
disebut ki Amuk terletak di halaman situs museum kepurbakalaan Banten Lama.

Ki Amuk termasuk salah satu meriam peninggalan Kesultanan Banten yang masih utuh di Banten
Lama, puluhan meriam lainnya yang dulu menjaga setiap sudut Benteng Keraton Surosowan dan
Keraton Kaibon sudah lenyap entah kemana. Meriam kuno yang berada di depan Kantor Kodim
Serang, Polwil Banten, Gubernur dan Pemkab Serang termasuk peniggalan Kesultanan Banten yang
tercecer.

Dahulu meriam ini terletak di dermaga pelabuhan Karangantu menghadap ke laut, keberadaan
meriam itu di sana diberi cungkup dan di keramatkan penduduk setempat. Di bagian atas
moncongnya terdapat prasasti yang di tulis dalam Bahasa Arab yang berbunyi Aqibatul
Khoirisulamatul Iman.

Menurut KC Crug yang melakukan penelitian terhadap meriam-meriam warisan Kesultanan Banten,
prasasti itu merupakan candra sengkala yang menunjukkan angka tahun saka 1450 (1528-1529 M),
Crug juga mengatakan, meriam itu ada hubungannya dengan meriam si Jagur yang ada di Jakarta,
meriam itu adalah hadiah dari Sultan Trenggono dari Demak kepada Sunan Gunung Jati.

Ketika pelabuhan Karangantu di renovasi KOP Bakti Siliwangi-Korim 064 Maulana Yusuf tahun 1967,
meriam tersebut sempat menghilang dari tempatnya. Tetapi setelah Pertamina rampung
merenovasi Masjid Agung Banten tahun 1974, meriam tersebut muncul kembali dan oleh Direktorat
Sejarah dan perbukala di tempatkan di sudut Tenggara alun-alun depan Keraton Surosowan.

Karena di tempat itu benda peninggalan perang tersebut masih di puja dan di keramatkan penduduk
setempat, lalu di pindahkan kehalaman museum situs kepurbakalaan Banten Lama.

Meriam kuno ini termasuk senjata pamungkas tempo duluh. Bila warga Kota metropolitan Jakarta
bangga memiliki meriam besar bernama Ki Jagur, warga Banten juga bangga memiliki meriam besar
yang bernama Ki Amuk. Keduanya sama-sama berpredikat sebagai senjata andalan dan pemusnah
massal yang hebat pada zamannya, disebut Ki Amuk karena senjata ini tak ada yang menandingi
pada setiap pertempuran. Suaranya yang keras mengelegar menjadi musuh takut dan lari terbirit-
birit, disamping meriam ini memiliki daya perusak yang dahsyat, juga jangkauan tembakannya yang
jauh.

Demikian hebat kemampuan kerja meriam ini hingga masyarakat pada waktu itu menganggap
senjata yang tebuat dari perunggu ini disebut-sebut sebagai benda keramat yang memiliki kekuatan
gaib. Masyarakat lalu memberi gelar meriam itu Ki Amuk dan Ki Jimat dan anehnya sampai saat ini
meriam tersebut masih dipuja dan dianggap sebagai benda yang di keramatkan. Misalnya diantara
penziarah ada yang sengaja membuang uang logam kemeriam tersebut, bahkan yang mencoba-coba
merangkul laras meriam itu, menurut kepercayaan, bila pelukan itu bisa bertemu gelang, maka
niatnya akan terkabul.

Lain lagi menurut pakar arkeologi Islam Dr. Uka Tjandrasasmita, mantan Direktur purbakala Ditjen
Kebudayaan Depdikbud, meriam besar seperti itu banyak terdapat di museum militer Turki,
peluruhnya ada yang terbuat dari besi dan ada pula yang terbuat dari batu bulat. Menurut Uka, arti
tulisan dalam Bahasa Arab itu mengandung makna yang dalam, intinya mengatakan "Setiap
perbuatan baik selalu berkaitan dengan iman". Uka menyesalkan, merima besar itu dipindahkan ke
halaman museum, menurut pendapatnya meriam itu seharusnya berada di depan Keraton
Surosowan, karena keberadaannya selalu berkaitan dengan upacara kenegaraan, misalnya museum
itu berperan pada saat penobatan raja dan menyambut kedatangan tamu Negara.

Beberapa sumber mengatakan bahwa pada pemerintahan Kesultanan Banten, semua meriam yang
dimiliki punya nama sesuai dengan asal usul dan kehebatan tembakannya. Misalnya meriam Ki Amuk
yang kini berada di halaman museum Banten punya kehebatan gempurannya, suaranya yang
menggelegar dengan jarak tembak yang jauh bisa membuat musuh lari terbirit-birit.

Sebuah daftar meriam yang ditemuakan di Banten tahun 1790 menyebutkan disudut Timur laut
benteng Pakuwon atau Surosowan terdapat dua meriam terbuat dari kuningan buatan Inggris,
meriam itu semula dibuat atas pesanan Tn. John First Lord Berkly of Stratton, Master Of Ordonance
pada tahuun 1663. Kemudian meriam itu di bawah ke Tonking, Vietnam Utara, lalu di jual ke Banten
seharga 10.000 real Spanyol dan tiba di Banten tahun 1680.

Kemudian terdapat pula meriam Inggris yang lain dengan prasasti William Wightman London 1678.
Dan sebuah meriam buatan lokal yang di duga buatan Kawirgunan, sedangkan sisi Timur benteng
terdapat sebuah meriam Belanda terbuat dari kuningan berasal dari Enkhzen untuk cabang VOC di
Amsterdam 1623. disana juga terdapat meriam lain terbuat dari kuningan dengan tulisan oleh
Lamberts Amsterdam 1638.

Sementara di sudut Tenggara yang disebut dengan bagian South point, dua meriam kuningan buatan
lokal dengan lima tanda pada larasnya. Dan satu meriam kuningan dengan tulisan oleh Lambert
Amsterdam 1638, dan catatan Willem Lodewyiks yang turut armada de Houtman tahun 1596.

Dari catatan willem lodewjjks yang turut armada de Houtman tahun 1596. Setiap bangsawan
memiliki sepuluh sampai du belas orang menjaga rumah sepanjang malam, penjagaan begitu ketat,
sehingga musuh sulit untuk masuk kedalam rumah, rumah-rumah para pejabat Negara didirikan di
atas 10 tiang kayu yang di ukir indah sekali.

5) Reruntuhan Keraton Surosowan

Sisa-sisa bangunan Keraton Surosowan yang berserakan di Banten Lama sebenarnya bisa diceritakan
tentang kisah tragis pada masa lampau, sayangnnya tak satupun pemandu wisata atau pramuwisata
yang mampuh menyeguhkan kisah yang melihat-liat peninggalan purbakala bekas Kesultanan
Banten Abad XVI pulang tanpa kesan dan tidak tahu Keraton itu hancur.

Padahalan bila wisatawan masuk lewat pintu gerbang utama, bisa mendapatkan sepanggal cerita
yang menarik tentang terbunuhnya Du Puy, perwira militer yang di utus Gubernur Jendral Daendels.
Menurut catatan sejarah pada masa pemerintahan Daendels, rakyat Banten di kerahkan untuk
membangun pangkalan militer di Ujung Kulon. Pekerjaan tersebut sangat berat karena tanpa
peralatan yang memadai, sehingga banyak menimbulkan korban jiwa. Hal tersebut menimbulkan
kemarahan Sultan Muhammad Syafiuddin, sultan tidak rela melihat rakyatnya mati bergelimpang
karena kerja paksa, sebab itu pekerjaan di berhentikan. Ternyata tindakan Sultan membuat berang
Daendels, sehingga mengirimkan Du Puy ke Keraton Surosowan, tetapi melihat tindakan yang kasar
perwira Belanda itu, amarah rakyat tak terbendung, maka dibunuhlah Du Puy di depan istana,
kemudian Belanda membalas mengirimkan pasukan dengan jumlah besar untuk menggempur
Keraton Surosowan, setelah Kesultanan Banten hancur, Sultan di buang ke Ambon lalu dipindahkan
ke Surabaya dan patihnya di hukum pancung.

Bila diperhatikan secara seksama, bekas istana yang megah di Banten Lama terlihat pondasi
bangunan baru berdiri di atas pondasi lama, ternyata keraton baru yang dibangun oleh Sultan Haji
didirikan kembali di pondasi bekas pondasi lama. kisah tentang pertempuran antara Sultan Haji
dengan Sultan Ageng Tirtayasa juga tak kalah menarik, sayangnya pramuwisata yang ada di Banten
belum menguasai kisah tragis tentang perkelahian antara anak dengan ayah yang terjadi pada Abad
Ke XVII.

Sultan Haji di Bantu Belanda, pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672-1687) Keraton ini dibangun
kembali di atas puing-puing Keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah tahun
1680-1681, pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga
Keraton Surosowan di hancurkan oleh Belanda di bawah pimpinan Daendels penghancuran tersebut
berlangsung hingga tahun 1832, bahan Keraton Surosowan banyak di ambil untuk digunakan
kembali pada bangunan Belanda lainnya, sehingga Keraton Surosowan yang ada sekarang ini
merupakan sisa dari sisa-sisa kehancurannya.

Dari hasil penelitian lapangan di ketahui bahwa sisa-sisa struktur bangunan Keraton baru berhasil di
munculkan lewat serangkaian penelitian arkeologi pada bagian tengah keratin. Sementara itu, sisa
sebelah Barat dan Timur bagian dalam keraton masih berupa gundukan tanah yang di tumbuhi
perumputan, khusus untuk struktur yang telah tampak di permukaan, karena meliputi area yang
cukup luas dan temuan yang cukup padat, maka dibagi menjadi sembilan sektor (Sektor A-1)

Dari analisis struktur bangunan, diketahui bahwa ada beberapa tipe pondasi digunakan di Keraton
Surosowan. Tipe yang banyak digunakan adalah tipe yang terdiri atas enam lapisan; dua lapisan
terbawah menggunakan karang berbentuk kotak seadanya dan empat lapisan di atasnya
menggunakan bahan bata, tiap lapisan disusun sedemikian rupa sehingga tersusun secara simetris
makin ke atas makin mengecil (tipe E dan F).

Dari struktur dinding juga diketahui terdapat beberapa tipe, umumnya adalah berupa susunan bata
utuh sedemikian urpa sehingga dari sisi luar dinding terlihat, lapisan pertama berupa susunan sisi
tebal-panjang bata (strek). Lapisan kedua berupa susunan sisi tebal-lebar bata (kop), lapisan ketiga
kembali sama seperti lapisan pertama, lapisan keempat sama dengan lapisan kedua, dan seterusnya.

Dari analisis tata letak bangunan, khususnya struktur bangunan di dalam komplek keraton, diperoleh
informasi terdapat kediaman Sultan, bangunan untuk istri dan kerabat keraton, bangunan terbuka
dengan tiang dan permadani, Roro Denok (kolam dan bale kembang), kolam pancuran mas,
sementara itu, dari struktur lantai diketahui bahwa digunakan dua bahan yaitu ubin (untuk ruang
yang penting) dan bata (untuk ruang yang kurang penting dan jalan/gang). Dari analisis struktur
bangunan juga diketahui, bahwa Keraton Surosowan yang tampak sekarang ini juga dibangun secara
bertahap. Tahapan itu terlihat, gejala ini terutama terlihat pada struktur bangunan pada sektor A
(ruang A.5 dan A.11) dan sektor 13 (ruang B.1) luhur, made bahan, made mundu, made gayam,
kandang kuda dan tempat kereta kuda, berdasarkan data lapangan di dalam keraton yang masih
terlihat dapat dikatakan bangunan yang dianggap sama hanyalah kolam Roro Denok (sektor D) dan
kolam pancuran Mas (Sektor G).

Bangunan kediaman sultan terletak antara kolam pancuran mas, yakni bangunan pada sektor E,
bagian Uatara (depan) sektor ini terdapat 20 umpak sebagai dasar tiang, terdiri atas 12 umpak di sisi
Barat dan 8 umpak di sisi Timur. Mungkin dua kelompok umpak ini dahulunya merupakan dua
bangunan panggung yang salng berhadapan, di Tengah "halaman" antara dua kelompok umpak tadi
terdapat sisa struktur lengkung tapal kuda, yang di duga reruntuhan gapura di depan bangunan ini.

Di sebelah Selatan (belakang) sector ini terdapat ruang-ruang dan kolam mandi dengan tangga ke
dalamnya. Selain itu, made bahan menurut naskah G Tor 27389 adalah gapura besar keratin,
madhemundu dan madegayam adalah pos jaga yang terdapat di madhebahan dan di dekat
madhegayam terdapat siti luhur yang letaknya bersebelahan dengan gudang senjata dan kandang
kuda.

Secara keseluruhan, berdasarkan pada thaun 1900, tata letak Keraton Surosowan berbeda dengan
Keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada keratin di Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta
terbagi atas tiga halaman, maka Keraton Surosowan secara garis besar hanya memiliki dua halaman
(di luar dan di dalam benteng). Di dalam benteng terdapat (a) Istana sultan, (b) Kolam Roro Denok,
(c) Datulaya, (d) Kolam pancuran mas, (e) Gerbang Utara, dan (F) Gerbang Timur. Sementara itu, di
luar benteng terdapat (a) alun-alun, (b) Watu Gilang, (c) Masjid Agung Banten, (d) bangunan
tiyamah, (e) Srimanganti, (f) Meriam Ki Amuk dan (g) Bale Dana.

Sementara itu, berdasarkan analisis hubungan lokasional dan fungsional diketahui bahwa semua
struktur bangunan yang tampak sekarang saling berhubungan dan memiliki fungsinya sendiri-sendiri,
bangunan di dalam benteng sebelah kanan/Barat (Sektor A) berkaitan dengan bangunan
persenjataan dan pertahanan.

Bangungan di dalam gerbang sebagai bangunan utama "kantor" dan aktivitas Sultan (sektor B sisi
Barat), dan sebagai bangunan tenaga pendukung atau pelayan kediaman kerabat Sultan (sektor B sisi
Selatan). Di sebelah Timur sector B, terdapat kediaman sultan (sektor E) dan taman kolam Roro
Denok dengan bak kembangnya di depannya (sektor D). Bangunan-bangunan pada sisi Selatan
keraton berkaitan dengan penampungan air bersih, pemandian dan bak pengaturan dari kotor
(sektor G), serta sebagai bangunan karyawan keraton (sektor H).

KESIMPULAN

Dari penelitian ini menunjukan bahwa berdasarkan analisis peta kuno. Keraton Surosowan paling
sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan, dari data pengupasan dan penggalian hanya
dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan berdasarkan indikasi struktur bangunan yang
tumpang tindih. Berdasarkan sisa lantai dalam tiap ruang diketahui terbuat dari bahan ubin atau
tegel semen berglasur merah dan bata, serta dapat direkonstruksi ukuran, dan pola pasangannya
pada tiap ruang di kompleks keraton. Disamping itu, diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola
pasangan bata dinding bangunan dan pondasi pada bangunan di kompleks keraton. Sementara itu,
berdasarkan pengamatan di lapangan juga diperoleh asumsi beberapa fungsi banguan yang telah
ditampakan, seperit tempat tinggal sultan, bangsal terima tamu, kolam taman Roro Denok, dan
pemandian pancuran mas untuk para kerabat keraton.

Anda mungkin juga menyukai