TUGAS TERSTRUKTUR II
KELAS A
HUKUM ADAT
Dosen Pengampu:
VIVIN ASTHARYNA HARYSART, S.H., M.Kn.
Nama Mahasiswa:
NAMA : RIZQI SURYA PERDANA
N.I.M. : 19313013
No. Absen : 13
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUNAN BONANG
TUBAN
2020
DAFTAR ISI
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan karunia
yang Tuhan limpahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah ini sehingga
dapat dikumpulkan untuk memenuhi Tugas Terstruktur II Mata Kuliah Hukum Adat yaitu
dengan membuat makalah yang berjudul “Perkawinan Adat Suku Dayak Ngaju”.
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dari penulisan dan pemaparan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, dalam penulisan makalah ini penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak pembaca. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih
dan berharap agar makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para
pembaca umumnya.
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Dokumentasi Pusat Penelitian, “Pengembangan dan Pelestarian Budaya Dayak Kalimantan Tengah”,
Palangkaraya, 2014, h. 4.
2
Tjilik Riwut, “Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan”, Yogyakarta, PT. Tiara Wacana Yogya,
1993, h. 234-235.
1
Sebelum datangnya agama-agama besar dan resmi yang diakui oleh pemerintah
Indonesia, masyarakat dayak telah memiliki kepercayaan sendiri yang disebut Kaharingan
atau disebut juga Agama Helo (agama dulu).3 Syarif Ibrahim Alqadrie mengungkapkan:
“Ada semacam persepsi umum berkaitan dengan sistem kepercayaan nenek moyang
masyarakat Dayak bahwa ada unsur hubungan timbal balik antara kepercayaan dengan nilai
budaya yang dianut oleh masyarakat setempat yang mempengaruhi dan mewarnai sistem
kehidupan mereka.”4 Secara implisit bahwa kepercayaan Kaharingan memuat aturan-aturan
kehidupan yang nilai-nilai dan isinya bukan hanya sekedar adat-istiadat, tetapi juga ajaran
untuk beperilaku. Ajaran-ajaran ini diajarkan secara lisan oleh orang tua kepada anak-
anaknya secara turun-temurun. Ajaran dan kebiasaan yang dilakukan secara turun-temurun
ini dikenal dengan istilah hadat (adat).
Suku Dayak Ngaju memiliki filosofi hidup “Belom bahadat” artinya “hidup beradat”.
Filosofi ini melandasi seluruh aspek kehidupan orang Dayak Ngaju. Pengaruh dan peranan
adat dalam masyarakat Dayak Ngaju sangat kuat. Salah satu tatanan kehidupan yang masih
dipertahankan dan tetap dilestarikan adalah penyelenggaraan perkawinan. Dalam
Masyarakat Dayak Ngaju, perkawinan merupakan sesuatu yang luhur, suci, dan terhormat.
Perkawinan yang dilaksanakan sesuai dengan adat yang berlaku, bertujuan untuk mengatur
hubungan antara pria dan wanita agar memiliki perilaku yang baik dan tidak tercela (belom
bahadat), menata kehidupan rumah tangga yang baik sejak dini, santun, beradab, dan
bermartabat, menetapkan status sosial dalam masyarakat, sehingga ketertiban masyarakat
tetap terpelihara.
Perjanjian perkawinan menurut adat Dayak Ngaju adalah sebuah perjanjian tertulis
yang isinya telah disepakati bersama dan ditandangani oleh kedua mempelai, saksi-saksi dari
kedua belah pihak, dan Damang atau Kepala Adat. Adapun, surat perjanjian perkawinan
menurut adat Dayak adalah bukti tertulis yang disahkan oleh Damang.5 Sebagian besar suku
Dayak Ngaju sekarang masih melaksanakan ketentuan-ketentuan adat seperti yang berlaku
dalam surat perjanjian perkawinan tersebut, baik yang beragama Kaharingan, Kristen,
Katolik maupun Islam. Walaupun masing-masing agama tersebut juga telah memiliki
perjanjian kawin secara agamawi.
3
Ibid., hlm 317.
4
Syarif Ibrahim Alqadrie, “Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi Masyarakat Dayak di
Kalimantan Barat”, Jakarta, PT Grasindo, 1994, h. 20.
5
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 15 Tahun 2009 tentang Kelembagaan Adat Dayak di Kota
Palangka Raya.
2
Pengetahuan tentang Perjanjian Perkawinan akan dipaparkan dalam pandangan suku
Dayak Ngaju di Palangka Raya. Konsep perjanjian perkawinan dalam Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan digunakan sebagai perbandingan untuk
menganalisa keberadaannya yang berdampingan dengan adat perkawinan suku Dayak Ngaju
Kalimantan Tengah.
Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah digambarkan diatas, maka
peneliti akan memfokuskan penelitian pada perjanjian perkawinan masyarakat Dayak Ngaju
dengan judul PERKAWINAN ADAT SUKU DAYAK NGAJU.
3
BAB II
PEMBAHASAN
6
Nugroho, “Pengantar Hukum Adat Indonesia”, Solo: Pustaka Iltizam, 2016, h. 24.
7
Andriani SJ Kusni dan JJ. Kusni, “96 Pasal Hukum Adat Tumbang Anoi”,
https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/04/18/penyeragaman-96-pasal-hukum-adat/, diakses pada 22
Juli 2020, 2020.
8
Murhaini, “Singer Sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di kalangan Etnis Dayak Ngaju”,
Jurnal Studi Kultural, 2017, h.78-81.
4
2.2 Pengertian dan Tujuan Perkawinan Adat Suku Dayak Ngaju
Perkawinan menurut masyarakat Dayak Ngaju tidak semata-mata berarti suatu ikatan
antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri untuk maksud mendapatkan
keturunan dan membangun serta membina kehidupan keluarga rumah tangga tetapi juga
berarti suatu hubungan hukum yang menyangkut para anggota kerabat dari pihak istri dan
suami. Terjadinya perkawinan berarti berlakunya ikatan kekerabatan untuk saling membantu
dan menunjang hubungan kekerabatan yang rukun dan damai.
Perkawinan adat memiliki arti yang penting masyarakat dan disertai dengan upacara-
upacara adat, agar kedua mempelai bahagia mengarungi hidup berkeluarga sampai akhir
hayatnya. Upacara- upacara yang dilakukan melambangkan adanya perubahan status hidup
berpisah dengan keluarga induk dan membentuk keluarga yang baru. Prosesi kegiatan dalam
perkawinan adat yang telah dilakukan secara terus menerus sehingga menjadi suatu hukum
perkawinan adat. Hukum perkawinan adat adalah kebiasaan atau tingkah laku masyarakat
adat dalam melakukan upacara perkawinan yang kemudian kebiasaan tersebut dijadikan
hukum positif yang tidak tertulis dan hanya berlaku di masyarakat tertentu dan mempunyai
sanksi didalamnya.9
Masyarakat etnik Dayak Ngaju, berpandangan bahwa perkawinan merupakan suatu
yang luhur, suci dan terhormat. Dalam hukum adat, perkawinan bukan merupakan urusan
pribadi dari orang yang melakukan perkawinan, tetapi juga menjadi urusan keluarga, suku,
masyarakat, dan kasta. Perkawinan menurut pandangan orang Dayak Ngaju adalah sesuatu
yang luhur dan suci. Karena itu amatlah tercela kalau perkawinan sampai dicemarkan oleh
dan tingkah yang bersangkutan melakukannya secara tidak bertanggung jawab atau
melanggar norma-norma Adat. Jika terjadi pencemaran terhadap hakikat perkawinan, berarti
mengotorkan keluhuran dan kesuciannya maka sanksi (singer) atau hukuman tertentu akan
dituntut oleh adat. Orang Dayak Ngaju yang menganggap perkawinan itu sebagai sesuatu
yang luhur dan suci biasanya menginginkan agar perkawinan berlangsung seumur hidup
suami-istri dan hanyalah maut saja yang boleh memutuskan hubungan tersebut. Dengan jelas
dinyatakan ungkapan “hakam belom sampai hentang tulang” secara harfiah berarti hidup
bersama sampai menggendong tulang. Maknanya adalah hidup bersama hingga suami atau
istri yang meninggal lebih dulu. Disini dengan jelas dinyatakan bahwa perkawinan itu harus
9
Yulia, “Buku Ajar Hukum Adat”, Penerbit Unimal Press, 2016, h. 51
5
dijunjung tinggi dan ikatan itu harus tetap dipertahankan bahkan sampai selesai upacara
kematian pihak yang meninggal terlebih dahulu.
Selain tujuan di atas, perkawinan menurut orang Dayak mempunyai tujuan:
a. Perkawinan merupakan lembaga seksualitas yang bertujuan mengatur hubungan
manusia yang berlainan jenis kelamin, guna terpeliharanya ketertiban
masyarakat.
b. Dengan perkawinan diharapkan perbuatan-perbuatan mesum dan tercela dapat
dihindari atau dicegah.
c. Untuk menjaga keseimbangan magis dan kosmos.
d. Sebagai alat mencegah berkembangnya kasus dan untuk mengembalikan
keseimbangan magis dan kosmos yang terganggu.
e. Untuk menjamin kelangsungan hidup suku.
f. Untuk mendapatkan keturunan. Dari setiap perkawinan diharapkan lahirnya
anak-anak. Harapan ini selalu diungkapkan baik pada upacara-upacara sebelum
perkawinan atau pun pada upacara perkawinan itu sendiri.
g. Untuk mendekatkan kembali hubungan kekeluargaan yang sudah mulai
menjauh.
h. Untuk mendapatkan status sosial.
i. Untuk menghapuskan dendam kesumat dan permusuhan keluarga. Perkawinan
yang bertujuan untuk mendamaikan dan menghapuskan permusuhan itu lazim
disebut “kawin sapan bunu” yang artinya perkawinan untuk mengakhiri
permusuhan atau persengketaan.
6
keluarganya. Hak, kewajiban, dan tanggung jawab perkawinan termuat dalam Pelek Rujin
Pangawin yang artinya Pedoman Dasar Perkawinan.10
2) Mamanggul
Tahap ini merupakan kelanjutan dari Hakumbang Auh yaitu cara meminta si
gadis secara resmi setelah pihak keluarga si pria mengetahui bahwa keinginan hati
mereka diterima oleh pihak si gadis. Pada acara ini pihak pria akan menyerahkan
10
Nila Riwut, “Maneser Panatau Tatu Hiang”, Palangka Raya: Pusakalima, 2003, h. 224.
7
beberapa barang sebagai bukti kesungguhan hati dan keseriusan mereka. Antara lain
berupa sebuah Balanga (guci asli cina) atau sebuah gong.
Pada acara ini kedua pihak membicarakan waktu pelaksanaan peminangan, yaitu
Maja Misek. Dalam perkembangannya yang berlaku sekarang, bukti Mamanggul tidak
lagi berupa gong melainkan berupa Duit Panggul. Pada kesempatan ini dibuat sebuah
kesepakatan. Kesepakatan ini dapat berupa lisan maupun tertulis yang dibuat dalam
bentuk sebuah surat perjanjian yang disebut surat Panggul. Jika pihak keluarga si gadis
kemudian menolak maka barang bukti Mamanggul tidak dikembalikan kepada pihak
si pemuda.
Dalam perkembangannya, tahapan Hakumbang Auh dianggap sama dengan
Mamanggul. Karena itu rangkaian tata cara perkawinan yang lazim sekarang ini
cenderung mulai dari Hakumbang Auh lalu Maja Misek dan seterusnya. Istilah
Hakumbang Auh lebih sering digunakan, sedangkan istilah Mamanggul mulai
menghilang.
3) Maja Misek
Maja berarti bertamu atau bertandang. Misek berarti bertanya, istilah Maja
Misek maksudnya adalah acara pertemuan antara keluarga si pemuda dengan keluarga
si gadis. Dalam pertemuan itu mereka mengambil kesepakatan bersama tentang:
a) Waktu atau jadwal pelaksanaan pesta perkawinan;
b) Syarat-syarat perkawinan yang disebut Jalan Hadat, yaitu apa saja yang
harus dipenuhi oleh pihak laki-laki sesuai dengan ketentuan yang berlaku
baik menurut Panaturan, hukum adat serta tradisi yang berlaku dalam
keluarga si gadis;
c) Besarnya Palaku yaitu mas kawin yang harus diserahkan;
d) Biaya pesta perkawinan dan bagaimana pembagiannya, apakah
ditanggung seluruhnya oleh pihak laki-laki ataupun ditanggung bersama;
e) Sanksi atau denda yang dikenakan jika terjadi pembatalan atau penundaan
oleh salah satu pihak;
f) Kesepakatan mereka merupakan perjanjian yang kemudian dituangkan
dalam surat perjanjian Pisek.
8
Selain membicarakan hal tersebut, pada kesempatan Maja Misek ini juga
dibicarakan mengenai syarat-syarat menurut adat untuk kasus:
a) Jika calon mempelai perempuan masih mempunyai kakak perempuan
yang belum menikah, maka ia harus membayar Palangkah atau
Panangkalau kepada kakaknya karena ia mendahului kakaknya.
b) Jika si gadis masih mempunyai hubungan keluarga yang disebut Jereh
dalam garis kekeluargaan yang sudah jauh, misalnya masih terkena
keponakan dari si pemuda maka mereka harus membayar denda dan
melaksanakan upacara Tambalik Jela sebelum upacara perkawinan
dilaksanakan.
Setelah tercapai kata sepakat, pihak laki-laki menyerahkan Paramun Pisek
(persayatan adat dalam melamar), yaitu benda-benda yang harus diberikan kepada
pihak perempuan berdasarkan ketentuan hukum adat. Persyaratan adat ini biasanya
berupa perlengkapan pakaian perempuan, alat-alat kosmetik, sepatu, sendal, dan
lainnya.
9
b. Prosesi Pernikahan
1) Panganten Haguet
Panganten Haguet adalah acara penganten pria saat berangkat menuju rumah
penganten wanita sesuai dengan kesepakatan mengenai pelaksanaan perkawinan maka
pada hari yang telah ditetapkan, biasanya tiga hari setelah upacara Manyaki Rambat,
ataupun juga pelaksanaan upacara Manyaki Rambat ini bisa juga dilaksanakan
sebelum keberangkatan penganten laki-laki ke tempat penganten perempuan.
2) Penganten Mandai
Istilah Mandai sama dengan Manyakei yang artinya naik. Arti penganten Mandai
atau penganten Manyakei disini adalah kedatangan penganten pria di rumah penganten
wanita. Ketika penganten pria dan rombongannya tiba, beberapa kegiatan yang
dilakukan adalah:
a) Mambuka Lawang Sakepeng
Lawang Sakepeng adalah semacam pintu gerbang atau gapura dari pelepah
daun kelapa yang diberi rintangan benang. Pada rintangan benang penghalang
dipasang bunga warna warni agar indah dan nampak semarak. Penganten pria
dan rombongannya tidak boleh masuk ke halaman rumah sebelum membuka
Lawang Sakepeng tersebut. Adapun makna dari upacara mambuka Lawang
Sakepeng ini adalah untuk menjauhkan semua rintangan dan malapetaka yang
dapat menimpa kedua mempelai dalam membina rumah tangga.
b) Mambuka Lawang Sakepeng
Mamapas adalah upacara pembersihan secara simbolis bermakna agar
penganten, rumah dan lingkungan tempat dilaksanakannya upacara perkawinan
dapat bersih dari segala yang tidak baik dan terhindar dari hal-hal yang buruk
yang ditimbulkan oleh roh-roh jahat yang disebut Pali Endus Dahiang Baya.
c) Haluang Hapelek
Upacara Haluang Hapelek adalah semacam dialog antara para wakil dari
pihak penganten pria dan wanita. Tujuan utama dari acara ini adalah menagih
Jalan Hadat, yaitu syarat-syarat dalam rangka perkawinan yang harus diserahkan
oleh pihak penganten pria kepada penganten wanita. Masing-masing pihak
membentuk kelompok tersendiri, sebagai utusan yang bertindak sebagai Luang.
10
Luang atau utusan dari pihak penganten pria disebut dengan Tukang
Sambut, yaitu pihak yang menjawab sanggup tidaknya memenuhi tuntutan pihak
penganten wanita. Adapun luang dari pihak wanita disebut Tukang Pelek, yaitu
pihak yang mengajukan tuntutan. Luang adalah orang yang pekerjaannya
mondar-mandir menghubungi dua pihak untuk mencari kesesuaian pendapat.
d) Manyaki Panganten (Panganten Hasaki atau Panganten Hatatai)
Inti upacara ini adalah upacara pengukuhan perkawinan bagi masyarakat
Kaharingan suku Dayak Ngaju. Pada bagian inilah yang biasanya tidak
dilaksanakan oleh masyarakat Dayak suku Dayak Ngaju yang non Kaharingan,
namun masih melangsungan tata cara perkawinan sesuai tradisi leluhurnya.
Upacara ini dipimpin oleh seorang Basir. Manyaki berarti mengoleskan darah
hewan korban ke beberapa bagian tubuh kedua mempelai oleh Basir. Adapun
istilah Penganten Hasaki berarti kedua mempelai dipoles dengan darah.
Pada acara ini kedua mempelai duduk di atas sebuah gong sambil
memegang sebatang pohon sawang (Ponjon Andong) yang diikat bersamaan
dengan Dereh Uwei (sepotong rotan) dan Rabayang (tombak bersayap/sejenis tri
sula). Jari telunjuk mereka menunjuk ke atas sebagai tanda bahwa mereka berdua
bersaksi kepada Ranying Hatalla Langit/Tuhan Yang Maha Esa. Kaki mereka
menginjak jala dan batu asah sebagai tanda bahwa mereka berdua juga bersaksi
kepada penguasa alam bawah.
Basir melakukan upacara manyaki mamalas dengan mengoleskan darah
hewan korban, minyak kelapa, tanah, air dan beras serta tampung tawar. Behas
(beras) Hambaruan diletakkan di atas ubun-ubun kedua mempelai. Upacara itu
bermakna bahwa kedua mempelai disucikan, sehingga dalam menjalani
kehidupan berumah tangga mereka senantiasa sehat, selamat dan memperoleh
rejeki.
Setelah menjalani upacara Hasaki, kedua mempelai makan makanan yang
disebut Panginan Putir Santang, yaitu tujuh gumpal nasi sebagai simbol
penyatuan mereka bahwa mereka sejak hari itu resmi sebagai suami isteri.
Setelah selesai acara makan secara simbolis, kedua mempelai lalu berjalan
menuju ambang pintu rumah untuk melakukan Manukiw (pekikan) sebanyak
tujuh kali di ambang pintu. Maksud pekikan itu adalah untuk membuka pintu
11
langit dan mereka berdua berikrar dihadapan Tuhan bahwa mereka akan
memelihara perkawinan itu untuk selama-lamanya sampai akhir hayat.
Usai acara kedua ini kedua mempelai bersama-sama membacakan surat
perjanjian kawin yang isinya memuat syarat-syarat adat yang diserahkan yakni
Jalan Hadat, sangsi-sangsi dan janji kedua mempelai dalam memelihara
perkawinan dan memuat pula peneguhan para saksi dan ahli waris. Surat itu
kemudian ditandatangani oleh kedua mempelai, saksi, ahli waris dan disaksikan
oleh hadirin.
Dengan selesainya penandatanganan surat perjanjian kawin maka selesai
pulalah rangkaian acara Manyaki Panganten. Kemudian dilanjutkan dengan
acara penanaman pohon Sawang. Acara selanjutnya adalah jamuan makan bagi
para hadirin. Selain itu kedua mempelai (biasa diberi ruang khusus) diberikan
nasehat oleh para orang tua termasuk para Luang, yang mana acara ini disebut
dengan upacara Maningak Panganten.
Jalan Hadat secara umum bermakna sebagai pengikat antara suami istri
yang tidak bisa diputus, karena jika Jalan Hadat tidak dibayarkan, maka tidak
adanya Surat Perjanjian Kawin, dengan demikian tidak adanya sebuah
perkawinan. Dengan adanya isyarat-isyarat adat berupa adanya Jalan Hadat
dalam upacara perkawinan ini merupakan salah satu upaya untuk menunjang
kelestarian sikap moral dalam rangka membangun diri manusia dan menjaga
keharmonisan hidup manusia dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.
Pembayaran dalam Jalan Hadat adalah menuntut pihak pengantin laki-laki
mematuhi norma terhadap keluarga pihak pengantin perempuan dan ikrar untuk
menjaga keutuhan rumah tangga yang akan dibangun yang dilakukan dengan
disaksikan oleh Tuhan Yang Maha Esa yang dalam hal ini dimanifestasikan
dengan Kameluh Putir Santang (dalam ritual agama Kaharingan), para leluhur
dan masyarakat.
12
c. Adat setelah pernikahan
Setelah prosesi acara perkawinan tersebut selesai masih ada beberapa prosesi
perkawinan yang harus dilalui oleh kedua mempelai, yaitu:
1) Maruah Pali
Maruah artinya menghapus atau mengakhiri. Pali berarti tabu atau pantangan.
Jadi yang dimaksud dengan acara Maruah Pali adalah acara yang dilaksanakan sebagai
tanda berakhirnya masa berpantangan bagi kedua mempelai. Karena setelah acara
perkawinan, kedua mempelai harus menjalani masa Pali yaitu masa berpantangan
selama tiga hari atau paling lama tujuh hari sejak hari perkawinan mereka. Pantangan
yang tidak boleh mereka lakukan selama menjalani masa Pali adalah melakukan
hubungan suami istri dan mengadakan perjalanan jauh.
Setelah masa Pali habis, diadakan upacara Maruah Pali bagi kedua penganten
yaitu ditandai dengan pemotongan satu ekor ayam kemudian kedua mempelai di
tampung tawar oleh kedua orang tua. Selanjutnya keduanya diajak berkunjung ke
keluarga wanita.
2) Pakaja Manantu (Penerimaan Menantu)
Upacara ini merupakan upacara menerima menantu oleh kedua orang tua
suaminya. Upacara ini dilakukan di rumah orang tua laki-laki. Upacara ini merupakan
sebagai ungkapan rasa syukur dan bahagia bahwa anak mereka sudah memiliki
pasangan hidup.
Pada upacara inilah orang tua suaminya menyerahkan Batu Kaja yang
merupakan bagian dari Jalan Hadat, sebab pada saat Haluang Hapelek, Batu Kaja ini
hanya disebutkan tetapi tidak diserahkan. Dengan selesainya upacara Pakaja Manantu,
maka selesailah rangkaian upacara yang terkait dengan perkawinan.11
11
Anonim, “Prosesi Pernikahan Adat Dayak Ngaju Kalimantan Tengah”,
https://gpswisataindonesia.info/2017/01/prosesi-pernikahan-adat-dayak-ngaju-kalimantan-tengah-ngaju/,
diakses pada 22 Juli 2020, 2020.
13
proses pelaksanaan ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang maha Esa.
Dalam masyarakat adat Dayak Ngaju upacara perkawinan adat merupakan suatu
pedoman dalam membina kehidupan rumah tangga yang dianggap sakral dan suci yang
selalu dijunjung tinggi keluhurannya yang berasal dari kepercayaan terhadap Tuhan Yang
Maha Esa (Ranying Hatalla Langit).
Nilai-nilai suci dan luhur yang terkandung dalam ajaran tentang perkawinan
memberikan pelajaran yang berharga bagi masyarakat suku Dayak Ngaju dalam menjalani
kehidupan. Karena hakekat perkawinan tidak hanya merupakan dorongan biologis saja, akan
tetapi lebih tinggi lagi yaitu tuntutan psikologis untuk mendapatkan keturunan dan
membangun diri manusia secara utuh. Karena dalam upacara perkawinan memberikan nilai
yang baik yaitu mendidik dalam mewujudkan cita-cita dan kebahagiaan hidup.
Demikian juga halnya dengan pemberlakuan Jalan Hadat dalam perkawinan
masyarakat suku Dayak Ngaju yang inti utamanya adalah bagaimana mengajarkan sikap
moral dalam membentuk rumah tangga atau dalam perkawinan. Sikap dan perilaku yang
baik perlu dipertahankan dan ditingkatkan adalah berkata secara jujur dan bertindak secara
layak dan pantas agar menjadi paradigma moral bagi sesama yang lain, terutama bagi
generasi muda yang belum matang dan masih dalam proses pertumbuhan dan
perkembangan. Dengan kata lain harus ada persesuaian antara perkataan dengan perbuatan.
Dengan mempertahankan hubungan hubungan sosial yang selaras. Diharapkan pula bahwa
mereka selalu berupaya untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu dan perbuatan tercela,
terutama tidak melakukan hubungan seksual di luar nikah agar pelaksanaan upacara sebuah
perkawinan bukan hanya merupakan sebuah simbol saja.
Kewajiban bagi seorang mempelai laki-laki untuk membayar Jalan Hadat bagi
mempelai perempuan dalam perkawinan pada suku Dayak Ngaju juga mencerminkan bahwa
dalam kebudayaan masyarakat Dayak Ngaju perempuan begitu dihormati, sehingga tidak
boleh diperlakukan sembarangan. Dalam memperoleh seorang perempuan sebagai istri,
seorang laki-laki harus mempunyai dan menerapkan nilai-nilai etika moralitas terhadap
perempuan dan keluarganya. Melalui penerapan Jalan Hadat ini kita dididik agar bisa
menghargai, menyayangi dan menghormati orang lain.
14
Penerapan Jalan Hadat dalam upacara perkawinan masyarakat Dayak Ngaju,
sesungguhnya yang menjadi intinya adalah bagaimana sebuah komunikasi yang akan terjalin
antara keluarga luas dari pihak-pihak yang bersangkutan serta menunjang kelestarian sikap
moral dalam rangka membangun diri manusia dan menjaga keharmonisan hidup manusia
dengan Tuhan, sesama dan lingkungan.
15
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Hukum Adat Dayak Ngaju yang diberlakukan di Kalimantan Tengah berpedoman
pada Hukum Adat Tumbang Anoi. Tata aturan adat suku Dayak Ngaju tertuang dalam
Hukum Adat menjadi acuan berbagai peraturan yang tumbuh dan berkembang di kalangan
masyarakat. Sumber hukum adat ini berasal dari berbagai kebiasaan di masyarakat yang
kemudian kemudian dikodifikasikan dan ditaati keberadaannya. Pengaruh dan peranan adat
dalam masyarakat Dayak Ngaju sangat kuat. Suku Dayak Ngaju memiliki filosofi hidup
“Belom Bahadat” artinya hidup beradat. Filosofi ini melandasi seluruh aspek kehidupan
orang Dayak Ngaju.
Perkawinan menurut pandangan orang Dayak Ngaju adalah sesuatu yang luhur dan
suci. Karena itu amatlah tercela kalau perkawinan sampai dicemarkan oleh dan tingkah yang
bersangkutan melakukannya secara tidak bertanggung jawab atau melanggar norma-norma
adat. Jika terjadi pencemaran terhadap hakikat perkawinan, berarti mengotorkan keluhuran
dan kesuciannya maka sanksi atau hukuman tertentu akan dituntut oleh adat.
3.2 Saran
Penulis menyadari banyaknya kekurangan dari penulisan dan pemaparan dalam
makalah ini. Oleh karena itu, dalam penulisan makalah ini penulis sangat mengharapkan
kritik dan saran dari semua pihak pembaca. Bagi para pembaca makalah ini nantinya jangan
hanya jadi bahan bacaan tetapi penulis berharap penulisan makalah ini menjadi inspirasi bagi
pembaca serta untuk lebih digali lagi.
16
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Buku:
Alqadrie, Syarif Ibrahim Alqadrie. 1994. Kebudayaan Dayak; Aktualisasi dan Transformasi
Masyarakat Dayak di Kalimantan Barat. Jakarta: PT Grasindo.
Murhaini. 2017. Singer Sebagai Ujud Tertib Hidup, Damai, dan Keseimbangan di kalangan
Etnis Dayak Ngaju. Jurnal Studi Kultural.
Riwut, Nila. 2003. Maneser Panatau Tatu Hiang. Palangka Raya: Pusakalima.
Riwut, Tjilik. 1993. Kalimantan Membangun Alam dan Kebudayaan. Yogyakarta: PT. Tiara
Wacana Yogya.
Yulia.2016. Buku Ajar Hukum Adat. Palangka Raya: Penerbit Unimal Press.
Sumber Internet:
Kusni, Andriani SJ dan JJ. Kusni. 2010. 96 Pasal Hukum Adat Tumbang Anoi.
https://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2010/04/18/penyeragaman-96-pasal-hukum-adat/.
(22 Juli 2020).
Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No. 15 Tahun 2009 tentang Kelembagaan
Adat Dayak di Kota Palangka Raya.
17
LAMPIRAN CONTOH HUKUM ADAT
1. Pada saat Maja Misek dilakukan musyawarah mufakat antara kedua belah pihak untuk
membahas mengenai Jalan Hadat yang kemudian dibuat Surat Perjanjian Panggul
(peminangan) yang berisi tentang ketentuan denda apabila salah satu pihak menunda
atau bahkan membatalkan peminangan.
2. Perkawinan menurut adat Dayak Ngaju merupakan sesuatu yang luhur/sakral dan suci
yang berasal dari Kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (Ranying Hatalla
Langit) yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat Dayak Ngaju. Jika terjadi
pelanggaran terhadap perjanjian perkawinan maka pelanggar akan mendapatkan
sanksi adat (singer) yang berlaku di daerah tersebut.
3. Hukum Adat Tumbang Anoi yang mengatur Hukum Adat Suku Dayak dan aturan
kehidupan Belom Bahadat yang mengatur kehidupan Suku Dayak.
18