Anda di halaman 1dari 22

Perkawinan Adat Suku Bugis

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Hukum Adat

Pengampu : Luthfiana Zahriani, S.H., M.H.

Disusun Oleh :

1. Muh. Rafiq Pamungkas 202121068


2. Gibayus Naufal A.A.P 202121081
3. Resti Liyawati 212121164
HKI 6C

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAHUNIVERSITAS ISLAM NEGRI RADEN MAS SAID


SURAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur diucapkan kehadirat Allah Swt. atas segala rahmat-Nya sehingga makalah
ini dapat tersusun sampai selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih terhadap bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materi.

Penulis sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan kami berharap lebih jauh lagi agar makalah ini bisa
pembaca praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi kami sebagai penyusun merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman kami. Untuk itu
kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Kartasura, 23 Mei 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...............................................................................................................ii


DAFTAR ISI............................................................................................................................ iii
BAB I ......................................................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
C. Tujuan Makalah........................................................................................................... 2
BAB II........................................................................................................................................ 3
PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3
A. Pengertian Perkawinan ................................................................................................ 3
B. Dasar Hukum Adat ...................................................................................................... 4
B. Pernikahan Adat Suku Bugis ...................................................................................... 6
C. Tahapan Proses Pernikahan Adat Suku Bugis ............................................................ 7
D. Nilai nilai yang terkandung dalam upacara perkawinan suku Bugis ........................ 13
E. Bentuk-Bentuk Perkawinan .......................................................................................... 13
BAB III .................................................................................................................................... 18
PENUTUP................................................................................................................................ 18
Kesimpulan........................................................................................................................... 18
Saran ..................................................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................. 19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Masyarakat Indonesia memiliki satu semboyan yang sangat luar biasa, yakni
Bhinneka Tunggal Ika yang berarti berbeda-beda akan tetapi tetap satu. Semboyan ialah
setidaknya mencerminkan dua halyang sangat mendasar yaitu: Pertama, adanya
kenyataan bahwa masyarakat Indonesia terdiri dari aneka ragam suku bangsa,
agama,budaya, bahasa, dan lain sebagainya, dan Kedua, adanya suatukomitmen
bahwasanya keanekaragaman tersebut membentuk suatu kesatuan yang bulat dan
menunggal yakni masyatakat Indonesia (Yayan Sopyan, 2012: 11). Masyarakat
Indonesia adalah masyarakat yang bersifat majemuk, baik dalam cakupan nasional
maupun daerah.
Kemajemukan itu sifatnya multi dimensional, ada yang ditimbulkan oleh
perbedaan suku, tingkat sosial, pengelompokkan organisasi politik,bahkan melahirkan
akulturasi dan asimilasi budaya di berbagai daerah(Muhammad Rusli, 2012: 243).
Bahkan adat istiadat dalam pernikahan suku Bugis di berbagai daerah telah mengalami
pergeseran nilai seiring perkembangan zamandan Pengaruh era globalisasi. Tanggapan
miring pun tidak terelakkan,namun hal tersebut seharusnya disikapi secara arif dan
bijaksana.Untuk itu, perlu reinterpretasi makna adat pernikahan suku Bugis yang
sesungguhnya, mengambil nilai-nilai baru yang sesuai dengan semangat dan prinsip
adat istiadat suku Bugis.
Kata peminangan berasal dari kata pinang atau meminang (kata kerja).
Meminang sinonimnya ialah melamar, yang dalam bahasa Arab biasa disebut Khitbah.
Menurut etimologi, meminang atau melamarartinya diantara lain ialah meminta wanita
untuk dijadikan istri, sedangkan menurut terminologi, peminangan ialah kegiatan upaya
kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang laki-laki danseorang perempuan
(Abdul Rahman Ghozali, 2008: 74). Dan didalam tradisi masyarakat Bugis.
Peminangan biasa dikenal dengan istilah Madduta atau Massuro, yaitu pihak keluarga
laki-laki mendatangi pihak keluarga perempuan dengan maksud dan tujuan untuk
meminta anak perempuannya menjadikan istri dari keluargapihak laki- laki. Biasanya

1
sebelum melakukan acara Madduta dikenal dengan istilah Mammanumanu yaitu pihak
keluarga laki-laki atau calonmempelai laki-laki melihat-lihat atau memantau dan
mencari informasitentang asal- usul perempuan yang akan dilamar atau
dipinang.Masyarakat pada dasarnya telah menentukan tentang tata cara tertentu untuk
dapat melangsungkan perkawinan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perkawinan?
2. Apa dasar hukum adat?
3. Bagaimana pernikahan adat suku Bugis?
4. Bagaimana tahapan pernikahan adat suku Bugis?
5. Apa nilai yang terkandung dalam upacara perkawinan suku Bugis
6. Bagaimana bentuk perkawinan?

C. Tujuan Makalah
1. Mahasiswa mengetahui pengertian perkawinan.
2. Mahasiswa mengetahui dasar hukum adat.
3. Mahasiswa mengetahui pernikahan adat suku Bugis.
4. Mahasiswa mengetahui nilai dalam upacara adat suku Bugis.
5. Mahasiswa mengetahui bentuk perkawinan.

2
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan
Perkawinan merupakan peristiwa yang paling sakral dialami oleh setiap
manusia, nikah/perkawinan artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara
seorang laki - laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim dan minimbulkan
hak dan kewajiban antara keduanya. Dalam pengertian yang luas, pernikahan adalah
merupakan suatu ikatan lahir antara dua orang, laki-laki dan perempuan, untuk hidup
bersama dalam suatu rumah tangga dan keturunan yang dilangsungkan menurut
ketentuan-ketentuan syari’at Islam.1 Pengertian Perkawinan Secara Umum

Dalam Bahasa Indonesia, “Perkawinan” berasal dari kata “Kawin”, yang menurut
bahasa, artinya membentuk keluarga dengan lawan jenis melakukan hubungan kelamin
atau bersetubuh.1Perkawinan disebut juga “pernikahan”, berasal dari kata nikah yang
menurut bahasa artinya mengumpulkan, saling memasukan, dan digunakan arti bersetubuh
(wathi). Kata “nikah” sendiri sering dipergunakan untuk arti bersetubuh (coitus), juga
untuk arti akad nikah.2Pengertian Perkawinan Menurut Undang-undang Republik
Indonesia No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Pasal 1 adalah ikatan lahir batin
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
yang Maha Esa.2

Menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang tercantum dalam Buku I pada pasal
2 dinyatakan bahwa: “Pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau Mistaqan Ghalizan
untuk menaati perintah Allah dan melaksanakan merupakan ibadah.”3

1
Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. III (Sinar Grafika; Jakarta. 2009), h. 9. Lihat juga
Eman Suparman, Hukum Perkawinan di Indonesia Dalam Perspektif, Islam, Adat, dan BW. Cet. I, (Bandung:
Refika Aditama, 2008), h. 7.
2
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
3
Kompilasi Hukum Islam, Buku I Bab II Pasal 2

3
B. Dasar Hukum Adat
Hukum Nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis,
dan hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan terebut. Menurut
bahasa nikah berarti penyatuan, diartikan sebagai akad atau berhubungan badan.4
Perkawinan yang merupakan sunatullah pada dasarnya adalah mubah tergantung kepada
tingkat maslahatnya. Hukum Islam mengenal lima kategori hukum yang lazim dikenal
dengan sebutan al ahkam al-khamsah (hukum yang lima) yakni: wajib (harus), sunnah atau
mustahab atau tathawwu‟ (anjuran atau dorongan, atau sebaiknya dilakukan), ibahah atau
mubah (kebolehan), karahah atau makruh (kurang atau tidak disukai, sebaiknya
ditinggalkan) dan haram (larangan keras) .

Dasar Hukum Adat Menurut Prof. Otje Salman, tiga syarat untuk menjadikan
kebiasaan sebagai hukum:

a. Diyakini masyarakat sebagai suatu keharusan untuk dilaksanakan (beseef van behoren)
b. Adanya pengakuan dan keyakinan bahwa kebiasaan itu bersifat mengikat dan wajib di
taat(opinio necessitas)
c. Adanya pengukuhan yang dapat berupa pengakuan (erkening) dan atau penguatan
(bekrachtiging), sehingga timbul harapan untuk diletakkan sanksi atas pelanggaran
terhadapnya. Dasar-dasar hukum dari Hukum Adat5, antara lain ialah:
1. Dasar yuridis
Tidak ada satu pasal pun yang mengatur secara positif tentang berlakunya
Hukum Adat, tetapi ada satu aturan peralihan UUD 1945 yang berbunyi: “Segala
badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini” Adapun selanjutnya bahwa peraturan yang
ada sebelum UUD 1945 tersebut antara lain: 24
a) Peraturan dari pemerintah bala tentara jepang untuk jawa dan madura tanggal 7
maret 1942, yaitu UU No. I, dimana pasal 3 nya menyatakan: “Semua badan
pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undangundang dari pemerintah yang
dulu tetap diakui sah untuk sementara waktu asal tidak bertentangan dengan
peraturan pemerintahan militer”

4
Thahir Maloko, Dinamika Hukum Dalam Perkawinan (Cet.I; Alauddin: University Press, 2012), h. 9.
5
Imam Sudiyat, Hukum Adat Sketsa Asas, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 1990), h. 12

4
b) Untuk daerah di luar pulau jawa dan madura dan badan-badan kekuasaan lain
yang tindakan/ tindakan-tindakan tentang hal ini boleh dikatakan sama
c) Pasal 131 Indisehe Staal Regeling (IS) ayat 2 sub b, sebagai dasar untuk
menyelidiki dan sebagai petunjuk pada pembentukan ordonansi bahwa dalam
membentuk ordonansi yang memuat aturan-aturan perdata bagi golongan
pribumi maka hukum adatnya harus dihormati , tapi jika kepentingan umum
atau masyarakat menghendakinya, maka pembentuk ordonansi dapat
menyimpang.

Selama ordonansi yang dimaksud ayat 2 sub b tadi belum ada, sebagai aturan
peralihan dalam ayat 6 pasal 131 IS bahwa apa yang berlaku bagi golongan pribumi
mengenai Hukum Perdata pada saat ini tetap berlaku sepanjang dan selama tidak
diganti dengan ordinansi seperti yang dimaksud pada ayat 2 sub b. Saat yang
dimaksud adalah saat mulai berlakunya pasal 131 IS, untuk itu kita melihat yang
berlaku pada saat ini yaitu pasal 75 RR, ialah: “Hukum adat yang tidak tertulis
berlaku pada golongan pribumi, asalkan tidak bertentangan dengan dasar-dasar
keadilan yang diakui oleh umum.” 25

Dalam literatur dari Suroyo dicantumkan juga dasar hukum berlakunya hukum
adat, yaitu: UU No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman, antara lain dalam:

a) Pasal 23 ayat 1, bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan
dan dasar-dasar putusan itu. Juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili;
b) Pasal 27 ayat 1, bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.
2. Dasar Sosiologis
Hukum adat dalam kenyamanan berlaku dalam masyarakat dan dalam keadaan
yang sama selalu diindahkan. Hukum atau peraturan mempunyai kekuatan
mengikat secara sosiologis apabila hukum atau peraturan itu diikuti oleh
masyarakat. Kekuatan yang diterapkan pleh pemerintah belum tentu mempunyai
kekuatan sosiologis jika pada kenyataan tidak dihiraukan oleh masyarakat,
contohnya : “Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1829 memaksakan

5
kehendaknya dalam memberlakukan Hukum Waris Islam, ditolak karena dalam
kenyataannya maka masyarakat sudah mempunyai hukum warisan sendiri.”
Pasal 15 AB menentukan bahwa kebiasaan tidak merupakan hukum kecuali UU
menunjukkannya. Tapi dalam kenyataan kebasaan-kebiasaan ini merupakan hukum
bagi bangsa indonesia.
3. Dasar Filosofis
a. Hukum adat dapat dirasa memenuhi rasa keadilan masyarakat
b. Pandangan hidup masyarakat adalah Pancasila.

Adapun dasar, Dasar perundang-undangan berlakunya Hukum adat di Indonesia


sejak zaman kolonial hingga sekarang, meliputi:

1. Pasal 11 AB
2. Pasal 75 RR
3. Pasal 131 ayat 2 sub b IS
4. Pasal II aturan peralihan UUD 1945
5. Pasal 192 konstitusi RIS
6. Pasal 142 UUDS 1950
7. Kembali kepada pasal II aturan peralihan UUD 1945
8. UU No. 14 Tahun 1970.6

B. Pernikahan Adat Suku Bugis


Pernikahan memiliki signifikansi yang besar dalam kehidupan manusia. Ini tidak
hanya melibatkan calon pengantin pria dan wanita, tetapi juga melibatkan orang tua dari
kedua belah pihak, saudara-saudara mereka, dan bahkan keluarga mereka secara
keseluruhan. Banyak orang mengenal Suku Bugis, juga dikenal sebagai Orang Bugis, yang
memiliki tradisi budaya uang Panai. Di dalam masyarakat Bugis, uang Panai telah menjadi
simbol adat perkawinan dan memainkan peran penting dalam rangkaian acara pernikahan.
Bahkan dapat dikatakan bahwa pernikahan Bugis tidak dapat dilakukan tanpa adanya uang
Panai. Selain itu, sebagian besar biaya pernikahan ditanggung oleh pihak laki-laki. Uang
Panai berfungsi sebagai alat ekonomi yang menyebabkan pergeseran kekayaan, karena
nilai uang Panai yang diberikan cukup tinggi. Secara sosial, wanita memiliki kedudukan
yang tinggi dan dihormati. Secara keseluruhan, uang Panai merupakan hadiah yang

6
Ucok Wajah, Dasar-dasar Hukum Adat, Official website of Ucok Wajah
http://Dasardasarilmuhukum.blogspot.com/2016/12/dasar-dasar-hukum-dari-hukumadat.html?m=1 ( 15
november 2018)

6
diberikan oleh calon pengantin pria kepada calon istrinya untuk memenuhi kebutuhan
pernikahan. Ada lima tahapan utama dalam proses pernikahan masyarakat Bugis yaitu;
pelamaran, pertunangan, pernikahan, pesta pernikahan, dan petemuan resmi berikutnya.7

Adat pemberian uang panaik diadopsi dari adat pernikahan suku bugis asli. Budaya
Uang panaik bermakna pemberian uang dari pihak keluarga calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai wanita dengan tujuan sebagai penghormatan.

C. Tahapan Proses Pernikahan Adat Suku Bugis


Tahapan proses pernikahan telah mengalami beberapa perubahan dalam
pelaksanaannya, tetapi nilai-nilai prinsipil yang terkandung dalam setiap upacara adat
masih tetap dijaga. Untuk memberikan penjelasan yang lebih rinci, tahapan tersebut dapat
dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu: pranikah, upacara pernikahan, dan pasca
pernikahan.

a. Tahapan Pra Nikah


Tahapan pra nikah ini pada dasarnya dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu; tahap
peminangan dan persiapan akad nikah.
1. Tahapan Peminangan

Dalam tradisi pernikahan masyarakat Bugis, terdapat banyak tahapan


pendahuluan yang harus dilalui sebelum pesta perkawinan (Mappabotting)
dilaksanakan. Jika seorang pria tidak dijodohkan sejak kecil atau sebelum lahir,
keluarganya akan mulai mencari pasangan yang dianggap cocok untuknya. Bagi
keluarga bangsawan, garis keturunan baik pria maupun wanita akan diselidiki
dengan seksama untuk memastikan kesesuaian status kebangsawanan mereka.
Penting bagi calon pengantin pria untuk tidak memiliki tingkat derajat sosial yang
lebih rendah daripada calon pengantin wanita yang akan dinikahi.

Melamar atau maddūta (dalam bahasa Bugis) adalah proses di mana


seseorang meminta seorang wanita untuk menjadi istri. Peminangan merupakan
langkah awal dari rangkaian pernikahan yang dijalankan dengan cara yang normal,
beradab, beradat, dan sesuai dengan agama. Peminangan terdiri dari serangkaian
kegiatan yang sistematis dan berurutan. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi

7
Susan Bolyard Millar, Perkawinan Bugis; Refleksi Status Sosial dan Budaya di Baliknya, (Makassar: Ininnawa,
2009), h. 85.

7
Mattiro (mencari tahu keberadaan calon mempelai wanita), Mappesek-pesek
(menjalin hubungan dekat dengan keluarga calon mempelai wanita), Mammanuk-
manuk (memberikan hadiah sebagai tanda keseriusan niat), Maddūta/Massūro
(melamar secara resmi), dan Mappetu ada atau mappasiarekeng (mengatur tanggal
pernikahan).8 Setelah anak yang bersangkutan telah menetukan calonnya, maka
pikah keluarga melakukan penyelidikan yang dalam bahasa Bugis disebut
mappesek-pesek.9

a) Mappesek-pesek (penjajakan)

Mappesek-pesek adalah langkah awal di mana pihak laki-laki


melakukan pendekatan awal terhadap wanita yang akan dilamarnya dengan
bertanya apakah ada orang lain yang telah melamar kepadanya sebelumnya.
Dalam bahasa Bugis, ini disebut "De'togaga Taroi". Mappesek-pesek biasanya
dilakukan oleh utusan dari pihak laki-laki, yang bisa berupa satu orang atau
lebih, baik laki-laki maupun perempuan dari keluarga dekat yang dapat menjaga
kerahasiaan. Hal ini dilakukan agar jika upaya ini tidak berhasil, tidak mudah
diketahui oleh orang lain yang mungkin dapat menimbulkan rasa malu (siri)
bagi pihak laki-laki.

Dalam kegiatan mappesek-pesek, utusan khusus dari pihak laki-laki


menyembunyikan niatnya sebagai tamu, mereka hanya bertanya tentang
keluarga pihak perempuan dan memperhatikan cara berbicara dan bertutur
keluarga perempuan, terutama kepada anak perempuan yang akan dilamar.
Setelah orang tua pihak perempuan mengetahui niat dari utusan pihak laki-laki,
mereka tidak langsung menerima atau menolak, tetapi biasanya meminta waktu
untuk berunding dan bermusyawarah dengan keluarganya, terutama dengan
anak perempuannya. Pada kunjungan kedua, orang tua pihak perempuan
menyampaikan hasil musyawarah dengan keluarganya bahwa mereka menerima
niat baik tersebut. Kemudian, pihak laki-laki meminta waktu untuk mengirim
utusan secara resmi guna membicarakan segala hal yang terkait dengan
pelaksanaan pernikahan yang akan datang.

8
Andi Nurnaga N, Adat-Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis. (Ujungpandang: CV. Telaga Zamzam, 2001), h.
18
9
Nonci, Upacara Adat Istiadat Masyarakat Sulawesi Selatan, (Makassar: Karya Mandiri Jaya, 2016), h. 11

8
b) Maddūta/Massūro (Melamar)
Maddūta atau melamar adalah kelanjutan dari pada tahap pertama
(mapesek-pesek) dengan mengutus orang yang dituakan dari pihak laki-laki ke
rumah pihak perempuan untuk menyampaikan amanah dan menyatakan
lamarannya secara resmi. pada upacara maddūta (lamaran) menyiapkan
beberapa macam makanan ringan yang terdiri atas kue-kue tradisional Bugis,
seperti; (1) sikaporo, (2) bolu peca, (3) katirisa‟lang, (4) bingka, (5) biji nangka
(6) sanggara, (7) doko-doko utti (8) lamé-lamé, (9) onde-onde, (10) cicuru tello,
(11) jompo-jompo, (12) cicuru te'ne, dll.
Proses pelamaran berlangsung lancar. Niat baik dari To Maddūta
berhasil menjalin dan menyatukan kedua keluarga, dan akhirnya To Riaddutai
menerima dan mengamini maksud kedatangan tersebut dengan menjawab, "Ko
makkoitu adatta, sorokni tangngakka, nakutangnga tokki" (Artinya: Jika tuan
berkehendak demikian, kembalilah, pelajarilah kami, dan kami akan
mempelajari tuan). Setelah penerimaan niat To Maddūta, pembicaraan
selanjutnya adalah pembicaraan yang santai tentang kondisi keluarga masing-
masing. Pihak keluarga To Riaddutai menerima sirih, pinang sebagai tanda
persetujuan dari pihak keluarga To Maddūta.
Jika kesepakatan telah dicapai, tahapan proses "maddūta" selesai, dan
proses selanjutnya disebut Mappettu Ada atau mappasiarekeng (dalam bahasa
Bugis). Biasanya, pembicaraan langsung dilanjutkan dari Maddūta ke proses
Mappettu Ada. Tujuannya adalah untuk mempersingkat waktu, namun banyak
yang menentukan waktu yang berbeda pada hari lain untuk menyampaikannya
kepada seluruh keluarga. Hal ini dilakukan untuk memberitahukan kepada
seluruh anggota keluarga bahwa proses menuju pernikahan sudah berjalan
dengan serius dari kedua belah pihak keluarga.10
c) Mappasiarekeng
Kata mapasiarekeng, artinya mengikat dengan kuat. Upacara ini biasa
pula disebut mappettu āda maksudnya pada waktu ini antara kedua belah pihak
(pihak perempuan dan pihak laki-laki) bersama mengikat janji yang kuat atas
kesepakatan pembicaraan yang dirintis sebelumnya. Untuk melaksanakan suatu

10
Muhammad Rusli, “Reinterpretasi Adat Pernikahan Bugis Sidrap Sulawesi Selatan”, dalam Jurnal adat
pernikahan bugis, Volume 20 No. 2/12/2012, h. 243

9
perkawinan, selalu ada upacara mappasiarēkeng karena upacara maddūta masih
dianggap belum resmi sebagai suatu ikatan dari kesepakatan kedua belah pihak.
Adapun acara maddūta tersebut diibaratkan suatu benda belum diikat, belum
disimpul atau masih bersifat benda yang dibalut “nappai ribalebbe Bugis”
(Bugis), masih dapat terbuka. Oleh karena itu, dalam upacara mappasiarēkeng,
diadakan janji yang kuat antara kedua belah pihak.
Setelah perlengkapan tersebut diserahkan kepada pihak perempuan dan
seserahan tersebut diterima, barulah acara mappetu āda dimulai dengan dipandu
oleh pembawa acara yang telah ditentukan, sebab sudah menjadi tradisi dalam
masyarakat Bugis pada acara mappettu āda dilangsungkan dialog antara pihak
laki-laki dan pihak perempuan. Dialog tersebut biasanya dimulai oleh pihak
perempuan sebagai tuan rumah dan dibalas oleh pihak laki-laki.
2. Tahap persiapan perkawinan
Tahap persiapan akad nikah atau esso kawingeng meliputi empat tahap, yaitu:
Massarapo, madduppa, Mandi majang, dan Tudang penni.11
a) Mappaisseng atau memberi kabar
Setelah prosesi peminangan telah selesai dan menghasilkan
kesepakatan, maka kedua pihak keluarga calon mempelai akan
menyampaikan kabar mengenai perkawinan ini.
b) Mattampa/Mappalettu selleng (mengundang)
Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari proses sebelumnya yaitu
mappaisseng, dan biasanya pihak keluarga calon mempelai akan
mengundang seluruh sanak saudara dan handai taulan. Undangan tertulis ini
dilaksanakan kira-kira 15 atau 2 minggu sebelum resepsi perkawinan
berlangsung.
c) Mappatettong sarapo/Baruga
Untuk menampung undangan keluarga dan undangan resmi, sebelum
pesta pernikahan berlangsung, dibuatlah bangunan tambahan di samping, di
muka, atau di belakang rumah. Kegiatan itu disebut massompung bola atau
massarapo (Bugis). Bahkan ada yang membangun tenda tersendiri di
halaman rumahnya. Gedung itu disebut baruga. Bangunan itu diberi pagar
bambu yang oleh orang bugis disebut walasuji. Di tengah-tengah bangunan

11
Onta, Lusiana. 2013. Adat Pernikahan Suku Bugis. Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo. Hal. 4

10
itu didirikan lamming yang merupakan tempat duduk pengantin bersama
pengiringnya. Tempat itu penuh dengan hiasan yang beraneka bentuk dan
warnanya.
d) Ma‟dio Majang atau Cemmé Passiling‟
Ma‟dio Majang (mandi kembang), merupakan ritual yang dilakukan
oleh pihak perempuan pada pagi atau sore hari sehari sebelum akad nikah
dilangsungkan, biasanya Ma‟dio Majang dilakukan dengan menggunakan
gumbang yang terbuat dari tanah liat berisi air yang telah dicampurkan
beberapa bahan, adapun bahan yang digunakan dalam Ma‟dio Majang adalah
sebagai berikut; Bunga pinang (najang) atau Bunga kelapa, Daun sirih, Kayu
manis, Buah kemiri dan, Tunas kelapa 1 buah, sebagai simbol agar kedua
belah pihak memiliki umur yang panjang.
e) Tudang penni atau Mappacci
Upacara mappacci merupakan salah satu ritual dalam prosesi pernikahan
dengan menggunakan daun pacar yang melambangkan kesucian. Menjelang
pernikahan diadakan malam pacar atau wenni mapacci (Bugis) yang artinya
malam mensucikan diri dengan meletakkan tumbukan daun pacar ke tangan
calon mempelai. Melaksanakan upacara mappacci ini berarti calon mempelai
telah siap dengan hati yang suci serta ikhlas untuk memasuki bahtera rumah
tangga, dengan membersihkan segalanya, termasuk : Mappaccing Ati
(bersihkan hati), mappaccing nawa-nawa ( bersih fikiran), mappaccing
paggaukeng (bersih tingkah laku/perbuatan), mappaccing ateka (bersihkan
itikat).12
3. Akad Nikah atau Esso akawingeng
Upacara akad nikah juga memiliki beberapa rangkaian acara yang tidak kalah
pentingnya, yaitu; madduppa botting, mappenre botting, akad nikah, dan
mappasikarawa. Untuk lebih jelasnya, setiap tahap tersebut akan diuraikan sebagai
berikut:
1) Mappenre Botting
Mappenre Botting adalah mengantar pengantin laki-laki ke pengantin
wanita untuk melaksanakan upacara akad nikah.

Fatmawati, Dkk. Islamic Values At The Mappacci Stage In Patampanua District, Pinrang Regency, Jurnal Kajian
12

Manajemen Dakwah (Pare-Pare), Volume 3, Nomor 1, 2020.

11
2) Akad Nikah
Acara inti akad nikah adalah pengucapan ijab dan kabul atau penyerahan
dan penerimaan, yakni penyerahan tanggung jawab untuk mengurus,
melayani, menjaga, memimpin, dan melindungi seorang perempuan yang
masih bujangan dari walinya kepada seorang lakilaki yang menikahinya dan
disaksikan oleh dua orang saksi.
3) Mappasikārawa
Mappasikarawa adalah suatu proses penting yang terjadi dalam upacara
pernikahan masyarakat Bugis Parepare. Proses ini melibatkan pertemuan
antara mempelai pria dan calon pasangannya (istri) di lokasi khusus, yang
kemudian diikuti dengan berbagai perilaku atau tradisi khusus oleh orang-
orang tertentu. Tujuan dari mappasikarawa adalah untuk memberikan harapan
agar pasangan pengantin tersebut dapat mencapai kebahagiaan, kedamaian,
keselamatan, dan kesejahteraan dalam perjalanan mereka menjalani kehidupan
berumah tangga. Proses ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari
pernikahan masyarakat Bugis Parepare.13
4. Upacara Sesudah Akad Nikah
Setelah seluruh rangkaian akad nikah dilaksanakan, maka prosesi selanjutnya
yang tidak kalah pentingnya adalah:
1. Mapparola
Acara ini juga merupakan prosesi penting dalam rangkaian adat
perkawinan masyarakat Bugis Parepare, yaitu kunjungan balasan dari pihak
perempuan kepada pihak lak-laki.
2. Marola wekka dua/Mabbekkadua
Pada marola wekka dua ini, mempelai perempuan biasanya hanya
bermalam satu malam saja dan sebelum matahari terbit kedua mempelai
kembali ke rumah mempelai perempuan.
3. Ziarah kubur
Banyak pihak mengatakan bahwa ziarah kubur bukanlah merupakan
rangkaian dalam upacara perkawinan, namun sampai saat ini kegiatan tersebut
masih sangat sering dilakukan karena merupakan tradisi atau adat kebiasaan

Tarwiyani, Tri. 2012. Nilai-nilai Hukum dalam Masyarakat Bugis-Makassar. Junta' Filsafat Vol. 22, Nomor 3,
13

Desember.

12
bagi masyarakat Bugis, yaitu lima hari atau seminggu setelah kedua belah
pihak melaksanakan upacara perkawinan.
4. Cemmé-cemmé atau mandi-mandi
Sudah menjadi tradisi bagi masyarakat Bugis bahwa setelah upacara
perkawinan yang banyak menguras tenaga dan pemikiran maka rombongan dari
kedua belah pihak pergi mandi-mandi atau rekreasi di suatu tempat untuk
menghilangkan kelelahan.

D. Nilai nilai yang terkandung dalam upacara perkawinan suku Bugis


Nilai yang terkandung yaitu diantaranya adalah:

1) Sakralitas: nilai ini terlihat jelas dari pelaksanaanberbagai macam ritual khusus seperti
mandi tolak bala, pembacaan barazanji, mappacci, dan lain sebagainya, ritual tersebut
dianggap sacral oleh orang bugis makassar dan bertujuan untuk memohon keselamtan
kepada Allah SWT.
2) Penghargaan terhadap kaum perempuan. Nilai ini terlihat pad keberadaan proses
peminangan yang harus dilakukan oleh mempelai pria, hal ini menunjukkan suatu
upaya untuk menghargai kaum perempuan dengan meminta restu dari kedua orang
tuannya.
3) Kekerbatan, bagi orang bugis makassar perkawinanbukan hanya sekedar menyatukan
dua insan, tetapi lebih kepada menyatukan dua keluarga besar.
4) Gotong royong, nilai ini terlihat pada pelaksanaan pesta perkawinan yang melibatkan
kaum kerabat dan para tetangga, mereka tidak saja memberikan bantuan berupa pikiran
dan tenaga, tetapi juga dana untuk membiayai pesta tersebut.
5) Status sosial, perkawinan adat suku bugis bukan sekedar perjamuan biasa, tetapi lebih
kepada meningkatkan status sosial, semakin meriah sebuah pesta maka semakin tinggi
status sosial seseorang, oleh karena itu tak jarang pesta perkawinan sebagai ajang
meningkatkan status sosial mereka.

E. Bentuk-Bentuk Perkawinan
a. Perkawinan dengan peminangan
Bentuk perkawinan dengan peminangan ini berlaku umum baik dari golongan
bangsawan maupun dari golongan biasa. Hanya golongan bangsawan banyak melalui
proses-proses dan upacara-upacara adat tertentu. Apabila telah terjadi kesepakatan
dalam peminangan, maka hubungan kedua calon pengaantin ini disebut abbayuang

13
atau bertunangan. Cara perkawinan dengan peminangan ini adalah suatu cara adat
untuk menjamin terciptanya keluarga yang diterima umum dalam lingkungan
keluarga maupun masyarakat.14

b. Perkawinan dengan “Annyala”.


Annyala berarti berbuat salah, dalam hal ini berbuat salah terhadap adat
perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari. Dengan peristiwa itu, maka
timbullah ketegangan dalam masyarakat, terutama keluarga gadis yang lari atau
dibawa lari.15 Sebab umum daripada peristiwa annyala ini ialah karna yang
bersangkutan tidak dapat melakukan syarat-syarat terlaksananya perkawinan adat
sehinggah mereka berusaha melakukan perkawinan diluar tata cara perkawinan adat
dengan jalan annyala. Bila Tu-Mannyala telah berada dirumah salah satu pemuka
masyarakat (dalam hal ini imam atau kadhi), maka menjadi kewajiban baginya untuk
segera menikahkan tu-mannyala. Selanjutnya setelah imam atau kadhi mengawinkan
Tu-Mannyalatadi bukanlah berarti bahwa ketegangan dalam masyarakat telah pulih
karna peristiwa adatnya belum selesai. Hubungan angtara tu-masirik dengan Tu-
Mannyala sebagai tuappakasirik tetap tegang, dan dendam tu-masirikakan terus
berlangsung selama Tu-Mannyala belum abbajik artinya damai. Annyala ada
beberapa macam:
• Silariang berarti sama-sama lari, jadi terjadinya adalah karena kehendak
bersama setelah mengadakan mufakat secara rahasia. Kemudian
menetapkan waktu untuk bersama menuju rumah penghulu adat (imam atau
kadhi) meminta perlindungan dan selanjutnya untuk dinikahkan. Adapun
sebab-sebab khusus terjadinya silariang adalah:
a. Karena sigadis telah mempunyai tambatan hati dengan seorang lelaki,
lalu ia akan dikawinkan dengan seseorang yang tidak dicintainya yang
merupakan suatu paksaan baginya.
b. Keduanya telah salin cinta mencintai, akan tetapi lelaki tidak mampu
untuk melaksanakan tuntutan pihak keluarga gadisnya

14
Dinas Kebudayaan dan Parawisata.....Hlm. 27
15
Ibid, Hlm 28

14
c. Karena perbedaan tingkatan/ derajat keduanya telah saling cinta
mencintai, menyadari bahwa walaupun sang pemuda akan melamar
tetapi lamaranya pasti tak akan diterima.16
• Nilariang
Nilarian berati dilarikan. Si laki-laki secara paksa membawa si gadis
kerumah penghulu adat (dalam hal ini imam atau kadhi) meminta perlindungan
untuk dinikahkan. Sebab-sebab khusus terjadinya nilariang ialah:
1) Pinangan ditolak oleh pihak keluarga perempuan sedangkan mereka dalam
hubungan siratang. Penolakan pinangan dianggap sebagai suatu penghinaan
besar bagi yang meminang, sehinggah sehinggah silelaki nekad dan
memperlihatkan kekuatanya untuk dapat menutupi aib yang terjadi pada
keluarganya.
2) Penghinaan langsung dari gadis yang bersangkutan, misalnya sigadis
meluda tanda benci sewaktu dipandang oleh si lelaki.17
3) Erangkale Erangkale artinya membawa diri. Perkawinan terjadi karena
perempuan itu sendiri datang pada pihak lelaki untuk minta dikawini atau
kerumah penghulu adat untuk meminta dikawinkan dengan lelaki yang
tertentu yang dipilihnya. Sebab-sebab terjadinya Erangkale ialah:
1. Karena pangngisengang(guna-guna), hal ini bisa terjadibila pemuda itu
dihina baik oleh gadis itu sendiri maupun oleh keluarga gadis itu dan
pemuda/ laki-laki itu tak dapat melarikan gadis itu secara paksa, maka
ia melakukanya secara gaib dengan pangngisengang(guna-guna).
2. Karena sigadis telah melakukan hubungan rahasia sehinggah ia hamil
atau dituduh melakukan hubungan gelap dengan seorang lelaki,
sehinggah tak ada jalan lain baginya kecuali mendatangi laki-laki tadi
untuk dikawini.
3. Menghindari kawin paksa, sehinggah sigadis mendatangi pemuda
idamanya untuk minta dikawini. Dengan uraian diatas jelaslah alasan-
alasan yang menyebabkan terjadinya annyala yang merupakan suatu
masalah yang menenimbulkan ketegangan di dalam masyarakat.

16
Ibid, Hlm 29
17
Ibid, Hlm 30

15
Tiap Tu-Mannyala mempunyai niat kembali appala Bajik agar ia dapat
hidup tidak tersisih dari keluarganya untuk selamanya. Oleh karena itu, bila si
Tu-mannyalamampu dan berkesempatan untuk abbajik (berdamai) ia lalu minta
bantuan kepada penghulu adat tempat ia minta perlindungan dahulu. Lalu
diutuslah seseorang untuk menyampaikan maksud appala bajik (meminta
damai) kepada keluarga/ tu-masirik yang selanjutnya menghubungi keluarga tu-
masirik agar berkeinginan menerima kembali tu-tallasana(orang mati yang
masih hidup)
Dalam hubungan ini keluarga tu-masirikmenyampaikan pada sanak
keluarganya tentang maksud kedatangan tu-mannyala appala bajik (orang yang
bersalah meminta perbaikan/ berdamai). Bila seluruh keluarga berkenaan
menerima kembali tu-mannyala tersebut, maka hal ini akan disampaikan kepada
yang mengurus, selanjutnya pada pihak tu-mannyala.
Si tu-mannyala menyediakan sunrang (mas kawin) sesuai dengan aturan
sunrang menurut ketentuan sunrang wanita tersebut sebagaimana halnya dalam
perkawinan adat. Selain sunrang, tu-mannyala juga menyediakan pappasala
(denda karena berbuat salah). Pappasala dengan sunrang dimasukkan dalam
sebuah tempat yang disebut kampu, disertai “leko’sikampu”(sirih pinang dalam
kampu).
Suatu proses yang menyebabkan perkawinan selain yang telah
diuraikan , ialah yang disebut dalam bahasa Makassar nipakatianang (hamil
sebelum nikah). Kawin secara adat terlaksana apabila kehamilan siperempuan
belum tersebar, baru diketahui oleh ibu dan kerabat wanita. Ibu yang terdekat
sehinggah mereka berusaha secara rahasia berhubungan dengan keluarga si
lelaki agar dalam tempo singkat perkawinan dapat dilangsungkan melalui
prosedur yang biasa. Kedua bela pihak berusaha melindungi rahasia demi nama
baik kedua keluarga.
Bilamana jalan pertama (kawin secara adat)gagal, maka terjadilah suatu
prosedur yang sama dengan annyala, dalam hubungan ini keadaan perempuan
lebih menyedihkan kalau silelaki tidak bertanggun jawab/ menghilang. Si
perempuan yang berlindung kepada imam atau kadhi dengan seorang laki-laki
yang sifatnya darurat. Lelaki yang menikahi seorang perempuan karena terlebi
dahulu hamil yang sebelumnya tidak ada hubungan di sebut pa’tongko sirik
(kawin penutup malu). Si perempuan yang bernasib sial ini oleh orang tuanya/
16
kerabatnya “niammateami”. Adapun anak yang dilahirkan kemudian disebut
anak bule (anak haram jadah). Anak yang demikian bila hidup sampai besar
sangat sulit kedudukanya dalam masyarat, karna seola-olah anak bule itulah
yang menanggung segala konsekuensinya atau kesalahan dan dosa daripada ibu
dan lelaki yang bertanggun jawab itu.18

18
Hamid, Abu, et. al. Siri & Pesse’- Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja. Makassar: Pustaka
Refleksi, 2005.

17
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan
Perkawinan merupakan peristiwa yang paling sakral dialami oleh setiap manusia,
nikah/perkawinan artinya suatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki
- laki dan seorang perempuan yang bukan muhrim dan minimbulkan hak dan kewajiban
antara keduanya. Hukum Nikah (perkawinan), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara
manusia dengan sesamanya yang menyangkut penyaluran kebutuhan biologis antar jenis, dan
hak serta kewajiban yang berhubungan dengan akibat perkawinan terebut. Menurut bahasa
nikah berarti penyatuan, diartikan sebagai akad atau berhubungan badan. Banyak orang
mengenal Suku Bugis, juga dikenal sebagai Orang Bugis, yang memiliki tradisi budaya uang
Panai. Di dalam masyarakat Bugis, uang Panai telah menjadi simbol adat perkawinan dan
memainkan peran penting dalam rangkaian acara pernikahan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
pernikahan Bugis tidak dapat dilakukan tanpa adanya uang Panai. Selain itu, sebagian besar
biaya pernikahan ditanggung oleh pihak laki-laki. Uang Panai berfungsi sebagai alat ekonomi
yang menyebabkan pergeseran kekayaan, karena nilai uang Panai yang diberikan cukup tinggi.
Secara sosial, wanita memiliki kedudukan yang tinggi dan dihormati.

Saran
Pernikahan merupakan suatu hal yang diimpikan oleh semua orang, namun pada setiap
suku, ras, agama dan budaya mempunyai adat sendiri dan tidak dapat disamakan. Jadi lebih
baik b akita untuk saling menghargai adat istiadat suku bangsa lain agar tidak menimbulkan
hal-hal yang tidak diinginkan.

18
DAFTAR PUSTAKA

Dinas Kebudayaan dan Parawisata


Fatmawati, dkk. 2020. Islamic Values At The Mappacci Stage In Patampanua District.
Pinrang Regency. Jurnal Kajian Manajemen Dakwah (Pare-Pare). Volume 3. Nomor
1.
Hamid, Abu. 2005. et. al. Siri & Pesse’- Harga Diri Manusia Bugis, Makassar, Mandar, Toraja.
(Makassar: Pustaka Refleksi).
http://Dasardasarilmuhukum.blogspot.com/2016/12/dasar-dasar-hukum-dari hukumadat.html
(15 november 2018)
Kompilasi Hukum Islam. Buku I Bab II Pasal 2
Millar, Susan Bolyard. 2009. Perkawinan Bugis; Refleksi Status Sosial dan Budaya di
Baliknya. (Makassar: Ininnawa)
N, Andi Nurnaga. 2001. Adat-Istiadat Pernikahan Masyarakat Bugis. (Ujungpandang: CV.
Telaga Zamzam).
Nonci. 2016.Upacara Adat Istiadat Masyarakat Sulawesi Selatan. (Makassar: Karya Mandiri
Jaya)
Onta, Lusiana. 2013. Adat Pernikahan Suku Bugis. Gorontalo. Universitas Negeri Gorontalo.

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


Rusli, Muhammad. 2012. “Reinterpretasi Adat Pernikahan Bugis Sidrap Sulawesi Selatan”,
dalam Jurnal adat pernikahan bugis. Volume 20 No. 2.
Sudiyat, Imam. 1990. Hukum Adat Sketsa Asas. (Bandung : PT Citra Aditya Bakti).
Suparman, Eman. 2008. Hukum Perkawinan di Indonesia Dalam Perspektif, Islam, Adat, dan
BW. Cet. I, (Bandung: Refika Aditama)
Tarwiyani, Tri. 2012. Nilai-nilai Hukum dalam Masyarakat Bugis-Makassar. Junta' Filsafat
Vol. 22. Nomor 3.
Thahir Maloko, 2012. Dinamika Hukum Dalam Perkawinan (Cet.I; Alauddin: University
Press)
Ucok Wajah. Dasar-dasar Hukum Adat. Official website of Ucok Wajah
Zainuddin Ali, 2009. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Cet. III (Sinar Grafika; Jakarta).

19

Anda mungkin juga menyukai