Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

BENTUK TAHAPAN PERKAWINAN YANG ADA DALAM MASYARAKAT ACEH


DAN TAHAPAN PERKAWINAN YANG ADA DI ACEH GAYO

DOSEN PENGAMPU : Dr. Zulfiani,S.H, M.H

Disusun oleh:

MUTIA (210203012)

PRODI AKUNTANSI

FAKUKTAS EKONOMI

UNIVERSITAS SAMUDRA

LANGSA

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis senantiasa penjatkan kepada tuhan yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan judul
“Tahapan Perkawinan Masyarakat Aceh” dan dapat menyelesaikan makalah ini.

Makalah ini membahas tentang adat dan budaya Aceh dalam perkawinan dan bentuk-
bentuk perkawinan Aceh Gayo. Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, untuk itu kiranya pembaca diharapkan bisa memberikan kritik dan saran yang
sifatnya membangun semangat saya dan diharapkan sebagai umpan balik yang positif. Akhir
kata penulis berharap agar makalah ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Langsa, 30 Mei 2022


Penulis

MUTIA
NIM 210203012

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... i

DAFTAR ISI .................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1

B. Tujuan .......................................................................................... 1

BAB II ............................................................................................................ 2

A. Upacara Adat Perkawinan Dalam Masyarakat Aceh ................. 2

B. Bentuk-bentk Pernikahan Gayo ................................................... 7

BAB III .......................................................................................................... 8

Kesimpulan ...................................................................................... 10

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Perkawinan adalan perjanjian suci(sakral) berdasarkan agama antara suami dengan


istri berdasarkan hukum agama untuk mencapai suatu niat, satu tujuan, satu hak dan satu
kewajiban seumur semati. Tahap perkawinan di Aceh dimulai dari cah ret/keumaloen,
meulekee/meminang, ranub kong,ghatib, ranub gaca, intat lintoe baro, woe sikureung, dan
tueng dara baro. Sedangkan macam-macam bentuk perkawinan gayo yaitu kawin ango atau
juele, kawin angkap, dan kawin kuso kini.

Adat perkawinan Aceh, melamar seorang gadis akan dilakukan oleh seorang yang
dianggap bijak oleh pihak laki-laki, biasanya disebut selangkeu(perentara). Seulangke akan
menyelidiki status gadis tersebut, jika memang masih sendiri (belum menikah), seulengke
akan mencoba melamar gasid tersebut.

B. Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah adat
budaya Aceh yang diberikan oleh dosen saya, ibu Dr. Zulfiani S.H, M.H.dan tujuan
berikutnya adalah sebagai sumber informasi yang saya harapkan bermanfaat dan dapat
menambah wawasan saya dan pembaca.

1
BAB II

A. UPACARA ADAT PERKAWINAN DALAM MASYARAKAT ACEH

1. pengertian perkawinan

Bahasa perkawinan di artikan sebagai menghimpun dua orang menjdi satu. Melalui
bersatunya dua insan manusia yang awalnya hidup sendiri, dalam konteks sekarang sering
disebut pasangan hidup. Berdasarkan Undang-Undang Nomor Tahun 1974 Pasal 1
perkawinan yaitu: “Ikatan lahir batin antara seseorang pria dan wanita (suami istri)
bertujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan abadi berdasarkan ketuhanan”1

Dalam KHI juga menjelaskan tentang dasar dari suatu perkawinan, hal itu terdapat
pada Bab 11, Pasal 2, yaitu :” perkawinan Mitsaaqan dalam islam adalah sebuah akad yang
sangat kuat (gholidan) untuk menaati sertamelaksanakan perintah Allah adalah suatu
ibadah”.2 Sedangkan menurut hukum adat perkawinan merupakan suatu bentuk hidup
bersama guna membentuk suatu rumah tangga yang diakui perkumpulan adat. Hukum ini
merupakan hukum asli masyarakat Indonesia yang sangat dihargai, karenanya masih
dipertahankan hingga saat ini. 3

2. kriteria memasuki perkawinan

Konsep dasar pola fikir masyarakat Aceh tentang perkawinan lebih banyak tertuju
kepada pihak laki-laki dibandingkan dengan wanitanya. Di karenakan pihak laki-laki
dianggap sebagai kepala rumah tangga. Dalam menbina rumah tangga ada beberapa syarat
atau kriteria yang harus di penuhi oleh sesorang laki-laki dan wanitanya.

Adapun syarat atau kriteria seorang laki-laki dan wanita dalam memasuku masa
kawin adalah:

1. Laki-laki atau wanitanya sudah cukup umur (balig)

2. Beragama islam

3. Pandai membaca Al-quran

1
TinuK Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan, (Malang: UMM PRESS, 2020), hal. 2
2
Ibid, hal. 20
3
Ibid, hal.22

2
4. Dapat mengerjakan sholat lima waktu

5. Berkepribadian yang sopan

6. Sikufu (setingkat) seketurunan.

Rasulullah SAW menganjurkan apabila menghendaki perkawinan maka haruslah


mencari yang benar-benar kuat dan kokoh dalam menjalankan keagamaan. Adapun
sabda Rasullulah yang artinya,”Wanita itu boleh dikawinkan dengan hartanya,
keturunannya, kecantikannya, keturunannya, dan keagamaannya, tentu akan
menengkan kedua tanganmu”. (HR. Bukhari dan muslim). Dalam hal ini Allah juga
berfirman yang artinya,”laki-laki adalah pengatur (pemimpin) atas kaum
wanitanya”(Qs. An-Nisa ayat 34)

7. Mencari jodoh yang ideal (pah), biasanya sering digunakan dalam kitab Tanjuk
meulok dan dilihat berdasarkan huruf yang terdiri dari nama laki-laki dan perempuan.

8. Meramal berdasarkan tubuh manusia, misal: gigi jarang pertanda orang tersebut
pendusta, tahi lalat di atas bibir pertanda nyiyir, wanita berambut panjang pertanda
setia pada suami, tubuh agak jangkung dan genting pinggang,lebar dahi, besar lubang
hidung pertanda kuat biologosnya dalan lain-lain.

3. Tahapan-Tahapan dalam perkawinan

Selain dari kriteria dalam masyarakat Aceh juga masih dijumpai beberapa aktivitas-
aktivitas upacara sekitar perkawinan yang ada dalam masyarakat Aceh seperti :

a. Cah Reut/Keumalean/Teumanyong(membuka jalan)

Merupakan suatu proses pembuka jalan, melihat atau bertanya, yang ditugaskan pada
seseorang yang sangat dipeercaya guna mengetahui perihal calon mempelai perempuan yang
akan dipersunting oleh keluarga mempelai pria. Kedatangan pihak yang dipercaya ini adalah
langsung mendatangi keluarga calon mempelai wanita, atau ada juga medatangi kerumah
laninnya dari mempelai wanita atau medatangi para jiran / tetangga,guna mengetahui baik
silsilah keluarga calon mempelai wanita, sikap, tingkah laku, pendidikan ataupun
menanyakan apakah calon mempelai wanita yang sedang dicari itu telah ada yang

3
melamarnya. Bila telah ada kesesuaian dan calon mempelai wanita tersebut masih belum ada
yang melamar, maka dilanjutkan dengan acara berikutnya. 4

b. Meulake atau Melamar

Orang yang dipercaya tadi ataupun orang lain yang ditugaskan untuk melakukan
pelamaran / meminang, di Aceh disebut dengan seulangke / teulangke yakni perantara dalam
menyelesaikan beerbagai kepentingan diantara pihak linto baro dengan pihak dara baro,orang
yang dianggap arif dan bijaksana serta berwibawa, lagi pula mengetahui, memahami benar
seluk belum adat perkawinan serta adat istiadat pada umumnya. 5

Pada waktu yang telah disepkati maka seulangke kembali mendatangi keluarga calon dara
baro dengan membawa sirih dalam cerana (ranub batu), serta penganan ringan, maka
dilakukan pembicaraan untuk kelanjutan pinangan yang dari pihak linto baro. Setelah
keluarga caon dara baro memusyawarahkan dengan seluruh wali karong, maka hasil
disampaikan pada seulangke, yang prinsipnya tersebut segera disampaikan pada keluarga
linto baro, termasuk penentuan hari pertunangan (Ranub Kong Haba).

c. Mee Ranub Peukong Haba/ Tunangan

Pelaksanaan acara ini telah melibatkan keuchik, imum, tuha adat dan pihak keluarga, baik
pihak linto baro maupun dara baro. Pda pelaksanaaan acara mee ranub ini pihak linto baro
membawa sirih/ ranub kong haba, serta sejumlah barang bawaan (bungong jaro) serta
membawa ikatan berupa emas yang jumlahnya terserah pada kemampuan. Dalam hukum adat
perkawinan kebiasaannya pemeberian tanda ikatan ini adalah hidup, maksudnya bila pihak
linto baro yang memutuskan hubungan, maka tanda ikatan ini hidup, maksudnya bila pihak
linto baro yang memutuskan hubungan maka tanda ikatan ini akan hangus, tapi pihak dara
baro yang memutuskan hubungan, maka tanda ikatan akan hangun dana harus dibayar
duakali lipat. Pada pertemuan ini juga ditentukan kapan untuk pelaksanaan acara akad nikah
(Meughatib). Semua kegiatan baik cah, meulakee maupun mee ranup kebiasaannya
dilaksanakan dengan penyampaian menggunakan nadam, pantun, petatah/petitih dalam
bahasa Aceh.6

4
Majelis Adat Aceh Kota Langsa, Mengenal Adat / Istiadat &Peradilan Adat Aceh Untuk Memotivasi
Kehidupan Di Era Globalisasi, (Kota Langsa: MAA Kota Langsa, 2010, Hal.5)
5
Ibid,hal. 6
6
Ibid,hal. 6
4
d. Ghatib / pernikahan

Kedua keluarga baik pihak linto baro maupun dara baro mempersiapkan diri untuk
menghadapi saat penting dalan acara akad nikah (Ghatib) sesuai dengan hukum adat istiadat
yang berlaku. Acara akad nikah biasanya dilakukan dirumah kediaman keluarga calon dara
baro, biasa juga di meunasah/ masjid maupun kantor urusan agama kecamatan (KUA).
Pelaksanaan akad nikah di pimpin langsung oleh kepala kantor urusan agama setempat dan
dihadiri pihak keluarga, undangan, keucik,imum, serta saksi-saksi serta wali nikah.
Sebelumpelaksanaan akad nikah seluruh mahar (jelamee) yang telah disepakati harus
diserahkan terlebih dahulu. Setalah itu baru dilanjutkan dengan acara pernikahan,setelah
khotbah nikah/ nasehat perkawinan diserahkan buku nikah kepada kedua mempelai,
kemudian dilanjutkan dengan pembacaan doa. Setelah itu dilanjutkan salam takzim kedua
mempelai pada kedua orang tuanya serta pada yang hadir di ruangan tersebut. Akad nikah
wajib hukumnya, ijab dan qabul menjadi intinya. 7

e. Intat Ranub Gaca (ber-inai)

Sebelum acara intat linto (wo linto baro) dilaksanakan maka terlebih dahulu
dilaksanakan intat ranub gaca oleh pihak linto baro. Biasanya pada acara intat ranub gaca ini
dibawa juga berbagai sirih adat didalam talam yang tertutup dengan tudung saji (sangge)
yang dibalut dengan kain warna warni dan juga ada bawaan berupa makanan ringan (sirih
tersebut biasanya diletakkan dalam talam ataupun cerana).

Masing-masing talam berisi ranub yang terdiri dari tiga macam:

1. ranub batee ( sirih yang dibalut dengan daun pisang yang telah dilayu).

2. ranub meususon (sirih yang dibuat seperti bentuk piramida dan dicucuk dengan bunga
cengkeh, bungong lawang).

3. ranub meuikat biasa (ranub pureh)

Disamping itu juga ada talam yang berisikan buah-buahan (boh kayee, pisang) dan
daun inai/gaca, acara mengantar ranub gaca ini biasanya hanya dilakukanoeleh tetua adat,
ataupun pihak keluarga. Malam berinai (boh gaca) ini dilaksanakan dalam suasana gembira
dihadiri oleh tetua adat, gadis remaja dana keluarga kedua pihak.

7
Ibid, hal. 7

5
Waktu boh gaca, dara baro didudukkan diatas tilam/tikar duduk (tika duek). Untuk
memulai berinai didahului dengan upacara basmallah dan dilanjukan dengan selawah kepada
rasulullah SAW. Yang pertama membubuhkan dengan gaca adalah seseorang yang dituakan,
dilanjutkan dengan ibu laninnya sampai selesai dan penuhlah telapak tangan dan jari tangan
serta telapak kaki diberi ukiran-ukiran berbagai bentuk bunga yang indah penuh nilai seninya.

f. intat linto baro ( antar penganti laki-laki)

persiapan-persiapan yabf akan dilaksanakan:

1. pengadaan bahan pakaian yang diisi dalam talam (dalong) dan hiasan seindah
mungkin, ditutup dengan tudung saji (sangee), agar isinya tidak terlihat

2. peralatan kosmetik

3. kelapa yang di lason (u meulason),ini kemurnian hasil upaya yang nantinya akan
dinikmati dan dialami bersama dalam hidup berumah tangga.

4. U timoh (bibit kelapa yang baru tumbuh) ini pertanda siap bersama berupaya
menuju hidup baru dan berjuang bersama menuju kesejahteraan bersama dengan
bermanfaan untuk generasi yang akan datang.

5. Peurakan (rumah adat aceh), yang didalamnya diisi dengan bahan makanan
kering, buah-buahan, limun/sirup,gula, kopi, teh dan lain-lain menurut kebiasaan
setempat.

6. Teubee meu on (tebu yang masih berdaun), ini pertanda sangat merasa senang
dalam menempuh hidup baru, saling sayang menyayangi serta todak ada paksaan.

7. Kue-kue khas Aceh seperti meusekat, (merupakan ulee hidang), dodoi, wajek,
bhoi(bolu ikan), keukarah dalan lain-lain, biasanya ditempatkan dalam talam
tersendiri serta tertutup dengan sangee, jumlah talam biasanya juga ganjil.

Linto baro dengan berpakaian adat Aceh lengkap dengan kupiah meukeutop, ija
songket dan rencong, turun bersama dengan rombonganyang diikuti dengan keuchik, imum,
tetua adat, pihak keluarga dengan kerabat menuju rumah dara baro.

Dalam perjalanan biasanya diiringan dengan shelawat Nabi, dan tepat didepan pintu
gerbang rumah dara baro, ucapan shelawat itu dihentikan. Selanjutnya dilakukan salam
bersambut yang disampaikan dengan bernazam, bersyair atau berpantun, oleh tetua kedua
6
belah pihak. Kemudian linto baro disambut dengan ranub lampuan. Setelah berakhirnya
tarian ranub lampuan, maka linto bergerak ke pintu rumah, selanjutnya linto baro harus
menginjak terlur ayam, seteha itu kakinya dibersihkan dengan air dara baro.

Adat menginjak telur ini merupakan suatu perlambangan dan seumpeuna, agar dalam
mendayung rumah tangga dapat memecahkan setia masalah dengan mudah dan berhasil.
Kemudian kedua mempelai diempatkan pada tempat yang telah ditentukan, untuk makan
bersama, kedua mempelai makan dalam satu piring khas (pingan meugaki,pingan meututop)
atau dalam satu piring yang diletakkan diatas dalong dengan lauk pauk yang istimewa.
Setelah itu kedua mempelai didudukkan dipelamin untuk melaksanakan acara setah
terimaoleh kedua belah pihak, yang dipercaya pada tetua adat dan kemudian diakhiri dengan
cara tepung tawar/ peusijuk. 8

g. Woe Sikureueng

Pada malam kedua setelah antar linto, linto baro bersama teman-temannya beberapa
orang balik lagi kerumah dara baro. Dengan menbawa buah tangan kebiasaan ini terdapat di
beberapa tempat di Aceh.Biasanya woe sikureung berlaku untuk malam ketiga, kelima,
ketujuh dan kesembilanyaitu malam-malam ganjil setelah presesi antar lintoe baro. Dengan
menbawa barang-barang bawaan sesuai dengan kemampuan pihak lintoe baro.

h. Tueng dara baro

Upacara terakhir daro prosesi perkawinan masyarakat Aceh adalah tueng dara baro
yaitu kebalikan dari wo linto yang merupakan penyambutan dara baro di kediaman linto baro,
yang diantar dan diiringi oleh seluruh keluarga besar, kari kerabat, handai tolan, teman-teman
dan masyarakat kampung sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.Upacara ini dimulai
dengan memberikan aneka kuedan penukaran sirih oleh orang tua kedua belah pihak. Tiba di
gerbang pintu, dara baro disambut dengan ditaburi breuh pade (beras padi), bungong rampo
(bunga rampai) dan on sesijuek (daun sebagai tepung tawar). Kemudian dilanjutkan dengan
sungkem kepada ibu linto dara baro dan penyerahan periasan oleh pihak linto baro. Setelah
itu dara baro menginap selama tujuh hari dikediaman linto baro kemudian kembali kepada
orang tau dengan dibekali makanan, busana, dan uang tambahan. Dara baro memakai pakaian
adat lengkap dengan segala pernak-perniknya dan berbagai perhiasan termasuk jeulame (
maskawin) yang dibawa linto baro. Rombongan dara baro membawa berbagai macam
8
Ibid, hal. 8

7
hidangan peunajoh atau kue-kue adat. Wadah hidangan yang dikembalikan itu ialah yang
dibawa pada upacara perkawinan oleh rombongan linto baro, Cuma sudah isinya, baroe. 9

B. Bentuk- Bentuk Pernikahan Gayo

Perkawinan dalam adat Gayo mempunyai arti yang sangat penting terhadap sistem
kekerabatan karena masyarakat Gayo menganut sistem Perkawinan exogami (perkawinan
antar belah). Menurut adat masyarakat Gayo perkawinan dengan sistem endogami (kawin
satu belah) menjadi larangan atau pantangan karena sesama klen masih dianggap masih
memiliki ikatan persaudaraan atau ikatan darah. Dengan demikian akan memudahkan
hubungan genealogis antara satu kampung dengan kampung lainnya. Ada tiga macam jenis
perkawinan yang terdapat dalam masyarakat Gayo yaitu Kawin ango atau jeulen, kawin
angkap dan kawin kuso kini. 10

1. kawin ango atau kawin juele

Kawin ango atau juelen adalah bentuk perkawinan yang mengharuskan pihak calon
suami seakan-akan membeli wanita yang akan dijadikan istri. Setelah dibeli, maka istri
menjadi belah suami. Jika pada suatu ketika terjadi cere banci (cerai perselisihan), si istri
menjadi ulak kemulak (kembali ke belah asalnya). Mantan istri dapat membawa kembali
harta tempah (harta pemberian orang tuanya) dan demikian pula harta sekarat (harta dari hasil
usaha bersama). Namun jika terjadi cere kasih (cerai mati), tidak menyebabkan perubahan
status (belah) bagi keduanya. Sebagai contoh misalnya, jika suami meninggal, maka belah
suami berkewajiban untuk mencarikan jodoh mantan istrinya tadi dengan salah seorang
kerabat yang terdekat dengan almarhum suaminya. Apabila yang meninggal itu tidak
mempunayi anak, maka pihak yang ditinggalkan berhak mengembalikan harta tempah kepada
belah asal harta itu. Jika yang meninggal itu ada keturunan, maka harta tempah itumenjadi
milik anak keturunannya.11

9
Yuliza, Adat Perkawinan Masyarakat Aceh, Al-Mahabbats Jurnal Peneliti Sosial Agama,5 No 1,
2002, Hal. 13,Tersedia Di: Https://Ejurnal.Iainlhokseumawe.Ac.Id/Index.Php/Al-
Mabhats/Article/View/807/534. Di Akses Pada Tanggal 29 Mei 2022, Pukul 18:50
10
Devi Erawati,Studi Mengenal Pelaksanaan Perkawinan Angkap Pada Masyarakat Gayo Di
Kampung Aceh Tengah Dengan Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Hal. 5
11
Ibid,hal. 5

8
2. Kawin Angkap

Kawin angkap adalah bentuk perkawinan yang memiliki ketentuan-ketentuan yang


harus ditaati.Pihak laki-laki (suami) ditarik ke dalam belah istri. Perkawinan angkap ini
dapat dibedakan menjadi dua macam angkap, yaitu angkap nasap dan angkap sementara.
Pada perkawinan angkap nasap menyebabkan suami kehilangan belahnya, karena telah
ditarik ke dalam belah istrinya. Jika terjadi perceraian karena cere banci (cerai
perselisihan) dalam kawin angkap nasap ini, menyebabkan terjadinya perubahan status
suaminya karena suami harus kembali ke belah asalnya, dan tidak diperbolehkan
membawa harta tempah, kecuali harta sekarat. Namun jika terjadi cere kasih, misalnya
istri meninggal, maka mantan suaminya tetap tinggal dalam belah istrinya. Pada suatu
ketika, saat mantan suami tersebut akan dikawinkan kembali oleh belah istrinya dengan
salah seorang anggota kerabat istrinya. Jika yang meninggal itu adalah suaminya, maka
istrinya pada belah asalnya. Namun jika yang meninggal tersebut mempunyai keturunan,
maka harta tempah peninggalannya jatuh ketangan anak keturunannya. Kawin angkap
sementara pada masyarakat Gayo juga disebut dengan angkap edet. Seorang suami dalam
waktu tertentu menetap

Kawin kuso kini adala suatu bentuk perkawinan yang memberi kebebasa kepada
suami istri untuk memilih dalam belah istrinya sesuai dengan perjanjian saat dilakukan
peminangan. Status sementara itu tetap berlangsung terus selama suami belum mampu
memenuhi semua persyaratan yang telah ditetapkan waktu peminangannya.Jika terjadi
perceraian dalam bentuk cere banci, suami akan kembali kedalam pihak belahnya, dan
harta sekarat akan dibagi-bagi, jika syarat-syarat angkap sementara telah dipenuhi oleh
suami, sedangkan harta tempah, misalnya istri meninggal, maka suami tidak akan berubah
statusnya sampai masa perjanjian angkap selesai. Oleh karena itu, menjadi kewajiban
belah istrinya untuk mengawinkan kembali dengan salah seorang kerabatnya. 12

3. Kawin Kuso Kini

Tempat tinggal dalam belah suami atau beah istri. Pada kawin kuso kini, suami
istri dapat menetap pada keluarga atau mandiri pada rumah dan pekerjaan mereka sendiri
tetpi tetap memandang dana membantu keluarga kedua belah pihak dengan baik. 13

12
Ibid, hal.6
13
Ibid, hal.7
9
BAB III

Kesimpulan

Bahasa perkawinan di artikan sebagai menghimpun dua orang menjdi satu


menurut hukum adat perkawinan merupakan suatu bentuk hidup bersama guna
membentuk suatu rumah tangga yang diakui perkumpulan adat. Hukum ini merupakan
hukum asli.

Adapun syarat atau kriteria seorang laki-laki dan wanita dalam memasuku masa
kawin adalah:

1. Laki-laki atau wanitanya sudah cukup umur (balig)

2. Beragama islam
3. Pandai membaca Al-quran

4. Dapat mengerjakan sholat lima waktu


5. Berkepribadian yang sopan

6. Sikufu (setingkat) seketurunan.


7. Mencari jodoh yang ideal (pah),
8. Meramal berdasarkan tubuh manusia,

Tahapan dalam perkawinan adat Aceh:

1. Cah reut

2. Meulake atau melamar


3. Mee ranub peukeng haba (tunangan)

4. Gatib (pernikahan)
5. Intat ranub gaca

6. Woe sikureung
7. Tueng dara baro

Bentuk-bentuk pernikahan Aceh Gayo yaitu kawin ango/juelen, kawin angkap, dan
kawin kuso kini.

10
DAFTAR PUSTAKA

TinuK Dwi Cahyani, Hukum Perkawinan, (Malang: UMM PRESS, 2020)

Majelis Adat Aceh Kota Langsa, Mengenal Adat / Istiadat &Peradilan Adat Aceh Untuk Memotivasi
Kehidupan Di Era Globalisasi, (Kota Langsa: MAA Kota Langsa, 2010).

Yuliza, Adat Perkawinan Masyarakat Aceh, Al-Mahabbats Jurnal Peneliti Sosial Agama,5 No 1, 2002, Hal.
13,Tersedia Di: Https://Ejurnal.Iainlhokseumawe.Ac.Id/Index.Php/Al-
Mabhats/Article/View/807/534.

Devi Erawati,Studi Mengenal Pelaksanaan Perkawinan Angkap Pada Masyarakat Gayo Di Kampung Aceh
Tengah Dengan Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,

11

Anda mungkin juga menyukai