“KAFA’AH”
Disusun oleh :
FAKULTAS TARBIYAH
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT, tuhan
semesta alam yang mencurahkan banyak sekali nikmat kepada seluruh hamba-Nya di
dunia ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Rasul
Muhammad SAW yang telah memperjuangkan agama islam yang rahmatan lil
‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam).
Kelompok 2
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR...............................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan ...........................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Kafa’ah.........................................................................................3
B. Dasar Hukum Kafa’ah....................................................................................4
C. Tujuan Kafa’ah...............................................................................................5
D. Hukum Kafa’ah..............................................................................................6
E. Hak Atas Kafa’ah...........................................................................................6
F. Ukuran Kafaah...............................................................................................7
G. Kedudukan Kafa’ah Dalam Pernikahan.........................................................11
A. Kesimpulan....................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................14
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman dahulu hingga sekarang pernikahan merupakan kebutuhan manusia.
Oleh karena itu, pernikahan merupakan masalah yang besar dibicarakan dikalangan
masyarakat. Pernikahan juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dan luas baik
dalam hubungan kekeluargaan atau juga di kalangan masyarakat pada umumnya.
Banyak sekali hikmah yang terdapat didalamnya diantara hikmahnya ialah terjaga
dari kejahatan seksual dan menghalanagi mata dari hal yang dilarang oleh syara’.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari kafa’ah?
2. Dasar hukum kafaáh?
3. Tujuan kafaáh?
4. Bagaimana hukum kafa’ah?
5. Hak atas kafaáh?
6. Ukuran kafaáh ?
7. Kedudukan kafaáh dalam pernikahan ?
1
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kafa’ah.
2. Mengetahui dasar hukum dari kafaáh
3. Mengetahui tujuan dari kafaáh
4. Mengetahui hukum dari kafa’ah.
5. Mengetahui ha katas kafaáh
6. Mengetahui ukuran kafaáh
7. Mengetahui kedudukan kafaáh dalam pernikahan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah berasal dari bahasa Arab ء كفيyang berarti sama atau setara. Kata ini
merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al-Qur’an
dengan arti “sama” atau setara. Sedangkan Ensiklopedi Islam dan Kamus Fikih Islam
memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kafa’ah atau kufu’ yakni memiliki arti
sebanding, setaraf, seimbang, keserasian atau kesesuaian.
Yang dimaksud dengan kafa'ah atau kufu' dalam perkawinan, menurut istilah
hukum Islam, yaitu "keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan." Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya. sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta
kekayaan.
Sedangkan menurut sumber lain menyatakan bahwa yang diamaksud kufu’ dalam
perkawinan adalah laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan,
setara dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam ahklak serta kekayaan. Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah adanya keseimbangan, keharmonisan dan keserasian,
terutama dalam hal agama yaitu ahklak dan ibadah. Persoalan kafa’ah dalam
perkawinan menjadi salah satu faktor penting dalam rangka membinan keserasian
kehidupan suami istri. Posisi yang setara antara pasangan suami istri diharapkan
mampu meminimalisir perselisihan yang berakibat fatal bagi kelanggengan hubungan
rumah tangga. Sehingga dengan adanya kafa’ah (kesederajatan), maka tidak ada
peluang untuk saling merendahkan.
Namun para ulama Imam Madzhab berbeda pendapat dalam memberi pengertian
kafaah dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran kafaah
yang mereka gunakan. Menurut ulama Hanafiyah, kafaah adalah persamaan laki-laki
3
dengan perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai ketakwaan dan
harta.4 Dan menurut ulama Malikiyah, kafaah adalah persamaan laki-laki dengan
perempuan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh seorang
perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.
1. Riwayat dari Ali Ibn Abi Thalib RA, bahwasanya Rasulullah saw bersabda
kepadanya,
ؤا (رواهTدت كفTرة واالمي اذا وجTازة اذا حضTالة اذا اتت واِلنTؤخر الصTة التTيا علي ثالث
)البيهق
1
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A (2003). Fiqih Munakahat.
4
)ختريوا لنطفكم فأنكحوا اال اكفاء وانكحوا اليهم (رواه ابن ماجو
Atsar dari Umar Ibn Al-Khaththab RA. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang
dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-
orang yang sekufu.2 (AhmadMuzakki & Himami Hafshawati, 2021)
C. TUJUAN KAFAÁH
Untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram diperlukan
adanya kafaah (keseimbangan dalam perkawinan), karena masalah kafaah ini sangat
penting dalam masalah rumah tangga. Agar antara calon suamiistri tersebut ada
keseimbangan dalam membina keluarga yang tentram dan bahagia. Jika di antara
keduanya sudah ada keseimbangan dan kecocokan, maka akan mudah bagi mereka
untuk mewujudkan tujuan perkawinan.
5
kegoncangan dalam rumah tangga, karena tidak ada kecocokan (keseimbangan) di
antara keduanya.
D. HUKUM KAFAÁH
Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang Artinya: “Sungguh saya
akan mencegah perkawinan perempuan-perempuan bangsawan kecuali kawin
dengan laki-laki yang sekufu”.
Demikianlah pandangan ulama tentang kafa’ah. Satu hal yang perlu ditekankan
meskipun kafa’ah bukan salah satu rukun atau syarat sahnya pernikahan, namun
kafa’ah merupakan sebuah ikhtiar dalam rangka mewujudkan sebuah rumah tangga
yang ideal dalam bingkai mawaddah warahmah.
Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi wanita dan para
wali. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang wanita dengan laki-laki yang
tidak sekufu, kecuali dengan kerelaan wanita itu sendiri dan juga para wali yang
lainnya. [Jika seorang wanita dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka
terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan itu bathil
(tidak sah). Pendapat kedua mengatakan bahwa pernikahan itu tetap sah tetapi wanita
itu kemudian boleh memilih antara melanjutkan pernikahan atau menuntut cerai].
6
Para ulama Syafi’iyah berkata, “Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] yang
memegang perwalian harta”. Imam Ahmad – dalam sebuah riwayat – berkata,
“Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] seluruh wali : yang dekat ataupun yang
jauh. Siapapun diantara para wali itu tidak rela maka berhak melakukan fasakh.
Dalam riwayat yang lain, Imam Ahmad berkata, “Kafaah merupakan hak Allah.
Meskipun si wanita dan seluruh walinya rela dengan ketidaksekufuan, maka kerelaan
mereka semuanya tidaklah sah”. Namun riwayat ini didasarkan pada pengertian
bahwa kafaah hanyalah dalam hal din, tidak dalam hal yang lain.
F. UKURAN KAFAÁH
Masalah kafa'ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup
yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya.
Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah
dengan perempuan yang berderajat tinggi.
7
Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan
yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir
sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan
laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak
seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu,
ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari pihak perempuannya. Akan tetapi
jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti ia tidak
kufu' dengan perempuan yang shalihah. Bagi perempuan shalihah jika dikawinkan
oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh
orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.
Ibnu Rusyd berkata: Di kalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa
apabila seorang gadis. dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar
(pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak
perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan
antara keduanya. Begitu pula halnya apabila seorang gadis dikawinkan dengan
pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata
talak.
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqaha juga berbeda pendapat tentang
faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa'ah atau tidak.
Begitu pula tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari
cacat ('aib).
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan
hamba sahaya Arab, dan mengenai hal ini ia beralasan dengan firman Allah:
sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu...
Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh
kawin dengan hamba sahaya lelaki. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya
8
berpendapatbahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy,
dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Perbedaan
pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka
tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi SAW yang teksnya:
ِ فَالفَرْ بِ َذا، َو َمالِهَا َو َح َسبِهَاTتُن َك ُح ْال َمرْ َأةُ لِ َد ْينِهَا َوحْ َمالِهَا
ت الدِّي ِن
Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang
dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi SAW di
atas (... maka carilah wanita yang taat beragama).
Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat,
mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa'ah.
Kalangan mazhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan
(pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya.
9
Jika kita melihat pada Al-Quran dan As-Sunnah ditinjau dari segi insaniyah,
manusia itu sama seperti tersebut dalam Al-Hujurat ayat 13:
يَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوالتَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم شعُوبًا َوقَبَاِئ َل لِتَ َعا َرفُوا ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم.
(١٣ :)الحجرات
Dalam pada itu juga adanya sabda Nabi SAW yang berbunyi:
َأَلفَضْ َل لِ َع َربِي َعلَى ْع َج ِم ٌّي ِإاَّل بِالتَّ ْق َوى،َان ْال ُم ْش ِط ْال َوا ِح ِد
ِ النَّاسُ َس َوا ِسيَةُ َكا َسن.
Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang
Arab atas orang Ajam (bukan Arab), kecuali dengan takwa.
Melihat arti umum ayat dan hadits di atas, manusia sama derajatnya, hanya
takwalah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, bukan seperti
kebangsawanan dan kebangsaan ataupun kecantikan..
Namun demikian, karena mempunyai keinginan yang berlainan, sehingga ada hal
yang menimbulkan dorongan untuk berumah tangga, seperti disebutkan oleh hadits
Nabi:
10
Dalam masalah perkawinan yang termasuk sunnah Nabi dan membina keluarga
sejahtera itu faktor agama yang seharusnya menjadi titik beratnya, untuk
mendapatkan derajat berbahagia dalam berumah tangga. 3
b) Apabila seorang wanita tidak dapat bertindak atas nama hukum seperti anak
kecil, atau orang gila, yang dinikahkan walinya dengan seseorang yang tidak
3
Muhammad Ibnu Sahroji. dkk Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Al-Maktabah Al-Syamilah,
Kitab Al-Nikah bab Al-Akfa‟ fi AlDiin. Hadis nomor. 470.
4
V.A.R.Barao, R.C.Coata, J.A.Shibli, M.Bertolini, & J.G.S.Souza. (2022). MAKNA KAFAAH
MENURUT PANDANGAN PARA KIAI KAMPUNG DI DESA GANDUKEPUH
KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PONOROGO. In Braz Dent J. (Vol. 33, Issue 1).
11
sekufu, maka perkawinannya fasid (rusak). Sebab menikahkan wanita dengan
orang yang tidak sekufu tidak membawa kemaslahatan sama sekali.
c) Apabila bapak wanita dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu buruk,
maka ia menikahkan wanita yang belum dewasa dengan seseorang yang tidak
sekufu, pernikahan dinyatakan batal.
Ibn Hazm juga berpendapat kafa’ah tidak penting dalam perkawinan, menurutnya
antara orang islam yang satu dengan orang Islam yang lainnya adalah sama (sekufu).
Semua orang Islam asal saja dia tidak pernah berzina maka ia berhak kawin dengan
semua wanita muslimah asal tidak tergolong perempuan lacur, dan semua semua
orang Islam adalah bersaudara. Dan ulama’ lain seperti al-Hasan al-Basri, sufyan al-
Tsauri, dan Abu Hasan Ubaydillah ibn Hasan al-Karkhi (Mazhab Hanāfī)
berpendapat, bahwa kafa’ah bukanlah menjadi faktor penting dalam suatu pernikahan
dan tidak termasuk syarat sah pernikahan itu.
Jadi menurut segolongan ulama’ berpendapat bahwa kufu‟ itu faktor yang perlu
diperhatikan. Hanya yang menjadi ukuran ialah keteguhan beragama dan akhlak,
bukan nasab, usaha, kekayaan, ataupun sesuatu yang lain. Laki-laki yang shalih,
sekalipun bukan dari keturunan yang terpandang, ia boleh mengawini perempuan
mana pun, dan laki-laki dengan pekerjaan yang dipandang rendah boleh kawin
dengan wanita yang berpengaruh lagi tersohor, asalkan laki-laki tersebut dapat
berkomitmen dalam agamanya.
Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami atau istri, tetapi tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Karena ketika dalam sebuah perkawinan
terdapat ketidak seimbangan antara calon suami dan calon istri, maka akan banyak
menimbulkan kemadzaratan kedepannya, dan hal tersebut tidak akan pernah sesuai
dengan tujuan perkawinan Islam sebenarnya seperti yang tertuang dalam UU No. 1
tahun 1974 yakni, “membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
13
Kafaáh adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan
Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya. sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.
14
DAFTAR PUSTAKA
15