Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“KAFA’AH”

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqih Munakahat

Dosen Pengampu 1 : Dr. Jamaludin, M.Ag

Dosen Pengampu 2 : Moh Yusuf S.. Jamal, M.Ag

Disusun oleh :

Gustian Wardana 2121005


Ayuningtias Rahayu 2121039

Hilna Janita 2121008


Silvia nur Khalifah 2121051
Jamil 2121024

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH

INSTITUT AGAMA ISLAM LATIFAH MUBAROKIYAH

PONDOK PESANTREN SURYALAYA

TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kepada Allah SWT, tuhan
semesta alam yang mencurahkan banyak sekali nikmat kepada seluruh hamba-Nya di
dunia ini. Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Baginda Rasul
Muhammad SAW yang telah memperjuangkan agama islam yang rahmatan lil
‘alamin (menjadi rahmat bagi seluruh alam).

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Allah SWT yang dengan rahmat-


Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Juga kepada semua pihak
yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberi bantuan berupa
material, non material, maupun motivasi dalam penyelesaian penulisan makalah ini.
Makalah ini berisi materi tentang kafa’ah. Harapan penulis, makalah ini bisa menjadi
bahan referensi bagi pembaca untuk memahami materi tentang khitbah.

Manusia tentunya tidak pernah luput dari kesalahan, sehingga sangat


dimungkinkan dalam makalah ini masih terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak
penulis sadari. Oleh karenanya, kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
tunggudalam kaitannya untuk perbaikan dari makalah ini maupun bagi penulis.

Tasikmalaya, 22 maret 2023

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................i

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah..........................................................................................1
C. Tujuan ...........................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kafa’ah.........................................................................................3
B. Dasar Hukum Kafa’ah....................................................................................4
C. Tujuan Kafa’ah...............................................................................................5
D. Hukum Kafa’ah..............................................................................................6
E. Hak Atas Kafa’ah...........................................................................................6
F. Ukuran Kafaah...............................................................................................7
G. Kedudukan Kafa’ah Dalam Pernikahan.........................................................11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman dahulu hingga sekarang pernikahan merupakan kebutuhan manusia.
Oleh karena itu, pernikahan merupakan masalah yang besar dibicarakan dikalangan
masyarakat. Pernikahan juga mempunyai pengaruh yang sangat besar dan luas baik
dalam hubungan kekeluargaan atau juga di kalangan masyarakat pada umumnya.
Banyak sekali hikmah yang terdapat didalamnya diantara hikmahnya ialah terjaga
dari kejahatan seksual dan menghalanagi mata dari hal yang dilarang oleh syara’.

Dalam islam setiap memulai pernikahan dianjurkan untuk meminang atau


mengkhitbah terlebih dahulu. Peminangan bertujuan salah satunya ialah mengetahui
diantara calon pasangan mempunyai keseimbangan atau kafa’ah. Kebiasaan yang
terjadi dalam menilai kafa’ah dikalangan masyarakat ini sangat relatif, karena dasar
dan pedoman bukan berdasarkan hukum islam. Namun, pada prakteknya dasar
pedoman yang dipakai adalah berdasarkan hukum adat kebiaasaan hukum setempat.

Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai permasalahan yang terdapat


dalam pembahasan kafa’ah karena merupakan bagian dari urusan fiqih.

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian dari kafa’ah?
2. Dasar hukum kafaáh?
3. Tujuan kafaáh?
4. Bagaimana hukum kafa’ah?
5. Hak atas kafaáh?
6. Ukuran kafaáh ?
7. Kedudukan kafaáh dalam pernikahan ?

1
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian kafa’ah.
2. Mengetahui dasar hukum dari kafaáh
3. Mengetahui tujuan dari kafaáh
4. Mengetahui hukum dari kafa’ah.
5. Mengetahui ha katas kafaáh
6. Mengetahui ukuran kafaáh
7. Mengetahui kedudukan kafaáh dalam pernikahan

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kafa’ah

Kafa’ah berasal dari bahasa Arab ‫ ء كفي‬yang berarti sama atau setara. Kata ini
merupakan kata yang terpakai dalam bahasa Arab dan terdapat dalam al-Qur’an
dengan arti “sama” atau setara. Sedangkan Ensiklopedi Islam dan Kamus Fikih Islam
memiliki kesamaan dalam mendefinisikan kafa’ah atau kufu’ yakni memiliki arti
sebanding, setaraf, seimbang, keserasian atau kesesuaian.

Yang dimaksud dengan kafa'ah atau kufu' dalam perkawinan, menurut istilah
hukum Islam, yaitu "keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan
perkawinan." Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya. sama dalam
kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta
kekayaan.

Sedangkan menurut sumber lain menyatakan bahwa yang diamaksud kufu’ dalam
perkawinan adalah laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan,
setara dalam tingkat sosial, dan sederajat dalam ahklak serta kekayaan. Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah adanya keseimbangan, keharmonisan dan keserasian,
terutama dalam hal agama yaitu ahklak dan ibadah. Persoalan kafa’ah dalam
perkawinan menjadi salah satu faktor penting dalam rangka membinan keserasian
kehidupan suami istri. Posisi yang setara antara pasangan suami istri diharapkan
mampu meminimalisir perselisihan yang berakibat fatal bagi kelanggengan hubungan
rumah tangga. Sehingga dengan adanya kafa’ah (kesederajatan), maka tidak ada
peluang untuk saling merendahkan.

Namun para ulama Imam Madzhab berbeda pendapat dalam memberi pengertian
kafaah dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran kafaah
yang mereka gunakan. Menurut ulama Hanafiyah, kafaah adalah persamaan laki-laki

3
dengan perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai ketakwaan dan
harta.4 Dan menurut ulama Malikiyah, kafaah adalah persamaan laki-laki dengan
perempuan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh seorang
perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.

Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyyah, kafaah adalah persamaan suami dengan


isteri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama, nasab,
merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan
untuk melakukan khiyar terhadap suami. Dan menurut ulama Hanabilah, kafaah
adalah persamaan suami dengan isteri dalam nilai ketakwaan, perkerjaan, harta,
merdeka, dan nasab. Dan dari banyaknya definisi yang ditemukan, bisa disimpilkan
bahwasannya kafa’ah atau kufu’ adalah keseimbangan atau kesepadanan antara calon
suami dan Riwayat dari Ali Ibn Abi Thalib RA, bahwasanya Rasulullah saw bersabda
kepadanya, isteri dalam hal-hal tertentu yaitu agama, nasab, pekerjaan, merdeka dan
harta.1 (Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A. 2003)

B. DASAR HUKUM KAFA’AH

Pertimbangan kafaah dalam pernikahan disandarkan pada Hadits yang


diriwayatkan oleh nabi berikut ini:

1. Riwayat dari Ali Ibn Abi Thalib RA, bahwasanya Rasulullah saw bersabda
kepadanya,

‫ؤا (رواه‬T‫دت كف‬T‫رة واالمي اذا وج‬T‫ازة اذا حض‬T‫الة اذا اتت واِلن‬T‫ؤخر الص‬T‫ة الت‬T‫يا علي ثالث‬
)‫البيهق‬

“Hai Ali, janganlah engkau mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal :sholat


jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus dan
dikuburkan), dan anak perempuan yang siap menikah jika telah engkau
dapatkan yang sekufu dengannya”. (HR. Baihaqi)

2. Riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda,

1
Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A (2003). Fiqih Munakahat.

4
)‫ختريوا لنطفكم فأنكحوا اال اكفاء وانكحوا اليهم (رواه ابن ماجو‬

“Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian (maksudnya isteri),


dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”. (HR. Ibnu Majah)

Atsar dari Umar Ibn Al-Khaththab RA. Beliau berkata, “Sungguh aku melarang
dihalalkannya kemaluan para wanita yang terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-
orang yang sekufu.2 (AhmadMuzakki & Himami Hafshawati, 2021)

C. TUJUAN KAFAÁH

Tujuan keseimbangan (kafaah) dalam perkawinan sama dengan tujuan


perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Tuhan Yang Maha Esa. Kebahagiaan dalam rumah tangga, tentulah menjadi tujuan
yang ingin diperoleh mereka yang mendirikannya. Sangatlah tepat jika pada setiap
orang yang berniat mendirikan rumah tangga dan berkeinginan mencapai
kebahagiaan hidup di dalamnya, memilih niat yang baik dan senantiasa berupaya
semaksimal mungkin untuk mendapatkannya. Untuk itu, diperlukan adanya
keseimbangan sebab tujuan keseimbangan dalam perkawinan tidak lepas dari tujuan
perkawinan itu sendiri.

Untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram diperlukan
adanya kafaah (keseimbangan dalam perkawinan), karena masalah kafaah ini sangat
penting dalam masalah rumah tangga. Agar antara calon suamiistri tersebut ada
keseimbangan dalam membina keluarga yang tentram dan bahagia. Jika di antara
keduanya sudah ada keseimbangan dan kecocokan, maka akan mudah bagi mereka
untuk mewujudkan tujuan perkawinan.

Dengan demikian, jelaslah keseimbangan (kafaah) dalam perkawinan sangat


diperlukan untuk mewujudkan keluarga yang tentram dan bahagia. Dan akibat dari
tidak adanya keseimbangan dalam perkawinan, keluarga tersebut akan mengalami
2
Ahmad Muzakki, & Himami Hafshawati. (2021). Kedudukan dan Standarisasi Kafaah dalam
Pernikahan Perspektif Ulama Madzhab Empat. Asy-Syari’ah : Jurnal Hukum Islam, 7(1), 19–38.
https://doi.org/10.55210/assyariah.v7i1.429

5
kegoncangan dalam rumah tangga, karena tidak ada kecocokan (keseimbangan) di
antara keduanya.

D. HUKUM KAFAÁH

Lantas bagaimanakah hukum kafa’ah dalam Islam? Beragam jawaban yang


dikemukakan oleh para fuqaha. Di dalam al Qur’an tidak ada nash yang secara jelas
menerangkan konsep kafa’ah, sehingga tidak mengherankan apabila di kalangan
jumhur ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum kafa’ah. Jumhur ulama
berpendapat bahwa kafa’ah amat penting untuk kelangsungan dan kelanggengan
suatu perkawinan, meskipun menurut mereka kafaah tidak termasuk syarat sahnya
suatu perkawinan dalam arti kafaah hanya semata keutamaan dan sah pernikahan
antara orang yang tidak sekufu’. (Royani, 2013)

Pendapat ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW yang Artinya: “Sungguh saya
akan mencegah perkawinan perempuan-perempuan bangsawan kecuali kawin
dengan laki-laki yang sekufu”.

Demikianlah pandangan ulama tentang kafa’ah. Satu hal yang perlu ditekankan
meskipun kafa’ah bukan salah satu rukun atau syarat sahnya pernikahan, namun
kafa’ah merupakan sebuah ikhtiar dalam rangka mewujudkan sebuah rumah tangga
yang ideal dalam bingkai mawaddah warahmah.

E. HAK ATAS KAFAÁH

Jumhur fuqaha berpendapat bahwa kafaah merupakan hak bagi wanita dan para
wali. Seorang wali tidak boleh menikahkan seorang wanita dengan laki-laki yang
tidak sekufu, kecuali dengan kerelaan wanita itu sendiri dan juga para wali yang
lainnya. [Jika seorang wanita dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu, maka
terdapat dua pendapat. Pendapat pertama mengatakan bahwa pernikahan itu bathil
(tidak sah). Pendapat kedua mengatakan bahwa pernikahan itu tetap sah tetapi wanita
itu kemudian boleh memilih antara melanjutkan pernikahan atau menuntut cerai].

6
Para ulama Syafi’iyah berkata, “Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] yang
memegang perwalian harta”. Imam Ahmad – dalam sebuah riwayat – berkata,
“Kafaah merupakan hak bagi [si wanita dan] seluruh wali : yang dekat ataupun yang
jauh. Siapapun diantara para wali itu tidak rela maka berhak melakukan fasakh.
Dalam riwayat yang lain, Imam Ahmad berkata, “Kafaah merupakan hak Allah.
Meskipun si wanita dan seluruh walinya rela dengan ketidaksekufuan, maka kerelaan
mereka semuanya tidaklah sah”. Namun riwayat ini didasarkan pada pengertian
bahwa kafaah hanyalah dalam hal din, tidak dalam hal yang lain.

Tidak ada kewajiban secara tekstual pelaksanaan kafa‟ah dalam perkawinan


Islam karena kafa‟ah dianjurkan menjelang pelaksanaan perkawinan, namun bukan
penentu sah dan tidaknya perkawinan. Kesetaraan dimaksud diasumsikan sebagai
pertimbangan ideal dalam kelangsungan perkawinan. Sebab ketimpangan yang terjadi
dalam perkawinan, akan menimbulkan masalah yang berkelanjutan dan besar
kemungkinan menjadi sebuah awal sebuah perceraian. Karenanya itu muncul istilah
dalam perkawinan “laki-laki yang tidak sekufu”, (jika kurang status sosialnya) karena
standarisasi kafa‟ah terdapat pada perempuan. Dan adapun Kriteria kafa’ah yang
harus diutarakan adalah dari hal keagamaan, penentuan kriteria kafaah dari segi
keagamaan dapat dikaitkan dengan tujuan pernikahan. Yang mana dengan agama
semakin hari semakin bertambah baik dan akibatnya akan memberikan

Kebaikan yang berkesinambungan dan kebahagian yang tidak terbatas, berbeda


dengan harta benda yang malah terkadang membuat susah, dan pernikahan dengan
orang yang berbeda agama lebih besar kegagalannya dibanding kegagalan orang yang
menikah dengan seagama, karena selain mengorbankan dirinya juga agamanya.

F. UKURAN KAFAÁH

Masalah kafa'ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup
yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya.
Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah
dengan perempuan yang berderajat tinggi.

7
Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan
yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir
sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan
laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak
seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan. Selain itu,
ada kerelaan dari walinya yang mengakadkan dari pihak perempuannya. Akan tetapi
jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti ia tidak
kufu' dengan perempuan yang shalihah. Bagi perempuan shalihah jika dikawinkan
oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh
orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.

Ibnu Rusyd berkata: Di kalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa
apabila seorang gadis. dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamar
(pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak
perkawinan tersebut. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan
antara keduanya. Begitu pula halnya apabila seorang gadis dikawinkan dengan
pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata
talak.

Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqaha juga berbeda pendapat tentang
faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa'ah atau tidak.
Begitu pula tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari
cacat ('aib).

Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan
hamba sahaya Arab, dan mengenai hal ini ia beralasan dengan firman Allah:

... )١٣ :‫ (الحجرات‬... ‫إن َأ ْك َر َم ُك ْم ِعن َد هللاِ َأ ْتقَا ُك ْم‬...

sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu...

Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh
kawin dengan hamba sahaya lelaki. Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya

8
berpendapatbahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy,
dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula. Perbedaan
pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka
tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi SAW yang teksnya:

ِ ‫ فَالفَرْ بِ َذا‬،‫ َو َمالِهَا َو َح َسبِهَا‬T‫تُن َك ُح ْال َمرْ َأةُ لِ َد ْينِهَا َوحْ َمالِهَا‬
‫ت الدِّي ِن‬

Wanita itu dikawin karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan


keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan
beruntung tangan kananmu.

Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama sajalah yang
dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi SAW di
atas (... maka carilah wanita yang taat beragama).

Segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama


kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada
yang keluar dari lingkup kafa'ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma', yaitu
bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa'ah.

Semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat,
mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa'ah.

Kalangan mazhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan
(pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya.

Faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan mazhab Maliki


bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian kafa'ah. Hal ini didasarkan adanya
hadits shahih yang memberikan hak khiyar (memilih) kepada hamba sahaya
perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau
tidak meneruskan. perkawinannya dengan suaminya yang masih berstatus hamba
sahaya).

9
Jika kita melihat pada Al-Quran dan As-Sunnah ditinjau dari segi insaniyah,
manusia itu sama seperti tersebut dalam Al-Hujurat ayat 13:

‫يَا َأيُّهَا النَّاسُ ِإنَّا خَ لَ ْقنَا ُك ْم ِم ْن َذ َك ٍر َوالتَى َو َج َع ْلنَا ُك ْم شعُوبًا َوقَبَاِئ َل لِتَ َعا َرفُوا ِإ َّن َأ ْك َر َم ُك ْم ِع ْن َد هَّللا ِ َأ ْتقَا ُك ْم‬.

(١٣ :‫)الحجرات‬

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki


dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku- suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang
yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling
bertakwa di antara kamu....

Dalam pada itu juga adanya sabda Nabi SAW yang berbunyi:

‫ َأَلفَضْ َل لِ َع َربِي َعلَى ْع َج ِم ٌّي ِإاَّل بِالتَّ ْق َوى‬،‫َان ْال ُم ْش ِط ْال َوا ِح ِد‬
ِ ‫النَّاسُ َس َوا ِسيَةُ َكا َسن‬.

(‫)رواه أبو داود‬

Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang
Arab atas orang Ajam (bukan Arab), kecuali dengan takwa.

Melihat arti umum ayat dan hadits di atas, manusia sama derajatnya, hanya
takwalah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, bukan seperti
kebangsawanan dan kebangsaan ataupun kecantikan..

Namun demikian, karena mempunyai keinginan yang berlainan, sehingga ada hal
yang menimbulkan dorongan untuk berumah tangga, seperti disebutkan oleh hadits
Nabi:

ِ ‫ فَ ْالفَرْ بِ َذا‬،‫ َو َمالِهَا َو َح َسبِهَا‬T‫تُ ْن َك ُح ْال َمرْ َأةُ لِ ِدينِهَا َو َح َمالِهَا‬


‫ت الدِّي ِن‬

(‫)أخرجه البخاري عن أبي هريرة‬.

“Wanita itu dikawin karena agamanya, kecantikannya, hartanya dan


keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan
beruntung tangan kananmu.”

10
Dalam masalah perkawinan yang termasuk sunnah Nabi dan membina keluarga
sejahtera itu faktor agama yang seharusnya menjadi titik beratnya, untuk
mendapatkan derajat berbahagia dalam berumah tangga. 3

G. KEDUDUKAN KAFAÁH DALAM PERNIKAHAN

Kedudukan kafaah dalam pernikahan terdapat perbedaan dikalangan para ulama’.


Jumhur Ulama’ termasuk Hambālīyah, Shāfi'īyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad
berpendapat bahwa kafaah tidak termasuk syarat perkawinan dalam arti kafaah hanya
semata keutamaan dan sah pernikahan antara orang yang tidak sekufu. Alasan yang
digunakan adalah firman Allah SWT dalam surat al-Hujarat ayat 13. Sebagian ulama
termasuk riwayat dari Ahmad mengatakan bahwa kafa’ah itu termasuk syarat sah
pernikahan, artinya tidak sah pernikahan antara laki-laki dan perempuan yang tidak
sekufu.4 (V.A.R.Barao et al., 2022)

Sedangkan dikalangan ulama’ Hanāfīyah terdapat perbedaan pendapat mengenai


kafa’ah. Kelompok pertama mengatakan bahwa kafa’ah bukan merupakan syarat sah
suatu perkawinan. Dan kelompok yang kedua kafa’ah merupakan syarat sah
perkawinan dalam hal:

a) Apabila seorang dewasa (baligh, berakal) menikahkan dirinya sendiri dengan


orang yang tidak sekufu dengannya, atau dalam perkawinan ada unsur
penipuan, maka wali (ayah, kakek) berhak untuk tidak menyetujui perkawinan
tersebut sebelum berlangsung akad.

b) Apabila seorang wanita tidak dapat bertindak atas nama hukum seperti anak
kecil, atau orang gila, yang dinikahkan walinya dengan seseorang yang tidak
3
Muhammad Ibnu Sahroji. dkk Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Al-Maktabah Al-Syamilah,
Kitab Al-Nikah bab Al-Akfa‟ fi AlDiin. Hadis nomor. 470.

4
V.A.R.Barao, R.C.Coata, J.A.Shibli, M.Bertolini, & J.G.S.Souza. (2022). MAKNA KAFAAH
MENURUT PANDANGAN PARA KIAI KAMPUNG DI DESA GANDUKEPUH
KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PONOROGO. In Braz Dent J. (Vol. 33, Issue 1).

11
sekufu, maka perkawinannya fasid (rusak). Sebab menikahkan wanita dengan
orang yang tidak sekufu tidak membawa kemaslahatan sama sekali.

c) Apabila bapak wanita dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu buruk,
maka ia menikahkan wanita yang belum dewasa dengan seseorang yang tidak
sekufu, pernikahan dinyatakan batal.

Ibn Hazm juga berpendapat kafa’ah tidak penting dalam perkawinan, menurutnya
antara orang islam yang satu dengan orang Islam yang lainnya adalah sama (sekufu).
Semua orang Islam asal saja dia tidak pernah berzina maka ia berhak kawin dengan
semua wanita muslimah asal tidak tergolong perempuan lacur, dan semua semua
orang Islam adalah bersaudara. Dan ulama’ lain seperti al-Hasan al-Basri, sufyan al-
Tsauri, dan Abu Hasan Ubaydillah ibn Hasan al-Karkhi (Mazhab Hanāfī)
berpendapat, bahwa kafa’ah bukanlah menjadi faktor penting dalam suatu pernikahan
dan tidak termasuk syarat sah pernikahan itu.

Jadi menurut segolongan ulama’ berpendapat bahwa kufu‟ itu faktor yang perlu
diperhatikan. Hanya yang menjadi ukuran ialah keteguhan beragama dan akhlak,
bukan nasab, usaha, kekayaan, ataupun sesuatu yang lain. Laki-laki yang shalih,
sekalipun bukan dari keturunan yang terpandang, ia boleh mengawini perempuan
mana pun, dan laki-laki dengan pekerjaan yang dipandang rendah boleh kawin
dengan wanita yang berpengaruh lagi tersohor, asalkan laki-laki tersebut dapat
berkomitmen dalam agamanya.

Kafaah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami atau istri, tetapi tidak
menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Karena ketika dalam sebuah perkawinan
terdapat ketidak seimbangan antara calon suami dan calon istri, maka akan banyak
menimbulkan kemadzaratan kedepannya, dan hal tersebut tidak akan pernah sesuai
dengan tujuan perkawinan Islam sebenarnya seperti yang tertuang dalam UU No. 1
tahun 1974 yakni, “membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

13
Kafaáh adalah keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami
sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan
Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya. sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan.

Tujuan keseimbangan (kafaah) dalam perkawinan sama dengan tujuan


perkawinan, yaitu untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Tuhan Yang Maha Esa.

Kedudukan kafaah dalam pernikahan terdapat perbedaan dikalangan para ulama’.


Jumhur Ulama’ termasuk Hambālīyah, Shāfi'īyah, dan satu riwayat dari Imam Ahmad
berpendapat bahwa kafaah tidak termasuk syarat perkawinan dalam arti kafaah hanya
semata keutamaan dan sah pernikahan antara orang yang tidak sekufu.

14
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Muzakki, & Himami Hafshawati. (2021). Kedudukan dan Standarisasi


Kafaah dalam Pernikahan Perspektif Ulama Madzhab Empat. Asy-Syari’ah :
Jurnal Hukum Islam, 7(1), 19–38. https://doi.org/10.55210/assyariah.v7i1.429

Royani, A. (2013). KAFA’AH DALAM PERKAWINAN ISLAM; (Tela’ah


Kesederajatan Agama Dan Sosial). Al-Ahwal, 5(1), 103. http://ejournal.iain-
jember.ac.id/index.php/alahwal/article/view/417

V.A.R.Barao, R.C.Coata, J.A.Shibli, M.Bertolini, & J.G.S.Souza. (2022). MAKNA


KAFAAH MENURUT PANDANGAN PARA KIAI KAMPUNG DI DESA
GANDUKEPUH KECAMATAN SUKOREJO KABUPATEN PONOROGO. In
Braz Dent J. (Vol. 33, Issue 1).

Muhammad Ibnu Sahroji. dkk Al-Bukhari, Shahih Al-Bukhari, Al-Maktabah Al-


Syamilah, Kitab Al-Nikah bab Al-Akfa‟ fi AlDiin. Hadis nomor. 470.

Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A (2003). Fiqih Munakahat.

15

Anda mungkin juga menyukai