Disusun oleh :
Kelompok 10
Kelas PM-5B
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT atas segala Nikmat, Taufik dan Hidayah-
Nya yang telah diberikan kepada kita semua, sehingga kami selaku kelompok 10 dapat
menyelesaikan makalah Muqarannah Mazhahib Fiqih Mawaris dalam memenuhi tugas
semester ini tepat pada waktunya.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikut beliau hingga akhir zaman.
Tidak ada kata yang indah selain ucapan Terima Kasih yang sebesar-besarnya dari kami
kepada Bapak Dosen kami Dr. Syarif Hidayatullah, S.SI., M.A. yang telah memberikan
arahan dan bimbingan, serta pengetahuan kepada pemakalah sehingga kami dapat
menyelesaikan tugas ini dengan tepat pada waktunya.
Ditinjau dari segi pengetahuan dan kapabilitas kami yang masih banyak kekurangan
nya, kami menyadari bahwa makalah ini tidak sempurna dan masih banyak di temukan
kesalahan. Oleh karena itu pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif
dan membangun demi kebaikan makalah ini dan bermanfaat bagi pemakalah khusunya dan
bagi pembaca umumnya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB II
PEMBAHASAN ............................................................................................................ 3
B. Khuntsa musykil menurut pandangan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i dan imam
Malik ....................................................................................................................... 4
C. Dalil yang digunakan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i dan imam Malik ................ 5
D. Wajh al-Istidlal......................................................................................................... 3
F. Tarjih ..................................................................................................................... 12
BAB III
PENUTUP ................................................................................................................... 13
A. Kesimpulan ............................................................................................................. 13
B. Saran ....................................................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah SWT telah menciptakan Nabi Adam A.s dan Hawa sebagai cikal bakal
manusia seluruhnya. Dari keduanya lahir manusia lelaki dan perempuan. Masing-masing
jenisnya memiliki karakteristik dan ciri-ciri yang berbeda diantaranya adalah penampilan,
tingkah laku, gaya bicara, bahasa tubuh dan alat kelamin. Kedua alat kelamin itu
mempunyai urgensi yang tidak diragukan lagi kebenarannya untuk menentukan seseorang
kepada jenis laki-laki atau perempuan. Tidak ada alat kelamin yang lain yang dapat
digunakan untuk menentukan suatu makhluk kepada jenis ketiga. 1 Tetapi dalam
kenyataannya, terdapat seseorang yang tidak mempunyai status yang jelas, bukan laki-laki
dan bukan perempuan. Orang dengan ketidakjelasan status jenis kelaminnya ini disebut
khuntsa musykil.
Dalam hukum Islam khuntsa musykil dipahami sebagai “orang dengan alat kelamin
ganda” atau “orang dengan ketidakjelasan alat kelamin.” Dalam masyarakat awam, definisi
ini biasa direduksi dengan sebuah terma “banci” yang kemudian orang-orang dengan status
banci ini kemudian biasa disebut waria (singkatan dari wanita-pria). Seseorang dikatakan
banci dan membanci apabila pembicaraannya menyerupai pembicaraan seorang perempuan
lunak dan lembut atau jalan dan pakaiannya menyerupai perempuan. 2
Salah satu permasalahan khuntsa musykil adalah dalam hal menentukan hak waris
atau kewarisanya, dan juga menjadikan persoalan kepada penetapan status hak memperoleh
bagian warisnya. Masalah kewarisan dalam hukum Islam merupakan hal yang essensial,
karena menyangkut segala sesuatu yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal
dunia, baik berupa harta benda maupun hak-hak kebendaan. Mengingat essensialnya
masalah kewarisan ini, maka Allah SWT menetapkan aturannya secara terang dan tegas
dalam al-Qur’anul Karim. Penetapan ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum
terhadap hak milik seseorang dengan cara yang seadil-adilnya.
1
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Alma’arif, 1971), hlm. 482.
2
Muh. Ali Ash Shabuniy, Hukum Waris Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1995) hlm. 233.
1
2
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian dari khuntsa musykil dalam konteks Ilmu Faraidh?
2. Bagaimana pandangan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i dan imam Malik
terhadap kasus khuntsa musykil?
3. Apa dalil yang di gunakan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i dan imam Malik
sebagai landasan argumen kasus kewarisan khuntsa musykil?
4. Bagaimana wajh al-Istidlal yang di gunakan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i
dan imam Malik dalam menyelesaikan kasus kewarisan khuntsa musykil?
5. Apa yang menyebabkan silang pendapat antara imam Abu Hanifah, imam Syafi’i
dan imam Malik dalam kasus khuntsa musykil?
6. Manakah pendapat yang paling kuat (rajih) di antara ketiga pendapat para ulama
tersebut?
C. Tujuan masalah
1. Menjelaskan Pengertian dari khuntsa musykil dalam konteks Ilmu faraidh
2. Memaparkan Pendapat imam Abu Hanifah, imam Syafi’i dan imam Malik
terhadap kasus khuntsa musykil?
3. Menguraikan dalil yang di gunakan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i dan imam
Malik sebagai landasan argumen kasus kewarisan khuntsa musykil
4. Menjelaskan wajh al-Istidlal yang di gunakan imam Abu Hanifah, imam Syafi’i
dan imam Malik dalam menyelesaikan kasus kewarisan khuntsa musykil
5. Memaparkan penyebab silang pendapat antara imam Abu Hanifah, imam Syafi’i
dan imam Malik dalam kasus khuntsa musykil
6. Mentarjihkan pendapat mana yang lebih kuat di antara pendapat-pendapat para
Ulama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Khuntsa Musykil
Kata “al-Khuntsaa” dalam bahasa diambil dari kata “al-Khanatsa” berarti
lunak dan pecah. 3 Menurut istilah “khuntsaa” adalah orang yang mempunyai kelamin
ganda (laki-laki dan perempuan). Dalam keadaan demikian urusannya samar-samar;
apakah ia dihukumi laki-laki atau perempuan. Ia disebut dengan “khuntsa musykil”
Meskipun khuntsa musykil mempunyai dua alat kelamin namun hukum yang
diberlakukan padanya hanya satu, yaitu laki-laki atau perempuan. dan untuk maksud
itu harus dipastikan kedudukan jenis kelamin seseorang yang khuntsa itu. Kepastian
tersebut diketahui melalui petunjuk.
Ulama klasik menetapkan kepastian itu melalui tanda-tanda yang ada dan
sepakat di dalam menerima warisan harus diteliti statusnya, yakni berstatus sebagai
laki-laki atau perempuan. Untuk mengetahuinya perlu diselidiki dengan jalan :
Alasan menetapkan cara kencing itu sebagai tanda yang ditetapkan oleh Nabi
untuk mengetahui jenis kelamin karena hal tersebut adalah tanda umum yang dapat
ditemukan pada anak kecil. Sedangkan tanda lainnya, seperti tumbuh janggut pada laki-
laki dan tumbuh payudara pada wanita baru akan diketahui setelah dewasa 4.
3
Muhammad Alil Ash-shabuniy . Mawarits Fisy-Syar’iatil Islamiyah’ Ala Dhauil Kitab Was Sunnah terjemah
Hukum Waris Islam. (Surabaya : Al-Ikhlas) hlm. 233-234
4
Amir Syarifuddin. Hukum Kewarisan islam. (Jakarta : Kencana) 2004. Hlm. 139-14
3
4
Imam Abu Hanifah diikuti imam Muhammad dan imam Abu Yusuf sepakat bahwa
memberikan bagian terkecil dari dua perkiraan bagian laki-laki dan perempuan kepada
khuntsa musykil. Dalam mazhab Hanafi diberikan kepada khuntsa musykil itu yang
tersedikit diantara dua bagian, tidak perlu menunggu atau menangguhkan sampai ada
kejelasan (laki-laki atau perempuannya).5
Ahli Waris Bagian Asal Masalah : 6 Harta Warisan Rp. Bagian masing-masing
36.000.000
khuntsa musykil yang diperkirakan laki-laki menerima bagian dua kali bagian
perempuan, atau 2/3. Dan anak perempuan menerima 1/3.
Anak Perempuan 1/3 1/3 x Rp. 24.000.000 Rp. 8.000.000
Anak khuntsa 2/3 2/3 X Rp. 24.000.000 Rp. 16.000.000
(lk)
Ahli Waris Bagian Asal Masalah : 6 Harta Warisan Rp. Bagian masing-masing
36.000.000
5
Wahidah. Buku Ajar Fikih Waris. (Banjarmasin : IAIN Antassari Press). 2015 hlm. 102
5
Jadi bagian terkecil dari dua perkiraan diatas adalah bagian perempuan. Maka harta waris
yang di peroleh khuntsa muykil adalah bagian perempuan.
Dalil
Karena tidak banyak ditemui ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan Hadits yang
membahas secara langsung tentang khuntsa muykil. Al-Qur’an, hanya banyak
menjelaskan tentang warisan laki-laki dan perempuan.
Q.s Al-Baqarah : 180
Wajh al-Istidlal
Berdasarkan ayat di atas jelas sudah bahwa siapa pun berhak menjadi ahli waris
selama pewarisan itu terjadi baik pewarisan karena hubungan perkawinan, pewarisan
karena hubungan kerabat, dan pewarisan karena hubungan wala' (tuan yang telah
membebaskan budaknya).
Jadi walaupun ia seorang khuntsa muykil, tetap mendapat haknya sebagai ahli waris
karena sebab hubungan nasab. Dan tidak ada yang membedakan hak waris antara
khuntsa musukil dengan ahli waris lainnya. Tetapi dalam pembagian harta warisnya
khuntsa mendapat bagian harta waris yang terkecil dari dua perkiraan (laki-laki atau
perempuan).
Dalil
Adapun yang menjadi permasalahan ketika khuntsa musykil itu masih kecil, belum
memiliki tanda-tanda kedewasaan. Para ulama mencoba berijtihad dan telah sepakat
dengan melihat sabda Rasulullah SAW:
6
Qur’an Kemenag. AlBaqarah ayat 180. https://quran.kemenag.go.id/ ( diakses pada 15 November 2022 pukul
18:30 WIB).
6
Wajh al-Istidlal
Imam Abu Hanifah menegaskan, dalam menentukan khuntsa musykil apakah laki-
laki atau perempuan tidak bisa dilihat dari banyak sedikitnya air seni yang keluar, Jika
air seninya keluar dari kedua alat kelaminnya, maka dilihat mana yang lebih dahulu
mengeluarkannya. 8 . Jika kelamin perempuan yang lebih dahulu mengeluarkan air seni,
kemudian kelamin laki-laki maka ia adalah perempuan dan ia mewarisi berdasarkan
warisannya perempuan. Dan ketentuan ini berlaku apabila sudah diketahui jelas jenis
kelamin nya dengan ditandai tanda-tanda kedewasaanya yang ada pada dirinya.
Imam Syafi’i diikuti imam Ahmad, imam Abu Dawud, imam Abu Tsaur, dan imam
Ibnu Jarir. Berpendapat, bahwa masing-masing ahli waris dan khuntsa musykil diberi
bagian yang minimal sesuai dengan status mereka yang lebih diyakini. Apabila
statusnya sudah jelas, maka sisanya diserahkan pula. 9
Khuntsa musykil menurut pendapat yang kuat harus diberikan menurut perhitungan
yang terkecil. Maka harus diperhatikan hak-hak warisannya dari kedua perkiraan
sebagai laki-laki atau perempuan. Maksudnya, dibuat perkiraan baginya dua masalah.
Pertama, perkirakan sebagai laki-laki, kedua perkirakan sebagai perempuan. Kemudian
khuntsa musykil itu diberi bagian terkecil antara dua masalah itu. Dan sisa dari
perhitungan bagian warisan disimpan sampai jelas keadaannya, apabila sudah jelas,
maka diberikan kepada khunsa musykil tersebut sesuai dengan bagiannya. Jika khunsa
musykil wafat maka bagian sisa tersebut dikembalikan kepada ahli warisnya.
7
Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman at-Tamimi Ad-Darimi.Sunan Ad-Darimi. Hadits no. 2843
8
Dja’far Abd.Muchit, Problema Hukum Waria (Khuntsa) dan Penyesuaian kelamin, makalah hukum, dapat
diakses digastia.com/sites/default/files//problematika%20hukum% 20waria.pdf, (diakses pada tanggal 18
November 2022)
9
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Bandung: Cv Diponegoro, 1995), hlm 221
7
Ahli Waris Bagian Asal Masalah : 6 Harta Warisan Rp. Bagian masing-masing
36.000.000
khuntsa Musykil yang diperkirakan laki-laki menerima bagian dua kali bagian
perempuan, aau 2/3. Dan anak perempuan menerima 1/3.
Anak Perempuan 1/3 1/3 x Rp. 24.000.000 Rp. 8.000.000
Anak khuntsa 2/3 2/3 X Rp. 24.000.000 Rp. 16.000.000
(Lk)
Ahli Waris Bagian Asal Masalah : 6 Harta Warisan Rp. Bagian masing-masing
36.000.000
Khuntsa musykil dalam perkiraan perempuan menerima bagian 1/2 dari harta yang tersisa
diatas.
Anak 1/2 1/2 x Rp. 24.000.000 Rp. 12.000.000
Perempuan
10
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: Alma’arif). 1971, hlm.488
8
Jadi bagian terkecil dari dua perkiraan diatas adalah bagian perempuan. Berikut
perolehan masing-masing ahli waris menurut pendapat imam Syafi’i:
Sisa harta sebesar (Rp. 36.000.000 - Rp. 32.000.000) = Rp. 4.000.000,-. Maka
dalam kasus diatas, sisa harta yang berjumlah Rp. 4.0000.000,- tersebut ditangguhkan
(disimpan) sampai khuntsa musykil itu jelas status jenis kelaminnya.
Jika khuntsa musykil itu jelas dan kejelasannya ialah seorang anak perempuan
atau laki-laki, maka khuntsa musykil tetap mendapat bagian terkecil yakni mendapatkan
Rp. 12.000.000,- dan sisa harta dialihkan kepada khuntsa musykil yang sudah jelas
statusnya. Misal berstatus jenis kelamin perempuan, maka pada kasus di atas ada dua
anak perempuan yang bagian masing-masing dari anak perempuan tersebut, harta yang
diperoleh dibagi dua.
Dalil
Q.s An-Nisa : 13
Wajh al-Istidlal
11
Qur’an Kemenag. An-Nisa ayat 13. https://quran.kemenag.go.id/ ( diakses pada 15 November 2022 pukul
22:24 WIB).
9
Allah Swt mengatur pembagian waris berdasarkan jenis kelamin, laki-laki dan
perempuan. Maka ulama menghendaki kejelasan dari kelamin seseorang yang
menjadi objek suatu hukum. Meskipun khuntsa musykil memiliki dua alat kelamin
namun hukum yang diberlakukan padanya hanya satu yaitu laki-laki atau
perempuan .
Imam Syafi’i berpendapat, bahwa masing-masing ahli waris dan khuntsa
musykil diberi bagian yang minimal sesuai dengan status mereka yang lebih
diyakini. Apabila statusnya sudah jelas, maka sisanya diserahkan pula. Pendapat
inilah yang mu’tamad (berdasar) menurut ulama Syafi’iyah. 12
Dalil
ثُ س ِم َع ُم َح َّمدَ بنُ َع ِلي ٍ يُ َح ِدَ ُسى َع ْن إِس َْرائِي َل َعن َعب ِد األ َ ْع َلى أَنَّه ُ أَ ْخ َب َرنَا
َ ع َب ْيدُهللا بنُ ُم
ث فَقَا َل ِم ْن أَ ِي ِه َما َبا َل
ُ لر ُج ِل َو َما ِلل َم ْرأَةِ ِمن أَ ِي ِه َما يُ َو ِر
َّ الر ُج ِل َي ُك ْونُ لَهُ َما ِل
َّ َع ْن َع ِلي فِي
13
)(رواه الدرمي
“Telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah bin Musa dari Isra’il dari Abdul
A’la bahwa ia mendengar Muhammad bin Ali menceritakan dari Ali tentang seorang
laki-laki yang memiliki alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan, sebagai apa
statusnya ia mewarisi (laki-laki atau perempuan)? Ia menjawab; dilihat dari alat
kelamin yang mengeluarkan kencing (dari situlah ditetapkan statusnya). (HR. Ad-
Darimi).
Wajh al-Istidlal
Imam Syafi’i mengemukakan dalam hadits ini, Jika air seninya keluar dari
kedua alat kelaminnya, maka dilihat mana yang lebih dahulu mengeluarkannya. Jika
air seni keluar dari kelamin laki-laki dahulu kemudian kelamin perempuan, maka ia
adalah laki-laki dan ia mewarisi berdasarkan warisannya laki-laki. Jika kelamin
perempuan yang lebih dahulu mengeluarkan air seni, kemudian kelamin laki-laki maka
ia adalah perempuan dan ia mewarisi berdasarkan warisannya perempuan. Ketentuan
ini berlaku apabila sudah diketahui jelas jenis kelamin nya dengan ditandai tanda-tanda
kedewasaanya.
12
Muhammad Ali As-Shabuni, Hukum Waris Dalam Syariat Islam, (Bandung: Cv Diponegoro, 1995), hlm 221
13
Abu Muhammad Abdullah bin Abdurrahman at-Tamimi Ad-Darimi.Sunan Ad-Darimi. Hadits no. 2842
10
Alasan menetapkan cara kencing sebagai tanda yang ditetapkan oleh Nabi Saw
untuk mengetahui jenis kelamin adalah tanda umum yang dapat ditemukan pada anak
kecil dan orang dewasa. Sedangkan tanda lainnya seperti tumbuh janggut pada laki-laki
dan tumbuh payudara pada wanita baru akan dapat diketahui setelah dewasa.
Ahli Waris Bagian Asal Masalah : 6 Harta Warisan Rp. Bagian masing-
36.000.000 masing
14
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo, 1998), hlm. 146.
15
Amin Husein Nasution. Hukum Kewarisan. (Jakarta : Jakarta Rajawali Pers) 2012 hlm. 187
11
Dalil
Q.s An-Nisa : 7
Wajh al-Istidlal
Berdasarkan surat An-Nisa ayat 7 menjelaskan bahwa setiap ahli waris berhak
untuk mendapatkan hak warisannya. baik sedikit ataupun banyak harus tetap di
berikan kepada ahli waris sesuai dengan yang telah ditetapkan.
Maka, dalam perkiraan khuntsa laki laki maupun khuntsa perempuan berhak
mendapatkan harta waris yang dalam perkiraan pembagian mereka di bagi menjadi
dua, maka hasil dari pembagian menjadi dua itulah yang diberikan kepada khuntsa
musykil.
16
Qur’an Kemenag. An-Nisa ayat 7. https://quran.kemenag.go.id/ ( diakses pada 16 November 2022 pukul
16:04 WIB).
12
D. Tarjih
Setelah membandingkan pendapat, dalil, dan wajh al-istidlal. Maka pendapat imam
Syafi’i inilah yang lebih kuat (rajih) Dengan alasan pertimbangan sebagai berikut :
1. Dari segi Wajh al-Istidlalnya
Karena imam Syafi’i menghendaki kejelasan dari kelamin khuntsa musykil yang
menjadi objek suatu hukum. Dalam pendapat imam Syafi’i ia menegaskan bahwa
walaupun khuntsa musykil memiliki dua kelamin, tetapi dalam pembagian harta
warisan, hukum yang diberlakukan padanya hanya satu yaitu laki-laki atau perempuan.
2. Lebih Mashlahat
Karena sesuai dalam maqasid syariah yang lima yakni salah satunya adalah
hifzul maal (memelihara harta) karena sisa harta warisan khuntsa musykil ini
ditangguhkan atau disimpan dan diberikan sesudah khuntsa musykil jelas jenis
kelaminnya. Dan dengan pendapat imam Syafi'i membagikan bagian laki laki sama
dengan bagian 2 orang perempuan, sebetulnya memuliakan kembali hak waris khuntsa
musykil.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam Abu Hanifah dalam menentukan status khuntsa musykil dengan dua cara
yaitu meneliti alat kelamin yang dilalui air kencing dan meneliti tanda-tanda
kedewasaannya. Namun ketika khuntsa musykil itu masih kecil, belum memiliki tanda-
tanda kedewasaan, maka dengan memperhatikan sabda Rasulullah SAW: “Khuntsa itu
dilihat dari sisi kencingnya”. Jika kencingnya dari tempat kencingnya laki-laki maka ia
adalah laki-laki. Jika ia kencing dari tempat kencingnya perempuan maka ia
perempuan. Mengenai konsep tentang bagian yang diperoleh khuntsa musykil sebagai
ahli waris Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa hak waris khuntsa musykil adalah
yang paling sedikit dari dua perkiraan bagian laki-laki atau perempuan.
B. Saran
13
14
DAFTAR PUSTAKA
Nasution Husein Amin. 2012 Hukum Kewarisan. (Jakarta : Jakarta Rajawali Pers)
Rofiq Ahmad, 1998. Fiqih Mawaris, (Jakarta: Raja Grafindo)Nasution Husein Amin.
2012 Hukum Kewarisan. (Jakarta : Jakarta Rajawali Pers)
Wahidah. 2015. Buku Ajar Fikih Waris. (Banjarmasin : IAIN Antassari Press).