Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH WAKAF PERSPEKTIF

MADZHAB SYAFI’I

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh dan Manajemen Wakaf di
Indonesia Dosen Pengampu: Dr. H. Moh. Toriqudin, Lc, M.HI.

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1. Rifqi Fahmi (19220130)


2. Eliya Mambaul Fauziyah (200202110087)
3. Moch. Fahrul Pratama (200202110107)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH FAKULTAS


SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK
IBRAHIM MALANG 2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
berkahnya yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah
dengan judul materi “ Wakaf Perspektif Madzhab syafi’i” yang insyaallah telah kami
selesaikan dengan sebaik mungkin. Shalawat serta salam tak lupa kita tujukan
kepada Baginda Nabi Muhammad SAW yang mudah-mudahan kita sebagai umatnya
mendapat syafa’atnya di yaumul akhir kelak.

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat


kesalahan maupun kekurangan. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca agar sekiranya dalam penyusunan makalah
berikutnya bias menjadi lebih baik. Semoga makalah yang kami buat ini dapat
bermanfaat bagi yang membaca,dan dapat diamalkan.

Malang, 02 September 2022

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 3

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH .......................................................................................... 4

B. RUMUSAN MASALAH .......................................................................................................... 4

C. TUJUAN PENELITIAN ........................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN

BIOGRAFI IMAM SYAFI’I ........................................................................................................ 6

METODE ISTINBAT IMAM SYAFI’I ...................................................................................... 6

PENGERTIAN WAKAF ............................................................................................................. 9

DASAR HUKUM WAKAF ........................................................................................................ 9

RUKUN & SYARAT WAKAF MENURUT IMAM SYAFI’I ...................................................10

ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF DALAM PRESPEKTIF MAZHAB SYAFI’I .......................11

KONSEP ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF ............................................................................... 13

PANDANGAN MAZHAB SYAFI’I TENTANG ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF ................ 14

BAB III PENUTUP

KESIMPULAN .......................................................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 18

3
Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Dalam pandangan islam harta bukanlah milik pribadi melainkan hanyalah titipan
dari Allah SWT. manusia hanyalah sebagai pemegang amanah atasnya. Oleh karena
itu pengelola memgang amanah yang besar sebagai wakil Allah terkait pengelolaan-
Nya. Mengenai pengelolaannya yang bisa memberikan manfaat dan kemaslahatan bagi
umat yang bisa memberikan pahala yang terus mengalir bagi pemiliknya yaitu wakif.
“Sesungguhnya Rasullah saw. berabda : “ketika manusia mati maka amalnya terputus
kecuali tiga perkara, sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak yang soleh
yang mau mendoakan”. (HR. Muslim). Sangking istimewanya wakaf sampai sampai
seseorang berlomba lomba untuk menyedekahkan hartanya. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai apakah boleh objek wakaf dijual kembali jika telah hilang
kemanfaatanya atau jika dalam keadaan darurat. Dalam makalah ini akan dibahas
bagaimana hukum menjual objek wakaf menurut perspektif mazhab syafi’i.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian wakaf ?


2. Apa metode istinbat dalam perspektif mazhab syafi’i ?
3. Apa dasar hukum wakaf yang digunakan dalam mazhab syafi’i ?
4. Apa saja rukun & syarat wakaf dalam mazhab syafi’i ?
5. Apa hukumnya menjual objek wakaf dalam prespektif mazhab syafi’i?

4
C. Tujuan Penelitian

1. Agar mahasiswa mengetahui pengertian wakaf


2. Agar mahasiswa mengetahui metode istinbat mazhab syafi’i
3. Agar mahasiswa mengetahui dasar hukum wakaf
4. Agar mahasiswa mengetahui rukun & syarat wakaf
5. Agar mahasiswa mengetahui hukum menjual objek wakaf

5
Bab II

Pembahasan

A. Biografi Imam Syafi’i

Imam Syafi'i merupakan salah satu ulama yang terkenal yang berasal dari suku
Azad di Yaman. Silsilah keluarga beliau masih bertemu dengan nabi Muhammad
shallallahu alaihi wasallam pada abdumanaf bin qushay. Ada beberapa pendapat
mengenai tempat lahirnya Imam Syafi'i ada mengatakan beliau lahir di Gaza asqalam
yaitu kota yang dekat dengan Gaza dan Yaman dengan perbedaan tersebut maka ada
satu pendapat yang menyimpulkan bahwa Imam Syafi'i lahir di Yaman tetapi tumbuh
besar di sekolah dan Gaza.1

Sejak Ayah beliau meninggal, ibu Imam Syafi'i mengajak beliau pergi ke kota
Makkah dan di sanalah beliau mulai belajar banyak ilmu agama termasuk membaca
dan menghafal Alquran. 2 kemudian di Masjidil haram beliau belajar pada dua ulama
besar yaitu Sufyan bin uyainah dan Muslim bin Khalid azanji.3 Karena kepandaiannya
pada usia 20 tahun guru beliau syekh muslim Ibnu Khalid al-janji menganjurkan Imam
Syafi'i untuk menjadi Mufti di kota Makkah.4 Beliau juga pernah belajar di Madinah
yaitu kepada Imam Anas bin Malik tentang ilmu hadis.

Dalam bidang ilmu fiqih beliau pernah menulis kitab ar-risalah. Sedangkan sumber
hukum yang beliau gunakan dalam istinbatnya yaitu Alquran sunah ajma' dan pendapat
para sahabat serta qiyas.

B. Metode Istinbat Hukum Imam Syafi’i

1 Hairul Hudaya, Mengenal Kitab Al-Umm Karya Al-Syafi‟i (Dari Metode Istidlal Hukum Hingga Keasliannya),
Jurnal KHAZANAH: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol. 14. No. 1 Juni 2017, 62.
2 Romli, Muqaranah Mazahub Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 25.
3 Mahmud Salthut dan Ali As-Sayis, Fiqih Tujuh Madzhab, 17.
4 Romli, Muqaranah Mazahub Fil Ushul, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 25.

6
Secara bahasa kata istinbat berasal dari kata nabata yang butuh labetan yang dapat
diartikan sebagai air dari dalam tanah. Secara terminologis istinbath dapat diartikan
sebagai penggalian hukum dari sumbernya menurut attabik Ali dan A Zuhdi muhdlor.5

Dalam kata lain istimbat adalah mengeluarkan kandungan hukum dari nas-nas yang
ada dalam Alquran dan Sunnah dengan kemampuan nalar yang optimal.6

Adanya istinbath ditunjukkan untuk memberikan dasar pada penetapan hukum setiap
perbuatan atau perkataan mukallaf

Dalam menentukan hukum Imam Syafi'i sendiri berprinsip bahwa hukum awal
itu berasal dari Alquran dan sunnah tetapi jika tidak ditemukan dalam Al Quran dan
Sunnah maka metode yang ketiga adalah qiyas dan takhyir ketika terdapat ikhtilaf7
kemudian terakhir ijma. Jika disimpulkan, maka Imam Syafi'i memiliki 4 metode
istinbat hukum yaitu :

1. Alquran dan Hadis


Dalam praktiknya berikut adalah jalan yag ditempuh imam Syafi’I :
a. Jika dalam al-Quran sudah tidak ditemukan lagi yang sedang dicari,
maka dicarinya dari sunnah mutawatir.
b. Jika tidak ditemukan, maka menggunakan al-Hadits al-Ahad.
c. Jika tidak ditemukan, maka dicarinya dari sisi dhahir al-Quran atau
Sunnah secara berurutan, lalu dilakukan penelitian secara cermat untuk
mencari mukhashshish-nya, baik dari al-Quran maupun Sunnah.
d. Jika tetap saja tidak ditemukan, maka ia menggunakan cara-cara yang
sudah pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW atau keputusan
Nabi Muhammad SAW.

5 Sri Wahyuni Ibrahim, Nasmila, Istinbath Hukum, IAIN Pare-Pare, Juli 2019, 3.
6 Nurliana, Metode Istinbath Hukum Muhammad Ibn Ismail Al-Shan‟ani dalam Kitab Subul al-Salam, AL-FIKRA:
Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 5, No. 2, Juli-Desember 2006, 144.
7 Muhammad Zuhri, Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996, C ke I, h. 113-

9. Lihat juga Muhammad Ali al-Sayis, Tarikh, h. 155. Lihat Khudhari Beik, Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami,
diterjemahkan oleh M. Zuhri dengan judul Tarjamah Tarikh al-Tasyri‟ al-Islami, Semarang; Daarul Ihya, t.th., h.
436-7.

7
e. Jika tidak ditemukan juga, maka dicarinya dari bagaimana pendapat
para sahabat sebagai Ijma’ mereka. Jika ternyata ditemukan dari Ijma’
mereka, maka itulah hukum yang dipakai..8
2. Ijma’
Dalam pandangan Imam Syafi’i. ijma’ diartikan sebagai kesepakatan ulama
di seluruh dunia dalam satu masa. Artinya bukan ijma’ jika kesepakatan
hanya dalam Negara atau kelompok tertentu. Sementara itu, Ijma’ sahabat
adalah paling diutamakan, paling kuat, dan harus diterima sebagai hujjah.
3. Qiyas dan takhyir ketika terdapat ikhtilaf dalam sumber lain beliau juga
menggunakan istishab dan maslahah mursalah sebagai sumber dalil.9
Qiyas merupakan salah satu istinbat hokum yang asas-asas dan rumusan
bakunya pertama kali dimunculkan idenya oleh Imam Syafi’i. Beliau
mendasarkan pengunaan metode Qiyas dengan surat An-Nisa’ ayat 59 :

ٰۤ
َ َ‫س ۡو َل َواُو ِلى ۡاۡلَ ۡم ِر ِم ۡنكُمۡ ۚ فَا ِۡن تَن‬
‫از ۡعت ُمۡ فِ ۡى‬ ُ ‫الر‬َّ ‫ّٰللاَ َواَ ِط ۡيـعُوا‬ ‫ٰيـاَيُّ َها الَّذ ِۡينَ ٰا َمنُ ٰۤۡوا اَ ِط ۡيـعُوا ه‬
‫اۡل ِخ ِر ؕ ٰذ ِلكَ َخ ۡي ٌر‬
ٰ ۡ ‫اّٰلل َو ۡاليَ ۡـو ِم‬
ِ ‫س ۡو ِل ا ِۡن ك ُۡنـت ُمۡ ت ُۡؤ ِمنُ ۡونَ بِ ه‬
ُ ‫الر‬ ِ ‫ش َۡىءٍ فَ ُرد ُّۡوهُ اِلَى ه‬
َّ ‫ّٰللا َو‬
‫سنُ تَ ۡا ِو ۡيلأ‬
َ ‫َّواَ ۡح‬

Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu.
Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.
4. Istidlal (Istishab)

Istidal merupakan salah satu sumber dari pendukung selain 4 sunber hokum
yang disepakati oleh 4 madzhab. Imam Syafi’I dalam istidlalnya menggunakan

8 Muhammad Ma’shum Zein, Arus Pemikiran Empat Madzhab Studi Analisis Istinbath Para Fuqoha’, 166.
9 Nurliana, Metode Istinbath Hukum Muhammad Ibn Ismail Al-Shan‟ani dalam Kitab Subul al-Salam, 154

8
urf (adat) dan istishab yaitu mengambil dalil-dalil hukum dikarenakan
ketiadaannya dalil atas hukum tersebutm atau mengukuhkan apa yang pernah
berlaku pada masa lalu dengan dalil.10

C. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dari “bahasa Arab: ‫( وقف‬waqafa), jamaknya ‫أوقاف‬


(awqaf) yang berarti perbuatan yang dilakukan wakif untuk menyerahkan
sebagian atau keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk kepentingan
ibadah dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.”

Menurut ‘ulama-ulama Syafi’iyyah, waqaf dalam konteks syariah adalah


menahan harta yang mungkin bisa dimanfaatkan selama bendanya masih langgeng
(awet) dengan cara memutuskan hak kepemilikan atas harta tersebut, dan dialihkan
untuk kepentingan-kepentingan yang dibolehkan.11 Wakaf menurut imam syafi’i :
melepaskan harta yang di wakafkan dari pemilik wakif, dan wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang di wakafkan.

D. Dasar Hukum Wakaf

Hadist 1

‫ستَأ ْ ِم ُر ُه ِفي َها فَقَا َل‬ ْ ‫سلَّ َم َي‬


َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّٰللا‬ َ ‫اب أَ ْرضأا ِب َخ ْي َب َر فَأَتَى النَّ ِب َّي‬ َ ‫ص‬ َ َ‫ب أ‬ِ ‫طا‬ ُ ‫أَ ْن‬
َّ ‫ع َم َر ْبنَ ا ْل َخ‬
‫س ِع ْندِي ِم ْنهُ فَ َما تَأ ْ ُم ُر ِب ِه قَا َل ِإ ْن‬ َ َ‫ط أَ ْنف‬ُّ َ‫صبْتُ أَ ْرضأا ِب َخ ْي َب َر لَ ْم أ ُ ِص ْب َم أاۡل ق‬َ َ‫ّٰللا ِإ ِني أ‬
ِ َّ ‫سو َل‬ ُ ‫َيا َر‬
‫ث‬ ُ ‫ور‬
َ ُ‫ب َو َۡل ي‬
ُ ‫ع َو َۡل يُو َه‬ُ ‫ع َم ُر أَنَّهُ َۡل يُ َبا‬
ُ ‫ق ِب َها‬ َ َ‫ص َّد ْقتَ ِب َها قَا َل فَت‬
َ ‫ص َّد‬ َ َ‫صلَ َها َوت‬ ْ َ‫ستَ أ‬ ْ ‫شئْتَ َح َب‬ ِ
‫ف َۡل‬ َّ ‫سبِي ِل َوال‬
ِ ‫ض ْي‬ َّ ‫ّٰللا َواب ِْن ال‬
ِ َّ ‫سبِي ِل‬ َ ‫ب َوفِي‬ ِ ‫الرقَا‬
ِ ‫اء َوفِي ا ْلقُ ْربَى َوفِي‬ ِ ‫ق بِ َها فِي ا ْلفُقَ َر‬ َ َ‫َوت‬
َ ‫ص َّد‬
‫غي َْر ُمتَ َم ِو ٍل‬ ِ ‫علَى َم ْن َو ِليَ َها أَ ْن يَأ ْ ُك َل ِم ْن َها بِا ْل َم ْع ُر‬
َ ‫وف َويُ ْط ِع َم‬ َ ‫ُجنَا‬
َ ‫ح‬

10 Mustafa Sa’id al-Khani, Athar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi ikhtilafi al-Fuqaha, (Beirut: Muassasah al-
Risalah, 1994), hal. 542.
11
Konsultasi islam, “Wakaf Menurut Madzhab Asy Syafi'i”, (http://www.konsultasislam.com/2015/11/wakaf-
menurut-mazhab-asy-syafii.html, diakses pada 02 Oktober 2022)

9
“Sesungguhnya Umar pernah mendapatkan sebidang tanah di Khaibar. Lalu,
beliau mendatangi Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan meminta nasehat mengenai
tanah itu, seraya berkata, “Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di
Khaibar, yang saya tidak pernah mendapatkan harta lebih baik dari pada tanah itu”.
Nabi pun bersabda, “Jika engkau berkenan, tahanlah batang pohonnya, dan
bersedekahlah dengan buahnya. Ibnu Umar berkata, “Maka bersedekahlah Umar
dengan buahnya, dan batang pohon itu tidak dijual, dihadiahkan, dan diwariskan.
Dan Umar bersedekah dengannya kepada orang-orang fakir, para kerabat, para
budak, orang-orang yang berjuang di jalan Allah, Ibnu Sabil , dan para tamu.
Pengurusnya boleh memakan dari hasilnya dengan cara yang makruf, dan
memberikannya kepada temannya tanpa meminta harganya…” (HR. Imam Bukhari
dan Muslim). 12

Hadist 2

‫ص َدقَ ٍة َج ِاريَ ٍة أَ ْو ِع ْل ٍم يُ ْنتَفَ ُع بِ ِه أَ ْو َولَ ٍد‬


َ ‫ع َملُهُ إِ َّۡل ِم ْن ثَ ََلثَ ٍة إِ َّۡل ِم ْن‬
َ ُ‫ع ْنه‬ َ َ‫سانُ ا ْنق‬
َ ‫ط َع‬ ِ ْ َ‫إِذَا َمات‬
َ ‫اْل ْن‬
ُ‫ح يَ ْدعُو لَه‬
ٍ ‫صا ِل‬
َ

“Jika seorang manusia meninggal dunia, maka terputuslah amal perbuatannya,


kecuali tiga hal; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shaleh yang
selalu mendoakannya.”(HR. Muslim).13

E. Rukun dan syarat wakaf menurut imam syafi’i :

a. Waqif, syaratnya merdeka, baligh, bearakal, sadar, pemilik benda yang di


wakafkan tidak ada paksaan dari pihak maupun orang lain.

12
Konsultasi islam, “Wakaf Menurut Madzhab Asy Syafi'i”, (http://www.konsultasislam.com/2015/11/wakaf-
menurut-mazhab-asy-syafii.html, diakses pada 02 Oktober 2022)
13
Konsultasi islam, “Wakaf Menurut Madzhab Asy Syafi'i”, (http://www.konsultasislam.com/2015/11/wakaf-
menurut-mazhab-asy-syafii.html, diakses pada 02 Oktober 2022)

10
b. Maukuf (barang yang di wakafkan), syaratnya: dapat memberikan manfaat
dan barangnya tidak habis sekli pakai.

c. Maukuf ‘alaih (penerima wakaf), suaratnya : pihak yang menurut hukum


yang di perkenankan melakukan transaksi maupun orang yang dalam
pengampuan.

d. Shighat merupakan ucapan wakif yang mennyatakan bahwa ia mewakafkan


hartanya kepada A untuk kepentingan B.14

Wakaf muaqqot adalah penyerahan harta wakaf dalam waktu yang ditentukan
untuk dimanfaatkan dengan tidak melepas hak kepemilikannya. Pendapat syafiiah yang
di dukung oleh mayoritas ulama dan kalangan syafiiah berpendapat bahwa wakaf
jangka waktu itu batal. Imam al-syairazi berkata: wakaf tidak diperbolehkan untuk
jangka waktu tertentu karena pada dasarnya wakaf adalah mengeluarkan harta dengan
tujuan taqarub kepada Allah. Oleh karena itu tidak di perbolehkan wakaf untuk jangka
waktu tertentu, seperti pembebasan budak dan sedekah.

Dapat diketahui bahwa pendapat imam syafi’I dan syafi’iah tentang wakaf
muaqqot itu batal tidak sah sebab wakaf itu bertujuan untuk mendekatkan diri kepada
Allah oleh karena itu wakaf harus bersifat abadi selama lamanya tidak boleh dengan
adanya ketentuan tahun ataupun batasan waktu.

F. Alih Fungsi Objek wakaf Dalam Perspektif Mazhab Syafi’i

Dalam kitab Fathul Mu’in menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan sedekah
jariyah ialah harta wakaf bukan wasiat dengan beberapa kemanfaatannya yang
diperbolehkan. Sehingga ibadah wakaf merupakan ibadah yang istimewa jika
dibandingkan dengan ibadah lainnya. Keistimewaannya terletak pada pahala yang terus
mengalir kepada wakif meskipun ia telah meninggal dunia. Selama harta wakaf
dimanfaatkan sebagaimana mestinya, maka pahala akan terus mengalir pada wakif.

14Adijani Al-alabij. Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta P.T.Raja Girafindo Persada).
33

11
Meski hukum wakaf sunnah tetapi banyak umat muslim menyumbang hartanya untuk
di wakafkan. Pada masa rasulullah, sebenarnya tidak ada himbauan langsung untuk
wakaf, tetapi terdapat isyarat untuk menunaikan ibadah wakaf. Terdapat sebuah hadist
yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar RA., ia berkata : “Bahwa sahabat Umar RA
memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasullullah
saw. untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah saw., saya mendapat
sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapat harta sebanyak itu, maka
apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Kemudian Rasulullah saw. bersabda:
“Bila kamu berkehendak tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan
(hasilnya). Kemudian Umar menyedehkahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual,
tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya
(hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya,
sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf
makan dari hasilnya dengan cara yang baik atau memberi makan orang lain dengan
tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).

Dari hadist di ataslah dasar hukum menunaikan wakaf bagi umat islam. Jika di
cermati dari hadist diatas bahwa benda wakaf tidak boleh dijual, diwariskan,
dihibahkan. Lantas yang menjadi persoalan bagaimana jika benda yang diwakafkan
rusak, hilang, berkurang kemanfaatannya. Berkenaan dengan persoalan diatas
melahirkan konsep penggantian ( istibdal ). Konsep istibdal merupakan konsep yang
menarik yaitu penggantian dan perubahan objek wakaf. Tiap mazhab memiliki
pendapat yang berbeda. Sebagian ulama Syafi’i (Imam Syafi’i, Imam Nawawi dan
Imam Rafi’i). Berpendapat bahwa benda wakaf yang sudah tidak berfungsi, dan
kemanfaatannya berkurang tidak boleh dijual, ditukar, diganti, dan dipindahkan.
Dikarenakan pada dasarnya wakaf itu bersifat abadi, dan dalam keadaan apapun harus
dibiarkan sedemikian rupa. Dasar hukum yang digunakan dalam pendapat ini ialah
hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa tidak boleh menjual,
menghibahkan,mewariskan harta wakaf. Hal tersebut bertentangan dengan pendapat

12
dari kalangan ulama mazhab hambali yang boleh menjualnya jika sudah tidak
bermanfaat lagi.15

G. Konsep Alih Fungsi Objek Wakaf

Konsep alih fungsi objek wakaf dalam istilah fiqih disebut ibdal atau istibdal, dalam
kamus Al-Munawair kata ibdal artinya perubahan dan kata istibdal artinya
penggantian. Sedangkan istibdāl diartikan sebagai penjualan harta benda wakaf untuk
dibelikan harta benda lain sebagai penggantinya, baik harta benda pengganti itu sama
dengan hartabenda wakaf yang dijual ataupun berbeda. Ada yang mengartikan bahwa
istibdāl adalah mengeluarkan suatu harta benda dari status wakaf dan menggantikannya
dengan harta benda lain. Adapun ibdāl artinya merubah harta benda wakaf dengan harta
wakaf yang lain. Ada juga pendapat yang mengartikan sama antara istibdāl dan ibdāl
karena secara bahasa kedua kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu menjadikan
sesuatu sebagai pengganti sesuatu yang lain. Permasalahan pergantian objek wakaf
para ulama terlah berbeda pendapat, ada sebagian yang membolehkan dan juga
melarangnya.

Dalam mazhab syafi’i dalam hal alih fungsi (istibdal) objek wakaf mempunyai
pendapat yang sangat tegas yaitu mengharamkan secara mutlak. Hal ini dilakukan demi
menjaga kelestarian objek wakaf dan penyalahgunaan dalam pelaksanaannya. Dasar
hukum para ulama mazhab syafi’i merujuk pada hadist Umar Bin Khattab yang
mewakafkan tanah di khaibar dan menyaratkan tanahnya tidak boleh dijual,
dihibahkan, dan diwariskan. Tujuannya agar wakaf yang telah dibuat tidak boleh
diubah selain yang diniatkan oleh wakif. Dalam kitab Ianat al-Talibin disebutkan
bahwa objek wakaf itu tidak boleh dijual dan tidak boleh dihibahkan walaupun rusak,
walaupun objek wakaf tersebut berupa masjid yang roboh sehingga sulit untuk
membangunnya lagi maka tetap tidak boleh dijual dan masjid tersebut tidak kembali

15
Ahmad Syaifudin,“ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I DAN
MAZHAB HAMBALI”, Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 8 No.2, 2021, Hal. 271 – 273

13
kepada pemiliknya, karena dimungkinkan bisa digunakan untuk salat dan iktikaf diatas
tanah masjid tersebut.

Selaras dengan undang – undang wakaf, yaitu dalam Undang-Undang No. 41


Tahun 2004 tentang Wakaf juga mengatur tentang perubahan dan pengalihan harta
wakaf yang sudah dianggap tidak atau kurang bermanfaat sebagaimana tujuan
diwakafkannya harta wakaf itu sendiri. Dalam pasal 40 Undang - undang No 41 tahun
2004 menyebutkan bahwa harta benda wakaf yang sudah diwakafkan dilarang
dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam
bentuk pengalihan hak lainnya. Namun ketentuan tersebut dikecualikan apabila harta
benda wakaf yang telah diwakafkan digunakan untuk kepentingan umum sesuai
dengan rencana tata ruang (RTUR) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku dan tidak bertentangan syariah. Pelaksanaan ketentuan tersebut
bisa dilakukan setelah mendapat ijin tertulis dari Menteri atas persetujuan Badan
Wakaf Indonesia. Harta benda yang sudah diubah statusnya wajib ditukar dengan harta
benda yang manfaat dan nilai tukar sekurangkurangnya sama dengan harta semula.
(UU No.41 th 2004).16

H. Pandangan Mazhab Syafi’i Tentang Alih Fungsi Objek Zakat

Dalam mazhab syafi’i secara tegas menyatakan bahwa objek zakat tidak boleh
dijual dan melarang penjualan harta wakaf. Disebutkan dalam kitab Fath al-Mu’in
karya Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari : “Objek wakaf tidak boleh dijual
walaupun itu rusak, walaupun masjid rusak dan tidak mungkin untuk membangunnya
kembali maka tetap tidak boleh dijual dan tidak kembali dalam keadaaan apa pun ke
pemiliknya karena masih bisa digunakan untuk salat dan juga iktikaf di atas tanahya”.

Kemudian, al-Syirazi yang juga merupakan ulama mazhab Syafi’i dalam kitabnya
yang berjudul al-Muhazzab menyebutkan : “Jika seseorang mewakafkan sebuah masjid
lalu tempatnya itu roboh sehingga kegiatan salat disitu terhenti, maka masjid tidak bisa

16
Ahmad Syaifudin,“ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB HAMBALI”,
Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 8 No.2, 2021, Hal. 275 – 278

14
dikembalikan kepada pemiliknya, dan dia juga tidak boleh mengelolahnya, karena
kepemilikan akan masjid sudah lepas, dan kini telah menjadi milik Allah yang tidak
bisa kembali lagi kepada pemiliknya karena rusak Sama seperti jika seseorang
memerdekakan seorang budak lalu dia sakit”.

Lebih lanjut, al-Syirazi mengemukakan :

“Jika seseorang mewakafkan sebatang pohon kurma lalu mengering atau mewakafkan
seekor hewan ternak lalu sakit atau mewakafkan batang pohon pada masjid lalu pecah,
maka dalam masalah ini ada dua pendapat. Pendapat pertama: tidak boleh dijual
sebagaimana yang saya katakan seperti masalah masjid. Pendapat kedua: boleh dijual,
karena tidak bisa diharapkan lagi manfaatnya. Jadi, lebih baik dijual daripada dibiarkan
begitu saja. Berbeda dengan masjid, kerena masjid meskipun roboh, namun masih bisa
digunakan salat, dan tempatnya juga masih mungkin dibangun lagi untuk digunakan
salat. Jika kita mengatakan bahwa itu bisa dijual, maka status hukum uang hasil
penjualanya sama seperti uang hasil penjualan yang ada pada barang wakaf yang
rusak”.

Kebolehan menjual objek wakaf selain masjid merupakan pendapat yang asah
yang dikemukan oleh Imam Nawawi dalam kitab karyanya yang berjudul Raudhatu al-
Talibin, akan tetapi kebolehan menjual objek wakaf tersebut hanya dalam kondisi
darurat saja, seperti ungkapan beliau : “Tikar masjid ketika rusak, ukiran kayu ketika
rusak, kain penutup ka’bah ketika tidak bermanfaat dan hilang keindahannya, maka
ada dua pendapat dalam menjualnya: pendapat yang lebih asah boleh menjual benda
wakaf tersebut, dengan alasan supaya tidak menyia-yiakan benda wakaf tanpa faidah.
Pendapat yang kedua, tidak memperbolehkan penjualan benda wakaf, bahkan
dibiarkan sedemikian rupa penjualan barang wakaf di tasarufkan untuk kemaslahatan
masjid, dengan begitu persamaanya adalah membeli tikar baru dengan uang penjualan
tikar yang lama. Dan uang penjualan barang wakaf tidak boleh digunakan pada
kemaslahatan yang lain”.

15
Al-Haitami mengemukakan bahwa benda wakaf yang kemungkinan masih bisa
dimanfaatkan maka tidak boleh dijual, sebagaimana pernyataannya dalam kitab Tuhfat
al-Muhtaj sebagai berikut: “Keluar dari perkataan muṣanif tidak pantas seterusnya: jika
dimungkinkan dibuat seperti papan maka tidak boleh dijual dengan pasti bahkan hakim
harus berijtihad dan menggunakannya pada yang paling dekat tujuan wakif”. Dalam
pernyataan al-Haitami di atas merupakan penjelasaan yang keluar dari matan al-
Minhaj, objek wakaf yang berupa tiang masjid yang sudah pecah sehingga tidak bisa
digunakan sebagai tiang masjid, maka dalam hal ini al-Haitami melarang penjualan
objek wakaf tersebut karena masih bisa dialihfungsikan dengan dibuat papan, bahkan
hakim harus berijtihad untuk kegunaan objek wakaf tersebut yang lebih mendekati
tujuan wakif. Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al Malibari dalam kaitannya masalah
tiang masjid yang sudah pecah, maka memperbolehkan penjualan objek wakaf tersebut
yang mana kebolehannya disamakan dengan tikar masjid yang sudah rusak, dan hasil
penjualan tersebut digunakan untuk kemaslahatan masjid, sebagaimana ungkapan
beliau : “Sama seperti tikar masjid yaitu tiangtiang masjid yang sudah pecah”. Memang
dalam masalah penjualan tiang masjid yang sudah pecah masih ada perbedaan pendapat
di kalangan mazhab Syafi’i, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak. Akan tetapi
tujuan objek wakaf tersebut menurut mazhab Syafi’i adalah sama yaitu untuk
kemaslahatan masjid, baik itu dijual objek wakafnya yang mana hasil penjualan untuk
kemaslahatan masjid maupun yang tidak boleh dijual, yang berupa dialih fungsikan
yang bisa memberikan kemaslahatan untuk masjid. Dengan begitu, dari keterangan-
keterangan diatas, maka mazhab Syafi’i melarang penjualan objek wakaf yang berupa
masjid akan tetapi untuk selain masjid masih ada perbedaan pendapat di kalangan
mazhab Syafi’i sendiri.17

17Ahmad Syaifudin,“ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB HAMBALI”,
Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 8 No.2, 2021, Hal. 275 – 280

16
Bab III

Penutup

Kesimpulan

Dalam pandangan mazhab Syafi’i tentang alih fungsi objek wakaf adalah tidak boleh
menjual objek wakaf berupa masjid dengan alasan apapun walaupun masjid tersebut
sudah rusak dan tidak mungkin dibangun lagi maka tanahnya masih bisa digunakan
untuk sholat & iktikaf, sedangkan objek wakaf selain masjid masih ada perbedaan
pendapat dikalangan mazhab Syafi’i, ada yang memperbolehkan dan ada yang tidak.
Seperti pohon kurma yang kering, ternak yang mati, kayu masjid yang pecah. Ada
beberapa ulama mazhab syafi’i yang membolehkan untuk menjualnya, tetapi mayoritas
ulama mazhab syafi’i tetap melarang untuk menjualnya sampai habis manfaatnya.18

18Ahmad Syaifudin,“ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF DALAM PERSPEKTIF MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB HAMBALI”,
Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 8 No.2, 2021, Hal. 282

17
DAFTAR PUSTAKA

Hudaya, Hairul. Mengenal Kitab Al-Umm Karya Al-Syafi‟i (Dari Metode Istidlal Hukum
Hingga Keasliannya), Jurnal KHAZANAH: Jurnal Studi Islam dan Humaniora, Vol.
14. No. 1 Juni 2017.

Romli. Muqaranah Mazahub Fil Ushul. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999.

Salthut, Mahmud dan Ali As-Sayis. Fiqih Tujuh Madzhab. cet. ke-3. Bandung: Pustaka Setia,
2016

Khon, Abdul Majid. Ikhtisar Tarikh Tasyri‟: Sejarah Pembinaan Hukum Islam dari Masa ke
Masa. Jakarta : Amzah. 2013.

Konsultasi islam, “Wakaf Menurut Madzhab Asy Syafi'i”,


http://www.konsultasislam.com/2015/11/wakaf-menurut-mazhab-asy-syafii.html.
diakses pada 02 Oktober 2022)

Ibrahim, Sri Wahyuni. Nasmila. Istinbath Hukum, IAIN Pare-Pare. Juli 2019.

Nurliana. Metode Istinbath Hukum Muhammad Ibn Ismail Al-Shan‟ani dalam Kitab Subul al-
Salam, AL-FIKRA: Jurnal Ilmiah Keislaman. Vol. 5, No. 2. Juli-Desember 2006.

Zuhri, Muhammad Hukum Islam Dalam Lintasan Sejarah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
1996.

Zein, Muhammad Ma’shum. Arus Pemikiran Empat Madzhab Studi Analisis Istinbath Para
Fuqoha’.

al-Khani, Mustafa Sa’id. Athar al-Ikhtilaf fi al-Qawa’id al-Usuliyyah fi ikhtilafi al-Fuqaha.


Beirut: Muassasah al-Risalah, 1994.

Al-alabij, Adijani. Perwakafan Tanah Di Indonesia Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta P.T.Raja
Girafindo Persada.

18
Syaifudin, Ahmad.“ALIH FUNGSI OBJEK WAKAF DALAM PERSPEKTIF MAZHAB
SYAFI’I DAN MAZHAB HAMBALI”. Jurnal Studi Hukum Islam. Vol. 8 No.2.
2021.

19

Anda mungkin juga menyukai