Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

WAKAF PERSPEKTIF MADZHAB MALIKI

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh dan Manajemen Wakaf di
Indonesia

Dosen pengampu:
Dr. H. Moh. Toriqudin, Lc, M. HI

Disusun Oleh Kelompok 4


1. Afnan Misbachul Safly 200202110080
2. Alfi Atuz Zahrotun Niswa 200202110131
3. Ahlan Pajrul Amin 200202110172

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM
MALANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan berkahnya
yang melimpah sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul materi “
Wakaf Perspektif Madzhab Maliki” yang insyaallah telah kami selesaikan dengan sebaik
mungkin. Shalawat serta salam tak lupa kita tujukan kepada Baginda Nabi Muhammad SAW
yang mudah-mudahan kita sebagai umatnya mendapat syafa’atnya di yaumul akhir kelak.

Kami menyadari dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan
maupun kekurangan. Oleh karena itu, kami berharap kritik dan saran yang membangun dari
para pembaca agar sekiranya dalam penyusunan makalah berikutnya bias menjadi lebih baik.
Semoga makalah yang kami buat ini dapat bermanfaat bagi yang membaca,dan dapat
diamalkan.

Malang, 24 September 2022

Kelompok 4

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….2

DAFTAR ISI…………………………………………………………………….………...3

BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………4

1.1 Latar Belakang……………………………………………………………………...….4


1.2 Fokus Bahasan………………………………………………………………………....5
1.3 Tujuan………………………………………………………………………………….5

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………………….6

2.1 Pengertian Wakaf…………………………………………………………………..…..6

2.2 Dasar Hukum Wakaf Menurut Madzhab Maliki…………………………………...…..7

2.3 Rukun Dan Syarat Wakaf Menurut Madzhab Maliki……………………………...…...10

2.4 Pandangan Madzhab Maiki Terhadap Wakaf………………………………………......12

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………......15

3.1 Kesimpulan…………………………………………………………………………......15

3.2 Saran………………………………………………………………………...……...…..15

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………..………………...….16

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wakaf merupakan salah satu sumber dana sosial potensial yang erat kaitannya
dengan kesejahteraan umat di samping zakat, infaq dan sedekah. Terlebih karena ajaran
agama menjadi motivasi utama masyarakat untuk berwakaf. Di Indonesia, wakaf telah
dikenal dan dilaksanakan oleh umat Islam sejak agama Islam masuk di Indonesia pada
perengahan abad ke-13 M atau kurang lebih 900 tahun yang lalu. Sebagai salah satu
institusi keagamaan yang erat hubungannya dengan sosial ekonomi, wakaf telah banyak
membantu pembangunan secara menyeluruh di Indonesia, baik dalam pembangunan
sumber daya manusia maupun dalam pembangunan sumber daya sosial. Tak dapat
dipungkiri, bahwa sebagian besar rumah ibadah, perguruan Islam dan lembaga-lembaga
Islam lainnya dibangun di atas tanah wakaf.

Pranata wakaf merupakan pranata yang berasal dari hukum Islam, oleh karena itu
jika berbicara tentang masalah perwakafan pada umumnya dan perwakafan tanah pada
khususnya, kita tidak bisa melepaskan diri dari pembicaraan tentang konsep wakaf
menurut hukum Islam. Akan tetapi, di dalam hukum Islam tidak ada konsep yang tunggal
tentang wakaf, karena banyak pendapat yang sangat beragam. Seperti wakaf menurut
pandangan Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hambal, menerangkan bahwa wakaf adalah
melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, dan wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan. Selanjutnya menurut Abu Hanifah,
wakaf adalah penahanan pokok sesuatu harta dalam tangan pemilikan wakaf dan
penggunaan hasil barang itu, yang dapat disebutkan ariyah untuk tujuan-tujuan amal saleh.

Sedangkan pengikut Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Imam Muhammad memberikan
pengertian wakaf sebagai penahanan pokok suatu benda dibawah hukum benda Tuhan
Yang Maha kuasa, sehingga hak pemilikan dari wakif berakhir dan berpindah kepada
Tuhan Yang Maha Kuasa. Sementara Madzhab Maliki berpendapat bahwa wakaf tidak
melepaskan harta benda wakaf dari kepemilikan wakif, tetapi wakat mencegah wakif dari
melakukan tindakan yang dapat melepaskan kepemilikannya atas harta itu kepada orang
lain dan wakif harus menyumbangkan manfaatnya. dan tidak boleh menarik wakaf. Namun
dalam bahasan makalah ini tidak semua pandangan yang telah disebutkan diatas dijelaskan

4
dalam makalah ini, akan tetapi pembahasan disini hanya terfokus kepada pandangan
Madzab Maliki saja.

1.2 Fokus Bahasan


1. Pengertian wakaf perspektif Madzab Maliki
2. Dasar hukum wakaf
3. Rukun dan syarat wakaf perspektif Madzab Maliki
4. Pandangan Maliki terhadap wakaf
a. Wakaf bagi non muslim
b. Ruislag (tukar menukar benda wakaf)
c. Penarikan kembali wakaf

1.3 Tujuan
Dari fokus bahasan diatas maka diharapkan dapat memberikan tambahan wawasan
bagi para pembaca terkait wakaf perspektif madzhab maliki, baik dalam mengetahui
pengertian, dasar hukum, rukun dan syarat, serta pandangan Madzhab Maliki terhadap
wakaf bagi Non Muslim.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Wakaf


Wakaf berasal dari kata kerja waqofa (fiil madi ), yaqifu (fiil mudori’), waqfan
(isim masdar) yang berarti berhenti atau berdiri.1 Secara istilah wakaf adalah
menghentikan pengalihan ha katas suatu benda dan menggunakan hasilnya untuk
kepentingan umum dalam mendekatkan diri kepada Alloh.2 Wakaf juga berarti perbuatan
wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingan
ibadah atau kesejahteraan umum lainnya menurut syariah. Dalam hal ini imam malik
memberi definisi wakaf sebagai berikut:

Artinya:

“Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik berupa sewa atau hasilnya untuk
diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai
dengan apa yang dikehendaki orang yang mewakafkan.”

Menurut Imam Malik, wakaf adalah memberikan harta kepada orang lain yang
bersifat mengikat serta boleh diwakafkan dalam tenggang waktu tertentu seperti yang
diinginkan oleh wakif. Tetapi, barang yang telah diwakafkan tidak boleh ditarik kembali
ditengah jalan, artinya sebelum waktunya telah habis maka barang yang diwakafkan
tersebut tidak boleh ditarik kembali. Dalam hal ini, barang yang diwakafkan juga
disyaratkan adalah benda yang memiliki nilai ekonomis dan juga tidak habis sekali pakai
atau tahan lama. Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa barang yang

1
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek,( Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2002), 25
2
Hasan Saleh, Kajian Fikih Kontemporer (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada,2008), 294

6
diwakafkan statusnya adalah milik wakif tetapi wakif tidak mempunyai hak untuk
menggunakannya selama masa waktunya belum habis.3

Imam malik memiliki nama lengkap Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi
Amir ibn ‘Umar bin Al-Haris (93 H-179 H)4. Menurut pendapat yang shohih Imam Malik
lahir pada tahun 93 H. yaitu pada tahun dimana Anas, pembantu Rasulullah meninggal,
Malik tumbuh dalam keluarga yang bahagia dan berkecukupan. Dan beliau wafat pada
hari Ahad, tanggal 14 Rabi’ul Awwal tahun 179 H (menurut sebagian pendapat, tahun 169
H) di Madinah. Dan ada juga yang berpendapat bahwa Imam Malik lahir pada tahun 90 H,
dan beliau termasuk pengikut Tabi’in berdasarkan pendapat shahih, dan ada juga yang
berpendapat beliau adalah Tabi’in5.

Imam Malik lahir di suatu tempat yang bernama Zulmarwah di sebelah Utara Al-
Madinatul Munawwarah. Kemudian beliau tinggal di Al-Akik buat sementara waktu, yang
akhirnya beliau menetap di Madinah. Jika dilihat silsilah keturunan Imam Malik di atas,
mereka adalah termasuk orang yang ‘alim dan juga banyak menghafal hadits-hadits Nabi
Saw. Dalam satu riwayat bahwabeliau berada dalam kandungan ibunya selama 3 (tiga)
tahun dan dilahirkan di kalangan rumah tangga yang ahli dalam bidang ilmu hadits dan
hidup dalam masyarakat yang berkecimpung dengan hadits Nabi Saw dan atsar. Sebagian
besar hidup Imam Malik dilalui di Madinah dan sepanjang riwayat yang ada ia tidak pernah
meninggalkan kota itu. Oleh sebab itu, Imam Malik hidup sesuai dengan masyarakat
Madinah dan Hijaz, suatu kehidupan yang sederhana dan jauh dari pengaruh kebudayaan
berikut berbagai problematikanya.

2.2 Dasar Hukum Wakaf

Dalam Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Wahbah Az-Zuhaili (2011: 273) mengatakan


bahwa wakaf termasuk sedekah dan merupakan sunnah yang dianjurkan. Hukum sunnah
ini diakui oleh mayoritas ulama selain Hanafiyyah6. Dasar hukum disyariatkannya wakaf
dapat diketahui dari beberapa ayat Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW berikut:

3
Juhaya S. Praja, Perwakafan Diindonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya (Bandung:
Yayasan PIARA, 1995), 18
4
Malik bin Anas, Muwaththa’, (Beirut : Darul Fikr, 1989), 5
5
4Sayid Bakri ibn Sayid Muhammad Syatha Al-Dimyathi Al-Misri, I’anatuththalibin, (Indonesia : Dar Al-
Ihya), Jilid 1, 16
6
Departemen Agama, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Departemen
Agama RI, 2005. h. 11

7
a. Dalil Al-Qur’an

Di dalam al-Qur’an tidak terdapat ayat yang secara eksplisit menerangkan


kepada masalah wakaf tersebut. Walaupun demikikan, ini tidak berarti bahwa tidak
ada sama sekali ayat-ayat yang dapat dipahami dan mengacu kepada hal tersebut.
Ayat-ayat yang pada umumnya dapat dipahami dan digunakan para fuqoha sebagai
dasar atau dalil yang mengacu kepada masalah wakaf tersebut, antara lain firman
Allah dalam QS. Al-Hajj Ayat 77

‫يايها الين ءامنوا اركعوا وسجدوا وعبدوا ربكم وفعلوا الخىر لعلكم تفلحون‬

Artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah


Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS. Al-
Hajj:77).

b. Dalil Al-Hadits

Disamping mengemukakan dasar hukum dari al-Qur’an, para fuqoha


menyandarkan masalah wakaf ini kepada hadits Nabi Muhammad SAW. Berikut
beberapa hadits yang menyinggung terntang wakaf:

Dalam kitab Bulughul Maram karangan Ibnu Hajar Al- Asqalani,


diterjemahkan oleh Achmad Sunarto (1996: 365), yang Artinya : “Dari Abu Hurairah
ra. bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Apabila anak Adam meninggal dunia,
terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat
dan anak saleh yang mendoakan kedua orang tua.”7

Para ulama menafsirkan “sedekah jariyah” yang disebutkan oleh hadits ini
adalah wakaf.8 Sebab bentuk sedekah lain tidak menghasilkan pahala yang mengalir
(jariyah) karena benda yang disedekahkan tidak kekal. Kiranya wakaflah yang
menghasilkan pahala yang terus menerus mengalir selagi barang yang diwakafkan itu
utuh dan dapat dimanfaatkan.

7
Ash-Shiddeiqy Hasbi, Ahkam al-Fiqh al-Islami; Hukum Fiqih Islam, (cet. Ke-4, Jakarta: Bulan Bintang)
8
Acmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya Progresif Untuk
Kesjahteraan Umat. (Jakarta: Mitra Abadi Press, 2005), h. 57.

8
Kalau kita lihat dari dalil diatas, sesungguhnya melaksanakan wakaf bagi
seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah SWT melalui harta benda
yang dimilikinya, yaitu melepaskan benda tersebut guna kepentingan orang banyak.
Secara eksplisit, hukum wakaf itu menurut Az-Zuhaili sedikit ditetapkan oleh al-
Qur’an dan as-Sunnah tetapi sebagian besar ditetapkan oleh ijtihad upaya para
mujtahidin menginterpretasikan al- Qur’an dan as-Sunnah para fuqoha dengan
mendasarkan pada istihsan, istishlah, dan ‘urf.

Selanjutnya untuk memberikan pengetahuan yang menyeluruh mengenai


dasar hukum wakaf, maka perlu kiranya mengemukakan pula dasar hukum menurut
perundang-undangan Pemerintah Republik Indonesia. Sebagimana tercantum dalam
buku Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia (Achmad
Djunaidi, 2003: 21-31) yaitu:

1. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Masalah wakaf dapat diketahui


pada Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pasal 5, pasal 14
ayat (91), dan pasal 49.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 yang terdiri atas tujuh bab
dan delapan belas pasal, mencakup pengertian wakaf, syarat-syarat sah
wakaf, fungsi wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan
pengawasan wakaf, ketentuan pidana dan ketentuan peralihan.
3. Peraturan Menteri:
a. Peraturan Mendagri No. 6 Tahun 1977 mengatur tentang tata
pendaftaran perwakafan tanah milik. Cakupannya meliputi
persyaratan tanah yang diwakafkan, pejabat pembuat akta ikrar
wakaf, proses pendaftaran, biaya pendaftaran dan ketentuan
peralihan.
b. Peraturan Menteri Agama No. 1 Tahun 1978 [merinci lebih lanjut tata
cara perwakafan tanah milik]. Pembahasannya tentang ikrar wakaf
dan aktanya, pejabat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban nadzir,
perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan,
penyelesaian perselisihan wakaf serta biaya perwakafan tanah milik.
4. Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI), berisi
perintah kepada Menteri Agama RI dalam rangka penyebarluasan KHI.
Hukum perwakafan sebagaimana diatur dalam KHI, pada dasarnya sama

9
dengan hukum perwakafan yang telah diatur oleh perundangan yang telah
ada sebelumnya. Dalam beberapa hal, KHI merupakan pengembangan
dan penyempurnaan pengaturan perwakafan sesuai dengan hukum Islam.
Pembahasan dalam Kompilasi Hukum Islam meliputi obyek wakaf,
sumpah nadzir, jumlah nadzir, perubahan benda wakaf, pengawasan
nadzir, pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
Nadzir, dan peranan Majelis Ulama dan Camat.

2.3 Rukun dan Syarat Wakaf

Secara umum, syarat dan rukun wakaf adalah sebaai berikut:

1. Orang yang berwakaf (wakif), syaratnya:


a. Memiliki kecakapan hukum dalam membelanjakan hartanya. Maksudnya bahwa
wakif adalah merdeka, berakal sehat, dewasa / baligh, tidak berada di bawah
pengampuan. Maka jika ada seorang hamba mewakafkan hartanya, maka
wakafnya tidak sah. Tetapi menurut abu zahrah bahwa para fuqoha’ sepakat jika
ada seorang hamba yang mewakafkan hartanya, maka hal ini dibolehkan dengan
syarat ia memperoleh izin dari tuannya.
b. Orang yang ahli berbuat kebaikan, maksudnya adalah orang yang berakal, tidak
mubadzir, dan baligh.
c. Atas kehendaknya sendiri, bukan paksaan dari orang lain.
2. Mauquf bih (barang yang di wakafkan), syaratnya:
a. Barang yang diwakafkan tidak cepat rusak atau habis ketika diambil manfaatnya.
b. Milik orang yang berwakaf
c. Bukan barang yan najis dan haram
d. Harta yang diwakafkan harus mutaqqawwam. Menurut Madzhab Hanafi,
mutaqowwam ini berarti segala sesuatu yang dapat disimpan dan halal digunakan
dalam keadaan normal (bukan dalam keadaan dhorurot). Oleh sebab itu,
menurutnya tidak sah seseorang yang mewakafkan:
1. Sesuatu yang bukan harta, seperti mewakafkan manfaat dari rumah sewaan
untuk ditempati.
2. Harta yang tidak mutaqawwam, sepeti alat-alat musik yang tidak halal
digunakan.
e. Nyata keberadaannya

10
f. Terpisah, bukan milik bersama (Musya’). Milik bersama ini ada kalanya bisa
dibagi dan adakalanya tidak dapat dibagi.
3. Mauquf alaih (orang yang menerima wakaf), syaratnya:
a. Berakal sehat
b. Baligh
c. Tidak mubadzir (boros)
4. Shighat (pernyataan ikrar wakif bahwa ia mewakafkan sebagian hartanya), syaratnya:
a. Shighat harus munjazah (terjadi seketika / selesai). Maksudnya adalah shighat ini
menunjukkan terjadinya wakaf setelah shighat tersebut diucapkan. Misalnya “
“Saya mewakafkan tanah saya.....................”
b. Shighat tidak diikuti syarat bathil (palsu). Maksudnya adalah adanya syarat yang
bisa merusak dasar dari wakaf, yakni kelaziman dan keabadian. Misalnya “saya
mewakafkan rumah saya untuk diri saya seumur hidup. Dan jika saya meningal,
maka harta ini menjadi harta ahli waris saya”. Dan jika wakaf disertai syarat
seperti ini, maka wakafnya tidak sah karena wakaf yang dilakukanna ada batas
waktunya.
c. Shighat tidak diikuti pembatasan waktu tertentu
d. Tidak mengandung pengetian bahwa barang yang diwakafkan akan diambil
kembal disuatu hari nanti

Selanjutnya Imam Malik juga memberikan syarat dan rukun yang harus
dilaksanakan dalam wakaf, yaitu:

1. Wakif
2. Benda yang diwakafkan
3. Penerima wakaf, menurutnya bayi yang berada dalam kandungan
bolehmenerima wakaf.

Dalam ilmu fiqih jua disebutkan bahwa syarat wakaf adaah sebagai berikut:

1. Untuk selama-lamanya
2. Tidak boleh dicabut
3. Pemilikan wakaf tidak boleh dipindahtangankan
4. Setiap wakaf harus sesuai dengan tujuan wakaf pada umumnya.

11
2.4 Pandangan Madzhab Maliki terhadap wakaf
a. Wakaf Bagi Non Muslim

Dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang perwakafan,tidak


disebutkan bahwa orang yang berwakaf harus orang Muslim saja.Mazhab Maliki
mengatakan bahwa wakafnya orang Non Muslim tidak bisa dianggap sah.9

Mengenai wakaf Non Muslim Menurut pemikiran Mazhab Maliki,sah


hukumnya wakaf dari seorang muslim kepada semua aktifitas ibadah umat Islam dan
Badan-badan social umum. Mazhab Maliki juga menjelaskan tentang wakaf non
muslim jika ditujukan ke masjid dan syiar-syiar Islam maka wakaf tersebut tidak sah
hukumnya.10

Disini Imam Maliki menjelaskan bahwa orang Non Muslim wakafnya tidak di
anggap sah bila wakaf tersebut akan di bangun masjid. Menurut Ibn Abidin, jika
seorang Non Muslim tersebut menentukan bahwa penerima hasil wakaf hanyalah
orang-orang miskin dari kalangan agamanya saja, maka wakaf itu hanya boleh
diberikan kepada mereka saja dan tidak boleh diberikan kepada selain golongan
mereka.11

b. Ruislag (Tukar Menukar Benda Wakaf )

Dalam kitab Al-Mu’āmalatul Madiyah Wa al-Adābiyah juga, Imam Maliki


memberikan definisi tentang wakaf:Menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang
berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak (maukuf alaih)
dalam bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki
oleh orang yang mewakafkan (wakif). Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda
itu dari penggunaan secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya bagi
orang banyak untuk tujuan kebaikan, sedangkan perwakafan itu berlaku untuk suatu
masa tertentu, oleh karena itu tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).
Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiyah melarang keras penggantian barang

9
Departemen Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang- Undangan Tentang Wakaf.
(Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2012), h. 5.
10
Mughniya, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, (cet. Ke-22, Jakarta: Lentera,2008), h. 225.
11
Departemen Agama Republik Indonesia, Wakaf For Beginners, Panduan Praktis Untuk Remaja Agar
Mencintai Wakaf . (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2009), h. 113.

12
wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan
membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak.

Kebanyakan fuqaha mazhab Maliki memperbolehkan penggantian barang


wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk mengganti barang
wakaf yang bergerak, ulama Malikiyah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus
tidak bisa dimanfaatkan lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf
yang berisi bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak dan tidak dapat
dipergunakan lagi. Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual buku-buku itu selama
masih bisa digunakan.

Sedangkan hukum penganti pada barang yang tidak bergerak Para ulama
Malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang wakaf yang tidak bergerakitu,
dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat jarang terjadi atau demi
kepentingan umum. Jika keadaan memaksa, mereka membolehkan penjualan barang
wakaf, meskipun dengan cara paksaan. Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan
adalah bahwa penjualan akan berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan umum.

Di kalangan ulama Malikiyah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang


menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama Malikiyah melarang menjual
atau memindahkan tanah wakaf sekalipun tanah tersebut tidak mendatangkan hasil
sama sekali. Sebagian ulama Malikiyah lainnya memperbolehkan menggantikan
dengan menukarkan tanah wakaf yang tidak atau kurang bermanfaat dengan tanah lain
yang lebih baik12, namun dengan tiga syarat, yaitu:

a. Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual;


b. Benda wakaf itu merupakan benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan
tujuan semula diwakafkannya;
c. Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan Umum, seperti
pembangunan masjid, jalan raya, dan sebagainya13.
c. Penarikan Kembali Wakaf

Imam Malik berpendapat bahwasanya harta benda yang telah diwakafkan boleh
ditarik kembali oleh sang wakif. Karena pada dasarnya, Imam Malik mengartikan
bahwa yang diberikan adalah manfaat dan hasil dari harta benda yang diwakafkan,

12
Muhammad Abu Zahrah, Al-Waqf, Cet. II (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), 171.
13
Muhammad Jawad Mugniyah, Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Ala Al-Mazahib, h. 333.

13
bukan berarti melepas kepemilikan atas benda pokoknya. Wakaf dalam pandangan
Imam Malik dilakukan dengan mengucap lafaẓ wakaf untuk jangka waktu tertentu
sesuai dengan kehendak pemilik harta. Oleh karenanya, harta benda yang telah
diwakafkan dapat ditarik kembali apabila tenggang waktu di awal akad telah selesai.

Metode istinbaṭ yang digunakan oleh Imam Malik dalam penetapan hukum
penarikan kembali harta yang telah diwakafkan ini mengacu pada hadis Nabi SAW
dari Ibn Umar tentang tanah di Khaibar. Di dalam hadis tersebut menggambarkan
bahwa hanya hasil dari tanah tersebut yang akan diberikan, dan tanah tersebut tetaplah
milik Umar. Selain memakai hadis Nabi SAW, Imam Malik juga menggunakan amal
ahli Madinah dalam metodenya kali ini, karena Imam Malik menganggap bahwa
masyarakat Madinah lebih banyak mendengar dan mengamalkan hadis Nabi SAW.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 kesimpulan
Menurut Imam Malik, wakaf adalah memberikan harta kepada orang lain yang
bersifat mengikat serta boleh diwakafkan dalam tenggang waktu tertentu seperti yang
diinginkan oleh wakif. Tetapi, barang yang telah diwakafkan tidak boleh ditarik kembali
ditengah jalan, artinya sebelum waktunya telah habis maka barang yang diwakafkan
tersebut tidak boleh ditarik kembali. Wakaf Non Muslim Menurut pemikiran Mazhab
Maliki, sah hukumnya wakaf dari seorang muslim kepada semua aktifitas ibadah umat
Islam dan Badan-badan social umum. Mazhab Maliki juga menjelaskan tentang wakaf non
muslim jika ditujukan ke masjid dan syiar-syiar Islam maka wakaf tersebut tidak sah
hukumnya. Madzhab Maliki juga memperbolehkan penggantian barang wakaf yang
bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Sedangkan hukum penganti pada barang
yang tidak bergerak Para ulama Malikiyah dengan tegas melarang penggantian barang
wakaf yang tidak bergerakitu, dengan mengecualikan kondisi darurat yang sangat jarang
terjadi atau demi kepentingan umum. Imam Malik juga berpendapat bahwasanya harta
benda yang telah diwakafkan boleh ditarik kembali oleh sang wakif. Karena pada
dasarnya, Imam Malik mengartikan bahwa yang diberikan adalah manfaat dan hasil dari
harta benda yang diwakafkan, bukan berarti melepas kepemilikan atas benda pokoknya.
3.2 Saran

Sesungguhnya makalah kami tidak luput dari kesalahan. Karenanya kami sungguh
mengharapkan kritik dan saran dari segala pihak yang dapat membangun semangat kami
lagi. Dan semoga materi diatas dapat dibaca serta diamalkan pada kehidupan sehari-hari.
Kita tidak pernah tau kapan materi diatas berguna yang jelas suatu saat nanti pasti
diperlukan.

15
DAFTAR PUSTAKA

Acmad Djunaidi, Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah


Upaya Progresif Untuk Kesjahteraan Umat. (Jakarta: Mitra Abadi
Press, 2005), h. 57.
Adijani Al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek,(
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002), 25
Ash-Shiddeiqy Hasbi, Ahkam al-Fiqh al-Islami; Hukum Fiqih Islam, (cet. Ke-4,
Jakarta: Bulan Bintang) tt
Departemen Agama, Fiqih Wakaf, Jakarta: Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Islam Departemen Agama RI, 2005.h. 11
Departemen Agama Republik Indonesia, Himpunan Peraturan Perundang-
Undangan Tentang Wakaf. (Jakarta: Dirjen Bimas Islam, 2012), h. 5.
Departemen Agama Republik Indonesia, Wakaf For Beginners, Panduan Praktis
Untuk Remaja Agar Mencintai Wakaf . (Jakarta: Dirjen Bimas Islam,
2009), h. 113.
Hasan Saleh, Kajian Fikih Kontemporer (Jakarta: P.T. Raja Grafindo
Persada,2008), 294
Juhaya S. Praja, Perwakafan Diindonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya (Bandung: Yayasan PIARA, 1995), 18
Malik bin Anas, Muwaththa’, (Beirut : Darul Fikr, 1989), h. 5
Mughniya, Muhammad Jawad, Fiqih Lima Mazhab, (cet. Ke-22, Jakarta:
Lentera,2008), h. 225.
Muhammad Abu Zahrah, Al-Waqf, Cet. II (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), 171.
Muhammad Jawad Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib, 333.
Sayid Bakri ibn Sayid Muhammad Syatha Al-Dimyathi Al-Misri,
I’anatuththalibin, (Indonesia : Dar Al-Ihya), Jilid 1, h. 16

16

Anda mungkin juga menyukai