Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

WADI’AH

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Fiqih Muamalah

Dosen Pengampu:
Arif Maghfur, S.H.I., M.E.I

Disusun Oleh:
KELOMPOK 6
1. DANIL FARHAN (03)
2. KANZUL FIKRI ISLAMI (08)
3. NURUL JAZILA (25)
4. KARISMATUL MUFIDAH (09)

PROGRAM STUDY EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
INSTITUT PESANTREN SUNAN DRAJAT
LAMONGAN
2023
KATA PENGANTAR

Syukur semoga tetap terjaga oleh kita karena Allah SWT telah memberi nikmat yang
luar biasa kepada kita, salah satunya nikmat kesehatan. Tidak lupa sholawat salam kita
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita tunggu syafa’atnya di hari kiamat nanti.
Kami selaku penulis bersyukur bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Wadi’ah”.
Makalah ini kami tulis untuk memenuhi tugas mata kuliah fiqih Muamalah.
Banyak pihak yang membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis mengucapkan
terima kasih kepada:
1. Arif Maghfur, S.H.I., M.E.I selaku Dosen Pengampu fiqih muamalah.
2. Tidak lupa teman-teman EKSYA Kelas B yang saling membantu dan mendukung.
Semoga segala bentuk bantuan dan dukungan yang diberikan kepada penulis dibalas oleh
Allah SWT.
Kami selaku penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna juga masih
banyak kesalahan-kesalahannya. Untuk itu kami selaku penulis menerima kritik dan saran
agar dari situ kami dapat belajar lagi dan memperbaiki di kesempatan selanjutnya. Kami
selaku penulis berharap dengan adanya makalah ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya.

Lamongan, 11 Desember 2023

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...............................................................................................................ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................................iii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..................................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah............................................................................................................2
1.3 Tujuan Masalah................................................................................................................2
BAB II........................................................................................................................................3
PEMBAHASAN........................................................................................................................3
2.1 Pengertian wadiah............................................................................................................3
2.2 Dasar hukum wadiah........................................................................................................4
2.3 Syarat dan rukun wadiah..................................................................................................5
2.4 Hukum menerima Wadiah................................................................................................6
BAB III.......................................................................................................................................8
PENUTUP..................................................................................................................................8
3.1 Kesimpulan.......................................................................................................................8
3.2 Saran.................................................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................9

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Muamalah merupakan suatu kegiatan yang mengatur hal-hal yang berhubungan


dengan tata cara hidup sesama umat manusia untuk memenuhi keperluannya sehari-hari
yang bertujuan untuk memberikan kemudahan dalam melengkapi kebutuhan hidup,
untuk saling memahami antara penjual dan pembeli, untuk saling tolong menolong
(ta’awul), serta untuk mempererat silaturahmi karena merupakan proses ta’aruf
(perkenalan). Namun dari beberapa tujuan muamalat tersebut, tidak sepenuhnya
terlaksana. Masih banyak masalah-masalah yang terjadi karena proses muamalat
tersebut. Diantaranya masih banyak orang yang dirugikan dalam suatu proses muamalat
tersebut. Untuk mengantisipasi hal tersebut, maka pedoman dan tatanannya pun perlu
dipelajari dan diketahui dengan baik, sehingga tidak terjadi penyimpangan dan
pelanggaran yang merusak kehidupan ekonomi dan hubungan sesama manusia.

Kesadaran bermuamalah hendaknya tertanam lebih dahulu dalam diri masing-masing,


sebelum orang terjun ke dalam kegiatan muamalah itu. Pemahaman agama, pengendalian
diri, pengalaman, akhlaqul-karimah dan pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah
hendaknya dikuasai sehingga menyatu dalam diri pelaku (pelaksana) muamalah itu.

Pengetahuan tentang seluk-beluk muamalah memiliki maksud yaitu bahwa kita selaku
umat muslim hendaknya mengetahui apa-apa yang bersangkutan dengan muamalah.
Seperti dalam rukun muamalat-jual beli harus ada akad (ijab dan qabul). Dalam akad
muamalat terdapat beberapa transaksi atau akad yang ada, diantarannya adalah akad Al-
Wadi’ah, akad Al-Wakalah, dan Al-Kafalah, dsb. Dalam hal ini pemakalah mencoba
menjelaskan salah satu bagian dari mumalat tersebut yaitu akad tentang Wadi’ah
(titipan).1

1
Supriatno eko, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Garaha Ilmu, 2005), hlm 1.

iv
1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Pengertian Wadi’ah

1.2.2 Dasar hukum wadiah

1.2.3 Syarat dan rukun wadiah

1.2.4 Hukum menerima wadiah

1.3 Tujuan Masalah

Dengan adanya makalah ini kami sebagai penulis berharap agar pembaca bisa
mengetahui dan paham dengan apa yang akan kami jelaskan, yaitu;

1.3.1 Apa itu wadiah?

1.3.2 Apa dasar hukum wadiah?

1.3.3 Apa saja syarat dan rukun wadiah?

1.3.4 Apa hukum menerima wadiah?

v
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian wadiah

Istilah “wadi’ah” berasal dari kata kerja “wada’a”, yang artinya menyerahkan,
menitipkan, atau menyimpan. Menurut para ulama Syafi‟i dan Maliki, wadi’ah
merupakan gambaran penjagaan kepemilikan barang-barang pribadi yang penting dengan
suatu cara tertentu. Para ulama Hambali menambahkan elemen amal ketika
mendefinisikan wadi’ah, sebagai gambaraan penjagaan (harta orang lain) dan dilakukan
(oleh penjaga) sebagai amal (Ibn Muflih, Al-Furu’, 7/210). Secara singkat, wadi’ah
adalah segala harta yang diserahkan oleh pemilik atau wakil pemilik kepada pihak lain
agar menjaganya. Tindakan ini dilakukan atas dasar amal.

Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-
wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki.2

Dalam tradisi fiqh Islam, prinsip titipan atau simpanan dikenal dengan prinsip al-
wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain,
baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si
penitip menghendaki.3 Dalam bahasa Indonesia wadi’ah berarti “titipan”. Akad wadi’ah
merupakan suatu akad yang bersifat tolong menolong antara sesame manusia.

Menurut ulama Mazhab Hanafi mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mengikutsertakan


orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan,
maupun melalui isyarat”.

Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan Mahzab Hanbali (jumhur
ulama), mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang lain untuk memelihara

2
Dr. Muhammad Syafi’I Antonio, M.Ec. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik, Jakarta:Gema
Insani, h. 85, 2001
3
Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini, S.H., Perbankan Islam: Dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum
Perbankan Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, h. 55, 2007

vi
harta tertentu dengan cara tertentu. Menurut ulama Mahzab Maliki, Mahzab Syafi’i, dan
Mahzab Hanbali (jumhur ulama), mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang
lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Al-Wadi’ah atau dikenal
dengan nama titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak kepada
pihak lain, baik perseorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan
kapan saja apabila si penitip menghendaki.

2.2 Dasar hukum wadiah

a. Al-Qur’an
Firman Allah SWT yang menjadi dasar hukum wadiah terdapat dalam QS An-Nisa;
58:
‫ٰٓل‬
‫ِاَّن َهّٰللا َيْأُم ُر ُك ْم َاْن ُتَؤ ُّد وا اَاْلٰم ٰن ِت ِا ى َاْهِلَهۙا َوِاَذ ا َح َك ْم ُتْم َبْيَن الَّناِس َاْن َتْح ُك ُم ْو ا ِباْلَع ْد ِل ۗ ِاَّن َهّٰللا ِنِعَّم ا َيِع ُظُك ْم ِبٖه ۗ ِاَّن َهّٰللا‬
‫َك اَن َسِم ْيًع ۢا َبِص ْيًرا‬
Artinya:
Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat. (QS. An-
Nisa; 58).4

‫َفِاْن َاِم َن َبْعُض ُك ْم َبْعًضا َفْلُيَؤ ِّد اَّلِذ ى اْؤ ُتِم َن َا اَنَتٗه َو ْلَيَّت َهّٰللا َر َّبۗٗه‬
‫ِق‬ ‫َم‬
Artinya:
Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang
dipercaya itu menunaikan amanatnya dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah
Tuhannya. (QS. Al-Baqarah (2): 283).5

b. Al-Hadis
Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, “Sampaikanlah
amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas khianat kepada orang
yang telah mengkhianati.” (HR. Abu Daud. Menurut Tirmidzi hadist ini Hasan,
sedangkan Imam Hakim mengkategorikan sahih).

4
Kementerian Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: CV. Alfatih Berkah
Cipta, 2013), h. 87.
5
Muhammad Syafi‟i Antonio,Bank Syariah…, h. 85

vii
Ibnu Umar berkata bahwasannya Rasulullah saw telah bersabda, “ Tiada
kesempurnaan iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang
tidak bersuci”. (HR. Thabrani).
Disunnahkan untuk menerima titipan bagi orang yang mengetahui bahwa
dirinya dapat dipercaya dan mampu menjaga titipan tersebut. sebab hal itu
mengandung pahala besar, sebagaimana yang tertuang dalam hadist Nabi:
‫َو ُهَّللا ِفي َعْو ِن اْلَع ْبِد َم ا َك اَن اْلَع ْبُد ِفي َعْو ِن َأِخ يِه‬
“Allah akan selalu menolong hamba-Nya selama hamba itu menolong saudaranya.”
Selain itu, manusia memang butuh untuk menitipkan kepada orang lain. Namun bagi
orang yang tidak yakin dirinya mampu menjaga titipan, maka makruh untuk
menerima titipan.
Diantara aturan dalam wadi‟ah adalah jika wadi‟ah hilang atau rusak di
tempat orang yang dititipi, sedangkan orang tersebut tidak berlaku teledor, maka ia
tidak menanggungnya. Seperti jika wadi‟ah tersebut lenyap di tengah-tengah
hartanya. Hal itu karena penerima titipan adalah orang yang amanah, dan orang yang
amanah tidak dikenai tanggungan selama tidak melakukan pelanggaran. Dalam hadist
yang di dalamnya ada sisi kedha’ifan bahwa Nabi bersabda:
“Barangsiapa dititipi suatu titipan maka ia tidak dikenai tanggungan.” (HR. Ibnu
Majah).6

2.3 Syarat dan rukun wadiah

Adapun rukun dan syarat wadiah, yaitu sebagai berikut:

a. Rukun wadiah7
1) Pihak yang berakat
a) Orang yang menitipkan (mudi’).
b) Orang yang dititipi barang (wadi’)
2) Obyek yang di akadkan barang yang di titipkan (Wadiah)
3) Sighot
a) Serah (ijab)
b) Terima (qabul)

6
Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, Mulakhkhas Fiqhi, jilid 2, cet. 1, Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir,
2013, h. 271-272.
7
Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta:
Djambatan, 2003), h. 59.

viii
b. Syarat wadiah8
a) Dua orang yang berakad (orang yang menitipkan dan yang menerima titipan).
Disyaratkan berakal dan mumayiz meskipun ia belum baligh, maka tidak sah
wadi’ah terhadap anak kecil yang belum berakal dan orang gila. Menurut
Hanafiyah terhadap orang yang melakukan akad wadi’ah tidak disyaratkan
baligh, maka sah wadi’ah terhadap anak kecil yang diizinkan berdagang karena
dia telah mampu menjaga harta titipan. Begitu juga dengan menerima titipan dari
anak kecil yang mendapat izin. Adapun anak kecil yang dihajru, dia tidak sah
menerima titipan karena ketidak mampuan untuk memelihara harta titipan.
Menurut jumhur, apa yang disyaratkan dalam wakalah berupa baligh, berakal
dan, cerdas.
b) Wadi’ah (sesuatu yang ditipkan). Disyaratkan berupa harta yang biasa
diserahterimakan, maka tidak sah menitipkan burung yang ada diudara. Benda
yang ditipkan harus benda yang mempunyai nilai (qimah) dan dipandang sebagai
mal
c) Shighat (ijab dan qabul), seperti “saya titipkan barang ini kepadamu”. Jawabnya
“Saya terima”. Namun, tidak disyaratkan lafal Kabul, cukup dengan perbuatan
menerima barang titipan, atau diam. Diamnya, sama dengan Kabul sebagaimana
dalam mu’athah pada jual beli.9

2.4 Hukum menerima Wadiah

Hukum menerima titipan ada empat macam yaitu:

1. Wajib
diwajibkan menerima benda-benda titipan bagi seseorang yang percaya bahwa
dirinya sanggup menerima dan menjaga benda-benda tersebut, sementara orang
lain tidak ada seorangpun yang dapat dipercaya untuk memelihara benda-benda
tersebut.
2. Sunnah
disunatkan menerima titipan bagi orang yang percaya kepada dirinya bahwa dia
sanggup menjaga benda-benda yan dititipkan kepadanya. Wadiah adalah salah satu
bentuk tolong-menolong yang diperintahkan oleh Allah dalam Al-quran, tolong-

8
Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, ..., h. 59.
9
Rozalinda, Fikih Ekonomi Syariah, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, 2016, H.161-162.

ix
menolong secara umum hukumnya sunat. Hal ini dianggap sunat menerima benda
titipan ketika ada orang lain yang pantas untuk menerima titipan.10
3. Haram
apabila seseorang tidak kuasadan tidak sanggup memelihara benda-benda titipan.
Bagi orang seperti ini diharamkan menerima benda-benda titipan, sebab dengan
menerima benda-benda titipan, berarti memberikan kesempatan (peluang) kepada
kerusakan atau hilangnya benda-benda titipan sehingga akan menyulitkan pihak
yang menitipkan.
4. Makruh
bagi orang yang percaya kepada dirinya sendiri bahwa dia mampu menjaga benda-
benda titipan, tetapi dia kurang yakin (ragu) pada kemampuannya maka bagi orang
seperti ini dimakruhkan menerima benda-benda titipan, sebab dikhawatirkan dia
akan berkhianat terhadap terhadap yang menitipkan dengan cara merusak benda-
benda titipan atau menghilangkannya.11

10
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2017), h. 206.
11
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer, ..., h.

x
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Jumhur ulama mendefinisikan wadi’ah dengan, “Mewakilkan orang lain untuk


memelihara harta tertentu dengan cara tertentu. Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama
titipan atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak kepada pihak lain, baik
perseorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja
apabila si penitip menghendaki.

hukum menerima benda titipan ada empat macam, yaitu sunat, haram, wajib dan makruh.

Syarat Wadiah, orang yang menitipkan dan yang dititipkan harus berakal. harta atau
barang yang dititipkan harus bisa diberikan secara fisik. kedua belah pihak harus sudah
balig (cukup umur) dan mumayiz (dapat membedakan sesuatu yang baik dan buruk)

Rukun wadiah terdiri atas kehadiran; Muwaddi' atau pihak penitip. Mustauda' atau pihak
penerima titipan. Obyek wadiah atau harta yang akan dititipkan.

3.2 Saran

Dalam makalah ini telah dipaparkan mengenai Wadiah, kami menyadari bahwa masih
terdapat banyak kekurangan dalam makalah ini. Untuk itu kami menyarankan agar
pembaca dapat mencari referensi lain untuk menambah materi yang kurang dari makalah
ini. Kami juga mohon kritik dan sarannya guna perbaikan dalam makalah ini agar
menjadi lebih baik.

xi
DAFTAR PUSTAKA

Supriatno eko, Ekonomi Islam, (Yogyakarta: Garaha Ilmu, 2005), hlm 1.

Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, ...,
h. 59.

Syaikh Shaleh bin Fauzan al-Fauzan, Mulakhkhas Fiqhi, jilid 2, cet. 1, Jakarta: Pustaka Ibnu
Katsir, 2013, h. 271-272.

Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional,
(Jakarta: Djambatan, 2003), h. 59.

Kementerian Agama Republik Indonesia, Mushaf Al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: CV. Alfatih
Berkah Cipta, 2013), h. 87.

xii

Anda mungkin juga menyukai