Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

KAIDAH MUAMALAH
Disusun untuk memenuhi tugas

Mata Kuliah : Qawaidul Fiqhiyah

Dosen Pengampu : Rita Zahara Kamsir, M.A

OLEH KELOMPOK 1 :

1. WITOS
2. ALJESKI
3. FAUZI

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH NAHDATUL


ULAMA ( STITNU ) SAKINAH DHARMASRAYA
PRODI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, atas segala
rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun sampai dengan selesai. Sholawat
beserta salam semoga tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa pula penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak
yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik pikiran maupun
materinya, sehingga penulis dapat menyusun makalah ini dengan judul “ Kaidah
muamalat”. Untuk memenuhi tugas Qawaidul Fiqhiyah.
Penulis berharap makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi pembaca. Bahkan penulis berharap agar makalah ini bisa
pembaca praktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi Penulis sebagai penyusun
merasa bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan makalah ini karena
keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat
mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Stitnu Sakinah, 07 Februari 2023

Mahasiswa

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI..........................................................................................................................2
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................................3
A. LATAR BELAKANG MASALH....................................................................................3
B. RUMUSAN MASALAH.............................................................................................3
C. TUJUAN MASALAH.................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN..........................................................................................................4
A. Kajian Umum Mengenai Fiqih Muamalah..............................................................4
B. Kajian Umum Jual Beli Menurut Hukum Islam.......................................................6
BAB III PENUTUP..............................................................................................................16
A. KESIMPULAN........................................................................................................16
B. SARAN..................................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................18

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALH


Muamalah adalah suatu kegiatan ekonomi baik itu jual beli barang
atau jasa antara perorangan atau badan hukum yang berlandaskan prinsip-
prinsip syariah, adanya kegiatan ekonomi syariah sangat membantu dalam
keselarasan kehidupan di dunia dan akhirat, nilai ekonomi syariah bukan
semata-mata kegiatan muslim saja tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi.
Perkembangan ekonomi syariah sangat cepat setelah adanya Bank
Muamalat Indonesia (BMI), dibalik berkembangnya ekonomi syariah harus
diimbangi dengan fatwa-fatwa hukum syariah yang valid dan akurat, agar
seluruh produk yang ditawarkan ke masyarakat memiliki landasan yang kuat
secara syariat. Membahas ekonomi islam identik dengan lembaga keuangan
Islam, baik berupa bank, asuransi, pegadaian, maupun BMT yang semakin
luas dalam bidang penghimpunan dana dan pembiayaan modal usaha mikro
tanpa menggunakan bunga (riba). Banyak di kalangan masyarakat menengah,
yang lebih memilih lembaga keuangan syariah karena lebih menguntungkan,
salah satunya BMT. Kegiatan BMT sendiri untuk menarik, mengelola, dan
menyalurkan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif dan
investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi. BMT ikut dalam wadah
koperasi baik berupa Koperasi Jasa Keungan Syariah (KJKS) ataupun Unit
Jasa Keuangan Syariah (UJKS) rasanya sangat tepat untuk menghadapi
permasalahan ekonomi makro dan juga ekonomi mikro. Kita dapat merasakan
adanya peran usaha mikro dalam memberikan kontribusi terhadap penyerapan
tenaga kerja dan investasi sangat menentukan dalam menggerakan
perekonomian suatu bangsa.

B. RUMUSAN MASALAH
1. apa yang di maksud muamalah.

C. TUJUAN MASALAH
1. untuk mengetahui apa itu muamalah.

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kajian Umum Mengenai Fiqih Muamalah

a. Pengertian Fiqih Muamalah


Fiqih muamalah merupakan salah satu dari bagian persoalan hukum Islam
seperti yang lainnya yaitu tentang hukum ibadah, hukum pidana, hukum
peradilan, hukum perdata, hukum jihad, hukum perang, hukum damai, hukum
politik, hukum penggunaan harta, dan hukum pemerintahan . Semua bentuk
persoalan yang dicantumkan dalam kitab fiqih adalah pertanyaan yang
dipertanyakan masyarakat atau persoalan yang muncul di tengahtengah
masyarakat. Kemudian para ulama memberikan pendapatnya yang sesuai
kaidah-kaidah yang berlaku dan kemudian pendapat tersebut dibukukan
berdasarkan hasil fatwa-fatwanya.
Secara bahasa (etimologi) Fiqih (ّ‫( فق‬berasal dari kata faqiha (ّ‫( فق‬yang
berarti Paham dan muamalah berasal dari kata ‟Amila yang berarti berbuat
atau bertindak atau Al „amaliyyah maksudnya yang berhubungan dengan
amaliyah (aktifitas), baik aktifitas hati seperti niat, atau aktifitas lainnya,
seperti membaca al Qur‟an, shalat, jual beli dan lainnya. Muamalah adalah
hubungan kepentingan antarsesama manusia. Muamalah tersebut meliputi
transaksi-transaksi kehartabendaan seperti jual beli, perkawinan, dan hal-hal
yang berhubungan dengannya, urusan persengketaan (gugatan, peradilan, dan
sebagainya) dan pembagian warisan.
Secara istilah (terminologi) fiqh muamalah dapat diartikan sebagai aturan-
aturan Allah yang wajib ditaati yang mengatur hubungan manusia dengan
manusia dalam kaitannya dengan cara memperoleh dan mengembangkan harta
benda. Fiqh muamalah dalam pengertian kontemporer sudah mempunyai arti
khusus dan lebih sempit apabila dibandingkan dengan muamalah sebagai
bagian dari pengelompokan hukum Islam oleh ulama klasik (Ibadah dan
muamalah). Fiqh muamalah merupakan peraturan yang menyangkut hubungan
kebendaan atau yang biasa disebut dikalangan ahli hukum positif dengan nama
hukum private. Hukum private dalam pengertian tersebut tidak lain hanya
berisi pembicaraan tentang hak manusia dalam hubungannya satu sama lain,
seperti hak penjual untuk menerima uang dari pembeli dan pembeli menerima
barang dari penjual.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwasanya “Fiqih Muamalah”
adalah atauran-aturan (hukum) Allah swt, yang ditujukan untuk mengatur
kehidupan manusia dalam urusan Keduniaan atau urusan yang berkaitan
dengan urusan duniawi dan sosial kemasyarakatan.

4
b. pembagian fiqih muamalah

Pembagian fiqih muamalah dibagi menjadi lima bagian:


1. Muwadhah Madiyah (hukum kebendaan): muamalah yang
mengkaji segi objeknya, yaitu benda. Sebagian ulama
berpendapat bahwa muamalah al-madiyah bersifat kebendaan,
yakni benda yang halal, haram, dan syubhat untuk dimiliki,
diperjualbelikan atau diusahakan, benda yang menimbulkan
kemadaratan dan mendatangkan kemaslahatan bagi manusia,
dan lain-lain.
2. Munakahat (hukum perkawinan): ini Adalah salah satu bagian
dari fiqih muamalah yang mana hubungan seseorang dengan
lawan jenisnya dalam satu ikatan yang sah untuk menjalin
keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah.
3. Amanat dan „Ariyah (pinjaman): berasal dari kata “‟ara” yang
berarti datang dan pergi atau berasal dari kata “attanawulu-
wittanawubu”
4. Tirkah (harta peninggalan): ini sama halnya dengan fiqih
mawaris. Bahwasanya adalah pembahasan ini membahas
tentang harta yang ditinggalkan mayat kepada si ahli waris yang
mana harta yang harus dibagikan sesuai dengan prosedur yang
telah ditentukan.

Objek pembahasan fiqih muamalah adalah hubungan antara manusia


dengan manusia yang satu dengan manusia yang lainnya.
Contohnya seperti hak penjual untuk menerima uang pembayaran atas
barang yang dijualnya, dan hak pembeli untuk menerima barang atas apa yang
dibelinya, hak orang yang menyewakan tadi untuk menerima barang yang
disewakannya kepada orang lain, dan hak penyewa untuk menerima manfaat atas
tanah atau rumah yang disewanya.
c. Prinsip-Prinsip Dasar Fiqih Muamalah dalam Islam

Prinsip-prinsip dasar Fiqih Muamalah di antaranya adalah


1. Dalam berabagi jenis muamalah, hukum dasarnya adalah boleh
(Mubah) sampai ditemukan dalil yang melarangnya. Artinya
selama tidak ada yang melarang kreasi jenis muamalah, maka
muamalah itu dibolehkan. Inilah isi rahmat Allah terbesar yang
diberikan Allah kepada umat manusia.
2. Prinsip lainnya adalah kejujuran, kemaslahatan umat,
menjunjung tinggi prinsip-prinsip, saling tolong menolong,
tidak mempersulit, dan suka sama suka.

5
3. Prinsip dasar dalam persoalan muamalah adalah “untuk
mewujudkan kemaslahatan umat manusia”, mereduksi
permusuhan dan perselisihan di antara manusia dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan berbagai situasi dan
kondisi yang mengitari manusia itu sendiri. Dari prinsip pertama
ini, terlihat perbedaan persoalan muamalah dengan persoalan
akidah, akhlak, dan ibadah. Allah tidak menurunkan syariah,
kecuali dengan tujuan untuk merealisasikan kemaslahatan hidup
hamba-Nya, tidak bermaksud memberi beban dan
menyempitkan ruang gerak kehidupan manusia.
4. Dalam buku lain mengatakan bahwa prinsip-prinsip fiqih
muamalah adalah “halal”, maksudnya di sini adalah benda yang
akan di transaksikan itu harus bersih dan halal.
5. Azas Manfaat; maksudnya adalah benda yang akan
ditarnsaksikan itu adalah benda yang bermanfaat, baik manfaat
yang dapat diarasakan secara langsung maupun manfaat yang
tidak langsung, contohnya (buah-buahan atau bibit tanaman
secara tidak langsungnya).
6. Azaz Kerelaaan; dalam muamalah dimana saat bertransakisi
harus adanya rasa saling suka sama suka, supaya nantinya tidak
ada rasa kekcewaan satu sama lainnya.
7. Asas Kebajikan (Kebaikan); maksudnya adalah setiap hubungan
perdata sebagiannya mendatangkan kebajikan (kebaikan)
kepada kedua belah pihak dan pihak ketiga dalam masyarakat.
Kebajikan yang diperoleh seseorang haruslah didasarkan pada
kesadaran pengembangan kebaikan dalam rangka kekeluargaan.
8. Asas mendahulukan kewajiban dari hak; bahwa dalam
pelaksanannya hubungan perdata para pihak harus
mengutamakan penuaian kewajiban terlebih dahulu daripada
menurut hak.
9. Adil dan berimbang.
10. . Asas kemasaslahatan hidup.
11. Asas larangan merugikan diri sendiri dan orang lain :
maksdunya adalah bahwasanya para pihak yang mengadakan
hubungan perdata tidak boleh merugikan didri sendir dan orang
lain dalam hubungan bertransaksi.

B. Kajian Umum Jual Beli Menurut Hukum Islam


a. Pengertian Jual Beli
Jual beli dalam istilah fikih disebut al-bai‟ yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar suatu dengan suatu yang lain. Pada era
sekarang jual beli identik dengan penukaran menggunakan mata uang
dengan suatu barang. lafadal-bai‟ juga digunakan untuk pengertian

6
awalnya yang berarti menjual. Dengan demikian kata al-bai‟ juga
berarti menjual tetapi juga sekaligus juga membeli.
Kata beli dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah alsyira‟ yaitu
mashdar dari kata syara. Dalam isitlah fiqih, jual beli disebut dengan al
bay yang berarti menjual, mengganti, atau menukar sesuatu dengan
yang lain. Sedangkan syara‟ artinya menukar harta dengan harta
menurut cara-cara tertentu (akad). Lafaz al-bay dalam bahasa Arab
terkadang digunakan untuk pengertian lawannya, yakni al-syira‟(beli).
Dengan demikian, kata al-bay berarti jual, tetapi sekaligus jual beli.
Kata jual menunjukan adanya perbuatan menjual, sedangkan beli
adalah adanya perbuatan membeli. Secara etimologi, jual beli diartikan
sebagai pertukaran sesuatu dengan yang lain atau memberikan sesuatu
untuk menukar sesuatu dengan yang lain.
Adapun defenisi jual beli secara istilah, menurut Taqi‟ al-Din Ibn
Abi Bakr ibn Muhammad al-Husayni, adalah pertukaran harta dengan
harta yang diterima dengan menggunakan ijab dan qabul dengan cara
yang ditentukan oleh syara‟.
Munurut Abu Muhammad Mahmud al-Ayni, pada dasarnya jual
beli merupakan pertukaran barang dengan barang yang dilakukan
dengan suka sama suka.
Menurut ulama makkiyah, ada dua macam jual beli yang bersifat
umum dan jual beli yang bersifat khusus.Jual beli dalam arti ialah suatu
perikatan tukar menukar sesuatu yang bukan kemanfaatan dan
kenikmatan.Perikatan adalah akad yang mengikat dua belah pihak.
Tukar menukar yaitu salah satu pihak menyerahkan ganti penukaran
atas sesuatu yang ditukarkan oleh pihak lain. Sesuatu yang bukan
manfaat ialah bahwa benda yang ditukarkan adalah dzat (berbentuk), ia
berfungsi sebagai objek penjualan. Jadi bukan manfaatnya atau bukan
hasilnya.
Jual beli adalah kegiatan tukar menukar barang dengan
menggunakan uang sebagai alat yang dijadikan standar harga dan
tindakan rasional antar manusia sehingga meniscayakan adanya
penjual, pembeli, ijab dan qabul serta adanya benda atau barang.
Sedangkan menurut BW (Burgeljik Wetboek), jual beli adalah suatu
perjanjian timbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji
akan menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak yang
lain (pembeli) berjanji untuk membayar harta yang terdiri atas sejumlah
uang sebagai imbalan perolehan dari hak milik tersebut.
Dari beberapa pengertian jual beli tersebut di atas dapat dipahami
bahwa jual beli ialah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang
yang mempunyai nilai secara suka rela di antara kedua belah pihak,
yang satu menerima benda-benda dan pihak yang lain menerimanya
sesuai dengan perjanjian atau ketentuan telah dibenarkan syara‟ dan
disepakati.
b. Dasar Hukum Jual Beli

7
Jual beli merupakan sarana transaksi untuk saling memenuhi
kebutuhan. Jual beli memiliki landasan hukum dalam Al-Quran dan As-
Sunnah. Terdapat beberapa firman Allah SWT dalam ayat suci Al-
Quran mengenai jual beli diantaranya :
Dasar hukum jual beli dalam Al-Quran antara lain :
1. Landasan Al-Qur‟an
Surat Al Baqarah ayat 198 :
ُِٔ ‫ك ن َْي ًَا‬
ْ‫ُس‬ ُ T ‫ك َ ْى ُ َُجا ٌح أ َس َعهَ ْي‬ ُ ِّ‫ت َ ا أ ِ َذ ۚ فَئ ْى ٌْ تَ ْبتَ ُٕغا فَ ْض اًل ِي ٍْ َزب‬T
ُ T‫ى فَ ْض‬
ْ
‫ان‬TT‫ ِّ ًِ ٍَ ان هض‬.‫ي‬ ٍ ‫ت فَ ْاذ‬
ٍ ‫ك ِي ٍْ َع َسفَا‬ ُ ‫ك ۖ َٔ ْاذ ِو َح َسا ْ ان ِ ًَ ْش َعس ْ هَّلالَ ِ ُع َد ان ُ ٔسا‬
ُ ‫ك‬
َ
َٔ
ُ ‫ك ِ ْى إ َْ َد ا‬
‫ك‬ ُ َ
ُ ٌْ ُْ ‫ْى ِي ٍْ ق ْب ِهِّ نَ ت‬
Terjemahan : Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia
rezeki hasil perniagaan dari tuhanmu. Maka apabila kamu telah
bertolak dari Arafat berzikirlah kepada allah SWT di
Masy‟ariharam. Berzikirlah kepada dengan menyebut nama
allah sebagaimana yang ditunjukannya kepadamu dan
sesungguhnya kamu sebelum itu benar-benar termasuk orang
yang sesat.
2. Landasan dalam As-Sunnah
Dalam sunnah, Rasulullah saw bersabda, “Sebaik-baik
usahaadalah pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri dan
setiap jual beli yang baik”. Artinya jual beli yang tidak
mengandung unsur penipuan. Rasulullah sangat melarang sikap
dan perilaku negative dalam aktivitas jual beli, di antaranya
adalah: jual beli dengan penipuan. Penipuan dapat merugikan
orang lain dan melanggar hak asasi jual beli yaitu suka sama
suka. Orang yang tertipu jelas tidak akan suka karena haknya
dikurangi atau dilanggar. Jual beli yang mengandung penipuan
adalah jual beli yang tidak diketahui hasilnya, atau tidak bisa
diserahterimakan, atau tidak diketahui hakikatnya, atau
kadarnya.
3. Landasan menurut ijma‟ ummat
Ummat sepakat bahwa jual beli dan penekunannya sudah
berlaku (dibenarkan) sejak zaman Rasulullah hingga saat ini.
c. Rukun dan Syarat Jual Beli
a. Rukun
Dalam rukun jual beli, diantar para ulama terjadi pebedaan
pendapat. Menurut ulama madzhab Hanafi rukun jual beli hanya
“ijab dan qabul”. Menurut mereka yang menjadi rukun dalam jual
beli itu hanyalah kerelaan antara kedua belah pihak untuk
berlangsung jual beli. Namun karena unsur kerelaan itu
berhubungan dengan hati yang sering tidak kelihatan maka
diperlukan indikator (qarinah) yang menunjukkan kerelaan tersebut
dari kedua belah pihak. Dapat dalam bentuk perkataan (ijab dan
qabul) atau dalam bentuk perbuatan saling memberi (penyerahan
barang dan penerimaan uang). Menurut Jumhur Ulama rukun jual
beli ada empat, yaitu:

8
1. orang yang berakad.
a) penjual
Penjual yaitu pemilik harta yang menjual
barangnya, atau orang yang diberi kuasa untuk menjual
harta orang lain. Penjual haruslah cakap dalam
melakukan taransaksi jual beli (mukallaf).
b) pembeli
Pembeli adalah orang yang cakap dalam
membelanjakan hartanya.

2. Sighat
Sighat (ijab dan qabul) yaitu persetujuan pihak penjual dan
pihak pembeli untuk melakukan tarnsaksi jual beli. Dimana
pihak pembeli menyerahkan uang dan pihak penjual
menyerahkan barang (serah terima), baik transaksi
menyerahkan barang lisan maupun tulisan .
3. Ada barang
Untuk menjadi sahnya jual beli harus ada ma‟qud alaih,
yaitu barang yang menjadi objek jual beli atau yang menjadi
sebab terjadinya perjanjian jual beli.
4. Ada nilai tukar
Nilai tukar pengganti barang yaitu sesuatu yang memenuhi
tiga syarat bisa menyimpan nilai, bia menilai atau
menghargakan suatu barang dan bisa dijadikan alat tukar.

b. syarat
Menurut jumhur ulama bahwa syarat jual beli sesuai dengan rukun
jual beli adalah sebagai berikut :
1. Syarat orang yang berakad Ulama fikih sepakat, bahwa orang
yang melakukan akad jual beli harus memenuhi syarat:
a. Baligh dan berakal Dengan demikian jual beli yang
dilakukan anak kecil yang belum berakal hukumnya tidak
sah. Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang
melakukan akad jual beli itu harus telah akil baligh dan
berakal. Baligh menurut hukum Islam (fiqih), dikatakan
baligh (dewasa) apabila telah berusia 15 tahun bagi anak
lakilaki dan telah dating bulan (haid) bagi anak perempuan.
Oleh karena itu transaksi jual beli yang dilakukan anak
kecil adalah tidak sah, namun demikian bagi anak-anak
yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk tetapi ia belum dewasa (belum mencapai usia
15 tahun dan belum bermimpi atau belum haid), menurut
sebagian ulama bahwa anak tersebut di perbolehkan untuk
melakukan perbuatan jual beli, khususnya untuk barang-
barang kecil dan tidak bernilai.

9
b. Dengan kehendak sendiri (bukan paksaan) Maksudnya
bahwa dalam melakukan transaksi jual beli salah satu pihak
tidak melakukan suatu tekanan atau paksaan kepada pihak
lain, sehingga pihak lain pun melakukan transaksi jual beli
bukan karena kehendaknya sendiri. Oleh karena itu jual beli
yang dilakukan bukan atas dasar kehendak sendiri adalah
tidak sah.
c. Orang yang melakukan akad adalah orang yang berbeda.
Maksudnya seseorang tidak dapat bertindak sebagai
pembeli dan penjual dalam waktu bersamaan.
d. Keduanya tidak mubazir Maksudnya bahwa para pihak
yang mengikatkan diri dalam transaksi jual beli bukanlah
orang-orang yang boros (mubazir), sebab orang yang boros
menurut hukum dikatakan sebagai orang yang tidak cakap
bertindak.
2. Syarat Yang terkait dengan ijab dan qabul Ulama fiqih sepakat
menyatakan bahwa didalam urusan utama dalam jual beli
adalah kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan ini dapat terlihat
saat akad berlangsung. Ijab qabul harus diucapkan secara jelas
dalam transaksi yang bersifat mengikat kedua belah pihak.
Akad jual beli dan sewa menyewa. Ulama fikih menyatakan
bahwa syarat ijab dan qabul itu adalah sebagai berikut:
a. Orang yang mengucapkan telah akil baligh dan berakal
(Jumhur Ulama) atau telah berakal ( Ulama madzhab
hanafi).
b. Qabul sesuai dengan ijab. Contohnya: “Saya jual sepeda ini
dengan harga sepuluh ribu”, lalu pembeli menjawab:
“sayabeli dengan harga sepuluh ribu”.
c. Ijab dan qabul dilakukan dalam satu majlis. Maksudnya
kedua belah pihak yang melakukan akad jual beli hadir dan
membicarakan masalah yang sama.
d. Janganlah diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan
qabul.
3. . Syarat barang yang di perjualbelikan adalah sebagai berikut:
a. Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual
menyatakan sanggup untuk mengadakan barang itu. Barang
itu ada pada sebuah toko atau masih di pabrik dan yang
lainnya di simpan di gudang. Sebab adakalanya tidak
semua barang yang dijual berada di toko atau belum
dikirim dari pabrik, mungkin karena tempat sempit atau
alasan-alasan lainnya.
b. Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia, oleh
sebab itu bangkai, khamar, dan benda-benda haram lainnya
tidak sah menjadi objek jual beli, karena benda-benda
tersebut tidak bermanfaat bagi manusia dalam pandangan
syara.

10
c. Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki
seseorang tidak boleh diperjualbelikan seperti
memperjualbelikan kan di laut dan emas dalam tanah,
karena ikan dan emas itu belum dimiliki penjual.
d. Dapat diserahkan pada saat akad berlangsung atau pada
waktu yang telah disepakati bersama ketika akad
berlangsung.
d. Macam-Macam Jual Beli
Ditinjau dari segi benda yang dijadikan objek jual beli dapat
dikemukakan pendapat Imam Taqiyuddin bahwa jual beli dibagi
menjadi tiga bentuk yaitu:
a. Jual beli yang kelihatan yaitu yang pada waktu melakukan akad
jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan
penjual dan pembeli.
b. Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian yaitu
jual beli salam (pesanan).
c. Jual beli benda atau barang yang tidak ada serta tidak dapat
dilihat yaitu jual beli yang dilarang agama Islam karena di
khawatirkan akan menimbulkan kerugian diantara satu pihak.
Jual beli yang dilarang dalam Islam sangatlah banyak. Jumhur
ulama. Dengan kata lain, menurut jumhur ulama, hukum jual beli
terbagi menjadi dua, yaitu jual beli shahih dan jual beli fasid,
sedangkan menurut ulama Hanafiyah jual beli terbagi menjadi tiga
yaitu shahih, fasid, dan batal.Berkenaan dengan jual beli yang
dilarang di dalam Islam, Wahbah Az-zuhaili meringkasnya sebagai
berikut:
Berkenaan dengan jual beli yang dilarang dalam Islam,
Wahbah Azzuhaili meringkasnya sebagai berikut :
a. Terlarang sebab Ahliah (Ahli Akad)
Ulama telah sepakat bahwa jual beli di kategorikan
shahih apabila dilakukan oleh orang yang baligh, berakal,
dapat memilih dan mampu ber tasharruf secara bebas dan
baik. Mereka yang dipandang tidak sah jual belinya adalah
sebagai berikut ini.
1. Orang gila
Maksudnya bahwa jual beli yang dilakukan
oleh orang yang gila tidak sah. Berdasarkan
kesepakatan ulama, karena tidak memiliki sifat
ahliyah (kemampuan) dan disamakan dengannya
orang yang pingsan, mabuk dan dibius.
2. Anak kecil
Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli anak
kecil (belum mumayyiz) dipandang tidak sah,
kecuali dalam perkara-perkara ringan atau

11
sepele. Menurut ulama Syafi‟iyyah jual beli
anak mumayyiz yang belum baligh, tidak sah
sebab tidak ada ahliah (kecakapan hukum).
Adapun menurut ulama Malikiyah, Hanafiyah,
dan Hanabillah, jual beli anak kecil dipandang
sah jika diizinkan oleh walinya. Mereka
beralasan salah satu cara untuk melatih
kedewasaan adalah dengan memberikan
keleluasaan untuk jual beli, juga sekaligus
pengamalan atas firman Alah Swt:
‫ا‬T‫دا ف‬T‫تم منهم رش‬TT‫ان انس‬T‫ا ح ف‬TT‫وابتلوا اليتا مئ حتئ ادا بلغوا النك‬
‫وا ومن‬TT‫داراان يكرب‬TT‫ا وب‬T‫ر اف‬TT‫دفعوا اليهم امواهلم والتا كلو ها اس‬
‫ادا‬TT‫ر وف ف‬TT‫ا ملع‬TT‫ل ب‬TT‫ا ك‬TT‫ري فلي‬TT‫كان غنيا فليستعفف ومن كان فق‬
‫دفعقم اليهم امو اهلم فا شهد وا عليهم وكفئ با هلل حسيبا‬

Artinya: “Dan ujilah anak yatim itu sampai


mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian
jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas
(pandai memelihara harta), maka serahkanlah
kepada mereka harta-hartanya”. (Q.S. An-
nisa:6).
3. Orang buta
Jual beli orang buta dikategorikan sah
menurut jumhur ulama jika barang yang
dibelinya diberi sifat (diterangkan sifat-
sifatnya). Adapun menurut ulama syafi‟iyyah,
jual beli orang buta itu tanpa diterangkan
sifatnya dipandang bati dan tidak sah karena ia
dianggap tidak bisa membedakan barang yang
jelek dan baik walaupun diterangkan sifatnya
tetap dipandang tidak sah.
4. Orang yang terpaksa
Menurut ulama Hanfiyah, hukum jual beli
orang terpaksa, seperti jual beli fudhul (jual beli
tanpa seizing pemiliknya), yakni ditangguhkan
(mauquf). Oleh karena itu, keabsahannya
ditangguhkan sampai rela (hilang rasa terpaksa).
Menurut ulama Malikiyyah, tidak lazim,
baginya ada khiyar. Adapun menurut ulama
syafi‟iyyah dan Hanabilla, jual beli tersebut
tidak sah sebab tidak ada keridhaan ketika akad.
5. Fudhul
Jual beli fudhul adalah jual beli milik orang
tanpa seizin pemiliknya, oleh karena itu menurut
para ulama jual beli yang demikian dipandang
tidak sah, sebab dianggap mengambil hak orang

12
lain (mencuri). Ulama Malikiyah berpendapat
bahwa jual beli semacam ini diperbolehkan,
karena mereka menafsirkan jual beli tersebut
kepada pemebelian untuk dirinya dan bukan
juga untuk orang lain. Menurut ulama yang lain
mengkategorikan ini ke dalam jual beli untuk
dirinya sendiri. Oleh karena itu para ulama
sepakat bahwa jual beli fudhul tidak sah.
6. Jual beli orang yang terhalang (sakit, bodoh,
atau pemboros)
Maksud dari terhalang disini adalah karena
kebodohan, bangkrut ataupun sakit. Jual beli
orang yang bodoh yang suka menghambur-
hamburkan hartanya, menurut pendapat ulama
Malikiyyah, Hanfiyah dan pendapat paling
shahih dikalangan Hanabilah, harus
ditangguhkan. Adapun menurut ulama
Syafi‟iyyah, jual beli tersebut tidak sah sebab
tidak ada ahli dan ucapannya dipandang tidak
dapat dipegang.
Begitu pula ditangguhkan jual beli orang
yang sedang bangkrut berdasarkan ketetapan
hukum menurut ulama Malikiyah dan hanafiyah.
Sedangkan menurut ulama syafi‟iyah dan
Hanabilah jual beli tersebut tidak sah. Menurut
jumhur selain malikiyah, jual beli orang sakit
parah yang sudah mendekati mati hanya
dibolehkan sepertiga dari hartanya (tirkah), dan
bila ingin lebih dari sepertiga, jual beli tersebut
ditangguhkan kepada izin ahli warisnya.
Menurut ulama mallikiyah, sepertiga dari
hartanya hanya dibolehkan pada harta yang
tidak bergerak, seperti rumah, tanah dan lain-
lain.
7. Jual beli mulja‟
Jual beli mulja‟ adalah jual beli yang
dilakukan oleh orang yang sedang dalam
bahaya, yakni untuk menghindar dari perbuatan
zalim. Jual beli yang demikian menurut
kebanyakan ulama tidak sah karena dipandang
tidak normal sebagaimana yang terjadi pada
umumnya.
b. Terlarang sebab lafadz (ijab qabul)
Ulama fiqih telah sepakat atas sahnya jua beli yang
didasarkan pada keridhaan diantara pihak yang melakukan
akad, ada kesesuaian diantara ijab dan qabul, berada disatu

13
tempat, ada kesesuaian diantara ijab dan qabul, berada di
satu tempat, dan tidak terpisah oleh pemisah. Jual beli yang
tidak memenuhi ketentuan tersebut dipandang tidak sah.
Beberapa jual beli yang dipandang tidak sah atau masih di
perdebatkan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
1. Jual beli mu‟athah
Jual mu‟athah adalah jual beli yang telah
disepakati oleh pihak akad, berkenaan dengan
barang maupun harganya, tetapi tidak memakai
ijab qabul. Jumhur ulama mengatakan sahih
apabila ada ijab dari salah satunya. Begitu pula
dibolehkan ijabqabul dengan isyarat, perbuatan,
atau cara lain yang menunjukkan keridhaan.
Memberikan barang dan menerima uang
dipandang sebagai sighat dengan perbuatan atau
isyarat. Adapun ulama Syafi‟iyyah berpendapat
bahwa jual beli harus disertai ijab-qabul, yakni
dengan sighat lafadzh, sebab keridhaan sifat itu
tersembunyi dan tidak dapat diketahui, kecuali
dengan ucapan. Mereka hanya membolehkan
jual beli dengan isyarat.
Jual beli al-mu‟athah dipandang tidak sah
menurut ulama Hanfiyah, tetapi sebagian ulama
syafi‟iyyah membolehkannya seperti imam
Nawawi. Menurutnya, hali itu dikembalikannya
dalam hal-hal kecil.
2. Jual beli melalui surat atau melalui utusan
Disepakati ulama fiqih bahwa jual beli
melalui surat atau utusan adalah sah. Tempat
berakad adalah sampainya surat atau utusan dari
aqid pertama kepada aqid kedua. Jika qabul
melebihi tempat, akad tersebut dipandang tidak
sah, seperti surat tidak sampai ketangan yang
dimaksud.
3. Jual Beli dengan isyarat atau tulisan
Disepakati ke sahihan akad dengan isyarat
atau tulisan khususnya bagi yang uzur sebab
sama dengan ucapan. Selain itu, isyarat juga
menunjukkan apa yang ada dalam hati aqid.
Apabila isyarat tidak dapat dipahami dan
tulisannya jelek, maka akad tidak sah.
4. Jual beli barang yang tidak ada ditempat
akad Ulama fiqh sepakat bahwa jual beli
atas barang yang tidak ada ditempat adalah tidak
sah, sebab tidak memenuhi syarat in‟iqad.
5. Jual beli tidak bersesuaian antara ijab dan qabul

14
Hal ini dipandang tidak sah menurut
kesepakatan ulama. Akan tetapi jika lebih baik,
seperti meninggikan harga. Menurut ulama
Hanafiyah membolehkannya, sedangkan ulama
syafi‟iyyah menganggapnya tidak sah.
6. Jual beli munjiz
Jual beli munjiz adalah jual beli yang
dikaitkan dengan suatu syarat atau ditangguhkan
pada waktu yang akan dating. Jual beli ini
dipandang fasid menurut ulama Hanafiyah dan
batal menurut jumhur ulama.
7. Jual beli najasyi
Jual beli najasyi yaitu jual beli yang
dilakukan dengan menambah atau melebihi
harga temannya, dengan maksud mempengaruhi
orang agar orang itu mau membeli barang
kawannya. Jual beli seperti ini dipandang tidak
sah karena akan menimbulkan keterpaksaan.
8. Menawar barang yang sedang ditawar orang lain
Contoh dari perbuatan menawar barang yang
sedang ditawar orang lain adalah apabila
seseorang berkata: “jangan terima tawaran orang
itu, nanti aku akan membeli dengan harga yang
lebih tinggi”. Jual beli seperti itu dilarang oleh
agama sebab dapat menimbulkan persaingan
tidak sehat dan dapat mendatangkan perselisihan
diantara pedagang dengan pembeli dan pembeli
dengan pembeli.
c. . Terlarang sebab Ma‟qud Alaih (barang yang diperjual
belikan)
Secara umum ma‟qud alaih adalah harta yang dijadikan alat
pertukaran oleh orang yang berakad, yang biasa disebut
mabi (barang jualan) dan harga. Ulama fiqh sepakat bahwa
jual beli dianggap sah apabila ma‟qud alaih adalah barang
yang tetap atau bermanfaat berbentuk dapat diserahkan,
dapat dilihat oleh orang-orang yang akad, tidak
bersangkutan dengan milik orang lain, dan tidak ada
larangan dari syarat.

15
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Dalam masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar
hukum dengan syarat hubungan keperdataan tersebut tidak dilarang oleh
al-qur’an dan as-sunnah. Ini berarti Islam membuka pintu selebar-lebarnya
kepada pihak –pihak yang berkepentingan untuk mengembangkan dan
menciptakan bentuk dan macam-macam transaksi baru sesuai dengan
perkembangan zaman sepanjang itu tidak merugikan diri sendiri dan orang
lain.
Selain itu dalam transaksi-transaksi muamalat, yang menjadi
acuannya adalah terciptanya unsur kemaslahatan yang mengandung makna
bahwa hubungan itu mendatangkan kebaikan, berguna dan berfaedah bagi
kehidupan pribadi dan masyarakat. Begitu juga yang terjadi pada adat
gulingan yang setelah diteliti sebagaimana dijelaskan pada pembahasan,
maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Praktek adat gulingan di Desa Balam Sempurna Kecamatan Balai
Jaya Kabupaten Rokan Hilir merupakan kegiatan pengumpulan dana
peminjaman uang atau bahan bangunan dengan iuran yang tidak
ditetapkan itu terus bergulir dari pihak satu kepada pihak yang lain
sesuai waktu pembangunan rumah yang dilakukan oleh pihak-pihak
yang turut mengikuti adat gulingan tersebut.
2. Praktek adat gulingan di Desa Balam Sempurna Kecamatan Balai
Jaya Kabupaten Rokan Hilir berperan penting untuk lebih
menumbuhkan semangat gotong royong dan tolong menolong
sesama masyarakat serta kegiatan ini sungguh membantu untuk

16
menyelesaikan permasalahan dalam pembiayaan dan pendanaan
pembangunan rumah terutama bagi mereka yang ingin membangun
rumah namun masih kekurangan dana.
3. Tinjauan fiqh muamalah terhadap praktek adat gulingan di Desa
Balam Sempurna Kecamatan Balai Jaya Kabupaten Rokan Hilir
masih ada terdapat unsur pendzaliman di dalamnya karena masih ada
saja pihak yang tidak mengembalikan utangnya sebagaimana
mestinya, selain itu bentuk akad perjanjian juga tidak dilakukan
secara tertulis oleh karena intu praktek adat gulingan masih belum
sesuai dengan fiqh muamalah.

B. SARAN
Mengingat bahwa manusia adalah makhluk sosial yang saling
membutuhkan bantuan antara satu dengan yang lainnya terutama untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, maka dari kesimpulan diatas dapat
diberikan saran kepada masyarakat yang melakukan adat gulingan.
Adapun saran dari penelitian ini adalah:
1. Diharapkan dalam suatu akad (perjanjian) dalam bentuk apapun
hendaknya dilakukan secara tertulis. Apabila terjadi penyimpangan
dikemudian hari, maka dapat diselesaikan dengan adanya alat bukti.
2. Diharapkan kepada pihak yang melakukan praktek adat gulingan agar
selalu menjaga kejujuran dan kepercayaan, agar praktek adat gulingan
ini terus bisa dilakukan dan bermanfaat, dan selalu berada dalam ajaran
yang di syari’atkan oleh agama. Dan diharapkan dalam praktek adat
gulingan ditentukan batas waktunya, sehingga tidak ada unsur gharar
(kesamaran). Apabila terdapat kesamaran dapat menimbulkan
penyimpangan- penyimpangan.
3. Diharapkan kepada pihak yang melakukan praktek adat gulingan
melakukan pinjaman serta pengembalian dengan objek berbentuk
barang dengan barang agar dikemudian hari tidak terjadi perselisihan.

17
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ichsan. Lembaga Perserikatan, Surat-Surat Berharga, Aturan-aturan
Angkutan. jakarta : pradnya paramita, 1993.

Adrian Sutedi. Hukum Kepailitan . bogor : ghalia indonesia, 2009.

Ahmad Ifham Sholihin. Buku Pintar Ekonomi Syariah. jakarta : pt. gramedia
Pustaka Utama, 2010.

Aliy, As’ad. Tarjamah Fathul Mu-in, Jilid 2. Kudus : Menara Kudus, 1979.

al-Zuhaily, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh. depok : gema Insani,


cet.I;2011.

Asyqolani, Al Khafid ibnu Khajar Al. Bulughul Maram. Bairut : darul-fikr, 1998.
Ath-Thayyar, Abdullah Bin Muhammad. 2009. EKSIKOLPEDI FIQIH
MUAMALAH DALAM PANDANGAN 4 MADZHAB. Yogyakarta : Maktabah
Al Hanifah, 2009.

Aziz, Azzam Muhammad Abdul. Fiqh Muamalat; Sistem Transaksi dalam Fiqh.
jakarta : amzah, cet.I;2010.

Hidayat., Taufik. Buku pintar investasi syariah. jakarta : PT. Trans Media, 2011.

http://id.wikipedia.org/wiki/Komoditi.

http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/pialang.aspx

Ismail Nawawi. Fikih Muamalah Klasik Dan Kontemporer. Hukum Perjanjian,


Ekonomi, Bisnis Dan Sosial. bogor : ghalia Indonesia, 2012.

18

Anda mungkin juga menyukai