Dosen Pembimbing
Disusun Oleh :
Kelompok 1
2. Madinatul Mubarokah
3. Halimatus sakdiyah
5. Indawati
6. M.Ilyas
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ruang lingkup fiqih
muamalah” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari dosen(Anik
Gitayuana,M.E) mata kulyah fiqih muamalah iqtishodiyah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dosen “Anik Gitayuana,M.E” bidang studi
Manajemen Keuangan Syariah mata kulyah fiqih muamalah iqtishodiyah yang telah memberikan
tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai bidang studi yang saya
tekuni.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR ISI
JUDUL.........................................................................................................................
KATA PENGANTAR................................................................................................
DAFTAR ISI...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................
1. Latar belakang.........................................................................................................
2. Rumusan masalah....................................................................................................
3. Tujuan masalah........................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
B.Rumusan Masalah
1.Pengertian Fiqih Muamalah?
C.Tujuan Masalah
PEMBAHASAN
Kata fiqh secara etimologi adalah ( )الفقهyang memiliki makna pengertian atau
pemahaman.1 Menurut terminologi, fiqh pada mulanya berarti pengetahuan keagamaan yang
mencakup seluruh ajaran agama, baik berupa aqidah, akhlak, maupun ibadah sama dengan arti
syari’ah islamiyah. Namun,
pada perkembangan selanjutnya, fiqh diartikan sebagai bagian dari syariah Islamiyah, yaitu
pengetahuan tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang
telah dewasa dan berakal sehat yang diambil dari dalil-dalil yang terinci. Secara bahasa
Muamalah berasal dari kata amala yu’amilu yang artinya bertindak, saling berbuat, dan saling
mengamalkan. Sedangkan
menurut istilah Muamalah adalah tukar menukar barang atau sesuatu yang memberi manfaat
dengan cara yang ditentukan.2 Muamalah juga dapat diartikan sebagai segala aturan agama yang
mengatur hubungan antara sesama manusia, dan antara manusia dan alam sekitarnya tanpa
memandang
perbedaan.
Aturan agama yang mengatur hubungan antar sesama manusia, dapat kita temukan
dalam hukum islam tentang perkawinan, perwalian, warisan, wasiat, hibah perdagangan,
perburuan, perkoperasian dll. Aturan agama yang mengatur hubungan antara manusia dan
lingkungannya dapat kita temukan antara lain dalam hukum Islam tentang makanan, minuman,
mata pencaharian,
dan cara memperoleh rizki dengan cara yang dihalalkan atau yang diharamkan.
pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami
datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan
sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan pengertian dari Fiqh Muamalah ialah
peengetahuan ketentuan-ketentuan hukum tentang usahausaha memperoleh dan mengembangkan
harta, jual beli, hutang piutang dan jasa penitiapan diantara anggota-anggota masyarakat sesuai
keperluan mereka, yang dapat dipahami dan dalil-dalil syara’ yang terinci.
4. H. Lammens, S.J., guru besar bidang bahasa Arab di Universitas Joseph, Beirut
sebagaimana dikutip dalm buku Pengantar Fiqh Mu’amalah karya Masduha
Abdurrahman, memaknai fiqh sama dengan syari’ah. Fiqh, secara bahasa menurut
Lammens adalah wisdom (hukum). Dalam pemahamannya, fiqh adalah rerum divinarum
atque humanarum notitia (pengetahuan dan batasan-batasan lembaga dan hukum baik
dimensi ketuhanan maupun dimensi manusia).
Aturan-aturan Allah ini ditujukan untuk mengatur kehidupan manusia dalam urusan
yang berkaitan dengan urusan duniawi dan sosial kemayarakatan. Manusia kapanpun dan
dimanapun harus senantiasa mengikuti aturan yang telah ditetapkan Allah sekalipun
dalam perkara yang bersifat duniawi sebab segala aktifitas manusia akan dimintai
pertanggung jawabannya kelak di akhirat. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara amal
perbuatan dan amal akhirat, sebab sekecil apapun aktifitas manusia di dunia harus
didasarkan pada ketetapan Allah SWT agar kelak selamat di akhirat.
2. Menurut Idris Ahmad adalah aturan Allah yang mengatur hubungan manusia
dengan manusia dalam usahanya mendapatkan alat-alat keperluan jasmaninya dengan
cara yang paling baik.Jadi pengertian Fiqh muamalah dalam arti sempit lebih
menekankan pada keharusan untuk menaati aturan-aturan Allah yang telah ditetapkan
untuk mengatur hubungan antara manusia dengan cara memperoleh, mengatur,
mengelola, dan mengembangkan mal (harta benda). Fiqh muamalah juga membahas
tentang hak dan kewajiban kedua belah pihak yang melakukan akad agar setiap hak
sampai kepada pemiliknya serta tidak pihak yang mengambil sesuatu yang bukan
haknya.
1. Al-Muamalah Al-AdabiyahYaitu muamalah yang ditinjau dari segi cara tukar menukar benda
yang bersumber dari panca indera manusia, yang unsur penegaknya adalah hak-hak dan
kewajiban-kewajiban. Ruang lingkup fiqh muamalah yang bersifat Adabiyah mencangkup
beberapa hal berikut ini:
a. Ijab Qabul
b. Saling meridhai
e. Kejujuran pedagang
f. Penipuan
g. Pemalsuan
h. Penimbunan
telah disyari’atkan dalam arti telah ada hukumnya yang jelas dalam
islam.
b. Gadai (al-Rahn) yaitu menjadikan suatu benda yang mempunyai nilai harta dalam
pandangan syara’ untuk kepercayaan suatu utang, sehingga memungkinkan mengambil
seluruh atau sebagaian utang dari benda itu.
dari atau membayar hutang kepada pihak ketiga. Karena pihak ketiga berhutang kepada
pihak pertama. Baik pemindahan (pengalihan) itu dimaksudkan sebagai ganti pembayaran
maupun tidak.
g. Masalah-masalah seperti bunga bank, asuransi, kredit, dan masalah-masalah baru lainnya.
Pada awal munculnya, bidang bahasan fikih oleh para fukaha (ahli fikih) dibagi dalam tiga
bagian besar, yakni akidah, ibadah dan muamalah. Akidah mengandung kepercayaan
kepada Allah SWT, rasul, malaikat dan hari kiamat dan sebagainya yang berkaitan
dengan keimanan.
Bidang ibadah mengandung permasalahan yang menyangkut hubungan manusia dengan
Tuhannya, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Sedangkan bidang muamalah adalah
yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesamanya dalam masyarakat.
Dalam bidang muamalah ini, pada mulanya juga tercakup masalah keluarga, seperti
perkawinan dan perceraian. Akan tetapi, setelah terjadinya disintegrasi di dunia Islam,
khususnya di zaman Turki Ustmani, maka terjadilah perkembangan pembagian fikih
baru.
Dalam fikih muamalah, ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan. Misalnya, dalam
melaksanakan hak dan bertindak, tindakan tersebut tidak boleh menimbulkan kerugian
terhadap orang lain. Setiap orang yang melakukan tindakan yang merugikan orang lain,
sekalipun tidak disengaja, akan diminta pertanggungjawabannya.
Pada setiap transaksi, terdapat beberapa prinsip dasar yang ditetapkan syarak. Pertama,
setiap transaksi pada dasarnya mengikat orang (pihak) yang bertransaksi, kecuali
transaksi yang jelas-jelas melanggar aturan syariat. Kedua, syarat-syarat transaksi itu
dirancang dan dilaksanakan secara bebas namun bertanggungjawab.
Ketiga, setiap transaksi dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Dan keempat, syari' (pembuat hukum) mewajibkan agar setiap perencanaan transaksi
dan pelaksanaannya didasarkan atas niat baik, sehingga segala bentuk penipuan dan
kecurangan, dapat dihindari.
Kecenderungan aplikasi Fikih muamalah pada formulasi hybrid contract lebih nampak
sebagai model aplikasi fikih dalam bentuk takhayyur,20 yang tidak terikat pada mazhab
tertentu tetapi lebih memilih mana pendapat klasik yang seuai dengan alasan tertentu.
Buktinya nampak dalam variasi bentuk hybrid contract di berbagai negara Muslim.
Meskipun masyarakat Muslim di Malaysia memiliki mazhab pemikiran yang sama
dengan masyarakat Muslim Indonesia, yaitu mazhab Syafi’i, tetapi beberapa aplikasi
konsep Islam dalam perbankan Islam di Malaysia dan Indonesia dapat saja berbeda.21
Perbankan Islam di Malaysia misalnya, memiliki beberapa jenis akad yang ditawarkan
kepada nasabah yang yang unik yang kadang berbeda dengan yang ada di negara lain.
Akad yang khas ada di Malaysia misalnya akad bay‘ al-‘inah, akad ini merupakan bagian
dari akad jual beli di mana pihak penjual melakukan penjualan asetnya kepada pembeli
denga janji untuk melakukn pembelian kembali dengan pihak yang sama. Dapat
dikatakan bahwa bay‘ al-‘inah merupakan penjualan tunai yang dianjutkan dengan
pembelian kembali barang tersebut secara tangguh. Prosesnya adalah nasabah
melakukan penjualan asetnya ke bank dengan harga tertentu, bank melakukan
pembayaran dengan harga tersebut kepada pihak nasabah. Bank lalu melakukan
penjualan kembali aset tersebut kepada nasabah dengan melakukan penambahan margin
keuntungan. Nasabah membayar harga aset tersebut ditambah dengan margin
keuntungan yang telah disepakati sesuai dengan kesepakatan yang ada.22 Akad bay‘
al-‘inah tersebut mirip dengan konsep pinjaman tunai dengan adanya jaminan aset pada
bank konvensional di mana perbedaannya terletak pada akadnya dan nasabahnya
mendapatkan dana tunai. Jual beli dengan bay‘ al-‘inah ini banyak diijinkan oleh ulama
Malaysia. Akan tetapi, sebagian besar ulama yang ada di Timur Tengah dan Indonesia
banyak berpendapat bahwa transaksi dengan bay‘ al-‘inah tidak sesuai dengan Islam.
Apalagi dari empat mazhab mayoritas yang banyak dipakai oleh umat Islam, hanya
mazhab Syafi’i yang mengijinkan akad bay‘al-‘inah. Uniknya, Indonesia sebagai negara
yang juga mayoritas pemakai mazhab Syafi’i justru menganut pendapat yang hampir
sama dengan mayoritas ulama di Timur Tengah, yaitu bay‘ al-‘inah dilarang dipakai.23
Dipilihnya pendapat fuqahā’ klasik tertentu didasarkan pada tujuan yang bervariasi pula.
Di Malaysia didorong oleh tujuan akselerasi perbankan syari’ah secara aresif dan
inovatif maka cenderung dipilih pendapat-pendapat yang longgar yang dapat
mengakomodasi kompleksitas produk perbankan. Karenanya, hampir semua produk
pembiayaan yang ada pada perbankan konvensional juga dikembangkan di dalam
perbankan Islam di Malaysia. Menariknya lagi, rata-rata produk pembiayaan yang ada
pada perbankan Islam di Malaysia tidak menggunakan akad berbasis bagi hasil, tetapi
lebih memakai akad berbasis margin jual beli seperti murābaḥah atau bay‘ bi thaman
ājil.24 Berbeda dengan di Indonesia atau Sudan dan Timur Tengah pada umumnya yang
memilih pendapat fuqahā’ klasik dengan alasan pentarjihan sisi kesyari’ahannya.
Namun, secara umum ada kesamaaan kecenderungan corak formulasi hybrid contract,
yakni corak formalistis tekstualis. Corak formalistis nampak pada berbagai ketentuan
atau rambu-rambu pelaksanaannya yang sagat berpegang pada formalitas syarat rukun
akad yang sudah diformulasikan pada Fikih muamalah klasik. Corak tekstualis karena
perhatian besarnya terhadap penafsiran literal teks hukum yang sudah ada. Karena
perhatian besarnya pada tekstualitas naṣ, maka corak tekstualis ini seakan tidak
menyediakan ruang yang mendukung bagi pertimbangan etis, artinya suatu aturan akan
dianggap sebagai hukum sepanjang secara teknis dideduksi dari sumber naṣ.25
Dapat ditambahkan di sini bahwa aplikasi fikih muamalah kontemporer juga masih memakai
pertimbangan taṭbīq (aplikasi hukum) melalui prinsip bidang atau kewenangan (al-
aṣliyyah). Melalui pertimbangan ini, hukum syara’ terpilah menjadi dua kapling, yaitu
bidang ibadah dan bidang muamalah. Jika termasuk bidang ibadah, maka berlaku kaedah
bahwa suatu ibadah itu pada dasarnya batal hukumnya kecuali ada dalil yang
memerintahkannya. Sedangkan, jika termasuk bidang muamalah maka berlaku kaedah
bahwa suatu muamalah itu pada dasarnya sah hukumnya kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.26 Ketika pendekatan taṭbīq melalui prinsip aṣliyyah ini dierapkan
secara berlebihan, maka akan mengabaikan pertimbangan taṭbīq melalui tujuan Syara’
(maqāṣid al-sharī’ah). Padahal, karakter dasar muamalah ada pada prinsip atau tujuan
muamalah bukan pada rumusan ẓahir-nya. Jika prinsip atau tujuan muamalah ini
diabaikan maka aplikasi fikih muamalah kehilangan ruh ke-Islamannya dan bisa
membuka peluang menguntungkan satu pihak saja.
BAB III
PENUTUP
A.Kesimpulan
Dalam masalah muamalat, adat kebiasaan bisa dijadikan dasar hokum dengan syarat
hubungan keperdataan tersebut tidak dilarang oleh al-qur’an dan as-sunnah. Ini berarti
Islam membuka pintu selebar-lebarnya kepada pihak –pihak yang berkepentingan untuk
mengembangkan dan menciptakan bentuk dan macam-macam transaksi baru sesuai
dengan perkembangan zaman sepanjang itu tidak merugikan diri sendiri dan orang
lain.Selain itu dalam transaksi-transaksi muamalat, yang menjadi acuannya adalah
terciptanya unsur kemaslahatan yang mengandung makna bahwahubungan itu
mendatangkan kebaikan, berguna dan berfaedah bagi kehidupan pribadi dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.
27/DSNMUI/III/2002 tentang al-Ijārah al-Muntahiyah bi ’l-Tamlik.
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia (MUI) No.: 73/DSN-
MUI/XI/2008 tentang Mushārakah Mutanaqisah.
Gleave, Robert & Eugenia Kermeli (eds), Islamic Law Theory and Practice, London:
I.B. Tauris Publishers, 2001.
Huda, Nurul & Mohamad Heykal, Lembaga Keuangan Islam Tinjauan Teoritis dan
Praktis, Jakarta: Kencana, 2010