Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

PEMBIDANGAN HUKUM ISLAM

Mata Kuliah: Hikmatut Tasyri’

Dosen Pengampu: Yuanda Kusuma, M.Ag.

Disusun oleh:

Kelompok 9:

1. Manarul Alam Al-Farizi : 210101110025


2. Iftitahul Maulidiya Azmi P : 210101110159
3. Iklil Faiqoh : 210101110174

KELAS PAI-B

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2023

i
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb
Puji syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “ Hubungan
Agama dan Stratifikasi Sosial “ tepat pada waktunya.
Kami mengucapkan terima kasih kepada bapak Yuanda Kusuma, M.Ag selaku dosen
pembimbing mata kuliah Hikmatut Tasyri’ yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan kami.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya serta mendukung dan membantu penyusunan makalah, sehingga
dapat menyelesaikan makalah ini. Harapannya, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi para pembaca.
Penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami menyadari bahwa banyak
kekurangan dan kelemahan dalam penyusunan dan penulisan. Demi kesempurnaan makalah
ini, kami sangat berharap adanya perbaikan, kritik dan saran yang membangun dari para
pembaca, sebagai bagian dari revisi makalah ini.
Wassalamualaikum Wr.Wb

Malang, 03 November 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................................ 0

A. Latar Belakang .............................................................................................................. 0


B. Rumusan Masalah ......................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ........................................................................................................... 1
BAB II ....................................................................................................................................... 2

A. Asas Hukum Islam dalam Bidang Muamalah ............................................................ 2


B. Asas Hukum Islam dalam Bidang Munakahah .......................................................... 4
C. Asas Hukum Islam dalam Bidang Mawaris ............................................................... 6
D. Asas Hukum Islam dalam Bidang Siyasah (Ketatanegaraan) ................................ 12
E. Asas Hukum Islam dalam Bidang Jinayah ............................................................... 14
BAB III ................................................................................................................................... 16

A. Kesimpulan .................................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 17

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Muamalah adalah istilah dalam Islam yang mengacu pada transaksi ekonomi
dan interaksi sosial antar manusia. Untuk memahami dan mengatur perilaku dalam
muamalah, Islam mengandalkan sejumlah asas penting. Asas-asas ini menjadi landasan
hukum yang membantu menciptakan masyarakat yang adil dan berkeadilan. Muamalah
tidak hanya berkaitan dengan aspek keagamaan, tetapi juga memengaruhi kehidupan
sosial dan ekonomi sehari-hari. Asas-asas tersebut mencakup prinsip-prinsip seperti
keadilan, kerjasama, manfaat bersama, kesepakatan sukarela, dan penghindaran praktik-
praktik yang tidak adil, seperti riba dan gharar.
Munakahah mengacu pada pernikahan dalam Islam. Pernikahan adalah aspek penting
dalam ajaran Islam, dan asas-asas hukum mengatur tata cara perkawinan, menciptakan
ikatan lahir dan batin antara laki-laki dan perempuan, serta mempromosikan rumah
tangga yang sakinah (bahagia), mawaddah (cinta), dan rahmah (kasih sayang). Asas-
asas seperti persetujuan sukarela, kebebasan memilih pasangan, kemitraan dalam
perkawinan, kelanjutan hubungan yang berkelanjutan, monogami terbuka, serta
persetujuan dan kerelaan dari semua pihak yang terlibat adalah prinsip-prinsip yang
sangat penting dalam hukum Islam dalam bidang munakahah.
Keduanya, yaitu muamalah dan munakahah, adalah dua aspek vital dalam kehidupan
masyarakat Muslim. Asas-asas dalam kedua bidang ini membantu menciptakan
masyarakat yang penuh keadilan, kesetaraan, dan kebahagiaan, sesuai dengan ajaran
Islam. Oleh karena itu, pemahaman yang mendalam tentang asas-asas ini adalah penting
dalam memahami praktik-praktik muamalah dan munakahah yang sesuai dengan
prinsip-prinsip hukum Islam.
Dalam bidang mawaris, prinsip-prinsip seperti integritas (ketulusan), ta'abbudi
(penghambaan diri), hukukul maliyah (hak-hak kebendaan), hukukun thabi'iyah (hak-
hak dasar), ijbari (keharusan/kewajiban), bilateral (dari kedua belah pihak), individual
(perorangan), keseimbangan, kematian, dan pembagian habis harta warisan semuanya
merupakan prinsip-prinsip yang mendasari pembagian warisan dalam Islam. Prinsip-
prinsip ini mencerminkan nilai-nilai dan aturan hukum Islam dalam memastikan bahwa
pembagian harta warisan dilakukan dengan adil dan sesuai dengan pedoman yang
ditetapkan dalam Al-Qur'an dan Hadis.
1
Dalam bidang siyasah atau ketatanegaraan, prinsip-prinsip seperti kedaulatan,
keadilan, musyawarah, persamaan, hak dan kewajiban negara serta rakyat, amar ma'ruf
nahi munkar adalah prinsip-prinsip yang mengatur tata kelola negara dalam Islam.
Prinsip-prinsip ini menekankan keadilan, partisipasi rakyat, perlindungan hak-hak
dasar, dan pengawasan terhadap tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Pemahaman atas prinsip-prinsip hukum Islam dalam kedua bidang ini sangat penting
dalam konteks sosial, hukum, dan politik dalam masyarakat yang menerapkan hukum
berdasarkan ajaran Islam. Prinsip-prinsip ini bertujuan untuk menciptakan masyarakat
yang adil, seimbang, dan sesuai dengan ajaran agama.
Hukum Islam, yang juga dikenal sebagai hukum syariah, memiliki peran yang penting
dalam mengatur aspek hukum dan keadilan dalam kehidupan umat Muslim. Dalam
bidang jinayah, yang berkaitan dengan kejahatan pidana atau kejahatan serius, terdapat
sejumlah asas yang mendasari pemahaman dan penerapan hukum Islam. Beberapa asas
utama dalam jinayah tersebut meliputi: Asas Legalitas, Asas Amar Ma'ruf Nahi Munkar,
Asas Teritorial, Asas Material, Asas Moralitas
Pemahaman dan penerapan asas-asas ini dalam konteks hukum pidana Islam menjadi
sangat penting untuk memastikan keadilan dan penegakan hukum yang sesuai dengan
ajaran Islam serta norma-norma sosial dalam masyarakat Muslim.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Saja Asas-asas Hukum islam dalam Bidang Muamalah?
2. Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Munakahah?
3. Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Mawaris?
4. Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Siyasah (Ketatanegaraan)?
5. Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Jinayah?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Muamalah.
2. Untuk Mengetahui Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Munakahah.
3. Untuk Mengetahui Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Mawaris.
4. Untuk Mengetahui Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Siyasah
(Ketatanegaraan).
5. Untuk Mengetahui Apa Saja Asas-asas Hukum Islam dalam Bidang Jinayah.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Asas Hukum Islam dalam Bidang Muamalah


Pengertian Asas menurut Kamus Besar Indonesia, merupakan alas, dasar,
pedoman, Asas juga dapat diartikan sebagai sebuah kebenaran yang menjadi tumpukan
atau poko berpikir, berpendapat, dan sebagainya. menurut kamus Ma’ani asas itu umum.
Sedangkan Muamalah berasal dari kata amala yu’amilu yang artinya bertindak, saling
berbuat, dan saling mengamalkan. Menurut istilah Muamalah dibagi menjadi dua dalam
arti sempit dan luas. Muamalah dalam arti sempit aturan Allah swt yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia dalam usahanya untuk mendapatkan alat-alat
keperluan jasmaninya dengan cara yang baik. Dalam arti luas muamalah adalah
peraturan Allah swt yang harus diikuti dan ditaati dalam hidup bermasyarakat untuk
menjaga kepentingan manusia dalam urusannya dengan hal duniawi dalam pergaulan
sosial1.Dalam muamalah, harus dilandasi beberapa asas, Asas muamalah terdiri dari:
a. Asas ‘adalah
Asas ‘adalah (keadilan)atau pemerataan adalah penerapan prinsip keadilan
dalam bidang muamalah yang bertujuan agar harta tidak hanya dikuasai oleh
segelintir orang saja, akan tetapi harus didistribusikan secara merata di antara
masyarakat, baik kaya maupun miskin. Dengan adanya dasar ini, maka
dibuatlah hukum Islam dalam hal zakat, infaq, shodaqoh dan juga larangan atas
adanya perbuatan riba, gharar dan lainnya.
b. Asas Mu’awanah
Asas mu’awanah mewajibkan seluruh muslim untuk tolong menolong dan
membuat kemitraan dengan melakukan muamalah, maksud dari kemitraan
adalah suatu strategi bisnis yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih dalam
jangka waktu tertentu untuk meraih keuntungan bersama dengan prinsip saling
membutuhkan.
c. Asas Musyarokah
Asas Musyarokah menghendaki setiap bentuk muamalah kerjasama antar pihak
yang saling menguntungkan bukan saja bagi pihak yang terlibat melainkan bagi
keseluruhan masyarakat, oleh karena itu ada harta yang dalam muamalah
diperlakukan sebagai milik bersama dan sama sekali tidak untuk dimiliki

1
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001), hlm.9.
2
perorangan. Misalnya dalam perusahaan, maka harta ini dalam hal muamalah
diperlakukan milik bersama bukan dimiliki perorangan.
d. Asas Manfaah (tabadulul manafi’)
Asas ini berarti segala bentuk kegiatan muamalah harus memberikan
keuntungan dan manfaat bagi pihak yang terlibat, asas ini merupakan kelanjutan
dari prinsip ta’awun (tolong-menolong) atau mu’awanah saling percaya
sehingga asas ini bertujuan menciptakan kerjasama antar individu atau pihak
lain dalam masyarakat dalam rangka saling memenuhi keperluannya masing-
masing. Asas ini juga merupakan kelanjutan dari asas kepemilikan hukum Islam
yang menjelaskan bahwa seluruh semesta dan isinya adalah milik Allah swt.
Manusia hidup di dunia ini bukan menjadi pemilik atas segala harta benda
melainkan menjadi pengambil manfaatnya.
e. Asas Antaradhin
Asas antaradhin atau suka sama suka yang berarti menyatakan bahwa setiap
bentuk muamalah antar individu atau antar pihak berdasarkan kerelaan masing-
masing. Baik kerelaan dalam melakukan muamalah maupun kerelaan dalam
menyerahkan barang, menerima barang, atau bahkan memindah hak
kepemilikan orang lain. Tidak boleh ada unsur kepaksaan, tekanan atau tipuan.
f. Asas Adamul Gharar
Asas ini menunjukkan bahwa pada setiap muamalah tidak boleh ada gharar atau
tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan
oleh pihak lainnya sehingga mengakibatkan hilangnya unsur kerelaan salah satu
pihak dalam melakukan transaksi
g. Asas Kebebasan Membuat Akad
Kebebasan berakad merupakan prinsip hukum yang menyatakan bahwa setiap
orang dapat membuat akad jenis apapun tanpa terikat pada nama-nama yang
telah ditentukan dalam undang-undang syariah. Asas membuat akad ini juga
merupakan kebebasan untuk membuat akad baru yang belum pernah
dirumuskan oleh fuqaha sebelumnya.
h. Asas Al Musawah
Asas ini memiliki arti kesetaraan atau kesamaan yang berarti bahwa setiap pihak
pelaku muamalah berkedudukan sama atau setara.
i. Asas Ash Shiddiq
Di dalam Islam manusia diperintahkan untuk selalu berbuat jujur dan
melakukan kebenaran, jika dalam bermuamalah kejujuran dan kebenaran itu
3
harus didepankan, karena akan berpengaruh terhadap keabsahan perjanjian. Jika
ada unsur kebohongan dalam akad, maka akan sangat berpengaruh pada
kelancaran proses muamalah yang dilakukan.2

B. Asas Hukum Islam dalam Bidang Munakahah


Kata Nakaha dalam kamus ma’ani berarti menikahi, mengawini, memperistri.
Kata Nakaha juga banyak terdapat dalam Al-Qur’an dengan arti kawin seperti dalam
surah an-Nisa’. Dalam hukum Islam perkawinan merupakan sunnatullah dan
penyempurna agama antara laki-laki dan perempuan yang mempunyai daya tarik
menarik satu sama lain untuk hidup bersama, membentuk ikatan lahir dan batin dalam
satu ikatan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, wa rahmah.3 Hukum Islam dalam
perkawinan juga mempunyai asas-asas dalam penyelenggaraannya, yaitu:
a. Asas Sukarela
Dalam perkawinan hal ini sangat penting, baik kesukarelaan diantara dua
mempelai maupun orang tua mempelai yang akan meakukan perkawinan.
Dalam hal ini, kesukarelaan dari wali pihak perempuan merupakan hal yang
utama, karena wali nikah juga merupakan rukun yang harus dipenuhi.
Sebagaimana yang telah ditentukan dalam pasal 14 komplikasi hukum Islam,
menentukan rukun nikah yang terdiri atas calon suami, calon istri, wali nikah,
dua orang saksi laki-laki, dan ijab qabul.
b. Asas Persetujuan
Dalam hal memilih pasangan perkawinan, perempuan diberi kebebasan
memilih antara menerima atau tidak, tidak adanya paksaan pada kedua pihak,
misalnya apabila seorang wanita akan menikah maka orang tua atau wali harus
menanyakan dulu kepada yang akan menikah , jika perkawinan dilangsungkan
tanpa ada kesepakatan dari keduanya maka perkawinan pengadilan bisa
membatalkannya.
c. Asas Bebas Memilih
Dikisahkan dari hadist Ibnu Abbas bahwa seorang gadis datang kepada
Rasulullah saw, lalu dia menceritakan kepada beliau tentang ayahnya yang
mengawinkannya kepada laki-laki yang tidak dia sukai, maka Rasulullah saw
menyuruh dia untuk memilih, menerima atau menolak. Jadi seseorang dapat
memilih antara tetap meneruskan perkawinan yang ada dengan orang yang tidak

2
Abdul Munib, Hukum Islam dan Muamalah, Jurnal Penelitian dan Pemikiran Keislaman, Vol.5 No.1
(2018),hlm 74-75.
3
Tinuk Dwi cahyani, Hukum Perkawinan, (Malang, UMM Press, 2020), hlm. 7
4
disukainya atau meminta dibatalkan perkawinannya dan memilih seseorang
yang disukai. Asas ini merupakan kesinambungan dari asas kesukarelaan dan
persetujuan
d. Asas Kemitraan
Dalam hukum perkawinan Islam, asas kemitraan bisa dilihat dari subjek hukum
atau pelaku, yakni calon mempelai laki-laki dan perempuan yang dihalalkannya
walinya, kemudia objek akad nikah halalnya hubungan antara suami dan
istrinya,
e. Asas Selamanya
Perkawinan adalah sesuatu yang dibangun untuk menciptakan hubungan jangka
panjang bukan untuk sementara dan rekreasi semata. Dalam hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa nabi
Muhammad saw, bersabda “perkara halal yang paling dibenci Alla azza wajalla
adalah cerai”
f. Asas Monogami Terbuka
UUP mengatur hal ini, tapi hal ini bersifat mutlak. Undang-undang perkawinan
pasal 3 (1) mengatakan seorang suami hanya di izinkan memiliki seorang istri
begitupun sebaliknya. Hal ini tidk dapat dikatakan mutlak karena asas ini
memiliki tujuan untuk mempersempit poligami. Karena dalam keadaan tertentu
dan syarat tertentu seseorang dapat melakukan poligami. Hal ini dijelaskan
dalam Q.S An-Nisa’ ayat 3

َ َ‫سا ٓ ِء َمثْن ََٰى َوث ُ َٰل‬


ۖ ‫ث َو ُر َٰبَ َع‬ َ ِ‫اب لَ ُكم ِمنَ ٱلن‬ َ ‫ط‬ َ ‫وا َما‬ ۟ ‫وا فِى ْٱليَ َٰتَ َم َٰى فَٱن ِك ُح‬۟ ‫ط‬
ُ ‫َوإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ اَّل ت ُ ْق ِس‬
‫َت أَ ْي َٰ َمنُ ُك ْم ۚ َٰذَلِكَ أَ ْدن َٰ َٓى أَ اَّل تَعُولُو‬ ۟ ُ‫فَإِ ْن ِخ ْفت ُ ْم أَ اَّل تَ ْع ِدل‬
ْ ‫وا فَ َٰ َو ِحدَة ً أَ ْو َما َملَك‬

Artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap
(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah
perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.”4

4
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 139.
5
C. Asas Hukum Islam dalam Bidang Mawaris
Dalam pasal 49 huruf b UU No. 3 Tahun 2006 dijelaskan bahwa yang dimaksud
dengan waris adalah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan
pelaksanaan pembagian harta peninggalan tersebut serta penetapan pengadilan atas
permohonan seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris.5
Dari hal-hal di atas maka dalam pelaksanaan pembagian waris tidak dapat dipisahkan
dengan asas-asas hukum waris dalam islam yang meliputi:
1. Asas Integrity (Ketulusan)
Integrity artinya : Ketulusan hati, kejujuran, keutuhan. Azas ini mengandung
pengertian bahwa dalam melaksanakan Hukum Kewarisan dalam Islam
diperlukan ketulusan hati untuk mentaatinya karena terikat dengan aturan yang
diyakini kebenarannya. Hal ini juga dapat dilihat dari keimanan seseorang untuk
mentaati hukum Allan SWT, apalagi penjelasan umum angka 2 alinea keenam
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 Tentang Peradilan Agama memberi hak
opsi kepada para pihak untuk bebas menentukan pilihan hukum waris mana yang
akan dipergunakan- dalam menyelesaikan pembagian waris, telah dinyatakan
dihapus oleh UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun
1989 Tentang Peradilan Agama. Penghapusan tersebut berarti telah membuka
pintu bagi orang Islam untuk melaksanakan hukum waris Islam dengan kaffah
yang pada ahirnya ketulusan hati untuk mentaati hukum waris secara Islam
adalah pilihan yang terbaik.6
2. Asas Ta’abbudi (Penghambaan Diri)
Azas Ta'abbudi adalah melaksanakan pembagian waris secara hukum Islam
adalah merupakan bagian dari ibadah kepada Allah SWT, yang akan berpahala
bila ditaati seperti layaknya mentaati pelaksanaan hukum-hukum Islam lainnya.
Ketentuan demikian dapat kita lihat, setelah Allah SWT menjelaskan tentang
hukum waris secara Islam sebagaimana dijelaskan dalam surat an-Nisa' ayat 11
dan 12, kemudian dikunci dengan ayat 13 dan 14:

5
C Rasyid, ‘Azas-Azas Hukum Waris Dalam Islam’, Yogyakarta: Pengadilan Agama, 3, 2008, 1–10
<http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/ASAZ HUKUM WARIS - chatib.pdf>.
6
Nathaniel E Helwig, Sungjin Hong, and Elizabeth T Hsiao-wecksler, ‘ASAS-ASAS HUKUM
KEWARISAN DALAM ISLAM (Studi Analisis Pendekatan Al-Qur’an Dan Al-Hadis Sebagai Sumber Hukum
Islam)’.
6
‫س ۤا ًء فَ ْوقَ اثْنَتَي ِْن فَلَ ُه َّن ثُلُثَا َما‬
َ ِ‫ّٰللاُ فِ ْْٓي اَ ْو ََل ِد ُك ْم ِلل َّذك َِر ِمثْ ُل َح ِظ ْاَلُ ْنثَيَي ِْن ۚ فَا ِْن ُك َّن ن‬
‫ص ْي ُك ُم ه‬
ِ ‫ي ُْو‬
َ‫ُس ِم َّما ت ََركَ ا ِْن َكان‬ ُ ‫سد‬ ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ال‬ ِ ‫ف ۗ َو َِلَبَ َو ْي ِه ِل ُك ِل َو‬ ُ ‫ص‬ ْ ِ‫اح َدة ً فَلَ َها الن‬ ْ ‫ت ََركَ ۚ َوا ِْن كَان‬
ِ ‫َت َو‬
‫ُس ِم ْۢ ْن‬
ُ ‫سد‬ ُّ ‫ث ۚ فَا ِْن َكانَ لَهٗ ْٓ ا ِْخ َوة ٌ فَ ِِلُ ِم ِه ال‬ ُ ُ‫لَهٗ َولَ ٌد ۚ فَا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّهٗ َولَ ٌد َّو َو ِرثَهٗ ْٓ اَبَ ٰوهُ فَ ِِلُ ِم ِه الثُّل‬
ً ‫ضة‬ َ ‫ب َل ُك ْم نَ ْفعًا ۗ َف ِر ْي‬ ُ ‫ص ْي بِ َها ْٓ اَ ْو َدي ٍْن ۗ ٰابَ ۤا ُؤ ُك ْم َواَ ْبن َۤا ُؤ ُك ۚ ْم ََل تَ ْد ُر ْونَ اَيُّ ُه ْم اَ ْق َر‬ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّْو‬
ِ ‫بَ ْع ِد َو‬
‫ع ِل ْي ًما َح ِك ْي ًما‬ َ ‫ّٰللا ۗ ا َِّن ه‬
َ َ‫ّٰللا َكان‬ ِ ‫ِمنَ ه‬
Artinya:
Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu.
Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak
perempuan,19 dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua.20 Maka
bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja. Maka ia memperoleh separo harta dan untuk dua orang ibubapa,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang
meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai
anak dan ia diwarisi oleh ibubapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga;
jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara. Maka ibunya mendapat
seperenam (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat
yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan
anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat
(banyak) manfaatnya bagimu, ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya
Allah Maha mengetahui lagi MahaBijaksana (QS. An-Nisa’ ayat 11)7

ُّ ‫ف َما ت ََركَ اَ ْز َوا ُج ُك ْم ا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُه َّن َولَ ٌد ۚ فَا ِْن َكانَ لَ ُه َّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم‬
َ‫الربُ ُع ِم َّما ت ََر ْكن‬ ُ ‫ص‬ْ ِ‫َولَ ُك ْم ن‬
َ‫الربُ ُع ِم َّما ت ََر ْكت ُ ْم ا ِْن لَّ ْم يَ ُك ْن لَّ ُك ْم َولَ ٌد ۚ فَا ِْن َكان‬
ُّ ‫صيْنَ بِ َها ْٓ اَ ْو َدي ٍْن ۗ َولَ ُه َّن‬ ِ ‫ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
ِ ‫صيَّ ٍة ي ُّْو‬
ُ ‫ص ْونَ بِ َها ْٓ اَ ْو َدي ٍْن ۗ َوا ِْن َكانَ َر ُج ٌل ي ُّْو َر‬
‫ث‬ ُ ‫صيَّ ٍة ت ُ ْو‬ِ ‫لَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُّ ُمنُ ِم َّما ت ََر ْكت ُ ْم ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
‫ُس فَا ِْن كَانُ ْْٓوا اَ ْكثَ َر ِم ْن ٰذلِكَ فَ ُه ْم‬
ُ ۚ ‫سد‬ ِ ‫ك َٰللَةً اَ ِو ْام َراَة ٌ َّولَهٗ ْٓ اَ ٌخ اَ ْو ا ُ ْختٌ فَ ِل ُك ِل َو‬
ُّ ‫اح ٍد ِم ْن ُه َما ال‬
ُ‫ّٰللا‬
‫ّٰللا ۗ َو ه‬ ِ ‫ض ۤا ٍر ۚ َو‬
ِ ‫صيَّةً ِمنَ ه‬ ِ ‫ث ِم ْۢ ْن بَ ْع ِد َو‬
َ ‫صيَّ ٍة ي ُّْوصٰ ى بِ َها ْٓ اَ ْو َدي ٍۙ ٍْن‬
َ ‫غي َْر ُم‬ ِ ُ‫ش َرك َۤا ُء فِى الثُّل‬ ُ
‫ع ِل ْي ٌم َح ِل ْي ۗ ٌم‬ َ

7
Helwig, Hong, and Hsiao-wecksler.
7
Artinya:
Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri
isterimu. Jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai
anak. Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya
sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) seduah
dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak jika kamu mempunyai anak. Maka
Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah
dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu
jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan
ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki
(seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja). Maka bagi masing-
masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta, tetapi jika saudara-saudara
seibu itu lebih dari seorang. Maka mereka bersekutu.

ۗ ‫ي ِم ْن تَحْ تِ َها ْاَلَ ْنهٰ ُر ٰخ ِل ِد ْينَ فِ ْي َها‬ ٍ ‫س ْولَهٗ يُد ِْخ ْلهُ َجنه‬
ْ ‫ت تَجْ ِر‬ ِ ‫تِ ْلكَ ُحد ُْو ُد ه‬
َ ‫ّٰللا ۗ َو َم ْن ي ُِّط ِع ه‬
ُ ‫ّٰللا َو َر‬
‫َو ٰذلِكَ ْالف َْو ُز ْالعَ ِظ ْي ُم‬
Artinya:
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah Barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam
syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya, dan Itulah kemenangan vang besar (Al-Nisa: 13).8

َ ٗ‫َارا خَا ِلدًا فِ ْي َه ۖا َولَه‬


‫ع َذابٌ ُّم ِهي ٌْن‬ ً ‫س ْولَهٗ َويَتَعَ َّد ُحد ُْو َد ٗه يُد ِْخ ْلهُ ن‬
ُ ‫ّٰللا َو َر‬
َ‫ص ه‬ ِ ‫َو َم ْن يَّ ْع‬
Artinya:
Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar
ketentuanketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia
kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan (Al-Nisa': 14)

3. Asas Hukukul Maliyah (Hak-hak Kebendaan)


Hukukul Maliyah adalah hak-hak kebendaan, dalam arti bahwa hanya hak dan
kewajiban terhadap kebendaan saja yang dapat diwariskan kepada ahli waris,
sedangkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan atau hak-

8
Helwig, Hong, and Hsiao-wecksler.
8
hak dan kewajiban yang bersifat pribadi seperti suami atau istri, jabatan,
keahlian dalam suatu ilmu dan yang semacamnya tidak dapat diwariskan.9
Kewajiban ahli waris terhadap pewaris diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
pasal 175 yang berbunyi :
a. Mengurus dan menyelesaikan sampai pemakaman jenazah selesai;
b. Menyelesaikan baik hutang-hutang berupa pengobatan, perawatan
termasuk kewajiban pewaris maupun menagih piutang;
c. Menyelesaikan wasiat pewaris;
d. Membagi harta warisan diantara anti waris yang berhak.
4. Asas Hukukun Thabi’iyah (Hak-hak Dasar)
Pengertian hukukun thabi’iyah adalah hak-hak dasar dari ahli waris sebagai
manusia, artinya meskipun ahli waris itu seorang bayi yang baru lahir atau
seseorang yang sudah sakit menghadapi kematian sedangkan ia masih hidup
ketika pewaris meninggal dunia, begitu juga suami istri yang belum bercerai
walaupun sudah pisah tempat tinggalnya, maka dipandang cakap untuk
mewarisi. Hak-hak dari kewarisan ini ada empat macam penyebab seorang
mendapat warisan, yakni : hubungan keluarga, perkawinan, wala dan seagama.
Hubungan keluarga yaitu hubungan antar orang yang mempunyai hubungan
darah (genetik) baik dalam garis keturunan lurus ke bawah (anak cucu dan
seterusnya) maupun ke samping (saudara).10
Kebalikan dari ketentuan tersebut, hukum Islam menentukan beberapa
macam penghalang kewarisan yaitu Murtad, membunuh dan hamba sahaya,
sedangkan dalam Kompilasi Hukurn Islam penghalang kewarisan kita jumpai
pada pasal 173 yang berbunyi: “Seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila
dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap,
dihukum karena : 4
a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau
menganiaya berat pada pewaris;
b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa
pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan
hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat”.

9
Rasyid.
10
Rasyid.
9
5. Asas Ijbari (Keharusan/Kewajiban)
jbari adalah bahwa dalam hukum kewarisan Islam secara otomatis
peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia (pewaris) kepada ahli
warisnya sesuai dengan ketetapan Allah SWT tanpa digantungkan kepada
kehendak seseorang baik pewaris maupun ahli waris. Unsur keharusannya
(ijbari/compulsory) terutama terlihat dari segi di mana ahli waris (tidak boleh
tidak) menerima berpindahnya harta pewaris kepadanya sesuai dengan jumlah
yang telah ditentukan oleh Allah. Oleh karena itu orang yang akan meninggal
dunia pada suatu ketika, tidak perlu merencanakan penggunaan hartanya setelah
ia meninggal dunia kelak, karena dengan kematiannya, secara otomatis
hartanya akan beralih kepada ahli warisnya dengan bagian yang sudah
dipastikan. Azas Ijbari ini dapat juga dilihat dari segi yang lain yaitu:
a. Peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia.
b. Jumlah harta sudah ditentukan untuk masing-masing ahli waris.
c. Orang-orang yang akan menerima harta warisan itu sudah ditentukan
dengan pasti yakni mereka yang mempunyai hubungan darah dan
perkawinan.
6. Asas Bilateral
Asas ini mengandung makna bahwa seseorang menerima hak kewarisan dari
kedua belah pihak yaitu dari kerabat keturunan laki-laki dan dari kerabat
keturunan perempuan.11

ِ ‫س ۤا ِء ن‬
َ‫َصيْبٌ ِم َّما ت ََركَ ْال َوا ِل ٰد ِن َو ْاَلَ ْق َرب ُْون‬ َ ِ‫َصيْبٌ ِم َّما ت ََركَ ْال َوا ِل ٰد ِن َو ْاَلَ ْق َرب ُْو ۖنَ َو ِللن‬ ِ ‫ِل ِلر َجا ِل ن‬
‫ضا‬ ِ ‫ِم َّما قَ َّل ِم ْنهُ اَ ْو َكث ُ َر ۗ ن‬
ً ‫َص ْيبًا َّم ْف ُر ْو‬
Artinya:
Untuk laki-laki ada bagian dari peninggalan ibu bapak dan karib kerabat yang
terdekat, dan untuk perempuan-perempuan ada bagian pula dari peninggalan
ibu bapak dan karib yang terdekat, baik sedikit ataupun banyak, sebagai bagian
yang telah ditetapkan (QS. An-Nisa’ Ayat 7).
7. Asas Individual (Perorangan)
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-
masing ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaanya
seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian dibagi-

11
Helwig, Hong, and Hsiao-wecksler.
10
bagikan kepada ahli waris yang berhak menerimannya menurut kadar bagian
masing-masing (QS. An-Nisa’ Ayat 7).
8. Asas Keadilan yang Berimbang
Asas ini mengandung pengertian bahwa harus ada keseimbangan antara hak
yang diperoleh seseorang dari harta warisan dengan kewajiban atau beban biaya
kehidupan yang harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya,
mendapat bagian yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-
masing kelak dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Seorang laki-laki
menjadi penanggung jawab dalam kehidupan keluarga, mencukupi keperluan
hidup anak dan istrinya sesuai dengan kemampuannya.12
ٗ‫علَى ْال َم ْولُ ْو ِد لَه‬
َ ‫عةَ ۗ َو‬ َ ‫ضا‬َ ‫الر‬ َّ ‫َاملَي ِْن ِل َم ْن اَ َرا َد اَ ْن يُّتِ َّم‬
ِ ‫ض ْعنَ اَ ْو ََل َده َُّن َح ْولَي ِْن ك‬ ِ ‫َو ْال ٰو ِل ٰدتُ ي ُْر‬
‫ض ۤا َّر َوا ِل َدة ٌ ْۢبِ َولَ ِدهَا َو ََل َم ْولُ ْو ٌد‬
َ ُ ‫س ا ََِّل ُو ْسعَ َها ۚ ََل ت‬ ٌ ‫ف نَ ْف‬ ِ ۗ ‫ِر ْزقُ ُه َّن َو ِكس َْوت ُ ُه َّن بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
ُ َّ‫ف ََل ت ُ َكل‬
‫َاو ٍر فَ َِل ُجنَا َح‬ ُ ‫اض ِم ْن ُه َما َوتَش‬ ٍ ‫ع ْن ت ََر‬ ً ‫ص‬
َ ‫اَل‬ َ ِ‫ث ِمثْ ُل ٰذلِكَ ۚ فَا ِْن اَ َرا َدا ف‬ ِ ‫علَى ْال َو ِار‬ َ ‫لَّهٗ بِ َولَد ِٖه َو‬
‫ف‬ ِ ۗ ‫سلَّ ْمت ُ ْم َّما ْٓ ٰاتَ ْيت ُ ْم بِ ْال َم ْع ُر ْو‬
َ ‫علَ ْي ُك ْم اِ َذا‬ ِ ‫علَ ْي ِه َما َۗوا ِْن اَ َر ْدت ُّ ْم اَ ْن تَ ْست َْر‬
َ ‫ضعُ ْْٓوا اَ ْو ََل َد ُك ْم فَ َِل ُجنَا َح‬ َ
ِ َ‫ّٰللا بِ َما تَ ْع َملُ ْونَ ب‬
‫صي ٌْر‬ َ ‫ّٰللا َوا ْعلَ ُم ْْٓوا اَ َّن ه‬
َ ‫َواتَّقُوا ه‬
Artinya:
Tanggung jawab tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan,
terlepas dari persoalan apakah istrinya mampu atau tidak, anak-anaknya
memerlukan bantuan atau tidak. Berdasarkan keseimbangan antara hak yang
diperoleh dan kewajiban yang harus ditunaikan, sesungguhnya apa yang
diperoleh seseorang laki-laki dan seorang perempuan dari harta warisan
manfaatnya akan sama mereka rasakan (QS. Al-Baqarah Ayat 233).
9. Asas Kematian
Makna asas ini adalah bahwa kewarisan baru muncul bila ada yang meninggal
dunia. Ini warisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut
ketentuan hukum kewarisan islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain
yang disebut kewarisan terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu
meninggal dunia, artinya harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain
(melalui pembagian harta warisan) selama orang yang mempunyai harta itu
masih hidup, dan segala bentuk peralihan harta-harta seseorang yang masih
hidup kepada orang lain, baik langsung maupun yang akan dilaksanakan

12
Helwig, Hong, and Hsiao-wecksler.
11
kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk kedalam kategori kewarisan
menurut hukum islam.13
10. Asas Membagi Habis Harta Warisan
Membagi habis semua harta peninggalan sehingga tidak tersisa adalah asas dari
penyelesaian pembagian harta warisan. Dari menghitung dan menyelesaikan
pembagian dengan cara menentukan siapa yang menjadi ahli waris dengan
bagiannya masing-masing, membersihkan atau memurnikan harta warisan
seperti hutang dan wasiat, sampai dengan melaksanakan pembagian hingga
tuntas.14

D. Asas Hukum Islam dalam Bidang Siyasah (Ketatanegaraan)


Kata siyasah dalam kamus ma’ani berasal dari kata ‫سياسة‬-‫يسوس‬-‫ ساس‬yang artinya
mengurus dan memerintah. Juga berarti mengemudikan, mengendalikan, mengatur dan
sebagainya.15 Siyasah adalah pemerintahan, pengambilan keputusan, pembuatan
kebijaksanaan, pengurusan, dan pengawasan. Menurut istilah siyasah adalah
pengurusan kemaslahatan umat manusia sesuai dengan syara’. Asas siyasah terdiri
dari:16
a. Asas Kedaulatan
Merupakan kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Kedaulatan yang
mutlak dan legal adalah milik Allah. Kedaulatan tersebut dipraktekkan
dan diamanahkan kepada manusia selaku khalifah di muka bumi.
b. Asas Keadilan
Kunci utama dalam penyelenggaraan negara adalah prinsip keadilan
dalam hukum yang menuntut bahwa setiap warga negara memiliki posisi yang
sama di mata hukum. Ketika Rasulullah memulai pembangunan negara
Madinah, ia pertama-tama berkomitmen untuk menciptakan kesepakatan
bersama dengan semua kelompok masyarakat yang tinggal di Madinah,
termasuk dari berbagai suku dan agama. Prinsip-prinsip keadilan dan persamaan
ini tercermin dalam berbagai pasal Piagam Madinah.17

13
Rasyid.
14
Rasyid.
15
bnu Mandhur Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisaan Al Arab, Jilid 7 (Dar al Shadir 2003), hlm.
34
16
Mutiara Fahmi, Prinsip Dasar Hukum Politik Islam Dalam Perspektif Al-Qur’an, Jurnal Kajian Ilmu
Hukum, Vol. 2 No. 1, 2017, hal. 37-41.
17
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah Dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup
Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk (UI Press 1995), hlm. 78.
12
c. Asas Musyawarah dan Ijma’
Proses pengambilan keputusan dalam semua urusan masyarakat
dilakukan melalui kesepakatan dan konsultasi dengan semua pihak.
Kepemimpinan negara dan pemerintahan harus didukung oleh persetujuan
rakyat melalui pemilihan yang adil, jujur, dan dapat dipercaya. Sebuah
pemerintahan atau otoritas yang diberlakukan secara otoriter dan tiran tidak
sejalan dengan prinsip-prinsip Islam.
d. Asas Persamaan
Dalam Q.S Al-Hujarat: 10 menunjukkan bahwa Islam mengakui adanya
beragam budaya dan sosial dalam masyarakat. Namun, Islam tidak menerima
konsep pluralisme jika itu berarti bahwa semua ajaran agama adalah sama atau
bahwa kebenaran adalah relatif. Hal ini karena ayat tersebut menegaskan bahwa
yang paling dihormati di mata Allah adalah individu yang paling bertaqwa.
Dengan kata lain, tolok ukur kebaikan dan kebenaran sejatinya adalah agama,
bukan sekadar akal pikiran atau perasaan.
e. Asas Hak dan Kewajiban Negara dan Rakyat
Semua warga negara memiliki hak-hak dasar yang harus dijamin. Subhi
Mahmassani dalam bukunya, "Arkan Huquq al-Insan," mencantumkan beberapa
hak yang perlu diberikan perlindungan kepada warga negara. Hak-hak ini
mencakup perlindungan terhadap keamanan pribadi, martabat, dan harta benda
mereka. Selain itu, hak untuk menyatakan pendapat dan berkumpul, hak untuk
mendapatkan perlakuan hukum yang adil tanpa diskriminasi, hak untuk
menerima pendidikan yang layak, layanan medis dan perawatan kesehatan, serta
keamanan dalam menjalankan aktivitas ekonomi.
f. Asas Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma'ruf dan nahi munkar adalah mekanisme penting untuk menjaga
keseimbangan dalam sistem politik Islam. Sistem ini diimplementasikan melalui
institusi seperti Ahlul Hilli wal 'aqdi (parlemen), wilayat al Hisbah (pengawasan
moral), dan wilayat al Qadha' (kekuasaan yudisial). Dalam pandangan mayoritas
Islam, yaitu Sunni, seorang pemimpin tidak dianggap suci (ma'shum) dan oleh
karena itu dapat menerima kritik dan nasehat dari warga negara.

13
E. Asas Hukum Islam dalam Bidang Jinayah
Kata jinayah dalam kamus ma’ani berasal dari kata ‫جناية‬-‫يجني‬-‫ جنى‬yang artinya
kejahatan pidana atau kejahatan serius. Menurut istilah jinayah adalah semua perbuatan
yang diharamkan, yaitu perbuatan yang diberi peringatan dan dilarang oleh syara’
karena akan mendatangkan kemudhorotan pada agama, jiwa, akal, harta dan
kehormatan.18 Asas-asas jinayah antara lain:
a. Asas Legalitas
Merupakan seseorang tidak dapat dipidana kecuali atas perbuatan yang
dirumuskan dalam suatu aturan perundang-undangan yang telah ada terlebih
dahulu.19 Asas ini berdasarkan pasal 1 ayat (1) KUHP, yaitu “Tiada suatu
perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam
perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”. Dari asas
legalitas menyatakan bahwa yang diberlakukan adalah hukum atau UU yang
sudah ada pada saat itu, tidak boleh dipakai UU yang akan dibuat sesudah
perbuatan itu terjadi. Oleh karena itu disini berlaku asas lex temporis delicti yang
artinya UU pada saat kejahatan itu terjadi.20
b. Asas Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Menurut bahasa amar ma’ruf nahi munkar adalah menyuruh kepada
kebaikan dan mencegah dari kejahatan. Tujuan utama syariat adalah
membangun kehidupan manusia diatas dasar ma’rifat (kebaikan) dan
membersihkannya dari hal-hal yang maksiat dan kejahatan-kejahatan.21 Dalam
filsafat hukum Islam dikenal istilah amar ma’ruf sebagai fungsi social
engineering, sedang nahi munkar sebagai social control dalam kehidupan
penegakan hukum. Berdasar prinsip inilah di dalam hukum Islam dikenal adanya
istilah perintah dan larangan. Dalam Islam, penganutnya diberikan kebebasan,
baik dalam bentuk kebebasan individu maupun kolektif. Mereka memiliki
kebebasan berpikir, kebebasan berkumpul, kebebasan berekspresi, kebebasan
beragama, kebebasan berpartisipasi dalam politik, dan lain sebagainya.22
Kebebasan individu mencakup hak untuk membuat keputusan sendiri mengenai
tindakan yang akan diambil atau dihindari. Namun, penting untuk dicatat bahwa
dalam Islam, kebebasan ini tetap dibatasi oleh nilai-nilai tertentu..

18
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, Darul Kitabi Araby, Juzu’ II, Bairut, 1973, hal. 506
19
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta : Rajawali Pers 2014) hal 11
20
Ibid hal 40
21
Rohidin, Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books 2016) hal. 25
22
Asmawi, Filsafat Hukum Islam (Yogyakarta: Teras 2009) hal. 50
14
g. Asas Teritorial
Menurut asas teritorial berlakunya undang-undang pidana suatu negara
bergantung pada tempat dimana tindak pidana terjadi, dan tempat tersebut harus
berada didalam teritori atau wilayah negara yang bersangkutan. Berlakunya asas
teritorial ini berdasarkan atas kedaulatan negara sehingga setiap orang wajib dan
taat kepada perundang-undangan negara tersebut. Menurut konsepsi hukum
Islam Asas teritorial yaitu hukum pidana Islam hanya berlaku di wilayah di
mana hukum Islam diberlakukan. Abu Hanifah berpendapat bahwa Hukum
Islam diterapkan atas jarimah (tindak pidana) yang dilakukan di dar as-salam,
yaitu tempat-tempat yang masuk dalam kekuasaan pemerintahan Islam tanpa
melihat jenis jarimah maupun pelaku, muslim maupun non-muslim.23 Aturan-
aturan pidana Islam hanya berlaku secara penuh untuk wilayah-wilayah negeri
muslim.24
h. Asas Material
Asas material dalam hukum pidana Islam menyatakan bahwa tindakan
pidana mencakup segala sesuatu yang dilarang oleh hukum, baik dalam bentuk
pelanggaran tindakan yang dilarang atau ketidakpatuhan terhadap tindakan yang
diwajibkan, dan untuk tindakan-tindakan ini diberikan sanksi hukum, yang dapat
berupa hukuman hudud atau ta'zir. Hudud adalah jenis sanksi hukum yang
memiliki ketentuan yang jelas dalam nash, seperti al-Qur'an dan hadits.
Sementara itu, ta'zir adalah sanksi hukum yang ketentuannya tidak ditetapkan
baik dalam al-Qur'an maupun hadits.
i. Asas Moralitas
Terdapat beberapa asas moral dalam hukum pidana Islam:
• Asas Adamul Uzri yang Menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
menggunakan alasan ketidaktahuan tentang hukum sebagai pembenaran
untuk tindakannya.
• Asas Rufiul Qalam yang Menyatakan bahwa sanksi hukum atas suatu
tindakan pidana dapat dihapuskan dalam situasi tertentu. Ini melibatkan
kasus di mana pelaku tindakan pidana adalah anak di bawah umur,
sedang tertidur, atau mengalami gangguan mental.

23
Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al- Wad‘iy, Juz. I,
Muasasah ar- Risalah, Beirut, 1994, halaman 280
24
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Ed.2, Cet.3., PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000. halaman 10
15
• Asas Al-khath wa nisyan yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat
dihukum jika tindakan pidananya terjadi karena kesalahan atau kelupaan.
Asas ini didasarkan pada ayat Al-Baqarah: 286 dalam Al-Qur'an.
• Asas Suquth Al-‘Uqubah yang menyatakan bahwa sanksi hukum dapat
dicabut dalam dua situasi: pertama, ketika tindakan pidana dilakukan
dalam konteks pelaksanaan tugas seperti pelaksana hukuman mati
(algojo) atau dokter yang melakukan operasi. Kedua, ketika tindakan
pidana terjadi dalam keadaan terpaksa, seperti membunuh seseorang
untuk membela diri.

BAB III
PENUTUP

16
A. Kesimpulan
Muamalah dan Munakahah: Muamalah dan munakahah adalah dua aspek vital
dalam kehidupan masyarakat Muslim. Dalam muamalah, asas-asas seperti keadilan,
kerjasama, manfaat bersama, dan penghindaran praktik-praktik yang tidak adil seperti
riba sangat penting. Sedangkan dalam munakahah, prinsip-prinsip seperti persetujuan
sukarela, kebebasan memilih pasangan, dan kemitraan dalam perkawinan memainkan
peran utama dalam menciptakan perkawinan yang harmonis dan sesuai dengan ajaran
Islam.
Hukum Waris: Dalam bidang mawaris, terdapat prinsip-prinsip yang mengatur
pembagian warisan dengan integritas, ketulusan, dan keseimbangan. Ini mencerminkan
nilai-nilai dan aturan hukum Islam dalam memastikan pembagian harta warisan
dilakukan dengan adil dan sesuai dengan pedoman yang ditetapkan dalam Al-Qur'an
dan Hadis.
Hukum Politik: Prinsip-prinsip seperti kedaulatan, keadilan, musyawarah,
persamaan, dan perlindungan hak-hak dasar dalam hukum politik Islam bertujuan untuk
menciptakan tata kelola negara yang adil, seimbang, dan sesuai dengan ajaran agama.
Hukum Jinayah: Dalam bidang jinayah, asas-asas seperti legalitas, amar ma'ruf
nahi munkar, teritorial, material, dan moralitas berperan penting dalam memahami dan
menerapkan hukum pidana Islam. Prinsip-prinsip ini membantu menjaga keadilan dan
kepatuhan terhadap nilai-nilai sosial dan agama dalam masyarakat Muslim.
Pemahaman dan penerapan asas-asas ini penting dalam membentuk masyarakat
yang adil, seimbang, dan sesuai dengan ajaran Islam dalam berbagai aspek kehidupan
mereka. Ini mencerminkan peran yang signifikan dari hukum Islam dalam mengatur dan
memandu tindakan individu dan masyarakat dalam mencapai keadilan dan kebahagiaan
sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran agama.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munib, Hukum Islam dan Muamalah, Jurnal Penelitian dan Pemikiran Keislaman,
Vol.5 No.1 (2018), hlm 74-75.
17
Abd al-Qadir ‘Audah, at-Tasyri al-Jana’i al-Islamiy Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’iy, Juz. I,
(Muasasah ar- Risalah, Beirut, 1994)
Ahmad Sukardja, Piagam Madinah Dan UUD 1945, Kajian Perbandingan Tentang Dasar Hidup
Bersama Dalam Masyarakat Yang Majemuk (UI Press 1995)
Asmawi, Filsafat Hukum Islam (Yogyakarta: Teras 2009) hal. 50
H.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Ed.2, Cet.3., (PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000)
Helwig, Nathaniel E, Sungjin Hong, and Elizabeth T Hsiao-wecksler, ‘ASAS-ASAS
HUKUM KEWARISAN DALAM ISLAM (Studi Analisis Pendekatan Al-Qur’an Dan
Al-Hadis Sebagai Sumber Hukum Islam)’
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta, PT Raja Grafindo, 2001)
Ibnu Mandhur Jamaluddin Muhammad bin Mukrim, Lisaan Al Arab, Jilid 7 (Dar al Shadir
2003)
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2006)
Mutiara Fahmi, Prinsip Dasar Hukum Politik Islam Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jurnal Kajian
Ilmu Hukum, Vol. 2 No. 1, 2017)
Rasyid, C, ‘Azas-Azas Hukum Waris Dalam Islam’, Yogyakarta: Pengadilan Agama, 3,
2008, 1–10 <http://www.pa-bengkulukota.go.id/foto/ASAZ HUKUM WARIS -
chatib.pdf>
Rohidin, Pengantar Hukum Islam (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books 2016)
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, (Darul Kitabi Araby, Juzu’ II, Bairut, 1973)
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers 2014)
Tinuk Dwi cahyani, Hukum Perkawinan, (Malang, UMM Press, 2020)

18

Anda mungkin juga menyukai