Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

USHUL FIKIH

Tentang

“Pengembangan Ekonomi Islam”

Oleh

Kelompok 12:

Dinda Azaharah 2030406005


Muhammad Alfa Riyadi
Muhammmad Nur Hendro 2030406018

Dosen Pengampu:
DR. H. Zulkifli, MA.

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) MAHMUD YUNUS
BATUSANGKAR
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Assalamu'alaikum Wr.Wb

Puji syukur Alhamdulillah penulis ucapkan atas kehadirat Allah SWT.


Yang senantiasa memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga pemakalah dapat
menyelesaikan makalah ini yang merupakan salah satu tugas mata kuliah Ushul
Fikih Tentang Pengembangan Ekonomi Islam.

Tak lupa serta sholawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW beserta keluarganya, sahabatnya san sampai kepada kita selaku
umatnya.

Kami dari kelompok 12 telah menyusun sebuah makalah dengan judul


Ushul Fikih tentang Pengembangan Ekonomi Islam untuk itu apabila terdapat
dalam susunan makalah yang kami susun ini kesalahan dan kekhilafan yang tidak
kami sengaja, maka kami dari kelompok 12 mengharapkan gagasan, ide, kritikan
yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah kami ini. Atas ide,
gagasan serta kritikan dari peserta diskusi semua kami ucapkan terima kasih.

Wassalamu'alaikum Wr. Wb
Batusangkar, 11 Desember 2023

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR............................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah..................................................................................1


B. Rumusan Masalah............................................................................................1
C. Tujuan Penulisan Masalah.............................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Prinsip Muamalah dalam Islam................................................................ 3


B. Bentuk dan Pola Aqad Dalam Mauamalah Islam .....................................7
C. Kemungkinan pengembangan Aqad Dalam Islam ....................................8

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan .............................................................................................10
B. Saran .......................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Ekonomi Islam merupakan sistem yang adil dan seksama serta
berupaya menjamin kekayaan tidak terkumpul pada kelompok tertentu saja,
tetapi tersebar ke seluruh masyarakat. Kemudian yang menjadi ciri penting
sistem ekonomi Islam dapat digambarkan dalam ayat al-Quran surat al-Hasyr
ayat 7. Selain itu, hak akan milik perseorangan dan kebebasan tidak diberikan
tanpa batasan, tetapi diimbangi dengan batasan-batasan moral dan
undangundang. Sehingga dalam sistem ekonomi Islam tidak terdapat individu-
individu yang menjadi pengelola kekayaan negara ataupun sebaliknya semua
individu secara paksa diletakkan pada tingkat ekonomiyang sama.
Islam membenarkan pemilikan perseorangan, tetapi secara tegas Islam
menolak esensi kapitalisme yang memonopoli dan mengeksploitasi. Sehingga
dalam Islam ada aturan-aturan pembatas, seperti zakat, warisan, wasiat, dan
larangan menimbun kekayaan, demi pemerataan dan kelancaran peredaran
ekonomi umat. Pada hakikatnya, Allah menyukai orang yang kaya tetapi
dengan syarat harus bersikap taqiy (takwa) yaitu dengan kekayaan yang
dimiliki seseorang dituntut memiliki solidaritas sosial yang tinggi.
Dengan demikian, maka sebagai seorang muslim yang baik dalam
melaksanakan Muamalat kita harus berpegang pada landsan ekonomi silam
yang suah ada di dalam Al-Qur’an Dan Hadis. Dalam Muamalat memiliki
prinsip, bentuk serta bagaiamana pengembangan akad dalam islam. Maka darai
itu makalah ini akan membahsan tentang pengemabnagan ekonomi melalui
muamalah, bentuk aqad serta pengembangan aqad islam.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat diambil rumusan
masalah sebagai beriku:
1. Bagaimana Prinsip Muamalah Dalam Islam?
2. Bagaiamana Bentuk dan Pola Aqad Dalam Mauamalah Islam?
3. Apa Kemungkinan pengembangan Aqad Dalam Islam?

1
2
3

C. Tujuan Penulisan Masalah


Berdasarkan rumusan masalah diatas maka dapat di ambil tujuan
penulisan makalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui Prinsip Muamalah Dalam Islam
2. Untuk mengetahui Bentuk dan Pola Aqad Dalam Mauamalah Islam
3. Untuk mengetahui Kemungkinan pengembangan Aqad Dalam Islam
4

BAB II

PEMBAHASAN

A. Prinsip Muamalah dalam Islam


Hukum Muamlah memiliki prinsip-prinsip yang dapat di rumuskan
sebagai berikut:
1. Seluruh Tindakan mualamlah dilakukan atas dasar nilai-nilai ketuhanan
(Tauhid)
Apapun jenis muamalah yang dilakukan oleh seorang muslim harus
senantiasa dalam rangka mengabdi kepada Allah dan senantiasa berprinsip
bahwa Allah selalu mengontrol dan mengawasi tindakan tersebut. Prinsip
ini juga berarti bahwa seluruh persoalan muamalah yang dilakukan harus
mempertimbangkan persoalan-persoalan keakhiratan, memperhatikan
keseimbangan nilai kebendaan dengan nilai kerohanian.
2. Muamalah harus Didasarkan pada Pertimbangan moral yang Luhur
(Akhlakul Karimah)
Islam adalah agama yang tidak memisahkan antara akhlak dengan
ekonomi, keduanya harus berjalan seiring. Tidak akan bisa dibayangkan
bila kegiatan ekonomi tanpa disertai dengan tuntunan akhlak (moralitas).
Pasti yang akan terjadi adalah yang kuat akan memangsa yang lemah. Atas
dasar prinsip ini maka segala kegiatan muamalah harus dilakukan dengan
mengedepankan nilai-nilai moral yang luhur seperti kejujuran (shidiq),
keterbukaan (tabligh), kasih sayang (rahmah), kesetiakawanan (ukhuwah),
suka sama suka (ridha), persamaan (musawah), tanggung jawab (amanah),
dan profesional (fathanah/itgan). Dengan demikian, segala bentuk transaksi
bisnis atau muamalah yang mengandung unsur riba, penipuan (tadlis),
ketidakpastian (gharar/taghrir), penganiayaan/pemerasan (dhulm), paksaan
(ikrah), penyogokan (risywah) dan unsur lain yang merugikan harus
dihindarkan dan apabila telah berjalan harus dibatalkan karena
bertentangan dengan prinsip-prinsip moral (akhlak) dalam syari'at Islam.
3. Hukum asal segala bentuk muamalah adalah boleh
Prinsip hukum ini merupakan asas hukum Islam bidang muamalah. Hukum
Islam memberikan kebebasan membuat hukum asal segala bentuk
muamalah

5
6

adalah mubah. Bentuk atau jenis muamalat barusesuai dengan kebutuhan.


Asas ini dirumuskan bahwa asas segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai
ada dalil yang melarangnya.
4. Muamalat dilakukan atas dasar sukarela
Kebebasan berkehendak para pihak yang melakukan transaksi muamalat
sangat diperhatikan dalam hukum Islam Pelanggaran terhadap kebebasan
kehendak ini berakibat tidak dapat dibenarkannya suatu bentuk atau jenis
transaksi muamalat Berhubung kebebasan kehendak merupakan urusan
batin seseorang, maka sebagai konkretisasinya dalam bentuk ijab dan
kabul.
5. Muamalat dilakukan atas dasar menarik manfaat dan menolak mudharat
Prinsip mendatangkan maslahah dan menolak mudarat merupakan ruh dan
semangat hukum yang ditetapkan oleh Al-Qur'an dan Hadis. Akibat dari
prinsip ini, maka segala bentuk muamalat yang merusak sendi-sendi
kehidupan masyarakat tidak dibenarkan oleh hukum Islam. Berdasarkan
prinsip hukum ini, menjadikan sebuah teori hukum Islam, bahwa setiap
transaksi (akad) muamalat jenis apapun (termasuk dallim pasar modal)
harus bebas dari unsur- unsur riba, najasy, ihtikar, dan gharar.
6. Muamalah dilakukan atas dasar menegakkan keadilan
Prinsip hukum keadilan ini membawa sebuah teori dalam hukum Islam
bahwa keadilan yang diwujudkan dalam setiap transaksi muamalah adalah
keadilan yang berimbang, artinya keadilan yang dapat memelihara dua
kehidupan yaitu hidup yang sementara dan hidup yang abadi. Bahkan
dalam hal pengambilan manfaat dan pencegahankerugian di dalam hidup
ini dan yang berhubungandengan alam baka menjadi pertimbangan yang
utama dalam hukum Islam. Dalam konteks ekonomi, menitikberatkan pada
persaudaraan dari keadilan sosial ekonomi yang berimbang antara
kehidupan material dan spiritual. (Ningsih:2021)
Adapun pendapat pendapat dari Fathurrahman Djamil (2013 dalam
Madjid: 2018) beliau mengkalsifikasikan prinsip muamalah kepada dua
prinsip yaitu prinsip umum dan prinsip khusus:
7

a. Prinsip Umum
1. kebolehan dalam melakukan aspek muamalah, baik, jual, beli, sewa
menyewa ataupun lainnya.
2. muamalah dilakukan atas pertimbangan membawa (maslahat) bagi
manusia dan atau untuk menolak segala yang merusak (dar al mafasid
wa jalb al masalih). Hal ini sejalan dengan maqasid syari‟ah bahwa
tujuan diturunkannya syariah adalah untuk menjaga lima hal mendasar
pada manusia. Al Syatibi menyebut lima pokok dasar yang menjadi
prioritas dijaga dengan diturunkannya syari’at hifzu al din (agama),
hifz nafs (jiwa), hifz al aql (menjamin keselamatan akal), hifzu al mal
(harta), dan hifz al nasl (keturunan). Hakikat kemaslahatan dalam
Islam adalah segala bentuk kebaikan dan manfaat yang berdimensi
integral duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual
dan kolektif. Sesuatu dipandang Islam mengandung maslahat jika
memenuhi dua unsur yakni kepatuhan syari’ah (halal) dan bermanfaat
serta membawa kebaikan (thayyib) bagi semua aspek secara integral
yang tidak menimbulkan muharat dan merugikan pada salah satu
aspek.
3. muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keseimbangan
(tawazun). Konsep ini dalam syariah meliputi berbagai segi antara lain
meliputi keseimbangan antara pembangunan material dan spiritual;
pemanfaatan serta pelestarian sumber daya. Pembangunan ekonomi
syariah tidak hanya ditujukan untuk pengembangan sektor korporasi,
namun juga pengembangan sektor usaha kecil dan mikro yang
terkadang luput dari upaya-upaya pengembangan sektor ekonomi
secara keseluruhan
4. muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan dan
menghindari unsur-unsur kezaliman. Segala bentuk muamalah yang
mengandung unsur penindasan tidak dibenarkan. Keadilan adalah
menempatkan sesuatu hanya pada tempatnya dan memberikan sesuatu
hanya pada yang berhak, serta memperlakukan sesuatu sesuai
8

posisinya. Implementasi keadilan dalam aktivitas ekonomi berupa


aturan prinsip muamalah yang melarang adanya unsur riba, zalim,
maysir, gharar, objek transaksi yang haram
b. Prinsip Khusus
1. objek transaksi mesti halal. Artinya dilarang melakukan bisnis ataupun
aktivitas ekonomi terkait yang haram. Sebagai contoh Islam melarang
menjual minuman keras, najis, alat-alat perjuadian, dan lain-lain.
Sehubungan dengan itu berinvestasi pada perusahaan-perusahaan yang
mencampuradukkan barang-barang halal dan haram juga tak
dibenarkan dalam Islam. Investasi tidak halal yang dilakukan oleh
suatu perusahaan sama artinya dengan tolong menolong dalam
keburukan sebagaimana dilarang dalam QS. Al-Maidah: 2 Preferensi
seorang muslim bukan sekedar ditentukan oleh utility semata, tetapi
apa yang disebut sebagai mashlahat dengan tanpa meninggalkan aspek
rasionalitas (Kemudian jual beli yang dilarang dalam Islam lainnya
adalah menjual barang-barang yang diharamkan. Ketika barang yang
telah Allah tetapkan haram, maka untuk menjualnya pun diharamkan,
2. adanya keridhaan pihak-pihak yang bermualamah. Dasar asas ini
adalah kalimat an taradhin minkum (saling rela diantara kalian, QS.
An-Nisa: 29). Asas ini menyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus atas dasar kerelaan antara masing-masing pihak.
Kerelaan antara pihak-pihak yang berakad dianggap sebagai prasyarat
bagi terwujudnya semua transaksi. Jika dalam transaski tidak terpenuhi
asas ini, maka itu artinya sama dengan memakan sesuatu dengan cara
bathil yang dilarang Allah dalam QS. Al-Baqarah: 188
‫ِم ِل ۟ا‬ ‫۟ا ِإ‬ ‫ِب ِط‬ ‫۟ا‬
‫َو اَل َتْأُك ُلٓو َأْم َٰوَلُك م َبْيَنُك م ٱْلَٰب ِل َو ُتْد ُلو َهِبٓا ىَل ٱُحْلَّك ا َتْأُك ُلو َفِريًق ا ِّم ْن‬

‫َأْم َٰو ِل ٱلَّناِس ِبٱِإْلِمْث َوَأنُتْم َتْع َلُم وَن‬


Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada
hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada
9

harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa,


padahal kamu mengetahui.”

Transasksi yang dilakukan tidak dapat dikatakan telah mencapai


sebuah bentuk kegiatan yang saling rela diantara yang melakukan
transaksi jika di dalamnya ada tekanan, paksaan, tipuan dan miss-
statemen. Jika asas ini mengharuskan tidak adanya paksaan dalam
proses transaksis dari pihak manapun, kondisi ini diimplementasikan
dalam perjanjian yang dilakukan diantaranya dengan kesepakatan
dalam bentuk shigat ijab dan qabul serta adaya hak kiyar (hak opsi)
3. Pengurusan dana yang amanah. Amanah mempunyai akar kata yang
sama dengan kata iman dan aman, sehingga mukmin berarti yang
beriman, yang mendatangkan keamanan, juga yang memberi dan
menerima amanah. Orang yang beriman disebut juga al-mukmin,
karena orang yang beriman menerima rasa aman, iman dan amanah.
Bila orang tidak menjalankan amanah berarti tidak beriman dan tidak
akan memberikan rasa aman baik untuk dirinya dan sesama
masyarakat lingkungan sosialnya. Dalam sebuah hadis dinyatakan
"Tidak ada iman bagi orang yang tidak berlaku amanah" (Madjid:
2018)
B. Bentuk dan Pola Aqad Dalam Muamalah Islam
Ada beberapa macam akad, dimana akad dapat dibedakan sebagai
berikut:
a. Akad tanpa syarat (Aqad Munjiz)
yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad tanpa
memberikan batasan. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan
akad ialah pernyataan yang tidak disertai dengan syarat-syarat dan tidak
pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
b. Akad bersyarat (ghairu munjiz) atau Aqad Mu'alaq ialah akad yang di
dalam pelaksanaan terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad,
misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah
adanya pembayaran. Aqad Ghairu Munjiz dibedakan menjadi tiga macam
sebagai berikut:
10

1. Syarat ketergantungan atau Ta'liq Syarat. Menentukan hasil suatu


urusan dengan urusan yang lain. Yakni terjadi akad dengan urusan yang
lain, jika urusan yang lain tidak terjadi atau tidak ada, maka akad pun
tidak ada. Seperti perkataan seseorang, jika orang yang berutang kepada
anda pergi saya menjamin utangnya. Orang akan menanggung utang
(kafil) menyangkut kesanggupan untuk melunasi utang pada perginya
orang tersebut. Ta'liq ini memerlukan dua ungkapan. Uangkapan
pertama mengharuskan adanya syarat, seperti dengan kata jika dan
kalau yang dinamakan ungkapan syarat. Adapun ungkapan kedua
dinamakan jaza atau balasan.
2. Ungkapan/Ta'yid Syarat. Penemuan hukum dalam tasyaruf, ucapan
sebenarnya tidak jadi lazim (wajib) tasaruf dalam keadaan mutlak.
Yaitu syarat pada suatu akad atau tasharuf yang hanya berupa ucapan
saja, sebab pada hakekatnya tidak ada atau tidak mesti diIakukan.
Contoh ta'yid syarat seperti orang menjual barang dengan syarat ongkos
pengangkutan ditanggung oleh penjual. Penjual berjanji akan
memenuhi syarat tersebut, yaitu menanggung ongkos. Sebenarnya
iltizam tersebut tidak bersyarat, karena akad yang mutlak tidak
mengharuskan ongkos angkutan yang dipikul oleh penjual.
3. Syarat penyandaran atau lidhafah, yaitu menyandarkan pada suatu masa
yang akan datang (idhafaf mustaqbal), melambatkan hukum tasharuf
qauli ke masa yang akan datang. Seperti dikatakan saya menjadikan
anda sebagai wakil saya mulai awal tahun depan. Ini contoh syarat yang
diidhafahkan ke masa yang akan datang. Zaman yang akan datang ini
ada kalanya malhudh dapat dirasakan sendiri atau dipahami sendiri dari
akad. Seperti pada wasiat. Wasiat memberi pengertian bahwa wasiat itu
berlaku sesudah yang berwasiat wafat. Adapun tabaru atau derma
minjiz yang berlangsung berlaku ialah seperti hibah dan sedekah.
(Abidin:2020)
C. Kemungkinan pengembangan Aqad Dalam Islam
Asas-asas perjanjian dalam hukum Islam terdiri dari asas kebolehan
(mabda’ al-ibahah), asas kebebasan berkontrak (mabda’ hurriyyah atta’aqud),
11

asas kesepakatan (mabda’ ar-radha’iyyah) asas janji itu mengikat, asas


keseimbangan (mabda’ at-tawazun fi al mu’awadhah), asas kemaslahatan
(tidak memberatkan), asas amanah dan asas keadilan. Asas ibahah atau
kebolehan merupakan asas umum hukum Islam dalam bidang muamalat yang
dirumuskan pada kalimat “pada dasarnya segala sesuatu itu boleh dilakukan
sampai ada dalil yang melarangnya”.
Hal ini bertolak belakang dengan asas yang berlaku dalam ibadah
bahwa tidak ada ibadah kecuali apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah
Saw. Jika dihubungkan dengan tindakan hukum dan perjanjian maka perjanjian
apa pun dapat dibuat sejauh tidak ada larangan khusus mengenai perjanjian
tersebut. Asas kebebasan berakad dalam hukum Islam dibatasi dengan larangan
makan harta sesama dengan jalan bathil (Q.S. An-Nisa:29).
Yang dimaksud dengan makan harta sesama dengan jalan bathil adalah
makan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan dan tidak sah
menurut hukum Syariah. Asas kosensual berlandaskan pada kaidah hukum
Islam pada asasnya perjanjian (akad) itu adalah kesepakatan para pihak dan
akibat hukumnya adalah apa yang mereka tetapkan melalui janji.
Asas janji itu mengikat berlandaskan pada perintah dalam Al Qur’an
agar memenuhi janji. Dalam kaidah ushul fikih, perintah itu pada asasnya
menunjukkan wajib. Di antara ayat dan hadits dimaksud adalah, dan penuhilah
janji, sesungguhnya janji itu akan dimintakan pertanggungjawabannya terdapat
didalam Q.S. Al-Isra: 34. Hukum perjanjian Islam menekankan perlunya
keseimbangan dalam perjanjian. Keseimbangan ini dapat berupa keseimbangan
antara yang diberikan dengan yang diterima maupun keseimbangan dalam
memikul risiko. Asas kemaslahatan dimaksudkan agar akad yang dibuat oleh
para pihak bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi mereka dan tidak
boleh menimbulkan kerugian (mudharat) atau keadaan yang memberatkan
(masyaqqah). Asas amanah mengandung arti bahwa para pihak yang
melakukan akad harus memiliki itikad baik dalam bertransaksi dengan pihak
lainnya. Dalam perjanjian Islam dituntut adanya amanah misalnya memegang
rahasia, atau memberikan informasi yang sesungguhnya, tidak bohong. Dalam
hukum Islam keadilan merupakan perintah Allah yang tertera dalam Al-Qur’an,
12

berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa terdapat didalam Al-
Qur’an (Q.S. Al-Maidah:8). Keadilan merupakan tujuan yang hendak
diwujudkan oleh semua hukum. (Pane, dkk: 2021)
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam prinsip muamalah terdapat beberapa prinsip yaitu, Seluruh
Tindakan mualamlah dilakukan atas dasar nilai-nilai ketuhanan (Tauhid),
Muamalah harus Didasarkan pada Pertimbangan moral yang Luhur (Akhlakul
Karimah), Hukum asal segala bentuk muamalah adalah boleh, Muamalat
dilakukan atas dasar sukarela, Muamalat dilakukan atas dasar menarik manfaat
dan menolak mudharat, Muamalah dilakukan atas dasar menegakkan keadilan.
Adapun prinsip muamalah menurut Fathurrahman Djamil (2013) memebagi
prinsip muamalah menjadi dua bagaian yaitau prinsip Umum dan Prinsip
Khusus.
Dalam aqad di bagi menjadi beberapa macam yaitu akad tanpa syarat
(Aqad Munjiz) dan Akad Bersyarat (Ghairu Munjiz). Aqad bersyarat di bagi
lagi menjadi beberapa bagaian yaitu, syarat ketergantungan atau Ta’liq Syarat,
Ungkapan atau Ta’yid Syarat, syarat penyandaran atau Lidhafah. Dalam
muamalah aqad ini sering di gunakan dalam transaksi jual beli.
Pengembangan akad dalam islam sangat memungkinkan jika sesuai
dengan syariat islam maka di perbolehkan. Dalam perkembanagan zaman
memungkinkan bahwa pengemabangan aqad terjadi. Asalkan sesuai dengan
asas yang berlaku dalam islam dan muamalah.

B. Saran
Saran yang dapat diberikan oleh pemakalah agar pembaca dapat
memahami meteri ini dan semoga kedepannya pembaca dapat menerapkan
prinsip muamalat, aqad dalam kehidupan sehari-hari.

13
14

DAFTAR PUSTAKA
Panel, Ismail dkk. 2012. “Fiqh Mu’amalah Kontemporer”. (Aceh: Yayasan
Penerbit Muhammad Zaini).

Madjid, Saleha. 2018. “Prinsip-Prinsip (Asaa-Asas) Muamalah”. Jurnal Hukum


Ekonomi Syariah. Vol. 2, No. 1.

Ningsih, Prilla Kurnia. 2021. “Fiqh Muamalah”. (Depok: PT. Raja Grafindo
Persada).

Abidin, Zainal. 2020. “Akad Dalam Transaksi Muamalah Kontemporer”. (Jawa


Timur: Duta Media Publishing).

Anda mungkin juga menyukai