Anda di halaman 1dari 17

APLIKASI MAQASHID SYARIAH

DALAM PENGEMBANGAN HUKUM BISNIS ISLAM

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


“Filsafat Hukum Bisnis Islam”

Dosen Pengampu:
Dr. Nurul Huda, M.H.I

Disusun oleh:
1. Ira Aristiasari (201955020400843)
2. Ahmad Hamam Muzaka (201955020400812)

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARI’AH (MUAMALAH)


FAKULTAS SYARIAH DAN ADAB
UNIVERSITAS NAHDLATUL ULAMA SUNAN GIRI BOJONEGORO
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa menyelesaikan makalah yang
berjudul “APLIKASI MAQASHID SYARIAH DALAM PENGEMBANGAN HUKUM
BISNIS ISLAM”.
Makalah ini sudah selesai, kami susun secara maksimal dengan bantuan pertolongan
dari berbagai pihak sehingga memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu, kami
menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut berkontribusi di
dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca
sehingga kami bisa melakukan perbaikan makalah ini dengan baik dan benar.
Akhir kata kami semoga makalah ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi bagi
pembaca.

Bojonegoro, 26 Desember 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR......................................................................................................i
DAFTAR ISI....................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................................................1
B. Rumusan Masalah..................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan...................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Maqashid Syariah................................................................................3
B. Derivasi Maslahat dalam Bangunan Metodologi Ekonomi Islam.........................4
C. Urgensi Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam................................................5
D. Penerapan Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam............................................8
E. Aplikasi Maqashid Syariah dalam Pengembangan Hukum Industri Halal Di
Indonesia................................................................................................................
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan..........................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam Islam ada tiga rangkaian penting dan menjadi satu keutuhan dalam membentuk
pribadi muslim yang sempurna yaitu akidah, syariah dan akhlak. Ketiga hal tersebut
menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Setiap muslim wajib
mengetahui dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Dari ketiga unsur tersebut
syariah merupakan pembahasan yang sangat luas, karena selain menyentuh interaksi
hamba dengan Tuhannya (ibadah) juga menyentuh interaksi hamba dengan sesamanya
(muamalah). Fokus dari muamalah adalah mengatur kehidupan muslim dalam
interaksinya dengan sesama makhluk lainnya termasuk bagian yang sangat vital yaitu
ekonomi.
Dewasa ini bidang ekonomi sangat terbuka dalam memunculkan inovasi baru dalam
membangun dan mengembangkan ekonomi masyarakat. Fikih muamalah sebagai akar
dari ekonomi Islam harus bisa mengayomi muslim agar tidak terhambat dalam
berinteraksi namun tidak keluar dari koridor Islam. Untuk itu fikih muamalah harus selalu
siap dalam mengarahkan, memfilter, menerima, menolak dan memunculkan inovasi baru
dalam membangun dan mengembangkan muamalah apalagi yang berhubungan dengan
ekonomi.
Untuk menghadapi segala muamalah ekonomi yang belum ada ketentuan dalam Naṣṣ
dan belum dibahas dalam literatur klasik perlu istinbāṭ hukum secara logika dengan
mempertimbangkan prinsip maqāṣid asy-syarī‘ah. Maqāṣid asy-syarī‘ah menjadi acuan
dan patokan utama untuk menjaga keseimbangan sosial di masyarakat yang merupakan
tujuan utama syariat Islam.
Berangkat dari sini, mengetahui seluk beluk maqāṣid asy-syarī‘ah merupakan suatu
keharusan bagi seorang muslim karena merupakan konsideran utama dalam mengevaluasi
nilai manfaat dan mudarat dari kegiatan muamalah. Untuk itu dalam kesempatan ini
penulis akan membahas secara ringkas tentang maqāṣid as-syarīah dan penerapannya
dalam Ekonomi Islam.

1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian maqashid syariah?
2. Bagaimana maslahat dan urgensi maqashid syariah dalam ekonomi Islam?
3. Bagaimana aplikasi maqashid syariah dalam hukum bisnis Islam?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian maqashid syariah.
2. Untuk mengetahui maslahat dan urgensi maqashid syariah dalam ekonomi Islam.
3. Untuk mengetahui aplikasi maqashid syariah dalam hukum bisnis Islam.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Syariah


Secara bahasa, maqāṣid al-sharī’ah terdiri dari dua kata yaitu maqāṣid dan sharī'ah.
Maqāṣid adalah bentuk plural dari kata maqasid yang berarti kesengajaan atau tujuan.1
Sedangkan kata syari’ah, berasal dari kata al-sharī’ah dan sinonim dengan kata al-shir’ah.
Secara leksikal keduanya berarti jalan menuju mata air.2 Ungkapan jalan menuju mata air
ini mengandung konotasi keselamatan. Dalam al-Qur'an kedua kata tersebut dipakai
untuk arti agama sebagai jalan lurus yang ditetapkan Allah untuk diikuti oleh manusia
agar mendapatkan keselamatan. Dalam perkembangan terakhir, kata syari’ah digunakan
untuk merujuk makna pokok-pokok agama dan kadang-kadang merujuk pada aspek
pokok agama dan hukum sekaligus. Al-Ash’arī, seorang teolog terkenal secara tegas
memakai kata-kata syari’ah untuk menunjukkan aspek hukum dari agama Islam.
Sedangkan al-Shāṭibī mengartikan syari’ah sebagai keseluruhan aturan agama yang
mengatur tingkah laku, ucapan dan kepercayaan manusia. 3 Pengertian ini
menggambarkan syari’ah dalam arti luas yang meliputi aspek hukum dan doktrinal
sekaligus. Dengan demikian syari’ah identik dengan agama Islam itu sendiri.
Pengertian syari’ah ini dalam kaitannya dengan maqāṣid al-sharī’ah akan semakin
jelas dengan melihat pengertian yang diberikan oleh M. Syaltut, bahwa syari’ah adalah
seperangkat hukum-hukum Tuhan yang diberikan kepada umat manusia untuk
mendapatkan kabahagiaan di dunia dan akhirat.4 Kandungan yang demikian secara tidak
langsung memuat kandungan maqāṣid al-sharī’ah dan ini berkorelasi dengan pengertian
maqāṣid al-sharī’ah secara terminologi, sebagaimana terlihat dalam defenisi yang
diberikan oleh Wahbah al-Zuhaylī. Ia memaksudkan maqāṣid al-sharī’ah dengan nilai-
nilai dan sasaran-sasaran syariat yang tersirat dalam segenap dan sebagian besar dari
hukum-hukum-Nya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan
rahasia syari’ah yang ditetapkan oleh Shāri' (pembuat syari’ah/Tuhan) dalam setiap
ketentuan hukum.5 Sementara itu, 'Alal al-Fāsī juga memberikan definisi dengan nada
1
Hans Wehr, A Dictionary of Modern Written Arabic (London: Mc Donald & Evan Ltd, 1980), h. 767.
2
Ibn Manẓūr, Lisān al-‘Arab (Mesir: Dār al-Miṣriyyah li Ta’līf wa ’l-Tarjamah, t.th.), h. 40
3
al-Shāṭibī, al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī’ah (Kairo: Muṣṭafā Ahmad, t.th.), h. 53.
4
M. Shalṭūt, Aqīdah wa Sharī’ah (Kairo: Dār al-Qalam, t.th.), h. 12.
5
Wahbah al-Zuhaylī, Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī (Damaskus: Dār al-Fikr, 1986), h. 1017.

3
yang sama.6 Dengan kata lain, inti dari konsep maqāṣid al-sharī’ah adalah untuk
mewujudkan kebaikan dan menarik kemanfaatan sekaligus menghindari keburukan dan
menolak mudarat. Istilah yang sepadan dengan inti maqāṣid al-sharī’ah ini adalah
kemaslahatan, karena muara dari penetapan hukum Islam adalah kemaslahatan.
Konsep al-maṣlaḥah al-Shāṭibī melingkupi seluruh bagian syari’ah dan bukan hanya
aspek yang tidak diatur oleh naṣ (teks) saja, Meskipun begitu, pemikiran maslahat al-
Shāṭibī ini tidak seberani dan segarang gagasan maslahat yang dilontarkan oleh ulama
kontroversial al-Ṭūfī dari kalangan Ḥanbaliyyah. Menurutnya, prinsip maslahat dapat
membatasi (takhṣīṣ) al-Qur' an, hadis, ijma' jika penerapan al-Qur'an, Sunnah dan Ijma’
tersebut menyusahkan manusia. Akan tetapi pemberlakuannya dibatasi hanya dalam
bidang muamalah saja. Berdasarkan berbagai pandangan ulama di atas dapat ditarik
sebuah kesimpulan bahwa mereka sepakat tentang tujuan Allah mensyariatkan sebuah
hukum adalah untuk memelihara kemaslahatan seluruh manusia, di sisi lain untuk
menghindari mafsadat, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut dicapai melalui
taklif, yang pelaksanannya sangat tergantung pada pemahaman sumber hukum utama, al-
Qur’an dan hadis. Dalam mewujudkan kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat, ada
lima hal pokok yang harus dipelihara dan dijaga yaitu agama, jiwa, akal, keturunan dan
harta.
B. Derivasi Maslahat dalam Bangunan Metodologi Ekonomi Islam
Telah ditegaskan sebelumnya bahwa dalam melakukan ijtihad untuk menghadapi
berbagai situasi, maka maslahat harus dijadikan sebagai prioritas utama, karena ia
merupakan tujuan pokok syariat (maqāṣid al-sharī’ah). Dengan merujuk kepada
maslahat, fikih atau produk ijtihad yang lainnya dapat disesuaikan dengan kemaslahatan
masyarakat.7 Penegasan tentang hal ini penting, karena syariat memuat prinsip-prinsip
umum sebagai strategi dasar yang dapat diaplikasikan dalam berbagai kasus dan keadaan.
Di samping itu, syariat juga menawarkan konsep fleksibilitas, karena di dalam al-Qur'an
tidak ditemukan ketentuan dan materi yang bersifat rinci. Dengan landasan berpikir
seperti ini, sebenarnya syariat dapat memberikan kontribusinya bagi kemaslahatan
masyarakat tanpa berbenturan dengan norma dan nilai-nilai yang lain.8

6
‘Alal al-Fāsī, Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā (t.t.p.: Maktabah al-Wiḥdah al- ‘Arabiyyah,
t.th.), h. 3.
7
Amir Muallim dan Yusdiani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), h. 134
8
M. Umer Chapra, Islam and the Economic Challenge (Leicester: Islamic Foundation: Herndon, Va.: IIIT,
1992), h. 247.

4
Semua ulama mengakui bahwa the ultimate goal-nya hukum Islam adalah
kemaslahatan. Namun karena semua ulama mempunyai pemikiran yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya tentang maslahat dari sebuah aturan, keadaan yang seperti
ini sangat terbuka bagi munculnya subjektivitas pemahaman. Oleh karena itu, untuk
kepentingan penderivasian maslahat ke dalam sebuah hukum yang konkret sekaligus
untuk pengembangannya, ada baiknya diperhatikan penjenjangan norma-norma hukum
Islam. Dalam hal ini terdapat tiga level norma hukum: pertama, norma-norma dasar atau
nilai-nilai filosofis (al-qiyām al-asāsī), yakni norma-norma abstrak yang merupakan nilai-
nilai dasar dalam hukum Islam seperti kernaslahatan, keadilan, kebebasan dan persamaan,
atau pemeliharaan maslahat yang lima (maqāṣid al-sharī’ah). Norma abstrak inilah yang
disebut sebagai tujuan hukum.
Kedua, norma antara (tengah) yang digunakan sebagai perantara (alat) untuk
mencapai tujuan-tujuan hukum. Norma tengah ini merupakan doktrin-doktrin umum
hukum Islam. Doktrin-doktrin umum ini secara konkret dalam hukum Islam dibedakan
menjadi dua macam, yaitu al-naẓariyyat alfiqhiyyah (asas-asas umum hukum Islam) dan
al-qawā’id al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah hukum Islam). Ketiga, norma hukum konkret (al-
aḥkām al-far’iyyah) sebagai aplikasi dari dua norma sebelumnya.9
Ketiga lapisan norma ini tersusun secara hirarkis, dimana norma yang paling abstrak
dikonkretisasi atau diejawantahkan dalam norma yang lebih konkret. Misalnya nilai dasar
kemaslahatan dikonkretkan antara lain dalam asas umum yang berupa kaidah fiqhiyyah,
yaitu antara lain al-mashaqqah tajlīb al-taysīr (kesukaran membawa kemudahan). Asas ini
dikonkretkan lagi dalam bentuk peraturan hukum perdata, misalnya orang yang sedang
dalam kesulitan dana diberi kesempatan untuk penjadwalan kembali hutangnya. Contoh
lain adalah nilai dasar kebebasan diejawantahkan dalam norma tengah, yaitu asas
kebebasan berkontrak (mabda' ḥurriyyah al-ta'āqqud). Asas kebebasan berkontrak ini
dikonkretkan lagi dalam bentuk norma konkret, yaitu boleh membuat akad baru apa saja,
misalnya akad asuransi, sepanjang tidak melanggar ketertiban hukum syar'i dan akhlak
Islam.
C. Urgensi Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam
Penemuan-penemuan baru akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, telah
menggeser cara pandang dan membentuk pola pikir yang membawa konsekuensi logis
munculnya norma baru dalam kehidupan masyarakat. Maka tidak semestinya kemajuan

9
Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurofiq (ed.), Mazhab Jogja,
Menggagas Paradigma Usul Fiqh Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruz, 1996), h. 157-161.

5
iptek dan peradaban manusia itu dihadapkan secara konfrontatif dengan naṣ, akan tetapi
harus dicari pemecahannya secara ijtihadi. Dalam banyak hal pada aktivitas ekonomi,
Islam memberikan skala normatifnya secara global. Untuk menyebut salah satu
contohnya, dapat dikemukakan persoalan aktivitas jual beli dan jaminan hutang piutang.
Dalam al-Qur' an hanya disebutkan jual beli yang halal dengan tidak terperinci,
umpamanya mana yang boleh ikhtiyar dan yang tidak boleh, dan tidak disebutkan pula
cara-cara penjaminan hutang piutang dan hukumnya secara terperinci. Hal-hal yang tidak
diatur dalam kedua sumber utama hukum tersebut, diperoleh ketentuannya dengan jalan
ijtihad dengan menjadikan konsep maqāṣid sebagai teori dasar dalam pengembangannya,
agar umat Islam terdorong aktif, kreatif dan produktif dalam ikhtiar-ikhtiar kehidupan
ekonomi mereka. Selama tujuan hukumnya dapat diketahui, maka akan dapat dilakukan
pengembangan hukum berkaitan dengan masalah yang dihadapi.10
Mengenai aktivitas ekonomi dan bisnis,Islam telah memberikan prinsipprinsip umum
yang harus dipegangi, yaitu:11 1) prinsip tidak boleh memakan harta orang lain secara
batil; 2) prinsip saling rela, yakni menghindari pemaksaan yang menghilangkan hak pilih
seseorang dalam muamalah; 3) prinsip tidak mengandung praktek eksploitasi dan saling
merugikan yang membuat orang lain teraniaya. Dengan demikian transaksi apapun yang
dilakukan oleh para mukallaf tidak boleh bertentangan dengan asas kemaslahatan, dalam
arti menimbulkan kerugian (muḍarat) atau keadaan memberatkan (mashaqqah).12
Aktivitas bisnis kontemporer, jual beli saham misalnya, umat Islam menghadapi
berbagai macam karaguan hukum terhadap bisnis ini, terlebih Al-Qur’an dan hadis tidak
menjelaskan bisnis ini secara eksplisit. Berkaitan dengan hal ini kaidah uṣūliyyah
menyatakan “al-aṣlu fī al-‘uqūd wa al-mu’āmalāt al-ṣṣiḥḥah ḥattā yaqūma al-dalīla ‘alā
al-buṭlan wa al-taḥrīm”.13 Ada juga kaidah lain yang mengatakan al-aṣlu fī al-ashyā’ al-
ibāḥah.14 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masalah obligasi juga merupakan
masalah muamalah baru yang belum pernah ada dan tidak pula dikenal oleh para fuqahā’
sebelumnya. Oleh karena itu, hal ini merupakan masalah ijtihādiyyah. Sejalan dengan
kaidah-kaidah yang disebutkan di atas, dapat dikatakan bahwa obligasi tersebut adalah
boleh sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip umum dalam muamalah,
apalagi jika aktivitas tersebut mengandung maslahat secara individual maupun komunal.
10
Izzuddin ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Abd al-Salām, Qawā’id al-Aḥkām, h. 201.
11
Ibn Taymiyyah, al-Qawā’id al-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah (Lahore: Idārah Tarjuman al-Sunnah, t.th.), h. 255.
12
Syamsul Anwar, “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurofiq (ed.), Mazhab Jogja,
Menggagas Paradigma Usul Fiqh Kontemporer, Yogyakarta: Ar-Ruz, 2007), h. 90.
13
‘Abd al-Ḥamīd al-Ḥakīm, al-Bayān (Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.th.), h. 230.
14
Jalāl al-Dīn al-Raḥmān al-Suyūṭī, al-Ashbah wa al-Naẓā’ir. (Beirut: Dār al-Fikr, 1966), h. 82.

6
Keberatan terhadap bentuk muamalah selama ini juga terkait dengan masalah capital
gain dalam transaksi di pasar sekunder. Di pasar sekunder ini dapat terjadi penjualan dan
pembelian, tidak seperti pasar perdana yang hanya melayani penjualan. Harga dalam
pasar sekunder ini tidak hanya ditentukan oleh kesepakatan antara perusahaan (emiten)
dan underwriter (penjamin emisi), melainkan oleh investor, sehingga harga bisa lebih
tinggi dan lebih rendah dibandingkan dengan pasar perdana, sesuai dengan mekanisme
pasar. Dengan keadaan ini, bisa terjadi lembaran saham yang dibeli di pasar sekunder
akan dijual kepada investor lain (investor spkelulan) dengan suatu harapan akan
memperoleh keuntungan yang disebut dengan capital gain, yakni kelebihan harga dari
nilai beli saham. Dengan demikian, tujuan investasi telah bergeser dati orientasi laba
keuntungan kepada laba spekulatif. Bergeser juga orientasi pembelian saham dari semata-
mata penyertaan modal kepada semata-mata jual beli.
Apabila dilihat dari aspek jual beli saja, maka fIuktuasi harga saham itu merupakan
hal yang wajar dan mubah, sepanjang saham-saham yang diperjual- belikan itu bidang
usahanya adalah usaha yang mubah. Akan tetapi keuntungan yang diperoleh bisa
spekulatif, tidak jarang muncul manuver-manuver tidak sehat yang bisa berwujud
konspirasi atau lainnya. Di antara bentuk permainan-permainan tersebut adalah konspirasi
antara underwriter, broker dan emiten yang bertujuan agar saham-saham yang ada dapat
dipermainkan sesuai dengan keinginan mereka.15
Sekelompok pedagang saham menyebarkan berita bohong sekitar perusahaan penerbit
saham. Permainan serupa juga bisa dilakukan oleh suatu grup perusahaan atau spekulan
agar bisa maraup keuntungan besar. Celaka lagi kalau ada investor yang belum mengerti
lika-liku dunia bursa, maka akan menjadi makanan empuk bagi para pialang, misalnya
dengan melakukan praktek al-najasī (menggoyang harga). Dapat disimpulkan bahwa jika
terjadi motif capital gain, maka terdapat unsur gharar di dalamnya yang dilarang oleh
Islam. Sementara gharar adalah sesuatu yang mengakibatkan tidak sahnya sebuah
transaksi karena dapat merusak kemaslahatan bagi para pihak.
Di samping itu jual beli saham yang bermotifkan capital gain menempatkan saham
tidak berfungsi sebagai bukti penyertaan modal (shirkah) atau investasi (muḍārabah),
akan tetapi sudah semacam perdagangan lembaran kertas untuk mengadu nasib dan
untung di kemudian hari. Dalam kaitan ini, A.M. Saefudin menyatakan bahwa bursa efek
yang Islami tidak diperdagangkan di pasar modal.16
15
Junaedi, Islam dan Bisnis Enterpreunersialisme: Suatu Studi Fiqh Ekonomi Bisnis Modern, (Jakarta: Kalam
Mulia, 1993), h. 34-35.
16
Ibid.

7
Saham merupakan tanda kepemilikan modal perusahaan. Dengan demikian sifat go
public yang senafas dengan Islam apabila saham-saham tersebut ditawarkan kepada
masyarakat, karyawan dan buruh perusahaan. Di sinilah fungsi kode etik yang dibuat oleh
BAPEPAM untuk menghindari kemungkinan-kemungkinan manuver tidak sehat dalam
jual beli saham. Penerapan prinsip-prinsip yang terkandung dalam maqāṣid al-sharī’ah
ini, dapat juga dilihat dalam kasus murābaḥah sebagai salah satu produk primadona
perbankan syari’ah, untuk menguji apakah perbankan syari’ah konsisten dengan nilai-
nilai maslahat bagi umat atau tidak. Pembahasan ini, sengaja ditempatkan dalam bagian
tersendiri dengan tujuan agar lebih fokus pada permasalahan, yakni kritik terhadap
perbankan syari’ah ditinjau dari maqāṣid al-sharī’ah.
D. Penerapan Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam
Kegiatan ekonomi tak bisa terlepas dari kegiatan kepemilikan dan harta. Seluruh
Ulama telah sepakat bahwasanya memproteksi harta adalah salah satu bagian dari
maqāṣid asy-syarī‘ah dan bagian dari maṣlaḥah yang lima (atau tujuh) yang harus
dilindungi. Dalam Islam harta juga mempunyai tempat penting sebagai sarana kebahagian
dunia dan akhirat.17
Aplikasi maqāṣid asy-syarī‘ah dan maṣlaḥah sudah terjadi sejak dulu. Dalam sejarah,
Khalifah Abu Bakr as-Ṣiddīq memutuskan untuk menyerang Muslimin yang tidak mau
menunaikan zakat, karena selain ibadah zakat juga merupakan pemasukan utama negara
untuk mensejahterakan ekonomi rakyat. Khalifah Umar bin Khattab pernah melarang
kaumnya untuk makan daging dua hari berturut-turut karena krisis. Beliau juga pernah
menjual secara paksa barang timbunan dengan harga standar dan juga pernah mematok
harga untuk menghindari monopoli dan bahaya untuk rakyat. Semua itu berangkat dari
maṣlaḥah.18
Dalam kegiatan ekonomi mikro, Islam sebagai raḥmah li al-‘ālamīn mengatur seluk
beluk konsumsi (istihlāk), distribusi (tauzī‘) dan produksi (intāj). Semua pengaturan
tersebut mengarah pada maṣlaḥah untuk menjaga dan menjauhi kegiatan pengabaian dan
menyia-nyiakan (iḍā‘ah) hak milik, seperti perintah potong tangan untuk pencuri,
larangan mubazir dan masih banyak lagi.
Dewasa ini, aplikasi maqāṣid asy-syarī‘ah dalam menjawab kemajuan sains dan
teknologi modern sangatlah banyak. Diantaranya dilegalkannya lembaga dan transaksi
baru sebagai jawaban dari panggilan kebutuhan masyarakat. Diantaranya mendirikan
17
Yūsuf al-Qaraḍāwi, Maqāṣid asy-syarī‘ah al-Muta‘alliqah bi al-Māl (Kairo: Dār asy-Syurūq, 2010), h. 10.
18
Muhammad Syauqi al-Fanjari, al-Mażhab al-Iqtiṣādiy fī al-Islām (Kairo: al-Hai’ah al-Miṣriyyah al-‘Ammah
li al-Kitāb, 2010), h. 227-228.

8
perbankan, asuransi, sukuk, mortgage dan multifinance, capital market, mutual fund,
Multi Level Marketing (MLM), tatacara perdagangan melalui e-commerce, sistem
pembayaran dan pinjaman dengan kartu kredit, sms banking, ekspor impor dengan media
L/C, sampai kepada instrumen pengendalian moneter, exchange rate, wakaf saham dan
lain-lain.
Maṣlaḥah juga tidak akan pernah lepas dari fatwa-fatwa kontemporer. Di Indonesia,
DSN MUI juga menerapkan maqāṣid asy-syarī‘ah dalam banyak fatwa yang
dikeluarkannya, diantaranya fatwa kebolehan jual-beli emas secara tidak tunai, yang pada
dasarnya emas dikategorikan dalam aset yang mengandung riba.19
Semua hal tersebut dilihat terdapat maṣlaḥah yang sangat besar bagi umat untuk
mengembangkan ekonomi. Selama tidak bertentangan dengan syariah, inovasi-inovasi
baru tersebut sangatlah penting dan dibutuhkan untuk diwujudkan.
E. Aplikasi Maqashid Syariah dalam Pengembangan Hukum Industri Halal Di
Indonesia
Ulama menegaskan bahwa hukum Islam diciptakan untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan akirat. Kemaslahatan ada yang besifat primer (dharûriyyah),
sekunder (hajiyyah), dan ada yang bersifat tersier (tahsiniyyah), sebagaimana dinyatakan
Imam al-Ghazalî dan al-Syâthibî. Menurut Imam alSyâthibî, tugas syariah berorientasi
pada terwjudnya tujuan-tujuan kemanusiaan yang terdiri atas bagian primer (dharûriyyah),
sekunder (hajiyyah), dan tersier (tahsiniyyah). Primer, artinya sesuatu yang harus ada
guna terwujudnya kemaslahatan agama dan dunia. Apabila sesuatu itu hilang,
kemaslahaan manusia akan sulit terwujud, bahkan akan menimbulkan kerusakan,
kekacauan dan kehancuran.20
Di sisi lain, kebahagiaan dan kenikmatan akan lenyap dan kerugian yang nyata akan
muncul. Untuk menjaga hal tersebut diperlukan dua hal. Pertama, sesuatu yang dapat
menjaga dan mengukuhkan pondasi dan kaidah syariat dan merupakan aspek utama untuk
menjaga keberadaan syariat. Kedua, sesuatu yang dapat mencegah pelanggaran langsung
atau tidak langsung terhadap syariat dan merupakan aspek untuk menghindari kepunahan
syariat. Imam al-Qarâfî menambahkan komponen ke enam, yaitu kehormatan yang sering
disebut sebagai harga diri. Oleh karena itu syariat mengharamkan fitnah atau menuduh
berzina (qadzaf), membicarakan aib orang lain (ghibah). Menurut Imam al-Syâthibî,
19
Oni Sahroni dan Adiwarman A. Karim, Maqashid Bisnis & Keuangan Islam, (Jakarta: Rajawali Pers, 2016),
h. 141-146
20
M Ali. Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah dan Tanggung Jawab Produk Atas Produsen Industri
Halal. Jurnal Al-Ahkam. Vol.XVI, No. 2, Juli 2016.

9
kemaslahatan yang bersifat sekunder adalah segala hal yang dibutukan untuk memberikan
kelonggaran dan mengurangi kesulitan yang biasanya menjadi kendala dalam mencapai
tujuan. Adapun kemaslahatan yang bersifat keutamaan (tahsiniyyah) adalah melakukan
tindakan yang lain menurut adat dan menjauhi perbuatan-perbuatan aib yang ditentang
oleh akal sehat. Kemaslahatan ini merupakan keutamaan akhlak.21
Apabila syariat bertujuan untuk menjaga kemaslahatan, ini dapat dipahami bahwa
syariat bertujuan mencegah dan menghilangkan kerusakan-kerusakan. Prinsip ini
ditegaskan dalam Hadis “Tidak ada kemudaratan dan tidak boleh memudaratkan “‫والضرار‬
‫“ الضرر‬, Hadis tersebut adalah Hadis Âhâd. Maksud Hadis ini “tidak ada kemudaratan dan
tidak boleh memudaratkan”, yaitu seseorang tidak boleh merusak dirinya dan orang lain.
Tidak boleh memulai berbuat kerusakan atau membalas dengan kerusakan. Apabila
kerusakan dan perbuatan merusak dilarang, kemaslahatan dan kesejahteraan akan terjaga
dan ter pelihara. Dari hadis ini, ada ulama berkesimpulan bahwa pada prinsipnya
kemudaratan itu haram. Kata mudarat yang dimuat dalam Hadis tersebut berbentuk umum
(nakirah) dalam ungkapan peniadaan (nafiy). Dengan demikian yang dimaksud mudarat
yaitu pelbagai jenis kerusakan. Sedangkan kemaslahatan (manâfi) pada prinsipnya adalah
mubah. Imam Syâthibî mengisyaratkan bahwa pemeliharaan kemaslahatan atau tujuan-
tujuan syariat dapat diwujudkan dalam dua bentuk, yaitu positif (ijâbiyyah) dan negatif
(salabiyah). Positif dalam arti, syariat harus memelihara hal-hal yang dapat menegakkan
dan mengukuhkan pilar-pilarnya dan dan negatif dalam arti, syariat mencegah
pelanggaran langsung atau tidak langsung yang dapat merusaknya. Oleh karena itu
mencegah kerusakan sangat diperlukan untuk menegakkan kemaslahatan.22
Maqashid syariah merupakan bagian dari tasawur Islam (Islamic Worldview), yang
dimaksudkan tasawur ini adalah cara pandang, gambaran atau sikap mental terhadap
segala sesuatu berdasarkan nilai Islam. Pemahaman tentang suatu perkara yang meliputi
aspek tauhid terhadap Allah sebagai Pencipta dan manusia sebagai hamba dan Khalifah
Allah, yang terbangun dari bukti-bukti akal (aqli) dan bukti-bukti naqli (Al-Qur’an dan
Hadis) (Mohd. Shukri, 2010). Maqashid syariah meliputi berbagai macam Aspek seperti
yang dikenalkan oleh Asy-Syatibi melalui ad-dharuriyah al-khamsa yang meliputi
menjaga agama (hifdzu ad-din), nyawa ( hifdz an-nafs), akal (hifdz al-‘aql), keturunan
(hifdz an-nasl) dan harta (hifdz al-maal). Akan tetapi, seharusnya maqashid syari’ah akan
terus berkembang sesuai dengan tantangan zamannya, untuk memenuhi kebutuhan

21
Ibid.
22
Ibid.

10
manusia akan setiap perkembangan tekhnologi ataupun kebutuhan manusia yang bersifat
inovatif dan dinamis.
Perkembangan industri halal di Indonesia tidak terlepaskan dari tiga aspek penting ,
yaitu aspek produksi, distribusi dan konsumsi. Selain itu, ketiga aspek tersebut disertai
dengan penggunaan tekhnologi yang semakin canggih dan inovatif sehingga perlu dikawal
oleh sebuah aturan yang dalam hal ini hukum islam dalam kerangka maqashid syariah
sehingga berimplikasi besar terhadap proses produksi, alat produksi, produk,
pendistribusian serta pemilihan dalam aspek konsumsi masyarakat.
Malahan, Kamali (2008) mengusulkan agar memasukan pembangunan ekonomi dan
pengukuhan R & D teknologi dan sains dalam kajian maqashid syariah karena hal tersebut
dianggap sangat penting dalam menentukan kedudukan umat islam di mata masyarakat
dunia, khususnya dalam pembuatan produk halal juga terkait tuntunan agar maslahat
untuk semua pihak. Dari aspek produksi yang diantaranya mencangkup konsep dan
keselamatan kerja dalam industri halal dapat difahami sebagai berikut:
1. Dalam aspek landasan dalam industri halal yang diterapkan adalah landasan tauhid,
sehingga bukan hanya mengetengahkan aspek keuntungan duniawi saja akan tetapi
aspek akhirat menjadi bagian penyeimbangnya. Aspek keselamatan manusia, alam
dalam aktivitas produksi dalam memproduksi produk halal -thayiban menjadi bagian
konsentrasi industry halal dalam kerangka maqashid syariah.
2. Dalam aspek tujuan dalam industri halal bukan hanya memfokuskan pada keuntungan
yang maximal saja, akan tetapi selain keuntungan ada juga tanggung jawab yang harus
dipertimbangkan dalam proses ataupun hasilnya. Sehingga mencegah dan menolak
segala kemadharatan dan kemafsadatan baik untuk manusia maupun alam sekitar,
menjadi prioritasnya juga.
3. Dalam aspek pengupahan pekerja sesuai dengan usaha yang dilakukan dalam
pekerjaannya, bahkan upah yang sesuai tersebut dalam kerangka maqashid syariah
agar dapat diberikan sebelum keringat sang pekerja kering yang bertumpu pada
kelaziman dalam mengupah. Selain itu, selain nilai materil juga dikembangkan konsep
berkah dalam usaha industri halal.
Maka ketika aspek maqashid syariah menjadi kerangka dalam perjalanan
perkembangan industri halal di Indonesia, sehingga menjadikan resiko kemadharatan dan
kemafsadatan dapat dihindari atau ditekan seminimal mungkin. Karena kemadharatan atau
bahaya yang ditimbulkan dari sebuah industri tersebut menjadi bagian dari manajemen
resiko yang harus diperhatikan. Dalam maqashid syariat menjaga nyawa (hifdz an-nafs)
11
dalam proses produksi, distribusi maupun konsumsi dalam industri halal tersebut harus
menjadi fokus utama, sehingga proses produksi dan hasil dari produksi yaitu produknya
terjamin melalui adanya setifikasi halal yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang
berwenang dalam mengeluarkan izin halal sebuah produk atau jasa. Dengan adanya
keseimbangan antara hak dan kewajiban antara konsumen dan produsen dalam industri
halal dapat berjalan semestinya serta hal tersebutlah yang menjadi bagian tujuan dari
maqashid syariah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
12
Sudah menjadi kesepakatan bahwa dengan konsep maqāṣid al-sharī’ah dapat
diketahui bahwa maksud dan tujuan Allah dalam memberikan sebuah ketentuan untuk
manusia adalah dalam rangka memelihara kepentingan dan kemanfaatan bagi manusia
sendiri. Tidak ada ketentuan yang telah ditetapkan kecuali aturan tersebut memang
mengandung kemaslahatan buat manusia. Dengan demikian, sejatinya konsep maqāṣid al-
sharī’ah ini bisa dijadikan sebagai blue print dalam menghadapi berbagai permasalahan-
permasalahan perekonomian kontemporer baik yang bersifat teoritis maupun praktis. Hal
ini semakin beralasan ketika dihadapkan pada realitas ekonomi Islam yang masih mencari
bentuk idealnya.
Pemahaman dan semangat dalam mengaplikasikan konsep halal dan thoyib dalam
ranah industri halal di Indonesia seharusnya memiliki semangat dan motivasi dalam
kerangka maqashid syariah, sehingga perkembangan industri halal tersebut dapat sejalan
dengan tujuan utamanya agar para konsumen di Indonesia khususnya bagi masyarakat
muslim terjaga dalam segala segi pemenuhan kebutuhannya yang dipenuhi kebutuhan
tersebut melalui industri halal yang bersifat dinamis dan inovatif, serta senantiasa dalam
rangka menjaga kemaslahatan bagi semua pihak.

DAFTAR PUSTAKA

13
al-Fanjari, Muhammad Syauqi. al-Mażhab al-Iqtiṣādiy fī al-Islām. Kairo: al-Hai’ah al-
Miṣriyyah al-‘Ammah li al-Kitāb, 2010.
al-Fāsī, ‘Alal. Maqāṣid al-Sharī’ah al-Islāmiyyah wa Makārimuhā. t.t.p.: Maktabah al-
Wiḥdah al- ‘Arabiyyah, t.th.
al-Ḥakīm, ‘Abd al-Ḥamīd. al-Bayān. Jakarta: Sa’adiyah Putra, t.th.
Ali, M. Konsep Makanan Halal dalam Tinjauan Syariah dan Tanggung Jawab Produk Atas
Produsen Industri Halal. Jurnal Al-Ahkam. Vol.XVI, No. 2, Juli 2016.
al-Qaraḍāwi, Yūsuf. Maqāṣid asy-syarī‘ah al-Muta‘alliqah bi al-Māl. Kairo: Dār asy-
Syurūq, 2010.
al-Shāṭibī. al-Muwāfaqāt fī Uṣūl al-Sharī’ah. Kairo: Muṣṭafā Ahmad, t.th.
al-Zuhaylī, Wahbah. Uṣūl al-Fiqh al-Islāmī. Damaskus: Dār al-Fikr, 1986.
Anwar, Syamsul. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurofiq (ed.),
Mazhab Jogja, Menggagas Paradigma Usul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-Ruz,
1996.
Chapra, M. Umer. Islam and the Economic Challenge. Leicester: Islamic Foundation:
Herndon, Va.: IIIT, 1992.
Izzuddin ibn ‘Abd al-‘Aziz ibn ‘Abd al-Salām, Qawā’id al-Aḥkām.
Jalāl al-Dīn al-Raḥmān al-Suyūṭī. al-Ashbah wa al-Naẓā’ir. Beirut: Dār al-Fikr, 1966.
Junaedi. Islam dan Bisnis Enterpreunersialisme: Suatu Studi Fiqh Ekonomi Bisnis Modern.
Jakarta: Kalam Mulia, 1993.
Manẓūr, Ibn. Lisān al-‘Arab. Mesir: Dār al-Miṣriyyah li Ta’līf wa ’l-Tarjamah, t.th..
Muallim, Amir dan Yusdiani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. Yogyakarta: UII Press,
2001.
Oni Sahroni dan Adiwarman A. Karim. Maqashid Bisnis & Keuangan Islam. Jakarta:
Rajawali Pers, 2016.
Shalṭūt, M. Aqīdah wa Sharī’ah. Kairo: Dār al-Qalam, t.th.
Taymiyyah, Ibn. al-Qawā’id al-Nuraniyyah al-Fiqhiyyah. Lahore: Idārah Tarjuman al-
Sunnah, t.th.
Wehr, Hans, A Dictionary of Modern Written Arabic. London: Mc Donald & Evan Ltd, 1980.

14

Anda mungkin juga menyukai