Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

Maqashid Ekonomi Syariah Sebagai Filsafat Hukum Ekonomi Syariah

Disusun untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Filsafat Hukum Ekonomi Syariah

Dosen Pengampu : Muhammad Taufiq,Lc.M.sy.

Disusun Oleh:

Alfan Fatoni (19382041090)

Hairil Bahtiar ( 19382041092 )

Adli Cory Nouval Safari (19382041095)

Alaika Dinul Matin (19382041100)

Moch Ikromuddin (19382041105)

FAKULTAS SYARIAH (FASYA)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI MADURA

TAHUN AJARAN 2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya.
Salawat serta salam senantiasa tercurah limpahkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad
SAW. sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah dengan judul "Maqashid
Ekonomi Syariah Sebagai Filsafat Hukum Ekonomi Syariah"

Disadari sepenuhnya bahwa makalah ini dapat disusun berkat bantuan, bimbingan,
dorongan, dan saran dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami ucapkan
terima kasih kepada:

1. Bapak Muhammad Taufiq,Lc.M.sy. sebagai dosen Pengantar Filsafat Hukum


Ekonomi Syariah memberikan bimbingan dalam pembuatan makalah ini;
2. Kedua untuk orang tua kami yang telah memberikan dukungan moril maupun materil;
dan.

Dalam penulisan makalah ini, kami merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki kelompok kami
terbatas. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami
harapkan demi penyempurnaan makalah ini.

Akhirnya, kami berharap semoga makalah yang sederhana ini bermanfaat bagi
pembaca, khususnya bagi kelompok kami.

Pamekasan,11,Oktober,2021.

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................. i

DAFTAR ISI ................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.................................................................... 4
B. Rumusan Masalah............................................................... 4
C. Tujuan Penulisan ................................................................ 4

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Maqashid Al-Syari'ah........................................ 5


B. Tata Cara Mengetahui Maqashid Al-Syari'ah...................... 7
C. Klasifikasi Maqashid Syariah.............................................. 9
D. Peran Maqashid Syari'ah Dalam Kehidupan....................... 11

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan. ........................................................................ 12

DAFTAR PUSTAKA................................................................................... 13

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tujuan penetapan hukum atau yang sering dikenal dengan istilah


Maqashid al-syari'ah merupakan salah satu konsep penting dalam kajian hukum
Islam. Karena begitu pentingnya maqashid al-syari'ah tersebut, para ahli teori
hukum menjadikan maqashid al-syari'ah sebagai sesuatu yang harus dipahami
oleh mujtahid yang melakukan ijtihad. Adapun inti dari teori maqashid al-
syari'ah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekaligus menghindarkan
keburukan, atau menarik manfaat dan menolak madharat. Istilah yang sepadan
dengan inti dari maqashid al-syari'ah tersebut adalah maslahat, karena
penetapan hukum dalam Islam harus bermuara kepada maslahat.

Perlu diketahui bahwa Allah SWT sebagai syari' (yang menetapkan


syari'at) tidak menciptakan hukum dan aturan begitu saja. Akan tetapi hukum dan
aturan itu diciptakan dengan tujuan dan maksud tertentu. Ibnu Qayyim al-
Jauziyah, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam (2001:127), menyatakan
bahwa tujuan syari'at adalah kemaslahatan hamba di dunia dan di akhirat. Syari'at
semuanya adil, semuanya berisi rahmat, dan semuanya mengandung hikmah.
Setiap masalah yang menyimpang dari keadilan, rahmat, maslahat, dan hikmah
pasti bukan ketentuan syari'at.

Berdasarkan pertimbangan di atas, maka pengetahuan tentang teori


maqashid al-syari'ah dalam kajian hukum Islam merupakan suatu keniscayaan.
Tulisan singkat ini akan mencoba mengemukakan secara sederhana teori
maqashid al-syari'ah tersebut. Poin-poin yang dianggap penting dalam masalah
ini meliputi pengertian maqashid al-syari'ah, kandungannya, dan cara
mengetahuinya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Maqashid Syariah
2. Bagaimana Tata Cara Mengetahui Maqashid Syari'ah
3. Apa Saja Peran Maqashid Syari'ah Dalam Kehidupan
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui PengertianM Maqashid Syari'ah
2. Untuk Mengetahui Tata Cara Mengetahui Maqashid Syari'ah
3. Untuk Mengetahui Apa Saja Peran Maqashid Syari'ah Dalam Kehidupan

4
BAB II

PEMBAHASAN

1. Pengertian Maqashid Al-Syari'ah

Maqashid merupakan bentuk plural (jama‟) dari maqshud. Sedangkan akar


katanya berasal dari kata verbal qashada, yang berarti menuju; bertujuan; berkeinginan
dan kesengajaan.Kata maqshud-maqashid dalam ilmu Nahwu disebut dengan maf‟ul bih
yaitu sesuatu yang menjadi obyek, oleh karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan
‟tujuan‟ atau ‟beberapa tujuan. Sedangkan asy-Syari‟ah¸ merupakan bentuk subyek dari
akar kata syara‟a yang artinya adalah jalan menuju sumber air sebagai sumber
kehidupan. Secara terminologis, al-Maqashid asy-Syari‟ah Menurut Wahbah al Zuhaili,
Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara‟ yang tersirat dalam segenap
atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang
sebagai tujuan dan rahasia syariah, yang ditetapkan oleh al-Syari‟ dalam setiap ketentuan
hukum. Adapun yang menjadi bahasan utama maqashid as-syariah adalah hikmat dan
illat ditetapkannya suatu hukum

Menurut Syathibi tujuan akhir hukum adalah satu, yaitu mashlahah atau kebaikan
dan kesejahteraan umat manusia. Imam Al-Syathiby telah melihat maqashid syariah dari
dua sisi: “wujud” dan “adam” atau “the presence and the absence“. Dalam bukunya Al-
Muwafaqat beliau mengatakan bahwa: “Menjaga maqashid syariah harus dengan dua hal.
Pertama, menegakkan pondasi dan tiangnya sebagai bentuk perhatian terhadap al-wujud.
Kedua, menangkal kerusakan yang akan terjadi atau diperkirakan akan terjadi sebagai
bentuk perhatian terhadap al-‟adam”. Hanya saja ide dasar ini masih memerlukan uraian,
penjelasan dan penjabaran yang dapat menghubungkannya dengan realita kehidupan umat
dari masa ke masa.

Maqashid syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqh, karena itu maqashid
syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam merumuskan ekonomi
syariah. Maqashid syariah tidak saja diperlukan untuk merumuskan kebijakan-kebijakan
ekonomi makro (moneter, fiscal ; public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-
produk perbankan dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya.
Maqashid syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan
lembaga keuangan syariah.

Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa maqasid Syariah adalah merupakan
tujuan atau hikmah atau rahasia di balik penetapan sesuatu hukum Syariah . Bahkan
setelah ulama' meneliti segala atau kebanyakan hukum Syariah, mereka menemukan
bahwa maqasid Syariah yang utama adalah menjamin manfaat (manusia) dan
melindungi mereka dari kejahatan dan kerusakan baik dalam kehidupan dunia atau
akhirat serta mencapai keadilan. Dengan adanya maqasid Syariah manusia terus berada
dalam kebaikan dan kesejahteraan untuk kebutuhan pengembang aspek ekonomi dunia
dan memelihara keseimbangannya.
Mengkaji teori Maqashid tidak dapat dipisahkan dari pembahasan tentang
maslahah. Hal ini karena sebenarnya dari segi substansi, wujud al-maqashid asy-
syari‟ah adalah kemaslahatan. Meskipun pemahaman atas kemaslahatan yang
5
dimaksudkan oleh penafsir-penafsir maupun mazhab-mazhab, tidaklah seragam, ini
menunjukkan betapa maslahat menjadi acuan setiap pemahaman keagamaan. Ia
menempati posisi yang sangat penting.

Imam al-Haramain al-Juwaini dapat dikatakan sebagai ahli teori (ulama usul al-
fiqh) pertama yang menekankan pentingnya memahami maqasid al-syari'ah dalam
menetapkan hukum Islam. Ia secara tegas mengatakan bahwa seseorang tidak dapat
dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan
Allah mengeluarkan perin-tah-perintah dan larangan-larangan-Nya.

Dalam pandangan Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum) bertujuan


untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan (jalbul mashalih wa
dar‟ul mafasid), baik di dunia maupun di akhirat. Aturan-aturan dalam syari‟ah tidaklah
dibuat untuk syari‟ah itu sendiri, melainkan dibuat untuk tujuan kemaslahatan. Sejalan
dengan hal tersebut, Muhammad Abu Zahrah juga menyatakan bahwa tujuan hakiki
Islam adalah kemaslahatan. Tidak ada satu aturan pun dalam syari‟ah baik dalam al-
Qur‟an dan Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah dalam
syari‟ah adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan
menghindarkannya dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang buruk, tidak
saja di kehidupan dunia namun juga di akhirat. Kata kunci yang kerap disebut kemudian
oleh para sarjana muslim adalah maslahah yang artinya adalah kebaikan, di mana
barometernya adalah syari‟ah.Adapun kriteria maslahah, (dawabith al-maslahah) terdiri
dari dua bagian: pertama maslahat itu bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif
yang akan membuatnya tunduk pada hawa nafsu. Kedua; maslahat itu bersifat universal
(kulliyah) dan universalitas ini tidak bertentangan dengan sebagian (juz`iyyat)-
nya.Terkait dengan hal tersebut, maka Syathibi kemudian melanjutkan bahwa agar
manusia dapat memperoleh kemaslahatan dan mencegah kemadharatan maka ia harus
menjalankan syari‟ah, atau dalam istilah yang ia kemukakan adalah Qashdu asy-Syari‟ fi
Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam asy-Syari‟ah (maksud Allah mengapa individu harus
menjalankan syari‟ah). Jika individu telah melaksanakan syari‟ah maka ia akan terbebas
dari ikatan-ikatan nafsu dan menjadi hamba yang— dalam istilah Syathibi—ikhtiyaran
dan bukan idhtiraran. Selanjutnya maslahah dapat di-break down menjadi tiga bagian
yang berurutan secara hierarkhis dianatranya :

1. Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang harus ada/dilaksanakan untuk


mewujudkan kemaslahatan yang terkait dengan dimensi duniawi dan
ukhrawi. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan kerusakan
bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan, minum, shalat,
puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. Dalam hal mu‟amalat, Syathibi
mencontohkan harus adanya `iwadh tertentu dalam transaksi perpindahan
kepemilikan, jual-beli misalnya. Ada lima tujuan dalam maslahah
dharuriyyat ini, yaitu untuk menjaga agama (hifdzud-din), menjaga jiwa
(hifdzun-nafs), menjaga keturunan (hifdzun-nasl), menjaga harta (hifdzul-
maal), dan menjaga akal (hifdzul-„aql).
2. Maslahah Hajjiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada sehingga dalam
melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu ini
tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau kematian namun
demikian akan berimplikasi adanya masyaqqah dan kesempitan. Contoh
yang diberikan oleh Syathibi dalam hal mu‟amalat pada bagian ini adalah

6
dimunculkannya beberapa transaksi bisnis dalam fiqh mu‟amalat, antara
lain qiradh, musaqah, dan salam.
3. Maslahah Tahsiniyyat dimaksudkan agar manusia dapat melakukan yang
terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok. Al-
Tahsiniyat (tujuan-tujuan tertier) ini didefinisikan oleh Yudian Wahyudi.1

2. Tata Cara Mengetahui Maqashid Al-Syari'ah

Dalam kaitannya dengan cara untuk mengetahui hikmah dan tujuan


penetapan hukum, setidaknya ada tiga cara yang telah ditempuh oleh ulama
sebelum al-Syathibi, yaitu :
1. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-syari'ah adalah sesuatu
yang abstrak, sehingga tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk
Tuhan dalam bentuk zahir lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak
memerlukan penelitian mendalam yang justru memungkinkan akan
menyebabkan pertentangan dengan kehendak bahasa. Cara ini
ditempuh oleh ulama Zahiriyah.
2. Ulama yang tidak mementingkan pendekatan zahir lafal untuk
mengetahui maqashid al-syari'ah. Mereka terbagi dalam dua
kelompok :
a) Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-
syari'ah ditemukan bukan dalam bentuk zahir lafal dan
bukan pula dari apa yang dipahami dari tunjukan zahir
lafal itu. Akan tetapi maqashid al-syari'ah merupakan hal
lain yang ada di balik tunjukan zahir lafal yang terdapat
dalam semua aspek syari'ah sehingga tidak seorang pun
dapat berpegang dengan zahir lafal yang
memungkinkannya memperoleh maqashid al-syari'ah.
Kelompok ini disebut kelompok Bathiniyah.
b) Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-
syari'ah harus dikaitkan dengan pengertian-pengertian
lafal. Artinya zahir lafal tidak harus mengandung tunjukan
yang bersifat mutlak. Apabila terjadi pertentangan antara
zahir lafal dengan penalaran akal, maka yang diutamakan
dan didahulukan adalah penalaran akal, baik itu atas dasar
keharusan menjaga maslahat atau tidak. Kelompok ini
disebut kelompok Muta'ammiqin fi al-Qiyas.
3. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir lafal
dan pertimbangan makna/illat) dalam suatu bentuk yang tidak
merusak pengertian zahir lafal dan tidak pula merusak kandungan
makna/illat, agar syari'ah tetap berjalan secara harmonis tanpa
kontradiksi. Kelompok ini disebut kelompok Rasikhin (Asafri Jaya,
1996:89-91).
Dalam pandangan Asafri, dalam rangka memahami maqashid al- syari'ah
ini, al-Syathibi tampaknya termasuk dalam kelompok ketiga (rasikhin) yang
memadukan dua pendekatan, yakni zahir lafal dan pertimbangan makna atau
illat. Hal ini dapat dilihat dari tiga cara yang dikemukakan oleh al-Syathibi (tanpa
tahun:104) dalam upaya memahami maqashid al-syari'ah, yaitu :
1
Khodijah Ishaq, Maqashid syariah sebagai dasar sistem ekonomi berkeadilan, hal:594

7
1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan.
2. Melakukan penelaahan illat perintah dan larangan.
3. Analisis terhadap sikap diamnya syari' dalam pensyari'atan suatu
hukum.
Cara pertama dilakukan dalam upaya telaah terhadap lafal perintah dan
larangan yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits secara jelas sebelum
dikaitkan dengan permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya kembali kepada
makna perintah dan larangan secara hakiki. Perintah harus dipahami
menghendaki suatu yang diperintahkan itu agar diwujudkan dan larangan
menghendaki agar sesuatu yang dilarang itu dihindari dan dijauhi. Cara pertama
ini diarahkan untuk memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang berkaitan dengan
masalah-masalah ibadah.
Cara kedua dengan melakukan analisis terhadap illat hukum yang terdapat
dalam Al-Qur'an atau hadits. Seperti diketahui bahwa illat itu ada yang tertulis
dan ada pula yang tidak tertulis. Jika illatnya tertulis, maka harus mengikuti
kepada apa yang tertulis itu, dan jika illatnya tidak tertulis, maka harus dilakukan
tawaquf (tidak membuat suatu putusan).
Keharusan tawaquf ini didasari dua pertimbangan. Pertama, tidak boleh
melakukan perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash. Perluasan
terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash tanpa mengetahui illat hukum sama
halnya dengan menetapkan hukum tanpa dalil. Kedua, pada dasarnya tidak
diperkenankan melakukan perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan
oleh nash, namun hal ini dimungkinkan apabila tujuan hukum dapat diketahui.
Sesungguhnya inti dari dua pertimbangann ini adalah bahwa dalam masalah
muamalah dibolehkan melakukan perluasan jika tujuan hukum mungkin
diketahui dengan perluasan tersebut.
Cara yang ketiga dengan melihat sikap diamnya syari' (pembuat syari'at)
dalam pensyari'atan suatu hukum. Diamnya syari' itu dapat mengandung dua
kemungkinan yaitu kebolehan dan larangan. Dalam hal- hal yang berkaitan
dengan muamalah, sikap diamnya syari' mengandung kebolehan dan dalam hal-
hal yang bersifat ibadah sikap diamnya syari' mengandung larangan. Dari sikap
diamnya syari' ini akan diketahui tujuan hukum.
Pengumpulan Al-Qur'an yang terjadi setelah Nabi SAW wafat merupakan
contoh sikap diamnya syari'. Pada masa Nabi SAW belum dijumpai faktor yang
mendesak untuk membukukan Al-Qur'an tersebut. Namun selang beberapa waktu
kemudian terdapat faktor yang mendesak untuk membukukan Al-Qur'an. Sikap
diamnya Nabi SAW dalam hal ini dapat dipahami bahwa pembukuan itu
dibolehkan atau dibenarkan.
Apabila dilihat cara mengetahui maqashid al-syari'ah seperti yang telah
disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara pertama lebih diarahkan
pada aspek ibadah, cara yang kedua pada aspek muamalah, dan cara ketiga pada
keduanya. Cara-cara tersebut merupakan kombinasi cara mengetahui maqashid
al-syari'ah melalui pendekatan lafal dan pendekatan makna. Kombinasi ini dirasa
sangat penting dalam rangka mempertahankan identitas agama sekaligus mampu
menjawab perkembangan hukum yang muncul akibat perubahan-perubahan
sosial.2

2
SULTAN AGUNG VOL XLIV NO. 118 JUNI – AGUSTUS 2009

8
3. Klasifikasi Maqashid Syariah

Maqashid Syari’ah yang dikembangkan Al-Syathibi diklsifikasi menjadi


dua bagian yaitu:

1. Maqashid Syari’ah diformulasikan menjadi 2 (dua) bagian penting yakni (1)


Qashdu al- Syari’ (maksud syari’); dan (2) Qashdu al-Mukallaf (maksud
mukallaf). Kemudian bangunan pertama (Qshdu al-Syari’ (maksud Syari’))
dibagi lagi menjadi empat bagian yaitu:

a) Tujuan Allah dalam menetapkan syariat atau hukum (Qashdu al-Syari’ fi


Wadh’i al- Syari’ah). Menurut al-Syathibi, Allah menurunkan syariat
(aturan hukum) kepada hamba-Nya tidak lain kecuali untuk memperoleh
kemaslahatan dan menghindarkan kemudharatan (jalbul mashalih wa
dar’ul mafasid). Dengan bahasa yang lebih mudah, aturan hukum yang
diturunkan oleh Allah hanyalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri.
Dalam kaitan ini, Al-Syathibi mengikuti ulama-ulama sebelumnya
membagi maslahat manusia kepada tiga klasifikasi penting yaitu: 1)
dhauriyyat (primer); 2) hajiyyat (skunder) dan; 3) tahsinat (tertier,
suplemen).

b) Tujuan Allah menurunkan syari’atnya untuk dapat dipahami (Qashdu al-


Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah lil Ifham). Untuk Syariat dapat dipahami, Al-
Syathibi menyebutkan ada 2 (dua) hal penting yang berkaitan dengan hal ini
yaitu: (1) Syari’ah diturunkan dalam Bahasa Arab (QS. Yusuf : 2; QS. al-
Syu’ara: 195) untuk dapat memahaminya harus terlebih dahulu memahami
seluk beluk ketatabahasaan Arab. al-Syathibi mengatakan: “Siapa orang
yang hendak memahaminya, maka dia seharusnya memahami lidah Arab
terlebih dahulu. (Al-Syathibi). (2) Syari’at bersifat ummiyyah. Artinya
Syariah ini diturunkan kepada umat yang ummi, yang tidak mengetahui
ilmu-ilmu lain, ia mengibaratkannya dengan keadaan mereka sama seperti
ketika dilahirkan, tidak belajar ilmu apa-apa. “wal ummi mansubun ila
al umm, wa huwa al baqi ‘ala ashli wiladati al umm lam yata’allam kitaban
wa la ghairahu” (Al-Syathibi: 2/69). Hal ini dimaksudkan agar syari’ah
mudah dipahami oleh semua kalangan manusia karena pangkal syariah
adalah kemaslahatan manusia (fa inna tanzila al-syari’ah ‘ala muqtadha

9
haal al-munazzali ‘alaihim aufaq li ri’ayat al-mashalih allati yaqshuduha
al-syari’ al-hakim.

c) Tujuan Allah dalam menetapkan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai


dengan yang ketentuannya (Qashdu al-Syari’ fi Wadh’i al-Syari’ah li al-
Taklif bi Muqtadhaha). Dalam kaitan ini, al-Syathibi mempokuskan pada 2
(dua) hal yaitu: (1) taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima
laa yuthaq): al-Syathibi mengatakan: “Setiap taklif (kewajiban) yang di luar
batas kemampuan manusia, secara Syar’i taklif tersebut tidak dianggap sah
meskipun akal membolehkannya” (Al- Syatibi: 2/107). (2) taklif yang di
dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah).
Menurut al-Syathibi, adanya taklif, tidak dimaksudkan agar menimbulkan
masyaqqah (kesulitan) bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya, di
balik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf.

d) Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Semua Hambanya (Qashdu


al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah). Al-Syatibi
menjelaskan bahwa syariat yang diturunkan oleh Allah SWT berlaku untuk
semua hamba-Nya, tidak ada pengecualian selain dengan sesuatu yang
sudah digariskan oleh syariat. Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan
ditetapkan syariah adalah untuk membebaskan seorang manusia dari
belenggu hawa nafsu, sehingga akan muncul pengakuan secara sukarela
sebagai hamba Allah SWT, sebagaimana ia tidak bisa melepaskan diri dari
predikat sebagai hamba. Itulah yang dimaksud dengan uangkapan “al
maqshad al syar’iy min wad’i al syariah ihraju al mukallaf ‘an da’iyati
hawahu, hatta yakuna ‘abdan lillahi ihtiyaran kama yakunu ‘abdan lillahi
idltiraran”.

2. Maqashid yang kedua yaitu Tujuan Syari’ kepada subyek hukum (mukallaf)
(qasdu al- mukallaf). Dalam kaitan ini al-Syathibi menekankan pada dua hal: a)
Tujuan Syari’ kepada subyek hukum (mukallaf) adalah segala niat (maksud) dari
perbuatan yang akan dilakukan harus sejalan dengan tuntunan syariah, sehinga
dalam hal ini ”niat” yang menjadi dasar dari suatu amal perbuatan. Niatlah yang
menjadikan amal seorang menjadi sah dan diterima atau tidak sah atau tidak
diterima, niatlah yang bisa menjadikan amal perbuatan menjadi suatu ibadah atau
sekedar perbuatan biasa, menjadikan perbuatan menjadi wajib atau sunnat dan

10
seterusnya; b) siapa pun yang menjalankan perintah Allah SWT akan tetapi
mempunyai maksud dan niat lain tidak seperti yang dimaksudkan oleh syariah,
maka perbuatannya dikategorikan batal.3

4. Peran Maqashid Syari'ah Dalam Kehidupan

Ilmu maqashid Asy Syari’ah adalah suatu disiplin ilmu yang memiliki peranan
penting dalam kehidupan manusia. Tanpa ilmu tersebut, manusia akan kehilangan arah
dalam menentukan tujuan disyari’atkannya suatu hukum dalam kehidupan mereka.
Tentunya akan mengalami kesulitan. Diantara peran Maqashid Syari’ah dalam kehidupan
adalah:
1. Al Maqashid Asy Syari’ah dapat membantu mengetahui hukum hukum
yang bersifat umum( kuliyyah) maupun khusus( juz’iyyah)
2. Memahami nash nash syar’i secara benar dalam tataran praktek.
3. Membatasi makna lafadz yang dimaksud secara benar, karena nash yang
berkaitan dengan hukum sangatlah variatif baik lafadz maupun maknanya,
maka Maqashid Syari’ah berperan dalam membatasi makna tersebut.
4. Ketika tidak terdapat dalil dalam Al Qur’an maupun As Sunnah dalam
perkara perkara yang kontemporer, maka para mujtahid menggunakan
maqashid syari’ah dalam istinbath hukum setelah mengkombinasikan
dengan ijtihad, istihsan, istihlah, dan sebagainya.
5. Al Maqashid Asy Syari’ah membantu mujtahid unntuk mentarjih sebuah
hukum yang terkait dengan perbuatan seorang hamba sehingga
menghasilkan hukum yang sesuai dengan kondisi masyarakat.21

Adapun contoh penerapan maqashid dalam hukum syari’at adalah ketika Utsman bin
Affan melakukan pengumpulan Al Qur’an dalam satu mushaf. Itu dilakukan karena suatu
maslahat dan menurut maqashid syari’ah. Pada awalnya, Rasulullah melarang penulisan Al
Qur’an karena khawatir akan tercampur antara ayat Al Qur’an As sunnah. Akan tetapi
setelah illat itu hilang dan banyaknya para huffadz yang wafat, akhirnya Utsman
berinisiatif mengumpulkan ayat ayat tersebut menjadi kesatuan utuh dalam satu mushaf.
Selain contoh di atas, banyak kejadian yang terjadi pada masa ulama’ terdahulu yang
sesuai dengan maqashid syari’ah serta mendatangkan maslahat bagi kehidupan. Tentunya
3
Sudirman Suparmin,peran maqashid syariah dalam kehidupan, ha:11

11
masih banyak lagi contoh- contoh peranan maqasid syariah dalam kehidupan yang menjadi
pertimbangan dalam pembentukan hukum dalam kehidupan manusia.4

BAB III

4
. Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan oleh Yudian W. Asmin,
Surabaya: Al Ikhlas, 1995, hal. 238

12
PENUTUP

Kesimpulan

Maqasid Syariah adalah tujuan-tujuan hukum dan rahasia-rahasia yang dimaksudkan


oleh Allah swt untuk kemashlahatan umat di dunia dan akhirat. Kemashlahatan bagi umat
dan menghilangkan kemudharatan adalah salah satu tujuan disyariatkan hukum dimuka
bumi ini.
Maqasih Syariah dan kemashlahatan dharuriyah merupakan sesuatu yang penting
untuk mewujudkan kemashlahatan agama dan dunia. Maka bila kemashlahatan kersebut
tidak terwujud maka akan menimbulkan kerusakan bagi manusia dan bahkan dimuka bumi
ini, tentunya hal tersebut tidak sesuai dengan tujuan maqasih syariah dan bahkan akan
menghilangkan kemaslahatan hidup dan kehidupan.
Pada akhirnya, bahwa maqashid al-Syari’ah adalah merupakan sebuah konsep
yang sangat relevan dipergunakan oleh Umat Islam dalam menyelesaikan masalah-
masalah baru yang timbul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus
berkembang setiap saat.

DAFTAR PUSTAKA

13
Khodijah Ishaq, Maqashid syariah sebagai dasar sistem ekonomi berkeadilan, hal:594
SULTAN AGUNG VOL XLIV NO. 118 JUNI – AGUSTUS 2009
Sudirman Suparmin,peran maqashid syariah dalam kehidupan, ha:11
Muhammad Khalid Mas'ud, Filsafat Hukum Islam dan Perubhan Sosial, terjemahan oleh
Yudian W.Asmin,Surabaya: Al ikhlas,1995,hal.23

14

Anda mungkin juga menyukai