Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Maqashid Syariah dalam Ekonomi Islam

Disusun untuk memenuhi tugas kelompok mata kuliah Ekonomi Mikro Islam

Dosen Pengampu : Ayu Rahayu, S.E., M.E

Disusun oleh Kelompok 13 :

Ayu Astuti 2031710035

Rheyna Chinta Andreini 2031710048

Rofiad Darojati 2031710022

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN AJI MUHAMMAD IDRIS


SAMARINDA

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakaatuh

Alhamdulillahirabbil’aalamiin, segala puji syukur kita kehadirat Allah Swt


tuhan semesta alam atas kelimpahan nikmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tema “Maqashid Syariah dalam Ekonomi
Islam” disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah. Sholawat dan
salam tak lupa kita curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang mana telah
menunjukkan kita semua ke jalan yang lurus.

Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah
membantu makalah kami selama pembuatan makalah ini berlangsung sehingga
dapat terealisasikan makalah ini. Kami sangat bersyukur karena dapat
menyelesaikan makalah yang menjadi tugas salah satu dari mata kuliah Ekonomi
Mikro Islam. Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca. Kami mengharapkan kritik dan saran terhadap
makalah ini agar dapat kami perbaiki. Karena kami sadar, makalah yang kami
buat masih banyak terdapat kekurangannya. Jazakallah khairan Katsiran.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Samarinda, 24 Mei 2022

Kelompok 13
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian dan tujuan maqasid syariah


Maqashid merupakan bentuk plural (jama’) dari maqshud.
Sedangkan akar katanya berasal dari kata verbal qashada, yang berarti
menuju; bertujuan; berkeinginan dan kesengajaan. Kata maqshud-
maqashid dalam ilmu Nahwu disebut dengan maf‟ul bih yaitu sesuatu
yang menjadi obyek, oleh karenanya kata tersebut dapat diartikan dengan
‟tujuan‟ atau ‟beberapa tujuan”. Sedangkan asy-Syari’ah¸ merupakan
bentuk subyek dari akar kata syara’a yang artinya adalah jalan menuju
sumber air sebagai sumber kehidupan.
Secara terminologis, al-Maqashid asy-Syari‟ah Menurut Wahbah
al Zuhaili, Maqasid Al Syariah berarti nilai-nilai dan sasaran syara’ yang
tersirat dalam segenap atau bagian terbesar dari hukum-hukumnya. Nilai-
nilai dan sasaran-sasaran itu dipandang sebagai tujuan dan rahasia syariah,
yang ditetapkan oleh al-Syari’ dalam setiap ketentuan hukum. Adapun
yang menjadi bahasan utama maqashid as-syariah adalah hikmat dan illat
ditetapkannya suatu hukum Menurut Syathibi tujuan akhir hukum adalah
satu, yaitu mashlahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia.
Imam Al-Syathiby telah melihat maqashid syariah dari dua sisi: “wujud”
dan “adam” atau “the presence and the absence“. Dalam bukunya Al-
Muwafaqat beliau mengatakan bahwa: “Menjaga maqashid syariah harus
dengan dua hal. Pertama, menegakkan pondasi dan tiangnya sebagai
bentuk perhatian terhadap al-wujud. Kedua, menangkal kerusakan yang
akan terjadi atau diperkirakan akan terjadi sebagai bentuk perhatian
terhadap al-‟adam”. Hanya saja ide dasar ini masih memerlukan uraian,
penjelasan dan penjabaran yang dapat menghubungkannya dengan realita
kehidupan umat dari masa ke masa.
Maqashid syariah adalah jantung dalam ilmu ushul fiqh, karena itu
maqashid syariah menduduki posisi yang sangat penting dalam
merumuskan ekonomi syariah. Maqashid syariah tidak saja diperlukan
untuk merumuskan kebijakan-kebijakan ekonomi makro (moneter, fiscal ;
public finance), tetapi juga untuk menciptakan produk-produk perbankan
dan keuangan syariah serta teori-teori ekonomi mikro lainnya. Maqashid
syariah juga sangat diperlukan dalam membuat regulasi perbankan dan
lembaga keuangan syariah.
Dari definisi di atas, dapat dipahami bahwa maqasid Syariah
adalah merupakan tujuan atau hikmah atau rahasia di balik penetapan
sesuatu hukum Syariah . Bahkan setelah ulama' meneliti segala atau
kebanyakan hukum Syariah, mereka menemukan bahwa maqasid Syariah
yang utama adalah menjamin manfaat (manusia) dan melindungi mereka
dari kejahatan dan kerusakan baik dalam kehidupan dunia atau akhirat
serta mencapai keadilan. Dengan adanya maqasid Syariah manusia terus
berada dalam kebaikan dan kesejahteraan untuk kebutuhan pengembang
aspek ekonomi dunia dan memelihara keseimbangannya.
Perlu dipahami bahwa maqasid Syariah diketahui hasil dari
penelitian terhadap segala hukum Syariah. Ini adalah hasil panduan Al
Qur'an dan Al Sunnah yang menunjukkan bahwa ada rahasia dan tujuan
yang ingin dicapai di balik setiap hukum Syariah. Seperti dalam
firmanNya :
“Allah tidak mahu menjadikan kamu menanggung sesuatu kesusahan
(kepayahan), tetapi Dia berkehendak membersihkan (mensucikan) kamu
dan hendak menyempurnakan nikmatNya kepada kamu, supaya kamu
bersyukur.” (Al Maidah: 6)
“Allah menghendaki kamu beroleh kemudahan dan Dia tidak
menghendaki kamu menanggung kesukaran ….” (Al Baqarah: 185)

B. Ruang Lingkup Maqashid Syariah


Kemaslahatan yang hendak dicapai oleh syariah sifatnya umum
dan universal. Bersifat umum artinya bahwa hal itu berlaku bukan hanya
untuk individu secara pribadi, melainkan juga semua manusia secara
kolektif. Universal artinya bahwa kemaslahatan itu berlaku bukan untuk
masa tertentu saja, melainkan untuk sepanjang waktu dan sepanjang
kehidupan manusia. Maqashid syariah, seperti ditegaskan oleh Abdul
Wahab Khallaf adalah hal yang sangat penting yang dapat dijadikan alat
bantu untuk memahami redaksi Alquran dan sunah, menyelesaikan dalil-
dalil yang bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk
menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung oleh teks
Alquran dan sunah. Jadi, maqashid syariah merupakan tujuan-tujuan dan
rahasia-rahasia yang ada dan dikehendaki Allah SWT dalam menetapkan,
semua atau sebagian hukum-hukum-Nya. Tujuan syariat, pada intinya
adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia dan menghindarkan
mafsadah, baik di dunia maupun di akhirat.
Menurut al-Syatibi tujuan pensyariatan hukum dapat dilihat dari
dua sisi, yaitu qasd al-syari‘ dan qasd al-mukallaf. Qasd al-syari‘ dapat
dikategorikan dalam dua aspek, yaitu:
a. Aspek tujuan asasi yang mendasar atau tujuan pokok pensyariatan
hukum. Tujuan mendasar atau tujuan pokok Allah SWT
mensyariatkan hukum, yaitu untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan ini adalah tujuan
yang utama dalam mensyariatkan hukum dan pemberlakuan
hukum oleh Allah SWT yang terdapat dalam setiap syariat atau
hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Mewujudkan
kemaslahatan sebagai tujuan pensyari atan hukum yang utama
dapat dicapai apabila dapat memelihara pilar-pilar kesejahteraan
umat manusia, sebagaimana dikemuka kan al-Syatibi, yang
mencakup lima kemaslahatan dengan member ikan perlindungan
terhadap terjaganya: 1) Agama (hifz ad-din), misalnya membaca
dua kalimat syahadat, melaksanakan salat, zakat, puasa, haji; 2)
Jiwa (hifz an-nafs) dan 3) Akal pikiran (hifz al‘aql), misalnya
makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal; 4) Keturunan (hifz
an-nasl); dan 5) Harta benda (hifz al-mal), misalnya bermuamalah.
Kelima pokok tersebut merupakan bagian dari dharuriyat, yang
apabila tidak terpenuhi dalam kehidupan ini akan membawa
kerusakan bagi manusia. Sebagaimana dijelaskan di atas, Izzudin
Abd Salam menambahkan komponen kehormatan (al-iradh)
sebagai maslahat primer. Sementara Yusuf al-Qaradhawi
menambahkan aspek lingkungan (al-bi’ah) dalam komponen
maqashid syariah. Dengan demikian jika digabungkan dari semua
pendapat sebagaimana dijelaskan di atas, unsur pokok maqashid
syariah menjadi tujuh. Ketujuh unsur pokok tersebut merupakan
hal-hal yang asasi bagi manusia.
b. Aspek media atau sarana penunjang untuk menggapai tujuan asasi.
Aspek ini mencakup tiga hal, yaitu:
 Tujuan Allah SWT dalam mempergunakan uslub dan ‘uruf
bahasa yang dapat dipahami oleh manusia. Dengan
demikian, maka syariat sebagai sesuatu yang harus
dipahami oleh para mukalaf, dikarenakan Allah SWT
memang telah menggunakan bahasa yang digunakan oleh
manusia dalam mensyariatkan hukum-hukum-Nya.
 Tujuan Allah SWT dalam membuat hukum atau syariat
adalah diperuntukkan kepada para mukalaf, sehingga
syariat sebagai suatu hukum taklif yang harus dilakukan
oleh manusia.
 Tujuan Allah SWT mensyariatkan hukum adalah untuk
membawa seluruh mukalaf ke bawah naungan hukum,
dengan mensyariatkan hukum yang memiliki sifat universal
bagi seluruh manusia.

Sementara itu, qasd al-mukallaf atau tujuan mukallaf merupakan


tujuan syar’i kepada subjek hukum (mukallaf). Ada dua hal yang perlu
diperhatikan berkaitan dengan tujuan-tujuan mukalaf yang berkaitan
dengan perbuatannya, yaitu:
a. Perbuatan yang dikerjakan oleh seseorang harus disertai dengan
niat atau maksud yang benar. Karena setiap pekerjaan dinilai oleh
Allah SWT berdasarkan niatnya. Dengan demikian hanya
perbuatan yang disertai dengan niat yang benar yang diterima oleh
Allah SWT. Niat yang benar yang dimaksudkan di sini adalah niat
(maksud) dari perbuatan yang akan dilakukan sesuai dan sejalan
dengan tuntunan syariat. Niat berperan dalam menjadikan ibadah
seorang menjadi sah dan diterima atau tidak sah atau tidak
diterima, niat juga yang menyebabkan sebuah perbuatan menjadi
suatu ibadah atau sekadar perbuatan biasa. Dengan demikian
apabila seseorang melakukan sebuah ibadah atau perintah Allah
SWT., tetapi ia mempunyai maksud atau niat lain dan tidak sesuai
dengan tuntunan syariat maka perbuatannya dikategorikan batal.
b. Qasd mukallaf bukanlah hal yang harus ada di dalam setiap
pekerjaannya, tetapi hal ini (qasd mukallaf) harus ada di dalam
setiap ibadah. Karena apabila ibadah dikerjakan tanpa dibarengi
dengan adanya qasd mukallaf maka ibadah tersebut tidak dapat
disebut sebagai ibadah.

Selain pembagian di atas, maqashid syariah juga di bagi menurut


tingkatan kepentingannya dalam kehidupan manusia yang terdiri dari tiga
tingkatan, yaitu dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah.
1. Dharuriyah
Dharuriyah adalah penegakan kemaslahatan agama dari dunia.
Artinya, Ketika dharuriyah itu hilang maka kemaslahatan dunia
dan bahkan akhirat juga akan hilang dan munculnya kerusakan
bahkan musnahnya kehidupan.66 Dharuriyah juga merupakan
keadaan di mana suatu kebutuhan wajib untuk dipenuhi dengan
segera, jika dibiarkan, maka akan menimbulkan suatu bahaya yang
berisiko pada rusaknya kehidupan manusia. Dharuriyah dalam
perspektif syariah merupakan sesuatu yang paling asasi
dibandingkan dengan hajiyah dan tahsiniyah. Apabila dharuriyat
tidak bisa dipenuhi, maka akan berakibat rusak dan cacatnya
hajiyah, dan tahsiniyah. Namun jika hajiyah dan tahsiniyah tidak
bisa dipenuhi, maka tidak akan mengakibatkan rusak dan cacatnya
dharuriyah. Jadi, tahsiniyah dijaga untuk membantu hajiyah, dan
hajiyah dijaga untuk membantu dharuriyah. Dalam mewujudkan
maqashid al-dharuriyat ini, ada dua faktor yang harus diperhatikan,
yaitu mewujudkan segala yang menjadi sebab-sebab keberadaan,
dan meninggalkan segala hal yang dapat merusaknya. Tujuan
hukum Islam dalam bentuk dharuriyat ini mengharuskan
pemeliharaan terhadap lima kebutuhan yang sangat esensial bagi
manusia yang dikenal dengan dharuriyat al-khams, yaitu
pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Imam Al-
Ghazali menjelaskan bahwa tujuan syara’ dari makhluk itu ada
lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan (ada yang
menyatakan keturunan dan kehormatan), dan harta mereka. Setiap
yang mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut
mashlahah, dan setiap yang menghilangkan kelima prinsip ini
disebut mafsadah dan menolaknya disebut maslahat.”
2. Hajiyah
Sementara itu, tahapan kedua dari maqashid syariah adalah hajiyah
yang didefinisikan sebagai hal-hal yang dibutuhkan untuk
mewujudkan kemudahan dan menghilangkan kesulitan yang dapat
menyebabkan bahaya dan ancaman, yaitu jika sesuatu yang
mestinya tidak ada. Hajiyah juga dimaknai dengan keadaan di
mana jika suatu kebutuhan dapat terpenuhi, maka akan dapat
menambah value kehidupan manusia. Hajiyah juga dimaknai
dengan pemenuhan kebutuhan sekunder ataupun sebagai pelengkap
dan penunjang kehidupan manusia. Berbeda dengan dharuriyah,
hajiyah bukanlah tentang hal-hal yang esensial, melainkan hal-hal
yang perlu diperhatikan untuk menghindarkan manusia dari
kesulitan dalam hidupnya. Tidak terpeliharanya kelompok ini tidak
akan menimbulkan kerusakan yang dapat menghilangkan
kemaslahatan umum, melainkan hanya menimbulkan kesulitan dan
kesempitan bagi mukalaf. Apabila maqashid al-hajiyat ini tidak
dapat diwujudkan maka hal tersebut tidak menyebabkan akibat
yang buruk bagi kehidupan manusia, hanya sekadar menimbulkan
kesempitan. Maqashid ini berlaku dalam masalah ibadah, adat atau
kebiasaan, muamalah, dan jinayah. Pada tingkat ini, Allah SWT
mensyariatkan antara lain jamak dan qasar shalat bagi orang yang
sedang bepergian, dalam rangka memelihara agama;
diperbolehkannya berburu binatang untuk menikmati makanan
yang lezat, dalam rangka memelihara jiwa; dianjurkan menuntut
ilmu pengetahuan sebagai pengembang dalam rangka memelihara
akal; ketentuan menyebut mahar oleh suami pada waktu akad
nikah, dalam rangka memelihara keturunan; dan diizinkan
transaksi salam untuk memelihara harta.
3. Tahsiniyah
Tahapan terakhir maqashid syariah adalah tahsiniyah, yang
pengertiannya adalah melakukan kebiasaan-kebiasaan yang baik
dan menghindari yang buruk sesuai dengan apa yang diketahui
oleh akal sehat. Tahsiniyah juga berkaitan dengan etik, yaitu
melakukan hal-hal yang pantas dan menjauhi hal-hal yang tidak
pantas. Termasuk dalam kelompok ini adalah melaksanakan ibadah
sunah, makan dan minum dengan cara yang baik, menghindari dari
sesuatu yang tidak bermanfaat.

Bila diperhatikan dalam usaha memelihara unsur pokok di atas,


ketiga kelompok maqashid syariah di atas tidak dapat dipisahkan. Hanya
saja tingkat kepentingan berbeda satu sama lain. Kelompok dharuriyah
dapat dikatakan sebagai kebutuhan primer yang kalau diabaikan maka
akan berakibat terancamnya eksistensi kelima pokok itu. Kelompok
hajiyah dapat dikatakan sebagai kebutuhan sekunder dalam arti kalau
diabaikan tidak akan mengancam eksistensinya, melainkan akan
mempersulit dan mempersempit kehidupan manusia. Sementara itu,
kelompok tahsiniyah dapat dikatakan sebagai pelengkap yang kalau
diabaikan tidak akan menimbulkan kesulitan apalagi mengancam
eksistensi kelima pokok tersebut, tetapi akan mengakibatkan
ketidakpantasan. Dengan kata lain, dharuriyah merupakan pokok, hajiyah
merupakan penyempurna bagi hajiyah. Dari penjelasan di atas, dapat
dipahami bahwa pada dasarnya tujuan Allah SWT mensyariatkan hukum-
hukum-Nya adalah untuk kemaslahatan manusia dengan menjaga unsur-
unsur pokok kehidupan sebagaimana yang telah disebutkan di atas, yaitu:
1. Hifz al-Din atau Menjaga Agama
Agama merupakan seperangkat akidah, ibadah, hukum, dan undang-
undang, yang telah disyariatkan Allah SWT., untuk mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, dan hubungan dengan
sesamanya, serta hubungan mereka dengan alam sekitarnya. Maqashid
syariah dalam menjaga agama diinduksi dari ayat-ayat Alquran dan
sunah. Maqashid syariah dalam menjaga agama dapat dijumpai dalam
beberapa ayat Alquran, di antaranya surah an-Nisa [4], ayat 48, surah
al-Maidah [5], ayat 3, dan surah Luqman [31], ayat 13. Ibadah-ibadah
yang disyariatkan oleh Allah SWT bertujuan untuk memelihara agama.
Salah satu contohnya adalah salat lima waktu. Apabila salat itu
diabaikan maka akan terancamlah eksistensi agama. Dengan demikian
apabila ada halhal yang dapat menghalangi manusia dalam
melaksanakan salat, maka hal tersebut wajib dihilangkan atau
dihindari. Apabilapemeliharaan agama dihubungkan dengan tiga
tingkatan maqashid syariah diatas, maka memelihara agama dalam
tingkatan daruriyat seperti kewajiban melaksanakan salat bagi setiap
mukalaf. Sementara itu, dalam tingkatan hajiyat, yaitu seperti
rukhshah-rukhshah yang menimbulkan keringanan untuk menghindari
musaqah atau kesulitan dikarenakan sakit atau dalam perjalanan.
Sementara itu, dalam tingkatan tahsiniyat, seperti mengenakan pakaian
yang bagus dan indah dalam melaksanakan salat.
2. Hifz al-Nafz atau Menjaga Jiwa Hifz al-nafz atau menjaga jiwa adalah
memelihara hak untuk hidup secara terhormat dan memelihara jiwa
agar terhindar dari tindakan penganiayaan, baik berupa pembunuhan,
maupun tindakan melukai. Menjaga jiwa terletak pada tingkat yang
kedua setelah agama, yang merupakan tujuan ditetapkannya
permasalahan adat dan hukum jinayah. Memelihara jiwa berdasarkan
dengan tiga tingkatan maqashid syariah dibedakan menjadi:
a. Memelihara jiwa dalam tingkat dharuriyah seperti memenuhi
kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan
hidup.
b. Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat, seperti dibolehkannya
berburu binatang untuk menikmati makanan yang lezat dan
halal, kalau ini diabaikan maka tidak mengancam eksistensi
kehidupan manusia, melainkan hanya mempersulit hidupnya.
c. Memelihara jiwa dalam tingkat tahsiniyat seperti ditetapkan
tata cara makan dan minum.
3. Hifz al-‘Aql atau Menjaga Akal Hifz al-‘aql atau menjaga akal
merupakan karunia Allah SWT yang paling berharga, sehingga
manusia diwajibkan menjaganya dengan tidak mengonsumsi segala hal
yang merusak akal manusia seperti narkoba dan khamar. Memelihara
akal berdasarkan dengan tiga tingkatan maqashid syariah dibedakan
menjadi:
a. Memelihara akal dalam tingkat dharuriyah seperti diharamkan
meminum minuman keras karena berakibat terancamnya
eksistensi akal.
b. Memelihara akal dalam tingkat hajiyat, seperti dianjurkan
menuntut ilmu pengetahuan.
c. Memelihara akal dalam tingkat tahsiniyat seperti
menghindarkan diri dari mengkhayal dan mendengarkan
sesuatu yang tidak berfaedah.
4. Hifz al-Nasl atau Menjaga Keturunan
Hifz al-nasl atau menjaga keturunan dan/atau kehormatan adalah hal
pokok keempat yang harus dijaga demi mewujudkan kemaslahatan
bagi manusia. Menjaga keturunan adalah memelihara kelestarian jenis
makhluk manusia dan membina sikap mental generasi penerus agar
terhindar dari peperangan di antara manusia. Menjaga keturunan dalam
tingkatan daruriyat seperti melakukan pernikahan untuk menghindari
perzinaan. Pernikahan harus atau wajib dilakukan apabila
dikhawatirkan apabila tidak menikah maka akan jatuh kepada
perbuatan zina. Pada tingkatan hajiyat, menjaga keturunan dilakukan
dengan menyebutkan jumlah mahar yang diberikan kepada pengantin
perempuan saat akad dilaksanakan. Sementara itu, menjaga keturunan
pada tingkatan tahsiniyat adalah dengan melaksanakan khitbah.
5. Hifz al-mal atau Menjaga Harta
Hifz al-mal atau menjaga harta adalah salah satu tujuan pensyari atan
hukum di bidang muamalah dan jinayah. Syariat membolehkan segala
jenis muamalah yang sesuai dengan kaidah syariat, mewajibkan
berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup, lalu syariat menjaga harta
dengan mengharamkan mencuri, menghilangkan harta orang lain dan
menyerahkan harta kepada pihak yang tidak bisa bertanggung jawab
atas harta tersebut. Memelihara harta pada maqashid tingkatan
daruriyat adalah dengan mencari harta dengan jalan yang halal.
Sementara itu, pada tingkatan hajiyat, seperti melakukan transaksi jual
belidengan cara salam. Menjaga harta pada tingkatan tahsiniyat dengan
menghindari penipuan.
C. Maqashid syariah dalam mikro islam
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai