MAQASHID AS-SYARI’AH
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqih
Disusun Oleh :
Fatimatuzzahro (200102110110)
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, karunia
serta kasih sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Maqashid as-
syari’ah ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi terakhir,penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi
Muhammad S.A.W.
Dalam penulisan makalah ini, tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Imam Wahyu Hidayat, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Fiqih.
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan, baik yang
berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan. Meskipun
demikian, kami telah berusaha maksimal untuk membuat makalah dengan sebaik
mungkin.
Semoga dengan adanya makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan
ilmu pengetahuan mengenai maqashid as-syari’ah. Kami juga mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dan bersifat dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan
sebagaimana mestinya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.3 Tujuan........................................................................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 12
3.2 Saran.......................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Hukum Islam bersumber dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam Al Quran dan
sunah Roslullah yang diyakini untuk mencapai kemaslahatan manusia. Apabila sebuah
hukum tidak menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka perlu adanya tinjauan
kembali terhadap hukum tersebut dan dibuatkan hukum baru yang lebih maslahah dengan
tidak menafsirkan ajaran- ajaran prinsipal agama dan tidak bertentangan dengan Nash.
Maqashid as syariah adalah pembahasan yang penting dalam hukum islam yang
tidak lput dari perhatian ulama serta pakar hukum islam. Bila diteliti perintah dan
larangan Allah dalam Al Quran, begitu pula perintah dan larangan Nabi dan sunnah yang
termasuk dalam fiqih akan terlihat bahwa semuanya memiliki tujuan tertentu dan tidak
ada yang isa-sia. Semuanya mempunyai kemaslahatan bagi umat manusia. Maka pada
makalah ini kelompok kami akan membahas pengertian, macam- macam, syarat dan cara
maqashid as-syari’ah.
Dari latar belakang di atas maka masalah yang dapat diangkat dalam penlisan
makalah ini dibatasi pada :
1
1.3 Tujuan
Dari rumusan masalah di atas maka diperoleh tujuan dari penulisan makalah
sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
Dari segi bahasa, maqashid as-syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid
(bentuk jamak dari maqsud) yang artinya maksut dan tujuan. Syari’ah yang artinya jalan
menuju sumber air. Jalan menuju sumber air diartikan sebagai jalan ke arah sumber
pokok kehidupan. Menurut Syaitibi syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat.
Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara, beberapa maslahah dan
sebeb-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud
tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:
Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan
adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab),
dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang
menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. Lantaran jaminan hukum ini, terpenuhilah
bagi manusia kebutuhan primernya.
1) Agama
Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas agama
dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama
atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya
untuk masuk Islam. Surat al-Baqarah ayat 256.
4
Yang artinya:...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-Ridhoi Islam itu jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak merusak akidahnya, ibadah-ibadah, akhlaknya,
atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai
paham dan aliran yang batil.
2) Memelihara Jiwa
Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum
Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Untuk itu hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya
menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan
oleh manusia dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.
3) Memelihara Akal
Yang artinya: Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya
(berupa) susu murni antara dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang
meminumnya.
4) Menjaga Keturunan
6
5) Memelihara harta benda
Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah. Namun
Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’
kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apa pun, maka Islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu,
Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli,
sewa menyewa, gadai-menggadai dan lainnya.
Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada
sesuatu yang dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang
menyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar
menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam
berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan
menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.
Lebih lanjut, al-Syathibi (tanpa tahun:70) dalam uraiannya tentang maqashid al-
syari'ah membagi tujuan syari'ah itu secara umum ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan
syari'at menurut perumusnya (syari) dan tujuan syari'at menurut pelakunya (mukallaf).
Maqashid al-syari'ah dalam konteks maqashid al-syari' meliputi empat hal, yaitu
8
Keempat aspek di atas saling terkait dan berhubungan dengan Allah sebagai
pembuat syari'at (syari). Allah tidak mungkin menetapkan syari'at Nya kecuali dengan
tujuan untuk kemaslahatan hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tujuan ini
akan terwujud bila ada taklif hukum, dan taklif hukum itu baru dapat dilaksanakan apabila
sebelumnya dimengerti dan dipahami oleh manusia. Oleh karena itu semua tujuan akan
tercapai bila manusia dalam perilakunya sehari-hari selalu ada di jalur hukum dan tidak
berbuat sesuatu menurut hawa nafsunya sendiri.
Dalam kaitannya dengan cara untuk mengetahui hikmah dan tujuan penetapan
hukum, setidaknya ada tiga cara yang telah ditempuh oleh ulama sebelum al-Syathibi,
yaitu :
1. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-syari'ah adalah sesuatu yang abstrak,
sehingga tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir
lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian mendalam yang justru
memungkinkan akan menyebabkan pertentangan dengan kehendak bahasa. Cara
ini ditempuh oleh ulama Zahiriyah.
9
antara zahir lafal dengan penalaran akal, maka yang diutamakan dan
didahulukan adalah penalaran akal, baik itu atas dasar keharusan menjaga
maslahat atau tidak. Kelompok ini disebut kelompok Muta'ammiqin fi al-
Qiyas.
Dalam pandangan Asafri, dalam rangka memahami maqashid alsyari'ah ini, al-
Syathibi tampaknya termasuk dalam kelompok ketiga (rasikhin) yang memadukan dua
pendekatan, yakni zahir lafal dan pertimbangan makna atau illat. Hal ini dapat dilihat dari
tiga cara yang dikemukakan oleh al-Syathibi (tanpa tahun:104) dalam upaya memahami
maqashid al-syari'ah, yaitu :
Cara pertama dilakukan dalam upaya telaah terhadap lafal perintah dan larangan
yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits secara jelas sebelum dikaitkan dengan
permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya kembali kepada makna perintah dan
larangan secara hakiki. Perintah harus dipahami menghendaki suatu yang diperintahkan
itu agar diwujudkan dan larangan menghendaki agar sesuatu yang dilarang itu dihindari
dan dijauhi. Cara pertama ini diarahkan untuk memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang
berkaitan dengan masalah-masalah ibadah.
Cara kedua dengan melakukan analisis terhadap illat hukum yang terdapat dalam
Al-Qur'an atau hadits. Seperti diketahui bahwa illat itu ada yang tertulis dan ada pula yang
tidak tertulis. Jika illatnya tertulis, maka harus mengikuti kepada apa yang tertulis itu, dan
jika illatnya tidak tertulis, maka harus dilakukan tawaquf (tidak membuat suatu putusan).
10
apa yang telah ditetapkan oleh nash tanpa mengetahui illat hukum sama halnya dengan
menetapkan hukum tanpa dalil. Kedua, pada dasarnya tidak diperkenankan melakukan
perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash, namun hal ini
dimungkinkan apabila tujuan hukum dapat diketahui. Sesungguhnya inti dari dua
pertimbanganini adalah bahwa dalam masalah muamalah dibolehkan melakukan
perluasan jika tujuan hukum mungkin diketahui dengan perluasan tersebut.
Cara yang ketiga dengan melihat sikap diamnya syari' (pembuat syari'at) dalam
pensyari'atan suatu hukum. Diamnya syari' itu dapat mengandung dua kemungkinan yaitu
kebolehan dan larangan. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan muamalah, sikap diamnya
syari' mengandung kebolehan dan dalam hal-hal yang bersifat ibadah sikap diamnya syari'
mengandung larangan. Dari sikap diamnya syari' ini akan diketahui tujuan hukum.
Pengumpulan Al-Qur'an yang terjadi setelah Nabi SAW wafat merupakan contoh
sikap diamnya syari'. Pada masa Nabi SAW belum dijumpai faktor yang mendesak untuk
membukukan Al-Qur'an tersebut. Namun selang beberapa waktu kemudian terdapat faktor
yang mendesak untuk membukukan Al-Qur'an. Sikap diamnya Nabi SAW dalam hal ini
dapat dipahami bahwa pembukuan itu dibolehkan atau dibenarkan.
Apabila dilihat dari cara mengetahui maqashid al-syari'ah seperti yang telah
disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara pertama lebih diarahkan pada
aspek ibadah, cara yang kedua pada aspek muamalah, dan cara ketiga pada keduanya.
Cara-cara tersebut merupakan kombinasi untuk cara mengetahui maqashid al-syari'ah
melalui pendekatan lafal dan pendekatan makna. Kombinasi ini dirasa sangat penting
dalam rangka mempertahankan identitas agama sekaligus mampu menjawab
perkembangan hukum yang muncul akibat perubahan-perubahan sosial.
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaituMaqashid al-Dharuriyat, Maqasid al-
Tahsini Maqashid al-Hajiyat.
Tiga cara yang dikemukakan oleh Al- Syathibi dalam upaya memahami maqashid
al-syari'ah, yaitu melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan, melakukan
penelaahan illat perintah dan larangan, serta analisis terhadap sikap diamnya syari' dalam
pensyari'atan suatu hukum.
3.2 Saran
12
DAFTAR PUSTAKA
Shidiq, Ghofar. 2009. Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam. Sultan Agung Vol
xliv No. 118, hal 122-123.