Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

MAQASHID AS-SYARI’AH

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Fiqih

Dosen Pengampu: Imam Wahyu Hidayat, M.Pd. I

Disusun Oleh :

Fatwatul Malikah (200102110003)

Elly Anjar Sari (200102110095)

Fatimatuzzahro (200102110110)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT. Karena atas rahmat, karunia
serta kasih sayang-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Maqashid as-
syari’ah ini dengan sebaik mungkin. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada
Nabi terakhir,penutup para Nabi sekaligus satu-satunya uswatun hasanah kita, Nabi
Muhammad S.A.W.

Dalam penulisan makalah ini, tidak lupa pula kami ucapkan terima kasih kepada
Bapak Imam Wahyu Hidayat, M.Pd.I selaku dosen pengampu mata kuliah Studi Fiqih.
Kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan ketidaksempurnaan, baik yang
berkenaan dengan materi pembahasan maupun dengan teknik pengetikan. Meskipun
demikian, kami telah berusaha maksimal untuk membuat makalah dengan sebaik
mungkin.

Semoga dengan adanya makalah ini para pembaca dapat menambah wawasan
ilmu pengetahuan mengenai maqashid as-syari’ah. Kami juga mengharapkan kritik dan
saran yang membangun dan bersifat dari para pembaca guna memperbaiki kesalahan
sebagaimana mestinya.

Malang, 3 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................... i

DAFTAR ISI........................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang........................................................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah...................................................................................................... 1

1.3 Tujuan........................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Maqashid as-syari’ah............................................................................. 3

2.2 Macam-Macam Bentuk Maqashid Maqashid as-syari’ah........................................ 4

2.3 Syarat Maqashid as-syari’ah..................................................................................... 8

2.4 Cara Mengetahui Maqashid as-syari’ah................................................................... 9

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 12

3.2 Saran.......................................................................................................................... 12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hukum Islam bersumber dari wahyu Tuhan yang terdapat dalam Al Quran dan
sunah Roslullah yang diyakini untuk mencapai kemaslahatan manusia. Apabila sebuah
hukum tidak menciptakan kemaslahatan bagi manusia, maka perlu adanya tinjauan
kembali terhadap hukum tersebut dan dibuatkan hukum baru yang lebih maslahah dengan
tidak menafsirkan ajaran- ajaran prinsipal agama dan tidak bertentangan dengan Nash.

Kajian mengenai Maqashid as-syari’ah sangat penting dalam upaya istibath


hukum karna maqashid as-syari’ah bisa menjadi landasan penetapan hukum.
Pertimbangan ini menjadi suatu keharusan bagi masalah-masalah yang tidak ditemkan
ketegasannya dalam nash.

Maqashid as syariah adalah pembahasan yang penting dalam hukum islam yang
tidak lput dari perhatian ulama serta pakar hukum islam. Bila diteliti perintah dan
larangan Allah dalam Al Quran, begitu pula perintah dan larangan Nabi dan sunnah yang
termasuk dalam fiqih akan terlihat bahwa semuanya memiliki tujuan tertentu dan tidak
ada yang isa-sia. Semuanya mempunyai kemaslahatan bagi umat manusia. Maka pada
makalah ini kelompok kami akan membahas pengertian, macam- macam, syarat dan cara
maqashid as-syari’ah.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka masalah yang dapat diangkat dalam penlisan
makalah ini dibatasi pada :

1. Bagaimana pengertian dari maqashid as-syari’ah?

2. Apa saja macam-macam dari maqashid as-syari’ah?

3. Bagaimana syarat-syarat maqashid as-syari’ah?

4. Bagaimana cara mengetahui maqasid as-syari’ah?

1
1.3 Tujuan

Dari rumusan masalah di atas maka diperoleh tujuan dari penulisan makalah
sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui pengertian dari maqashid as-syariah.

2. Untuk mengetahui macam-macam maqashid as-syariah.

3. Untuk mengetahui syarat-syarat maqashid as-syariah.

4. Untuk mengetahui cara mengetahui maqashid as-syariah.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Maqashid as-Syariah

Dari segi bahasa, maqashid as-syari’ah terdiri dari dua kata yaitu maqashid
(bentuk jamak dari maqsud) yang artinya maksut dan tujuan. Syari’ah yang artinya jalan
menuju sumber air. Jalan menuju sumber air diartikan sebagai jalan ke arah sumber
pokok kehidupan. Menurut Syaitibi syariat bertujuan untuk mewujudkan kemaslahatan
manusia di dunia dan akhirat.

Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah “Syariat itu berdasarkan kepada hikmah-hikmah dan


maslahah-maslahah untuk mansia baik di dunia maupun di akhirat". Perubahan hukum
yang berlaku berdasarkan perubahan zaman dan tempat adalah untuk menjamin syariat
dapat mendatangkan kemaslahatan kepada manusia.

Al Khadimi berpendapat, “Maqashid sebagai prinsip islam yang lima yaitu


menjaga agama, menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga keturunan dan harta”. Wahbah
Zuhaili menyebutkan Muqasid As Syari’ah adalah sejumlah makna/sasaran yang hendak
dicapai oleh syara’ dalam semua atau sebagain besar kasus hukumnya. Atau tujuan dari
syariat atau rahasia di balik perancangan Tiap-tiap hukum oleh syar'i (pemegang otoritas
syariat Allah dan Rosul-Nya). Ada juga yang memahami maqashid sebagai lima prinsip
Islam yang asa yaitu menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Para ulama telah menulis tentang maksud-maksud syara, beberapa maslahah dan
sebeb-sebab yang menjadi dasar syariah telah menentukan bahwa maksud-maksud
tersebut dibagi dalam dua golongan sebagai berikut:

a. Golongan ibadah yaitu membahas masalah-masalah ta’abdud yang


berhubungan langsung antara manusia dan khaliq yang satu persatunya telah
dijelaskan oleh syara.

b. Golongan muamalah dunyawiyah yaitu kembali pada masalah-masalah dunia.

Sehingga dapat ditarik kesimpulan mengenai pengertiannya. Maqashid as-


syari’ah berarti tujuan Allah dan Rosul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam.
Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat AL Quran dan sunnah Rosullulah sebagai alasan
logis bagi rumusan suatu hukum yang berorirntasi kepada kemaslahatan umat manusia.
3
2.2 Macam-Macam Bentuk Maqashid as-Syariah

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu:

a. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan primer


manusia (Maqashid al-Dharuriyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan primer manusia seperti yang telah kami uraikan
adalah bertitik tolak kepada lima perkara, yaitu Agama, jiwa, akal, kehormatan (nasab),
dan harta. Islam telah mensyariatkan bagi masing-masing lima perkara itu, hukum yang
menjamin realisasinya dan pemeliharaannya. Lantaran jaminan hukum ini, terpenuhilah
bagi manusia kebutuhan primernya.

1) Agama

Islam menjaga hak dan kebebasan, dan kebebasan yang pertama adalah
kebebasan berkeyakinan dan beribadah. Setiap pemeluk agama berhak atas agama
dan madzhabnya, ia tidak boleh dipaksa untuk meninggalkannya menuju agama
atau madzhab lain, juga tidak boleh ditekan untuk berpindah dari keyakinannya
untuk masuk Islam. Surat al-Baqarah ayat 256.

‫الدي ِْن فِى اِ ْك َرا َه َ ا‬


‫ل‬ ُّ َ‫ت يَّ ْكف ْر فَ َم ْن ۚ ْالغَي ِ مِن‬
ِ ْ‫الر ْشد تَّبَيَّنَ قَد‬ َّ ‫اّلل َويؤْ م ِْن بِال‬
ِ ‫طاغ ْو‬ ِ ٰ ِ‫سكَ فَقَ ِد ب‬َ ‫َل ْالوثْ ٰقى بِ ْالع ْر َوةِ ا ْست َ ْم‬
‫ام‬
َ ‫ص‬َ ‫ّللا َل َها ا ْن ِف‬
ٰ ‫س ِميْع َو‬ َ ‫ع ِليْم‬َ

Yang artinya: Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam),


sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang
sesat. Barang siapa ingkar kepada Tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh,
dia telah berpegang (teguh) pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah
Maha Mendengar, Maha Mengetahui.

Agama merupakan persatuan akidah, ibadah, hukum, dan undang-undang


yang telah disyariatkan oleh Allah SWT untuk mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya (hubungan vertikal), dan hubungan antara sesama manusia
(hubungan horizontal). Agama Islam juga merupakan nikmat Allah yang tertinggi
dan sempurna seperti yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 3:

‫علَيْك ْم َواَتْ َم ْمت ِد ْينَك ْم لَك ْم ا َ ْك َم ْلت ا َ ْليَ ْو َم‬


َ ‫ضيْت نِعْ َمتِ ْي‬ ِ ْ ‫صة ِف ْي اضْط َّر فَ َم ِن ِد ْينًا‬
ِ ‫الس ََْل َم لَكم َو َر‬ َ ‫غي َْر َم ْخ َم‬
َ ...
‫ّللا َفا َِّن ِ ِلثْم مت َ َجانِف‬
َ ٰ ‫َّرحِ يْم غَف ْور‬

4
Yang artinya:...Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-Ridhoi Islam itu jadi
agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat
dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Agama Islam juga harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak
bertanggung jawab yang hendak merusak akidahnya, ibadah-ibadah, akhlaknya,
atau yang akan mencampur adukkan kebenaran ajaran Islam dengan berbagai
paham dan aliran yang batil.

2) Memelihara Jiwa

Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam dengan


hukuman Qisas (pembalasan yang seimbang), diyar (denda) dan kafarat (tebusan).
Sehingga dengan demikian diharapkan agar seseorang sebelum melakukan
pembunuhan, berpikir secara dalam terlebih dahulu, karena jika yang dibunuh mati,
maka seseorang yang membunuh tersebut juga akan mati, atau jika yang dibunuh
tersebut cedera, maka si pelakunya akan cedera yang seimbang dengan
perbuatannya.

Pemeliharaan ini merupakan tujuan kedua hukum Islam, karena itu hukum
Islam wajib memelihara hak manusia untuk hidup dan mempertahankan
kehidupannya. Untuk itu hukum Islam melarang pembunuhan sebagai upaya
menghilangkan jiwa manusia dan melindungi berbagai sarana yang dipergunakan
oleh manusia dan mempertahankan kemaslahatan hidupnya.

Banyak ayat yang menyebutkan tentang larangan membunuh, begitu pula


hadist dari Nabi Muhammad. Diantara ayat-ayat tersebut adalah: 1) Surat Al-
Baqarah ayat 178-179, 2) Surat al-An’am ayat 151, 3) Surat Al-Isra’ ayat 31, 4)
Surat Al-Isra’ ayat 33, 5) Surat An Nisa ayat 92-93, dan 6) Surat Al-Maidah ayat
32.

3) Memelihara Akal

Manusia adalah makhluk yang paling sempurna diantara seluruh makhluk


ciptaan Allah yang lainnya. Allah telah menciptakan manusia dengan sebaik-baik
bentuk, dan melengkapi bentuk itu dengan akal. Untuk menjaga akal tersebut,
Islam telah melarang minum Khomr (jenis minuman keras) dan setiap yang
5
memabukkan dan menghukum orang yang meminumnya atau menggunakan jenis
apa saja yang dapat merusak akal.

Begitu banyak ayat yang menyebutkan tentang kemuliaan orang yang


berakal dan menggunakan akalnya tersebut dengan baik. Kita disuruh untuk
memetik pelajaran kepada seluruh hal yang ada di bumi ini. Termasuk kepada
binatang ternak, kurma, hingga lebah, seperti yang tertuang dalam surat An-Nahl
ayat 66:

َ‫س ۤا ِٕىغًا لِِّلشّٰ ِر ِبيْن‬ ً ‫ث َّودَ ٍم لَّ َبنًا خَا ِل‬


َ ‫صا‬ ْ ْۢ ‫اْل ْن َع ِام لَ ِعب َْرة ً ۚ نُ ْس ِق ْيكُ ْم ِِّم َّما ف ِْي بُطُ ْون ِٖه‬
ٍ ‫مِن َبي ِْن فَ ْر‬ َ ْ ‫َوا َِّن لَكُ ْم فِى‬

Yang artinya: Dan sungguh, pada hewan ternak itu benar-benar terdapat
pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari apa yang ada dalam perutnya
(berupa) susu murni antara dan darah, yang mudah ditelan bagi orang yang
meminumnya.

4) Menjaga Keturunan

Untuk memelihara keturunan. Islam telah mengatur pernikahan dan


mengharamkan zina. Menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini,
sebagaimana cara-cara perkawinan itu dilakukan dan syarat-syarat apa yang harus
dipenuhi. Sehingga perkawinan itu dianggap sah dan percampuran antara dua
manusia yang berlainan jenis itu tidak dianggap zina dan anak-anak yang lahir dari
hubungan itu dianggap sah dan menjadi keturunan sah dari ayahnya. Islam tak
hanya melarang zina, tapi juga melarang perbuatan-perbuatan dan apa saja yang
dapat membawa pada zina.

Hukum kekeluargaan dan kewarisan Islam adalah hukum-hukum yang


secara khusus diciptakan Allah untuk memelihara kemurnian darah dan
kemaslahatan keturunan. Dalam hubungan ini perlu dicatat bahwa dalam hukum
Islam ini diatur lebih rinci dan pasti dibandingkan dengan ayat-ayat hukum lainnya.
Maksudnya adalah agar pemeliharaan dan kelanjutan dapat berlangsung dengan
sebaik-baiknya.

6
5) Memelihara harta benda

Meskipun pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah. Namun
Islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia sangat tama’
kepada harta benda, dan mengusahakannya melalui jalan apa pun, maka Islam
mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Untuk itu,
Islam mensyariatkan peraturan-peraturan mengenai mu’amalat seperti jual beli,
sewa menyewa, gadai-menggadai dan lainnya.

b. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder


manusia (Maqashid al-Hajiyat)

Hal-hal yang bersifat kebutuhan sekunder bagi manusia bertitik tolak kepada
sesuatu yang dapat menghilangkan kesempitan manusia, meringankan beban yang
menyulitkan mereka, dan memudahkan jalan-jalan muamalah dan mubadalah (tukar
menukar bagi mereka). Islam telah benar-benar mensyariatkan sejumlah hukum dalam
berbagai ibadah, muamalah, dan uqubah (pidana), yang dengan itu dimaksudkan
menghilangkan kesempitan dan meringankan beban manusia.

Dalam lapangan ibadah. Islam mensyariatkan beberapa hukum rukhsoh


(keringanan. Kelapangan) untuk meringankan beban mukallaf apabila ada kesulitan dalam
melaksanakan hukum azimah (kewajiban). Contoh, diperbolehkannya berbuka puasa pada
siang bulan Ramadhan bagi orang yang sakit atau sedang bepergian.

Dalam lapangan muamalah, Islam mensyariatkan banyak macam akad (kontrak)


dan urusan (tasharruf) yang menjadi kebutuhan manusia. Seperti jual beli, syirkah
(perseroan). Mudharobah (berniaga dengan harta orang lain) dan lainnya.

c. Syariat yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat kebutuhan pelengkap


manusia (Maqashid al-Tahsini)

Dalam kepentingan-kepentingan manusia yang bersifat pelengkap ketika Islam


mensyariatkan bersuci (thaharah), disana dianjurkan beberapa hal yang dapat
menyempurnakannya. Ketika Islam menganjurkan perbuatan sunnat (tathawwu), maka
Islam menjadikan ketentuan yang di dalamnya sebagai sesuatu yang wajib baginya.
Sehingga seorang mukallaf tidak membiasakan membatalkan amal yang dilaksanakannya
sebelum sempurna. Ketika Islam menganjurkan derma (infaq), dianjurkan agar infaq dari
hasil bekerja yang halal.
7
Maka jelaslah, bahwa tujuan dari setiap hukum yang disyariatkan adalah
memelihara kepentingan pokok manusia, atau kepentingan sekundernya atau kepentingan
pelengkapnya. Atau menyempurnakan sesuatu yang memelihara salah satu diantara tiga
kepentingan tersebut.

2.3 Syarat Maqashid as-Syariah

Wahbah al-Zuhaili (1986:1019) dalam bukunya menetapkan syarat syarat


maqashid al-syari’ah. Menurutnya bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai maqashid
al-syari’ah apabila memenuhi empat syarat berikut, yaitu:

1. Harus bersifat tetap, maksudnya makna-makna yang dimaksudkan itu harus


bersifat pasti atau diduga kuat mendekati kepastian.
2. Harus jelas, sehingga para fuqaha tidak akan berbeda dalam penetapan makna
tersebut. Sebagai contoh, memelihara keturunan yang merupakan tujuan
disyariatkannya perkawinan.
3. Harus terukur, maksudnya makna itu harus mempunyai ukuran atau batasan yang
jelas yang tidak diragukan lagi. Seperti menjaga akal yang merupakan tujuan
pengharaman khamr dan ukuran yang ditetapkan adalah kemabukan.
4. Berlaku umum, artinya makna itu tidak akan berbeda karena perbedaan waktu dan
tempat. Seperti sifat Islam dan kemampuan untuk memberikan nafkah sebagai
persyaratan kafa'ah dalam perkawinan menurut mazhab Maliki.

Lebih lanjut, al-Syathibi (tanpa tahun:70) dalam uraiannya tentang maqashid al-
syari'ah membagi tujuan syari'ah itu secara umum ke dalam dua kelompok, yaitu tujuan
syari'at menurut perumusnya (syari) dan tujuan syari'at menurut pelakunya (mukallaf).
Maqashid al-syari'ah dalam konteks maqashid al-syari' meliputi empat hal, yaitu

1. Tujuan utama syari'at adalah kemaslahatan manusia di dunia dandi akhirat.


2. Syari'at sebagai sesuatu yang harus dipahami.
3. Syari'at sebagai hukum taklifi yang harus dijalankan.
4. Tujuan syari'at membawa manusia selalu di bawah naunganhukum.

8
Keempat aspek di atas saling terkait dan berhubungan dengan Allah sebagai
pembuat syari'at (syari). Allah tidak mungkin menetapkan syari'at Nya kecuali dengan
tujuan untuk kemaslahatan hamba-Nya, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Tujuan ini
akan terwujud bila ada taklif hukum, dan taklif hukum itu baru dapat dilaksanakan apabila
sebelumnya dimengerti dan dipahami oleh manusia. Oleh karena itu semua tujuan akan
tercapai bila manusia dalam perilakunya sehari-hari selalu ada di jalur hukum dan tidak
berbuat sesuatu menurut hawa nafsunya sendiri.

2.4 Cara Mengetahui Maqashid as-Syari'ah

Dalam kaitannya dengan cara untuk mengetahui hikmah dan tujuan penetapan
hukum, setidaknya ada tiga cara yang telah ditempuh oleh ulama sebelum al-Syathibi,
yaitu :

1. Ulama yang berpendapat bahwa maqashid al-syari'ah adalah sesuatu yang abstrak,
sehingga tidak dapat diketahui kecuali melalui petunjuk Tuhan dalam bentuk zahir
lafal yang jelas. Petunjuk itu tidak memerlukan penelitian mendalam yang justru
memungkinkan akan menyebabkan pertentangan dengan kehendak bahasa. Cara
ini ditempuh oleh ulama Zahiriyah.

2. Ulama yang tidak mementingkan pendekatan zahir lafal untuk mengetahui


maqashid al-syari'ah. Mereka terbagi dalam dua kelompok :

a. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid alsyari'ah ditemukan


bukan dalam bentuk zahir lafal dan bukan pula dari apa yang dipahami dari
tunjukan zahir lafal itu. Akan tetapi maqashid al-syari'ah merupakan hal lain
yang ada di balik tunjukan zahir lafal yang terdapat dalam semua aspek
syari'ah sehingga tidak seorang pun dapat berpegang dengan zahir lafal yang
memungkinkannya memperoleh maqashid al-syari'ah. Kelompok ini disebut
kelompok Bathiniyah.

b. Kelompok ulama yang berpendapat bahwa maqashid alsyari'ah harus


dikaitkan dengan pengertian-pengertian lafal. Artinya zahir lafal tidak harus
mengandung tunjukan yang bersifat mutlak. Apabila terjadi pertentangan

9
antara zahir lafal dengan penalaran akal, maka yang diutamakan dan
didahulukan adalah penalaran akal, baik itu atas dasar keharusan menjaga
maslahat atau tidak. Kelompok ini disebut kelompok Muta'ammiqin fi al-
Qiyas.

3. Ulama yang melakukan penggabungan dua pendekatan (zahir lafal dan


pertimbangan makna/illat) dalam suatu bentuk yang tidak merusak pengertian
zahir lafal dan tidak pula merusak kandungan makna/illat, agar syari'ah tetap
berjalan secara harmonis tanpa kontradiksi. Kelompok ini disebut kelompok
Rasikhin (Asafri Jaya, 1996:89-91).

Dalam pandangan Asafri, dalam rangka memahami maqashid alsyari'ah ini, al-
Syathibi tampaknya termasuk dalam kelompok ketiga (rasikhin) yang memadukan dua
pendekatan, yakni zahir lafal dan pertimbangan makna atau illat. Hal ini dapat dilihat dari
tiga cara yang dikemukakan oleh al-Syathibi (tanpa tahun:104) dalam upaya memahami
maqashid al-syari'ah, yaitu :

1. Melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan.


2. Melakukan penelaahan illat perintah dan larangan.
3. Analisis terhadap sikap diamnya syari' dalam pensyari'atan suatu hukum

Cara pertama dilakukan dalam upaya telaah terhadap lafal perintah dan larangan
yang terdapat dalam Al-Qur'an dan hadits secara jelas sebelum dikaitkan dengan
permasalahan-permasalahan yang lain. Artinya kembali kepada makna perintah dan
larangan secara hakiki. Perintah harus dipahami menghendaki suatu yang diperintahkan
itu agar diwujudkan dan larangan menghendaki agar sesuatu yang dilarang itu dihindari
dan dijauhi. Cara pertama ini diarahkan untuk memahami ayat-ayat dan hadits-hadits yang
berkaitan dengan masalah-masalah ibadah.

Cara kedua dengan melakukan analisis terhadap illat hukum yang terdapat dalam
Al-Qur'an atau hadits. Seperti diketahui bahwa illat itu ada yang tertulis dan ada pula yang
tidak tertulis. Jika illatnya tertulis, maka harus mengikuti kepada apa yang tertulis itu, dan
jika illatnya tidak tertulis, maka harus dilakukan tawaquf (tidak membuat suatu putusan).

Keharusan tawaquf ini didasari dua pertimbangan. Pertama, tidak boleh


melakukan perluasan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash. Perluasan terhadap

10
apa yang telah ditetapkan oleh nash tanpa mengetahui illat hukum sama halnya dengan
menetapkan hukum tanpa dalil. Kedua, pada dasarnya tidak diperkenankan melakukan
perluasan cakupan terhadap apa yang telah ditetapkan oleh nash, namun hal ini
dimungkinkan apabila tujuan hukum dapat diketahui. Sesungguhnya inti dari dua
pertimbanganini adalah bahwa dalam masalah muamalah dibolehkan melakukan
perluasan jika tujuan hukum mungkin diketahui dengan perluasan tersebut.

Cara yang ketiga dengan melihat sikap diamnya syari' (pembuat syari'at) dalam
pensyari'atan suatu hukum. Diamnya syari' itu dapat mengandung dua kemungkinan yaitu
kebolehan dan larangan. Dalam hal-hal yang berkaitan dengan muamalah, sikap diamnya
syari' mengandung kebolehan dan dalam hal-hal yang bersifat ibadah sikap diamnya syari'
mengandung larangan. Dari sikap diamnya syari' ini akan diketahui tujuan hukum.

Pengumpulan Al-Qur'an yang terjadi setelah Nabi SAW wafat merupakan contoh
sikap diamnya syari'. Pada masa Nabi SAW belum dijumpai faktor yang mendesak untuk
membukukan Al-Qur'an tersebut. Namun selang beberapa waktu kemudian terdapat faktor
yang mendesak untuk membukukan Al-Qur'an. Sikap diamnya Nabi SAW dalam hal ini
dapat dipahami bahwa pembukuan itu dibolehkan atau dibenarkan.

Apabila dilihat dari cara mengetahui maqashid al-syari'ah seperti yang telah
disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa cara pertama lebih diarahkan pada
aspek ibadah, cara yang kedua pada aspek muamalah, dan cara ketiga pada keduanya.
Cara-cara tersebut merupakan kombinasi untuk cara mengetahui maqashid al-syari'ah
melalui pendekatan lafal dan pendekatan makna. Kombinasi ini dirasa sangat penting
dalam rangka mempertahankan identitas agama sekaligus mampu menjawab
perkembangan hukum yang muncul akibat perubahan-perubahan sosial.

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Maqashid as-syari’ah berarti tujuan Allah dan Rosul-Nya dalam merumuskan


hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat AL Quran dan sunnah
Rosullulah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorirntasi kepada
kemaslahatn uamt manusia.

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum dari
mensyari’atkan hukum menjadi tiga kelompok, yaituMaqashid al-Dharuriyat, Maqasid al-
Tahsini Maqashid al-Hajiyat.

Menurut Wahbah al-Zubaili, bahwa sesuatu baru dapat dikatakan sebagai


maqashid al-syari’ah apabila memenuhi empat syarat yaitu harus bersifat tetap, harus
jelas, harus terukur, dan berlaku umum.

Tiga cara yang dikemukakan oleh Al- Syathibi dalam upaya memahami maqashid
al-syari'ah, yaitu melakukan analisis terhadap lafal perintah dan larangan, melakukan
penelaahan illat perintah dan larangan, serta analisis terhadap sikap diamnya syari' dalam
pensyari'atan suatu hukum.

3.2 Saran

Dari semua paparan di atas, tampak bahwa maqashid al-syari'ahmerupakan aspek


penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa hukum
Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan
sosial yang terjadi di masyarakat. Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-
landasan yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syari'ah yang
bersifat uiversal. Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu selalu sesuai untuk
setiap zaman dan pada setiap tempat. Semoga makalah mengenai Maqashid As Syariah ini
dapat dipahami dengan baik oleh para pembaca, dan dapat diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Penulis tentunya masih menyadari jika makalah diatas masih terdapat banyak
kesalahan dan jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut
dengan berpedoman pada banyak sumber serta kritik yang membangun dari para pembaca.

12
DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Fathurrahman. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Logos, 1999.

Hilmi, Faishal. 2017. Maqashid Al-syari’ah. Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah


Jakarta.

Jaya, Asafri. 1996.Konsep Maqashid al-Syari'ah Menurut al-Syathibi. Jakarta:

Raja Grafindo Persada.

Shidiq, Ghofar. 2009. Teori Maqashid Al-Syariah dalam Hukum Islam. Sultan Agung Vol
xliv No. 118, hal 122-123.

Anda mungkin juga menyukai