Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

“KONSEP MAQASID AL-SYARI’AH”

(Mata Kuliah : Ushul Fiqh)

Dosen Pengampu :

Drs.Syamsul Arif, M.Pd

Disusun oleh :

FADLI HARDIANSYAH (2013000045)

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MA’ARIF JAMBI


TAHUN AKADEMIK 2020/2021

X
BKPI
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadiran Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Konsep Maqasid Al-Syari’ah” ini tepat pada waktunya.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas Bapak Syamsul Arif pada Mata Kuliah Strategi Ushul Fiqh. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang Konsep
Maqasid Al-Syari’ah bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak selaku dosen pengampu


mata kuliah ini yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah
pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang saya tekuni.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan
makalah ini.

Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya
nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

Jambi, November 2021

Pemakalah

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

A. LATAR BELAKANG.....................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH................................................................................1
C. TUJUAN PENULISAN..................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN........................................................................................2

A. PENGERTIAN MAQASID AL-SYARIAH...................................................2


B. PESAN MAQASID AL-SYARI’AH DALAM NASS SYARA’
(TEKS AL-QUR’AN DAN SUNNAH ATAU HADIST) .............................5
C. MASLAHAH: INTI MAQASID AL-SYARIAH...........................................8
D. KUALIFIKASI MASLAHAH DAN KATEGORISASI MASLAHAH.........13

BAB III PENUTUP................................................................................................17

A. KESIMPULAN...............................................................................................17
B. SARAN............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................19

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Maqashid al-syari'ah atau tujuan hukum Islam merupakan suatu


pembahasan penting dalam hukum Islam yang tidak luput dari perhatian
ulama serta pakar hukum Islam. Sebagian ulama menempatkannya dalam
bahasan ushul fiqh, dan ulama lain membahasnya sebagai materi tersendiri
serta diperluas dalam filsafat hukum Islam. Bila diteliti semua perintah dan
larangan Allah dalam Al-Qur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW
dalam sunnah yang terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya
mempunyai tujuan tertentu dan tidak ada yang sia-sia.

Semuanya mempunyai hikmah yang mendalam, yaitu sebagai rahmat


bagi umat manusia, sebagaimana yang ditegaskan dalam beberapa ayat Al-
Qur'an, di antaranya dalam surat Al-Anbiya' :107, tentang tujuan Nabi
Muhammad diutus. Rahmat untuk seluruh alam dalam ayat tersebut diartikan
dengan kemaslahatan umat. Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat
diartikan sebagai sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal sehat.
Diterima akal mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan
memahami motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung
kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah
atau dengan jalan rasionalisasi.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa Pengertian Maqasid Al-Syari’ah?
2. Apa Pesan Maqasid Al-Syari’ah Dalam Nass Syara’?
3. Apa Maslahah: Inti Maqasid Al-Syari’ah?
4. Bagaimana Kualifikasi Maslahah Dan Kategorisasi Maslahah?

C. TUJUAN MASALAH
1. Untuk Mengetahui Pengertian Maqasid Al-Syari’ah
2. Untuk Mengetahui Pesan Maqasid Al-Syari’ah Dalam Nass Syara’
3. Untuk Mengetahui Maslahah: Inti Maqasid Al-Syari’ah
4. Untuk Mengetahui Kualifikasi Maslahah Dan Kategorisasi Maslahah

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN MAQASID AL-SYARI’AH

Maqashid al-syari'ah terdiri dari dua kata, maqashid dan syari'ah. Kata
maqashid merupakan bentuk jama' dari maqshad yang berarti maksud dan
tujuan, sedangkan syari'ah mempunyai pengertian hukum-hukum Allah yang
ditetapkan untuk manusia agar dipedomani untuk mencapai kebahagiaan
hidup di dunia maupun di akhirat. Maka dengan demikian, maqashid al-
syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi tujuan pensyariatan hukum.
Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah adalah tujuan-tujuan yang
hendak dicapai dari suatu penetapan hukum (Asafri Jaya, 1996:5). Izzuddin
ibn Abd al-Salam, sebagaimana dikutip oleh Khairul Umam (2001:125),
mengatakan bahwa segala taklif hukum selalu bertujuan untuk kemaslahatan
hamba (manusia) dalam kehidupan dunia dan akhirat. Allah tidak
membutuhkan ibadah seseorang, karena ketaatan dan maksiat hamba tidak
memberikan pengaruh apa-apa terhadap kemulian Allah. Jadi, sasaran manfaat
hukum tidak lain adalah kepentingan manusia.1

Menurut Satria Efendi, maqashid al-syari'ah mengandung pengertian


umum dan pengertian khusus. Pengertian yang bersifat umum mengacu pada
apa yang dimaksud oleh ayat-ayat hukum atau hadits-hadits hukum, baik yang
ditunjukkan oleh pengertian kebahasaannya atau tujuan yang terkandung di
dalamnya. Pengertian yang bersifat umum itu identik dengan pengertian istilah
maqashid al-syari' (maksud Allah dalam menurunkan ayat hukum, atau
maksud Rasulullah dalam mengeluarkan hadits hukum). Sedangkan
pengertian yang bersifat khusus adalah substansi atau tujuan yang hendak
dicapai oleh suatu rumusan hukum.

Sementara itu Wahbah al-Zuhaili mendefinisikan maqashid syari'ah


dengan makna-makna dan tujuan-tujuan yang dipelihara oleh syara' dalam
seluruh hukumnya atau sebagian besar hukumnya, atau tujuan akhir dari
syari'at dan rahasia-rahasia yang diletakkan oleh syara' pada setiap hukumnya.

Kajian teori maqashid al-syari'ah dalam hukum Islam adalah sangat


penting. Urgensi itu didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan sebagai
berikut. Pertama, hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari wahyu
Tuhan dan diperuntukkan bagi umat manusia. Oleh karena itu, ia akan selalu
berhadapan dengan perubahan sosial. Dalam posisi seperti itu, apakah hukum
1
Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islami. (Bandung :Al-
Ma’rif), 1993. Hal. 19

2
3

Islam yang sumber utamanya (Al-Qur'an dan sunnah) turun pada beberapa
abad yang lampau dapat beradaptasi dengan perubahan sosial. Jawaban
terhadap pertanyaan itu baru bisa diberikan setelah diadakan kajian terhadap
berbagai elemen hukum Islam, dan salah satu elemen yang terpenting adalah
teori maqashid al-syari'ah. Kedua, dilihat dari aspek historis, sesungguhnya
perhatian terhadap teori ini telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para
sahabat, dan generasi mujtahid sesudahnya. Ketiga, pengetahuan tentang
maqashid al-syari'ah merupakan kunci keberhasilan mujtahid dalam
ijtihadnya, karena di atas landasan tujuan hukum itulah setiap persoalan dalam
bermu'amalah antar sesama manusia dapat dikembalikan. Abdul Wahhab
Khallaf (1968:198), seorang pakar ushul fiqh, menyatakan bahwa nash-nash
syari'ah itu tidak dapat dipahami secara benar kecuali oleh seseorang yang
mengetahui maqashid al-syari'ah (tujuan hukum). Pendapat ini sejalan dengan
pandangan pakar fiqh lainnya, Wahbah al-Zuhaili, yang mengatakan bahwa
pengetahuan tentang maqashid al-syari'ah merupakan persoalan dharuri
(urgen) bagi mujtahid ketika akan memahami nash dan membuat istinbath
hukum, dan bagi orang lain dalam rangka mengetahui rahasia-rahasia syari'ah.

Memang, bila diteliti semua perintah dan larangan Allah dalam


AlQur'an, begitu pula suruhan dan larangan Nabi SAW dalam sunnah yang
terumuskan dalam fiqh, akan terlihat bahwa semuanya mempunyai tujuan
tertentu dan tidak ada yang sia-sia. Semuanya mempunyai hikmah yang
mendalam, yaitu sebagai rahmat bagi umat manusia, sebagaimana yang
ditegaskan dalam beberapa ayat Al-Qur'an, di antaranya dalam surat
AlAnbiya' :107, tentang tujuan Nabi Muhammad diutus :

"Dan tidaklah Kami mengutusmu, kecuali menjadi rahmat bagi


seluruh alam" (QS. Al-Anbiya':107) Rahmat untuk seluruh alam dalam
ayat di atas diartikan dengan kemaslahatan umat.

Sedangkan, secara sederhana maslahat itu dapat diartikan sebagai


sesuatu yang baik dan dapat diterima oleh akal yang sehat. Diterima akal
mengandung pengertian bahwa akal itu dapat mengetahui dan memahami
motif di balik penetapan suatu hukum, yaitu karena mengandung
kemaslahatan untuk manusia, baik dijelaskan sendiri alasannya oleh Allah
atau dengan jalan rasionalisasi. Suruhan Allah untuk berzikir dan shalat
dijelaskan sendiri oleh Allah, sebagaimana yang termaktub dalam ayat
berikut:

"Ketahuilah bahwa dengan berzikir itu hati akan tenteram".


(QS. Al-Ra'd:28) "Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan
keji dan munkar".( QS Al-'Ankabut:45)
4

Memang ada beberapa aturan hukum yang tidak dijelaskan secara


langsung oleh syari' (pembuat syari'at) dan akalpun sulit untuk membuat
rasionalisasinya, seperti penetapan waktu shalat zhuhur yang dimulai
setelah tergelincirnya matahari. Meskipun begitu tidaklah berarti
penetapan hukum tersebut tanpa tujuan, hanya saja barangkali
rasionalisasinya belum dapat dijangkau oleh akal manusia.

Kandungan maqashid al-syari'ah dapat diketahui dengan merujuk


ungkapan al-Syathibi , seorang tokoh pembaru ushul fiqh yang hidup pada
abad ke-8 Hijriah, dalam kitabnya Al-Muwafaqat fi Ushul al-Syari'ah. Di
situ beliau mengatakan bahwa sesungguhnya syari'at itu ditetapkan tidak
lain untuk kemaslahatan manusia di dunia dan di akhirat. Jadi, pada
dasarnya syari'at itu dibuat untuk mewujudkan kebahagiaan individu dan
jama'ah, memelihara aturan serta menyemarakkan dunia dengan segenap
sarana yang akan menyampaikannya kepada jenjang-jenjang
kesempurnaan, kebaikan, budaya, dan peradaban yang mulia, karena
dakwah Islam merupakan rahmat bagi semua manusia.

Dari pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa yang menjadi


bahasan utama dalam maqashid al-syari'ah adalah hikmah dan illat
ditetapkan suatu hukum. Dalam kajian ushul fiqh, hikmah berbeda dengan
illat. Illat adalah sifat tertentu yang jelas dan dapat diketahui secara
objektif (zahir), dan ada tolak ukurnya (mundhabit), dan sesuai dengan
ketentuan hukum (munasib) yang keberadaannya merupakan penentu
adanya hukum. Sedangkan hikmah adalah sesuatu yang menjadi tujuan
atau maksud disyariatkannya hukum dalam wujud kemaslahatan bagi
manusia. Maslahat secara umum dapat dicapai melalui dua cara:

1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk


manusia yang disebut dengan istilah jalb al-manafi'. Manfaat
ini bisa dirasakan secara langsung saat itu juga atau tidak
langsung pada waktu yang akan datang.
2. Menghindari atau mencegah kerusakan dan keburukan yang
sering diistilahkan dengan dar' al-mafasid.

Adapun yang dijadikan tolok ukur untuk menentukan baik buruknya


(manfaat dan mafsadahnya) sesuatu yang dilakukan adalah apa yang menjadi
kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia. Tuntutan kebutuhan bagi kehidupan
manusia itu bertingkat-tingkat, yakni kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
5

B. PESAN MAQASID AL-SYARI’AH DALAM NASS SYARA’

Pemahaman dasar maqashid asy syariah semakin penting mengingat


bahwa hukum itu selalu berkembang sesuai dengan perkembangan tempat,
zaman, dan keadaan. Bentuk hukum bisa berbeda pada tempat yang berbeda,
atau pada masa (waktu) yang berbeda. Seperti hukum perempuan yang keluar
dalam perjalanan (musafir) tanpa disertai muhrimnya dan perjalanan tersebut
bukanlah perjalanan dalam bermaksiat kepada Allah. Hal ini pada zaman
Rasulullah, sangat dilarang karena takut akan timbul fitnah dan keselamatan
perempuan tersebut. Namun seiring dengan berkembangnya tempat, zaman,
dan keadaan. Para perempuan bisa berjalan dengan sendiri dengan aman dan
nyaman tanpa ada merasa takut gangguan, maka hukum ini tentunya juga akan
berubah.2

Terlebih lagi pada masalah masalah atau kasus yang dalil untuk
menetapkan hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Dan
bentuk bentuk masalah dan kasus yang berkembang setelah zaman kenabian
tercatat sangat banyak pada area ekonomi, keuangan, dan bisnis syariat,
meliputi akad-akad perjanjian (kontrak), bentuk dan jenis bisnis, serta
instrumen instrumen keuangan yang berkembang biak saat ini. Khusus dalam
menghadapi persoalan-persoalan fiqih kontemporer, terlebih dahulu dikaji
secara teliti hakikat dari masalah tersebut. Penelitian terhadap suatu kasus
yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya dengan penelitian terhadap
sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya.

Dengan kata lain, kandungan nash harus diteliti secara cermat,


termasuk tujuan pensyari’atan hukum tersebut. Setelah itu baru dilakukan
kategorisasi masalah (tanqih al-manat), apakah ayat atau hadits tertentu layak
dijadikan dalil bagi kasus baru tersebut. Mungkin ada suatu kasus baru yang
hampir sama dengan kasus hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-
hadits. Jika ternyata tidak ditemukan kesamaan atau kemiripan antara
persoalan baru dengan kasus hukum yang ada pada kedua sumber hukum
tersebut, maka konsekuensinya persoalan baru tersebut tidak dapat disamakan
hukumnya dengan kasus hukum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan al-
Sunnah. Di sinilah letak urgen atau pentingya pengetahuan tentang maqashid
al-syari’ah (tujuan pensyari’atan hukum) dalam hukum Islam.

Ulama ushul mengatakan bahwa sejak zaman Rasulullah SAW, sudah


ada petunjuk yang mengacu peranan penting dari pada maqashid al-syari’ah
dalam pembentukan hukum Islam. Misalnya, dalam sebuah hadits , Rasulullah
2
Khalaf, Abdul Wahab, , Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy, (Bandung: Gema
Risalah Press), 1997. Hal. 89
6

SAW melarang orang-orang Islam di Madinah menyimpan daging qurban,


kecuali sekedar bekal untuk selama tiga hari. Beberapa tahun kemudian, ada
beberapa orang sahabat yang menyalahi ketentuan Rasulullah SAW itu dengan
menyimpan daging qurban lebih dari sekedar pembekalan selama tiga hari.
Peristiwa tersebut disampaikan Ulama ushul mengatakan bahwa sejak zaman
Rasulullah SAW, sudah ada petunjuk yang mengacu peranan penting dari
pada maqashid al-syari’ah dalam pembentukan hukum Islam. Misalnya, dalam
sebuah hadits , Rasulullah SAW melarang orang-orang Islam di Madinah
menyimpan daging qurban, kecuali sekedar bekal untuk selama tiga hari.
Beberapa tahun kemudian, ada beberapa orang sahabat yang menyalahi
ketentuan Rasulullah SAW itu dengan menyimpan daging qurban lebih dari
sekedar pembekalan selama tiga hari.

Peristiwa tersebut disampaikan kepada Rasulullah SAW. Tapi


Rasulullah SAW membenarkan serta menjelaskan bahwa : “dahulu aku
melarang kalian menyimpannya (daging qurban) karena kepentingan ad-
daffah (para pendatang dari perkampungan Badui yang datang ke Madinah
yang membutuhkan daging qurban). Sekarang simpanlah daging-daging
qurban itu (karena tidak ada lagi para tamu yang membutuhkannya).
Kemudian dalam hadits lain Rasulullah SAW melarang ziarah kubur karena
dikhawatirkan akan menjadi pemujaan yang berlebih-lebihan terhadap roh-roh
orang yang di kuburan, sehingga menimbulkan kesyirikan.3

Tapi kemudian, Rasulullah SAW membenarkan atau membolehkan


umat Islam untuk menziarahi kuburan. Dari peristiwa itu ada petunjuk dan arti
penting maqashid al-syari’ah dalam penetapan hukum. Seperti kasus daging
qurban di atas, larangan menyimpan daging qurban adalah memberi
kelapangan kepada Badui yang datang dari perkampungan. Ini adalah
maqashid al-syari’ah dari larangan menyimpan daging qurban. Akan tetapi
setelah orang badui tersebut tidak lagi membutuhkan, maka larangan
menyimpan dagingpun tidak diberlakukan lagi. Begitu juga dengan hadits
yang kedua tentang perempuan yang menziarahi kuburan dikarenakan takut
jatuh kedalam kesyirikan, akan tetapi ketika beberapa tahun kemudian di mana
keimanan mereka sudah bagus, maka Rasulullah SAW tidak melarangnya lagi.
Ini membuktikan bahwa maqashid al-Syari’ah telah ada pada zaman
Rasulullah SAW, akan tetapi hal tersebut belumlah diistilahkan dalam
kategori ilmu-ilmu (ushul fiqih). Begitu juga sebagai contoh kasus Utsman ibn
Affan yang menikahi Nailah, anak Farfisah Kalbiyah (bani Kalb) yang

3
Firdaus.Ushul Fiqh, metode mengkaji dan memahami hukum islam secara komprehensif,
(Jakarta: Zikrul Hakim), 2004. Hal. 76
7

beragama Nashrani, lalu perempuan tersebut masuk Islam sesudah menikah


dengannya.

Maka di sini jelas tujuan al-Syari’ah dibolehkan menikahi wanita


Nashrani adalah untuk ekspansi dakwah Islam, sebagaimana Utsman dapat
mengislamkan istrinya Nailah setelah menikah dengannya, di mana
sebelumnya memeluk agama Nashrani. Peranan maqashid al-syari’ah telah
ditunjukkan oleh Rasulullah SAW dan para Sahabatnya dalam berijtihad,
karena perobahan kondisi zaman, tempat dan keadaan yang jauh berbeda dari
zaman sebelumnya. Karena itu dalam berbagai praktek ijtihad yang dilakukan
oleh para sahabat, terutama di bidang muamalah selama diketahui tujuan
hukumnya, maka dengan itu dapat dilakukan pengembangan hukum melalui
metode qias dalam rangka menajawab persoalan baru yang belum ada pada
masa Rasulullah SAW.

Al-Ghazali mengajukan teori maqshid al-syari’ah dengan membatasi


pemeliharaan syari’ah pada lima unsur utama yaitu agama, jiwa, akal,
kehormatan, dan harta benda. Pernyataan yang hampir sama juga
dikemukakan oleh al-Syatibi dengan menyatakan bahwa mashlahah adalah
memelihara lima aspek utama, yaitu gama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Artinya, kelima unsur di atas dianggap suci, mulia dan dihormati yang musti
dilindungi dan dipertahankan. Maqashid alsyari’ah juga merupakan prinsip
umum syari’ah (kulliyat al-syari’ah) yang pasti. Ia bukan saja disarikan dari
elemen hukum-hukum syari’ah atau dari sebagian dalil-dalil dan isi
kandungan alQur’an dan al-Sunnah.

Kesimpulan yang seperti ini kelihatan dapat diterima secara


meyakinkan. Apakah ide tersebut diajukan pada abad kelima, di era asas-asas
syari’ah, terutama al-Sunnah telah tercatat dengan baik, sehingga hampir tidak
mungkin ada al-Sunnah yang tercecer. Jadi, meskipun sama sekali tidak
menutup kemungkinan adanya unsur tambahan terhadap kelimamaqashid di
atas, namun kelimanya sulit dikesampingkan sebagai elemen penting
maqashid al-syari’ah. Mashlahah sebagai tujuan syari’ah dalam bingkai
pengertian yang membatasinya, bukanlah dalil yang berdiri sendiri atas dalil-
dalil syara' sebagaimana al-Qur'an, al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan
demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i) dengan
berdasar kemashlahatan saja.

Tapi mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup


keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar
syariah. Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan
karena akal tidak mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-
8

masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua hal: pertama, kalau akal mampu
menangkap maqashid al-syari’ah secara parsial dalam tiap-tiap ketentuan
hukum, maka akal adalah penentu atau hakim sebelum datangnya syara'. Hal
ini mungkin menurut mayoritas ulama. Dan kedua,kalau anggapan bahwa akal
mampu menangkap maqashid alsyari’ah secara parsial dalam tiap-tiap
ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja, maka batallah keberadaan atsar
dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena kesamaran substansi
mashlahah bagi mayoritas akal manusia.

C. MASLAHAH: INTI MAQASID AL-SYARI’AH

Pengertian maslahat dalam Ensiklopedi Hukum Islam, secara bahasa


maslahat adalah bentuk masdar dari madli sholaha dan bentuk tunggal dari
jama‘ masholeh yang artinya sama dengan manfaat.5Oleh karena itu, segala
sesuatu yang mempunyai nilai manfaat bisa dikatakan maslahah.Sedangkan
pengertian maslahat secara istilah diantaranya menurut Imam al-Ghazali
bahwa maslahat adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam
rangka memelihara tujuan-tujuan syarak.Ia memandang bahwa suatu
kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan syarak, sekalipun bertentangan
dengan tujuan-tujuan manusia.

Tujuan syarak yang harus dipelihara tersebut adalah memelihara


agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.Jadi menurut al-Ghazali bahwa setiap
seseorang melakukan sesuatu perbuatan yang pada intinya bertujuan
memelihara kelima aspek tujuan syarak tersebut, maka perbuatannya
dinamakan maslahat. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa maslahat
adalah manfaat yang hendak di capai oleh manusia dalam segala aspek
kehidupan.Jadi, kalau kita cermati kedua definisi di atas maka maqashid
syari‘ah dengan maslahat merupakan sesuatu yang memiliki keterkaitan dan
hubungan yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lainnya.4

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang


umum dari menasyrikkan hukum menjadi tiga kelompok yaitu :

1. Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia dalam


penghidupan mereka. Urusan-urusan yang dharuri itu adalah segala
yang diperluka untuk hidup manusia, yang apabila tidak diperoleh
akan mengakibatkan rusaknya undang-undang kehidupan,
timbulnya kekacauan, dan berkembangnnya kerusakan. Urusan-

4
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1, ( Jakarta: Logos Wacana Ilmu), 1997. Hal. 181
9

urusan yang dharuri itu dikembalikan pada lima pokok yaitu


agama, jiwa, ‗aqal, keturunan dan harta.
2. Meneyempurnakan segala yang dihayati manusk ia. Urusan yang
dihayati manusia itu ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia
untuk memudahkan dan menanggung kerusakan-kerusakan taklif
dan beban-beban hidup. Apabila urusan itu tidak diperoleh , tidak
merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan kekacauan,
melainkan hanya tertimpa kesempitan dan keruasakan saja. Urusan
urusan yang dihayati dalam pengertian ini, melengkapi segala hal
yang menolak kepicikan, meringankan kerusakan taklif dan
memudahkan jalan-jalan bermuamalah.
3. Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat. Yang
dikehndaki dengan urusan –urusan yang mengindahkan ialah
segala yang diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan
keseragaman hidup. Apabila yang demikian ini tidak diperoleh ,
tidaklah cedera peraturan hidup dan tidak pula ditimbulkan
kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal kuat dan fitrah
sejatera.

Menurut Syathibi, Maqashid dapat dipilah menjadi dua bagian, yaitu


Maqshud asy-Syari‟dan Maqshud al-Mukallaf. Dalam pembahasan ini akan
difokuskan pada yang pertama (Maqshud asy-Syari‟), karena dalam bagian
tersebut terdapat teori pokok tentang Maqashid.Maqshud asy-Syari‟ terdiri
dari empat bagian, yaitu:

1. Qashdu asy-Syari‟ fi Wadh‟i asy-Syari‟ah (maksud Allah dalam


menetapkan syariat).
2. Qashdu asy-Syari‟ fi Wadh‟i asy-Syari‟ah lil Ifham (maksud Allah
dalam menetapkan syari‘ahnya ini adalah agar dapat dipahami).
3. Qashdu asy-Syari‟ fi Wadh‟i asy-Syari‟ah li al-Taklif bi
Muqtadhaha (maksud Allah dalam menetapkan syari‘ah agar dapat
dilaksanakan).
4. Qashdu asy-Syari‟ fi Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam asy-
Syari‟ah (maksud Allah mengapa individu harus menjalankan
syari‘ah).

Dalam pandangan Syathibi, Allah menurunkan syariat (aturan hukum)


bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan dan menghindari kemadaratan
(jalbul mashalih wa dar‟ul mafasid), baik di dunia maupun di akhirat. Aturan-
aturan dalam syari‘ah tidaklah dibuat untuk syari‘ah itu sendiri, melainkan
dibuat untuk tujuan kemaslahatan.8Sejalan dengan hal tersebut, Muhammad
10

Abu Zahrah juga menyatakan bahwa tujuan hakiki Islam adalah


kemaslahatan.Tidak ada satu aturan pun dalam syari‘ah baik dalam al-Qur‘an
dan Sunnah melainkan di dalamnya terdapat kemaslahatan. Dengan demikian
dapat dipahami bahwa serangkaian aturan yang telah digariskan oleh Allah
dalam syari‘ah adalah untuk membawa manusia dalam kondisi yang baik dan
menghindarkannya dari segala hal yang membuatnya dalam kondisi yang
buruk, tidak saja di kehidupan dunia namun juga di akhirat. Kata kunci yang
kerap disebut kemudian oleh para sarjana muslim adalah maslahah yang
artinya adalah kebaikan, di mana barometernya adalah syari‘ah.Adapun
kriteria maslahah, (dawabith al-maslahah) terdiri dari dua bagian:

1. Maslahat itu bersifat mutlak, artinya bukan relatif atau subyektif yang
akan membuatnya tunduk pada hawa nafsu.
2. Maslahat itu bersifat universal (kulliyah) dan universalitas ini tidak
bertentangan dengan sebagian (juz`iyyat)-nya.

Terkait dengan hal tersebut, maka Syathibi kemudian melanjutkan


bahwa agar manusia dapat memperoleh kemaslahatan dan mencegah
kemadharatan maka ia harus menjalankan syari‘ah, atau dalam istilah yang ia
kemukakan adalah Qashdu asy-Syari‟ fi Dukhul al-Mukallaf tahta Ahkam
asy-Syari‟ah (maksud Allah mengapa individu harus menjalankan syari‘ah).
Jika individu telah melaksanakan syari‘ah maka ia akan terbebas dari ikatan-
ikatan nafsu dan menjadi hamba yang—dalam istilah Syathibi—ikhtiyaran
dan bukan idhtiraran.

Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari‘at adalah untuk


mewujudkan kemaslahatan manusia. Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali
bahwa kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur tujuan syarak
dapat diwujudkan dan dipelihara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam usaha untuk mewujudkan dan memelihara lima unsur pokok tersebut,
maka alSyatibi membagi kepada tiga tingkat maqashid atau tujuan syari‘ah,
yaitu:

1. Maqashid al-Daruriyat, dimaksudkan untuk memelihara lima unsur


pokok dalam kehidupan manusia. Al-Daruriya (tujuan-tujuan primer)
ini didefinisikan oleh Yudian Wahyudi.14sebagai tujuan yang harus
ada, yang ketiadaannya akan berakibat akan menghancurkan
kehidupan secara total yang menurut versi yang paling populer adalah
melindungi agama, jiwa, akal, harta dan keturunan. Misalnya, untuk
menyelamatkan jiwa, Islam mewajibkan umat manusia untuk makan
tetapi secara tidak berlebihan. Untuk menyelamatkan harta, Islam
11

mensyari‘atkan misalnya hukum-hukum muamalah sekaligus melarang


langkah-langkah yang merusaknya seperti pencurian dan perampokan.
2. Maqashid al-Hajiyat, dimaksudkan untuk menghilangkan kesulitan
atau menjadikan pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi
lebih baik lagi. Al-Hajiyat (tujuan-tujuan sekunder) ini didefinisikan
oleh Yudian WahyudI. sebagai sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia
untuk mempermudah mencapai kepentingan-kepentingan yang
termasuk kedalam katagori dharuriyat, sebaliknya menyingkirkan
faktor-faktor yang mempersulit usaha perwujudan dharuriyat. Karena
fungsinya yang mendukung dan melengkapi tujuan primer, maka
kehadiran sekunder ini dibutuhkan tapi bukan niscaya. Artinya, jika
hal-hal hajiyat tidak ada maka kehidupan manusia tidak akan hancur,
tetapi akan terjadi berbagai kekurang sempurnaan, bahkan kesulitan.
Misalnya, untuk menyelamatkan jiwa sebagai tujuan sekunder melalui
makan dibutuhkan peralatan makan seperti kompor. Memang tanpa
kompor manusia tidak akan mati karena ia masih bisa menyantap
makanan yang tidak di masak, tetapi kehadiran kompor dapat
melengkapi jenis menu yang dapat dihidangkan. Terjadi berbagai
kemudahan dengan hadirnya kompor. Untuk melindungi harta sebagai
tujuan primer maka dibutuhkan peralatan seperti senjata api, memang
orang dapat saja melindungi hartanya dengan golok, pisau atau sumpit,
tetapi senjata api lebih membantu.
3. Maqashid al-Tahsiniyat, dimaksudkan agar manusia dapat melakukan
yang terbaik untuk penyempurnaan pemeliharaan lima unsur pokok.
Al-Tahsiniyat (tujuan-tujuan tertier) ini didefinisikan oleh Yudian
Wahyudi.16sebagai sesuatu yang kehadirannya bukan niscaya maupun
dibutuhkan, tetapi akan bersifat akan memperindah poses perwujudan
kepentingan dharuriyat dan hajiyat. Sebaliknya, ketidakhadirannya
tidak akan menghancurkan maupun mempersulit kehidupan, tetapi
mengurangi rasa keindahan dan etika. Di sini pilihan pribadi sangat
dihormati -jadi bersifat ralatif dan lokal- sejauh tidak bertentangan
dengan ketentuan nash. Misalnya, kompor yang dibutuhkan dalam
dalam rangka mewujudkan tujuan primer yakni menyelamatkan jiwa
melalui makan itu bersumbu delapan belas, kompor gas, kompor listrik
atau kompor sinar surya diserahkan kepada rasa estetika dan
kemampuan lokal. Senjata api yang dibutuhkan dalam rangka
merealisir tujuan primer yakni melindungi harta melalui senjata api, itu
berlaras panjang atau pendek, buatan Indonesia atau Amerika,
berwarna hitam atau putih, dan seterusnya, diserahkan kepada pilihan
dan kemampuan lokal.
12

Dari ketiga tingkat tujuan syari‘ah tersebut, maka menurut Asafri Jaya
Bakrimenunjukkan bahwa betapa pentingnya pemeliharaan lima unsur pokok
itu dalam kehidupan manusia. Selain itu, juga mengacu kepada pengembangan
dan dinamika pemahaman hukum yang diciptakan oleh Tuhan dalam rangka
mewujudkan kemaslahatan. Dengan demikian, menurut hemat penulis
perkembangan ekonomi dan bisnis yang berbasis syari‘ah dewasa ini tentu
akan memunculkan masalah-masalah baru di tengah-tengah masyarakat.
Sehingga perlu adanya kajian mendalam dan penyelesaian dalam aspek
hukumnya yang relevan dengan mengedepankan maqashid syari‘ah (maslahat)
itu sendiri. Selanjutnya maslahah secara hirarki terbagi menjadi tiga yaitu:

1. Maslahat Dharuriyyat adalah sesuatu yang harus ada/dilaksanakan


untuk mewujudkan kemaslahatan yang terkait dengan dimensi duniawi
dan ukhrawi. Apabila hal ini tidak ada, maka akan menimbulkan
kerusakan bahkan hilangnya hidup dan kehidupan seperti makan,
minum, shalat, puasa, dan ibadah-ibadah lainnya. Dalam hal
mu‘amalat, Syathibi mencontohkan harus adanya `iwadh tertentu
dalam transaksi perpindahan kepemilikan, jual-beli misalnya. Ada lima
tujuan dalam maslahah dharuriyyat ini, yaitu untuk menjaga agama
(hifdzud-din), menjaga jiwa (hifdzun-nafs), menjaga keturunan
(hifdzun-nasl), menjaga harta (hifdzulmaal), dan menjaga akal
(hifdzul-„aql).
2. Maslahah Hajjiyyat adalah sesuatu yang sebaiknya ada sehingga dalam
melaksanakannya leluasa dan terhindar dari kesulitan. Kalau sesuatu
ini tidak ada, maka ia tidak akan menimbulkan kerusakan atau
kematian namun demikian akan berimplikasi adanya masyaqqah dan
kesempitan. Contoh yang diberikan oleh Syathibi dalam hal mu‘amalat
pada bagian ini adalah dimunculkannya beberapa transaksi bisnis
dalam fiqh mu‘amalat, antara lain qiradh, musaqah, dan salam.
3. Maslahah Tahsiniyyat adalah sesuatu yang tidak mencapai taraf dua
kategori di atas. Hal-hal yang masuk dalam kategori tahsiniyyat jika
dilakukan akan mendatangkan kesempurnaan dalam suatu aktivitas
yang dilakukan, dan bila ditinggalkan maka tidak akan menimbulkan
kesulitan. Ilustrasi yang digunakan Syathibi dalam bidang mu‘amalat
untuk hal ini adalah dilarangnya jual-beli barang najis dan efisiensi
dalam penggunaan air dan rumput.

Dalam rangka pemahaman dan dinamika hukum Islam tersebut, maka


menurut Asafri Jaya Bakriberdasarkan pemahaman beliau terhadap pemikiran
al-Syatibi dalam al-Muwafaqat, bertolak dari batasan bahwa al-Maqashid
adalah kemaslahatan, maka dapat dikatakan bahwa ia juga membagi maqashid
13

atau tujuan hukum itu kepada dua orientasi kandungan. Pertama almasalih al-
Dunyawiyyah (tujuan kemaslahatan dunia). Kedua al-masalih alUkhrawiyyah
(tujuan kemaslahatan akhirat).

D. KUALIFIKASI MASLAHAH DAN KATEGORISASI MASLAHAH

Dalam konteks kajian ilmu ushul al-fiqh, kata tersebut menjadi sebuah
istilah teknis, yang berarti " berbagai manfaat yang dimaksudkan Syari' dalam
penetapan hukum bagi hamba-hamba- Nya, yang mencakup tujuan untuk
memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan, serta mencegah
hal-hal yang dapat mengakibatkan luputnya seseorang dari kelima
kepentingan tersebut.5

Maslahah merupakan salah satu metode analisa yang dipakai oleh


ulama ushul dalam menetapkan hukum (istinbat) yang persoalannya tidak
diatur secara eksplisit dalam al-Qur'an dan al-Hadis Hanya saja metode ini
lebih menekankan pada aspek maslahat secara langsung Maslahah mursalah
dalam pengertiannya dapat dimaknai dengan sesuatu yang mutlak Menurut
istilah para ahli ilmu ushul fiqhi ialah suatu kemaslahatan, di mana syari'ah
tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu dan tidak
ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan dan penolakannya.

Maslahah mursalah biasa ditemukan dengan melalui metode islislah,


dan ini menjpakan dasar (sumber) hukum Islam Menurut istilah para fuqaha,
islislah adalah hukum (yang ditetapkan) karena tuntutan maslahat yang tidak
didukung maupun diabaikan oleh dalil khusus, tetapi sesuai dengan maqashid
al-Syari'ah al-Ammali (tujuan umum hukum Islam). Istislah merupakan jalan
yang ditempuh hukum Islam untuk menerapkan kaidah-kaidah dan perintah-
perintahnya terhadap berbagai peristiwa baru yang tidak ada nashnya. juga
menjadi jalan dalam menetapkan aturan yang harus ada dalam kehidupan umat
manusia, agar sesuai dengan maqashid al-Syari 'ah al-Ammah, dalam rangka
menarik kemaslahatan, menolak kemafsadatan dan menegakkan kehidupan
sempurna mungkin.

Maslahah mursalah adalah pengertian maslahat secara umum, yaitu


yang dapat menarik manfaat dan menolak mudarat, serta yang direalisasikan
oleh syari at Islam dalam bentuk umum. Nash-nash pokok ajaran Islam telah
menetapkan kewajiban memelihara kemaslahatan dan memperhatikannya
5
Al-Zuhaili, Wahbah, Ushulal-Fiqh al-
Islami, Cet. Ke. 2,(Beirut: Draal-Fikr), 2001.
Hal. 90
14

ketika mengatur berbagai aspek kehidupan. Pembuat syara' (Allah swt dan
Rasul-Nya) tidak menentukan bentuk-bentuk dan macam-macam maslahat,
sehingga maslahat seperti ini disebut dengan mursalah, yaitu mutlak tidak
terbatas Apabila sebuah maslahat didukung oleh nash, seperti menuliskan al-
Qur'an supaya tidak hilang, mengajar membaca dan menulis, atau terdapat
nash yang mendukungnya, seperti kewajiban mengajarkan dan menyebarkan
ilmu, perintah mengajarkan segala kebaikan yang diperintahkan syara' dan
larangan mengerjakan segala macam kemungkaran yang dilarang syara', maka
maslahah semacam ini disebut maslahah mansus (maslahah yang ada
nashnya), maslahah jenis ini tidak termasuk maslahah mursalah Hukum
maslahah mansus ditetapkan oleh nash bukan oleh metode istislah.

Berikut ini penulis akan memapaparkan masing-masing pembagian


kategori tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Maslahah berdasarkan segi perubahan maslahat Menurut Mustafa asy-


Syalabi (guni besar usul fiqh Universitas al-Azhar, Cairo), terdapat dua
bentuk maslahat berdasarkan segi perubahan maslahat Pertama, al-
maslahah as-sabitah.yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak
berubah sampai akhir zaman Misalnya, berbagai kewajiban ibadah
seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. Kedua, al-maslahah al-
mutagayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan
perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum Kemaslahatan seperti ini
berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adat kebiasaan, seperti
dalam masalah makanan yang berbeda-beda antara satu daerah dan
daerah lainnya Perlunya pembagian ini, menurut Mustafa asy-Syalabi
dimaksudkan untuk memberikan batasan kemaslahatan yang bisa
berubah dan yang tidak berubah.
2. Maslahah berdasarkan keberadaan maslahah menurut syara'. Maslahat
semacam ini menurut Mustafa asy-Syalabi membaginya kepada tiga
macam yaitu :
a. al-maslahah al-mu tabarah,
b. al-maslahah al-mulgah.
c. al-maslahah al-mursalah.
 AI-Maslahah al-Mu tabarah Al-maslahah al-mu tabarah
adalah kemaslahatan yang mendapat dukungan oleh syara'.
 Al-Maslahah al-Mulgah. Al-maslahah al-mulgah adalah
kemaslahatan yang ditolak oleh syara' karena bertentangan
dengan ketentuan syara'.
 Al-Maslahah al-Mursalah. Al-maslahah al-mursalah adalah
kemaslahatan yang didukung oleh sekumpulan makna nash
15

(ayat atau hadis), bukan oleh nash yang rinci Kemaslahatan


yang keberadaannya tidak didukung syara' dan tidak pula
dibatalkan (ditolak) syara' melalui dalil yang rinci
Kemaslahatan dalam bentuk ini terbagi dua . yaitu
kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari
syara', baik secara rinci maupun secara umum.
3. Maslahah berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan.
Para ahli usul fikih mengemukakan beberapa pembagian maslahat
Berdasarkan segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, mereka
membaginya dalam tiga bentuk sebagai berikut:
a. Al-Maslahah ai-Dharuriyyah
b. Al-Maslahah al-Hajiyyah
c. AI-Maslahah al- Tahsiniyyah
 Al-Maslahah al-Dharuriyyah yaitu kemaslahatan yang
berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di
dunia dan di akhirat Dengan kata lain Al-Maslahah al-
Dharuriyyah (kebutuhan primer) adalah kebutuhan
mendasar yang menyangkut mewujudkan dan melindungi
eksistensi lima pokok yaitu : memelihara agama,
memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan,
dan memelihara harta Menurut para ahli usul fikih, kelima
kemaslahatan ini disebut al-masalih al- khamsah. Apabila
kemaslahatan ini hilang, maka kehidupan manusia akan
bisa hancur karenanya, dan tidak akan selamat baik di dunia
maupun di akhirat Menurut al-Syathibiy, dari kelima hal ini
adalah agama dan dunia dapat berjalan seimbang dan
apabila dipelihara akan dapat memberi kebahagiaan bagi
masyarakat dan pribadi.
 Al-Maslahah al-Hajiyyah yaitu kemaslahatan yang
dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok
atau mendasar sebelumnya yang berbentuk keringanan
untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan dasar
manusia Dengan kata lain, kebutuhan al- Hajiyyah
( kebutuhan sekunder), adalah suatu yang dibutuhkan bagi
kehidupan manusia, akan tetapi tidak mencapai tingkat
dharury Seandainya kebutuhan ini tidak terpenuhi dalam
kehidupan manusia, tidak akan meniadakan atau merusak
kehidupanitu sendiri, namun keberadaannya dibutuhkan
untuk memberi kemudahan dalam kehidupannya.
16

 Al-Maslahah al-Tahsiniyyah yaitu kemaslahatan yang


sifatnya pelengkap berupa keleluasan yang dapat
melengkapi keemaslahatan sebelumnya Dengan kata lain
adalah sesuatu kebutuhan hidup yang sifatnya
komplementer dan lebih menyempurnakan kesejahteraan
hidup manusia.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
1. Maslahah merupakan salah satu metode analisa yang dipakai oleh ulama
ushul dalam menetapkan hukum (istinbat) yang persoalannya tidak diatur
secara eksplisit dalam al-Qur'an dan al-Hadis Hanya saja metode ini lebih
menekankan pada aspek maslahat secara langsung Maslahah mursalah
dalam pengertiannya dapat dimaknai dengan sesuatu yang mutlak Menurut
istilah para ahli ilmu ushul fiqhi ialah suatu kemaslahatan, di mana syari'ah
tidak mensyariatkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu dan
tidak ada dalil yang menunjukkan atas pengakuan dan
penolakannya .Maqashid al-syari'ah berarti kandungan nilai yang menjadi
tujuan pensyariatan hukum. Maka dengan demikian, maqashid al-syari'ah
adalah tujuan-tujuan yang hendak dicapai dari suatu penetapan hukum .
Izzuddin ibn Abd al-Salam.
2. Terlebih lagi pada masalah masalah atau kasus yang dalil untuk
menetapkan hukumnya tidak ditemukan dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dan bentuk bentuk masalah dan kasus yang berkembang setelah zaman
kenabian tercatat sangat banyak pada area ekonomi, keuangan, dan bisnis
syariat, meliputi akad-akad perjanjian (kontrak), bentuk dan jenis bisnis,
serta instrumen instrumen keuangan yang berkembang biak saat ini.
Khusus dalam menghadapi persoalan-persoalan fiqih kontemporer,
terlebih dahulu dikaji secara teliti hakikat dari masalah tersebut. Penelitian
terhadap suatu kasus yang akan ditetapkan hukumnya sama pentingnya
dengan penelitian terhadap sumber hukum yang akan dijadikan dalilnya.
3. Hakikat atau tujuan awal pemberlakuan syari‘at adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia. Sebagaimana dikatakan oleh al-Ghazali bahwa
kemaslahatan itu dapat diwujudkan apabila lima unsur tujuan syarak dapat
diwujudkan dan dipelihara yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
4. Dalam konteks kajian ilmu ushul al-fiqh, kata tersebut menjadi sebuah
istilah teknis, yang berarti " berbagai manfaat yang dimaksudkan Syari'
dalam penetapan hukum bagi hamba-hamba- Nya, yang mencakup tujuan
untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta kekayaan, serta
mencegah hal-hal yang dapat mengakibatkan luputnya seseorang dari
kelima kepentingan tersebut.

17
18

B. SARAN

Dengan adanya makalah ini semoga baik pnulis ataupun pembaca dapat
memahami aapa saja model dalam pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaili, Wahbah, Ushulal-Fiqh al-Islami, Cet. Ke. 2,Beirut: Draal-Fikr, 2001

Firdaus.Ushul Fiqh (metode mengkaji dan memahami hukum islam secara


komprehensif, Jakarta: Zikrul Hakim,2004

Khalaf, Abdul Wahab, , Ilmu ushulul Fiqh, Terj. Prof. Drs. KH. Masdar Helmy,
Bandung: Gema Risalah Press, 1997

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh  Jilid 1,  Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997

Yahya, Mukhtar.,dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum


Islami.Bandung :Al-Ma’rif, 1993

19
20

Foto saat diskusi


21

Pertanyaan saat diskusi

1. Triyah Rahayu
Bagaimana peran maqasyid syariah dalam pengembangan
system ekonomi islam ?
Jawaban :
Maqashid syari'ah menduduki posisi yang sangat penting dalam
merumuskan ekonomi syari'ah, menciptakan produk-produk
perbankan dan keuangan syari'ah.Pengetahuan maqashid
syariah menjadi syarat utama dalam berijtihad untuk menjawab
berbagai problematika kehidupan ekonomi dan keuangan yang
terus berkembang
22

Berdasarkan penelitian seoran periset asal Belanda bernama


Christien Mendrstma meneliti produk apasaja yang di hasilkan dari babi.
Sekitar 185 jeni produk ynag dihasilkan dari babi mulai dari tulang,
rambut, kulit, daging, darah, organ tubuh, dan lainnya. Digunakan untuk
berbagai kepentingan konsumsi tanpa dosis. Diataranya
1. Fatty acid (lemak tulang babi) digunakan untuk membuat
 Sabun mandi
 Shampoo
 Kondisioner
 Krim anti keriput
 Body lotion
 Pasta gigi
 Pelembut pakaian
 Deterjen bubuk
2. Kolagen babi di buat untuk
 Menyembuhkan jerawat serta dapat di suntikkan untuk
mengencangkan kulit wajah
3. Protein dari rambut babi di guanakan untuk
 Sebagai pelembut adonan roti
 Low fat butter
4. Gelatin dari babi digunakan untuk
 Ice cream
 Fruit juice
 Yougurt
 Cream cheese
 Whipped cream
 Permen
 Permen karet
 Cheesecake
 Chocolate mouse
 Tiramisu
 Pudding
 Cangkang kapsul
5. Gelatin sintesis sudah di produksi, untuk interior babi
digunakan untuk
 Tekstur dan kulit cat
 Amplas menggunakan tulang babi
6. Rambut babi digunakan untuk
 Kuas
23

7. Ada beberapa perusahaan rokok yang memberikan kandungan


hemoglobin dari babi dalam filter rokok yang di klaim sebagai
paru-paru buatan untuk memfilter bahan kimia dari rokok.
8. Usus babi digunakan untuk
 Menghentikan pembentukan gumpalan darah
9. Pancreas babi
 Insulin
10. Katup jantung implant untuk manusia berasal dari katup
jantung babi dan lapisan kantong kemih babi digunakan untuk
meregenerasi sel manusia.

Kita sebagai muslim harus lebih hati-hati menanggapi hal


ini, karena semakin banyak produk yang mengandung babi,
sedangkan babi sangat di haramkan dalam islam dan telah tercantum
dalm surah Al-Maidah. Untuk itu dalam kehidupan sehari-hari kita
harus lebih memilih apa-apa saja yang akan kita pakai dan makanan
atau barang-barang yang akan kita gunakan.
24

JIKA ORANG NON MUSLIM BERTANYA, KEPADAMU :

"APA BUKTINYA BAHWA "AL-QUR'AN" ITU MEMANG


DARI ALLAH SWT. PENCIPTA JAGAD RAYA INI DAN
BUKAN SEKEDAR KARANGAN MUHAMMAD SAW..."

Maka, dengan tersenyum Ramah Jawablah...!!!

Insya ALLAH, saya akan Jawab, secara Ilmiah...

Semoga Anda pun memikirkan Jawaban saya ini, dengan Pikiran yang
Jernih tanpa dipengaruhi Subyektivitas dan Fanatisme
Kelompok...

Bukti Pertama :

Dari Analisa Sejarawan, terbukti bahwa memang Muhammad SAW.


Ummi : Buta-Huruf dan tidak pernah Sekolah, karena memang
pada Masa itu Belum ada Sekolah...

Masyarakat Arab belum mengenal ILMU, seperti :

Ilmu Politik, Ekonomi, Matematika, Sosiologi, Kenegaraan, Ilmu


Etika dll.

Mungkinkah Orang yang Buta-Huruf dan Tidak Mengenal ILMU,


bisa bicara : Masalah Hukum, Tata-Negara, Sistem Ekonomi,
Etika dll. yang semua Pembicaraan tsb. ada didalam "AL-
QUR'AN" ?
25

Tentu saja Jawabannya : "Tidak-Mungkin..."

Artinya, bahwa : "AL-QUR'AN" bukan Karangan : Muhammad SAW.

Tidak mungkin menurut Akal-Sehat Orang Buta-Huruf yang tidak


mengenal ILMU sama sekali bisa bicara Hukum, Kenegaraan,
Undang-Undang Kemasyarakatan, Akhlaq, Sosiologi dan
Ratusan Kalimat-kalimat Bijak Secara Spontan dengan Bahasa
yang memukau para Ahli Bahasa Arab...

Bukti Ke-2 :

"AL-QUR'AN," banyak bicara tentang Sejarah, Sejak Zaman ADAM


AS. hingga ISA AS. Padahal Muhammad SAW, tidak pernah
dapat Informasi tentang Sejarah Hidup mereka...

Cerita tentang Musa AS. dan ISA AS. sangat lengkap. Bahkan
Seorang Pendeta sangat ber-Syukur, ternyata didalam "AL-
QUR'AN" ada Pembelaan terhadap Kesucian Bunda MARIA
yang oleh Orang Yahudi dituduh telah ber-Zina sehingga
melahirkan ISA A.S. Dari mana Muhammad SAW. dapat Cerita
Seluruh Kisah Para Nabi tsb. padahal di Mekah dan Madinah
hampir2 tidak ada Orang Kristen...

Jelas Akal-Sehat kita akan menolak jika dikatakan "AL-QUR'AN,"


karangan : Muhammad SAW.
26

Begitu juga Cerita tentang Musa AS. sangat lengkap, padahal Orang
Yahudi tidak ada yang mengajarkan TAURAT, kepada Nabi
yang tinggal di Mekah. Bahkan di Mekah hampir-hampir tidak
ada Orang Yahudi...

Bukti Ke-3 :

Dulu ada Seorang Pelaut Eropa. Kebetulan diatas Kapalnya ada "AL-
QUR'AN" terjemah.

Sekedar mengisi kekosongan selama dalam Pelayaran, beliau iseng


membaca-baca "AL-QUR'AN," terjemah tsb. Beliau sangat
terpesona dengan pembicaraan "AL-QUR'AN" tentang Lautan,
Badai dan Sterpeson yang terkait. Bahasanya pun sangat Dalam
dan Puitis.

Ketika beliau berlabuh di India dia bertanya-tanya kepada Muslim


disana tentang Muhammad SAW, dari Muslim India tsb. dia
memperoleh Keterangan bahwa Muhammad SAW, Hidup
ditengah Gurun-Pasir dan tidak pernah melihat Lautan...

Maka dia sangat yakin, bahwa Mustahil "AL-QUR'AN," karangan :


Muhammad SAW, yang bisa dengan sangat Indah Melukiskan
Lautan, padahal Beliau tidak pernah melihat Laut. Sehingga ia
pun segera memutuskan masuk Islam.

Bukti Ke-4 :

Didalam Surah Al Furqan Ayat 53, ALLAH SWT, berfirman :


27

"Dan Dialah (ALLAH) yang membiarkan 2(dua) Laut yang mengalir


berdampingan yang satu Tawar dan Segar, yang lainnya Asin
dan Pahit. Dan Dia jadikan diantara keduanya dinding dan batas
yang tidak tembus.

Haha... dari mana Muhammad SAW, Lelaki Gurun Pasir itu tahu,
padahal Beliau tidak mengerti sedikit pun tentang Lautan dan
bahkan dua Laut yang beda Rasa dan Warna itu pada Masa
Hidup Beliau, belum ditemukan Orang..."

Jadi sekali lagi, tidak mungkin "AL-QUR'AN" tsb. Karangan :


Muhammad SAW.

Bukti Ke-5 :

Pada masa Muhammad SAW.y hidup, ada dua Negara Imperium yaitu
Imperium Romawi dan Persia.

Dua Imperium ini sering berperang. Ketika dimasa Hidup Beliau,


Persia berhasil mengalahkan Romawi. Hal ini membuat
Masyarakat Musyrik, Mekah menjadi gembira karena Orang
Persia juga Penyembah Berhala. Sebaliknya Orang Islam
bersedih karena Romawi menganut Agama Nasrani yang seakar
dengan Islam. Kemudian turun Ayat menghibur Orang Islam,
Surah Ar Rum- Ayat 2, 3 & 4, menjelas bahwa beberapa
tahun lagi akan kembali terjadi Peperangan dan Peperangan tsb
akan dimenangkan oleh Romawi sehingga Umat Islam yang
Pro Romawi pun menjadi gembira.

Ayat ini pun ditertawai oleh Kaum Musyrik Qurais dianggap sebagai
Bualan, Muhammad saja karena waktu itu Romawi terlihat
sudah sangat lemah...
28

Maka Abu Bakar menantang Orang Musyrik untuk bertaruh dengan


taruhan Belasan Ekor Unta. Tantangan diterima oleh Musyrik
Qurais dan tujuh Tahun kemudian apa yang diramalkan "AL-
QUR'AN" pun terjadi :

Romawi kembali Perang dengan Persia dan Peperangan dimenangkan


Orang Romawi.

Jika "AL-QUR'AN" bukan dari ALLAH SWT. dan hanya sekedar


karangan : Muhammad SAW. tentu saja Beliau tidak akan bisa
meramal sesuatu yang akan terjadi dimasa depan...

Bukti Ke-6 :

Seluruh Ahli Bahasa dan Ahli Syair dari kalangan Musyrik Qurais
mengakui secara Jujur bahwa Kalimat- kalimat "AL-QUR'AN"
sangat tinggi kandungannya, sangat Indah susunan kata-katanya
dan sangat memukau. Tidak ada sebelumnya kalimat-kalimat
Cerita, Nasehat dan kalimat Berita yang ditulis, Manusia yang
sebagus "AL-QUR'AN" sampai sampai Orang Qurais pun
menjuluki Muhammad SAW, sebagai Tukang Sihir, yang kata-
katanya bisa memukau semua Orang. Dan bukti yang lebih
mencengangkan lagi dari Jutaan Kitab yang pernah ada di
Dunia ini hanya "AL-QUR'AN" lah satu satunya Kitab yang
bisa dihapal secara Pas, kata demi kata oleh Jutaan Orang.
Bahkan Orang yang tidak mengerti Bahasa-Arab, seperti
Ribuan Anak-Anak Indonesia mampu menghapal "AL-
QUR'AN" yang lebih dari 600 Halaman...

Adapun Pastur dan Pendeta, tidak akan mampu menghapal INJIL


(Bibel) kata demi kata secara Pas, walau hanya 100 Halaman...?
29

Hal ini menunjukkan bahwa ALLAH SWT. sebagai yang menurunkan


"AL-QUR'AN." telah mengatur sedemikian rupa sehingga
memudahkan bagi semua Orang untuk menghapalnya.

Bukti Ke-7 :

Dalam Surah Yunus ayat 92, diceritakan, bahwa : Jasad FIR'AUN


musuhnya MUSA AS. akan diselamatkan ALLAH SWT.

Padahal Peristiwa Sejarah MUSA AS. dan FIR'AUN tsb terjadi 1.200
Tahun sebelum Masehi.

Pada awal Abad ke-19 Tahun 1896, seorang Ahli Purbakala : "Loret,"
menemukan dilembah Raja-Raja Luxor Mesir satu Mumi yang
dari Data-data Sejarah terbukti bahwa ia adalah, FIR'AUN yang
bernama : MANIPLAH...

Pada tanggal 8 Juli 1908 Elliot Smith, mendapat Izin untuk membuka
Pembalut Fir'aun & ternyata Jasadnya masih Utuh seperti yang
diberitakan "AL-QUR'AN."

Nah, mungkinkah Muhammad SAW. yang buta huruf tsb bisa


mengetahui hal tsb. padahal didalam TAURAT dan INJIL pun
tidak ada diceritakan ?

Tidak dapat tidak, Akal Sehat yang Jujur akan berkata, bahwa "AL-
QUR-AN" bukan karangan : Muhammad SAW.
30

Bukti Ke-8 :

Dalam "AL-QUR'AN," Surat Yunus 10 : 15, ALLAH SWT.


menjelaskan, bahwa Cahaya Matahari bersumber dari dirinya
sendiri, sedangkan Cahaya Bulan adalah Pantulan.

Dari mana Muhammad SAW. bisa tahu, padahal dia Buta-Huruf dan
Ilmu Alam Zaman itupun belum sampai kesitu, bahkan belum
ada Kajian Keilmuan...

Bukti Ke-9 :

"AL-QUR'AN" turun secara acak. Kadang kala turun karena ada suatu
Peristiwa atau Pertanyaan, Sahabat maupun Orang Kafir. Jadi
tidak ada upaya penyusunan kalimat. Kebanyakan Ayat turun
secara Spontan dan disampaikan Muhammad SAW. secara
Lisan.

Namun yang terjadi sangat mencengangkan. Banyak terdapat


Keharmonisan yang diluar Nalar Manusia.

Dari hasil studi bertahun-tahun Syeikh Abdul Razzak Naufal


menemukan Hal-hal yang menakjubkan yang kemudian ia
paparkan dalam Kitab yang ia tulis : "MUKJIJAT AL-QUR-AN
AL KARIEM."

Satu :

Terdapat keseimbangan kata dengan lawan katanya :


31

Alhaya' ( hidup ) dan Al-Maut ( mati ) disebut sama sama 145 kali.

Annaf ( manfaat ) dan Mudorat disebut dalam jumlah yang sama 50


kali.

Panas dan Dingin 4 kali

Kebaikan dan Keburukan : 167 kali.

Kufur dan Iman, dalam bentuk kata Indifinite masing-masing 17


kali ... dll

Dua :

Kata hari dalam bentuk tunggal berjumlah 365 ( jumlah 1 Tahun )

Kata hari dalam bentuk Jamak berjumlah 30 kali penyebutan (Angka


satu Bulan)

Kata yang berarti Bulan hanya disebut 12 kali, menunjukkan jumlah


Setahun. Dll...

Apakah semua ini kebetulan ?

Mudah mudahan dengan keterangan sedehana ini bisa meningkatkan


Kualitas Iman kita dari Haqqul Yaqin menjadi Ainul Yaqin :
Keyakinan yang sudah terbukti dan tidak bisa dibantah..
32

Dan dengan Anda membagikan ilmu yang sangat penting ini untuk
diketahui banyak orang, Anda pun terhitung telah melakukan
Amal-Jariah yang sangat penting dalam urusan Syiar Islam.

Barakallah li wa lakum

Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

Anda mungkin juga menyukai