Anda di halaman 1dari 25

ARTI FIQH DAN USHUL FIQH

Dosen Pengampu : Muhammad Faishal Hamdani, M.H

Disusun Oleh :

NAMA : 1. Desi Amelia (0603202054)


2. Dinda Almunawaroh (0603202092)
3. Jaya Reza Pranata (0603202048)
4. Wan Tiara (0603202061)
KELAS : IKOM 2
MATA KULIAH : Fiqh/Ushul Fiqh

FAKULTAS ILMU SOSIAL


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Alhamdulillah. Puji syukur kehadirat Allah SWT senantiasa kita ucapkan. Atas
karunia-Nya berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya penulis bisa
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa shawalat serta salam tercurahkan bagi
Baginda Agung Rasulullah SAW yang syafaatnya akan kita nantikan kelak.

Dengan pertolongan-Nya, kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Arti


Fiqh/ ushul Fiqh” . Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu. Kami mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu mata
kuliah ini yang telah memberikan ilmu dan arahan pada tugas makalah ini.

Dengan kerendahan hati, kami memohon maaf apabila ada kesalahan penulisan.
Kritik yang terbuka dan membangun sangat kami nantikan demi kesempurnaan
makalah. Demikian kata pengantar ini kami sampaikan. Terima kasih atas semua
pihak yang membantu penyusunan dan membaca makalah ini.

Wassalamualaikum wr.wb

Medan, 03 Juni 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... 2


DAFTAR ISI...................................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 4


A. Latar Belakang ........................................................................................................ 4
B. Rumusan Masalah.................................................................................................... 5
C. Tujuan ...................................................................................................................... 5

BAB II PEMBAHASAN................................................................................................... 6
A. Apa Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh ...................................................................... 6
B. Bagaimana Ruang Lingkup Fiqh dan Ushul Fiqh ................................................... 8
C. Bagaimana Sejarah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh ....................................... 9
D. Bagaimana Kegunaan Fiqh dan Ushul Fiqh ........................................................... 18
E. Bagaimana Komponen Hukum Syar’i..................................................................... 18

BAB III PENUTUP .......................................................................................................... 23


A. Kesimpulan ........................................................................................................ 23

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 25

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu Fiqh yang bersumber dari kitab suci Al-Quran dan Hadist Nabi,
ternyata mampu bertahan dan terus mengetahui kehidupan muslim, baik individu
maupun kelompok. Ushul fiqh juga merupakan suatu ilmu yang berisikan tentang
kaidah yang menjelaskan cara-cara mengistinbatkan hukum dari dalil-dalilnya.
Bahasan tentang kaidah-kaidah kebahasaan ini penting mengingat kedua hukum
Islam, yaitu Al-Qur’an dan sunnah berbahasa arab, untuk membimbing mujtahid
dalam memahami al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan dalam menetapkan
hukum tentu perlu mengetahui tentang lafal dan ungkapan yang terdapat pada
keduanya.

Fiqh telah lahir sejak periode sahabat, yaitu sesudah Nabi saw wafat, sejak
saat itu sudah digunakan para sahabat dalam melahirkan fiqh, meskipun ilmu
tersebut belum dinamakan ushul fiqh. Perkembangan terakhir dalam penyusunan
buku Ushul Fiqh lebih banyak menggabungkan kedua sistem yang dipakai dalam
menyusun ushul fiqh, yaitu aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah.

Keadaan seperti ini terus berlangsung dan akan terus pula diberikan
jawabannya oleh ilmu fiqh terhadap problem yang muncul sebagai akibat dari
perubahan sosial yang disebabkan oleh perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam
kehidupan umat islam, perkembangan lembaga tidak hanya terjadi sebagai
aplikasi ajaran islam, tetapi juga timbul hanya sebagai interaksi umat islam
dengan kebudayaan lain. Karena didalam kehidupan bersama diperlukan pranata
yang dapat memelihara ketertiban dan ketentraman, termasuk pranata hukumnya.

4
Dalam sebuah penetapan sebuah hukum yang akan diberlakukan secara
umum, perlu diketahui dan juga menjadi sangan urgent untuk dapat memahami
apa saja unsur-unsur yang harus ada dalam penentuan tersebut. sebut saja salah
satunya adalah hukum itu sendiri, pada umumnya setiap orang pasti mengetahui
adanya hukum. Akan tetapi tidak menjamin mereka memahami apa makna
sesungguhnya dari hukum tersebut.
Selain itu masih banyak sekali komponen-komponen yang harus ada
dalam penentuan sebuah hukum, khususnya hukum syara’ diantaranya adalah
hukum, al-hakim, mahkum fiihi dan mahkum alaihi, serta apa saja dalil-dalil yang
dapat dipergunakan.
Oleh karena itu diharapkan dengan adanya makalah ini dapat membantu
untuk dapat memahami komponen-komponen hukum syara’ beserta dalil-dalilnya
secara lebih ringkas.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh?
2. Bagaimana Ruang Lingkup Fiqh dan Ushul Fiqh?
3. Bagaimana Sejarah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh?
4. Bagaimana Kegunaan Fiqh dan Ushul Fiqh?
5. Bagaimana Komponen Hukum Syar’i?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Pengertian Fiqh dan Ushul Fiqh
2. Untuk Mengetahui Ruang Lingkup Fiqh dan Ushul Fiqh
3. Untuk Mengetahui Sejarah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh
4. Untuk Mengetahui Kegunaan Fiqh dan Ushul Fiqh
5. Untuk Mengetahui Komponen Fiqh dan Ushul Fiqh

5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian fiqh dan usul fiqh


a. Pengertian Fiqh
Pengertian fiqh atau ilmu fiqh sangat berkaitan dengan syariah,
karena fiqh itu pada hakikatnya adalah jabaran praktis dari syariah 1 .
Fiqh secara etimologi berarti pemahaman yang mendalam dan
membutuhkan pengerahan potensi akal2 . Sedangkan secara terminologi
fiqh merupakan bagian dari syari’ah Islamiyah, yaitu pengetahuan
tentang hukum syari’ah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan
manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil
dari dalil yang terinci. Sedangkan menurut Prof. Dr. H. Amir
Syarifuddin mengatakan fiqh adalah ilmu tentang hukum-hukum syar’I
yang bersifat amaliah yang digali dan ditemukan dengan dalil-dalil
yang tafsili.
Penggunaan kata “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan
bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’I, yaitu
sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Kata “amaliah” yang
terdapat dalam definisi diatas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya
menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriah. Dengan
demikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah
keimanan atau “aqidah” tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam
uraian ini. penggunaan kata “digali dan ditemukan” mengandung arti
bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisisan, dan
penentuan ketetapan tentang hukum. Fiqh itu adalah hasil penemuan
mujtahid dalam hal yang tdak dijelaskan oleh nash.
Dari penjelasan diatas dapat kita tarik benang merah, bahwa fiqh
dan syariah memiliki hubungan yang erat. Semua tindakan manusia di
dunia dalam mencapai kehidupan yang baik itu harus tunduk kepada

1 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 1


2 Prof. Dr. Rachmat Syafe’I, MA. Ilmu ushul fiqh. Hal. 18

6
kehendak Allah dan Rasulullah. Kehendak Allah dan Rasul itu
sebagian terdapat secara tertulis dalam kitab-Nya yang
disebut syari’ah. Untuk mengetahui semua kehendak-Nya tentang
amaliah manusia itu, harus ada pemahaman yang mendalam tentang
syari’ah, sehingga amaliah syari’ah dapat diterapkan dalam kondisi
dan situasi apapun dan bagaimanapun. Hasilnya itu dituangkan dalam
ketentuan yang terinci. Ketentuan yang terinci tentang amaliah
manusia mukalaf yang diramu dan diformulasikan sebagai hasil
pemahaman terhadap syari’ah itu disebut fiqh. 3

b. Pengertian Usul Fiqh


Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ashal” secara
etimologi berarti “sesuatu yang dasar bagi yang lainnya”. Dengan
demikian dapat diartikan bahwa ushul fiqh itu adalahilmu yang
membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dlilnya yang
terinci. Atau dalam artian sederhana : kaidah-kaidah yang menjelaskan
cara-cara mengeluarkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya.4 Sebagai
contoh didalam kitab-kitab fiqh terdapat ungkapan bahwa
“mengerjakan salat itu hukumnya wajib”. Wajibnya mengerjakan salat
itulah yang disebut “hukum syara’.” Tidak pernah tersebut dalam Al-
Qur;an maupun hadis bahwa salat itu hukumnya wajib. Yang ada
hanyalah redaksi perintah mengerjakan salat. Ayat Al-Qur’an yang
mengandung perintah salat itulah yang dinamakan “Dalil syara’”.
Dalam merumuskan kewajiban salat yang terdapat dalam d alil syara’
ada aturan yang harus menjadi pegangan. Kaidah dalam
menentukannya, umpamanya “setiap perintah itu menunjukkan wajib”.
Pengetahuan tentang kaidah merumuskan cara mengeluarkan hukum
dari dalil-dalil syara’ tersebut, itulah yang disebut dengan ‘Ilmu Ushul
Fiqh”. Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa perbedaan ushul
fiqh dan fiqh adalah, jika ushul fiqh itu pedoman yang membatasi dan

3 Prof. Dr. H. Amir Syarifuddin, ushul fiqh. Hal. 5


4 Ibid. hal. 41

7
menjelaskan cara-cara yang harus diikuti seorang fakih dalam
usahanya menggali dan mengeluarkan hukum syara’ dari dalilnya.
Sedangkan fiqh itu hukum-hukum syara’ yang telah digali dan
dirumuskan dari dalil menurut aturan yang sudah ditentukan itu. 5

B. Ruang Lingkup Fiqh Dan Usul Fiqh


a. Ruang Lingkup Fiqh
Ruang lingkup ilmu Fiqh, meliputi berbagai bidang di dalam
hukum-hukum syara’, antara lain :
• Ruang lingkup Ibadat, ialah cara-cara menjalankan tata cara
peribadatan kepada Allah SWT.
• Ruang lingkup Mu’amalat, ialah tata tertib hukum dan peraturan
hubungan antar manusia sesamanya.
• Ruang lingkup Munakahat, ialah hukum-hukum kekeluargaan dalam
hukum nikah dan akibat-akibat hukumnya.
• Ruang lingkup Jinayat, ialah tindak pelanggaran atau penyimpangan
dari aturan hukum Islam sebagai tindak pidana kejahatan yang dapat
menimbulkan bahaya bagi pribadi, keluarga, masyarakat, dan Negara.

b. Ruang Lingkup Usul Fiqh


Berdasarkan kepada beberapa definisi di atas, terutama definisi
yang dikemukakan oleh al Baidhawi dalam kitab Nihayah al-Sul, yang
menjadi ruang lingkup kajian (maudhu’). Ushul fiqh, secara global
adalah sebagai berikut:6
• Sumber dan dalil hukum dengan berbagai permasalahannya.
• Bagaimana memanfaatkan sumber dan dalil hukum tersebut.
• Metode atau cara penggalian hukum dari sumber dan dalilnya.
• Syarat – syarat orang yang berwenang melakukan istinbat
(mujtahid ) dengan berbagai permasalahannya.

5 Ibid.. Hal. 42
6 Ade Dedi rohayana, ilmu Ushul fiqih (pekalongan: STAIN Press, 2006) hal.10

8
Menurut Al-Ghazali dalam kitab al-Mustashfa ( tanpa tahun, 1 :
8 ) ruang lingkup kajian Ushul fiqh ada 4, yaitu:7
• Hukum-hukum syara’, karena hukum syara’ adalah tsamarah (buah
/ hasil ) yang dicari oleh ushul fiqh.
• Dalil-dalil hukum syara’, seperti al-kitab, sunnah dan ijma’, karena
semuanya ini adalah mutsmir (pohon).
• Sisi penunjukkan dalil-dalil (wujuh dalalah al-adillah), karena ini
adalah thariq al-istitsmar (jalan / proses pembuahan). Penunjukkan
dalil-dalil ini ada 4, yaitu dalalah bil manthuq (tersurat), dalalah bil
mafhum (tersirat), dalalah bil dharurat (kemadharatan), dan dalalah
bil ma’na al-ma’qul (makna rasional).
• Mustamtsir (yang membuahkan) yaitu mujtahid yang menetapkan
hukum berdasarkan dugaan kuatnya (zhan). Lawan mujtahid
adalah muqallid yang wajib mengikuti mujtahid, sehingga harus
menyebutkan syarat-syarat muqallid dan mujtahid serta sifat-sifat
keduanya.

C. Sejarah Perkembangan Fiqh Dan Usul Fiqh


a. Sejarah Fiqh
Para ahli membagi sejarah perkembangan ilmu fiqih kepada
beberapa periode yaitu :
1. Periode pertumbuhan
Periode ini berlangsung selama 20 tahun beberapa bulan
yang dibagi kepada 2 masa: 8
Pertama, ketika nabi masih ada di mekkah melakukan
dakwah perorangan secara sembunyi-sembunyi dengan memberi
penekanan kepada aspek tauhid. Kemudian diikuti dengan dakwah

7 Ibid,hal.11
8 Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 14

9
terbuka. Masa itu berlangsung kurang lebih 13 tahun dan sedikit
ayat ayat hukum yang di turunkan.
Kedua, sejak nabi hijrah ke Madinah (16 juli 622m). pada
masa ini terbentuklah Negara islam yang dengan sendirinya
memerlukan seperangkat aturan hukum untuk mengatur system
masyarakat islam madinah. Sejak masa ini berangsur angsur ayat
yang berisi hukum turun, baik karena suatu peristiwa
kemasyarakatan ataupun adanya pertanyaan pertanyaan yang
diajukan oleh masyarakat, atau wahyu yang di turunkan tanpa
sebab. Pada masa ini fiqih lebih bersifat praktis dan realis, artinya
kaum muslimin mencari hukum dari peristiwa yang betul betul
terjadi.

2. Periode sahabat
Periode ini bermula dari tahun 11 H (sejak nabi wafat)
sampai abad pertama hijriyah (kurang lebih 101 H)
Pada periode ini kaum muslimin telah memiliki rujukan
hukum syariat yang sempurna berupa Al Quran dan Hadist rasul.
Tetapi tidak semua orang memahami materi atau kaidah hukum
yang terdapat pada kedua sumber tersebut.
Karena : 9
• Karena tidak semua orang mempunyai kemampuan yang sama
maupun karena masa atau pergaulan mereka yang tidak begitu
dekat dengan nabi.
• Karena belum tersebar luasnya materi atau teori teori hukum di
kalangan kaum muslimin akibat perluasan daerah.
• Banyaknya peristiwa baru yang belum pernah terjadi pada
masa Rasulullah saw yang ketentuan hukum nya tidak di
temukan dalam nash syariat.
Oleh sebab inilah sumber hukum pada masa sahabat ini
bertambah dengan ijtihad sahabat untuk menentukan hukum suatu

9 Ibid. hal. 15

10
peristiwa yang tidak ada ketentuan hukumnya dalam Al Quran dan
Hadist.
Dalam melakukan ijtihad terdapat perbedaan perbedaan
pendapat di kalangan sahabat karena : 10
• Kebanyakan ayat Al Quran dan Hadist bersifat zhanny dari
sudut pengertiannya.
• Belum termodofikasinya hadis nabi yang dapat dipedomani
secara utuh dan menyeluruh.
• Lingkungan dan kondisi daerah yang dialami, persoalan yang
di alami dan di hadapi sahabat itu berbeda beda.

3. Periode Kesempurnaan
Perode ini disebut juga sebagai periode pembinaan dan
pembukuan hukum islam. Pada masa ini fiqih islam mengalami
kemajuan yang pesat sekali. Penulisan dan pembukuan hukum
islam dilakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadist-
hadist nabi, fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al Quran,
kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan ilmu ushul
fiqih.
Di antara faktor yang menyebabkan pesatnya gerakan
ijtihad pada masa ini adalah karena meluasnya daerah kekuasaaan
islam, mulai dari perbatasan Tiongkok di sebelah timur sampai ke
Andalusia(spanyol) sebelah barat.
Kondisi ini yang menyebabkan lahirnya pemikir-pemikir
besar dengan berbagai karya besarnya11 , seperti Imam Abu
Hanifiah dengan salah seorang muridnya yang terkenal Abu
Yusuf(Penyusun kitab ilmu ushul fiqh yang pertama), Imam Malik
dengan kitab al-Muwatha’, Imam Syafi’i dengan kitabnya al-Umm
atau al-Risalat, Imam Ahmad dengan kitabnya Musnad, dan
beberapa nama lainnya beserta karya tulis dan murid -muridnya
masing-masing.

10 Ibid. hal. 16
11 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.6

11
Diantara faktor lain yang sangat menentukan pesatnya
perkembangan ilmu fiqh khususnya atau ilmu pengetahuan
umumnya, pada periode ini adalah sebagai berikut: 12
• Adanya perhatian pemerintah (khalifah) yang besar tehadap
ilmu fiqh khususnya.
• Adanya kebebasan berpendapat dan berkembangnya diskusi-
diskusi ilmiah diantara para ulama.
• Telah terkodifikasinya referensi-referensi utama, seperti Al-
Qur’an (pada masa khalifah rasyidin), hadist (pada masa
Khalifah Umar Ibn Abdul Aziz), Tafsir dan Ilmu tafsir pada
abad pertama hijriah, yang dirintis Ibnu Abbas (wafat 68H) dan
muridnya Mujahid(wafat 104H) dan kitab-kitab lainnya.

4. Periode Kemunduran
Pada periode ini, pemerintah Bani Abbasiyah akibat berbagai
konflik politik dan berbagai faktor sosiologis lainnya dalam
keadaan lemah. Banyak daerah melepaskan diri dari kekuasaanya.
Pada umumnya ulama pada masa itu sudah lemah kemauannya
untuk mencapai tingkat mujtahid mutlak sebagaimana dilakukan
oleh para pendahulu mereka pada periode kejayaan. Periode
Negara yang berada dalam konflik, tegang dan lain sebagainya itu
ternyata sangat berpengaruh kepada kegairahan ulama yang
mengakji ajaran Islam langsung dari sumber aslinya Al-Qur’an dan
hadist. Mereka puas hanya dengan mengikuti pendapat-pendapat
yang telah ada, dan meningkatkan diri kepada pendapat tersebut ke
dalam mazhab-mahzhab fiqhiyah. Sikap seperti inilah kemudian
mengantarakan umat islam terperangkap kedalam pkikiran yang
jumud dan statis.13

12 Prof..Dr.H. Aliddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal 18


13 Ibid. hal. 21

12
Beberapa faktor yang mendorong lahirnya sikap taklid dan
kemuduran adalah : 14
• Efek samping dari pembukuan fiqih pada masa sebelumnya
Dengan adanya kitab-kitab fiqih yang di tulis oleh
ulama-ulama sebelumya, baik itu persoalan yang benar-benar
telah terjadi atau yang diprediksikan akan terjadi memudahkan
umat islam pada masa ini untuk merujuk semua persoalan
hukumnya kepada kitab-kitab yang ada itu. Ketergantungan
seperti ini mematikan kreativitas, menumbuhkan sifat malas
dan hanya mencari yang mudah-mudah.
• Fanatisme mahab yang sempit
Setiap golongan pada masa ini sibuk mencari dalil
untuk menguatkan mazhabnya saja, berupaya menangkis setiap
serangan yang datang dari pihak lain dan berupaya membahas
serangan tersebut dengan kelemahan tersendiri. Akibatnya ,
mereka tenggelam dalam suasana chauvinisme yang tinggi,
jauh dari sikap rasionalits ilmiah dn berpaling dari sumber
hukum islam yang sebenarnya yaitu Al Quran dan Hiadist.
• Pengangkatan hakim-hakim muqallid
Pada masa ini para penguasa mengangkat para hakim
dari orang-orang yang bertaklid, bukan para ulama mujtahid
seperti yang diangkat oleh penguasa-penguasa terdahulu.
Sehingga kehidupan taklid pada masa ini semakin subur.

5. Periode Kebangkitan kembali


Pada periode ini umat islam menyadari kemunduran dan
kelemahan mereka sudah berlangsung semakin lama itu. Ahli
sejarah mencatat bahwa kesadaran itu terutama sekali muncul
ketika Napoleon Bonaparte menduduki Mesir pada tahun 1789 M.
Kejatuhan mesir ini menginsafkan umat Islam betapa lemahnya
mereka dan betapa di Dunia Barat telah timbul peradaban baru

14 Ibid. hal. 23

13
yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi Dunia Islam. Para
raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir bagaimana
meningkatakan mutu dan kekuatan umat islam kembali. Dari
sinilah kemudian muncul gagasan dan gerakan pembaharuan dalam
islam, baik dibidang pendidikan, ekonomi, militer, sosial, dan
gerakan intelektual lainnya.
Gerakan pembaharuan ini cukup berpengaruh pula terhadap
perkembangan fiqih. Banyak di antara pembaharuan itu juga adalah
ulama-ulama yang berperan dalam perkembangan fiqih itu sendiri.
Mereka berseru agar umat islam meninggalkan taklid dan kembali
kepada Al-Qur’an dan hadist-mengikuti jejak para ulamadi masa
sahabat dan tabi’in terdahulu. Mereka inilah disebut golongan salaf
seperti Muhammad Abdul Wahab di Saudi Arabia, Muhammad Al-
Sanusi di Libya dan Maroko, Jamal Al-Din Al-Afghani,
Muhammad Abduh, Muhammad asyid Rida, dimesir, dan lain
sebagainya.15

b. Sejarah Usul Fiqh


Secara garis besar perkembangan Ushul Fiqh melalui 3 periode
yaitu:
1. Zaman Rasulullah
Di zaman Rasulullah SAW sumber hukum Islam hanya
dua, yaitu Al-Quran dan Assunnah. Apabila suatu kasus terjadi,
Nabi SAW menunggu turunnya wahyu yang menjelaskan hukum
kasus tersebut. Apabila wahyu tidak turun, maka Rauslullah SAW
menetapkan hukum kasus tersebut melalui sabdanya, yang
kemudian dikenal dengan hadits atau sunnah.
Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh
permasalahan fiqih (hukum Islam) dikembalikan kepada Rasul.
Pada masa ini dapat dikatakan bahwa sumber fiqih adalah wahyu
Allah SWT. Namun demikian juga terdapat usaha dari beberapa

15 Ibid. hal. 24

14
sahabat yang menggunakan pendapatnya dalam menentukan
keputusan hukum. Hal ini didasarkan pada Hadis muadz bin Jabbal
sewaktu beliau diutus oleh Rasul .16 Sebelum berangkat, Nabi
bertanya kepada Muadz:

ِ ْ‫ضي فَقَا َل أَق‬


‫ضي بِ َما‬ َ ‫َّللا عَلَيْ ِه َوسَلَّمَ بَ َعثَ ُم َعاذًا إِلَى الْيَ َم ِن فَقَا َل َكي‬
ِ ْ‫ْف تَق‬ ُ َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ‫أَ َّن َرسُو َل‬
َ ‫َّللا‬
‫َّللا عَلَيْ ِه َوسَلَّمَ قَا َل فَإِ ْن‬
ُ َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ِ‫َّللا قَا َل فَإِ ْن لَ ْم يَ ُك ْن فِي كِ تَاب‬
ِ َّ ‫َّللا قَا َل فَبِسُنَّ ِة َرسُو ِل‬
َ ‫َّللا‬ ِ َّ ِ‫فِي كِ تَاب‬
ِ َّ ِ ُ‫َّللا عَلَيْ ِه َوسَلَّمَ َقا َل أَجْ ت َِهدُ َرأْيِي َقا َل الْ َح ْمد‬
َ‫َلِل الَّذِي َوفَّق‬ ُ َّ ‫صلَّى‬ ِ َّ ‫لَ ْم يَ ُك ْن فِي سُ َّن ِة َرسُو ِل‬
َ ‫َّللا‬
‫َّللا عَلَيْ ِه َوسَلَّم‬
ُ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللا‬
ِ َّ ‫َرسُو َل َرسُو ِل‬

“Sesungguhnya Rasulullah Saw mengutus Mu’adz ke


Yaman. Kemudian Nabi bertanya kepada Muadz bin Jabbal:
Bagaimana engkau akan memutuskan persoalan?, ia menjawab:
akan saya putuskan berdasarkan Kitab Allah (al-Quran), Nabi
bertanya: kalau tidak engkau temukan di dalam Kitabullah?, ia
jawab: akan saya putuskan berdasarkan Sunnah Rasul SAW, Nabi
bertanya lagi: kalau tidak engkau temukan di dalam Sunnah
Rasul?, ia menjawab: saya akan berijtihad dengan penalaranku,
maka Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah memberi
Taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW”. (HR. Tirmizi).

Ushul Fiqih secara teori telah digunakan oleh beberapa


sahabat, walaupun pada saat itu Ushul Fiqih masih belum menjadi
nama keilmuan tertentu. Salah satu teori Ushul Fiqih adalah, jika
terdapat permasalahan yang membutuhkan kepastian hukum, maka
pertama adalah mencari jawaban keputusannya di dalam al-Quran,
kemudian Hadis. Jika dari kedua sumber hukum Islam tersebut
tidak ditemukan maka dapat berijtihad. 17

Dorongan untuk melakukan ijtihad itu tersirat juga dalam


hadits Nabi yang menjelaskan tentang pahala yang diperoleh

16 Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh, hal.29


17 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal.11

15
seseorang yang melakukan ijtihad sebagai upaya yang sungguh-
sungguh dalam mencurahkan pemikiran baik hasil usahanya benar
atau salah.

Dalam beberapa kasus, Rasulullah SAW juga menggunakan


qiyas ketika menjawab pertanyaan para sahabat. Misalnya ketika
menjawab pertanyaan Umar Ibn Khatab tentang batal atau tidaknya
puasa seseorang yang mencium istrinya.18 Rasulullah SAW
bersabda :

“Apabila kamu berkumur-kumur dalam keadaan puasa,


apakah puasamu batal?” Umar menjawab:”Tidak apa-apa” (tidak
batal). Rasulullah kemudian bersabda “maka teruskan
puasamu.”(HR al-Bukhari, muslim, dan Abu Dawud).

Hadits ini mengidentifikasikan kepada kita bahwa


Rasulullah SAW jelas telah menggunakan qiyas dalam menetapkan
hukumnya, yaitu dengan mengqiyaskan tidak batalnya seseorang
yang sedang berpuasa karena mencium istrinya sebagaimana tidak
batalnya puasa karena berkumur-kumur.19

2. Zaman sahabat
Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar
dalam pembentukan hukum islam adalah para sahabat nabi.
Periode ini dimulai pada tahun 11 H sampai pertengahan abad 50
H. Meninggalnya Rasulullah memunculkan tantangan bagi para
sahabat. Munculnya kasus-kasus baru menuntut sahabat untuk
memecahkan hukum dengan kemampuan mereka atau dengan
fasilitas khalifah. Sebagian sahabat sudah dikenal memiliki
kelebihan di bidang hukum, di antaranya Ali bin Abi Thalib, Umar
bin Khattab, Abdullah Ibnu Mas’ud, Abdullah Ibn Abbas, dan
Abdullah bin Umar. Karir mereka berfatwa sebagian telah dimulai

18 Ibid. hal.11
19 Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih. Hal 330

16
pada masa Rasulullah sendiri. Pada era sahabat ini digunakan
beberapa cara baru untuk pemecahan hukum, di antaranya ijma
sahabat dan maslahat mursalah.20
Pertama, khalifah (khulafa’ rasyidun) biasa melakukan
musyawarah untuk mencari kesepakatan bersama tentang persoalan
hukum. Musyawarah tersebut diikuti oleh para sahabat yang ahli
dalam bidang hukum. Keputusan musywarah tersebut biasanya
diikuti oleh para sahabat yang lain sehingga memunculkan
kesepakatan sahabat. Itulah momentum lahirnya ijma’ sahabat,
yang dikemudian hari diakui oleh sebagian ulama, khususnya oleh
Imam Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya sebagai ijma yang
paling bisa diterima.
Kedua, sahabat mempergunakan pertimbangan akal (ra’yu),
yang berupa qiyas dan maslahah. Penggunaan ra’yu (nalar) untuk
mencari pemecahan hukum dengan qiyas dilakukan untuk
menjawab kasus-kasus baru yang belum muncul pada masa
Rasulullah. Qiyas dilakukan dengan mencarikan kasus-kasus baru
contoh pemecahan hukum yang sama dan kemudian hukumnya
disamakan.

3. Zaman tabi’in
Pada masa ini juga semakin banyak terjadi perbedaan dan
perdebatan antara para ulama mengenai hasil ijtihad, dalil dan
jalan-jalan yang ditempuhnya. Perbedaan dan perdebatan tersebut,
bukan saja antara ulama satu daerah dengan daerah yang lain,
tetapi juga antara para ulama yang sama-sama tinggal dalam satu
daerah.Kenyataan-kenyataan di atas mendorong para ulama untuk
menyusun kaidah-kaidah syari’ah yakni kaidah-kaidah yang
bertalian dengan tujuan dan dasar-dasar syara’ dalam menetapkan
hukum dalam berijtihad.21

20 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih, hal 110
21 Prof.Dr.H. Alaiddin Koto,Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh. hal.32

17
D. Kegunaan Fiqh Dan Usul Fiqh
Kegunaan utama ushul fiqh adalah untuk mengetahui kaidah-
kaidah yang bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya
untuk diterapkan pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehinggan dapat
diistinbathkan hukum syara’ yang di tunjukkannya. Dengan ushul fiqh
dapat dapat dicarikan jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan
bertentangan satu sama lain.
Sementara kegunaan utama fiqh untuk dapat menerapkan hukum
syara’ terhadap segala perbuatan dan perkataaan mukallaf. Fiqh hukum
syara’ terhadap segala perbuatan dan perkataaan mukallaf. Fiqh
merupakan rujukan bagi hakim dalam menetapakan putusannya dan
menjadi pedoman bagi mufti dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan fiqh
menjadi petunjuk berharaga bagi setiap mukallaf dalam menetapkan
hukum perkataan dan perbuatannya sehari-hari.

E. Komponen Hukum Syar’i


Hukmu syara’ adalah seperangkat peraturan berdasarkan ketentuan
Allah tentang tingkah laku manusia yang diakui dan diyakini berlaku serta
mengikat untuk semua umat yang beragama Islam.

1. Al-Hakim
Hakim adalah Pembuat hukmu (syar’i). dalam pengertian Islam
adalah Allah SWT. Dia menciptakan manusia di atas bumi ini dan Dia
pula yang menetapkan aturan-aturan bagi kehidupan manusia, baik dalam
hubungannya dengan kepentingan hidup di dunia maupun untuk
kepentingan hidup di akhirat; baik aturan yang menyangkut hubungan
manusia dengan Allah, maupun hubungan manusia dengan sesamanya dan
alam sekitarnya.

Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa pembuat hukmu (syar’i)


satu-satunya bagi umat Islam adalah Allah. Sebagaimana ditegaskan
firman Allah dalam surat al-An’am: 57

18
Artinya : “Katakanlah: "Sesungguhnya aku berada di atas hujjah
yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. tidak
ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan
kedatangannya. menetapkan hukmu itu hanyalah hak Allah. Dia
menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling
baik". (QS. Al-An’am : 57).

2. Al-Hukmu
Definisi Hukmu menurut ahli usul fiqh adalah Khithab (doktrin)
Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan,
pilihan atau penetapan. Sedangkan menurut ahli fiqih (Fuqaha) adalah
suatu karakter (sifat) yang merupakan iplikasi dari khithab tersebut.22
Dalam pengertian hukmu, terdapat perbedaan terminologi, para
ahli ushul fiqh menjadikan hukmu sebagai ilmu tentang khithab al-Syari’,
yang menuntut mukallaf untuk berbuat atau menyuruh memilih antara
berbuat atau tidak, atau khithab itu menjadi sebab, syarat atau penghalang
atas suatu perbuatannya.
Adapun menurut ahli fiqh, hukmu itu adalah suatu implikasi dari
khithab, seperti halnya kewajiban melaksanakan shalat, keharaman
melakukan perzinahan. Kemakruhan jual beli pada waktu adzan
berkumandang, pembolehan berburu setelah melakukan ihram.Perbedaan
dalam terminologi ini tidak memiliki implikasi praktis.
Dari definisi tersebut, jelas bahwa hukmu terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: Hukmu Taklifi dan Hukmu Wadl’i.
a. Hukmu Taklifi : hukmu yang berupa titah Allah yang
mengandung beban bagi orang mukallaf, baik beban itu berupa
tuntutan untuk mengerjakannya, meninggalkannya atau
memilih mengerjakannya atau tidak mengerjakannya.23
Hukmu taklifi disini menurut jumhur ulama’ dibagi menjadi
lima bagian:

22 Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm,. 33.
23 Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Cet-1 (Surabaya: eL-Kaf, 2006), hlm,. 25.

19
• Al-Iijab (Wajib)
• An-Nadab (Sunnah)
• At-Tahrim (Haram)
• Al-Karohah (Makruh)
• Al-Ibahah (Mubah)
b. Hukmu Wadl’i : hukmu tuhan yang berhubungan dengan
sesuatu yang menjadi alamat/tanda-tanda yang menentukan ada
atau tidak adanya hukmu taklifi, atau dengan kata lain sesuatu
yang mengakibatkan ada tidaknya hukmu taklifi.
Hukmu taklifi disini meliputi:24
• Sabab : adalah suatu sifat/keadaan yang karena adanya
menjadi sebab timbulnya hukmu taklifi.
• Syarat : adalah sesuatu yang harus ada untuk
terjadinya/adanya hukmu taklifi, jika syarat itu tidak
ada maka hukmu taklifi menjadi tidak ada.
• Mani’ : adalah sesuatu yang menjadi penghalang
adanya hukmu taklifi.
3. Al-Mahkum
Yang dimaksud dengan mahkum adalah perbuatan yang dihukumi.
Dalam hal ini mahkum tersebut adalah segala perbuatan yang dilakukan
oleh seorang mukallaf. Jadi perbuatan yang dilakukan oleh orang yang
tidak mukallaf tidak dikenai hukum, misalnya perbuatan anak kecil, orang
gila ataupun orang yang sama sekali tidak mengerti peraturan syari’at.25
Adapun syarat-syarat untuk suatu perbuatan sebagai objek hukum
menurut para ahli Ushul Fiqh adalah sebagai berikut:
• Perbuatan itu sah dan jelas adanya : tidak mungkin
memberatkan seseorang melakukan sesuatu yang tidak
mungkin dilakukan seperti mengecat langit.

24 Ibid, hlm,. 33.


25 Ibid. hlm. 36.

20
• Perbuatan itu tertentu adanya dan dapat diketahui oleh
orang yang akan mengerjakan serta dapat dibedakan dengan
perbuatan lainnya.
• Perbuatan itu sesuatu yang mungkin dilakukan oleh
mukallaf dan berada dalam kemampuannya untuk
melakukannya.
• Perbuatan itu harus diketahui adalah merupakan perintah
Allah SWT. Sehingga jelas kemana tujuan kepatuhannya.
Dari syarat-syarat di atas timbul beberapa cabang masalah:
“kemampuan mengerjakan adalah syarat pembebanan, maka tak ada
pembebanan atas sesuatu yang tidak mungkin dikerjakan”. Dan perbuatan
yang tidak mungkin dikerjakan tersebut dapat disebabkan oleh halangan
(mani’) yang dibagi menjadi dua bagian:26
• Al-Mustahil Li Dzatihi (yang mustahil karena dzatnya)
• Al-Mustahil Li Amrin Kharij (yang mustahil karena faktor
eksternal).

4. Al-Mahkum ‘Alaihi
Mahkum alaihi adalah orang yang dibebani hukum (subjek
hukum), yakni mukallaf (orang yang sudah mencapai akil balig, sehat
rohani, islam dan sudah sampai da’wah syariat kepadanya)27 . Dengan
demikian orang-orang yang tidak memenuhi kriteria diatas tidak terbebani
hukum.
Dengan demikian Subjek hukum atau pelaku hukum (mukallaf)
ialah orang-orang yang dituntut oleh Allah untuk berbuat, dan segala
tingkah lakunya telah diperhitungkan berdasarkan tuntutan Allah.
Adapun syarat-syarat taklif atas subjek hukum, adalah sebagai
berikut:
• Ia memahami atau mengetahui titah Allah tersebut yang
menyatakan bahwa ia terkena tuntutan dari Allah.

26 Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm,. 152-
153.
27 Zen Amiruddin, Ushul Fiqih, Cet-1 (Surabaya: eL-Kaf, 2006), hlm,. 36.

21
• Ia telah mampu menerima beban taklif atau beban hukum.
• Ahliyah al-Ada Kamilah atau cakap berbuat hukum secara
sempurna, yaitu manusia yang telah mencapai usia dewasa.
Ketika orang sudah mencapai usia baligh (mukallaf), maka baginya
telah sempurna hak dan keahliannya. Akan tetapi pada fase ini sering
timbul permasalahan-permasalahan (penghalang) yang dapat menghalangi
hak dan keahliannya.
Penghalang keahlian ini dibagi menjadi dua macam: Pertama :
Awaridh Samawiyah, yakni penghalang yang datangnya bukan dari
manusia dan bukan pula dari kemauannya. Seperti Al-Junun (gila), Al-
‘Atah (dungu/idiot), An-Nisyam (lupa), An-Naum (tidur), Al-Ighmaa’
(pingsan), Al-Maradh (sakit), haid/nifas, Al-Maut (mati). Kedua : Awridh
Muktasabah, yakni penghalang yang terjadi dengan kehendak manusia,
baik dirinya sendiri ataupun dari luar dirinya. Seperti: Al-Sakr (mabuk),
Al-Hazl (Bergurau.main-main), As-Safah (Bodoh), Al-Safar (perjalanan),
Al-Khatha’ (kekeliruan), Al-Ikrah (paksaan).28

28 Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek, Ushul Fiqih, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007)

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Fiqh adalah Sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan


perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan
dihasilkan dengan jalan ijtihad. Sedangkan Ushul fiqh adalah ilmu kaidah-
kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara untuk
menemukan hukum-hukum syara yang amaliah dari dalil-dalilnya yang
terperinci. Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara’ yang meliputi
tuntunan berbuat, meninggalkan. Kajian Fiqh adalah semua perbuataan
mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’, yang membahas tentang
seluk beluk hukum-hukum islam dan yang ada hubungannya dengan
tindakan mukallaf.
2. Kegunaan utama ilmu ini adalah untuk mengeathui kaidah-kaidah yang
bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengannya untuk
diterapkan pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehingga dapat di
istinbathkan hukum syara’yang ditunjukkan. Dan dengan ushul fiqh dapat
dicarikan jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan
bertentangan satu sama lain. Dan juga kegunaannya dapat menerapkan
hukum syara’ terhadap segala perbuatan dan perkataan mukallaf, yang
merupakan rujukan bagi hakim dalam menetapkan keputusannya dan
menjadi pedoman bagi mufti dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan fiqh
menjadi petunjuk berharga bagi setiap mukallaf dalam menetapkan hukum
perktaaan dan perbuatannya sehari-hari.
3. Al-Hakim : adalah Pembuat hukum (syar’i). dalam pengertian Islam
adalah Allah SWT.
4. Al-Hukmu : menurut ahli usul fiqh adalah Khithab (doktrin) Allah yang
berkaitan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan, pilihan atau
penetapan.Dari definisi tersebut, jelas bahwa hukum terbagi menjadi dua
bagian, yaitu: Hukum Taklifi dan Hukum Wadl’i.
Hukum Taklifi:

23
• Al-Iijab (Wajib)
• An-Nadab (Sunnah)
• At-Tahrim (Haram)
• Al-Karohah (Makruh)
• Al-Ibahah (Mubah)
Hukum Wadl’i:
• Sabab
• Syarat
• Mani’
5. Al-Mahkum: adalah perbuatan yang dihukumi. Penghalang keahlian
mukallaf dibagi menjadi dua:
• Al-Mustahil Li Dzatihi (yang mustahil karena dzatnya)
• Al-Mustahil Li Amrin Kharij (yang mustahil karena faktor
eksternal)
6. Mahkum ‘Alaihi : adalah orang yang dibebani hukum (subjek hukum),
yakni mukallaf (orang yang sudah mencapai akil balig, sehat rohani, islam
dan sudah sampai da’wah syariat kepadanya).

24
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Wahhab Khallaf. 2002. Kaidah-kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fikih.
Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Aliddin Koto. 2004 Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqh Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Cet 3.

Dedi rohayana. 2006. Ilmu Ushul fiqih Pekalongan: STAIN Press.

Rachmat Syafe’I. 2015. Ilmu ushul fiqh. Pustaka Setia. Cet 5.

Syaikh Muhammad Al-Khudhari Biek. 2007. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka


Amani.

Zen Amiruddin. 2006. Ushul Fiqih. Surabaya: eL-Kaf. Cet 1.

25

Anda mungkin juga menyukai