Anda di halaman 1dari 17

 ABOUT  CONTACT  PRIVACY  SITEMAP

       +6285786898254  JOIN WITH US

 Home Materi  Teknologi Software Tips dan Triks  Search

Home  MAKALAH  MAKALAH USHUL FIQIH : DZAHIR DAN MU'AWWAL

MAKALAH USHUL FIQIH : DZAHIR


DAN MU'AWWAL

Penulis Achmad Miftachul Alim Diterbitkan 03.00.00

Share

A.    Pendahuluan

Ushul Fiqh merupakan suatu ilmu pengetahuan yang


objaknya dalil hukum atau sumber hukum dengan semua
seluk beluknya, dan metode penggaliannya. Dalam kata lain
ushul fiqh digunakan untuk menetapkan hukum dari suatu
perbuatan berdasarkan dalil-dalil yang shahih.
Sebagaimana yang sudah disebutkan bahwa untuk
menetapkan hukum itu perlu adanya dalil-dalil yang shahih
dan bersumber dari Al-Qur’an dan sunnah. Diantara dalil-dalil
dalam Al-Qur’an dan sunnah itupun ditemukan adanya lafadz
yang berbeda-beda. Ada dalil yang sudah langsung dipahami
tanpa butuh penjelasan (Dzahir) dan ada pula yang mesti
adanya penjelasan dalam memahami dalil tersebut.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai mana
lafadz yang sudah langsung dipahami tanpa butuh
penjelasan (Dzahir) dan ada pula yang mesti adanya
penjelasan dalam memahaminya (Mu’awwal) agar tidak ada
terjadi kesalahan dalam memaknai dalil-dalil yang shahih.
Sebagaimana keterangan diatas, pemakalah
merumuskan masalah tentang Apa pengertian Dzahir dan
Mu’awwal? Bagaimana bentuk-bentuk pembentukan dan
penerapan hukum tersebut? Contoh serta Kaidah-kaidah
Dzahir dan Mu’awwal? dan selanjutnya Mahasiswa dapat
mengetahui tentang Dzahir dan Mu’awwal.

B.     Pembahasan

1.      PengertianDzahir dan Mu’awwal

a.       Pengertian Dzhahir

Dzahir menurut istilah Ushul Fiqih adalah:


.‫ﺍﻟﻤﺘﺮﺩﺩ ﺑﻴﻦ ﺃﻣﺮﻳﻦ ﻫﻮ ﻓﻰ ﺍﺣﺪ ﻫﻤﺎ ﺍﻇﻬﺮ‬
Artinya: “Kuragu-ragukan diantara dua
perkara atau dua lafaz, sedangkan salah
satunya adalah lebih jelas.”[1]
Maksudnya adalah, suatu lafazd
yang bisa diartikan dengan dua makna,
tetapi tinjauan dari segi bahasa
menunjukkan bahwa salah satu
maknanya, artinya lebih jelas atau lebih
menonjol pada lafaz tersebut dari pada
makna lainnya.[2]
Al-Bazdawi memberikan defenisi
dzhahir sebagai berikut:
‫ ﺇﺳﻢ ﻟﻜﻞ ﻛﻼﻡ ﻇﻬﺮ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﺑﻪ ﻟﻠﺴﺎﻣﻊ ﺑﺼﻴﻐﺘﻪ‬.
Artinya: “Suatu nama bagi seluruh
perkataan yang jelas maksudnya bagi
pendengar, melalui bentuk lafazh itu
sendiri.”[3]
Definisi yang lebih jelas dikemukakan
oleh Al-Sarakhsi:
‫ﺗﺄﻣﻞ‬
ّ ‫ﻣﺎ ﻳﻌﺮﻑ ﺍﻟﻤﺮﺍﺩ ﻣﻨﻪ ﺑﻨﻔﺲ ﺍﻟﺴﺎﻣﻊ ﻣﻦ ﻏﻴﺮ‬.
Artinya: “Sesuatu yang dapat diketahui
maksudnya dari pendengaran itu sendiri
tanpa harus dipikirkan lebih dahulu.”[4]
Dari defenisi diatas, dapat kita
ketahui bahwa yang dimaksud dengan
dzahir itu adalah suatu lafazh yang
dengan mendengarkan lafazh itu
pendengar bisa langsung mengerti apa
maksudnya tanpa perlu berpikir dan
tidak bergantung kepada petunjuk lain.
Hukum yang jelas itu wajib
diamalkan menurut sesuatu yang
tampak jelas dari padanya. Selama tidak
ada dalil yang menghendaki
mengamalkan selain hukum yang
tampak jelas itu. Karena asal sesuatu itu
adalah tidak memalingkan lafazh dari
lahirnya, kecuali bila ada dalil yang
menghendaki hal itu. Dan bahwasannya
hukum yan jelas itu juga mungkin
menerima ta’wil. Artinya memalingkan
asal itu dari lahirnya, dan menghendaki
arti lain dari padanya. Maka jika yang
tampak itu umum, mungkin bisa
ditakhsis, dan jika mutlak, mungkin bisa
diberi ikatan dan jika hakikat, mungkin
bisa terjadi bahwa yang di makssud
dengan itu adalah makna majasi. Dan
takwilan yang lain-lain.[5]
Hukum yang jelas itu bisa
menerima naskh (penghapusan). Artinya
bahwa hukum yang jelas itu pada masa
terutusnya Muhammad SAW. dan pada
masa pembentukan hukum, sah
dinashkh, dan disyariatkan hukum baru
yang menggantikannya, selama hukum
itu tergolong hukum far’iyyah al-
juz’iyyah (bagian dari masalah-masalah
cabang), dimana hukum-hukum itu bisa
berubah lantaran perubahan
kepentingan (mashlahah) da bisa
menerima naskh.[6] 

b.      PengertianMuawwal (Ta’wil)

Mu’awwal menurut kamus istilah fiqih


adalah memindahkan makna lafazh (Dzahir)
Al-Qur’an kepada yang mungkin dapat diterima
oleh akal dari makna harfiyahnya.[7]
Pengertian mu’awwal dalam
penggunaan istilah adalah suatu usaha untuk
memahami lafazh-lafazh (ayat-ayat) Al-Qur’an
melalui pendekatan memahami arti atau
maksud sebagai kandungan dari lafazh itu.
Dengan kata lain, mu’awwal berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa alternatif
kandungan makna yang bukan makna
lahiriyahya, bahkan penggunaan secara
masyhur kadang-kadang diidentikkan dengan
tafsir.[8]
Ta’wil menurut bahasa, artinya
ialah menjelaskan sesuatu yang kembali
kepadanya sesuatu hal.[9] Firman allah
dalam surat an-nisa ayat 59:
َ‫ُﺳ‬
‫ﻮﻝ‬ ْ‫ﻴﻌ‬
‫ﻮﺍ ﭐﻟﺮ‬ ‫ﻮﺍ ﭐََﻭﺍ‬
ُ‫ِﻃ‬ ْ‫ﻴﻌ‬ُ‫ِﻃ‬ ‫ْﺍ ﺍ‬
‫ُﻮ‬
ٓ ‫ﺍﻣﻨ‬
َ‫ﻳﻦَﺀ‬ َ‫ِﺬ‬ ‫َﻬﺎ ﭐﻟ‬ ٓ
ٰ
‫َﻳﺎﻳ‬
‫ُﻩ‬
‫ُﺮﺩﻭ‬‫ٖﺀَﻓ‬‫ۡﻲ‬‫ۡﻢِﻓﻲَﺷ‬ ‫ُﺘ‬ ‫َﺰ‬
‫ۡﻋ‬ ٰ
‫َﻨ‬‫ۖﻢَﻓﺎﻥَﺗ‬ۡ ُ
‫ِﺮِﻣﻨﻜ‬ ‫ِﻟﻲۡﭐﻻ‬
‫ۡﻣ‬ ‫ْﻭ‬‫َﻭﺍ‬
‫ِﻡ‬
‫ۡﻮ‬‫ۡﭐﻟ‬
‫َﻴ‬ ‫ُﻮﻥِﺑﭑَِﻭ‬
َ‫ِﻣﻨ‬‫ۡﺆ‬‫ۡﻢُﺗ‬ُُ
‫ﻨﺘ‬ ‫ﻮﻝ ﺍﻥ ﻛ‬
ِ‫ُﺳ‬ ‫َﻰ ﭐَِﻭﭐﻟﺮ‬ ‫ﺍﻟ‬
ً‫ۡﺄﻭ‬ ٰ
‫َﺫ‬ ‫ۡﭐﻷ‬
ٓ
٥٩ ‫ﻳﻼ‬ ِ‫ُﻦَﺗ‬ ‫َﺴ‬‫ۡﺣ‬‫ﺮَﻭﺍ‬ٞ ‫َﻚَﺧ‬
‫ۡﻴ‬ ‫ِﻟ‬ ۚ
‫ِﺮ‬
‫ِﺧ‬

“yang demikian itu lebih utama


(bagimu), dan lebih baik akibatnya”

Sedangkan menurut istilah ulama’


ushul, ta’wil ialah memalingkan lafazh dari
zhahirnya lantaran ada dalil. Dan termasuk
sesuatu yang telah ditetapkan, yaitu bahwa
asal sesuatu itu tidak memalingkan lafazh dari
zhahirnya, tidak benar, kecuali apabila
didasarkan kepada dalil syara’ yang berupa
nash atau qiyas atau didasarkan kepada jiwa
pembentukan hukum, atau prinsip-prinsip
umum.  Apabila takwil itu tidak didasarkan atas
dalil syara’ yang sahih, bahkan didasarkan
kepada hawa nafsu, tujuan-tujuan khusus, dan
meguatkan sebagian pendapat, maka takwil itu
adalah tidak benar. Bahkan mrupaka permaian
terhaadap undang-undang dan teksnya. Begitu
juga apabila takwil itu bertentangan dengan
nash yang jelas (sahih). Atau berupa takwilan
terhadap sesuatu yang tidak dikandung oleh
lafazh.[10]
2.      Bentuk-bentukPembentukan Hukum Dzahir dan
Muawwal

a.       HukumDzahir

Yang dimaksud dengan hukum dzahir


adalah dalam hal bagaimana kita boleh atau
harus berpegang pada makna yang dzahir, dan
dalam keadaan bagaimana pula kita boleh
meninggalkan arti dzahir.
Para ulama ushul fiqih memberi hukum
tentang pemakaian lafaz dzahir sebagai
berikut:
‫ﺍﻟﻈﺎ ﻫﺮﺩﻟﻴﻞ ﺷﺮﻋﻲ ﻳﺠﺐ ﺍﺗﺒﺎﻋﻪ ﺍﻻ ﺍﻳﺪ ﺍﻥ ﻳﺪﻝ ﺍﻟﺪﻟﻴﻞ ﻋﻠﻰ ﺧﻼ‬
.‫ﻓﯩﻪ‬
Artinya: “Dzahir itu adalah dalil syar’i
(yang) wajib diikuti, kecuali terdapat
dalil yang menunjukkan lain
daripadanya.”
Maksudnya adalah apabila tidak
terdapat alasan yang kuat untuk
mendorong pentakwilan sesuatu lafazh,
maka lafazh dzahirnyalah yang dipakai
sebagai dalil dan yang wajib kita ikuti.
[11]
b.      Hukum Mu’awwal

Landasan umum takwil adalah


mengamalkan dalil sesuai konteks bahasanya
dan mengambil ketetapan hukumnya. Takwil
itu mencakup berbagai kemungkinan yang
berasal dari akal, bukan bersumber dari
bahasa. Takwil tidak akan ada kecuali dengan
dalil.
Untuk menghindarkan dari kesalahan
dalam berijtihad, juga sebagai cara meng-
istimbath hukum dari nash dengan
menggunakan takwil
a.            jika arti nash itu sudah tentu
mengandung hukum, jelas dan
dalalahnya qath’i, maka tidak boleh
ditakwilkan dengan akal.
b.          Jika arti nash yang zahir itu berarti
umum, atau berarti zhanni yang tidak
pasti, wajib mengamalkan sesuai
maknanya.
c.            Dibolehkan mengubah arti dari yang
zahir kepada arti yang lain sepanjang
berdasar pada dalil, bahkan diwajibkan
untuk untuk mengompromikan berbagai
nash yang saling bertentangan.

3.      ImplikasiPenerapan Hukum Dzahir dan Muawwal

Untuk mengetahui hukum yang tersirat


di balik suatu lafaz dibutuhkan suatu
pengkajian yang menggunakan ra’yu. Di sini
diperlukan daya nalar untuk mengetahui
hakikat dan tujuan suatu lafaz dalam al-Qur’an,
yang memungkinkan untuk merentangkan
hukum yang berlaku dalam lafaz tersebut
kepada kejadian lain yang bermunculan di balik
lafaz ini dapat dilakukan dengan beberapa
cara:[12]

Pertama, perentangan suatu lafaz


kepada maksud lain dapat dilakukan
dengan semata pemahaman lafaz. Dalam
ushul fiqih cara seperti ini disebut
menggunakan kaidah mafhum
muwafaqah atau mafhum mukhalafah.
Bentuk kedua perentangan kepada
maksud lain tidak dengan semata
pemahaman lafaz tetapi tergaantung ada
pemahaman alasan hukum atau illat.
Cara perentangan lafaz dalam bentuk ini
disebut menggunakan kaidah qiyas.
Namun disuatu ketika untuk
mewujudkan suatu kemaslahatan yang
lebih banyak, mujtahid mencoba
mencairkan kaitannya kepada yang lain
walaupun kaitan tersebut tidak kuat.
Hukum dari kejadian baru yang muncul,
dikaitkan secara langsung kepada
kejadian yang ada kepastian hukumnya
dalam nash dan kaitan itu harus jelas
dan pasti serta kuat. Dalam bentuk ini
mujtahid akan menemukan hukum lain
dari seandainya ia menggunakan cara
qiyas yang biasa. Cara yang ditempuh
mujtahid ini dalam usul fiqih disebut
dengan istilah istihsan.
Bila dianalisis hukum-hukum yang
ditetapkan Allah dalam al-Qur’an dapat
dipahami bahwa pada dasarnya Allah
menetapkan hukum itu adalah untuk
mendatangkan kemaslahatan kepada
manusia, baik dalam bentuk
memberikan manfaat untuk manusia
atau menghindarkan madarat
(kerusakan) dari manusia. Dengan
demikian bila terdapat suatu kejadian
ada maslahah yang bersifat umum dan
tidak ada dalil nash yang berbenturan
dengannya maka pada asas ini mujtahid
dapat melahirkan hukum. Usaha
penemuan hukum melalui cara ini
dikenal dikalangan ulama dengan nama
maslahah mursalah.
Menurut pandangan Asy-Syatibi,
metode penetapan hukum islam

substansial, yang bertumpu kepada
makna implisit nash-nash, telah
dikemukakan kedalam bentuk metode
penetapan hukum islam yaitu:[13]
1.     Al-Qiyas

2.     Istihsan

3.     Maslahah Mursalah

4.     Sadd Zari’ah   

Adapun metode penetapan hukum


islam verbal merupakan metode lagsung
dalam memahami petunjuk-petunjuk
dari bentuk-bentuk bahasa nash-nash
hukum islam. Dan menurut pandangan
Asy-Syatibi adalaah sebaga berikut:[14]
1.     Amar dan Nahi

2.     Dalalah al-Alfazh ‘Ala al-Ahkam

3.     Muhkam Mutasyabih

4.     Mujmal-Mubayyan

Menurut Adib Shalih, ta’wil banyak


berlaku pada bidang hukum islam. Misalnya,
mena’wil-kan suatu lafal dari makna hakikat
kepada makna majaz-nya, mena’wilkan lafal
mutlaq kepada pengertian muqayyad,
mena’wilkan suatu bentuk perintah kepada
pengertian yang selain hukum wajib, dan
memalingkan pengertian suatu larangan
kepada hukum selain haram.[15]

Beberapa persyaratan untuk ta’wil


yaitu:
1)                   Lafazh yang hendak dita’wil-
kan itu mengandung beberapa pengertian, baik
ditinjau dari segi bahasa seperti makna hakikat,
dan makna majazi-nya, atau dari segi
kebiasaan orang-orang arab dalam
menggunakan lafal itu, atau dari segi
penggunaan lafal itu dalam syariat islam.

2)                                    Ada dalil atau indikasi yang


menunjukkan bahwa yang dimaksud oleh si
pembicara bukan makna zahirnya, tetapi
makna yang tidak zhahir, dan dalil atau indikasi
itu lebih kuat dibandingkan dengan alasan
menetapkan suatu lafal pada makna
hakikatnya.

4.      Contohdan Kaidah-kaidah Dzahir dan Mu’awwal

a.       Contoh Lafadz Dzahir

Firman Allah SWT:


ُ‫ُﻘ‬
‫ﻮﻡ‬ ‫َﻤﺎَﻳ‬َ
‫ﻮﻥ ﺍﻻ ﻛ‬
َ‫ﻮﻣ‬ ُ‫ُﻘ‬ ‫ْﺍَﻻَﻳ‬ ‫َﻮ‬
ٰ َ‫ُﻠ‬
‫ﻮﻥ ﭐﻟﺮﺑ‬ ‫ۡﺄﻛ‬
ُ ‫ﻳﻦَﻳ‬
َ‫ِﺬ‬ ‫ﭐﻟ‬
‫ۡﻢ‬‫ُﻬ‬‫َﻚِﺑﺎﻧ‬ ‫ِﻟ‬ٰ‫ۚﺲ‬
‫َﺫ‬ ‫َﻤ‬ ‫َﻦۡﭐﻟ‬ ‫ُﻦِﻣ‬ ٰ
‫َﻄ‬‫ُﻪ ﭐﻟﺸ‬
‫ۡﻴ‬ ‫ُﻄ‬ ‫َﺨﺒ‬‫َﺘ‬‫ِﺬﻱَﻳ‬ ‫ﭐﻟ‬
‫َﻊ‬‫ۡﻴ‬
‫َﺒ‬‫َﺣﻞ ﭐُ ۡﭐﻟ‬ ‫ْﺍَﻭﺍ‬ ۗ‫ُﻞ ﭐﻟﺮﺑ‬
‫َﻮ‬
ٰ ‫ۡﺜ‬
‫ُﻊِﻣ‬ ‫ۡﻴ‬‫َﻤﺎۡﭐﻟ‬
‫َﺒ‬ ‫ْﺍ ﺍﻧ‬
‫ٓﻮ‬‫ُﺎﻟ‬‫َﻗ‬
‫ِﻪۦ‬‫ﺔ ﻣﻦ ﺭﺑ‬ٞ ‫َﻈ‬‫ِﻋ‬ ‫ۡﻮ‬ ‫ُۥَﻣ‬‫ﺂﺀﻩ‬ ‫ْﺍَﻓ‬ۚ
َ‫َﻤﻦ َﺟ‬ ‫َﻮ‬ٰ‫َﻡ ﭐﻟﺮﺑ‬ ‫َﺣﺮ‬ ‫َﻭ‬
‫ﺎﺩ‬
َ‫ۡﻦَﻋ‬ ‫َﻣ‬‫َۖﻭ‬ِ‫َﻰ ﭐ‬ ‫ُﻩ‬
‫ٓۥ ﺍﻟ‬‫ُﺮ‬ ‫َﻒَﻭﺍ‬
‫ۡﻣ‬ َ‫ُﻪۥَﻣﺎَﺳﻠ‬ َ
‫ٰﻰَﻓﻠ‬ ‫َﻬ‬َ‫َﻓ‬
‫ﭑﻧﺘ‬
ٓ
َ‫ُﺪ‬
٢٧٥ ‫ﻭﻥ‬ ‫ِﻠ‬‫َﺧ‬ٰ‫ﻴﻬﺎ‬
َ‫ۡﻢِﻓ‬ ‫ﭐﻟﻨﺎﺭُﻫ‬
ۖ ‫َﺤُﺐ‬
ِ ٰ‫ۡﺻ‬ ‫َﻚ ﺍ‬ ‫ٰﻟ‬
َ
‫ِﺌ‬‫ْﻭ‬ ‫َﻓﺎ‬

Artinya: “orang-orang yang makan


(mengaambil) riba tidak dapt berdiri melainkan
seperti berdirinya orang yang kemasukan
syaitan lantaran penyakit gila. Keadaan mereka
yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
(berkata) berpendapat, sesungguhnya jual beli
itu sama dengan riba, padahal Allah telah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba”. (QS. Al-Baqarah: 275).

Ayat ini datang, menurut konteks


kalimatnya, untuk mengharamkan riba dan
untuk menjelaskan perbedaan antara riba dan
jual beli. Akan tetapi, dari zhahir lafazhnya
mengandung pengertian diperbolehkannya jual
beli.[16]
Firman Allah SWT:
٢ ‫ﻴﻦ‬
َ‫ِﻘ‬ ‫ۡﻠ‬
‫ُﻤﺘ‬‫ٗﺪﻯ ﻟ‬ ِۛ‫ﺐِﻓ‬
‫ﻴﻪُﻫ‬ ۛ
َ ‫َﻻَﺭ‬
‫ۡﻳ‬ ٰ
‫َﺘُﺐ‬‫َﻚۡﭐﻟ‬
‫ِﻜ‬ ‫ِﻟ‬ٰ
‫َﺫ‬

Artinya: “Keadaan mereka yang demikian itu


adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli sama
dengan riba.” (QS. Al-Baqarah: 2)
Kaidah yang berlaku disini adalah, wajib
mengamalkan pengertian zhahir dari suatu
ayat atau hadis selama tidak ada dalil atau
qarinah yang memalingkannya kepada
pengertian yang lain. Jika ada qarinah yang
menunjukkan pengertian lain, lafal zhahir bisa
dita’wil (dipalingkan pengertian lafal itu dari
maknanya yang zhahir kepada makna lain yang
tidak zhahir atau tidak cepat dapat ditangkap.
[17]
b.      Contoh Lafadz Mu’awwal

Seperti lafaz “yadun” dari firman Allah yang


berbunyi:
‫ﻭﺍﻟﺴﻤﺄ ﺑﻨﻴﻨﺎ ﻫﺎ ﺑﺄﻳﺪ‬.....
“Dan langit itu kami bangun dengan
kekuasaan kami.” (QS. Adz-Dzariyaat:
47).
Lafadz (‫)ﻳﺪ‬    pada ayat diatas, makna
dzahir –nya adalah “tangan”
sebagaimana keterangan diatas. Tetapi
oleh para ulama’, lafadz (‫ )ﻳﺪ‬atau (‫)ﺍﻳﺪ‬
pada ayat diatas diartikan “tangan”
berarti mempersembahkan Allah
dengan makhluk, sedang Allah tidak
mempunyai sesuatu pun sebagaimana
difirmankan dalam Al-Qur’an yang
berbunyi:
‫ﻟﻴﺲ ﻛﻤﺜﻠﻪ ﺷﺊ‬
“Tidak ada satupun yang menyerupai-
Nya”. (QS. A-s-Syura: 11).

Oleh karena itu maka ditakwil arti


“tangan menjadi “kekuasaan”.
Perubahan arti yang demikianlah yang
dianamakan takwil.[18]

C.    Kesimpulan
Dzahir adalah suatu lafazh yang
dengan mendengarkan lafazh itu pendengar
bisa langsung mengerti apa maksudnya tanpa
perlu berpikir dan tidak bergantung kepada
petunjuk lain. Sedangkan mu’awwal berarti
mengartikan lafazh dengan beberapa
alternatif kandungan makna yang bukan
makna lahiriyahya, bahkan penggunaan
secara masyhur kadang-kadang diidentikkan
dengan tafsir.
Hukum dzahir adalah dalam hal
bagaimana kita boleh atau harus berpegang
pada makna yang dzahir, dan dalam keadaan
bagaimana pula kita boleh meninggalkan arti
dzahir.
Adapun syarat muawwal itu adalah
sebagai berikut:
1.          Lafazh yang hendak dita’wil-kan itu
mengandung beberapa pengertian, baik
ditinjau dari segi bahasa seperti makna
hakikat, dan makna majazi-nya,
2.      Ada dalil atau indikasi yang menunjukkan
bahwa yang dimaksud oleh si pembicara
bukan makna zahirnya, tetapi makna
yang tidak zhahir

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Mujieb, M, Dkk, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta:


Pustaka Firdaus, 1991.
Abu Zahrah, Muhammad, Ushul Fiqih, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994.


Anwar, Rosihon, Ulum Al-Qur’an, Bandung: CV
Pustaka Setia, 2007.
Djalil, Basiq, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2010.
Jumantoro, Totok, Munir Amin, Samsul, Kamus Ilmu
Ushul Fikih, Jakarta: Amzah, 2009.
Syafe’i, Rahmat, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka
Setia, 2007.
M. Zein, Satria Effendi, Ushul fiqh, Jakarta: Kencana,
2009.

[1] Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqih 1 dan 2, (Jakarta :


Kencana Prenada Media Group, 2010), cet. 1, hlm 119
[2]Ibid, hlm 119
[3]Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), hlm. 152
[4] Totok Jumantoro, Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu
Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah, 2009), hlm. 363
[5] Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-kaidah Hukum Islam
Ilmu Ushulul Fiqh, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002), cet, 8, hlm. 258-259. 
[6] Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm. 259.
[7] M. Abdul Mujieb, Dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991), hlm. 211
[8] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2007), hlm. 212
[9] Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm. 260.
[10] Abdul Wahhab Khallaf, Op.Cit, hlm. 261.
[11]Basiq Djalil, Op.cit., hlm 121
[12] Saifudin Zuhri, Ushul Fiqih Akal Sebagai Sumber
Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm.
61-65.
[13] Duski Ibrahim, Metode Penetapan Hukum Islam,
(Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), cet. 1, hlm. 134-150. 
[14] Duski Ibrahim, ibid, hlm. 117-132.
[15] Satria Effendi, M. Zein, Ushul fiqh, (Jakarta: Kencana,
2009), hlm. 232
[16] Muhmmad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 172
[17] Satria Effendi, M. Zein, Op.Cit, hlm. 224
[18] Basiq Djalil, Op.Cit, hlm. 120
   Google  Facebook  Twitter

MAKALAH

Related Posts

Hukum Perayaan Resensi Buku Akhlak


Maulid Nabi Tasawuf
Muhammad SAW

AR-RIWAYAH BIL- Macam-macam Jenis


MA’NA (Periwayatan Tindakan Pidana
Hadits dengan Makna)
Hewan yang halal dan Adat Dalam Konteks
hewan yang haram Islam

Achmad Miftachul Alim 


  

MAKALAH HUKUM TUTORIAL BEAJAR


 
KEWARISAN DALAM MICROSOFT WORD
KOMPILASI HUKUM ISLAM LENGKAP
(KHI)

1 komentar so far

atika.zakiyah 25 Februari 2017 21.47

Balas
ijin copy

Emoticon

Masukkan komentar Anda...

Beri komentar sebagai: Unknown (Google) Logout

Publikasikan Pratinjau Beri tahu saya


 Popular  Label

PENGERTIAN
ASWAJA,

KARAKTERISTIK, PRINSIP,
EKSISTENSI DALAM
KEHIDUPAN MODERN

Pengertian,
Macam-
macam,
beserta contoh Cara
THAHARAH (BERSUCI)

PENGERTIAN
HUKUM,
HUKUM
OBJEKTIF, HUKUM
SUBJEKTIK, HAK DAN
KEWAJIBAN DALAM
MATERI HUKUM

Pengertian,
Hukum, Syarat,
Rukun Sewa
Menyewa (ijarah)

Pengertian, Cara
Pelaksaan Zakat Mall dan
Zakat Profesi

MAKALAH
SHALAT
JUM'AT

Hewan yang
halal dan
hewan yang
haram
RECENT POSTS

Tips Membuat Baterai


Smartphone Menjadi Awet

“Om Telolet Om” Mendunia

Wujud Uang Rupiah Baru


Negara Indonesia. Hari Ini Di
Luncurkan

Wujud Uang Baru Negara


Indonesia. Hari Ini Di
Luncurkan

Cara Mengembalikan File


Terhapus Di Android

Cara Membobol Pasword


Wifi Dengan Android

3 Aplikasi
Membobol/Membuka
Pasword Wifi Hotspot
Melalui HP Android Gratis

TIMELINE

►  2016 (83)
▼  2015 (50)
►  November (6)
►  Oktober (4)
►  September (18)
►  Agustus (2)
►  Juli (10)
►  Juni (1)
►  Mei (3)
▼  Januari (6)
SEJARAH
PERADILAN
ISLAM PADA
MASA DINASTI
ABASIYAH...
GAMBAR KATA
CINTA
ROMANTIS
DAN LUCU
STATUS ANAK
DARI
PERNIKAHAN
SIRI
9 Tanaman
Obat Paling
Bermanfaat &
Paling Banyak
D...
MAKALAH
HUKUM
KEWARISAN
DALAM
KOMPILASI
HUKUM ISLA...
MAKALAH
USHUL FIQIH :
DZAHIR DAN
MU'AWWAL
►  2014 (27)

About · Contact · Privacy Policy · Sitemap · Saudagar Mebel | · Materi Lengkap


Copyright © 2017 · Materi Lengkap  · Blogger

   

Anda mungkin juga menyukai