Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

KONSEP KAFAAH (KUFU’)

“Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih Munakahat”

Dosen pengampu :

Dra. Hj. Muflikhatul Khoiroh, M.Ag.

Oleh :

1. Mas Abdullah Syarif (C91217061)


2. Rajiv Sa’adillah Rosyad (C91217074)

PRODI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

SURABAYA

2019
KATA PENGANTAR

ِ‫يم‬
ِ ‫الر ِح‬
َّ ِ‫من‬
ِِ ْ‫الرح‬
َّ ِِ‫للا‬
ِ ِ‫س ِِم‬
ْ ‫ِب‬

Tiada kata yang lebih indah untuk diucapkan selain suatu ucapan rasa syukur
seorang hamba kepada sang Maha Pencipta-Nya yang telah memberikan begitu banyak
nikmat yang tidak terhingga. Dia sang Maha Penyayang selalu ingin melihat hambanya
tercurahkan ilmu dan terbuka hatinya sehingga dipermudahkan dalam pembuatan makalah
ini untuk memenuhi tugas yang diberikan dalam mata kuliah Fiqih Munakahat.

Lantunan pujian serta do’a yang tiada hentinya selalu dilimpahkan kepada sang
pembawa syafaat bagi manusia hingga akhir zaman yakni baginda Muhammad SAW.
Sebagai teladan yang sempurna dalam menjalani tatanan kehidupan secara sempurna yang
patut untuk diteladani tidak hanya oleh umat muslim tetapi juga bagi mereka para calon
akademis dalam bertindak sebagai revolusioner.

Suatu yang sempurna pun masih memiliki kekurangan, begitupun makalah ini
bahkan masih jauh dari kata sempurna, akan tetapi semoga makalah ini bisa bermanfaat
sebagai suatu tambahan ilmu pengetahuan untuk mendalami mata kuliah Fiqih Munakahat.
Akhir kata semoga apa yang kita lakukan diridhoi oleh Allah SWT dan menjadi amal baik
bagi kita semua. Aamiin.

Surabaya, 01 Maret 2019

Penulis

Fiqih Munakahat| i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI ..................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar belakang ....................................................................................................... 1


B. Rumusan masalah .................................................................................................. 2
C. Tujuan penulisan .................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Kafaah................................................................................................... 3
B. Ukuran Kafaah ........................................................................................................ 4
C. Kedudukan Kafaah ............................................................................................... 9

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan ............................................................................................................ 11
B. saran ....................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................ 12

Fiqih Munakahat| ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebuah kehidupan masyarakat yang sejahtera tidak terlepas dari kehidupan


keluarga yang sejahtera pula karena keluarga merupakan suatu golongan terkecil
dari masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang juga merupakan anggota
dari suatu masyarakat yang ada. Oleh karena itu penting untuk membentuk keluarga
yang sejahtera atau bisa dibilang keluarga yang Sakinah, Mawaddah, wa Rahmah.

Dalam membentuk sebuah keluarga yang Sakinah pun tidak semudah itu,
ada beberapa permasalahan yang memang sering dihadapi oleh mereka yang
mencari pasangan hidup dan ingin membentuk sebuah keluarga yang bahagia.
Dalam islam pun juga sangat mendukung untuk membentuk sebuah kelaurga yang
bahagia dan sejahtera oleh karena itu dalam islam ada pembahasan mengenai
Kafaah (Kufu’).

Konsep kafaah dalam islam sendiri berbicara terkait kesamaan atau


kesetaraan antara calon suami dan calon istri sehingga dari masing-masing calon
tidak merasa berat untuk melangsungkan pernikahan dan membentuk sebuah
kelaurga yang sejahtera. Akan tetapi kafaah sendiri bukan lah sebuah syarat sah dari
sebuah perkawinan tetapi juga merupakan salah satu factor penting dalam
membentuk sebuah keluarga yang sejahtera.

Fiqih Munakahat| 1
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian dari kafaah ?
2. Bagaimana ukuran dari kafaah ?
3. Bagaimana kedudukan kafaah ?

C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian dari kafaah
2. Mengetahui ukurna dari kafaah.
3. Mengetahui kedudukan dari kafaah.

Fiqih Munakahat| 2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kafaah (Kufu’)


Berbicara mngenai pengertian terkiat dengan kafaah (kufu’) bisa dilihat dari dua
sudut pandang yaitu secara etimologis, kata kâfa’ah berasal dari bahasa Arab dari kata
‫ كفئ‬, berarti kesamaan, sepadan, sejodoh.1 Sedangkan secara terminologi mengambil
pendapat dari Sayyid Sabiq, yang dimaksud dnegan kufu’ dalam pernikahan adalah:
calon mempelai laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan,
sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Selanjutnya
menurut beliau bahwa tidak diragukan jika kedudukan antara laki-laki dan perempuan
sebanding.
Menurut Amir Syarifuddin bahwa penentuan kâfa’ah itu merupakan hak perempuan
yang akan kawin sehingga bila dia akan dikawinkan oleh walinya dengan orang yang
tidak se-kufu dengannya, dia dapat menolak atau tidak memberikan izin untuk
dikawinkan oleh walinya. Sebaliknya dapat pula dikatakan sebagai hak wali yang akan
menikahkan sehingga bila si anak perempuan kawin dengan laki-laki yang tidak sekufu,
wali dapat mengintervensinya yang untuk selanjutnya menuntut pencegahan
berlangsungnya perkawinan itu. Yang dijadikan standar dalam penentuan kâfa’ah itu
adalah status sosial pihak perempuan karena dialah yang akan dipinang oleh laki-laki
untuk dikawini.2
Menurut Muhammad Jawad Mughniyah bahwa para ulama memandang penting
adanya kâfa’ah hanya pada lakilaki dan tidak pada wanita. Sebab, kaum laki-laki

1
Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an,
1973), 378.
2
Amir Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang
Pernikahan, (Jakarta: Prenada Media, 2006), 140

Fiqih Munakahat| 3
berbeda dengan kaum wanita tidak direndahkan jika mengawini wanita yang lebih
rendah derajat dari dirinya. Imam Hanafi, Syafi'i, dan Hambali sepakat bahwa
kesepadanan itu meliputi: Islam, merdeka, keahlian, dan nasab. Tetapi mereka berbeda
pendapat dalam hal harta dan kelapangan hidup. Imama Hanafi dan Hambali
menganggapnya sebagai syarat, tapi imam Syafi'i tidak. Sedangkan ulama Imamiyah
dan Maliki tidak memandang keharusan adanya kesepadanan kecuali dalam hal agama3
Islam menganjurkan agar adanya keseimbangan dan keserasian, kesepadanan dan
kesebandingan antara kedua calon suami istri untuk dapat terbinanya dan terciptanya
suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah.
Kafa‟ah merupakan suatu yang disyariatkan oleh Islam guna tercapainya tujuan
pernikahan yang bahagia dan abadi, hanya saja al-Qur‟an tidak menyebutnya secara
eksplisit. Akan tetapi, Islam memberi pedoman bagi orang yang ingin menikah untuk
memilih jodoh yang baik dan benar
Sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur‟an surat an-Nur ayat 3:

َّ ‫ََٱلمؤ ِمنِين َعلَى َٰذَلِكَ َوح ِر َم ۚ مش ِرك أَو زَ ان ِإ َّل يَن ِكح َها َل َوٱ‬
َّ ‫لزانِيَة مش ِركَة أَو زَ انِيَة ِإ َّل يَن ِكح َل ٱ‬
‫لزانِى‬

Artinya: “Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang


berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini
melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu
diharamkan atas oran-orang yang mukmin.”

B. Ukuran Kafaah (Kufu’)


Kafa ’ah menurut bahasa adalah kesamaan dan kemiripan. Adapun maksud yang
sebenarnya adalah kesamaan antara dua belah pihak suami-istri. Kesamaan atau

3
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur, Afif Muhammad, Idrus
al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera, 2001), 349.

Fiqih Munakahat| 4
kesetaraan yang dimaksud dalam hal ini ada beberapa macam, atau bisa dikatakan
sebagai ukuran dari kafaah ada lima yaitu :
1) Agama
Semua ulama (mazhab imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali)
sepakat memasukkan agama dalam kafa‘ah, berdasarkan hadis riwayat
Tirmizi dengan sanad hasan dari Abu Hasyim al-Muzami4, Rasulullah
bersabda:

‫وفساد األرض في فتنة تكن تفعلوا أال فانكحوه وخلقه دينه ترضون من جاءكم إذا‬. ‫قالوايارسول هللا‬
‫قال !فيه كان وإن‬: ‫مرات ثالث فانكحوه وخلقه دينه ترضون من كم جاء إذا‬
Artinya: "Jika datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu
sukai, maka kawinkanlah, jika kamu tidak berbuat demikian akan terjadi
fitnah dan kerusakan diatas bumi. Sahabat bertanya " Ya Rasulullah...
apabila di atas bumi ditemukan fitnah dan kerusakan… jawabnya " jika
datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, maka
kawinkanlah…" diulang 3 kali”

2) Kedudukan (Nasab atau silsilah keturunan)


Berdasarkan Q.S Al-Furqon ayat 54 :
‫ق الَّذِي َوه َُو‬ ِ ‫سبًا َف َجعَلَهُ بَش ًَرا ا ْل َم‬
َ َ‫اء ِمنَ َخل‬ َ َ‫ََوكَان َو ِصه ًْرا ن‬ ً ‫َقد‬
َ َ‫ِيرا َربُّك‬
Artinya : “Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu dia
jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah dan adalah
Tuhanmu Maha Kuasa.”
Ayat ini merupakan dalil adanya kafaah dalam hal nasab, hal ini
dijelaskan oleh al-Bukhari yang menyebutkan ayat tersebut sebagai dalil
dalam bab kafaah. Imam al-Qast}alani dalam kitabnya Syarah} al-Bukhari

4
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: Al-ma‟arif, 1997), 45

Fiqih Munakahat| 5
menulis, ‘yang dimaksud pengarang (al-Bukhari) dengan hubungan kalimat
ini mengisyaratkan bahwa sesungguhnya nasab dan hubungan mus}aharah,
artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti
menantu, ipar, mertua dan sebagainya5
Menurut jumhur ulama (empat imam mazdhab) selain Malikiyah
berpendapat bahwa nasab merupakan suatu hal yang paling dan masuk
dalam kafa‘ah, karena ada beberapa alasan mendasar yang mengilhami
mereka, seperti banyaknya orang Islam, khususnya orang muslim arab yang
sangat fanatik dalam menjaga keturunan dan golongan mereka
Menurut ulama Hanafiah nasab (keturunan) dalam kafa‘ah hanya
dikhususkan orang-orang arab. Dengan demikian suami dengan isteri harus
sama dengan kabilahnya. Adapun menurut ulama Syafi’iyah orang Quraisy
sebanding dengan Quraisy lainnya kecuali dari bani Hasyim dan Mut}alib.
Dan yang menjadi pertimbangan dalam hal nasab adalah bapak, sedangkan
ulama Hanafiah berpendapat bahwa golongan Quraisy sebanding dengan
bani Hasyim.6

3) Merdeka
Maka seorang budak laki-laki tidaklah kufu’ bagi wanita merdeka
karena statusnya berkurang sebagai budak. Yang dimaksud merdeka disini
adalah bukan budak (hamba sahaya). Jumhur ulama selain Malikiyah
memasukkan merdeka dalam kafa‘ah berdasarkan al-Quran surat an-Nahl
ayat 75:
Artinya : “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya
yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang

5
Ibid., 54
6
Ibid.,

Fiqih Munakahat| 6
yang Kami beri rezeki yang baik dari Kami, lalu dia menafkahkan sebagian
dari rezeki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, adakah mereka
itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada
mengetahui.”.
Dalam ayat diatas dijelaskan, bahwa seorang budak dimiliki oleh
tuannya dan dia tidak dapat melakukan sesuatu apapun termasuk
menafkahkan hartanya sesuai dengan keinginannya kecuali atas perintah
tuannya, akan tetapi orang merdeka bebas melakukan sesuatu sesuai dengan
keinginannya tanpa menunggu perintah dari siapapun.

4) Keterampilan (Pekerjaan).
Dalam ensiklopedi hukum Islam yang dimaksud dengan pekerjaan
adalah adanya mata pencaharian yang dimiliki seorang seorang pria yang
dapat menjamin nafkah rumah tangganya. Jumhur ulama selain Malikiyah
sepakat melakukan pekerjaan dalam perangkat kafa‘ah
Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal
mendekati pekerjaan keluarga wanita dalam hal penghasilannya. Sedangkan
menurut golongan Hanafiah penghasilan laki-laki harus sebanding dengan
penghasilan pihak keluarga perempuan sesuai dengan adat yang berlaku.
Apabila menjahit menurut adat lebih tinggi derajatnya di banding menenun,
maka penjahit itu tidak sebanding dengan anak penenun. Menanggapi
permasalahan ini golongan Malikiyah berpendapat tidak ada perbedaan
antara harta dan pekerjaan, semua dapat berubah dengan kehendak Allah
SAW. Pekerjaan merupakan hal yang biasa dan tidak perlu dimasukkan
dalam masalah kafa‘ah.7

7
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam 9, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 223

Fiqih Munakahat| 7
5) Harta Kekayaan
Memiliki harta sesuai dengan kewajiban untuk calon istrinya berupa
maskawin dan nafkah. Maka, laki-laki yang sulit ekonomi tidak kufu’ untuk
seorang gadis yang berada karena pada wanita itu dalam bahaya dengan
kesulitan pada suaminya, karena bisa jadi nafkah yang harus ia terima
mengalami kemacetan.
Maksud dengan harta adalah kekayaan seoarang (calon suami) untuk
memberikan maskawin dan nafkah kepada isterinya. Ulama Hanafiah dan
Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah berpendapat bahwa harta merupakan hal
yang sangat penting untuk dimasukkan dalam kafa‘ah. golongan ulama
Hanafiah dan Hanabilah menyatakan bahwa yang dianggap se-kufu’ ialah
seorang laki-laki harus sanggup membayar maskawin dan nafkah, adapun
hanya salah satu diantaranya maka dianggap tidak se-kufu’.8

Jika salah satu dari pasangan suami-istri berbeda dari pasangannya dalam salah satu
dari lima perkara ini, kafa’ah (keserasian, kecocokan,kesetaraan) telah hilang. Namun
hal ini tidak memberi pengaruh kepada sahnya pernikahan karena kafa’ah bukan syarat
dalam sahnya pernikahan. Seperti perintah Nabi SAW kepada Fatimah bintu Qais untuk
menikah dengan Usamah bin Zaid. Maka, Usamah menikahinya atas dasar perintah
Nabi SAW.

Akan tetapi kafa’ah menjadi syarat lebih utama untuk sebaiknya dilakukan
pernikahan. Jika seorang wanita dinikahkan kepada laki-laki yang tidak sekufu’
dengannya, siapa saja yang tidak ridha dengan itu baik pihak istri atau para walinya,
berhak melakukan fasakh (pembataan nikah)

C. Kedudukan Kafaah (Kufu’)

8
Ibdi., 224

Fiqih Munakahat| 8
Perbedaan ulama’ tentang hukum kafa‘ah dan pelaksanaannya berefek pada
kontradiksi mengenai kedudukan kafa‘ah dalam pernikahan sendiri, ditinjau dari sisi
keabsahan nikah. Ulama’ terbagi menjadi 2 poros dalam menanggapi kedudukan
kafa‘ah dalam pernikahan. Jumhur ulama’ termasuk Malikiyah, Syafiiyah, Hanafiah,
dan satu riwayat dari Imam Ahmad berpendapat bahwa kafa‘ah itu tidak termasuk
syarat pernikahan sehingga pernikahan antara orang yang tidak se-kufu akan tetap
dianggap memilki legalitas hukum (sah, baca). Kafa‘ah dipandang hanya merupakan
segi afdalnya saja.9
Bertolak belakang dengan pendapat yang pertama, salah satu riwayat dari Imam
Ahmad malah mengatakan bahwa kafa‘ah itu termasuk syarat perkawinan. Ini berarti
bahwa pernikahan yang dilakukan oleh kedua mempelai yang tidak sekufu masih
dianggap belum sah. Mereka bertendensius dengan potongan hadis riwayat oleh al-
Daruqut}ni yang dianggap lemah oleh kebanyakan ulama’.10 Hadis itu yang
diriwayatkan oleh al-Baihaqi dan al-Daruqutni, dari Jabir bin Abdillah Al-Ansari,
bersabda Rasulullah saw:
Artinya: “Janganlah engkau menikahkan wanita kecuali dengan yang se-kufu’ dan
janganlah engkau mengawinkannya kecuali dengan izin walinya …”.
Akan tetapi, para ulama Malikiyah mengakui adanya kafa‘ah. Akan tetapi kafa‘ah,
menurut mereka hanya dipandang dari sifat istiqamah dan budi pekertinya saja. Kafa‘ah
bukan karena nasab atau keturunan, bukan pekerjaan atau kekayaan. Seorang lelaki
shaleh yang tidak bernasab boleh kawin dengan perempuan yang bernasab, pengusaha
kecil boleh kawin dengan pengusaha besar, orang hina boleh saja menikahi perempuan
terhormat, seorang lelaki miskin boleh kawin dengan perempuan yang kaya raya
asalkan muslimah. Seorang wali tidak boleh menolaknya dan tidak berhak memintakan

9
M. A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2009), 65
10
Ibid., 68

Fiqih Munakahat| 9
cerai meskipun laki-laki tadi tidak sama kedudukannya dengan kedudukan wali yang
menikahkan, apabila perkawinannya dilaksanakan dengan persetujuan si perempuan.11

BAB III
PENUTUP

11
Ibid., 66

Fiqih Munakahat| 10
A. Kesimpulan
Kufu’ dalam pernikahan adalah: calon mempelai laki-laki sebanding dengan calon
istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam
akhlak serta kekayaan.
Ukuran kafaah (kufu’) terdiri dari lima bagian diantaranya yaitu agama, nasab,
merdeka, pekerjaan, dan harta kekayaan.
Ssedangkan terkait dengan keberadaanya atau kedudukannya para ulama masih
berbeda pendapat ada yang menyebutnya sebai syarat dari pernikahan adapun hanya
menganjurkan untuk adanya kufu’

B. Saran
Kita sebagai mahasiswa hokum keluarga harus bisa lebih mendalami lagi
bagaimana menempatkan suatu hokum dalam menjalani kehidupan kita dengan
berbagai pertimbangan dan tidak dengan satu sumber saja.

DAFTAR PUSTAKA

Fiqih Munakahat| 11
Yunus Mahmud. 1973. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an.

Syarifuddin Amir. 2006. Hukum Pernikahan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Pernikahan. Jakarta: Prenada Media.

Sabiq Sayyid.1997. Fikih Sunnah. Bandung: Al-ma‟arif.

M. A. Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Lengkap. Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada.

Az-ZuhailiWahbah. 2011. Fiqih Islam 9. Jakarta: Gema Insani.

Mughniyah Muhammad Jawad.2001. al-Fiqh ‘Ala al-Mazahib al-Khamsah, Terj. Masykur,


Afif Muhammad, Idrus al-Kaff, "Fiqih Lima Mazhab. Jakarta: Lentera.

Fiqih Munakahat| 12

Anda mungkin juga menyukai