Anda di halaman 1dari 3

Nama : Mas Abdullah Syarif

NIM : C91217061

DALIL MENGENAI ANJURAN ADZAN DI TELINGA BAYI

Hadits pertama:

Dari ‘Ubaidillah bin Abi Rofi’, dari ayahnya (Abu Rofi’), beliau berkata,

ُ‫اط َمة‬
ِ َ‫ع ِلي ٍّ ِحينَ َولَدَتْهُ ف‬ َ ‫سله َم أَذهنَ فِي أُذُ ِن ْال َح‬
َ ‫س ِن ب ِْن‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ُ ‫َرأَيْتُ َر‬
‫سو َل ه‬
َ ِ‫َّللا‬
ِ‫ص ََلة‬
‫ِبال ه‬
“Aku telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengumandangkan adzan di telinga
Al Hasan bin ‘Ali ketika Fathimah melahirkannya dengan adzan shalat.” (HR. Ahmad, Abu
Daud dan Tirmidzi)

Para perowi hadits pertama ada enam,

ٍّ‫َّللاِ ب ِْن أَبِى َرافِع‬ ُ ‫ع ْن‬


‫عبَ ْي ِد ه‬ َ ِ‫َّللا‬ ُ ‫اص ُم ب ُْن‬
‫عبَ ْي ِد ه‬ ِ ‫ع‬ َ ‫س ْفيَانَ قَا َل َحدهثَنِى‬ َ ‫سدهدٌ َحدهثَنَا يَحْ يَى‬
ُ ‫ع ْن‬ َ ‫ُم‬
‫ع ْن أَبِي ِه‬
َ
yaitu: Musaddad, Yahya, Sufyan, ‘Ashim bin ‘Ubaidillah, ‘Ubaidullah bin Abi Rofi’, dan Abu
Rofi’.

Dalam hadits pertama ini, perowi yang jadi masalah adalah ‘Ashim bin Ubaidillah.

Ibnu Hajar menilai ‘Ashim dho’if (lemah). Begitu pula Adz Dzahabi mengatakan bahwa Ibnu
Ma’in mengatakan ‘Ashim dho’if (lemah). Al Bukhari dan selainnya mengatakan bahwa ‘Ashim
adalah munkarul hadits (sering membawa hadits munkar).

Dari sini nampak dari sisi sanad terdapat rawi yang lemah sehingga secara sanad, hadits ini
sanadnya lemah.
Ringkasnya, hadits ini adalah hadits yang lemah (hadits dho’if).

Kemudian beberapa ulama menghasankan hadits ini seperti At-Tirmidzi. Beliau mengatakan
bahwa hadits ini hasan. Kemungkinan beliau mengangkat hadits ini ke derajat hasan karena ada
beberapa riwayat yang semakna yang mungkin bisa dijadikan penguat. Mari kita lihat hadits
kedua dan ketiga.
Hadits kedua:

Dari Al Husain bin ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ض هرهُ أ ُ ُّم‬
ُ َ ‫ص ََلة َ فِي أُذُ ِن ِه ْاليُس َْرى لَ ْم ت‬ َ َ‫َم ْن ُو ِلدَ لَهُ َم ْولُودٌ فَأَذهنَ ِفي أُذُ ِن ِه ْاليُ ْمنَى َوأَق‬
‫ام ال ه‬
‫ان‬
ِ َ‫الص ْبي‬
ِ
“Setiap bayi yang baru lahir, lalu diadzankan di telinga kanan dan dikumandangkan iqomah di
telinga kiri, maka ummu shibyan tidak akan membahayakannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Ya’la
dalam musnadnya dan Ibnu Sunny dalam Al Yaum wal Lailah). Ummu shibyan adalah jin
(perempuan).

Para perowi hadits kedua ada lima,

، ‫ عن طلحة بن عبيد هللا‬، ‫ عن مروان بن سالم‬، ‫ حدثنا يحيى بن العَلء‬، ‫حدثنا جبارة‬
‫عن حسين‬
yaitu: Jubaaroh, Yahya bin Al ‘Alaa’, Marwan bin Salim, Tholhah bin ‘Ubaidillah, dan Husain.

Jubaaroh dinilai oleh Ibnu Hajar dan Adz Dzahabi dho’if (lemah).

Yahya bin Al ‘Alaa’ dinilai oleh Ibnu Hajar orang yang dituduh dusta dan Adz Dzahabi
menilainya matruk (hadits yang diriwayatkannya ditinggalkan).

Marwan bin Salim dinilai oleh Ibnu Hajar matruk (harus ditinggalkan), dituduh lembek dan juga
dituduh dusta.

Syaikh Al Albani dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321 menilai bahwa Yahya bin Al ‘Alaa’ dan
Marwan bin Salim adalah dua orang yang sering memalsukan hadits.

Dari sini sudah dapat dilihat bahwa hadits kedua ini tidak dapat menguatkan hadits pertama
karena syarat hadits penguat adalah cuma sekedar lemah saja, tidak boleh ada perowi yang dusta.
Jadi, hadits kedua ini tidak bisa mengangkat derajat hadits pertama yang dho’if (lemah) menjadi
hasan.

Hadits ketiga:

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan,

‫ وأقام في أذنه اليسرى‬، ‫ فأذن في أذنه اليمنى‬، ‫أذن في أذن الحسن بن علي يوم ولد‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adzan di telinga al-Hasan bin ‘Ali pada hari beliau dilahirkan
maka beliau adzan di telinga kanan dan iqamat di telinga kiri.” (Diriwayatkan oleh Al Baihaqi
dalam Syu’abul Iman)

Untuk memutuskan apakah mengumandangkan adzan di telinga bayi termasuk anjuran atau
tidak, kita harus menilai keshohihan hadits-hadits di atas terlebih dahulu.

Para perowi hadits ketiga ada delapan,

‫ حدثنا محمد بن يونس‬، ‫ أخبرنا أحمد بن عبيد الصفار‬، ‫وأخبرنا علي بن أحمد بن عبدان‬
‫ عن منصور‬، ‫ حدثنا القاسم بن مطيب‬، ‫ حدثنا الحسن بن عمرو بن سيف السدوسي‬،
‫ عن ابن عباس‬، ‫ عن أبي معبد‬، ‫ابن صفية‬
yaitu: Ali bin Ahmad bin ‘Abdan, Ahmad bin ‘Ubaid Ash Shofar, Muhammad bin Yunus, Al
Hasan bin Amru bin Saif As Sadusi, dan Qosim bin Muthoyyib, Manshur bin Shofiyah, Abu
Ma’bad, dan Ibnu Abbas.

Al Baihaqi sendiri dalam Syu’abul Iman menilai hadits ini dho’if (lemah). Namun, apakah hadits
ini bisa jadi penguat hadits pertama tadi? Kita harus melihat perowinya lagi.

Perowi yang menjadi masalah dalam hadits ini adalah Al Hasan bin Amru.

Al Hafidz berkata dalam Tahdzib At Tahdzib no. 538 mengatakan bahwa Bukhari berkata Al
Hasan itu kadzdzab (pendusta) dan Ar Razi berkata Al Hasan itu matruk (harus ditinggalkan).
Sehingga Al Hafidz berkesimpulan bahwa Al Hasan ini matruk (Taqrib At Tahdzib no. 1269).

Kalau ada satu perowi yang matruk (yang harus ditingalkan) maka tidak ada pengaruhnya
kualitas perowi lainnya sehingga hadits ini tidak bisa dijadikan penguat bagi hadits pertama tadi.

Ringkasnya, hadits kedua dan ketiga adalah hadits maudhu’ (palsu) atau mendekati maudhu’.

Dari pembahasan di atas, terlihat bahwa hadits pertama tadi memang memiliki beberapa penguat,
tetapi sayangnya penguat-penguat tersebut tidak bisa mengangkatnya dari dho’if (lemah)
menjadi hasan. Maka pernyataan sebagian ulama yang mengatakan bahwa hadits ini hasan
adalah suatu kekeliruan. Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di
telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini
sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321. Jadi kesimpulannya, hadits

Anda mungkin juga menyukai