PENDAHULUAN
1
B. PEMBAHASAN
1. Pengertian ‘Urf
Kata ‘Urf berasal dari kata ‘arafa, ya’rifu sering diartikan dengan “al-
ma’ruf”dengan arti: “sesuatu yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat
kepada pengertian “diakui oleh orang lain”. kata ‘Urf juga terdapat dalam Al-
Qur’an dengan arti “ma’ruf” yang artinya kebajikan (berbuat baik), seperti dalam
surah al-A’raf(7):199:
Kata ‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-
Karim Zaidan, istilah ‘Urf berarti:
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyau dengan kehidupan mereka dengan baik berupa perbuatan
atau perkataan”.
Istilah ‘Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah al-adat
(adat istiadat). Contoh ‘Urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu masyarakat
dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti garam, tomat, dan
gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga tanpa mengucapkan
ijab dan kabul (qabul). Contoh yang berupa perkataan, seperti kebiasaan di satu
masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-laham (daging) kepada jenis ikan.
Kebiasaan-kebiasaan seperti itu, menjadi bahan pertimbangan waktu akan
menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak ada ketegasan hukumnya
dalam Al-Qu’ran dan Sunnah.
Kata ‘Urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulangkalinya suatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
2
dikenal dan diakui oleh orang banyak. Dalam kajian ushul fiqih,’Urf adalah
Kebiasaan mayoritas kaum baik dalam peerkataan atau perbuatan. Kebiasaan yang
berlangsung lama itu dapat berupa ucapan dan perbuatan baik bersifat khusus
maupun yang bersifat umum. Dalam konteks ini, istilah ‘Urf sama dan semakna
dengan istilah al-adat (adat istiadat).
2. Kehujjahan ‘Urf
Apabila kita perhatikan penggunaan ‘Urf ini, bukanlah dalil yang berdiri
sendiri, tetapi erat kaitannya dengan al-maslahah al- mursalah, bedanya
kemaslahatan dalam ‘Urf ini telah berlaku sejak lama sampai sekarang, sedangkan
dalam al-maslahah al-mursalah kemaslahatan itu bisa terjadi pada hal-hal belum
berlaku, bahkan pada hal-hal yang akan diberlakukan.
Pada umumnya, ‘Urf ditunjukkan untuk memelihara kemaslahatan umat serta
menunjang pembentukan hukum dan penafsiran beberapa nash. Namun hal ini
bukan berarti ‘Urf tidak mempunyai dasar hukum sebagai salah satu sahnya
sumber syariat islam. Mengenal kehujjahan ‘Urf menurut pendapat kalangan
ulama ushul fiqih, diantaranya:
Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat[1] bahwa ‘Urf adalah hujjah
untuk menetapkan hukum islam. Alasan mereka adalah berdasarkan firman Allah
dalam surah al-A’raf ayat 199:
Artinya:“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang-orang mengerjakan yang
ma’ruf serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh”.
3
nilai-nilai keislaman. Berdasarkan ayat ini Allah mengambil ‘urf dan adt sebagai
salah satu untuk dijadikan sumber hukum manakala ‘urf sememangnya adalah
suatu perkara yang dan boleh dijadikan sumber hukum.
Maka dapat dikatakan bahwasanya sesuatu yang sudah lumrah dilakukan
manusia di dunia untuk kemaslahatan hidupnya, maka hal itu dianggap benar oleh
syariat islam meskipun tudak ada dalil yang menyatakannya baik dalam Al-
Qur’an atau sunnah.
Golongan Syafi’iah dan Hambaliyah, keduanya tidak menganggap ‘urf sebagai
hujjah atau dalil hukum syar’i. Golongan imam Syafi’i tidak mengakui adanya
istihsan, mereka betul-betul menjauhi untuk menggunakannya dalam istinbath
hukum dan tidak menggunakannya sebagai dalil. Maka dengan hal itu, secara
otomatis golongan ulama Syafi’i juga menolak menggunakan ‘Urf sebagai sumber
hukum islam. Penolakannya tercermin dari sebagai perkataannya sebagai berikut:
4
Surah al-Maidah ayat 3 yang berbunyi:
Artinya: “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama
bagimu”.
5
Artinya: “Dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Qur’an) untuk menjelaskan
segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat”.
Hal ini menunjukkan bahwa segala kebiasaan yang dianggap baik oleh umat
islam adalah baik menurut Allah karena apabila tidak melaksanakan kebiasaan
tadi, maka akan menimbulkan kesulitan.
Berdasarkan dalil-dalil tersebut maka Imam Syafi’i menolak adanya
sumber ‘Urf, karena beliau menganggap bahwa ‘Urf merupakan penetapan suatu
hukum yang tidak berdasasarkan dalil yang sudah ditetapkan yakni: Al-Qu’ran,
Hadish, Ijma’ dan Qiyas. Mazhab Zahidiah dan Syiah juga tidak
menerima ‘Urf sebagai sumber hukum. Golongan ini menolak
kehujjahan ‘Urf karena ia bercanggah dengan nash-nash syarak. Contohnya
seperti amalan riba yang berlaku dalam adat masyarakat jahiliyyah terus
diharamkan oleh syara’.
3. Macam-macam ‘Urf
1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan ‘Urf dibagi menjadi dua
yaitu:
a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau
ucapan. Contoh: lapaz daging di pahami di Padang hanya daging sapi.
Padahal kata-kata daging mencakup semua daging yang ada. Bila
seseorang mendatangi penjual daging, dan berkata “saya beli daging 1
kg”. Sedangkan penjual daging memiliki jualan daging-daging lain seperti
ayam, ikan dan bebek.
b. ‘Urf fi’li yaitu perbuatan yang berlaku dalam perbuatan. Contoh:
kebiasaan pemilik toko mengantarkan barang belian yang berat/besar
6
kerumah pembeli seperti lemari, kursi dan peralatan rumah tangga yang
berat lainnya tanpa dibebani biaya tambahan.
2. Dari segi ruang lingkup penggunaannya, ‘Urf terbagi kepada:[2]
a. ‘Urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana-mana,
hampir diseluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa, dan
agama. Contoh: kebiasaan menerapkan proteksi asuransi pada pembiayaan
bank syariah ini berlaku di seluruh Indonesia, bahkan dunia.
b. ‘Urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang ditempat
tertentu atau pada waktu tertentu tidak berlaku di semua tempat dan
disembarang waktu. Contoh: kebiasaan pembeli dapat mengembalikan
barang yang cacat kepada penjual tertentu, (tetapi tidak berlaku di
supermarket).
3. Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘Urf dibagi menjadi :
a. ‘Urf shahih, yaitu adat yang berulang-ulang dilakukan, diterima orang
banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun, dan budaya yang
luhur. Contoh: Acara halal bil halal (silaturrahmi) saat hari raya, adanya
garansi dalam pembeliaan barang elektronik, dan kebiasaan menabung di
Bank syariah.
b. ‘Urf fasid, yaitu kebiasaan yang berlaku di suatu tempat meskipun merata
pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang undang
negara dan sopan santun. Contoh: Menyuap untuk lulus PTN /TNI/POLRI
meraih jabatan dan segala pekerjaan. Dan memberi hadiah kepada pejabat.
4. Pendapat Ulama tentang ‘Urf
Secara umum ‘Urf diamalkan oleh semua ulama fiqh terutama dikalangan
ulama mashab Hanafiyah dan Malikiyah. Ulama Madshab hanafiyah dan
Malikiyah mengatakan bahwa hukum yang ditetapakan berdasarkan Ur‘f yang
shahih (benar), bukan yang fasid (rusak/cacat), sama dengan yang ditetapkan
berdasarkan dalil syari’iy. Secara lebih singkat, pensyarah kitab “al-asyabah wa
an-Nazair” mengatakan:
7
“Diktum hukum yang ditetapkan berdasarkan ‘Urf sama dengan diktum hukum
yang ditetapkan berdasarkan syari’iy”.
Imam as-Sarkhasi dalam kitab “al-Mabssudh” berkata:
“Apa yang ditetapkan berdasarkan Urf statusnya seperti yang ditetapkan
berdasarkan nash”.
Ulama Hanafiyah menggunakan istihsan dalam berijtihad, dan salah satu
bentuk istihsan itu adalah istihsan al-Urf (istihsan yang menyandar
pada ‘Urf. Oleh ulama Hanafiyah, ‘Urf itu didahulukan atas qiyas khafi dan juga
didahulukan atas nash yang umum, dalam arti: ‘mentakhsis umum nash.
Ulama Malikiyah menjadikan ‘Urf atau tradisi yang hidup di kalangan ahli
Madinah sebagai dasar dalam menetapkan hukum dan mendahulukannya dari
hadish ahad.
Ulama Syafi’iyah banyak menggunakan ‘Urf dalam hal-hal jika tidak
menemukan ketentuan batasannya dalam syara’ maupun dalam penggunaan
bahasa. Mereka mengemukakan kaidah sebagai berikut:
“Setiap yang datang dengannya syara’ secara mutlak, dan tidak ada
ukurannya dalam syara’maupun dalam bahasa, maka dikembalikanlah pada
‘Urf”.
Dalam menanggapi adanya penggunaan ‘Urf dalam fiqih, al-suyuthi
mengulasnya dengan mengembalikannya kepada kaidah:
‘Adat (‘Urf) itu menjadi pertimbangan hukum
Alasan para ulama mengenai penggunaan (penerimaan) mereka
terhadap ‘Urf tersebut adalah hadis yang berasal dari Abdullah ibn Mas’ud yang
dikeluarkan imam Ahmad dalam musnadnya, yaitu:
“Apa-apa yang dilihat oleh umat islam sebagai suatu yang baik, maka yang
demikian di sisi Allah adalah baik”.
Disamping itu adalah pertimbangan kemaslahatan (kebutuhan orang banyak),
dalam arti: orang banyak akan mengalami kesulitan bila tidak
menggunakan ‘Urf tersebut. Bahkan ulama menempatkannya sebagai “syarat
yang diisyaratkan”.
8
“Sesuatu yang berlaku secara ‘Urf adalah seperti suatu yang telah
diisyaratkan”.
Bila hukum telah ditetapkan berdasarkan kepada ‘Urf, maka kekuatannya
menyamai hukum yang ditetapkan berdasarkan nash.
5. Contoh Penerapan ‘Urf dalam Lembaga Keuangan Syariah
Di samping memiliki kedudukan penting dalam penetapan hukum, urf jug
memiliki kedudukan penting dalam penerapan suatu hukum. Penerapan hukum
dalam ekonomi islam di antarnya adalah jual beli salam (pesanan). Jual beli salam
merupakan jual beli berupa pemesanan barang dimana pembeli memberikan uang
terlebih dahulu dan barang diserahkan kemudian. Ketika Nabi Muhammad SAW
tiba di Madinah beliau menyaksikan penduduknya melakukan jual beli dengan
sistem salam. Melihat hal tersebut beliau tidak melarangnya, namun hanya
berpesan “barang siapa yang memesan sesuatu (jual beli salam), maka hendaknya
ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak)
dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga
tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak). Melihat kejadian ini, maka
jual beli dalam bentuk salam ini telah menjadi ‘Urf yang umum berlaku dimana
saja.
Banyak contoh kebiasaan masyarakat yang seharusnya tidak dilakukan
karena bertentangan dengan kaidah islam. Salah satu contoh yang akan diangkat
dalam permasalahan ini adalah kebiasaan masyarakat kaya di pedesaan yang
menyimpan uang dalam jumlah besar dirumahnya tanpa memutar aliran distribusi
uang tersebut. Masyarakat primitif masih beranggapan bahwa siapa yang memiliki
uang yang banyak, dia lah yang paling kaya. Untuk itu mereka menyimpan uang
sebanyak mungkin untuk mendapatkan gelar hartawan tersebut. Kebiasaan ini
berpengaruh sangat tidak baik terhadap perputaran uang dan kondisi pasar yang
pada akhirnya akan berakibat pada perekonomian masyarakat. Menyimpan uang
akan mengakibatkan kurangnya uang yang beredar dan akan memunculkan inflasi
di wilayah tesebut. Maka seharusnya kebiasaan tersebut harus ditinjak lanjuti
dengan mengajak masyarakat untuk menyimpan uang di bank atau lembaga
9
keuangan lainnya agar uang tersebut dapat beredar secara normal dan
menghilangkan kemungkinan terjadinya inflasi.
Dan contoh yang kedua adalah pada transaksi jual beli, penjual
menawarkan barangnya kepada pembeli hingga melebihi harga jual sebenarnya,
hal ini bertujuan agar pembeli menawar barang tersebut hingga pada harga yang
telah di rencanakan penjual sebelumnya. Kebiasaan ini telah membudaya pada
penjual dimanapun. Tanpa mereka sadari, mereka telah melakukan penipuan
terhadap pembeli. Seharusnya penjual jujur dalam penetan harga suatu barang
berdasarkan harga pokok, biaya tambahan barang dan keuntungan yang ingin di
peroleh, sehingga diantara keduanya tidak ada yang dirugikan.
Contoh praktek ‘Urf dalam masing-masing mashab:
1. Fiqih Hanafi
a. Bolehnya jual beli buah yang masih di pohon karena ‘Urf.
b. Bolehnya mengolah lahan pertanian orang lain tanpa izin jika di daerah
tersebut ada kebiasaan bahwa lahan pertanian di garap oleh orang lain,
maka pemiliknya bisa meminta bagian.
2. Fiqih Maliki
a. Bolehnya jual beli barang dengan menunjukkan sampel.
b. Pembagian nisbah antara mudharib dan shahibul maal berdasarkan
‘Urf jika terkadi perselisihan.
3. Fiqih Syafi’i
a. Batasan penyimpanan barang yang dianggap pencurian yang wajib potong
tangan.
b. Akad sewa atas alat transportasi.
c. Akad istishna.
4. Fiqih Hambali
a. Jual beli mu’thah.
Banyak kebiasaan –kebiasaan dalam masyarakat yang telah menjadi
budaya bahkan menjadi hukum bagi mereka. Namun terkadang kebiasaan yang
tidak baik dan bertentangan dengan syara’. Sekarang tergantung pribadi kita untuk
memilih mengikuti adat yang baik dan memiliki maslahat bagi masyarakat, atau
10
menjalankan semua kebiasaan yang telah mendarah daging dalam masyarakat
tanpa mempertimbangkan baik atau buruknya kebiasaan tersebut
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pengertian ‘Urf Secara etimologi kata ‘Urf berarti “sesuatu yang dipandang
baik dan diterima oleh akal sehat”. Sedangkan secara terminologi seperti yang
dikemukkan oleh Abdul-Karim Zaidan, istilah al-urf berarti:
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan baik berupa perbuatan maupun
perkataan” Istilah ‘Urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah
al-„adah (adat istiadat). Para ulama ushul fiqih membedakan antara adat dengan
‘Urf dalam membahas kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan
hukum syara‟.
Adat didefenisikan dengan: “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang
tampa adanya hubungan rasional” Defenisi ini menunjukkan bahwa apabila suatu
perbuatan dilakukan secara berulangulang menurut hukun akal, tidak dinamakan
adat.
Defenisi ini juga menujukkan bahwa adat itu mencakup persoalan yang amat
luas, yang menyangkut permasalahan pribadi, seperti kebiasaan seseorang dalam
11
tidur, makan dan mengkonsumsi jenis makanan tertentu atau permasalahan yang
menyangkut banyak orang yaitu sesuatu yang berkaitan dengan hasil pemikiran
yang baik dan yang buruk.
2. Saran
Sekianlah uraian tentang ‘Urf yang dapat saya ketengahkan. Selaku insan,
pasti mempunyai kekurangan dan ketidaktahuan dalam penulisan maupun dalam
menyampaikan isi makalah ini. Saran beserta kritik yang produktif lagi
konstruktif adalah harapan penulis dalam merevisi subtansi makalah tentang
‘Urf ini.
DAFTAR PUSTAKA
12
KATA PENGANTAR
13
penelitian ini, memberikan referensi dan sumbangsih pemikirannya semoga Allah
membalas dengan sebaik-baiknya.
Sebagai penutup, kritik dan saran kami harapkan dari segenap pembaca
atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini dan juga sebagai bahan
koreksi dan pembelajaran untuk perbaikan makalah berikutnya.
Desember 2019
Penulis
diajukan sebagai salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqh Keuangan
14
Oleh :
Kelompok 9
= ELVINA DAMAYANTI =
= NIKEN WINDYANI =
= TIA RIZKY AULIA =
JAM’IYAH MAHMUDIYAH
2019 / 2020
15