Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Telah diketahui bahwa Nabi Muhammad SAW merupakan Nabi terakhir yang
diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyampaikan wahyu di muka bumi dan sebelum
adanya Nabi Muhammad SAW sudah banyak Nabi-nabi sebelumnya. Tentunya zaman
sebelum adanya Nabi,dan setelahnya memiliki perbedaan bahkan kesamaan dalam adat
kebiasaan dan syariat-syariatnya.
Sumber dan dalil hukum Islam dikelompokkan menjadi dua yaitu yang disepakati
dan yang masih diperselisihkan oleh para ulama. Adapun yang telah disepakati adalah Al
-Quran dan Sunnah, serta Ijma’ dan Qiyas (aplikasi keduanya tetap berpedoman pada Al-
Quran dan Sunnah). Sedangkan 7 dalil hukum islam yang masih menjadi perselisihan
antar ulama yaitu: Marsalah Mursalah, Istihsan, Saddus Zari’ah, ‘Urf, Istishab, Mazhab
Shahabi, dan Syar’u Man Qablana.
Maka dalam kesempatan kali ini, kami akan membahas tentang ‘urf dan syar’u
man qoblana (syariat-syariat sebelum kita), berkaitan dengan apa saja adat kebiasaan dan
syariat tersebut, bagaimana hukumnya untuk saat ini dan apa yang mendasarinya,
semoga makalah kami yang ringkas ini dapat bermanfaat bagi kita semua sehingga
nantinya dapat menambah sedikit keilmuan kita mengenai adat kebiasaan dan syariat
nabi-nabi sebelum kita.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian dari ‘Urf?
2. Apa Macam-Macam ‘Urf?
3. Bagaimana Keabsahan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum?
4. Apa Syarat-Syarat ‘Urf dapat dijadikan Landasan Hukum?
5. Bagaimana Kaidah yang Berlaku Bagi ‘Urf?
6. Apa Pengertian dari Syar’u Man Qablana?
7. Bagaimana Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana?
8. Bagaimana Kehujjahan Syar’u Man Qablana?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian dari ‘Urf.
2. Untuk Mengetahui Macam-Macam ‘Urf.
3. Untuk Mengetahui Keabsahan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum.
4. Untuk Mengetahui Syarat-Syarat ‘Urf dapat dijadikan Landasan Hukum.
5. Untuk Mengetahui Kaidah yang Berlaku Bagi ‘Urf.
6. Untuk Mengetahui Pengertian dari Syar’u Man Qablana.
7. Untuk Mengetahui Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana.
8. Untuk Mengetahui Kehujjahan Syar’u Man Qablana.

D. Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini,metode penulisan yang digunakan adalah kajian
Pustaka terhadap bahan-bahan kepustakaan yang sesuai dengan tema yang kami bahas
1
dalam makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN

A. ‘Urf
1. Pengertian ‘Urf
‘Urf secara etimologi berarti “sesuatu yang dipandang baik dan diterima
oleh akal sehat.” Adapun secara terminologi, seperti dikemukakan Abdul-Karim
Zaidan, istilah ‘urf berarti:1
Sesuatu yang tidak asing lagi bagi satu masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik, berupa perbuatan atau perkataan.
Istilah ‘urf dalam pengertian tersebut sama dengan pengertian istilah
al-’adah (adat istiadat). Misalnya, ‘urf berupa perbuatan atau kebiasaan di satu
masyarakat dalam melakukan jual beli kebutuhan ringan sehari-hari seperti
garam, tomat, dan gula, dengan hanya menerima barang dan menyerahkan harga
tanpa mengucapkan ijab dan kabul (qabul).2 Contoh ‘urf yang berupa perkataan,
seperti kebiasaan di satu masyarakat untuk tidak menggunakan kata al-lahm
(daging) kepada jenis ikan. Kebiasaan-kebiasaan seperti itu menjadi bahan
pertimbangan waktu akan menetapkan hukum dalam masalah-masalah yang tidak
ada ketegasan hukumnya dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
2. Macam-Macam ‘Urf
‘Urf, baik berupa perbuatan maupun perkataan, seperti dikemukakan Abdul
Karim Zaidan, terbagi kepada dua macam:3
a. Al-’urf al-’am (adat kebiasaan umum), yaitu adat kebiasaan mayoritas dari
berbagai negeri di satu masa. Contohnya, adat kebiasaan yang berlaku di
beberapa negeri dalam memakai ungkapan “engkau telah haram aku gauli”
kepada istrinya sebagai ungkapan untuk menjatuhkan talak istrinya itu, dan
kebiasaan menyewa kamar mandi umum dengan sewa tertentu tanpa
menentukan secara pasti berapa lamanya mandi dan berapa kadar air yang
digunakan.
b. Al-’urf al-khas (adat kebiasaan khusus), yaitu adat istiadat yang berlaku pada
masyarakat atau negeri tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat Irak dalam
menggunakan kata al-dabbah hanya kepada kuda, dan menganggap catatan jual
beli yang berada pada pihak penjual sebagai bukti yang sah dalam masalah
utang piutang.
3. Keabsahan ‘Urf Menjadi Landasan Hukum
Para ulama sepakat menolak ‘urf fasid (adat kebiasaan yang salah) untuk
dijadikan landasan hukum. Pembicaraan selanjutnya adalah tentang ‘urf sahih.
Menurut hasil penelitian al-Tayyib Khudari al-Sayyid, guru besar ushul fiqh di
Universitas al-Azhar, Mesir dalam karyanya Al-Ijtihad fi ma la nassa fih, bahwa
mazhab yang dikenal banyak menggunakan ‘urf sebagai landasan hukum adalah
1
Ya’qub Aminuddin, dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2005, Kencana), hlm. 140.
2
Ibid., hlm. 140.
3
Ibid., hlm. 141.
2
kalangan Hanafiyah dan kalangan Malikiyah, dan selanjutnya oleh kalangan
Hanabilah dan kalangan Syafi’iyah. Menurutnya, pada prinsipnya mazhab-mazhab
besar fikih tersebut sepakat menerima adat istiadat sebagai landasan pembentukan
hukum, meskipun dalam jumlah dan perinciannya terdapat perbedaan di antara
mazhab-mazhab tersebut, sehingga ‘urf dimasukkan ke dalam kelompok dalil- dalil
yang diperselisihkan di kalangan ulama.4
‘Urf mereka terima sebagai landasan hukum dengan beberapa alasan,
antara lain:5
a. Ayat 199 surah al-A’raaf (7):

ِ ٰ ‫ض َع ِن ٱل‬ ِ ‫ُخ ِذ ٱلْع ْفو وْأمر بِٱلْعر‬


َ ‫ْج ِهل‬
‫ين‬ َ ْ ‫ف َوَأ ْع ِر‬ ُْ ُْ َ َ َ

Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf
(al-’urfi), serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.

Kata al-’urfi dalam ayat tersebut, di mana umat manusia disuruh


mengerjakannya, oleh para ulama ushul fiqh dipahami sebagai sesuatu yang
baik yang telah menjadi kebiasaan masyarakat. Berdasarkan itu, maka ayat
tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan sesuatu yang telah
dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu masyarakat.
b. Pada dasarnya, syariat Islam dari masa awal banyak menampung dan
mengakui adat atau tradisi yang baik dalam masyarakat selama tradisi itu tidak
bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Kedatangan Islam bu-
kan menghapuskan sama sekali tradisi yang telah menyatu dengan masyarakat.
Tetapi secara selektif ada yang diakui dan dilestarikannya serta ada pula
yang dihapuskannya.
4. Syarat-Syarat ‘Urf dapat dijadikan Landasan Hukum
Abdul-Karim Zaidan menyebutkan beberapa persyaratan bagi ‘urf yang
bisa dijadikan landasan hukum, yaitu:6
a. ‘Urf itu harus termasuk ‘urf yang sahih dalam arti tidak bertentangan dengan
ajaran Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Misalnya, kebiasaan di satu negeri
bahwa sah mengembalikan harta amanah kepada istri atau anak dari pihak
pemberi atau pemilik amanah. Kebiasaan seperti ini dapat dijadikan pegangan
jika terjadi tuntutan dari pihak pemilik harta itu sendiri.
b. ‘Urf itu harus bersifat umum, dalam arti minimal telah menjadi kebiasaan
mayoritas penduduk negeri itu.
c. ’Urf itu harus sudah ada ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan
dilandaskan kepada ‘urf itu. Misalnya, seseorang yang mewakafkan hasil
kebunnya kepada ulama, sedangkan yang disebut ulama waktu itu hanyalah
orang mempunyai pengetahuan agama tanpa ada persyaratan punya ijazah,
maka kata ulama dalam pernyataan wakaf itu harus diartikan dengan

4
Ya’qub Aminuddin, dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2005, Kencana), hlm. 141-142.
5
Ibid., hlm. 142-143.
6
Ibid., hlm. 143-144.
3
pengertiannya yang sudah dikenal itu, bukan dengan pengertian ulama yang
menjadi populer kemudian setelah ikrar wakaf terjadi misalnya harus punya
ijazah.
d. Tidak ada ketegasan dari pihak-pihak terkait yang berlain an dengan kehendak
‘urf tersebut, sebab jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk
tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum, maka yang dipegang
adalah ketegasan itu, bukan ‘urf. Misalnya, adat yang ber- laku di satu
masyarakat, istri belum boleh dibawa oleh sua- minya pindah dari rumah
orangtuanya sebelum melunasi maharnya, namun ketika berakad kedua belah
pihak telah sepakat bahwa sang istri sudah boleh dibawa oleh suaminya
pindah tanpa ada persyaratan terlebih dahulu melu- nasi maharnya. Dalam
masalah ini, yang dianggap berlaku adalah kesepakatan itu, bukan adat yang
berlaku.
5. Kaidah yang Berlaku Bagi ‘Urf
Diterimanya ‘urf sebagai landasan pembentukan hukum memberi peluang
lebih luas bagi dinamisasi hukum Islam. Sebab, di samping banyak masalah yang
tidak tertampung oleh metode-metode lainnya seperti qiyas, istihsan, dan maslahah
mursalah yang dapat ditampung oleh adat istiadat ini, juga ada kaidah yang
menyebutkan bahwa hukum yang pada mulanya dibentuk oleh mujtahid
berdasarkan ‘urf, akan berubah bilamana ‘urf itu berubah. Inilah yang dimaksud
oleh para ulama, antara lain Ibnu al-Qayyim al-Jauziyah (w. 751 H) bahwa “tidak
diingkari adanya perubahan hukum dengan adanya perubahan waktu dan
tempat”. Maksud ungkapan ini adalah bahwa hukum-hukum fikih yang tadinya
dibentuk berdasarkan adat istiadat yang baik, hukum itu akan berubah bilamana
adat istiadat itu berubah. Misalnya, bersifat adil adalah syarat diterimanya
kesaksian seseorang berdasarkan firman Allah:

‫اد َة لِ ٰلّ ِه‬ َّ ‫…واَ ْش ِه ُد ْوا َذ َو ْي َع ْد ٍل ِّم ْن ُك ْم َواَقِ ْي ُموا‬


َ ‫الش َه‬ َّ
Artinya: ... dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil di antara
kamu … (QS. at-Talaq [65]: 2)
Ayat tersebut berbicara tentang kesaksian bagi seseorang yang hendak
merujuk istrinya yang telah ditalaknya kurang dari tiga. Syarat kesaksian yang
diterima seperti dalam ayat itu adalah bersifat adil, yaitu suatu sifat yang
dimiliki oleh seseorang yang mampu membawa kepada menaati agama Allah
dan menjaga harga diri (muruah). Yang disebut terakhir ini, yai- tu sifat-sifat
yang merusak harga diri, bisa berbeda antara satu masyarakat dengan yang lain,
dan antara satu masa dan masa yang lain. Misalnya, seorang laki-laki dengan
kepala terbuka, seperti dikemukakan Abu Ishaq al-Syatibi merusak muruah
(harga diri) menurut pandangan orang-orang di daerah tertentu, tidak merusak
muruah menurut pandangan orang-orang di daerah lainnya.
Hukum Islam hendaklah mempertimbangkan perbedaan pandangan
seperti tersebut. Demikian juga dalam memahami ayat-ayat yang bersifat global,
perlu mempertimbangkan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di suatu tempat.
Misalnya, ayat 233 surah al-Baqarah (2) menjelaskan:

ِ ۗ ‫… َو َعلَى ال َْم ْول ُْو ِد لَهٗ ِر ْز ُق ُه َّن َوكِ ْس َو ُت ُه َّن بِال َْم ْع ُر ْو‬
‫ف‬
4
Artinya: … Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu
dengan cara yang makruf ...

Ayat tersebut tidak menjelaskan berapa kadar nakah yang harus diberikan
seorang ayah kepada para ibu dari anak-anak. Untuk memastikannya, perlu
merujuk kepada adat kebiasaan yang berlaku dalam satu masyarakat di mana ia
berada. Dalam hal ini, adat istiadat membantu seorang mufti untuk menjelaskan
pengertian ayat-ayat yang senada dengan itu.

B. Syar’u Man Qablana


1. Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u man qablana ialah syariat atau ajaran nabi-nabi sebelum Islam yang
berhubungan dengan hukum, seperti syariat Nabi Ibrahim, Nabi Musa, Nabi Isa a.s.7
Dengan Kata lain, seluruh ajaran-ajaran Nabi-Nabi terdahulu yang berkaitan dengan suatu
kasus hukum itu dapat dijadikan acuan dalam instimbat hukum ( penggalian hukum ) jika
termaktub dalam Alqur’an serta mempunyai ketegasan bahwa syari’at itu berlaku bagi
umat Nabi Muhammad S.A.W.8
Dalil Naqli yang digunakan oleh segolongan Ulama’ atas kebolehan menggunakan
Syar’u Man Qablana dijadikan sebagai hujjah, khususnya pengikut Hanafiyah, Malikiyah,
Syafi’iyah yaitu :
“Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa
yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. amat berat bagi orang-orang musyrik agama
yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Ayat di atas menegaskan bahwa syariat yang Allah turunkan kepada Nabi
Muhammad SAW juga telah disyari’atkan kepada Nabi sebelum beliau. Ayat ini juga
menunjukkan bahwa pada dasarnya seluruh Syari’at yang diturunkan Allah SWT
merupakan satu kesatuan.
“Kemudian kami wahyukan kepadamu (Muhammad): "Ikutilah agama Ibrahim
seorang yang hanif" dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan
Tuhan.
2. Pendapat Para Ulama tentang Syar’u Man Qablana
Para ulama ushul fiqh sepakat bahwa syariat para nabi terdahulu yang tidak
tercantum dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, tidak berlaku lagi bagi umat Islam,
karena kedatangan syariat Islam telah mengakhiri berlakunya syariat-syariat terdahulu.9
Demikian pula para ulama ushul fiqh sepakat, bahwa syariat sebelum Islam yang
dicantumkan dalam Al-Qur’an adalah berlaku bagi umat Islam bilamana ada ketegasan
bahwa syariat itu berlaku bagi umat Nabi Muhammad SAW, namun keberlakuannya itu

7
Ya’qub Aminuddin, dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2005, Kencana), hlm. 149.
8
Totok Jumantoro, Kamus Ilmu Ushul Fiqih, Amzah,(Solo: Sinar Grafika Offset, 1998), hlm. 336.
9
Ya’qub Aminuddin, dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2005, Kencana), hlm. 149.
5
bukan karena kedudukannya sebagai syariat sebelum Islam tetapi karena ditetapkan oleh
Al-Qur’an. Misalnya puasa Ramadhan yang diwajibkan kepada umat Islam adalah syariat
sebelum Islam, seperti dalam ayat 183 surah al-Baqarah:
َ‫ب َعلَى الَّ ِذيْ َن ِم ْن َق ْبلِ ُك ْم ل ََعلَّ ُك ْم َتَّت ُق ْو ۙن‬ ِ
َ ‫ام َك َما ُكت‬
ُ َ‫الصي‬
ِ ِ َّ ٓ
َ ‫ٰياَُّي َها الذيْ َن ٰا َم ُن ْوا ُكت‬
ِّ ‫ب َعلَْي ُك ُم‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan
atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
Para ulama ushul fiqh berbeda pendapat tentang hukum-hukum syariat nabi
terdahulu yang tercantum dalam Al-Qur’an, tetapi tidak ada ketegasan bahwa hukum-
hukum itu masih ber laku bagi umat Islam dan tidak pula ada penjelasan yang
membatalkannya.10 Misalnya, persoalan hukuman qishash (hukuman setimpal) dalam
syariat Nabi Musa yang diceritakan dalam Al- Qur’an surah al-Maaidah ayat 45:
ۙ ِ‫ف وااْل ذن بِااْل ذ ِن والسن ب‬ َّ ‫َو َكتَْبنَا َعلَْي ِه ْم فِ ْي َهٓا اَ َّن‬
‫ح‬
َ ‫ْج ُر ْو‬ ِّ َّ ِّ َ ُ ُ َ ُ ُ َ ِ ْ‫ف بِااْل َن‬
ُ ‫السنِّ َوال‬ َ ْ‫س َوال َْع ْي َن بِال َْع ْي ِن َوااْل َن‬
ِ ‫الن ْف‬َّ ِ‫س ب‬ َ ‫الن ْف‬
‫ك ُه ُم ال ٰظّلِ ُم ْو َن‬ ۤ ٰ ٌ ۗ ‫صا‬ ِ
َ ‫َّق بِهٖ َف ُه َو َك َّف َارةٌ لَّهٗ َۗو َم ْن لَّ ْم يَ ْح ُك ْم بِ َمٓا اَْن َز َل اللّهُ فَاُو ٰل ِٕى‬
َ ‫صد‬ َ َ‫ص فَ َم ْن ت‬ َ‫ق‬
Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka- luka (pun) ada qishash-nya. Barangsiapa yang melepaskan
(hak qishashnya), maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa
tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah
orang-orang yang zalim.

Dari sekian banyak bentuk qishash dalam ayat tersebut yang ada ketegasan
berlakunya bagi umat Islam hanyalah qishash karena pembunuhan, seperti dalam surah
al-Baqarah ayat 178 sebagai berikut:

ٗ‫ْح ِّر َوال َْع ْب ُد بِال َْع ْب ِد َوااْل ُْنثٰى بِااْل ُْن ٰثىۗ فَ َم ْن عُ ِف َي لَه‬
ُ ‫ْح ُّر بِال‬
ِ ‫ٰايَُّٓيها الَّ ِذين ٰام ُنوا ُكتِب َعلَي ُكم ال ِْقص‬
ُ ‫اص فى الْ َق ْت ٰلىۗ اَل‬ ُ َ ُ ْ َ ْ َ َْ َ
َ ِ‫ف ِّم ْن َّربِّ ُك ْم َو َر ْح َمةٌ ۗفَ َم ِن ا ْعتَ ٰدى َب ْع َد ٰذل‬ ٍ ‫ف واَ َداۤء اِل َْي ِه بِِا ْحس‬
َ ِ‫ان ۗ ٰذل‬
ٌ ‫ك تَ ْخ ِف ْي‬ ِ ِ ِ ِ
‫ك‬ َ ٌ َ ‫م ْن اَخ ْيه َش ْيءٌ فَاتِّبَاعٌ ۢبِال َْم ْع ُر ْو‬
‫اب اَلِْي ٌم‬
ٌ ‫َفلَهٗ َع َذ‬
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan
dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan
cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari
Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Bentuk-bentuk qishash lainnya yang tersebut dalam surah al-
Maaidah (5) ayat 45 di atas diperselisihkkan di kalangan ulama fikih.
Menurut kalangan Hanafiyah, Malikiyah, mayoritas kalang an
Syafi’iyah, dan salah satu riwayat dari Ahmad bin Hambal, hukum-hukum

10
Ya’qub Aminuddin, dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2005, Kencana), hlm. 150.
6
seperti itu berlaku bagi umat Islam. Di antara alasan mereka:11
a. Pada dasarnya syariat itu adalah satu karena datang dari Allah juga.
Oleh karena itu, apa yang disyariatkan kepada para nabi terdahulu dan
disebutkan dalam Al-Qur’an ber- laku kepada umat Muhammad
SAW. Hal itu ditunjukkan oleh firman Allah:
 ‫ص ْينَا بِهٖٓ اِ ْب ٰر ِه ْي َم‬
َّ ‫ك َو َما َو‬ ِ
َ ‫ي اَ ْو َح ْينَٓا ال َْي‬ ْٓ ‫صى بِهٖ ُن ْو ًحا َّوالَّ ِذ‬ ّٰ ‫ع لَ ُك ْم ِّم َن الدِّيْ ِن َما َو‬ َ ‫َش َر‬
‫سى اَ ْن اَقِ ْي ُموا الدِّيْ َن َواَل َتَت َف َّر ُق ْوا فِ ْي ۗ ِه َك ُب َر َعلَى ال ُْم ْش ِركِ ْي َن َما تَ ْدعُ ْو ُه ْم اِل َْي ۗ ِه‬ ٓ ٰ ‫و ُم ْو ٰسى و ِع ْي‬
َ َ
‫ب‬ُ ۗ ‫ي اِل َْي ِه َم ْن يُّنِْي‬ َ َّ‫اَل ٰلّهُ يَ ْجتَبِ ْٓي اِل َْي ِه َم ْن ي‬
ْٓ ‫شاۤءُ َو َي ْه ِد‬
Dia telah mensyariatkan kamu tentang agama apa yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan
kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu
berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada
agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada
(agama)-Nya orang yang kembali (kepada- Nya). (QS. as-Syuura
[42]: 13)

Selain itu, terdapat beberapa ayat yang menyuruh mengikuti


para nabi terdahulu, antara lain firman Allah:
‫ك اَ ِن اتَّبِ ْع ِملَّةَ اِ ْب ٰر ِه ْي َم َحنِْي ًفا ۗ َو َما َكا َن ِم َن ال ُْم ْش ِركِْي َن‬ ِ
َ ‫ثُ َّم اَ ْو َح ْينَٓا ال َْي‬
Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama
Ibrahim yang hanif”. (QS. An-Nahl [16]: 123).

Dalam ayat lain Allah juga berfirman:


‫ࣖ اُو ٰلۤ ِٕىك الَّ ِذيْ َن َه َدى ال ٰلّهُ فَبِ ُه ٰد ُىه ُم اقْتَ ِد ۗ ْه قُ ْل ٓاَّل اَ ْسـَٔلُ ُك ْم َعلَْي ِه اَ ْج ًر ۗا اِ ْن ُه َو اِاَّل ِذ ْك ٰرى لِ ْل ٰعلَ ِم ْي َن‬
َ
Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah,
maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: “Aku tidak meminta
upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Qur’an).” Al-Qur’an itu
tidak lain hanyalah peringatan untuk segala umat. (QS. al-An’aam
[6]: 90)
Menurut para ulama Mu’tazilah, Syi’ah, sebagian kalangan
Syafi’iyah, dan salah satu pendapat Imam Ahmad bin Hanbal, syariat
sebelum Islam yang disebut dalam Al-Qur’an, tidak menjadi syariat bagi
umat Nabi Muhammad SAW kecuali ada ketegasan untuk itu. Di antara
alasan mereka:12
a. Firman Allah, surah al-Maaidah (5) ayat 48:
11
Ibid., hlm. 151-152.
12
Ya’qub Aminuddin, dkk, Ushul Fiqih, (Jakarta, 2005, Kencana), hlm. 152-154.

7
ِ ِ ‫ْكتٰب بِالْح ِّق مص ِّدقًا لِّما بين ي َدي ِه ِمن ال‬ ِ َ ‫واَْنزلْنَٓا اِلَي‬
ْ َ‫ٰب َو ُم َه ْي ِمنًا َعلَْيه ف‬
‫اح ُك ْم‬ ِ ‫ْكت‬ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َ ‫ك ال‬ ْ َ َ
ً‫ق لِ ُك ٍّل َج َعلْنَا ِم ْن ُك ْم ِش ْر َعة‬ ِّ ۗ ‫ْح‬ ِ
َ ‫ۤء ُه ْم َع َّما َجاۤ َء َك م َن ال‬ ِ ٰ ِ
َ ‫َب ْيَن ُه ْم ب َمٓا اَْن َز َل اللّهُ َواَل َتتَّب ْع اَ ْه َوا‬
‫استَبِ ُقوا‬ ِ ِ ِ ٰ ِ
ْ َ‫َج َعلَ ُك ْم اَُّمةً َّواح َدةً َّو ٰلك ْن لِّيَْبلُ َو ُك ْم ف ْي َمٓا ٰا ٰتى ُك ْم ف‬ َ ‫اجا ۗ َول َْو َشاۤ َء اللّهُ ل‬ً ‫َّوم ْن َه‬
َ‫ت اِلَى ال ٰلّ ِه َم ْر ِجعُ ُك ْم َج ِم ْي ًعا َف ُينَبُِّئ ُك ْم بِ َما ُك ْنتُ ْم فِ ْي ِه تَ ْختَلِ ُف ْو ۙن‬ ِ ۗ ‫الْ َخ ْي ٰر‬

Dan Kami telah turunkan kepadamu Al-Qur’an dengan mem- bawa


kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab
(yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terha- dap kitab-kitab
yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang
Allah turunkan dan janganlah kamu meng- ikuti hawa nafsu mereka
dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk
tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya
satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
diberitahukan- Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.

Ayat tersebut menunjukkan bahwa setiap umat itu mem- punyai


syariat tersendiri. Itu berarti syariat nabi terdahulu tidak berlaku bagi
umat Nabi Muhammad SAW.
b. Ketika Mu’az bin Jabal diutus untuk menjadi hakim di Yaman,
Rasulullah bertanya kepadanya:
Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az,
sesungguhnya Rasulullah SAW mengutus Mu’az ke Yaman, maka
beliau bertanya kepada Mu’az, “Atas dasar apa Anda memutuskan
suatu persoalan?” Dia jawab, “Dasarnya adalah
Kitab Allah.” Nabi bertanya: “Kalau tidak Anda temukan dalam kitab
Allah?” Mu’az menjawab dengan dasar Sunnah Rasu- lullah. Beliau
bertanya lagi: “Kalau tidak Anda temukan dalam Sunnah Rasulullah?”
Dia jawab: “Aku akan berijtihad dengan penalaranku.” Maka Nabi
berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri
utusan Rasulullah SAW.” (HR. Tirmizi)
Dalam dialog tersebut, tidak terdapat petunjuk Rasulullah untuk
merujuk kepada syariat nabi-nabi terdahulu. Seandainya syariat nabi-nabi
terdahulu dapat dijadikan rujukan oleh Mu’az, sudah tentu Rasulullah
memberi petunjuk untuk itu.
Abdul Wahhab Khallaf dalam bukunya ‘Ilmu Ushul al-Fiqh
menjelaskan, bahwa yang terkuat dari dua pendapat tersebut adalah
pendapat yang pertama di atas. Alasannya, bahwa sya- riat Islam hanya
membatalkan hukum yang kebetulan berbeda dengan syariat Islam. Oleh
karena itu, segala hukum syariat para nabi terdahulu yang disebut dalam
8
Al-Qur’an tanpa ada kete- gasan bahwa hukum-hukum itu telah dinasakh
(dihapuskan), maka hukum-hukum itu berlaku bagi umat Nabi
Muahammad SAW. Di samping itu, disebutnya hukum-hukum itu dalam
Al-Qur’an yang merupakan petunjuk bagi umat Islam, menunjukkan
berlakunya bagi umat Muhammad SAW.
3. Kehujjahan Syar’u Man Qablana
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai apakah syari’at sebelum
kita itu dapat menjadi dalil dalam menetapkan hukum bagi umat Nabi
Muhammad SAW. Pendapat – pendapat mereka biasa dikelompokkan
sebagi berikut :13
Sebagian Sahabat Abu hanifah, Sebagian Ulama’ Malikiyah,
Sebagian sahabat Imam Syafi’I dan Imam Ahmad bin Hambal menyatakan
bahwa hukum – hukum yang disebutkan dalam Al qur’an atau sunah nabi
meskipun objeknya tidak untuk Umat Nabi Muhammad, selama tidak ada
penjelasan tentang nasakhnya, maka berlaku pula untuk umat Nabi
Muhammad. Dari sini muncul kaidah : “ Syari’at untuk umat sebelum kita
juga berlaku untuk syari’at kita.” Mereka juga mendasarkan pada Nash
Alqur’an dalam SuratAs-Syura (13).
Jumhur Ulama’ haanafiyah dan Hanabilah dan sebagian Syafi’iyah
dan Malikiyah serta Ulama’ kalam As’ariyah dan Mu’tazilah berpendapat
Bahwa ajaran – ajaran terdahulu tidak berlaku lagi bagi umat Nabi
Muhammad SAW selama tidak dijelaskan pemeberlakuannya untuk umat
Nabi Mjhammmad SAW. Alasanya adalah bahwa syari’at terdahulu itu
secara khusus berlaku bagi umat ketika itu dan tidak berlaku secara umum.

13
Muin Umar, Ushul Fiqh, (Jakarta: Min Mata’s Printing, 1985), hlm. 151.

9
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
‘Urf ialah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan
merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan
maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut
dengan adat (adat kebiasaan). Sekalipun dalam pengertian istilah
hampir tidak ada perbedaan pengertian antara ‘urf dan adat, namun
dalam pemahaman biasa diartikan bahwa urf lebih umum di banding
dengan pengertian adat, Karena adat di samping telah dikenal oleh
masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka.
Syar’un man qablana adalah syariat yang dibawa para rasul
dahulu, sebelum diutus Nabi Muhammad SAW yang menjadi
petunjuk bagi kaum yang mereka diutus kepadanya, seperti syariat
Nabi Ibrahim as., syariat Nabi Musa as., syariat Nabi Daud as., dan
sebagainya. Istilah syar’u man qablana lebih berorientasi untuk
menunjukkan adanya syari’at-syari’at sebelum Islam sebagai agama
ketika dilahirkan.

2. Saran
Dari pembahasan yang telah dipaparkan diatas tentu saja masih
jauh dari kesempurnaan, baik dalam isi pembahasan, cara penyusunan
dan pengetikan ataupun juga nama gelar yang ditulis di makalah ini.
Khususnya pada isi makalah ini. Kami selaku penyusun
mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk kesempurnaan
makalah ini. Terimakasih.

10
DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin Ya’qub, dkk, 2005. Ushul Fiqih. Jakarta: Kencana.

Jumantoro, Totok. 1998. Kamus Ilmu Ushul Fiqih. Solo: Sinar Grafika
Offset.

Umar, Muin. 1985. Ushul Fiqh. Jakarta: Min Mata’s Printing.

11
12
13

Anda mungkin juga menyukai